Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi adalah suatu era dimana tidak lagi pembatas antara negara-negara khususnya di

bidang informasi, ekonomi, dan politik. Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas

yang merupakan ciri era ini, berdampak pada semuasektor termasuk sektor kesehatan. Salah satu

dampak dari era globalisasi dalam sektor kesehatan adalah masalah jiwa akan meningkat. Kesehatan

jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan

interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan

kestabilan emosional sedangkan WHO (World Health Organization) (2014) mengungkapkan bahwa

gangguan mental atau penyakit kejiwaan adalah penyakit yang muncul terutama sebagai kelainan

pikiran, perasaan atau perilaku , memproduksi salah distress atau gangguan fungsi . (Videbeck, 2012).

WHO (2011) menyatakan bahwa gangguan jiwa atau kondisi mental kronis dan parah yang

mempengaruhi 26 juta orang di seluruh dunia dan mengakibatkan cacat sedang atau berat pada 60%

kasus.50 negara, 11 yang berpenghasilan rendah, 30 orang berpenghasilan rendah menengah dan 9

adalah negara-negara berpenghasilan menengah atas menurut Bank Dunia. 9 negara-negara terpilih

mewakili persentase berikut populasi berpenghasilan rendah dan menengah negara terletak di daerah

WHO enam: 11% di wilayah Eropa; 13% di wilayah Pasifik Barat; 16% di wilayah Afrika; 18% di wilayah

Amerika; 26% di wilayah Asia Tenggara, dan 57% di kawasan Mediterania Timur.

WHO (2013) juga menguatkan dengan survei terbaru dari orang-orang dengan gangguan

mental yang serius, menunjukkan bahwa antara 35% dan 50% dari orang-orang di negara-negara maju,

dan antara 76% dan 85% di negara berkembang.Jadi, Negara berkembang sangat rentan mengalami

kasus gangguan jiwa termasuk Indonesia. Hasil Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2013, prevalensi

gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa terbanyak di Daerah
Istimewa Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.Artinya, Jawa Tengah termasuk 5

besar provinsi dengan gangguan jiwa terbanyak. Penderita tidaklagi didominasi masyarakat kelas

bawah. Kalangan pejabat dan masyarakat lapisan kelas menengah keatas, juga tersentuh gangguan

psikotik dan depresif (Yosep, 2011).

Saat ini gangguan jiwa diidentifikasi dan ditangani sebagai masalah medis. American Psychiatric

Assosiation (1994) mendefinisikan gangguan jiwa sebagai suatu sindrom atau pola psikologis atau

perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan adanya distress

(mis. Gejala nyeri) atau disabilitas (kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting) atau

disertai peningkatan resiko kematian yang menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan

kebebasan (Videbeck, 2012).

Ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organik.

Penyebabnya antara lain berasal dari factor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus,

hepatitis, malaria, dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol, dan lain-lain. Kedua, gangguan mental,

emosional atau kejiwaan. Penyebabnya karena salah dalam pola pengasuhan ( pattern of parenting)

hubungan yang patologis di 2 antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis.

Ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan,

problem orang tua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam

masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain) (Yosep,

2009).

Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa seringkali sulit didefinisikan. Orang dianggap sehat jika

mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku mereka pantas serta adaptif.

Sebaliknya, seseorang dianggap sakit jika gagal memainkan peran dan memikul tanggung jawab atau

perilakunya tidak pantas. Kebudayaan setiap masyarakat sangat memengaruhi nilai dan keyakinan
masyarakat tersebut. Perilaku yang dapat diterima dan pantas dalam suatu masyarakat dapat dianggap

maladaptif atau tidak pantas pada masyarakat lain (Videbeck, 2012).

Hampir 1% penduduk di dunia menderita gangguan jiwa skizofrenia selama hidup mereka.

Gejalanya muncul pada usia 15-25 tahun pada laki – laki, dan pada perempuan antara usia 25-35 tahun

(Hadisukanto, 2010).

Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosafungsional dengan gangguan utama pada proses pikir

serta disharmoni (keretakan, perpecahan) antara proses pikir, afek atau emosi kemauan dan

psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi; asosiasi terbagi-bagi

sehingga timbul inkoherensi, afek dan emosi perilaku bizare. Angkakejadianskizofrenia (Skf)

melibatkansekitar 1% daripopulasiumum, biasanyamulaisebelumusia 25 tahun. Skizofrenia yang

bermulasebelumusia10 tahundansesudah 60 tahunjarangsekalidijumpai (Kusuma& Nurarif, 2012).

Skizofrenia merupakan masalah kesehatan umum di seluruh dunia. Prevalensi skizofrenia di

Indonesia sendiri adalah tiga sampai lima perseribu penduduk. Bila diperkirakan jumlah penduduk

sebanyak 220 juta orang akan terdapat gangguan jiwa dengan skizofrenia kurang lebih 660 ribu sampai

satu juta orang. Hal ini merupakan angka yang cukup besar serta perlu penanganan yang serius

(Sulistyowati, 2007).

Salah satu jenis gangguan jiwa dengan skizofrenia adalah gangguan konsep diri harga diri

rendah atau dalam bahasa Jawa biasa disebut minder. Jika seseorang mengalami harga diri rendah

biasanya akan dijumpai tanda dan gejala seperti merasa bersalah, tidak mampu, ketegangan peran

yang dirasakan, mudah tersinggung sehingga menyebabkan individu ini bisa melakukan hal yang

destruktif baik ditujukan pada diri sendiri maupun kepada orang lain ( Stuart, 2010).

Perawat jiwa sebagai pemberi asuhan keperawatan jiwa kepada klien merupakan bagian total

pelayanan di rumah sakit, oleh karena itu perawat dituntut mampu memberikan asuhan keperawatan

yang profesional dan dapat mempertanggung jawabkan asuhan yang diberikan secara alamiah.
Perawat juga dituntut untuk lebih sensitif terhadap lingkungan sosial serta berfokus pada pelayanan

keperawatan hospital based care menjadi community based care adalah tren yang paling signifikan

dalam pengobatan gangguan jiwa. (Kusumawati & Hartono, 2010 ).

Peran perawat dalam hal ini adalah memberian asuhan keperawatan jiwa yangmelibatkan

hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga dan masyarakat melalui pendekatan

dengan cara mengembangkan teknik komunikasi terapeutik Berdasarkan pemaparan diatas maka

penulis tertarik untuk mengangkat judul Karya Tulis Ilmiah “Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien

Skizofrenia dengan Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah di RSJ RSJ. Prof. dr. Soerojo Magelang.

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mendapatkan gambaran yang nyata tentang penerapan proses Asuhan Keperawatan

Pada Klien Skizofrenia Dengan Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah DI DI RSJ RSJ. Prof. Dr. Soerojo

Magelang

2. Tujuan khusus

Secara khusus karya tulis ilmiah ini berguna bagi penulis untuk:

a. Mengetahui tentang pengertian, penyebab, tanda gejala Pada Klien Skizofrenia Dengan Gangguan

Konsep Diri: Harga Diri Rendah DI DI RSJ RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang.

b. Melakukan pengkajian analisa data, merumuskan masalah keperawatan,menetapkan pohon

masalah, menetapkan diagnosa keperawatan.

c. Menyusun rencana tindakan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan klien dan mengatasi

masalah klien.

d. Mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan yang nyata sesuai dengan diagnosa

keperawatan yang telah ditegakkan.


e. Menilai hasil (mengevaluasi) tindakan keperawatan yang telah dilakukan.

f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan Pada Klien Skizofrenia Dengan Gangguan Konsep Diri:

Harga Diri Rendah DI DI RSJ RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang

g. Menggali perbedaan teori dan praktek dalam pengelolaan Pada Klien Skizofrenia Dengan Gangguan

Konsep Diri: Harga Diri Rendah Di RSJ RSJ. Prof. Dr. Soerojo Magelang

h. Menggali faktor pendukung,risiko penghambat dan alternatif dalam perawatan Pada Klien

Skizofrenia Dengan Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah di RSJ RSJ. Prof. Dr. Soerojo

Magelang.

C. Manfaat

1. Bagi penulis

Hasil pengelolaan kasus ini sebagai sarana dan alat untuk menambah pengetahuan dan

memperoleh pengalaman khususnya di bidang keperawatan jiwa dan memberikan pengalaman

nyata dalam melaksanakan pengelolaan kasus pada klien dengan gangguan persepsi sensori:

halusinasi pendengaran secara ilmiah dalam rangka mengembangkan diri dan melaksanakan fungsi

perawat sebagai peneliti (researcher).

2. Institusi pendidikan

Hasil pengelolaan kasus ini dapat digunakan sebagai tambahan dan referensi bagi matakuliah

keperawatan jiwa. Selain itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi

mahasiswa lain yang mengambil penelitian yang serupa.


3. Instansi Rumah Sakit

Hasil pengelolaan kasus ini dapat digunakans ebagai informasi tambahan bagi perawat di

rumah sakit jiwa untuk bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan

keperawatan jiwa khususnya pada klien dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah.

4. Bagi Masyarakat dan Keluarga

Hasil pengelolaan kasus ini dapat digunakan sebagai sarana informasi dalam memberikan

perawatan kepada pasien dengan gangguan jiwa khususnya bagi keluarga yang mengalami

gangguan jiwa dan dapat memberikan dukungan atau motivasi kepada pasien dengan gangguan jiwa

khususnya pada klien dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah.

Anda mungkin juga menyukai