Anda di halaman 1dari 51

Case Report Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A216022/ Februari 2018


** Pembimbing : dr. Panal Hendrik Sp.An

TOTAL INTAVENA ANESTESI (TIVA) PADA OPERASI


CRANIOTOMI

Oleh :
Miftahul Hayati
G1A216022

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ANESTESIOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Case Report Session

TOTAL INTAVENA ANESTESI (TIVA) PADA OPERASI CRANIOTOMI

Disusun Oleh:

Miftahul Hayati

G1A216022

Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian Anestesiologi

Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher

Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

2018

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada: Jambi, Februari 2018

Pembimbing

dr. Panal Hendrik Sp.An


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case
Report Session ini sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengikuti Pendidikan
Profesi Dokter Bagian Anestesiologi di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Panal Hendrik Sp.An yang telah
meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan.
Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat dan menambah
ilmu bagi para pembaca.

Jambi, Februari 2018

Penulis
BAB I

LATAR BELAKANG

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam
penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus
dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien,
perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi

Anastesi umum intravena atau total intravenous anesthesia (TIVA) adalah


suatu teknik anestesi umum dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur intravena,
mulai dari pre-medikasi, induksi serta rumatan anestesi, tanpa menggunakan zat
inhalasi. Anastesi umum intravena atau total intravenous anesthesia (TIVA) adalah
suatu teknik anestesi umum dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur intravena,
mulai dari pre-medikasi, induksi serta rumatan anestesi, tanpa menggunakan zat
inhalasi.

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.


Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Jika dicatat dalam bentuk
score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting.
Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan
diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya
yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan menggunakan
GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder dan memerlukan
waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya.
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 6 Februari 2018
Nama : Tn. Z
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 170 cm/65 kg
Gol. Darah :B
Alamat : RT. 30 Kenali Besar
No. RM : 876265
Ruangan : Kelas II
Diagnosa : Subdural Hematom parietal kronik + CKD on HD +
Bronkopneumonia
Tindakan : Pro Craniotomy

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


1. ANAMNESA
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sakit kepala sejak 2 minggu dan semakin memberat 3
hari SMRS.

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien mengeluh sakit kepala sejak 2 minggu dan semakin memberat 3
hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti tertusuk-tusuk.
Nyeri tidak berkurang walaupun pasien minum obat anti nyeri. keluhan
disertai dengan kelemahan anggota gerak sebelah kiri. Sehingga pasien
hanya berbaring di tempat tidur. Demam (-), mual (-), muntah (-). BAB
dan BAK dalam batas normal.
± 2 bulan yang lalu pasien memiliki riwayat jatuh di kamar mandi. Dan
kepala pasien terbentur. Riwayat keluar darah dari hidung (+).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Hipertensi : (-)
 Riwayat Asma : (-)
 Riwayat DM : (-)
 Riwayat Batuk Lama : (-)
 Riwayat Operasi : (-)
 Riwayat Penyakit lain : (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita sakit yang sama

e. Riwayat sosial ekonomi : cukup

2. PEMERIKSAAN FISIK UMUM


a. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,8 ̊C

b. Kepala : normochepal
c. Mata : SI -/-, CA -/-, RC +/+, isokor +/+
d. THT : nyeri tekan (-) nyeri tarik (-) rinore (-), otore (-)
e. Leher : Pembesaran KGB (-)
f. Thoraks
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Vokal Fremitus +/+, krepitasi (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Cor : BJ I/II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, Rhonki +/+ kedua lateral


paru

g. Abdomen
Inspeksi : soepel
Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), hati dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

h. Genital : tidak diperiksa


i. Ekstremitas : Akral hangat, udem (-), CRT < 2 detik
Kekuatan:5 3

5 3

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Darah Rutin ( tgl 31-01-2018 )
WBC : 13.4 x 109/mm3
RBC : 4.32 x 1012/mm3
HGB : 12,2 gr/dL
HCT : 36.9 %
PLT : 234 x 109/mm3

Masa Pendarahan : 3 ( 1 - 3 menit )


Masa Pembekuan : 5 ( 2 – 6 menit )

b. Elektrolit
Na : 141,54 mmol/L
K : 4,02 mmol/L
Cl : 101,95 mmol/L
Ca : 1,14 mmol/L

c. Pemeriksaan Darah Lengkap


Faal Hati
Protein Total : 4,9 g/dl
Albumin : 3.3 g/dl
Globulin : 1,6 g/dl
SGOT : 7 U/L (< 41)
SGPT : 13 U/L (< 40)
Faal Ginjal
Ureum : 69 mg/dl (15 - 39)
Creatinin : 1,6 mg/dl (0,6 – 1,1)
GDS : 87 mg/dL

d. X-Ray Thorax
Cor : cardiomegaly
Pulmonal : Bronkopneumonia

e. Pemeriksaan CT SCAN
Adanya EDH pada frontalis, temporalis dan parietal dextra.

4. STATUS FISIK ASA


1/2/3/4/E

5. RENCANA TINDAKAN ANESTESI


1. Diagnosa pra bedah : SDH kronik parietal
2. Tindakan bedah : Pro craniotomi
3. Status fisik ASA: 2
4. Jenis / tindakan anestesi: General Anestesi dengan teknik Total
Intravena Anestesi
Pramedikasi : ranitidin 50 mg, ondansetron 4 mg

Induksi / sedasi :

 Fentanyl 100 mcg


 Midazolam 2 mg
BAB III

LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 6 Februari 2018


Nama : Tn. Z
Umur : 71 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
TB/BB : 170 cm/65 kg
Gol. Darah :B
Alamat : RT. 30 Kenali Besar
No. RM : 876265
Ruangan : Kelas II
Diagnosa : Subdural Hematom parietal kronik + CKD on HD +
Bronkopnemonia
Tindakan : Pro Craniotomy
Operator : dr. Apriyanto Sp.BS
Ahli Anestesi : dr. Panal Hendrik Dolok Saribu, Sp. An

1. Keterangan Pra Bedah


a. Keadaan umum : Tampak sakit berat.
Kesadaran : composmentis
GCS : 15 ( E=4, M=6, V=5 )
Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit

RR : 30 x/menit

Suhu : 36,8 ºC

Berat Badan : 65 Kg

b. Laboratorium
WBC : 13.4 x 109/mm3

RBC : 4.32 x 1012/mm3

HGB : 12,2 gr/dL

HCT : 36.9 %

PLT : 234 x 109/mm3

Masa Pendarahan :3 ( 1 - 3 menit )


Masa Pembekuan :5 ( 2 – 6 menit )

c. Status Fisik : ASA II


d. Puasa mulai jam 02.00 WIB

2. Tindakan Anestesi
a. Metode : Anestesi umum
b. Premedikasi : Ranitidine 50 mg, Ondansentron 4 mg

3. Anestesi Umum
a. Induksi : Sempurna
b. Teknik Anestesi : Total Intra Vena Anestesi (TIVA)
c. Teknik Khusus :-
d. Medikasi : Fentanyl 100 mcg, midazolam 2 mg,
e. Cairan/Transfusi : RL 500 mL

4. Keadaan Selama Operasi


a. Letak Penderita : Terlentang
b. Intubasi :-
c. Penyulit Intubasi : Tidak Ada
d. Penyulit Waktu Anestesi/Operasi :-
e. Lama Anestesi : 40 menit
f. Jumlah Cairan
Input : Asering 500 ml, RL 500 ml
Output : Perdarahan ± 40 cc

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 65 Kg

 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB


= 2 cc x 65
= 130 cc

 Pengganti Puasa (P)


P = 6 x M Pasien puasa dari jam 02.00, operasi pukul 09.35
= 6 x 130
= 780 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 65 x 6 cc
= 390 cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (780) + 130 + 390
= 910 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (780) + 130 + 390
= 715 cc

5. Pra Anestesi
 Penentuan status fisik ASA : 1/2/3/4/5/E
 Mallampati :2
 Persiapan:
a. keluarga pasien telah diberikan Informed Consent
b. Puasa 6 jam sebelum operasi

6. Monitoring
TD awal : 120/70 mmHg, Nadi =80 x/menit, RR = 20 x/menit

Jam (WIB) TD (mmHg) Nadi (x/menit) RR (x/menit)

09.35 120/70 80 20

09.50 90/40 70 18

10.05 90/50 72 20

10.15 110/70 80 16

7. Ruang Pemulihan
1. Masuk Jam : 10.20 WIB
2. Keadaan Umum : Kesadaran: CM, : GCS: 8 E2 M4 V2
Nadi : 78 x/menit
RR : 18 x/menit

3. Pernafasan : Baik
4. Scoring Aldrete:
Aktivitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10

Instruksi Post Operasi:

 Monitoring tanda vital dan perdarahan tiap 15 menit


 Boleh makan dan minum setelah pasien sadar penuh dan bising usus (+)
 Cek HB post operasi
 Terapi sesuai operator dr.Apriyanto Sp.BS teruskan
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum Intravena

Anastesi umum intravena atau total intravenous anesthesia (TIVA) adalah


suatu teknik anestesi umum dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur intravena,
mulai dari pre-medikasi, induksi serta rumatan anestesi, tanpa menggunakan zat
inhalasi.

Jalur intravena telah digunakan untuk memberikan obat sejak ratusan tahun
yang lalu dan pemberian anestesia hanya melalui jalur intravena yang pertama kali
didokumentasikan dimulai sejak tahun 1870. Thiopentone pertama kali dikenal dalam
praktek klinik pada tahun 1934 dan menjadikan induksi anestesi melalui intravena
menjadi populer. Propofol mulai dikenal pada tahun 1986 dan saat ini telah
mengambil alih peran thiopentone. Proses evolusi dalam pemahaman farmakokinetik,
farmakodinamik, dan continuous drugs administration obat-obat anestesi telah
menjadikan TIVA, sebagai alternatif dari anestesia inhalasi, banyak digunakan.

TIVA telah menjadi teknik yang popular, praktikal, dan mudah dalam
kedokteran masa kini. Dua alasan yang melatarbelakanginya yaitu pertama, sifat
pharmakokinetik and pharmakodinamik seperti propofol dan opioid short acting
lainnya membuat mereka cocok untuk infus kontinual. Yang kedua, konsep teknologi
yang kian maju dapat memfasilitasi pengontrolan anestesi secara intravena lebih tepat
dan aman daripada penggunaan teknik inhalasi.

Perkembangan pembedahan dengan rawat jalan meningkatkan kebutuhan


pelayanan anestesi yang mulus. Dengan perkembangan teknologi medis saat ini,
pasien dengan klasifikasi status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA)
III yang stabil, dan bahkan ASA IV, masih dapat diterima untuk mendapatkan
pelayanan pembedahan rawat jalan. Juga pembedahan rawat jalan kini telah
berkembang dari yang seharusnya dilakukan di ruang operasi dengan peralatan yang
lengkap menjadi dapat pula dilakukan di ruang praktek klinik sehari-hari, dimana
alat-alat emergensi yang tersedia terbatas. Hal tersebut menuntut perkembangan
anestesi terus-menerus untuk dapat menyediakan pelayanan anestesi yang aman,
berkualitas, dan biaya yang terjangkau.

Indikasi TIVA:

 Untuk memenuhi kebutuhan anestesi di luar ruang operasi (sedasi dalam)


 MRI, CT Scan, dan kebutuhan radiologi lainnya
 Endoskopi saluran cerna
 Terapi radiasi
 Kateterisasi jantung
 EEG
 Pasien dengan sukseptibilitas malignant hyperthermia
 Kelainan otot (contoh: Duchene’s muscular dystrophy)
 Pembedahan jalan napas (terutama pada bayi dan anak-anak)
 Pembedahan skoliosis dengan motor evoked potential
 Riwayat mual-muntah paska operasi yang parah (PONV)
Indikasi diberlakukannya anestesi intravena adalah:

 Sebagai salah satu alternatif lain selain anestesi inhalasi


 Digunakan untuk pasien one-day surgery yang diperlukan pemulihan yang
cepat dan lengkap
 Memudahkan dalam pembedahan tracheal, laryngeal, dan endoskopi
saluran nafas
 Situasi dimana sulit diberikan anestesi inhalan karena ketidak tersediaan
N2O
 Serta dimana pemberian N2O tidak menguntungkan
Keuntungan penggunaan TIVA9:

 Untuk anestesi pembedahan singkat


 Mengurangi polusi pada kamar operasi
 Efek minimal pada depresi kardiovaskuler
 Respon neurohormonal yang lebih sedikit, pulih fungsi kognotif dan
psikomotor yang cepat
 Kejadian post operative nausea and vomiting (PONV) lebih sedikit
 Pulih dari anestesi lebih cepat
 Toksisitas organ lebih rendah dibanding anestesi inhalasi
 Menghindari hipoksemia paska operasi (postoperative diffusion
hypoxemia)
 Menghindari insiden efek paska operasi seperti mual dan muntah
 Mengimbangi v/q matching dengan nafas spontan
Kerugian penggunaan TIVA:

 Respon klinik lebih luas pada saat tingkat obat yang sama disbanding
dengan gas inhalasi anestesi
 Tidak dapat diperkirakan kedalaman anestesi tiap pasien bedah
 Rawan terhadap salah pemasukan dosis
 Errando, et al. menyatakan bahwa pasien lebih banyak yang menjadi
“sadar” di tengah-tengah pembedahan dengan TIVA daripada dengan
anestesi inhalasi, terutama dengan tidak digunakannya N2O
Obat-obat yang dapat digunakan untuk TIVA dapat diberikan secara tunggal
atau dalam kombinasi, tergantung pada pasien dan prosedur operasi.

Untuk tahap sedasi dapat digunakan golongan benzodiazepine (midazolam,


diazepam, lorazepam) dan opioid (fentanyl), Tahap hipnotik dapat digunakan
propofol, ketamin, golongan benzodiazepine, dan golongan barbiturates (thiopental,
thiamylal, methohexital, pentobarbital).

Untuk tahap analgesik golongan opioid khususnya fentanyl, alfentanyl, serta


petidin dapat diberikan. Untuk beberapa indikasi, pelemas otot (muscle relaxant)
dapat diberikan atracurium, rocuronium bromide, cisatracurium.
Syarat obat yang ideal untuk TIVA adalah:

 Mula kerja obat tersebut cepat, namun lama kerjanya pendek


 Memiliki efek amnesia dan analgesia
 Pemulihannya cepat
 Obat yang dimasukan tidak merusak vena baik saat disuntikan, phlebitis,
dan thrombosis atau munculnya kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi
atau suntikan intraarteri
 Memiliki efek yang minimal terhadap sistem kardiovaskuler dan respirasi
Peralatan yang diperlukan TIVA:

 Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.


 Peralatan resusitasi atau pemasangan infuse cairan (ukuran 18 G, 20 G
yang sering dipakai untuk dewasa)
 Syringe (suntikan) 5 mL untuk larutan fentanyl
 Sryringe (suntikan) 5 mL untuk larutan midazolam
 Syringe (suntikan) 10 mL untuk larutan propofol
 Antiseptik yang cocok untuk membersihkan kulit contohnya
chlorhexidine, iodine, atau methyl alcohol.
 Selain peralatan TIVA, beberapa alat yang harus dipersiapkan antara lain :
STATICS (scope, tubes, airway, tapes,introducer, connector, suction);
menyiapkan peralatan elektronik seperti monitor; memeriksa sumber gas
dan flowmeter.
 Target Controlled Infusion (TCI)
Idealnya, TIVA seharusnya menggunakan TCI (target controlled infusion),
dimana sistem ini adalah sistem yang memasukkan obat-obatan induksi dan
anestesi umum dengan menggunakan infusion pump tetapi melalui kontrol
oleh komputer. Obat-obatan yang diberikan melalui TCI ini adalah untuk,

mencapai nilai spesifik konsentrasi obat di dalam darah.


Dengan TCI, konsentrasi obat-obatan di dalam plasma dapat dikontrol dengan
baik, sesuai dengan kebutuhan pasien. Administrasi dari obat-obatan juga
diperhitungkan dari segi profil farmakokinetiknya, tanpa perlu dihitung secara
kompleks dan spesifik oleh anestesiologis.

Data yang harus ditanyakan termasuk umur, jenis kelamin, dan berat badan,
yang kemudian dimasukkan ke dalam program, yang lalu akan dihitung
distribusinya dan eliminasinya dalam tubuh. Kemudian infusion pump akan
memasukkan dosis tersebut secara terkontrol dan berulang.

Obat-obatan yang Umum Digunakan1,2


Midazolam

Midazolam merupakan obat golongan Benzodiazepines yang berinteraksi


dengan reseptor GABA di system saraf pusat. Benzodiazepine berikatan dengan
reseptor ϕ meningkatkan konduktifitas membrane terhadap ion klorida. Ini
menyebabkan perubahan polarisasi membrane sehingga menghambat fungsi normal
neuronal. Efek midazolam yang paling penting adalah efek hypnosis dan sedative,
serta efek amnesia.

Waktu paruh distribusi 7 – 15 menit, dan waktu paruh eliminasi 2 – 4 jam.


Potensi yang tinggi dan waktu aksi yang lebih pendek membuat midazolam menjadi
pilihan yang baik untuk digunakan. Midazolam ditransformasikan dan dieksresi
melalui urin. Metabolisme dilakukan di dalam hepar. Pada pasien dengan gagal
ginjal, fungsi kerja sedasi pada midazolam relative lebih panjang oleh adanya
akumulasi dari α-hydroxymidazolam.

Dosis premedikasi dewasa 0.05 – 0.10 mg/kgBB, disesuaikan dengan umur


dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien lemah
dosisnya 0.025-0.05 mg/kgBB. Pada anak umumnya digunakan oral 0.5 mg/kg, 30
menit sebelum induksi.

Efek kerja midazolam pada sistem organ :


 Kardiovaskular
o Golongan benzodiazepine memunculkan efek minimal pada depresi
kardiovaskuler walaupun pada penggunaan dosis induksi. Tekanan
darah, volume curah jantung, dan tahanan pembuluh darah perifer
cenderung akan sedikit menurun, walupun beberapa menimbulkan
kenaikan pada nadi. Hal tersebut terjadi akibat oleh menurunnya tonus
vagal (drug-induced vagolysis).
 Respirasi
o Benzodiazepine mendepresi respon ventilasi secara minimal, dengan
mengurangi respons ventilasi terhadap CO2. Oleh karena itu, golongan
ini dapat membuat kegawat daruratan nafas, sehingga pemakaiannya
perlu dipertimbangan bila ingin diimbangi dengan golongan opioid
karena dapat berakibat apnea.
 Serebral
o Benzodiazepines menurunkan konsumsi oksigen pada otak, sirkulasi
darah di otak, dan tekanan intra kranial. Midazolam sangat baik dalam
pencegah dan mengkontrol kejang grand mal. Efek anti cemas,
amnesia, dan sedative dapat terlihat pada dosis rendah, menuju ke
keadaan stupor dan ketidaksadaran pada dosis induksi.
Fentanyl

Fentanyl (N-(1-phenethyl-4-piperidyl) adalah salah satu golongan opioid yang


sering digunakan dalam TIVA. Opioid berikatan dengan reseptor khusus yang
bertempat di sistem saraf pusat dan jaringan lain, yaitu : mu µ (µ1 dan µ2), kappa ҡ,
delta δ, dan sigma ϭ. Fentanyl bekerja pada reseptor µ yang memiliki efek klinis
pada analgesi supraspinal dan spinal. Reseptor µ1 memerantai analgesia, euphoria,
dan rasa tenang. Reseptor µ2 menyebabkan hipoventilasi, bradikardia, pruritus,
penglepasan prolaktin, dan ketergantungan fisis. Reseptor opioid yang telah
teraktifasi menghambat pengeluaran presinaptik dan postsinaptik terhadap excitatory
neurotransmitter (acetylcholine). Transmisi dari rangsang nyeri diinterupsi pada
tingkat dorsal horn dari spinal cord. Fentanyl secara tunggal ditransformasi di hepar.

Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena


itu hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.

Dosis besar 50-75 ug/kgBB digunakan untuk induksi anestesia dan


pemeliharaan anestesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis
rendah, pada bedah jantung. Untuk dosis maintenance dapat digunakan 2-10
ug/kgBB/jam.

Efek pada fentanyl pada organ tubuh :

 Kardiovaskuler
o Opioid tidak terlalu memperngaruhi tekanan darah kecuali pada dosis
yang sangat tinggi. Dalam hal ini dapat terjadi hipotensi dan
bradikardia. Tekanan serebrospinal dapat meningkat karena
vasodilatasi pembuluh serebral akibat depresi pernapasan dan retensi
CO2.
 Respiratori
o Golongan opioid dapat membuat depresi nafas oleh efek penurunan
laju nafas dengan cara menurunkan sensitivitas neuron pusat
pernapasan terhadap CO2. Depresi nafas terjadi setelah mencapai
kadar tertentu dan akan meningkat dengan peningkatan dosis. Efek
depresi nafas lebih sering tampak pada wanita. Tidak seperti morphine
dan meperidine yang dapat memicu pengeluaran histamine, fentanyl
berbeda sehingga tidak berefek spasme bronkus. Fentanyl dapat
memicu kekuatan dinding dada sehingga mengurangi ventilasi nafas
yang adekuat.
 Serebral
o Pada golongan opioid secara keseluruhan menimbulkan penurunan
konsumsi oksigen di otak, penurunan aliran darah otak, dan tekanan
intracranial, walaupun efeknya lebih minimal dibandingkan golongan
barbiturates ataupun benzodiazepine. Opioid juga memiliki efek EEG
yang minimal bila diberikan pada dosis tinggi sehingga timbul efek
kejang dan kekakuan otot. Euforia yang ditimbulkan opioid adalah
akibat stimulasi dari tegmentum ventral.
 Gastointestinal
o Opioid menurunkan kecepatan pengosongan lambung oleh karena
penurunan peristaltic, sehingga dapat menghilangkan diare. Selain itu
pada cholangiography akan susah dilakukan oleh kontraksi sphincter
of Oddi, sehingga perlu diberikan naloxone. Pada pemakaian jangka
panjang, opioid dapat menyebabkan konstipasi. Opioid dapat
menyebabkan mual muntah karena menstimulasi secara langsung
chemoreceptor trigger zone (CTZ) pada area postrema yang
menyebabkan muntah.
Ketamine

Ketamin adalah derivate penylcyclidine. Ketamin terkenal sebagai obat yang


dapat menimbulkan kataleptik atau anesthesia disosiatif, dimana setelah induksi mata
pasien tetap terbuka dengan tatapan nistagmus yang lambat. Ketamine mempunyai
efek depresi pernapasan yang minimal. Ketamin dimetabolisme di hati oleh enzim
P450, lalu mengalami hidroksilasi dan konjugasi kemudian diekskresikan melalui
urin. Ketamine tidak terlalu menekan refleks, sehingga lakrimasi dan sekresi jalan
nafas meningkat. Premedikasi dengan antikolinergik dapat diberikan untuk
menghambat efek tersebut.

Induksi dengan ketamin dilakukan dengan dosis 1- 2 mg/kgBB i.v atau 4-6
mg/kgBB i.m. Ketamin tidak umum digunakan sebagai dosis maintenance, biasanya
dikombinasikan dengan N2O. Namun apabila digunakan sebagai maintenance
tunggal, digunakan dosis 30-90 mcg/kg/min.

Efek ketamine pada organ tubuh:


 Sistem Saraf Pusat
o Ketamin adalah vasodilator yang dapat meningkatkan aliran cairan
serobrospinal. Maka dari itu, penggunaan ketamin sebaiknya
dihindari pada pasien dengan patologi intracranial, terutama pada
kenaikan tekanan intracranial. Dapat digunakan sebagai anti
konvulsan
 Kardiovaskular
o Ketamin dapat menghasilkan kenaikan signifikan pada tekanan darah,
nadi, dan curah jantung, dengan mediasi saraf simpatis. Ketamin
adalah depresan kerja jantung, sehingga tidak dapat digunakan pada
pasien krtis dimana tidak dapat meningkatkan aktifitas simpatisnya.
 Respirasi
o Ketamin tidak terlalu mendepresi kerja pernapasan. Ketika digunakan
sebagai obat induksi tunggal, respons hypercapnia baik dan analisa
gas darah stabil. Ketamin mempunyai sifat merelakskan otot polos
sehingga risiko terhadap laringospasm kecil, maka baik digunakan
pada pasien dengan bronkokonstriksi.
Propofol

Propofol (2,6-diisopropylphenol) menjadi sangat terkenal digunakan dalam


anestesi intravena. Propodol merupakan obat yang sering digunakan diluar kamar
operasi, seperti di ruang emergency atau radiologi intervesi. Propofol digunakan
untuk induksi serta rumatan pada TIVA dan kombinasi dengan anestesi inhalasi, serta
menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk operasi rawat jalan. Propofol memiliki
mekanisme kerja yang memfasilitasi inhibitory neurotransmitter yang dimediasi oleh
reseptor ϕ GABAA. Propofol tidak larut dalam air, dan dilarutkan dalam emulsi 10%
minyak kedelai, 2.25% glycerol, dan 1.2% lesitin telur. Larutan ini membuat sediaan
propofol harus menggunakan teknik sterilisasi yang baik karena merupakan media
pertumbuhan yang baik untuk bakteri. Namun untuk sediaan yang baru, propofol
mengandung 0.005% disodium edetade atau 0.025% sodium metabisulfite untuk
mengatasi tingkat pertumbuhan mikroorganisme. Penggunaan juga harus diperhatikan
pada orang dengan alergi telur.

Propofol memiliki waktu paruh distribusi sekitar 2-8 menit dan


terdistribusikan kembali 30-60 menit. Obat ini dengan cepat dimetabolis di hati
sepuluh kali lebih cepat daripada thiopental. Propofol dieksresi di urin. Ekskresi
propofol yang cepat dari plasma membuat efek pemulihan yang cepat dibandingkan
dengan barbiturat.

Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit infuse. Dosis


sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis
untuk induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang diberikan
untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bias secara suntikan
bolus intravena atau secara kontinu melalui infuse, namun kecepatan pemberian harus
lebih lambat daripada pemberian pada orang dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada
pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih
lambat.

Efek propofol pada organ :

 Respiratori
o Propofol mendepresi kerja pernapasan dan dapat menyebabkan apnea.
Propofol menghilangkan respons ventilasi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia. Propofol membuat depresi reflex jalan nafas atas daripada
thiopental sehingga memudahkan untuk memfasilitasi nafas dengan
intubasi ataupun LMA. Propofol tidak menyebabkan perubahan pada
bronkus, sehingga cocok pada pasien asma.
 Kardiovaskuler
o Propofol membuat efek penurunan tekanan arterial yang signifikan
karena vasodilatasi, secara tidak langsung mendepresi kardiovaskular.
Vasodilatasi membuat venous return menurun sehingga preload dan
afterload menurun. Bolus yang cepat akan memediasi hipotensi.
Propofol menghambat respons barorefleks dan membuat sedikit
peningkatan nadi, yang akan memperburuk efek dari hipotensi. Pada
orang tua dapat menyebabkan bradikardi yang dalam sampai asistol,
sehingga profilaksis antikolinergik diperlukan. Pada pemberian bolus,
sering menimbulkan rasa perih pada vena yang diinjeksi, namun hal
tersebut dapat diatasi dengan pemberian Lidocaine terlebih dahulu
dengan dosis 20-50 mg.
 Serebral
o Propofol membuat efek hipnotik dan tidak ada efek analgesik.
Propofol juga menurunkan aliran darah otak, tekanan intracranial, dan
intraokular. Bila dikombinasikan dengan agen vasodilator perifer,
dapat menyebabkan iskemik di otak. Pada konsetrasi 200mg/mL
propofol memiliki efek antiemetic. Propofol juga menurunkan tekanan
intraocular.
 Sistemik
o Propofol mempunyai efek anti emetik dan tidak mengganggu kerja
obat relaksan.

Terapi Cairan

M (Maintenance)

4 ml/ 10kgbb  4 ml x 10

2 ml/ 10kgbb  2 ml x 10

1 ml/ sisa kgbb  1 ml x sisa kg bb pasien

Total maintenance cairan 113 ml

O (Operasi)

4 x kgbb pasien  operasi kecil


6 x kgbb pasien  operasi sedang

8 x kgbb pasien  operasi besar

P (Puasa)

Lama puasa x M

Total cairan yang dibutuhkan:

Jam pertama  M+O+½ P

Jam kedua  M+O+¼ P

Jam ketiga  M+O+¼ P

Jam keempat  M+O

2.2 Subdural Hematoma


Anatomi
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.

B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapatmelukai bagian dasar otak
saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi
atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena
yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah
atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosatemporalis (fosa media).
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis.4 Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat
cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk
kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.

D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat padaorangdewasa
sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum

retikular yang berfungsi


dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral
melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat
menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per
hari.
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya
yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis
1. Definisi
Hematoma adalah sekelompok sel darah yang telah mengalami ekstravasasi,
biasanya telah menggumpal, baik di dalam organ, interstitium, jaringan dan otak.
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam
bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang
tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea sehingga
menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam bentuk kronik,
hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung,
umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses
bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-
tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.
2. Epidemiologi
Hematom subdural yang akut jarang terjadi. Literatur tentang laporan kasus
sporadic sangat terbatas. Kasus ini sering mempunyai suatu sumber arteri, karena
mereka biasanya dihubungkan dengan keadaan patologis yang sama seperti yang
terjadi pada perdarahan subaraknoid dan perdarahan intraserebral. Darah dari ruptur
aneurisma bisa masuk memotong melalui parenkim otak atau ruang subaraknoid.
Nyatanya, kasus telah dilaporkan mengenai suatu hematom subdural akut yang
dicetus dengan penyalahgunaan kokain. Suatu penelitian retrospektif melaporkan
bahwa 56% dari kasus pada pasien dalam kelima dan decade ketujuh. Penelitian lain
mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pqada pasien >60
tahun . Insiden yang tertinggi dari 7,,35 per 100.000 terjadi pada remaja dengan umur
10-19 tahun. Rata-rata mortalitas pada pasien dengan hematom subdural akut
dilaporkan berkisar 30-90 %, tetapi sekitar 60% adalah tipikal . Rata-rata morbiditas
dan mortalitasnya dihubungkan dengan pengobatan secara pembedahan dari hematom
subdural kronik, telah diperkirakan berkisar 11% dan 5% secara berurutan. Hematom
subdural dapat terjadi pada semua umur
3. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Hemoragi subdura biasanya disebabkan oleh sobeknya vena di tempat vena
itu melalui rongga subdura. Gerak otak depan relatif terhadap dura dengan mendadak,
dapat terjadi setelah mendapat pukulan yang tidak mengakibatkan fraktur tengkorak.
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun
traumanya mungkin tidak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap
oleh anamnesis. Yang seringkali berdarah ialah bridging veins, karena tarikan ketika
terjadi pergeseran rotatorik otak.
Subdural merupakan lapisan sebelum dura ( duramater adalah membran
pembungkus terluar dari otak ). Subdural hematom terjadi ketika darah vena yang
berlokasi antara lapisan pembungkus otak ( meningen ) ditemukan darah setelah head
injury pada kepala. Subdural hematom timbul ketika vena-vena yang berjalan antara
dura dan permukaan otsk pecah dan mengeluarkan darah. Pengumpulan darah
kemudian terbentuk diatas permukaan otak. Pada pengumpulan subdural kronik,
darah yang berasal dari vena-vena berjalan lambat. Ini dapat terjadi karena head
injury atau frekuensi kurang, itu dapat terjadi spontan jika pasien agak tua. Hematom
subdural kronik biasanya dihubungkan dengan atropi serebral. Vena batang kortek
diperkirakan tekanannya menjadi lebih rendah sebagaimana penyusunan otak yang
berangsur-angsur dari tulang tengkorak, bahkan trauma minor bisa menyebabkan satu
dari vena menjadi bocor. Perdarahan yang lambat dari sistem vena yang bertekanan
rendah sering bisa memperbesar bentuk hematom sebelum nampak tanda-tanda
klinis. Hematom subdural yang kecil sering diabsorbsi secara spontan. Kumpulan
yang besar dari darah subdural sering mengatur dan membentuk membran vaskuler
yang menyelubungi hematom subdural. Perdarahan kecil yang berulang , vena
bersama dengan membran ini bertanggung jawab terhadap perluasan dari beberapa
hematom subdural
Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
· Trauma kapitis
· Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
· Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah
terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada
orangtua dan juga pada anak – anak.
· Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
· Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
· Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
4. Patofisiologi
Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid,
kedalam rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak
(hemoragi ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri. Putusnya vena-vena
penghubung ( bridging veins ) antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali
terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin terdapat sedikit
darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena anak-anak memiliki vena-
vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena memiliki vena-vena
penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih besar. Perdarahan
subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan
sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena
perdarahan subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena
tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan
reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap
meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan
kecil, yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian
bisa terulang lagi timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural
yang penuh dengan cairan dan sisa darah (higroma).
Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan satu dari tiga
mekanisme. Perdarahan yang terjadi akibat rusaknya arteri kortikal (termasuk
epidural hematom), perdarahan dari rusaknya dasar parenkim, dan kebocoran
pembuluh darah dari korteks terhadap satu dari aliran sinus venosus.
Pada semua kasus , pergerakan sagital dari kepala bisa dihasilkan dengan
suatu akselerasi angular (kaku ) yang menyebabkan ruptur batang vena parasagital
dan suatu hematom subdural yang berat. Gennereli dan Thibault menggambarkan
bahwa rata-rata akselerasi dan deselerasi dari kepala merupakan factor utama
kegagalan vena
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya
araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak,
sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang
terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka
menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut
menyerupai hematoma epidural.
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair
dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti
tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil
sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada
vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang
rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala
klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang
spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran
vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari
pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh
darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan
volume dari perdarahan subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks
dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini
peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan
intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai
pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan
terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau
subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh
batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan
supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah
ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak
yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu
teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair
sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari
subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam
kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang
mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada
kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa
tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti
hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan
berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor
angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural
kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi
di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level
abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
5. Klasifikasi
a. Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1) Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam – jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan
lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya.
Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.
2) Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 – 14 hari sesudah trauma.
Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah .
Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi
isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari
hemoglobin.
3) Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan
kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun
bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya
terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga
mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa
menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan
herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah
permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah
dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini
dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap
cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan
gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai
pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi hipodens.
b. Berdasarkan pada arsitektur internal dan densitas tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dibagi menjadi 4 kelompok tipe, yaitu :
1. Tipe homogen ( homogenous)
2. Tipe laminar
3. Tipe terpisah ( seperated)
4. Tipe trabekular (trabecular)
Tingkat kekambuhan pada tipe terpisah adalah tinggi sedangkan pada tipe
yang trabekular adalah rendah. Pada perdarahan subdural kronik diyakini bahwa pada
awalnya dalam bentuk homogen, kemusian seringkali berlanjut menjadi bentuk
laminar. Sedangkan pada subdural kronik yang matang, diwakili oleh stadium
terpisah dan hematomnya terkadang melalui stadium trabekular selama penyerapan.
c. Sedangkan berdasarkan perluasan iutrakranial dari tiap hematom, perdarahan
subdural kronik dikelompokkan menjadi 3 tipe yaitu:
1. Tipe konveksiti ( convexity).
2. Tipe basis cranial ( cranial base ).
3. Tipe interhemisferik
Tingkat kekambuhan perdarahan subdural Kronik tipe cranial base adalah
tinggi, sedangkan kekambuhan tipe convexity adalah rendah. Pengelompokan
perdarahan subdural kronik berdasarkan arsitektur internal dan perluasan intra kranial
ini berguna untuk memperkirakan resiko terjadinya kekambuhan pasca operatif.
6. Manifestasi Klinis
Dalam latent interval kebanyakan penderita hematom subdural mengeluh
tentang sakit kepala dan pening, seperti umumnya penderita kontusio serebri juga
mengeluh setelah trauma kapitis. Tetapi apabila disamping itu timbul gejala-gejala
yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, baru pada saat itu
timbulnya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa
kesadaran yang makin menurun, “organic brain syndrom”, hemiparesis ringan,
hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema.
Gejala umum yang dapat tampak adalah :
1. Penderita mengeluh sakit kepala yang semakin bertambah terus.
2.Tampak ada gangguan psikik.
3. Setelah beberapa lama tampak kesadaran tambah menurun.
4. Kelainan neurologis yang mungkin tampak adalah hemiparese, bangkitan
epilepsy, dan papiledema.
5. Arterigrafi karotis dapat memperlihatkan adanya perpindahan ( shift ) dari
a.perikallosa ke sisi kontralateral, sedangkan di tempat lokasi dari hematom
subdural sendiri akan tampak suatu daerah bebas kontras yang berbentuk
bifocal.
6. CT-Scan akan dapat memperlihatkan hematom tersebut dengan baik.
Pada 75% kasus, sakit kepala timbul dengan gejala-gejala paling kurang satu dari
karakteristik berikut ini : onsetnya tiba-tiba, nyerinya berat, nausea dan muntah-
muntah dan eksaserbasi batuk, ketegangan otot atau latihan. Gejala umum lainnya
adalah kelemahan, kejang-kejang, dan inkonntinensia. Hemiparesis dan penurunan
kesadaran merupakan tanda yang paling sering terjadi. Hemiparesis terjadi ipsilateral
dengan hematom pada 40% kasus
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48
jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan
neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang
otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang
otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya
kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut,
hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala
yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik
yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-
lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari
kompresi batang otak.
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu
vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam
ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi
oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik
cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma.
Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan
tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada
usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini,
cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
7. Diagnosis
Penegakkan diagnosa subdural hematom kronis tidaklah gampang. Gejala-
gejalanya sangat menyerupai gejala suatu tumor serebri. Hematom subdural kronis itu
terletak antara duramater dan araknoid. Ia dapat menyerap cairan dari sekitarnya
sehingga lama kelamaan akan bertambah besar. Simptomatologinya sangat
menyerupai gejala suatu tumor serebri. Trauma kapitisnya sendiri begitu ringan.
Sehingga dapat terjadi bahwa si penderita sendiri tidak ingat lagi tentang kapan dan
dimana kepalanya terbentur. Trauma kapitisnya tidak menimbulkan kesadaran
menurun.
Pemeriksaan neurologik yang awal menyediakan suatu garis dasar yang penting yang
harus digunakan untuk memfollow-up perjalanan klinis pasien. Jika dicatat dalam
bentuk score GCS, ia juga memberikan informasi prognostic yang penting.
Pasien dengan cedera kepala yang serius sering di intubasi dengan cepat dan
diberikan perawatan yang diorientasi pada trauma. Namun karena prognostiknya
yang signifikan, pemeriksaan neurology yang singakat diukur dengan menggunakan
GCS yang merupakan komponen penting dari penilaian skunder dan memerlukan
waktu kurang dari 2 menit untuk menyempurnakannya.
Lihat tanda-tanda dari fraktur tulang tengkorak basilar. Ini termasuk ekimosis
bilateral (mata racoon) dan ekimosis retroaurikuler. Area di sekitar laserasi harus
dicukur dan di inspeksi. Pasien dengan cedera kepala yang berat harus dinilai cedera
kepala tulang servikal (C-spine); immobilisasi pasien sampai penelitian klinis dan
penelitian radiografik dapat dibuktikan sebaliknya
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Hematom subdural akut tampak sebagai
suatu hiperdense, konkaf terhadap otak, dan garis suturanya tidak jelas, berbeda
dengan hematom epidural dimana konveks tehadap otak dan garis suturanya berbatas
jelas.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
6. Pemeriksaan Laboratorium
- Prevalensi abnormalitas koagulasi telah lama dikenali pada pasien cedera
kepala. Abnormalitas ini dipercaya akibat pelepasan dari bahan-bahan
tromboplastik oleh kerusakan jaringan otak.
- Pada suatu ulasan 253 pasien dengan cedera kepala yang memerlukan
pemeriksaan CT-Scan, resiko perkembangan otak yang lambat seperti yang
terlihat pada CT-Scan meningakt dari 31% pada pasien dengan koagulasi.
Reperensi rata-rata hampir 85% pada pasien dengan penemuan abnormal
terhadap protrombine time (PT), activated Partial Thromboplastin Time
(aPTT), atau hitung platelet.
- Fresh frozen plasma atau platelet sebaiknya diberikan jika perlu, menunggu
hasil dari penelitian ini sebaiknya tidak menunda pembedahan darurat.
- Produk-produk darah dapat diberikan secara intraoperatif untuk
memperbaiki parameter pembekuan. Abnormalitas elektrolit dapat
mengeksaserbasi cedera kepala dan sebaiknya dikoreksi dengan suatu alat
penghitung waktu.
7. MRI merupakan suatu alternatif yang ada yang mampu menggambarkan CSDH
dengan jelas.
8. Serial C-Spine X-Ray penting dalam mengevaluasi kemungkinan adanya fraktur
C-Spine yang menyertai.
8. Penatalaksanaan
Seperti halnya pasien pada setiap trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (Airway,
Breathing, Circulation ).
- Semua pasien dengan score GCS < 8 harus diintubasi untuk membebaskan jalan
nafas.
- Lakukan pemeriksaan neurologis yang jelas. Respirasi yang adekuat harus
dilaksanakan pada awalnya dan dipertahankan untuk menghindari terjadinya
hipoksia. Hiperventilasi dapat dilaksanakan jika terjadi sindrom herniasi.
- Tekanan darah harus dipertahankan pada keadaan normal atau pada level yang
tinggi dengan menggunakan salin isotonic dan/alat pressor.
- Sedatif short acting dan obat-obat paralitik harus digunakan hanya jika perlu untuk
memudahkan ventilasi yang adekuat.
- Jika diduga terjadi peningkatan tekanan intrakranial atau memperlihatkan gejala
sindrom herniasi, maka berikan manitol 1 g/kg dengan cepat secara IV.
- Berikan obat-obat antikonvulsan untuk mencegah iskemik yang diinduksi serangan
dan rangkaian kejang dalam tekanan intrakranial.
- Jangan berikan steroid, seperti yang telah mereka temukaN dimana tidak efektif
pada pasien dengan cedera kepala.
Hematom subdural kronik simptomatik ditangani secara pembedahan. Craniotomy
merupakan pilihan yang valid. Namun drinase burr hole dan twist drill craniotomy
kurang invasive dan mempunyai tampakan yang sama-sama efektif.
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a. Hiperventilasi, bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah
vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler, umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus
untuk “menarik” air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian
dikeluarkan melalui diuresis.
c. Kortikosteroid, penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah
otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat, digunakan untuk mem”bius” pasien sehingga metabolisme otak
dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.
a) Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B6) yang dikatakan
mengaktivasi metabolisme otak dan memperbaiki struktur serta fungsi membran sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak dianjurkan
pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
b) Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA – suatu neurotransmitter penting di
otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/ hari intravena.
c) Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak. Lecithin
sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam otak.
Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering adalah reakumulasi hematom, perdarahan
intraserebral yang disebabkan oleh pergeseran atau irigasi drainase tube yang salah,
pneumoencepalus tension, seizure dan empyema subdural .
- Karakteristik dari sindrome herniasi bisa terjadi selama terjadi pergeseran
otak. Seperti halnya lobus temporal medial, atau uncus, herniasi melewati
tentorium. Ini dapat menekan arteri cerebral poaterior ipsilateral, nervus
okulomotorius, dan pedunkulus serebri. Secara klinis rangkaian kelumpuhan
nervus okulomotorius dan kompresi pedunkulus serebri sering bermanifestasi
sebagai dilatasi pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
- Pasien bisa juga menderita stroke dari distribusi arteri cerebral posterior.
Hampir 5% kasus, hemiparesis bisa ipsilateral dengan dilatasi pupil.
Fenomena ini disebut sebagai fenomena Kernohan Notch Syndrome dan
terjadi jika herniasi unkus menekan otak tengah bergeser sehingga pedunkulus
serebri kontralateral ditekan melawan incisura tentorial kontralateral.
10. Prognosis
Tidak ada prognostic yang jelas yang dihubungkan dengan hematom subdural
kronik. Sementara beberapa pengarang telah menemukan suatu hubungan dengan
tingkat preoperative dari fungsi neurologis dan hasil akhir, yang lain tidak. Diantara
86% dan 90% pasien dengan CSDH diobati dengan adekuat setelah prosedur
pembedahan.
Rata-rata mortalitas dikeseluruhan seri adalah 50%. Rata-rata mortalitas untuk
semua dari 37 pasien dengan score GCS 3 adalah 100% dan rata-rata mortalitas
dihubungkan dengan nonreaktif pupil sebelah yaitu 48%, dengan nonreaktif pupil
bilateral 88%, yang sangat menarik, rata-rata yang bertahan hidup pada pasien dengan
nonreaktif pupil bilateral adalah 12% meskipun hasil akhirnya tidak dicatat
BAB V

ANALISA KASUS

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pasien datang dengan sakit kepala sejak 2 minggu dan semakin memberat 3
hari SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan seperti tertusuk-tusuk. Nyeri tidak
berkurang walaupun pasien minum obat anti nyeri. keluhan disertai dengan
kelemahan anggota gerak sebelah kiri. Sehingga pasien hanya berbaring di tempat
tidur. Demam (-), mual (-), muntah (-). BAB dan BAK dalam batas normal. ± 2 bulan
yang lalu pasien memiliki riwayat jatuh di kamar mandi. Dan kepala pasien terbentur.
Riwayat keluar darah dari hidung (+).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan anggota gerak bagian kiri, dan
suara napas tambahan berupa rhonki dikedua lateral paru. Pemeriksaan penunjang
dilakukan foto thorax dan foto rontgen. Foto thorax os, jantung: kardiomegai dan
paru bronkopneumonia. Pada hasil CT-Scan adalah Adanya EDH pada frontalis,
temporalis dan parietal dextra.

Kunjungan Pra Anestesi

Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi,


untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan anestesi yang
dilakukan. Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang keadaan pasien
secara umum, keadaan fisik dan mental penderita. Dimana didapatkan keadaan pasien
secara umum baik.

Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of Anesthesiologists


(ASA) yaitu:

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia


Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan


hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien Tn. Z


merupakan ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan atau sedang.

Pemilihan Jenis Anestesi

Anestesi untuk tindakan pada pasien ini menggunakan general anastesi


dengan teknik total intravena anestesi (TIVA) yaitu suatu teknik anestesi umum
dimana seluruh obat dimasukan melalui jalur intravena, mulai dari pre-medikasi,
induksi serta rumatan anestesi, tanpa menggunakan zat inhalasi

Premedikasi

Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan,


dengan tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragama,
diantaranya :

- Mengurangi kecemasan dan ketakutan


- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu ondancetron 4mg
(golongan antiemetik) dan untuk mengurangi mual dan muntah pasca pembedahan.
Mekanisme kerja obat ini adalah mengantagonisasi reseptor 5HT-2 yang terdapat
pada Chemoreseptor Trigger Zone di area postrema otak dan pada aferen vagal
saluran cerna, Ondancentron juga mempercepat pengosongan lambung, mual dan
muntah pasca pembedahan. Ranitidine 50 mg (golongan antagonis reseptor H2
Histamin) tujuannya yaitu untuk mencegah pneumonitis asam yang disebabkan oleh
cairan lambung yang bersifat asam dengan PH 2,5. Untuk meminimalkan kejadian
tersebut dipilihlah antagonis reseptor H2 Histamin.

Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan waktu
pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat 1-2 jam
sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit sebelum
dilakukan total intravena anestesi.

Induksi Anestesi

Induksi anestesi yang diberikan total intravena anestesi (TIVA) yaitu Fentanyl
100 µg , dan midazolam 2 mg. Pemilihan obat ini dikarenakan sebagai berikut:
Fentanil merupakan opioid yang poten dan bersifat lipofilik yang memungkinkan
masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Fentanyl bersifat depresan
terhadap saraf pusat , pernapasan, menekan respon sistem hormonal dan metabolik
akibat stress anestesia dan pembedahan, namun tidak mempengaruhi sistem
kardiovaskular. Pada pasien ini fentanyl digunakan sebagai analgestic opioid yang
dalam, dipilih karena onsetnya cepat, sifat analgetik yang kuat sampai dengan 100x
morfin, durasi analgesi dari fentanyl yang singkat tidak dipermasalahkan karena
operasi berlangsung singkat. Konsentrasi fentanyl 10 mcg/ml, dosis : 1-2 mcg/kg BB
IV.

Midazolam Merupakan obat yang mampu mendepresi susunan saraf pusat.


Efek midazolam yang paling penting adalah efek hypnosis dan sedative, serta efek
amnesia. Golongan benzodiazepine ini menurunkan konsumsi oksigen pada otak,
sirkulasi darah di otak, dan tekanan intra kranial. Midazolam sangat baik dalam
pencegah dan mengkontrol kejang grand mal. Efek anti cemas, amnesia, dan sedative
dapat terlihat pada dosis rendah, menuju ke keadaan stupor dan ketidaksadaran pada
dosis induksi.
Waktu paruh distribusi 7 – 15 menit, dan waktu paruh eliminasi 2 – 4 jam.
Potensi yang tinggi dan waktu aksi yang lebih pendek membuat midazolam menjadi
pilihan yang baik untuk digunakan. Midazolam ditransformasikan dan dieksresi
melalui urin. Metabolisme dilakukan di dalam hepar. Pada pasien dengan gagal
ginjal, fungsi kerja sedasi pada midazolam relative lebih panjang oleh adanya
akumulasi dari α-hydroxymidazolam.

Monitoring Intraoperatif

Pada pasien dengan anestesi umum, maka perlu dilakukan monitoring


tekanan darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan tekanan
darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan darah sebesar
20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Meskipun midazolam memunculkan
efek minimal pada depresi kardiovaskuler, depresi respon ventilasi, namun dapat
menyebabkan takikardi karena menurunnya tonus vagal (drug-induced vagolysis),
dan dapat menyebabkan kegawatdaruratan napas.

Terapi cairan

Pasien mengaku puasa sejak pukul 02.00 wib. Pemakainan infus RL


digunakan untuk melakukan penggantian cairan selama puasa,sehingga pasien tidak
mengalami dehidrasi. Tujuan puasa pada pasien yang akan operasi karena reflex
laring yang mengalami penurunan selama operasi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien-pasien
yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua passion yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan
oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam
batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid secara
intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang pindah
ke ruang ketiga.

Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam,


jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.

Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL 500 mL dan RL
sebanyak 500 ml sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum ± 8 jam. Karena pada pasien ini
operasi memakan waktu 40 menit, maka pemberian 1000 ml kristaloid selama operasi
sudah mencukupi kebutuhan cairan pasien.

Perhitungannya meliputi: Output : Perdarahan ± 40 cc

Kebutuhan cairan pasien ini;


BB = 65 Kg

 Maintenance (M) = 2 cc/kgBB


= 2 cc x 65
= 130 cc

 Pengganti Puasa (P)


P = 6 x M Pasien puasa dari jam 02.00, operasi pukul 09.35
= 6 x 130
= 780 cc
 Stress Operasi (O)
O = BB x 6 cc (Operasi Sedang)
= 65 x 6 cc
= 390 cc

Kebutuhan cairan selama operasi


Jam I = ½ (P) + M + O
= ½ (780) + 130 + 390
= 910 cc
Jam II = ¼ (P) + M + O
= ¼ (780) + 130 + 390
= 715 cc

 Cairan maintanance: 2 x 65 = 130 ml/jam


 Jumlah cairan pengganti selama operasi : 6 ml x 65 kg = 390 ml
 Kebutuhan cairan selama 1 jam pertama operasi :
½ (780) + 130 + 390 = 910 cc

 Kebutuhan cairan selama 1 jam kedua operasi : ¼ (780) + 130 + 390 = 715 cc
 Jumlah perdarahan selama operasi ± 40 ml
Selama operasi diberikan resusitasi cairan pertama ringel laktat 500 ml +
ringer laktat yaitu 500 ml. Jumlah cairan yang diberikan sudah dapat menggantikan
hilangnya cairan yang terjadi pada pasien.

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Diruang inilah
pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. Pada saat di RR
dilakukan monitoring terhadap kesadaran, dan tanda-tanda vital pasien. pasien dapat
keluar dari RR apabila sudah mencapai skor alderete lebih atau sama dengan 8.

Pada orang dewasa, maka skor yang dipakai adalah alderete score, yaitu :

 Warna
 Merah muda 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
 Pernafasan
 Dapat bernafas dalam dan batuk 2
 Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
 Apneu 0
 Sirkulasi
 TD menyimpang < 20% 2
 TD menyimpang 20-50% dari normal 1
 TD menyimpang >50% dari normal 0
 Kesadaran
 Sadar, siaga dan orientasi 2
 Bangun namun cepat kembali tidur 1
 Tidak bereaksi 0
 Aktivitas
 Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
 Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
 Tidak bergerak 0

Jika jumlah ≥ 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

Pada pasien ini didapatkan skor alderete ≥ , namun memerlukan


pemantauan intensif sehingga pasien ini dipindah rawat ke ICU.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi, 2nd ed. Jakarta: RSCM;
2012.
2. Miller RD. Anesthesia 5th ed Churchill Livingstone Philadelphia. 2000
3. Benito MC, Gonzalez-Zarco LM, Navia J. Total intravenous anesthesia in
general surgery. Rev Esp Anestesiol Reanim. 1994;41:292–5
4. Bajwa SJ, Kaur J. . Comparison of two drug combinations in total
intravenous anesthesia: Propofol–ketamine and propofol–fentanyl 2010; 4(2):
72-79. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2945518/?
report=classic
5. Yuil G, Simpson G. . An Introduction to Total Intravenous Anesthesia 2002;
2(): 24-26. http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/2/1/24.full.pdf+html
6. Guarracino F, Volpe L, Danella A, Doroni L. Target Controlled Infusion.
2005; 71(): 335-337. Available from:
http://www.minervamedica.it/en/getfreepdf/Ik2ynKaiZKmN1PRJK
%252FXe2TMKi6fy7NwzHMgl2syFYIkMIDPV
%252FW8TEd9RK4Jq6pAQHz2oMDS%252FOkDGU%252FKgORIzYA
%253D%253D/R02Y2005N06A0335.pdf
7. John Sandham. Total Intravenous Anesthesia.
http://www.ebme.co.uk/articles/clinical-engineering/95-total-intravenous
8. Bispectral Index (BSI). http://www.frca.co.uk/article.aspx?articleid=100502
9. Tholen RH. Total Intravenous Anesthesia.
http://www.realself.com/article/tiva-total-iv-anesthesia-general-anesthesia-
safer
10. Eikaas H, Raeder J. . Total intravenous anaesthesia techniques for
ambulatory surgery 2009; 22(725-729):

Anda mungkin juga menyukai