Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN STUDI KASUS MINOR

ILMU PENYAKIT MULUT

STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR)

Disusun oleh:

Sari Meliani Sasmi

160112160075

Pembimbing:

drg. Riani Setiadhi, Sp.PM

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2017
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR)

NAMA : SARI MELIANI SASMI


NPM : 160112160075

Bandung, Agustus 2017

Menyetujui:
Dosen Pembimbing

drg. Riani Setiadhi, Sp.PM


NIP. 19541024 198003 2 002

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii


DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................................2
2.1 Status Pasien ..............................................................................................2
2.2 Status Kontrol ............................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................10
3.1 Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) ............................................................10
3.1.1 Definisi .............................................................................................10
3.1.2 Etiologi .............................................................................................10
3.1.3 Klasifikasi ........................................................................................15
3.1.4 Manifestasi Klinis ............................................................................18
3.1.5 Patofisiologi .....................................................................................19
3.1.6 Diagnosis Banding ...........................................................................20
3.1.7 Perawatan .........................................................................................24
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................26
BAB V SIMPULAN .............................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................30

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambaran ulser pada mukosa bibir kanan pasien ............................... 7
Gambar 2.2 Ulser pada mukosa telah sembuh ........................................................ 9
Gambar 3.1 SAR minor (Vivek and Bindu, 2011) ............................................... 16
Gambar 3.4 Ulser traumatik pada lidah ................................................................ 22
Gambar 3.5 Lesi pada herpes labialis rekuren (Greenberg and Glick, 2003) ....... 23

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Ulser atau ulkus adalah suatu kerusakan lapisan epitel berlapis yang

membentuk cekungan dan sering ditemukan di rongga mulut (Regezi et al, 2003).

Ulser yang berulang pada rongga mulut adalah salah satu masalah yang paling

umum dilihat oleh dokter yang mengelola penyakit mukosa rongga mulut. Ada

beberapa penyakit yang harus dimasukkan ke dalam diagnosis banding dari seorang

pasien yang datang dengan riwayat ulser berulang pada mulut, termasuk stomatitis

aftosa rekuren (Glick, 2015).

SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa adanya tanda-

tanda penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling

menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini relatif

ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular, tetapi bagi

orang-orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa

sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan

penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan

patologis dengan gejala klinis yang sama (Scully, 2003).

Makalah ini selanjutnya akan membahas mengenai stomatitis aftosa rekuren

(SAR) pada pasien wanita usia 22 tahun yang datang ke Rumah Sakit Gigi dan

Mulut (RSGM) Unpad. Pasien tersebut mengeluhkan adanya sariawan pada bibir

kanan bawah yang terasa perih dan sakit serta cukup mengganggu saat makan.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Status Pasien

Nama : Nn. HM

Nomor Rekam Medik : 2015-1330x

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 22 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

Status Perkawinan : Belum Menikah

Alamat : Sekeloa, Bandung

Tanggal Pemeriksaan : 19 Desember 2016

Anamnesis

Pasien mengeluh terdapat sariawan di bagian bibir bawah kanan sejak 3 hari

yang lalu. Sariawan menimbulkan rasa sakit dan perih. Rasa sakit semakin parah

saat makan. Tidak ada faktor yang memperingan. Empat hari yang lalu pasien

mengalami kurang tidur dan kelelahan, dan pada malam harinya lupa menyikat gigi

sebelum tidur serta akhir-akhir ini kurang mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-

buahan. Sebelumnya sekitar 2 minggu yang lalu terjadi sariawan namun di lokasi

yang berbeda. Pasien belum menggunakan obat apapun dan ingin sariawannya

diobati.

2
3

Riwayat Penyakit Sistemik

Penyakit Jantung : Disangkal

Hipertensi : Disangkal

Diabetes Mellitus : Disangkal

Asma/Alergi : Alergi obat metoclopramide

Penyakit Hepar : Hepatitis A sewaktu kecil

Kelainan GIT : Disangkal

Penyakit Ginjal : Disangkal

Kelainan Darah : Disangkal

Hamil : Disangkal

Kontrasepsi : Disangkal

Lain-lain : Disangkal

Riwayat Penyakit Terdahulu

Disangkal

Kondisi Umum

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Suhu : Afebris

Tensi : 110/70 mmHg

Pernapasan : 16 x/menit

Nadi : 72 x/menit
4

Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula : Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Submental : Tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Servikal : Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Mata : Sklera non ikterik, konjungtiva non anemis, pupil isokhor

TMJ : Tidak ada kelainan

Bibir : Lip seal (+), kompeten

Wajah : Simetris

Sirkum Oral : Kering, simetris

Lain-lain :-

Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut : Baik Plak (+)

Kalkulus (-) Stain (-)

Gingiva : Tidak ada kelainan

Mukosa Bukal : Terdapat teraan gigitan setinggi dataran oklusal di posterior

pada bagian mukosa bukal kanan dan kiri


5

Mukosa Labial : terdapat lesi ulserasi sebanyak 1 lesi, berwarna putih,

berbentuk oval, ukuran 4x3 mm, dasar datar, kedalaman ± 1

mm, dikelilingi oleh halo eritema

Palatum Durum : sedang, tidak ada kelainan

Palatum Mole : Tidak ada kelainan

Frenulum : Normal

Lidah : Terdapat teraan gigitan di sepanjang lateral lidah kiri dan

kanan

Dasar Mulut : Tidak ada kelainan

Status geligi

UE UE

18 17 16 15 14 13 12 11 21 222 23 24 25 26 27 28

48 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37 38

UE UE

Pemeriksaan Penunjang

Radiologi : Tidak dilakukan

Darah : Tidak dilakukan

Patologi Anatomi : Tidak dilakukan

Mikrobiologi : Tidak dilakukan


6

Diagnosis

1. D/ Stomatitis Aftosa Rekuren

DD/ Ulser traumatik, infeksi virus herpes simplek

2. D/ Cheek biting pada mukosa bukal kiri dan kanan

DD/ Linea alba

3. D/ Crenated tongue pada kedua sisi lateral lidah

DD/ Makroglosia

4. D/ Pulpitis reversibel gigi 17 dan 27

DD/ Pulpitis ireversibel

Rencana Perawatan

Non Farmakologis: KIE, OHI

1. Menjelaskan kepada pasien untuk lebih sering minum air putih dan

mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan

2. Sikat gigi rutin dan menyikat lidah

3. Istirahat yang cukup

Farmakologis

R/ Triamcinolone acetonide 0,1% In orabase tube no I

∫ 3 dd 1 applic part dol

Cara pakai:

1. Ulser dikeringkan dengan cotton bud

2. Aplikasikan selapis tipis obat pada ujung cotton bud hingga rata

3. Diamkan 1-3 menit sebelum beraktivitas


7

Foto Kasus :

Gambar 2.1 Gambaran ulser pada mukosa bibir kanan pasien

2.2 Status Kontrol

Tanggal: 4 Januari 2017

Anamnesis

Pasien telah diinstruksikan untuk mengoleskan Triamcinolone acetonide.

Setelah 3 hari pemakaian obat, sariawan sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Pasien

telah menjalankan intruksi Oral Higiene dengan baik, sehingga keluhan sudah tidak

ada. Sekarang pasien datang untuk dilakukan kontrol.

Pemeriksaan Ekstra Oral

Kelenjar Limfe

Submandibula : Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Submental : Tidak teraba, kenyal, tidak sakit


8

Servikal : Kiri : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Kanan : tidak teraba, kenyal, tidak sakit

Mata : Sklera non ikterik, konjungtiva non anemis, pupil isokhor

TMJ : Tidak ada kelainan

Bibir : Lip seal (+), kompeten

Wajah : Simetris

Sirkum Oral : Kering, simetris

Lain-lain :-

Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut

Debris Indeks Kalkulus Indeks OHI-S : Baik

16 11 26 16 11 26 Stain : -

1 0 1 0 0 0

46 31 36 46 31 36

1 0 0 0 0 0

Gingiva : Tidak ada kelainan

Mukosa Bukal : Terdapat teraan gigitan setinggi dataran oklusal di posterior pada

bagian mukosa bukal kanan dan kiri

Mukosa Labial : Tidak ada kelainan

Palatum Durum : sedang, tidak ada kelainan

Palatum Mole : Tidak ada kelainan

Frenulum : Normal
9

Lidah : Terdapat teraan gigitan di sepanjang lateral lidah kiri dan kanan

Dasar Mulut : Tidak ada kelainan

Hasil Pemeriksaan Penunjang

Tidak dilakukan

Diagnosis

1. D/ Cheek biting pada mukosa bukal kiri dan kanan

DD/ Linea alba

2. D/ Crenated tongue pada kedua sisi lateral lidah

DD/ Makroglosia

Rencana Perawatan

Home care, DHE dan OHI (dilanjutkan)

Foto Kasus :

Gambar 2.2 Ulser pada mukosa telah sembuh


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)

3.1.1 Definisi

SAR adalah suatu kelainan yang ditandai dengan adanya ulser berulang

yang terbatas pada mukosa mulut pada pasien tanpa adanya tanda-tanda kelainan

sistemik lain. Defisiensi hematologi, kelainan imun, dan penyakit jaringan ikat

mungkin menyebabkan ulser yang menyerupai aphtous yang secara klinis mirip

dengan SAR (Glick, 2015).

SAR mempengaruhi sekitar 20% dari populasi umum, SAR diklasifikasikan

berdasarkan karakteristik klinis: ulser minor, ulser mayor (Sutton disease,

periadenitis mukosa nekrotika rekuren), dan ulser herpetiform (Glick, 2015).

SAR pernah diasumsikan sebagai salah satu bentuk infeksi HSV berulang,

dan masih terdapat klinisi kesehatan yang menyebut SAR sebagai “herpes”. Banyak

penelitian yang telah dilakukan selama 40 tahun mengkonfirmasikan bahwa SAR

tidak disebabkan oleh HSV (Glick, 2015).

3.1.2 Etiologi

Etiologi SAR belum diketahui secara pasti, akan tetapi terdapat beberapa

faktor yang diketahui sebagai predisposisi munculnya penyakit ini, diantaranya

adalah genetik, alergi makanan, trauma lokal, gangguan hormonal (berkaitan

dengan siklus menstruasi), stres dan kecemasan, kebiasaan merokok, aktivitas

10
11

mikroorganisme, gangguan immunologi, defisiensi nutrisi, penyakit sistemik, dan

obat-obatan (Guallar, et al.,2014).

1. Genetik

Peningkatan kerentanan terlihat pada anak-anak dengan orang tua yang

positif SAR. Antigen HLA spesifik telah diidentifikasi pada pasien tersebut.

Keluarga yang telah positif SAR cenderung lebih rentan untuk mengalami kondisi

ini. Hal ini terkait dengan adanya agen histokompatibilitas HLA (Ghom, 2010).

2. Alergi makanan

Makanan seperti coklat, kopi, kacang, sereal, almond, strawberi, keju, tomat,

dan gandum (mengandung gluten) pada beberapa orang dapat menyebabkan

timbulnya SAR. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa

akan meradang dan edematous, disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-

gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil. Vesikel ini bersifat sementara dan akan

pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi

SAR (Pratiknyo dan Hendarmin, 2007).

3. Trauma Lokal

Trauma merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ulser pada

pasien dengan SAR (Scully, et al.,2003). Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat

berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan

atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi (Delong dan Burkhart, 2013; Rajendran,

2009).
12

4. Gangguan Hormonal

Pada penelitian yang dilakukan Soetiarto, et al (2009) dikatakan bahwa

progesteron yang kadarnya lebih rendah dari normal memiliki risiko lebih tinggi

pada SAR. Efek progesteron terhadap jaringan periodonsium adalah meningkatkan

produksi prostaglandin (self limiting process), meningkatkan pilomorfonuklear

leukosit, mengurangi efek inflamasi dari glukokortikoid, mengubah sintesis protein

kolagen dan nonkolagen serta metabolisme fibroblas, dan meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah. Pada penderita SAR dengan kadar progesteron yang

rendah maka self limiting process berkurang, polimorfonuklear leukosit menurun,

dan permeabilitas vaskuler menurun. Hal-hal tersebut diduga dapat menyebabkan

lesi SAR yang muncul secara periodik sesuai siklus menstruasi (Soetiarto, et al.,

2009).

5. Stres dan Kecemasan

Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam menghadapi stres,

sehingga didapatkan lagi suatu proses keseimbangan (homeostatis). Salah satu teori

tentang stres dan dampaknya terhadap tubuh telah dikemukakan yaitu General

Adaptation Syndrome (GAS) (Nasution, 2011).

Pada tahap pertama GAS, setiap trauma fisik atau mental yang terjadi akan

memicu sistem imun untuk segera bereaksi dalam menghambat stres. Akibat dari

sistem imun tubuh yang pada awalnya tertekan, tingkat normal daya tahan tubuh

akan menurun sehingga tubuh lebih rentan terhadap infeksi dan penyakit. Jika stres

yang dihadapi ringan dan tidak berlangsung lama, tubuh akan kembali normal dan

pulih dengan cepat (Nasution, 2011).


13

Pada tahap kedua GAS, terjadi resistensi atau adaptasi tubuh akibat dari

stresor yang tidak dapat diatasi. Akhirnya, tubuh beradaptasi terhadap stres dan

cenderung menyebabkan tubuh lebih tahan terhadap penyakit (Nasution, 2011).

Pada tahap ketiga GAS, terjadi kelelahan yaitu tubuh telah kehabisan energi

dan daya tahan tubuh. Tubuh mengalami kelelahan adrenal yang hebat dari segi

mental, fisik dan emosi. Apabila adrenal semakin berkurang, terjadi penurunan

kadar gula darah yang menyebabkan penurunan toleransi terhadap stres, kelelahan

mental dan fisik yang terus berkembang sehingga tubuh tidak berdaya, dan timbul

penyakit. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa pasien dengan stres tingkat

tinggi sering kali ditemukan SAR (Nasution, 2011).

6. Kebiasaan Merokok

Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok. Prevalensi dan

keparahan SAR lebih rendah pada kelompok perokok berat dibandingkan dengan

yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah

berhenti merokok (Scully, et al., 2003).

Beberapa peneliti perrcaya bahwa merokok memiliki peran perlindungan

terhadap terjadinya SAR. Peran perlindungan ini terkait dengan adanya

peningkatan keratinisasi pada mukosa mulut seorang perokok. Lapisan keratin

berperan sebagai perlindungan mekanis atau kimia melawan invasi mikroba atau

trauma. Peningkatan keratinisasi di mukosa mulut membuatnya kurang rentan

terhadap luka ataupun iritasi (Kalpana, 2016).

Beberapa peneliti lain juga percaya bahwa SAR diketahui lebih tidak sering

terjadi pada perokok. Terdapat laporan sebelumnya bahwa nikotin digunakan


14

sebagai pengobatan yang ampuh untuk SAR dan Behcet’s syndrome. Beberapa

memiliki hipotesis bahwa nikotin mungkin merupakan agen yang berperan dalam

mengurangi tingkat prevalensi SAR pada perokok. Nikotin diketahui dapat

mempengaruhi respon imun dalam kondisi inflamasi dengan menginduksi produksi

steroid adrenal melalui melalui sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal dan

mengurangi produksi TNF-α dan interleukin 1 dan 6 melalui efek langsung pada

makrofag. Nikotin juga menurunkan sekresi sitokin proinflamasi (TNF-α dan

interleukin 1 dan 6) dan meningkatkan sekresi sitokin anti-inflamasi (Kalpana,

2016).

7. Organisme Mikroba

Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan

adanya hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR. Setelah

penelitian lebih lanjut dilaporkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai salah satu

bakteri penyebab SAR (Jurge, 2010).

Bentuk L transisional pleomorfik dari Streptococcus α-hemolitik dan

Streptococcus sanguis dikatakan terlibat sebagai agen penyebab SAR ini. Hal ini

dikarenakan adanya peningkatan paparan antigen dari pasein. Agen mikroba lain

yang berperan adalah virus Varicela zoster, adenovirus, dan cytomegalovirus

(Ghom, 2010).

8. Gangguan Immunologi

Ulser aftosa yang besar sering kali ditemukan pada pasien HIV+ dengan CD4

limfosit T di bawah 100 sel/ml serta ditemukan pula pada pasien non HIV akan

tetapi mengalami imunodefisiensi seperti sindrom mielodisplastik, neutropenia


15

jinak, dan bentuk neutropenia lainnya seperti neutropenia siklikal (Scully, et al.,

2003).

9. Defisiensi Nutrisi

Faktor nutrisi yang berpengaruh pada SAR adalah zat besi, vit. B12, dan asam

folat. Pada penelitian, pasien SAR yang diterapi dengan sediaan zat besi, vitamin

B12, dan asam folat menunjukkan adanya perbaikan. Faktor nutrisi lain yang

penting adalah vitamin B1, B2, dan B6. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut

selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan

rekuren berkurang (Nisa, 2011).

10. Penyakit Sistemik

Bagi pasien yang sering mengalami SAR harus dipertimbangkan adanya

penyakit sistemik yang diderita. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan

keberadaan ulser di rongga mulut adalah Behcet’s syndrome, penyakit disfungsi

neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan Sweet’s syndrome (Nisa,

2011).

11. Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen

kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan

seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR (Nisa, 2011).

3.1.3 Klasifikasi

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) dapat dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu SAR

minor, mayor, dan herpetiform (Vivek and Bindu, 2011).


16

1. SAR minor

SAR minor merupakan tipe yang paling sering terjadi, dan ditandai dengan

ulser yang kecil (kurang dari 1 cm) dengan bentuk bulat atau oval, batas jelas,

dangkal, dengan jaringan nekrotik di tengah yang ditutupi oleh pseudomembran

berwarna kuning ke abu-abuan dan biasanya terasa sakit. Tepi dari ulser biasanya

meninggi dan halo eritema. Sebelum ulser muncul, biasanya didahului oleh gejala

prodromal, seperti terasa sakit atau sensasi terbakar. Ulser dan rasa sakit biasanya

akan mereda setelah 3-4 hari, kemudian mulai terjadi re-epitelialisasi dan rasa sakit

berkurang. SAR minor akan sembuh tanpa meninggalkan bekas luka (Vivek and

Bindu, 2011).

Gambar 3.1 SAR minor (Vivek and Bindu, 2011)

2. SAR Mayor

SAR mayor merupakan tipe yang jarang terjadi, dengan faktor insidensi 10-

15% dari semua kasus SAR. Ulser lebih besar (lebih dari 1 cm), lebih dalam, dan

lebih terasa sakit dari tipe minor. SAR mayor sering terjadi pada bibir, palatum

lunak, dan tenggorokan. Gejala prodromal yang sering menyertai tipe ini adalah

demam, malaise, dan disfagia. Ulser dapat bertahan selama 10-20 hari, bahkan

terkadang sampai sebulan. Saat sembuh, SAR mayor akan menimbulkan bekas
17

luka. Lesi ini sering dikaitkan dengan giant aphtae, relapsing aphtae, atau

refractory aphtae, yang sering terdapat pada kondisi immunocompromised (HIV),

dan immune-mediated diseases (celiac disease, Crohn’s disease, cyclic

neutropenia, Behcet’s disease) (Vivek and Bindu, 2011).

Gambar 3.2 SAR Mayor (Vivek and Bindu, 2011)

3. SAR herpetiform

SAR herpetiform juga merupakan tipe yang paling jarang terjadi, yaitu

sebesar 5-10% dari kasus SAR yang terjadi. Tipe ini ditandai dengan ulser yang

banyak (5-100) dengan ukuran kurang dari 5 mm, muncul di berbagai daerah dalam

rongga mulut dan dapat menyatu menjadi ulser besar yang mampu bertahan selama

2 minggu. Biasanya tipe ini sembuh tanpa meninggalkan bekas luka (Vivek and

Bindu, 2011).

Gambar 3.3 SAR Herpetiform


18

3.1.4 Manifestasi Klinis

Episode pertama SAR paling sering dimulai pada dekade kedua kehidupan

dan dapat dipicu oleh trauma ringan, menstruasi, infeksi saluran pernafasan atas,

atau kontak dengan makanan tertentu. Lesi terbatas pada mukosa mulut dan gejala

awal mulai muncul berupa sensasi terbakar dimulai dari 2-48 jam sebelum ulser

muncul. Selama periode awal ini berkembang area eritema lokalisata. Dalam

beberapa jam, sebuah papula putih kecil terbentuk, mengalami ulserasi, dan secara

bertahap membesar selama 48 - 72 jam berikutnya. Lesi tunggal berbentuk bulat,

simetris, dan dangkal (mirip dengan ulser virus), tanpa ada jaringan baru yang

muncul dari vesikel yang pecah (membantu untuk membedakan SAR dari penyakit

dengan ulser iregular seperti EM, pemfigus, dan pemfigoid). Sering terdapat lesi

multipel, tapi jumlah, ukuran, dan frekuensi mereka bervariasi. Mukosa bukal dan

labial yang paling sering terlibat. Lesi kurang umum terjadi pada palatum atau

gingiva yang berkeratin. Dalam SAR ringan, lesi mencapai ukuran 0,3-1,0 cm dan

mulai sembuh dalam waktu seminggu. Penyembuhan tanpa jaringan parut biasanya

selesai dalam 10-14 hari (Glick, 2015).

Kebanyakan pasien SAR memiliki satu sampai enam lesi dalam satu kali

episode dan mengalami beberapa episode dalam setahun. Penyakit ini cukup

mengganggu untuk mayoritas pasien dengan SAR minor, tetapi dapat terasa sakit

yang tak tertahankan pada pasien dengan SAR parah atau tipe mayor. Pada pasien

dengan ulser mayor dapat berkembang lesi yang dalam dengan diameter lebih dari

1 cm dan berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada kebanyakan

kasus SAR parah sebagian besar mukosa mulut dapat tertutup ulser dalam yang
19

luas, terasa sangat sakit, dapat mempengaruhi bicara dan makan. Pasien ini

mungkin akan membutuhkan perawatan rumah sakit untuk pemasukan makanan

melalui intravena dan perawatan dengan kortikosteroid sistemik. Lesi dapat

bertahan hingga berbulan-bulan dan terkadang ada yang salah diagnosa sebagai

karsinoma sel skuamosa, penyakit granulomatosa, atau blistering diseases (Glick,

2015).

Variasi dari SAR yang tidak sering ditemukan adalah tipe SAR herpetiform,

yang biasa tejadi pada orang dewasa. Pada pasien terdapat lebih dari 10 ulser kecil,

yang berukuran >5 mm, tersebar pada bagian besar mukosa mulut (Glick, 2015).

3.1.5 Patofisiologi

Menurut Greenberg dan Glick (2003) beberapa fase perkembangan ulser

adalah:

1. Tahap prodromal

Tahap ini merupakan suatu tahap yang jarang terjadi pada semua pasien.

Tahap ini berlangsung 2-48 jam. Pasien merasakan tidak enak di dalam mulut, dapat

disertai dengan gejala demam seperti malaise.

2. Tahap pre-ulseratif

Pada tahap ini terdapat pembengkakan dan kemerahan pada mukosa.

3. Tahap ulseratif

Pada tahap ini pasien biasanya merasakan adanya nyeri lokal pada mukosa

mulut. Terlihat pula adanya lesi cekung berbentuk bulat atau oval regular dengan
20

margin tajam dan jelas serta dikeliling daerah yang eritem dan odema. Tahap ini

merupakan tahap yang dominan, biasanya terjadi selama 3-4 hari.

4. Tahap penyembuhan

Pada tahap ini pasien merasakan nyerinya sudah berkurang, dan terlihat

adanya pseudomembran serta adanya gambaran granulasi. Tahap ini dapat terjadi

10-14 hari setelah ulser pertama kali muncul.

5. Tahap remisi

Lama pasien melewati masa ini tergantung faktor etiologinya.

3.1.6 Diagnosis Banding

SAR adalah penyebab paling sering dari ulser mulut yang berulang dan

didiagnosis dengan mengekslusikan penyakit lain. Riwayat penyakit dan

pemeriksaan yang rinci dapat membantu membedakan SAR dari lesi akut primer

seperti stomatitis virus atau eritema multiformis, dari lesi kronis multiple seperti

RIH, penyakit jaringan ikat, reaksi obat, dan penyakit kulit lainnya (Greenberg dan

Glick, 2003).

3.1.6.1 Ulser Traumatik

Ulser mulut yang rekuren adalah kondisi yang biasa didapat dari beberapa

etiologi, dan trauma adalah etiologi yang paling sering. Ulser dapat terjadi pada

setiap umur baik laki-laki maupun perempuan. Lokasi terjadinya ulser traumatik

biasanya mukosa labial, mukosa bukal, palatum, dan bagian tepi samping lidah

(Langlais, 2009).
21

Ulser traumatik dapat disebabkan oleh zat kimia, panas, listrik, atau gaya

mekanis. Tekanan dari basis atau sayap gigi tiruan yang tidak sesuai merupakan

sumber terjadinya ulkus dekubitus atau ulser tekanan. Ulkus tropikum atau iskemik

terjadi terutama pada palatum di lokasi dilakukan injeksi. Anestesi dental juga

berperan dalam pembentukan ulser traumatik pada bibir bawah anak-anak yang

menggigit bibirnya setelah perawatan gigi (Langlais, 2009).

Ulser dapat ditimbulkan karena adanya kontak dengan gigi yang fraktur,

cangkolan gigi tiruan parsial, atau mukosa yang tidak sengaja tergigit. Suatu rasa

terbakar dari makanan atau minuman yang terlalu panas biasanya terjadi di palatum.

Gambaran dari ulser traumatik yang disebabkan secara mekanis bervariasi

tergantung pada intensitas dan ukuran agen. Ulser biasanya muncul sedikit cekung

dan berbentuk oval. Awalnya akan ditemukan zona eritematus di bagian tepi, yang

yang akan berkembang karena adanya proses keratinisasi. Bagian tengah ulser

biasanya kuning keabu-abuan (Langlais, 2009).

Ulkus traumatik akibat panas elektrik sering terjadi pada bibir pasien anak

dan ukuran lesinya cukup lebar. Lesi awalnya akan tampak kering, namun dalam

beberapa hari akan tampak krusta disertai dengan perdarahan (Greenberg And

Glick, 2003).

Secara klinis gambaran ulser ini berbeda, tetapi biasanya muncul sebagai

satu ulser yang terasa nyeri dengan permukaan merah halus atau putih kekuningan

dan halo eritematus yang tipis. Ulser ini biasanya terasa lembut saat palpasi, dan

dapat sembuh tanpa meninggalkan bekas luka dalam waktu 6-10 hari, secara

spontan maupun setelah penyebab dihilangkan. Tetapi, ulser traumatik kronis


22

secara klinis dapat menyerupai karsinoma. Lidah, bibir, dan mukoa bukal adalah

lokasi predileksinya. Diagnosis didapat berdasarkan riwayat penyakit dan

gambaran klinis. Namun, jika suatu ulser bertahan hingga 10-12 hari maka haru

dilakukan biopsy untuk mendeteksi kemungkinan kanker (Laskaris, 2006).

Gambar 3.4 Ulser traumatik pada lidah

3.1.6.2 Infeksi Virus Herpes Simpleks Rekuren

Infeksi virus herpes simpleks rekuren yang sering terjadi adalah herpes

labialis, terutama terlihat ketika musim panas (Scully, 2008). Infeksi herpes rekuren

pada mulut dapat terjadi pada pasien yang memiliki riwayat infeksi herpes simpleks

dan memiliki perlindungan serum antibodi melawan infeksi primer eksogen

lainnya. Pada individu sehat, infeksi rekuren ini terbatas pada membran mukosa

(Greenberg and Glick, 2003). Infeksi ini terjadi karena adanya reaktivasi virus

HSV-1 yang biasanya dipicu oleh demam, trauma, dingin, panas, sinar matahari,

stress emotional, dan infeksi HIV (Laskaris, 2006). Faktor predisposisi yang

menyebabkan reaktivasi virus ini terjadi adalah demam yang disebakan infeksi
23

saluran pernafasan atas, paparan sinar matahari, trauma, dan imunosupresi (Scully,

2008).

Beberapa penelitian mengatakan, mekanisme reaktivasi virus herpes

simplex (HSV) laten disebabkan oleh rendahnya serum Ig A, menurunnya sel

perantara imun, menurunnya aktivitas salivasi anti herpes, rendahnya ADCC

(antibody- dependent cell- mediated cytotoxicity) dan interleukin-2 disebabkan oleh

prostaglandin yang dihasilkan di kulit. Individu dengan defisiensi limfosit T yang

disebabkan oleh AIDS atau transplantasi atau kemoterapi kanker dapat membentuk

lesi kronik yang lebih besar (Greenberg dan Glick, 2003).

Lesi dimulai dengan periode prodromal yaitu kesemutan dan rasa terbakar.

Kemudian disertai dengan edema pada lokasi terjadinya lesi, dan diikuti

pembentukan sekelompok vesikel kecil. Diameter setiap vesikel 1-3 mm, dengan

ukuran sekelompok vesikel tersebut mulai dari 1-2 cm. Terkadang lesi berdiameter

beberapa sentimeter sehingga menyebabkan ketidaknyamanan dan luka. Frekuensi

terjadinya rekurensi bervariasi pada setiap orang (Greenberg and Glick, 2003).

Gambar 3.5 Lesi pada herpes labialis rekuren (Greenberg and Glick, 2003)
24

Virus pada pasien herpes tidak bisa dihilangkan. Sekali terinfeksi, HSV-1

akan bertahan di tubuh selamanya, walaupun tanpa adanya masa rekuren. Gejala

dari masa rekuren akan hilang 1-2 minggu tanpa perawatan apapun. Penggunaan

penghilang rasa nyeri seperti acetaminophen dapat membantu mengurangi rasa

nyeri. Beberapa orang memilih untuk menggunakan krim kulit. Tetapi krim ini

hanya dapat mempersingkat terjadinya relaps herpes oral selama 1 atau 2 hari.

Dokter dapat meresepkan obat antivirus seperti acyclovir, famciclovir, atau

valacyclovir untuk melawan virus. Namun obat-obat ini bekerja lebih baik apabila

digunakan saat mengalami gejala awal nyeri di mulut seperti kesemutan di bibir,

dan sebelum lesi muncul (Cafasso, 2015).

3.1.7 Perawatan

Tata laksana SAR berupa identifikasi dan koreksi faktor-faktor predisposisi.

Pada umumnya pasien SAR tidak memerlukan terapi karena sifat penyakitnya yang

ringan. Beberapa orang melakukan perawatan dengan menjaga kebersihan rongga

mulut, menggunakan pasta gigi tanpa sodium lauryl sulfate yang bersifat iritatif,

mencegah trauma lokal serta terapi paliatif untuk mengatasi rasa sakit. Terapi SAR

memiliki tujuan menghilangkan rasa sakit sehingga memungkinkan asupan

makanan yang adekuat, mengurangi infeksi sekunder, memicu penyembuhan ulkus

agar dapat mengurangi durasi dan mencegah rekurensi (Wulandari, et,al, 2008).

Perawatan SAR disesuaikan dengan keparahan penyakit. Pada kasus ringan

dengan 2 atau 3 lesi, penggunaan krim pelindung seperti Orabase (Bristol-Myers

Squibb, Princeton, NJ) atau Zilactin (Zila Pharmaceutions, Phoenix, AZ) sudah cukup.

Peredaan nyeri pada lesi minor dapat dilakukan dengan agen anestesi topikal,
25

seperti benzokain dan lidokain. Pada kasus yang parah, penggunaan sediaan steroid

topikal berpotensi tinggi seperti flucinonide, bethamethasone, atau clobetasol, yang

dioleskan langsung pada lesi dapat mempersingkat waktu penyembuhan dan

mengurangi ukuran ulser. Keefektifan steroid topikal bergantung pada instruksi

yang baik dari klinisi dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat yang sesuai.

Steroid gel diaplikasikan langsung pada lesi setelah makan dan sebelum tidur dua

sampai tiga kali sehari. Lesi yang lebih besar dapat diobati dengan menempatkan

kasa yang mengandung steroid topikal pada ulser dan biarkan selama 15-30 menit

(Greenberg dan Glick, 2006).

Saat pasien dengan aftosa mayor atau kasus parah dari aftosa minor multipel

tidak mengalami kemajuan yang cukup dengan penggunaan terapi topikal, maka

penggunaan terapi sistemik dapat dipertimbangkan. Obat yang telah dilaporkan

dapat mengurangi jumlah ulser di beberapa kasus aftoasa mayor adalah colchine,

pentoxifylline, dapsone, short-burst- steroid sistemik, dan thalidomide. Setiap obat

memiliki potensi efek samping, dan klinisi kesehatan harus mempertimbangkan

antara potensi manfaat dan resikonya (Greenberg dan Glick, 2006).


BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien wanita usia 22 tahun datang ke RSGM Unpad dengan

keluhan sariawan di bibir bawah dan didiagnosa mengalami stomatitis aftosa

rekuren (SAR). Keluhan terjadi sejak 3 hari yang lalu menyebabkan rasa perih dan

sakit terutama saat makan. Pasien mengaku cukup sering mengalami hal ini, namun

lokasi terjadinya bukan di tempat yang sama. Sariawan biasanya terjadi saat

mendekati masa menstruasi dan juga apabila lupa menyikat gigi malam hari setelah

makan dan sebelum tidur. Saat keluhan ini terjadi pasien mengaku memang tidak

menyikat gigi di malam harinya dan juga kelelahan serta tidak mendapatkan

istirahat yang cukup karena mempersiapkan suatu kegiatan. Akhir-akhir ini

konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan juga kurang mencukupi.

Sepengetahuannya tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit

sama. Seperti telah diketahui bahwa sampai saat ini belum ada etiologi yang pasti

mengenai penyebab dari SAR, namun terdapat beberapa faktor predisposisi yang

dapat memicu timbulnya. Berdasarkan anamnesa yang telah dilakukan, stomatitis

aftosa rekuren yang dialami pasien dapat disebabkan oleh stress dan kelelahan,

aktivitas mikroorganisme rongga mulut, dan juga defisiensi nutrisi.

Gambaran klinis lesi pada mukosa labial adalah satu lesi ulser dengan

bentuk oval, ukuran 4x3 mm, dasar datar, kedalaman ± 1 mm, berwarna putih

dengan tepi halo eritema. Hal ini sesuai dengan karakteristik dari lesi pada SAR

26
27

yang memiliki batas jelas, kedalaman dangkal, berbentuk bulat atau oval dan

regular, dan memiliki tepi halo eritema (Greenberg and Glick, 2003).

Menurut jumlah, lokasi, dan bentuk tepi ulser pada pasien menyebabkan

adanya diagnosis banding berupa ulser traumatik dan stomatitis herpetik rekuren..

Pada pasien stomatitis herpetik rekuren biasanya terjadi demam sebelum lesi

muncul. Lesi yang timbul multipel dengan tepi irreguler. Ulser terbentuk ketika

kumpulan vesikel kecil pecah. Tempat muncul lesi diantaranya pada bibir, lidah,

palatum, dan gingiva. Sedangkan jika dibandingkan dengan ulser traumatik

memiliki dasar cekung kedalaman dangkal yang berwarna putih keabuan dan tepi

kemerahan yang difus, stomatitis herpetik rekuren cenderung berbatas irregular

dengan pinggiran hiperkeratosis.

Etiologi penyebabnya pun berbeda. Ulser traumatik disebabkan oleh trauma

fisik, termal, atau kimia, sedangkan SAR dapat diinisiasi oleh berbagai macam

faktor predisposisi seperti defisiensi nutrisi, genetik, gangguan imunologi, stress,

penyakit sistemik, dan sebagainya, serta SAR bersifat berulang (Greenberg and

Glick, 2003).

Perawatan yang diberikan kepada pasien pada saat kunjungan adalah OHI

dan instruksi aplikasi topikal Triamcinolone acetonide 0,1% berbentuk pasta. Obat

topikal Triamcinolone acetonide 0,1% merupakan kortikosteroid topikal golongan

glukokortikoid yang memiliki efek antiinflamasi dan membantu mengurangi rasa

sakit. Pasien juga diinstruksikan untuk mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-

buahan dan istirahat yang cukup serta tidak lupa untuk menyikat gigi saat malam

hari.
28

Pasien diinstruksikan untuk kontrol 1 minggu kemudian guna melihat

tingkat keberhasilan dari perawatan yang telah diberikan. Terapi yang diberikan

menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada pasien yakni sariawan sudah sembuh.


BAB V

SIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan dapat

disimpulkan bahwa pasien mengalami stomatitis aftosa rekuren (SAR) pada bibir

atau mukosa labial bawah sebelah kiri dengan bentuk bulat, ukuran 4x3 mm, dasar

datar, kedalaman ± 1 mm, berwarna putih dengan tepi eritem dan regular.

Perawatan yang diberikan pada pasien adalah pemberian OHI (Oral

Hygiene Instruction) mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut dan

aplikasi triamcinolone acetonide 0,1% in orabase dengan sediaan berbentuk pasta.

Pasien juga diintruksikan untuk mengkonsumsi banyak sayur-sayuran dan buah-

buahan serta istirahat yang cukup.

Pada kunjungan kedua yaitu seminggu setelah kedatangan pertama, ulser

sudah sembuh dan pasien sudah tidak menimbulkan rasa sakit.

29
DAFTAR PUSTAKA

Cafasso, J. 2015. Recurrent Herpes Simplex Labialis.


http://www.healthline.com/health/fever-blister-causes#Treatment6 (diakses
pada 15 Maret 2017)
Delong, L. dan N. Burkhart. 2013.General and Oral Pathology for The Dental
Hygienist 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Ghom, A.G. 2010. Textbook of Oral Medicine. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd.
Glick, Michael. 2015. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 12th ed.
USA: People’s Medical Publishing House
Greenberg, M.S; M. Glick. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and
Treatment. 10th ed. Hamilton.BC Decker Inc.
Guallar, I. B., et.al. 2014. Treatment of recurrent aphthous stomatitis. A literature
review. J. Clin Exp Dent. 6 (2): 168-174 pp.
Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SK. Mucosal Disease Series; Number VI
Recurrent Aphthous Stomatitis (http://onlinelibrary.wiley.com/wol1
/doi/10.1111/j.1601-0825.2005.01143.x/ full
Kalpana R. Relation between Smoking and Recurrent Aphthous Stomatitis. Oral
Maxillofac Pathol J. 2016;7(2):761-762.
Langlais, R.P. 2009. Color Atlas of Common Oral Diseases 4th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Laskaris, G. 2006. Pocket Atlas of Oral Disease 2ndedition. Newyork : Thieme.
Nasution, H. 2011. Gambaran coping stress pada wanita madya dalam menghadapi
pramenopause. Skripsi pada fakultas psikologi, Universitas Sumatera Utara:
Medan.
Nisa, R. 2011. Stomatitis aftosa rekuren (SAR) yang dipicu oleh stress pada
mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Skripsi pada fakultas
kedokteran gigi, Universitas Sumatera Utara: Medan.
Pratiknyo M, Hendarmin S. 2007. Aspek Klinik dan Penanggulangan Penyakit
Alergi (Clinical Aspect and Treatment of Allergy). Jakarta: Jurnal PDGI,
Vol. 57 No. 3; 77-81.
Rajendran. 2009. Shafers Textbook of Oral Patology. Delhi: Elsevier.
Regezi, J.A; J.J. Sciubba; and R.C.K. Jordan. 2003. Oral Pathology : Clinical
Pathologic Correlations. 5th ed. St. Louis : Elsevier Inc.

30
Scully C, Gorsky M, Lozada-Nur F. 2003. The diagnosis and management of
recurrent aphthous stomatitis: a consensus approach. J Am Dent
Assoc;134:200-7.
Scully, C. 2008. Oral and Maxillofacial Medicine 2nd edition. St. Louis: Elsevier
Inc.
Soetiarto, F., et al. 2009. Hubungan antara recurrent aphthae stomatitis dan kadar
hormon reproduksi wanita. Bul. Penelit. Kesehat. Vol . 37, no. 2, 79-86.
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia.
Vivek, V; Bindu J. N. 2011. Reccurent aphtous stomatitis: current concepts in
diagnosis and management. Journal of Indian Academy of Oral Medicine and
Radiology. July-September; 23(3):232-236
Wulandari, E.A.T, dan Setyawati, T. 2008. Tata Laksana SAR Minor Untuk
Mengurangi Rekurensi dan Keparahan (Laporan Kasus). Indonesia Journal
of Dentistry. 15(2):147-154

31

Anda mungkin juga menyukai