Anda di halaman 1dari 17

ARTIKEL BLOG -TOKOH

Ibnu Sina dan 'Kitab Suci' Kesehatan

Al Qanun 11 al-Tibb yang di Barat dikenal dengan Canons, boleh dikata merupakan
'kitab suci' ilmu kesehatan pada masanya. Tanpa merujuk ke buku tersebut, ilmu obat-
obatan dan farmakologi dirasakan tidak akan sempurna. Tidak heran bila Ibnu Sina,
pengarang buku tersebut begitu dihargai kejeniusan dan kontribusinya dalam ilmu
kedokteran, sampai sekarang. Bahkan potret Ibnu Sina, hingga kini menjadi salah satu
pajangan dinding besar gedung Fakultas Kedokteran Universitas Paris.

Ibnun Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di
Afshana dekat Bukhara (Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia
telah menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu
logika, dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu.
Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam.

Kemampuannya dalam bidang pengobatan sudah begitu mumpuni di usianya yang


masih belia. Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas tahun, dia sudah berhasil
menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur. Padahal sebelumnya para pakar
kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun yang mampu mengatasi penyakit
sang raja.

Atas jasanya itu, Manshur bermaksud memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru
lebih memilih izin dari sang raja untuk diperkenankan meggunakan perpustakaan
kerajaan yang dikenal memiliki koleksi buku-buku yang unik.

Setelah ayahnya meninggal, Ibnu Sina merantau ke Jurjan, dan bertemu dengan Abu
Raihan al-Biruni, yang kala itu sangat termashur. Setelah itu dia pindah ke Rayy, dan
melanjutkan perjalanan ke Hamadan, tempat yang memberinya inspirasi untuk
bukunya yang terkenal, Al Qanun 11 al-Tibb.

Di Hamadan dia juga menyembuhkan sang penguasa, Syams al-Daulah, dari penyakit
perut yang akut, sebelum melanjutkan lagi perjalanannya menuju Isfahan (kini Iran)
untuk menyelesaikan karya-karyanya yang monumental.

Al Qanun fi al-Jibb

Al Qanun fi al-Tibb atau Norma-norma Kedokteran adalah sumbangan terbesar Ibnu


Sina yang di Barat dikenal dengan Avicenna, terhadap ilmu pengetahuan. Karya yang
matnpu bertahan selama enam abad ini diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard
dari Cremena pada abad ke-12. Sejak saat itu Qanun menjadi buku wajib di sekolah-
sekolah medis di Eropa. Pada abad ke-15 buku ini mengalami cetak ulang sebanyak
enam belas kali. Lima belas cetakan dalam bahasa Latin, satu cetakan dalam bahasa
Yahudi. Sedangkan pada abad berikutnya, Qanun mengalami cetak ulang sebanyak
dua puluh kali.
Cameron Gruner pada tahun 1930 menerjemahkan sebagian isi buku itu ke bahasa
Inggris dengan judul Risalah atas Norma Medis Avicenna. Dan selama lebih dari lima
abad, Qanun menjadi pemandu bagi ilmu kedokteran di Barat. Tidak heran bila Dr.
William Osier, penulis buku Evolution of Modern Science, mengatakan bahwa Qanun
telah menjadi semacam 'kitab suci' kesehatan yang bertahan lebih lama dibanding
karya mana pun.

Qanun boleh dikata merupakan Ensiklopedi Pengobatan yang sangat lengkap. Buku
ini menelaah ulang pengetahuan kedokteran, baik dari sumber Islam maupun sumber-
sumber kuna. Ibnu Sina tidak hanya menggabungkan pengetahuan yang telah ada tapi
juga menciptakan karya-karya orisinal yang meliputi beberapa pengobatan umum,
obat-obatan (760 macam), penyakit-penyakit mulai dari kepala hingga kakl,
khususnya Patologi (ilmu tentang penyakit) dan Farmakopeia (Farmakope).

Di antara beberapa kontribusinya yang merupakan pengembangan besar adalah


identifikasinya terhadap sifat-sifat penyakit menular seperti Pththsis dan Tuberculosis
(TBC), penyebaran penyakit melalui air dan tanah, dan interaksi antara ilmu psikologi
dan kedokteran. Ibnu Sina pula yang pertama kali menjelaskan tentang Meningitis
(radang selaput otak) serta memberi penjelasan yang padat tentang anatomi,
ginekologi, kesehatan anak, serta menemukan perawatan untuk Lachrymal Fistula,
disusul dengan penyelidikan medis terhadap saluran pembuluh darah.

Hingga kini Qanun masih menjadi acuan para pakar untuk penyelidikan anatomi,
karena buku ini mampu menjelaskan deskripsi secara gratis maupun penjelasan rinci
mengenai Sclera, Kornea, Koroid, Iris, Retina, Lensa, Urat syaraf, juga Optic
Chiasma. Dalam mendalami anatomi, Ibnu Sina menentang sikap praduga atau
prakiraan. Dia mengimbau para pakar ilmu fisik dan ilmu bedah untuk kembali
mendasarkan pengetahuannya pada studi tentang tubuh manusia. Dia mengamati
bahwa Aorta sebenarnya terdiri dari tiga saluran yang terbuka saat darah mengalir dari
dan di dalam jantung selama kontraksi, dan tertutup selama relaksasi, sehingga tidak
akan terjadi luapan aliran darah ke dalam jantung.

Dia juga menegaskan bahwa otot dapat digerakkan karena adanya syaraf yang terdapat
di dalamnya. Demikian pula rasa sakit yang dirasakan pada bagian otot, juga
disebabkan adanya urat syaraf yang menerima rangsangan rasa sakit tersebut.

Lebih jauh dia mengadakan observasi dan menemukan bahwa ternyata di dalam organ
hati, limpa dan ginjal, tidak ditemukan urat syaraf. Sebab urat syaraf justru tertanam
pada lapisan luar organ-organ itu.

Karya-karya Lainnya

Selain ilmu pengobatan dan kesehatan, Ibnu Sina juga menyumbangkan pemikirannya
pada ilmu matematika, fisika, musik, dan bidang-bidang lain. Penyelidikannya dalam
bidang astronomi membuatnya berhasil merancang perangkat semacam Vernier yang
meningkatkan ketepatan pengukuran suatu alat. Di bidang fisika, sumbangan
pemikirannya mengenai bermacam bentuk energi, kalori, cahaya, mekanika, konsep
gaya, ruang hampa udara, dan bilangan tak terhingga.

Dalam bidang kimia, Ibnu Sina adalah salah satu dari sekian banyak orang yang tidak
percaya pada transmutasi kimia logam. Pandangan ini ditentang secara radikal pada
masa itu. Risalahnya mgngenai mineral merupakan salah satu sumber utama geologi
yang digunakan oleh para ensiklopedis Kristen pada abad ke-13.

Penemuannya di bidang musik merupakan perbaikan dari karya Farabi (al-Pharabius),


yakni dengan menemukan suatu rumus bahwa jika serangkaian konsonan dirumuskan
(n + 1) / n, maka telinga tidak dapat membedakan konsonan tersebut pada n - 45.
Lebih jauh dia mengatakan, penggandaan terhadap satuan seperempat dan seperlima
pada konsep ini merupakan langkah benar menuju sistem harmonisasi.

Karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat, dan al-
Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan ensiklopedi
filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari filsafat hingga
ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi Aristotelian,
pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam.

Ibnu Sina mengelompokkan seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar, yakni:
pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Pengetahuan teoritis meliputi fisika,
matematika, dan metafisika, sedangkan pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu
ekonomi, dan ilmu politik.

Jenius yang satu ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik maupun
secara batin. Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain,
untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap segala hal, serta untuk dapat belajar,
belajar, dan belajar. Karena terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh gejolak
politik pada masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1037
dia kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana. (amanah)

IBNU SINA : "Bapak Kedokteran Dunia"

Abu Ali al Husain ibn Abdallah ibn Sina adalah nama lengkap Ibnu Sina, yang lebih
dikenal sebagai "Aviciena" oleh masyarakat barat. Dia adalah salah seorang tokoh
terbesar sepanjang zaman, seorang jenius yang mahir dalam berbagai cabang ilmu.
Dia lah pembuat ensiklopedi terkemuka dan pakar dalam bidang Kedokteran, Filsafat,
Logika, Matematika, Astronomi, musik, dan puisi.

Ibnu Sina dilahirkan pada tahun 980 M / 370 H di Afshinah, sebuah desa kecil tempat
asal ibunya, di dekat Bukhara. Ayahnya, Abdullah, adalah seorang Gubernur Samanite
yang kemudian ditugaskan di Bukhara. Sejak kecil ia telah memperlihatkan
intelegensianya yang cemerlang dan kemajuan yang luar biasa dalam menerima
pendidikan, ia telah hafal al-Qur'an pada usia 10 tahun.
Nama Ibnu Sina semakin melejit tatkala ia mampu menyembuhkan penyakit raja
Bukhara, Nooh ibnu Mansoor. Saat itu ia baru berusia 17 tahun. Sebagai penghargaan,
sang raja meminta Ibnu Sina menetap di istana, setidaknya sementara selama sang raja
dalam proses penyembuhan. Namun Ibnu Sina menolaknya dengan halus. Sebagai
imbalan ia hanya meminta izin untuk menggunakan perpustakaan kerajaan yang kuno
dan antik. Tujuannya adalah mencari berbagai referensi dasar untuk menambah
ilmunya agar lebih luas dan berkembang. Kemampuan ibnu Sina yang cepat menyerap
berbagai cabang ilmu pengetahuan membuatnya menguasai berbagai macam materi
intelektual dari perpustakaan Kerajaan pada usia 21.

Setelah ayahnya wafat, ia meninggalkan Bukhara karena gangguan politik dan pergi
ke kota Gorgan, yang tekenal dengan kebudayaannya yang tinggi. Dia diundang
dengan tulus oleh Raja Khawarizm, pelindung besar kebudayaan dan pendidikan. Di
Gorgan ia membuka praktek dokter, bergerak dalam bidang pendidikan, dan menulis
buku. Setelah itu, Ibnu Sina melanjutkan lagi perjalannya, antara lain ke Kota Ravy
dan Kota Hamadan.

Sampai kini ilmunya yang ditulis dalam buku "Al Qanun Fi al-Tib" tetap menjadi
dasar bagi perkembangan ilmu kedokteran dan pengobatan dunia. Karena itu Ibnu
Sina menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan ilmu kedokteran dunia.
Bukunya "Al Qanun" "diterjemahkan" menjadi "The Cannon" oleh pihak Barat, yang
kemudian menjadi rujukan banyak ilmuwan abad pertengahan. Buku itu diantaranya
berisi eksiklopedia dengan jumlah jutaan item tentang pengobatan dan obat-obatan.
Bahkan diperkenalkan penyembuhan secara sistematis dan dijadikan rujukan selama
tujuh abad kemudian (sampai abad ke-17).

Ibnu Sina meninggal pada tahun 1073, saat kembali di kota yang disukainya,
Hamadan. Walau ia sudah meninggal, namun berbagai ilmunya sangat berguna dan
digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang kini diderita umat manusia.
(An)

LINK :
- http://www.nlm.nih.gov/hmd/arabic/E8.html

Ummu Haram binti Malhan (Wanita yang Syahid di Laut)

Beliau adalah Ummu Haram binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin
Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar al-Anshariyah an-Najariyah al-Madiniyah.
Beliau adalah saudari Ummu Sulaim, bibi dari Anas bin Malik pembantu Rasulullah saw.
Beliau adalah istri dari sahabat yang agung yang bernama Ubadah bin Shamit. Kedua
saudaranya adalah Sulaim dan Haram yang keduanya menyertai perang Badar dan Uhud
dan kedua-duanya syahid pada perang Bi'ir Ma'unah. Adapun Haram adalah seorang
pejuang yang tatkala ditikam dari belakang beliau mengatakan, "Aku telah berjaya demi
Rabb Ka'bah."
Ummu Haram termasuk wanita yang terhormat, beliau masuk Islam, berba'iat kepada
Nabi saw dan ikut berhijrah. Beliau meriwayatkn hadis dan Anas bin Malik
meriwayatkan dari beliau dan ada juga yang lain yang meriwayatkan dari beliau.
Rasulullah saw memuliakan beliau dan pernah mengunjungi beliau di rumahnya dan
istirahat sejenak di rumahnya. Beliau dan Ummu Sulaim adalah bibi Rasulullah saw, baik
berkaitan dengan persusuan ataupun berkaitan dengan nasab, sehingga menjadi halal
menyendiri (berkhalwah) dengan keduanya.
Anas bin Malik ra berkata, "Rasulullah saw masuk ke rumah kami, tidak ada yang di
dalam rumah melainkan saya, ibuku (Ummu Sulaim) dan bibiku Ummu Haram. Beliau
bersabda: "Berdirilah kalian, aku akan salat bersama kalian." Maka beliau salat bersama
kami pada saat bukan waktu salat wajib.
Ummu Haram berangan-angan untuk bisa menyertai peperangan bersama mujahidin yang
menaiki kapal untuk menyebarkan dakwah dan membebaskan manusia dari peribadatan
kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Allah saja. Akhirnya, Allah
mengabulkan angan-angannya dan mewujudkan cita-citanya. Tatkala dinikahi oleh
sahabat yang agung yang bernama Ubadah bin Shamit, mereka keluar untuk berjihad
bersama dan Ummu Haram mendapatkan syahid di sana dalam perang Qabrus.
Anas ra berkata, "Adalah Rasulullah saw apabila pergi ke Quba', beliau mampir ke rumah
Ummu Haram binti Malhan, kemudian Ummu Haram menyediakan makanan bagi beliau.
Adapun suami Ummu Haram adalah Ubadah bin Shamit. Pada suatu hari Rasululah saw
mampir ke rumah beliau, Ummu Haram pun menyediakan makanan bagi beliau
kemudian Rasulullah menyandarkan kepalanya dan Rasulullah saw tertidur. Tidak berapa
lama kemudian beliau bangun lalu beliau tertawa. Ummu Haram bertanya, "Apa yang
membuat anda tertawa wahai Rasulullah saw?" Beliau bersabda, "Sekelompok manusia
dari umatku diperlihatkan kepadaku, mereka berperang di jalan Allah dengan berlayar di
lautan sebagaimana raja-raja di atas pasukannya atau laksana para raja yang memimpin
pasukannya."
Ummu Haram berkata, "Ya Rasulullah do'akanlah agar aku termasuk golongan mereka."
Kemudian Rasulullah saw mendo'akan Ummu Haram lalu meletakkan kepalanya dan
melanjutkan tidurnya. Sebentar kemudian beliau bangun dan tertawa. Ummu Haram
bertanya, "Ya Rasulullah apa yang membuat anda tertawa?"
Rasulullah saw bersabda, "Sekelompok manusia dari umatku diperlihatkan kepadaku
tatkala berperang di jalan Allah laksana raja bagi pasukannya."
Ummu Haram berkata, "Ya Rasulullah do'akanlah agar saya termasuk golongan mereka."
Rasulullah saw bersabda, "Engkau termasuk golongan para pemula."
Anas bin Malik berkata, "Ummu Haram keluar bersama suaminya yang bernama Ubadah
bin Shamit. Tatkala telah melewati laut, beliau naik seekor hewan kemudian hewan
tersebut melemparkan beliau ke tanah hingga wafat. Peristiwa tersebut terjadi pada
perang Qibris, sehingga beliau di kubur di sana. Ketika itu pemimpin pasukan adalah
Mu'awiyah bin Abu Sofyan pada masa khilafah Utsman bin Affan, semoga Allah
merahmati mereka seluruhnya.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 27 Hijriyah. Begitulah, Ummu Haram adalah
termasuk salah satu dari keluarga mulia yang setia terhadap prinsip yang dia pegang.
Beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk menyebarkan akidah tauhid yang
murni. Beliau tidak mengharapkan setelah itu, melainkan ridha Allah Azza wa Jalla.

Sumber: Nisaa' Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli & Musthafa Abu an-Nashr
asy-Syalabi

Sumayyah binti Khayyat (Wanita Syahidah Pertama dalam Islam)

Dialah Sumayyah binti Khayyat, hamba sahaya dari Abu Hudzaifah bin Mughirah. Beliau
dinikahi oleh Yasir, seorang pendatang yang kemudian menetap di Mekah. Karenanya,
tidak ada kabilah yang dapat membelanya, menolongnya, dan mencegah kezaliman atas
dirinya. Sebab, dia hidup sebatang kara, sehingga posisinya sulit di bawah naungan
aturan yang berlaku pada masa jahiliyah.
Begitulah Yasir mendapatkan dirinya menyerahkan perlindugannya kepada Bani
Makhzum. Beliau hidup dalam kekuasaan Abu Hudzaifah, sehingga akhirnya dia
dinikahkan dengan budak wanita bernama Sumayyah. Dia hidup bersamanya dan
tenteram bersamanya. Tidak berselang lama dari pernikahannya, lahirlah anak mereka
berdua yang bernama Ammar dan Ubaidullah.
Tatkala Ammar hampir menjelang dewasa dan sempurna sebagai seorang laki-laki, beliau
mendengar agama baru yang didakwahkan oleh Muhammad bin Abdullah saw kepada
beliau. Akhirnya, berpikirlah Ammar bin Yasir sebagaimana berpikirnya penduduk
Mekah. Karena kesungguhan dalam berpikir dan fitrahnya yang lururs, maka masuklah
beliau ke dalam agama Islam.
Ammar kembali ke rumah dan menemui kedua orang tuanya dalam keadaan merasakan
lezatnya iman yang telah terpatri dalam jiwanya. Beliau menceritakan kejadian yang
beliau alami hingga pertemuannya dengan Rasulullah saw, kemudian menawarkan
kepada keduanya untuk mengikuti dakwah yang baru tersebut. Ternyata Yasir dan
Sumayyah menyahut dakwah yang penuh barakah tersebut dan bahkan mengumumkan
keislamannya, sehingga Sumayyah menjadi orang ketujuh yang masuk Islam.
Dari sinilah dimulainya sejarah yang agung bagi Sumayyah yang bertepatan dengan
permulaan dakwah Islam dan sejak fajar terbit untuk yang pertama kalinya.
Bani Makhzum mengetahui akan hal itu, karena Ammar dan keluarganya tidak
memungkiri bahwa mereka telah masuk Islam bahkan mengumumkan keislamannya
dengan kuat, sehingga orang-orang kafir tidak menanggapinya, melainkan dengan
pertentangan dan permusuhan.
Bani Makhzum segera menangkap keluarga Yasir dan menyiksa mereka dengan
bermacam-macam siksaan agar mereka keluar dari din mereka, mereka memaksa dengan
cara mengeluarkan mereka ke padang pasir tatkala keadaannya sangat panas dan
menyengat. Mereka membuang Sumayyah ke sebuah tempat dan menaburinya dengan
pasir yang sangat panas, kemudian meletakkan di atas dadanya sebongkah batu yang
berat, akan tetapi tiada terdengar rintihan ataupun ratapan melainkan ucapan Ahad...
Ahad...,
beliau ulang-ulang kata tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Yasir, Ammar, dan
Bilal.
Suatu ketika Rasulullah saw menyaksikan keluarga muslim tersebut yang tengah disiksa
degan kejam, maka beliau menengadahkan ke langit dan berseru:
"Bersabarlah wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah
Jannah."
Sumayyah mendengar seruan Rasulullah saw, maka beliau bertambah tegar dan optimis,
dan dengan kewibawaan imannya dia mengulang-ulang dengan berani, "Aku bersaksi
bahwa Engkau adalah Rasulullah dan aku bersaksi bahwa janjimu adalah benar."
Begitulah, Sumayyah telah merasakan lezat dan manisnya iman, sehingga bagi beliau
kematian adalah sesuatu yang remeh dalam rangka memperjuangkan akidahnya. Di
hatinya telah dipenuhi akan kebesaran Allah Azza wa Jalla, maka dia menganggap kecil
setiap siksaan yang dilakukan oleh para taghut yang zalim. Mereka tidak kuasa
menggeser keimanan dan keyakinannya ekalipun hanya satu langkah semut.
Sementara Yasir telah mengambil keputusan sebagaimana yang dia lihat dan dia dengar
dari istrinya, Sumayyah pun telah mematrikan dalam dirinya untuk bersama-sama dengan
suaminya meraih kesuksesan yang telah dijanjikan oleh Rasulullah saw.
Tatkala para taghut telah berputus asa mendengar ucapan yang senantiasa diulang-ulang
oleh Sumayyah, maka musuh Allah Abu Jahal melampiaskan keberangannya kepada
Sumayyah dengan menusukkan sangkur yang berada dalam genggamannya kepada
Sumayyah. Maka terbanglah nyawa beliau yang beriman dan suci bersih dari raganya.
Beliau adalah wanita pertama yang mati syahid dalam Islam. Beliau gugur setelah
memberikan contoh baik dan mulia bagi kita dalam hal keberanian dan keimanan. Beliau
telah mengerahkan segala apa yang beliau miliki dan menganggap remeh kematian dalam
rangka memperjuangkan imannya. Beliau telah mengorbankan nyawanya yang mahal
dalam rangka meraih keridhaan Rabbnya. "Dan mendermakan jiwa adalah puncak
tertinggi dari kedermawanannya."
Sumber: Nisaa' Haular Rasuul, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthafa Abu an-Nashr
asy-Syalabi

Saudah Binti Zam'ah r.a.: Sang Isteri yang Merelakan Haknya

Beliau adalah Saudah binti Zam'ah bin Qais bin Abdi Syams bin Abud Al-Quraisyiyah
Al-Amiriyyah. Ibunya bernama Asy-Syamus binti Qais bin Zaid bin Amru dari bani
Najjar. Beliau juga seorang Sayyidah yang mulia dan terhormat. Sebelumnya pernah
menikah dengan As-Sakar bin Amru saudara dari Suhair bin Amru Al-Amiri. Suatu ketika
beliau bersama delapan orang dari bani Amir hijrah meninggalkan kampung halaman dan
hartanya, kemudian menyebrangi dasyatnya lautan karena ridha menghadapi maut dalalm
rangka memenangkan diennya. Semakin bertambah siksaan dan intimidasi yang mereka
karena mereka menolak kesesatan dan kesyirikan. Hampir-hampir tiada hentinya ujian
menimpa Saudah belum usai ujian tinggal dinegeri asing (Habsyah) beliau harus
kehilangan suami beliau sang muhajirin. Maka beliaupun menghadapi ujian menjadi
seorang janda disamping juga ujian dinegeri asing.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam menaruh perhatian yang istimewa terhadap
wanita muhajirah yang beriman dan telah menjanda tersebut. Oleh karena itu tiada henti-
hentinya Khaulah binti Hakim as-Salimah menawarkan Saudah untuk beliau hingga pada
gilirannya beliau mengulurkan tangannya yang penuh rahmat untuk Saudah dan beliau
mendampinginya dan membantunya menghadapi kerasnya kehidupan. Apalagi umurnya
telah mendekati usia senja sehingga membutuhkan seseorang yang dapat menjaga dan
mendampinginya.
Telah tercatat dalam sejarah tak seorang pun sahabat yang berani mengajukan masukan
kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam tentang pernikahan beliau setelah
wafatnya Ummul Mukminin ath-Thahirah yang telah mengimani beliau disaat menusia
mengkufurinya dan menyerahkan seluruh hartanya disaat orang lain menahan bantuan
terhadapnya dan bersamanya pula Allah mengkaruniakan kepada Rasul putra-putri.
Akan tetapi hampir-hampir kesusahan menjadi berkepanjangan hingga Khaulah binti
Hakim memberanikan diri mengusulkan kepada Rasulullah dengan cara yang lembut dan
ramah:
Khaulah:"Tidakkah anda ingin menikah ya Rasulullah?"
Nabi: (Beliau menjawab dengan suara yang menandakan kesedihan), "Dengan siapa saya
akan menikah setelah dengan Khadijah?"
Khaulah: "Jika anda ingin bisa dengan seorang gadis dan bisa pula dengan seorang
janda."
Nabi: "Jika dengan seorang gadis, siapakah gadis tersebut?"
Khaulah: "Putri dari orang yang anda cintai, yakni Aisyah binti Abu Bakar."
Nabi : (Setelah beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam diam untuk beberapa saat kemudian
bertanya), "Jika dengan seorang janda?"
Khaulah : "Dia adalah Saudah binti Zam'ah, seorang wanita yang telah beriman kepada
anda dan mengikuti yang anda bawa."
Beliau menginginkan Aisyah akan tetapi terlebih dahulu beliau nikahi Saudah binti
Zam'ah yang mana dia menjadi satu-satunya isteri beliau (setelah wafatnya Khadijah)
selama tiga tahun atau lebih baru kemudian masuklah Aisyah dalam rumah tangga
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang di Makkah merasa heran terhadap
pernikahan Nabi dengan Saudah binti Zam'ah. Mereka bertanya-tanya seolah-olah tidak
percaya dengan kejadian tersebut, seorang janda yang telah lanjut usia dan tidak begitu
cantik menggantikan posisi Sayyidah wanita Quraisy dan hal itu menarik perhatian bagi
para pembesar-pembesar diantara mereka.
Akan tetapi kenyataan membuktikan bahwa sesungguhnya Saudah atau yang lain tidak
dapat menggantikan posisi Khadijah, akan tetapi hal itu adalah, kasih sayang dan
penghibur hati adalah menjadi rahmat bagi beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam yang
penuh kasih.
Adapun Saudah radhiallaahu 'anha mampu untuk menunaikan kewajiban dalam rumah
tangga Nubuwwah dan melayani putri-putri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan
mendatangkan kebahagiaan dan kegembiraan di hati Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam
dengan ringannya ruhnya dan sifat periangnya dan ketidaksukaannya terhadap beratnya
badan.
Setelah tiga tahun rumah tangga tersebut berjalan maka masuklah Aisyah dalam rumah
tangga Nubuwwah, disusul kemudian istri-istri yang lain seperti Hafsah, Zainab, Ummu
Salamah dan lain-lain. Saudah radhiallaahu 'anha menyadari bahwa Nabi Shallallaahu
'alaihi wa sallam tidak mengawininya dirinya melainkan karena kasihan melihat
kondisinya setelah kepergian suaminya yang lama. Dan bagi beliau hal itu telah jelas dan
nyata tatkala Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam ingin menceraikan beliau dengan cara
yang baik untuk memberi kebebasan kepadanya, namun Nabi nerasa bahwa hal itu akan
menyakiti hatinya.Tatkala Nabi mengutarakan keinginannya untuk menceraikan beliau,
maka beliau merasa seolah-olah itu adalah mimpi buruk yang menyesakkan dadanya,
maka beliau merengek dengan merendahkan diri berkata: "pertahankanlah aku ya
Rasulullah !demi Allah tiadalah keinginanku diperistri itu karena ketamakan saya akan
tetapi hanya berharap agar Allah membangkitkan aku pada hari kiamat dalam keadaan
menjadi Istrimu.
Begitulah Saudah radhiallaahu 'anha lebih mendahulukan keridhaan suaminya yang
mulia, maka beliau berikan giliran beliau kepada Aisyah untuk menjaga hati Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa sallam dan beliau radhiallaahu 'anha sudah tidak memiliki
keinginan sebagaimana layaknya wanita lain.
Maka Rasulullah menerima usulan istrinya yang memiliki perasaan yang halus tersebut,
maka turunlah ayat Allah, "Maka tidak mengapa bagi keduannya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)." (Q. S.
An-Nisa':128)
Saudah radhiallaahu 'anha tinggal dirumah tangga nubuwwah dengan penuh keridhaan
dan ketenangan dan bersyukur kepada Allah yang telah menempatkan posisinya
disamping sabaik-baik makhluk di dunia dan dia bersyukur kepada Allah karena
mendapat gelar ummul mukminin dan menjadi istri Rasul di jannah. Akhirnya wafatlah
Saudah radhiallaahu 'anha pada akhir pemerintahan Umar bin Khattab radhiallaahu 'anha.
Ummul mukminin Aisyah radhiallaahu 'anha senantiasa mengenang dan mengingat
perilaku beliau dan terkesan akan keindahan kesetiaannya. Aisyah berkata, "Tiada
seorang wanitapun yang paling aku sukai agar aku memiliki sifat seperti dia melebihi
Saudah binti Zam'ah tatkala berusia senja yang mana dia berkata, "Ya Rasulullah aku
hadiahkan kunjungan anda kepadaku untuk Aisyah hanya saja beliau berwatak keras."
Sumber: Al-Sofwah

Asma' binti Yazid bin Sakan (Juru Bicara Wanita)

Beliau adalah Asma' binti Yazid bin Sakan bin Rafi' bin Imri'il Qais bin Abdul Asyhal bin
Haris al-Anshariyyah, al-Ausiyyah al-Asyhaliyah.
Beliau adalah seorang ahli hadis yang mulia, seorang mujahidah yang agung, memiliki
kecerdasan, dien yang bagus, dan ahli argumen, sehingga beliau dijuluki sebagai "juru
bicara wanita".
Di antara sesuatu yang istimewa yang dimiliki oleh Asma' ra adalah kepekaan inderanya
dan kejelian perasaannya serta ketulusan hatinya. Selebihnya dalam segala sifat
sebagaimana yang dimiliki oleh wanita-wanita Islam yang lain yang telah lulus dalam
madrasah nubuwwah, yakni tidak terlalu lunak (manja) dalam berbicara, tidak merasa
hina, tidak mau dianiaya dan dihina, bahkan beliau adalah seorang wanita yang
pemberani, tegar, mujahidah. Beliau menjadi contoh yang baik dalam banyak medan
peperangan.
Asma' ra mendatangi Rasulullah saw pada tahun pertama hijrah dan beliau berba'iat
kepadanya dengan ba'iat Islam. Rasulullah saw memba'iat para wanita dengan ayat yang
tersebut dalam surat Al-Mumtahanah, "Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-
perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
menyekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak
akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka
terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Mumtahanah: 12).
Ba'iat dari Asma' binti Yazid ra adalah untuk jujur dan ikhlas, sebagaimana yang
disebutkan riwayatnya dalam kitab-kitab sirah bahwa Asma' mengenakan dua gelang
emas yang besar, maka Nabi saw bersabda, "Tanggalkanlah kedua gelangmu wahai
Asma', tidakkah kamu takut jika Allah mengenakan gelang kepadamu dengan gelang dari
neraka?"
Maka, segeralah beliau tanpa ragu-ragu dan tanpa argumentasi untuk mengikuti perintah
Rasulullah saw, maka beliau melepaskannya dan meletakkan di depan Rasulullah saw.
Setelah itu Asma' aktif untuk mendengar hadis Rasulullah saw yang mulia dan beliau
bertanya tentang persoalan-persoalan yang menjadikan dia paham urusan dien. Beliau
pulalah yang bertanya kepada Rasulullah saw tentang tata cara thaharah (bersuci) bagi
wanita yang selesai haidh. Beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak malu untuk
menanyakan sesuatu yang hak. Oleh karena itu, Ibnu Abdil Barr berkata, "Beliau adalah
seorang wanita yang cerdas dan bagus diennya."
Beliau ra dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan
Rasulullah saw tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Pada suatu ketika
Asma' mendatangi Rasulullah saw dan bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya
adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang di belakangku, seluruhnya mengatakan
sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sebagaiamana aku
berpendapat. Sesungguhnya Allah SWT mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita,
kemudiaan kami beriman kepada anda dan memba'iat anda. Adapun kami para wanita
terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga
kaum laki-laki, dan kami adalah tempat melampiaskan syahwat mereka, kamilah yang
mengandung anak-anak mereka. Akan tetapi, kaum lelaki mendapat keutamaan melebihi
kami dengan salat Jumat, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar
untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka, yang mendidik anak-anak mereka,
maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan
mereka?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah saw menoleh kepada para sahabat dan
bersabda, "Pernahkan kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang dien yang
lebih baik dari apa yang dia tanyakan?"
Para sahabat menjawab, "Benar, kami belum pernah mendengarnya ya Rasulullah!"
Kemudian Rasulullah saw bersabda,"Kembalilah wahai Asma' dan beri tahukanlah
kepada para wanita yang berada di belakangmu bahwa perlakuan baik salah seorang
mereka kepada suaminya, dan meminta keridhaan suaminya, saatnya ia untuk mendapat
persetujuannya, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang
dikerjakan oleh kaum lelaki."
Maka, kembalilah Asma' sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang
disabdakan Rasulullah saw.
Dalam dada Asma' terbetik keinginan yang kuat untuk ikut andil dalam berjihad, hanya
saja kondisi ketika itu tidak memungkinkan untuk merealisasikannya. Akan tetapi, setelah
tahun 13 Hijriyah setelah wafatnya Rasulullah saw hingga perang Yarmuk beliau
menyertainya dengan gagah berani.
Pada perang Yarmuk ini, para wanita muslimah banyak yang ikut andil dengan bagian
yang banyak untuk berjihad sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir
dalam kitab al-Bidayah wan-Nihaayah, beliau membicarakan tentang perjuangan
mujahidin mukminin. Beliau berkata, "Mereka berperang dengan perang besar-besaran
hingga para wanita turut berperang di belakang mereka dengan gagah berani."
Dalam bagian lain beliau berkata, "Para wanita menghadang mujahidin yang lari dari
berkecamuknya perang dan memukul mereka dengan kayu dan melempari mereka
dengan batu. Adapun Khaulah binti Tsa'labah ra berkata:
Wahai kalian yang lari dari wanita yang bertakwa
Tidak akan kalian lihat tawanan
Tidak pula perlindungan
Tidak juga keridhaan
Beliau juga berkata dalam bagian yang lain, "Pada hari itu kaum muslimah berperang dan
berhasil membunuh banyak tentara Romawi, akan tetapi mereka memukul kaum
muslimin yang lari dari kancah peperangan hingga mereka kembali untuk berperang."
Dalam perang yang besar ini, Asma' binti Yazid menyertai pasukan kaum muslimin
bersama wanita-wanita mukminat yang lain berada di belakang para mujahidin
mencurahkan segala kemampuan dengan membantu mempersiapkan senjata, memberikan
minum bagi para mujahidin dan mengobati yang terluka di antara mereka serta memompa
semangat juang kaum muslimin.
Akan tetapi, manakala berkecamuknya perang, manakala suasana panas membara dan
mata menjadi merah, ketika itu Asma' ra lupa bahwa dirinya adalah seorang wanita.
Beliau hanya ingat bahwa dirinya adalah muslimah, mukminah, dan mampu berjihad
dengan mencurahkan segenap kemampuan dan kesungguhannya. Hanya beliau tidak
mendapatkan apa-apa yang di depannya melainkan sebatang tiang kemah, maka beliau
membawanya kemudian berbaur dengan barisan kaum muslimin. Beliau memukul
musuh-musuh Allah ke kanan dan ke kiri hingga dapat membunuh sembilan orang dari
tentara Romawi, sebagaimana yang dikisahkan oleh Imam Ibnu Hajar tentang beliau,
"Dialah Asma' binti Yazid bin Sakan yang menyertai perang Yarmuk, ketika itu beliau
membunuh sembilan tentara Romawi dengan tiang kemah, kemudian beliau masih hidup
selama beberapa tahun setelah peperangan tersebut."
Asma' keluar dari peperangan dengan membawa luka di punggungnya dan Allah
menghendaki beliau masih hidup setelah itu selama 17 tahun karena beliau wafat pada
akhir tahun 30 Hijriyah setelah menyuguhkan kebaikan bagi umat.
Semoga Allah merahmati Asma' binti Yazid bin Sakan dan memuliakan dengan hadis
yang telah beliau riwayatkan bagi kita, dan dengan pengorbanan yang telah beliau
usahakan, dan telah beramal dengan sesuatu yang dapat dijadikan pelajaran bagi yang
lain dalam hal mencurahkan segala kemampuan dan usaha demi memperjuangkan al-haq
dan mengibarkan bendera hingga dien ini hanya bagi Allah.
Sumber: Nisaa' Haular Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli & Musthafa Abu an-Nashr
asy-Syalabi

Abu Ubaidah bin Jarrah r.a

( Kepercayaan ummat )

Tubuhnya kurus tinggi dan berjenggot tipis. Beliau termasuk orang yang pertama masuk
Islam. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi SAW :"Sesungguhnya setiap
ummat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan ummat ini adalah Abu Ubaidah
bin Jarrah."
Kehidupan beliau tidak jauh berbeda dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan
pengorbanan dan perjuangan menegakkan Dien Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus
hijrah ke Ethiopia pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun
kemudian beliau balik kembali untuk menyeertai perjuangan Rasulullah SAW , mengikuti
setiap peperangan sejak perang Badar.
Pada saat perang Uhud, lagi-lagi Abu Ubaidah menunjukkan kualitas keimanannya.
Dalam kecamuk perang yang begitu dasyat, ia melihat ayahnya dalam barisan kaum
musyrikin. Dan melihat kepongahan ayahnya, tanpa ragu lagi, ia mengayunkan
pedangnya untuk menghabisi salah satu gembong Quraisy yang tidak lain adalah ayahnya
sendiri.
Masih dalam perang Uhud, ketika pasukan muslimin kocar-kacir dan banyak yang lari
meninggalkan pertempuran, justru Abu Ubaidah berlari untuk mendapati Nabinya tanpa
takur sedikitpun terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabinya
terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berupaya
mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi SAW .
Abu Ubaidah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itupun
akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW . Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri
Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali
lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah SAW
hingga terlepas. Dan kali inipun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah
sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan
pengorbanan yang tak terperikan.
Sisi lain dari kehebatan sahabat yang satu ini adalah kezuhudannya. Ketika kekuasaan
Islam telah meluas dan kekhalifahan dipimpin Umar r.a, Abu Ubaidah menjadi pemimpin
didaerah Syria`. Saat Umar mengadakan kunjungan dan singgah dirumahnya, tak terlihat
sesuatupun oleh Umar r.a kecuali pedang, perisai dan pelana tunggangannya. Umarpun
lantas berujar,"Wahai sahabatku, mengapa engkau tidak mengambil sesuatu sebagaimana
orang lain mengambilnya ?" Beliau menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini saja sudah
cukup menyenangkan."
Lelaki mulia ini wafat ketika terjadi wabah penyakit tho`un di Syam. Selamat atasmu
wahai Abu Ubaidah, semoga kami bisa meneladani perilakumu. Wallahu a`lam.
( Adaptasi dari Shifatu Shofwah : I/154 dll )
( Disarikan dari Shifatush Shofwah, Ibnu Jauzi dan Qishhshu An-Nisa Fi Al Qur`an Al-
Karim, Jabir Asyyaal )

Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah

Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah saw dengan tangan kanannya
sambil bersabda, "Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan
sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah."
Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur Dzatus Salasil sebagai bantuan
bagi Amar bin 'Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di
dalamnya terdapat Abu Bakar dan Umar.
Siapakah sahabat yang mula pertama disebut sebagai amirul umara atau panglima besar
ini.
Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya,
berwibawa wajahnya, dan ompong karena patah dua gigi mukanya.
Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga Umar bin Khattab ketika
hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya,
"Seandainya Abu 'Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang
yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu
tentulah, "Saya angkat kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya."
Ia adalah Abu 'Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah. Ia masuk Islam melalui Abu
Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah saw mengambil rumah
Arqam sebagai tempat da'wah. Ia ikut hijrah ke Habsy pada kali kedua. Ia kembali pulang
agar dapat mendampingi Rasulullah di perang Badar, perang Uhud, dan pertempuran-
pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai
seorang kuat yang dipercaya mendampingi Abu Bakar dan kemudian Umar dalam
pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam
menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan
keteguhan.
Ketika Abu 'Ubaidah bai'at atau sumpah setia kepada Rasulullah saw akan
membangkitkan hidupnya di jalan Allah, ia menyadari sepenuhnya makna kata-kata yang
tiga ini: berjuan dijalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk
menyerahkan kepadanya apa saja yang diperlukan berupa darma bakti dan pengurbanan.
Semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai'at kepada Rasulullah, ia tidak
memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya
dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan dibaktikan
pada jalan-Nya demi mencapai keridhaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk
kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat
menyelewengkannya dari jalan Allah itu.
Maka tat kala Abu 'Ubaidah telah menepati janji yang dilakukan oleh para sahabat
lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang
menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta dihadiahkan
Rauslullah kepadanya, dengan sabdanya:
"Orang kepercayaan ummat ini, Abu 'Ubaidah ibnul Jarrah."
Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu 'Ubaidah atas segala tanggung
jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol. Umpamanya waktu perang Uhud,
dari gerak gerik dan jalan pertempuran, diketahuinya bahwa tujuan utama dari orang-
oarng musyrik itu adalah bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi untuk menghabisi
riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya untuk selalu
dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.
Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka,
merambah dan mendesak tentara berhala yang hendak melampiaskan maksud jahat
mereka untuk memadamkan nur Ilahi. Setiap suasana medan pertempuran memaksanya
terpisah jauh dari Rasulullah saw, ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan
matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati cemas dan
jiwa gelisah. Jika dilihatnya ada bahaya yang mengancam Nabi, maka ia bagaikan
disentakan dari tempatnya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan menghalau
mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya.
Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena
terkepung oleh tentara musuh; tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang
mengintai kedaan sekitarnya. Hampir saja ia gelap mata, melihat sebuah anak panah
meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Terlihatlah pedangnya yang
sebilah itu berkelibatan, tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang
mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang mendapatkan
Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya
Rasulullah, Al-Amin, menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
"Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang mencemari wajah Nabi mereka,
padahal ia menyerunya kepada Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Tuhan
mereka."
Abu 'Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi penutup kepala Rasulullah
menancap di kedua belah pipinya. Abu 'Ubaidah tak dapat manahan hatinya lagi; ia
segera menggigit salah satu mata rantai itu dengan gigi manisanya lalu menariknya
dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu,
tercabut pula sebuah gigi manis Abu 'Ubaidah, lalu ditariknya mata rantai yang kedua dan
tercabut pulalah gigi manis Abu 'Ubaidah yang kedua. Dan baiklah kita serahkan kapda
Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan persitiwa itu;
"Di waktu perang Uhud dan Rasulullah saw ditimpa anak panah hingga dua buah rantai
ketopong masuk ke dua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan
Rasulullah saw kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan timur,
maka kataku: 'Ya Allah, moga-moga itu merupakan pertolongan!' Dan kala kami sampai
pada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu 'Ubaidah yang telah mendahuluinya ke
sana, serta katanya, "Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar
saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah saw." Saya pun membiarkanya, maka
dengan gigi mukanya Abu 'Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup
kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah
gigi manis Abu 'Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan
giginya yang lain hingga sama tercabut, meneyebabkan Abu 'Ubaidah tampak di hadapan
orang banyak bergigi ompong."
Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para sahabat, maka amanah
dan kejujuran Abu 'Ubaidah meningkatlah pula. Tat kala ia dikirim oleh Nabi saw dalam
ekspedisi "Daun Khabath" dengan memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang
berbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit dan jarak yang
akan ditempuh jauh pula, Abu 'Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati
gembira. Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan berbekallah setiap
prajurit setiap harinya hanyalah segenggam kurma. Ketika perbekalan hampir habis,
maka bagian masing-maisng prajurit hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Tat kala habis
sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut "khabath," lalu mereka
tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunkan alat senjata. Di samping daun-
daun itu dijadikan sebagai makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk air
minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi "Daun Khabath."
Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, dan tak ada tujuan mereka
kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya.
Rasulullah amat sayang kepada Abu 'Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan
beliau sangat terkesan kepadanya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman
menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka
seorang guru untuk mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta seluk beluk agama
Islam, maka ujar beliau:
"Baiklah, akan saya kirim bersama Tuan-Tuan seorang yang terpercaya, benar-benar
terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya."
Para sahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah saw ini, dan masing-
masing berharap agar pilihan agar jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh
pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan lagi kebenarannya.
Umar bin khattab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
"Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan
beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku. Aku cepat-cepat
berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat
dhuhur, beliau memberi salam, lalu menoleh kesebelah kanan dan kiri. Maka saya pun
mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau. Tetapi ia juga masih melayangkan
pandangannya menacari-cari, hingga akhirnya tampaklah Abu 'Ubaidah, maka
dipanggilnya, lalu sabdanya: "Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah
apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq."
Maka Abu 'Ubaidah berangkatlah bersama orang-orang itu."
Dengan peristiwa ini, tentu saja tidak berarti bahwa Abu 'Ubaidah merupakan satu-
satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak.
Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan
yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu, ia adalah salah seorang, mungkin
juga satu-satunya orang pada masa itu, yang berpropesi da'i.
Sebagaimana Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan di masa Rasulullah saw ,
demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan; memikul
semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan
bagi seluruh ummat manusia.
Di bawah panji-panji Islam, kemana pun ia pergi, ia adalah seorang prajurit yang dengan
keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima; dan disaat ia sebagai
panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hatinya, menyebabkan tidak lebih dari
seorang prajurit biasa.
Kemudian, tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin tentara Islam dalam salah satu
pertempuran terbesar yang menentukan, tiba-tiba amirul mu'minin Umra mema'lumkan
titahnya untuk mengangkat Abu 'Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi
diterimanya berita itu, dari utusan khalifah, dimintanya orang itu untuk merahasiakan
berita tersebut kepada umum. Sementara, Abu 'Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan
suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki seorang zuhud, arif, bijaksana, lagi
dipecaya, menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar.
Setelah kemenangan tercapai, barulah ia mendapatkan Khlaid dengan hormat dan
ta'dhimnya untuk menyerahkan surat dari amirul mu'minin. Ketika Khalid bertanya
kepadanya, "Semoga Allah memberimu rahmat wahai Abu 'Ubaidah! Apa sebanya anda
tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya?" Maka ujar kepercayaan ummat
itu, "Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang
kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal. Kita semua bersaudara karena Allah."
Demikianlah, Abu 'Ubaidah telah menjadi panglima besar di Syria Di bawah
kekuasaanya, bernaung sebagian besar tentara Islam, baik dalam luas wilayahnya,
maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangannya. Tetapi bila anda melihatnya, maka
sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari kaum
muslimin.
Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan keta'juban
mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannya mereka lalu ia berdiri
menyampaikan pidato.
Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkannya kepada orang-orang yang
terpesona dengan kekuatan, kebesaran dan sifat amanahnya, "Hai ummat manusia?.!"
"Sesungguhnya saya ini adalah seorang muslim dari suku Quraisy. Dan siapa saja
diantara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih takwa dari padaku, hatiku
ingin sekali berada dalam bimbingannya?.!"
Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu 'Ubaidah. Dan mengekalkan
agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu.
Kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemimpin tentara Islam yang paling banyak
jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya,
begitu pun sebagai wali negeri diwilayah Syria yang semua kehendakanya berlaku dan
perintahnya ditaati, maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan
ketakwaanya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan.
Amirul Mu'minin umar bin Khattab datang berkunjung ke Syria, kepada para
penyambutnya ditanyakannya:
"Mana saudara saya?"
"Siapa?," ujar mereka.
"Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah," katanya pula.
Kemudian datanglah Abu 'Ubaidah yang kemudian dipeluk oleh Amirul Mu'minin, lalu
mereka pergi bersama-sama kerumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga
terdapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana kendarannya.
Sambil tersenyum, Umar bertanya kepadanya, "Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu
sebagaimana dilakukan oleh orang lain?" Maka jawab Abu 'Ubaidah, "Wahai Amirul
Mu'minin, ini menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat."
Pada suatu hari di Madinah, tat kala Amirul Mu'minin Umar Al-Faruq sibuk menangani
dunia Islam yang luas, disampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu 'Ubaidah.
Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air. Dan air itu pun
meleleh, hingga Amirul Mu'minin membuka matanya dengan tawakal menyerahkan diri.
Dimohonkannya rahmat bagi sahabatnya itu, dan bangkitlah kanangan-kenangan lamanya
bersama almarhum ra yang ditampungnya dengan hati sabar diliputi duka. Kemudian
diulangi kembali ucapan berkenaan sahabatnya itu, katanya:
"Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang
penuh di diami oleh tokoh-tokoh seperti Abu 'Ubaidah."
Orang kepercayan dari ummat ini wafat diatas bumi yang telah disucikannya dari
keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan disana sekarang ini, yaitu dalam
pangkuan tanah Yordania, bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat
bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan.
Meskipun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia
atau bagi anda, karena seandainya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak
memerlukan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda
ke tempatnya itu.
Sumber: Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, Khalid Muh. Khalid

http://www.ziddu.com/download/15386545/IndahnyaPernikahanIslami.chm.html

http://www.ziddu.com/download/15386681/MelihatKebaikandiSegalaHal.chm.html

http://www.ziddu.com/download/15386696/NasehatUntukMuslimah.pdf.html

Anda mungkin juga menyukai