Anda di halaman 1dari 19

Pengobatan Perawatan Kritis

Simon R. Finfer, MD, dan Jean-Louis Vincent, MD, Ph.D., Editor

Cairan Resusitasi
John A. Myburgh, MB, B.Ch., Ph.D., dan Michael G. Mythen, MD, MB, BS
N Engl J Med 369;13 September 26, 2013
The New England Journal of Medicine

Resusitasi cairan dengan larutan koloid dan kristaloid adalah intervensi yang
digunakan dalam pengobatan akut. Pemilihan dan penggunaan cairan resusitasi
didasarkan pada prinsip-prinsip fisiologis, namun praktek klinisnya ditentukan
oleh pilihan dokter, dengan variasi tiap tempat. Tidak ada cairan resusitasi yang
ideal. Ada penelitian yang membuktikan bahwa jenis dan dosis cairan resusitasi
dapat mempengaruhi outcome pada pasien.
Meskipun apa yang disimpulkan dari prinsip-prinsip fisiologis, larutan
koloid tidak menawarkan keuntungan secara substantif melebihi larutan kristaloid
sehubungan dengan efek hemodinamik. Albumin dianggap sebagai larutan koloid
yang disukai, tetapi penggunaannya terbatas. Meskipun albumin aman untuk
digunakan sebagai cairan resusitasi pada kebanyakan pasien sakit kritis dan
memiliki peran dalam keadaan sepsis awal, penggunaannya dapat meningkatkan
mortalitas di antara pasien dengan cedera otak traumatis. Penggunaan larutan
hydroxyethil starch (HES) adalah berhubungan dengan peningkatan terapi ginjal
pengganti dan efek samping pada pasien di unit perawatan intensif (ICU). Tidak
ada bukti untuk merekomendasikan penggunaan larutan koloid semisintetik
lainnya.
Larutan garam seimbang merupakan cairan resusitasi awal yang umumnya
diberikan, meskipun ada sedikit bukti langsung tentang perbandingan keamanan
dan khasiat. Penggunaan normal salin telah dikaitkan dengan perkembangan
asidosis metabolik dan gagal ginjal akut. Keamanan penggunaan larutan
hipertonik belum dibuktikan.
Semua cairan resusitasi dapat berkontribusi pada pembentukan edema
interstitial, terutama dalam kondisi inflamasi di mana cairan resusitasi digunakan

1
secara berlebihan. Dokter perawatan kritis harus mempertimbangkan penggunaan
cairan resusitasi karena akan menggunakan obat intravena lainnya. Pemilihan
cairan spesifik harus didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, dan efek toksik
potensial untuk memaksimalkan efektivitas dan meminimalkan toksisitas.

Sejarah Resusitasi Cairan

Pada tahun 1832, Robert Lewins mendeskripsikan efek dari pemberian


intravena larutan garam alkali dalam mengobati pasien selama pandemi kolera. Ia
mengamati bahwa "jumlah yang diperlukan untuk disuntikkan mungkin akan
ditemukan bergantung pada jumlah serum yang hilang; tujuannya untuk
menempatkan pasien pada keadaan biasa sebagaimana jumlah darah yang beredar
dalam pembuluh darah”. Pengamatan Lewins tersebut masih relevan hingga hari
ini meskipun hampir 200 tahun yang lalu.
Resusitasi cairan Asanguinous di era modern dikemukakan oleh Alexis
Hartmann, yang memodifikasi larutan garam fisiologis yang dikembangkan pada
tahun 1885 oleh Sidney Ringer untuk rehidrasi anak-anak dengan gastroenteritis.
Dengan perkembangan fraksinasi darah pada tahun 1941, human albumin
digunakan untuk pertama kalinya dalam jumlah besar untuk resusitasi pasien yang
terbakar pada serangan terhadap Pelabuhan Pearl Harbor di tahun yang sama.
Hari ini, cairan asanguinous digunakan di hampir semua pasien yang
menjalani anestesi umum untuk operasi besar, pada pasien dengan trauma berat
dan luka bakar, dan pada pasien di ICU. Ini adalah salah satu intervensi yang
paling sering dalam pengobatan akut.

2
Terapi cairan dengan hanya satu komponen dari strategi resusitasi
hemodinamik kompleks. Terapi tersebut ditargetkan terutama untuk
mengembalikan volume intravaskular. Sejak aliran balik vena berada dalam
kesetimbangan dengan curah jantung, secara simpatis dimediasi oleh respon yang
mengatur sirkulasi kapasitansi eferen (vena) dan konduktansi aferen (arteri) selain
kontraktilitas miokard. Terapi ajuvan untuk resusitasi cairan, seperti penggunaan
katekolamin untuk meningkatkan kontraksi jantung dan aliran balik vena, perlu
perttimbangan awal untuk mendukung kegagalan sirkulasi. Selain itu, perubahan
pada mikrosirkulasi di organ vital bervariasi dari waktu ke waktu dan di bawah
keadaan patologi yang berbeda-beda, dan efek dari pemberian cairan pada fungsi
organ akhir harus dipertimbangkan bersama dengan efek pada volume
intravaskular.

3
Fisiologi Resusitasi Cairan

Selama beberapa dekade, para dokter telah mendasarkan pilihan mereka


cairan resusitasi pada model kompartemen klasik, khususnya kompartemen cairan
intraseluler dan komponen interstitial dan intravaskular dari kompartemen cairan
ekstraseluler dan faktor-faktor yang menentukan distribusi cairan yang melalui di
kompartemen ini. Pada tahun 1896, seorang ahli fisiologi asal Inggris Ernest
Starling menemukan bahwa kapiler-kapiler dan venula post kapiler bertindak
sebagai membran semipermeabel yang menyerap cairan dari ruang interstisial.
Prinsip ini disesuaikan dengan mengidentifikasi gradien tekanan hidrostatik dan
onkotik yang melintasi membran semipermeabel sebagai penentu utama
pertukaran transvaskular.
Deskripsi terakhir telah mempertanyakan model klasik ini. Suatu jaringan
dari membran Glikoprotein dan proteoglikan pada lumen sel endotel telah
diidentifikasi sebagai lapisan endotel glikokaliks (Gambar 1). Ruang
subglikokaliks itu menghasilkan tekanan onkotik koloid yang merupakan faktor
penentu penting pada aliran transkapiler. Kapiler melintasi ruang interstitial telah
diidentifikasi, menunjukkan bahwa penyerapan cairan tidak terjadi melalui kapiler
vena tapi cairan tersebut dari ruang interstisial, yang masuk melalui sejumlah
kecil pori-pori besar, dikembalikan ke sirkulasi terutama sebagai getah bening
yang diatur melalui respons simpatis.
Struktur dan fungsi lapisan glikokaliks endotel merupakan penentu utama
dari permeabilitas membran dalam berbagai pembuluh darah sistemik
organ. Integritas, atau "kebocoran," dari lapisan ini, dan berpotensi untuk
terjadinya edema interstitial, yang bervariasi secara substansial antara sistem
organ, terutama di bawah kondisi inflamasi, seperti sepsis, dan setelah operasi
atau trauma, ketika cairan resusitasi digunakan.

Cairan Resusitasi Ideal

Cairan resusitasi yang ideal harus menjadi salah satu yang menghasilkan
peningkatan yang dapat diprediksi dan berkelanjutan dalam volume intravaskular,

4
memiliki komposisi kimia sedekat mungkin dengan yang cairan ekstraseluler,
dimetabolisme dan diekskresikan tanpa akumulasi dalam jaringan, tidak
menghasilkan efek metabolik atau sistemik yang merugikan, dan efektif biaya
dalam hal meningkatkan outcome pasien. Saat ini, tidak ada cairan tertentu yang
mampu untuk penggunaan klinis.
Cairan resusitasi secara luas dikategorikan menjadi koloid dan larutan
kristaloid (Tabel 1). Larutan koloid adalah suspensi molekul dalam larutan
pembawa yang relatif tidak sanggup melintasi membran semipermeabel kapiler
yang sehat karena berat molekul larutan tersebut. Kristaloid adalah larutan dari
ion permeabel bebas tapi mengandung konsentrasi natrium dan klorida yang
menentukan tonisitas cairan.
Larutan koloid dianggap lebih efektif dalam meningkatkan volume
intravaskular karena dapat dipertahankan di dalam ruang intravaskular dan
mempertahankan tekanan onkotik koloid. Efek penggunaan koloid, dibandingkan
dengan kristaloid, adalah 1:3 rasio koloid terhadap kristaloid untuk
mempertahankan volume intravaskular. Koloid semisintetik memiliki durasi efek
yang lebih singkat daripada larutan human albumin tetapi secara aktif
dimetabolisme dan diekskresikan.
Para penganut pemberian larutan kristaloid beranggapan bahwa koloid,
human albumin tertentu, tergolong mahal dan tidak praktis untuk digunakan
sebagai cairan resusitasi, terutama di bawah kondisi tertentu. Kristaloid yang
murah dan banyak tersedia, berperan sebagai lini pertama cairan resusitasi,
meskipun belum terbukti. Namun, penggunaan kristaloid secara klasik dikaitkan
dengan perkembangan secara klinis edema interstitial.

Jenis Cairan Resusitasi

Secara global, ada variasi yang luas dalam praktek klinis sehubungan
dengan pemilihan cairan resusitasi. Pilihan ini ditentukan terutama oleh daerah
dan pilihan dokter yang didasarkan pada protokol institusi, ketersediaan, biaya,
dan pemasaran komersil. Dokumen konsensus tentang penggunaan cairan
resusitasi telah dikembangkan dan diarahkan terutama pada populasi pasien

5
tertentu, namun rekomendasi tersebut sebagian besar didasarkan pada pendapat
ahli atau bukti klinis yang berkualitas rendah. Pada percobaan terkontrol, acak,
dan sistematis, secara konsisten menunjukkan bahwa ada sedikit bukti resusitasi
dengan satu jenis cairan dibandingkan dengan penggunaan tambahan lain
mengurangi risiko kematian atau bahwa satu jenis larutan lebih efektif atau lebih
aman.

Albumin
Human albumin (4-5%) dalam garam atau saline dianggap menjadi cairan
koloid yang disukai. Larutan ini diproduksi oleh fraksinasi darah dan dipanaskan
untuk mencegah penularan virus patogen. Larutan ini mahal untuk diproduksi dan
didistribusikan, dan ketersediaannya terbatas di negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah.
Pada tahun 1998, Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers menerbitkan
meta-analisis yang membandingkan efek albumin dengan beberapa larutan
kristaloid pada pasien dengan hipovolemia, luka bakar, atau hipoalbuminemia dan
disimpulkan bahwa pemberian albumin dikaitkan dengan peningkatan yang
signifikan terhadap tingkat kematian (risiko relatif, 1,68; interval kepercayaan
95%, 1,26-2,23; P <0,01). Meskipun terbatas, termasuk penelitian dengan skala
kecil, penelitian meta-analisis ini menyebabkan tanda penting, khususnya di
negara-negara yang menggunakan albumin jumlah besar untuk resusitasi.
Akibatnya, peneliti di Australia dan Selandia Baru melakukan penelitian
Saline vs Albumin Fluid Evaluation (SAFE), uji coba secara acak dan terkontrol
untuk memeriksa keamanan albumin di 6.997 orang dewasa di ICU. Penelitian
tersebut menilai pengaruh resusitasi dengan 4% albumin, dibandingkan dengan
garam, pada tingkat kematian di 28 hari. Studi ini menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara albumin dan saline sehubungan dengan tingkat
kematian (relatif risiko, 0,99; 95% CI, 0,91-1,09; P = 0,87) atau pengembangan
kegagalan organ baru.

6
Analisis tambahan dari studi SAFE memberikan wawasan baru mengenai
resusitasi cairan pada pasien di ICU. Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan
peningkatan yang signifikan pada tingkat kematian pada 2 tahun di antara pasien
dengan cedera otak traumatis (risiko relatif, 1,63; 95% CI, 1,17-2,26; P = 0,003).
Hasil ini dikaitkan dengan peningkatan tekanan intrakranial, terutama selama
minggu pertama setelah trauma. Resusitasi dengan albumin dikaitkan dengan
penurunan risiko kematian dalam 28 hari pada pasien dengan sepsis berat (odds
ratio, 0,71; 95% CI, 0,52-0,97; P = 0,03), yang mengisyaratkan manfaat yang
berpotensi, tapi berdasar, pada pasien dengan sepsis berat. Tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat kematian dalam 28 hari diamati antara pasien dengan
hipoalbuminemia (kadar albumin, ≤25 g per liter) (rasio odds, 0,87; 95% CI, 0,73-
1,05).
Dalam penelitian SAFE, tidak ada perbedaan yang signifikan pada titik
akhir resusitasi hemodinamik, seperti mean arterial pressure (MAP) atau denyut
jantung, yang diamati antara kelompok albumin dan saline, meskipun penggunaan
albumin dikaitkan dengan peningkatan tekanan vena sentral signifikan (tetapi

7
secara klinis kecil). Rasio volume albumin terhadap volume garam yang diberikan
untuk mencapai titik akhir ini terpantau berada 1: 1,4.
Pada tahun 2011, peneliti di sub-Sahara Afrika melaporkan hasil acak dan
terkontrol – penelitian Fluid Expansion as Supportive Therapy (FEAST) – yang
membandingkan penggunaan bolus albumin atau garam tanpa bolus cairan
resusitasi di 3141 anak demam dengan gangguan perfusi. Dalam penelitian ini,
resusitasi bolus dengan albumin atau saline mengakibatkan tingkat kematian
serupa pada 48 jam, tapi ada sebuah peningkatan signifikan dalam tingkat
kematian pada 48 jam terkait dengan kedua terapi, dibandingkan tanpa terapi
bolus (risiko relatif, 1,45; 95% CI, 1,13-1,86; P = 0,003). Penyebab utama
kematian pada pasien ini adalah kolaps sistem kardiovaskular daripada kelebihan
cairan atau penyebab neurologis, menunjukkan interaksi yang berpotensi
merugikan antara resusitasi cairan bolus dan respons kompensasi neurohormonal.
Meskipun percobaan ini dilakukan dalam kasus pediatrik tertentu dalam suatu
lingkungan di mana fasilitas perawatan kritis yang terbatas atau tidak ada, hasil
tersebut menimbulkan pertanyaan peran resusitasi cairan bolus baik dengan
albumin atau saline pada populasi pasien dengan sakit kritis.
Pengamatan pada penelitian kunci ini memberikan tantangan berupa konsep
berdasarkan fisiologis tentang khasiat albumin dan perannya sebagai larutan
resusitasi. Pada penyakit akut, tampak bahwa efek hemodinamik dan efek pada
outcome albumin pasien sebagian besar setara dengan saline. Apakah populasi
tertentu, terutama mereka dengan sepsis berat, dapat berguna dengan resusitasi
albumin.

Koloid Semisintetik
Terbatasnya ketersediaan dan biaya relatif mahal pada human albumin telah
mendorong pengembangan dan peningkatan penggunaan larutan koloid
semisintetik selama 40 tahun terakhir. Secara global, larutan HES adalah
semisintetik koloid yang paling umum digunakan, terutama di Eropa. Semisintetik
koloid lainnya termasuk succinylated gelatin, urea-linked gelatin-polygeline
preparations, dan larutan dextran. Penggunaan larutan dekstran sebagian besar
telah digantikan oleh penggunaan larutan semisintetis lainnya.

8
Larutan HES diproduksi oleh substitusi hidroksietil amilopektin yang
diperoleh dari sorghum, jagung, atau kentang. Kadar tinggi substitusi pada
molekul glukosa melindungi terhadap hidrolisis oleh amilase nonspesifik di dalam
darah, sehingga memperpanjang perluasan intravaskular, tapi tindakan ini
meningkatkan potensi HES untuk terakumulasi dalam jaringan retikuloendotelial,
seperti kulit (yang mengakibatkan pruritus), hati, dan ginjal.
Penggunaan HES, khususnya preparat dengan berat molekul tinggi, terkait
dengan perubahan koagulasi - khususnya, perubahan viskoelastis dan fibrinolisis -
meskipun konsekuensi klinis efek ini pada populasi pasien tertentu, seperti yang
menjalani operasi atau pasien dengan trauma, tidak dapat ditentukan. Laporan
penelitian telah mempertanyakan keamanan konsentrasi (10%) larutan HES
dengan berat molekul lebih dari 200 kD dan rasio substitusi molar lebih dari 0,5 di
pasien dengan sepsis berat, peningkatan angka kematian, gagal ginjal akut, dan
penggunaan terapi ginjal pengganti.
Saat ini konsentrasi larutan HES diturunkan (6%) dengan berat molekul 130
kD dan rasio substitusi molar 0,38-0,45. Larutan tersebut tersedia dalam berbagai
jenis larutan pembawa kristaloid. Larutan HES secara luas digunakan pada pasien
yang menjalani anestesi untuk operasi besar, terutama sebagai komponen pada
pemberian cairan perioperatif, sebagai cairan resusitasi lini pertama di medan
perang, dan pada pasien di ICU. Karena potensi pada larutan tersebut dapat
terkumpul dalam jaringan, dosis HES harian maksimal yang dianjurkan adalah
33-50 ml per kilogram berat badan per hari.
Dalam uji coba acak dan terkontrol yang melibatkan 800 pasien dengan
sepsis berat di ICU, peneliti Skandinavia melaporkan bahwa penggunaan 6% HES
(130 / 0.42), dibandingkan dengan Ringer Asetat, didapatkan peningkatan yang
signifikan pada angka kematian pada 90 hari (risiko relatif, 1,17; 95% CI, 1,01-
1,30; P = 0,03) dan peningkatan relatif signifikan sebesar 35% pada terapi ginjal
pengganti. Hasil ini sesuai dengan percobaan sebelumnya dengan larutan 10%
HES (200 / 0.5) pada populasi pasien yang sama.
Dalam studi acak dan terkontrol, yang disebut Crystalloid versus
Hydroxyethyl Starch Trial (CHEST), yang melibatkan 7000 pasien dewasa di
ICU, penggunaan 6% HES (130 / 0.4), dibandingkan dengan saline, tidak

9
didapatkan perbedaan yang signifikan di tingkat kematian pada 90 hari (relatif
risiko, 1,06; 95% CI, 0,96-1,18; P=0,26). Bagaimanapun, penggunaan HES
didapatkan peningkatan relatif signifikan 21% pada terapi ginjal pengganti.
Kedua penelitian tersebut (Skandinavia dan CHEST) menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan pada titik akhir resusitasi hemodinamik dalam
jangka pendek, selain dari kenaikan sementara di tekanan vena sentral dan
keperluan vasopressor dengan HES di CHEST. Rasio yang diamati dari HES
terhadap kristaloid dalam uji coba tersebut adalah sekitar 1: 1.3, yang konsisten
dengan rasio albumin terhadap saline yang dilaporkan dalam studi SAFE dan di
uji coba acak dan terkontrol terhadap HES.
Pada penelitian CHEST, HES dikaitkan dengan peningkatan output urine
pada pasien dengan risiko rendah untuk gagal ginjal akut tetapi dengan kenaikan
paralel dalam kadar kreatinin serum pada pasien pada peningkatan risiko untuk
gagal ginjal akut. Selain itu, penggunaan HES dikaitkan dengan peningkatan
penggunaan produk darah dan peningkatan efek samping, terutama pruritus.
Apakah hasil ini secara umum pada penggunaan larutan koloid semisintetik
lainnya, seperti sebagai preparat gelatin atau polygeline, belum diketahui. Sebuah
penelitian observasional terbaru telah memperhatikan tentang risiko gagal ginjal
akut yang terkait dengan penggunaan larutan gelatin. Namun, larutan ini belum
diteliti pada penelitian kualitas tinggi acak dan terkontrol hingga saat ini. Dalam
keterangan bukti kurangnya manfaat klinis, potensi nefrotoksisitas, dan
peningkatan biaya, penggunaan koloid semisintetik untuk resusitasi cairan pada
pasien sakit kritis sulit untuk dibenarkan.

Kristaloid
Natrium klorida (saline) adalah larutan kristaloid yang paling umum
digunakan secara global, terutama di Amerika Serikat. Normal saline (0,9%)
berisi natrium dan klorida dalam konsentrasi yang sama, yang membuat isotonik
dibandingkan dengan cairan ekstraseluler. Istilah "normal saline" berasal dari
penelitian lisis-sel darah merah oleh ahli fisiologi Belanda bernama Hartog
Hamburger pada tahun 1882 dan 1883, yang menunjukkan bahwa 0,9% adalah

10
konsentrasi yang garam dalam darah manusia, lebih tinggi daripada konsentrasi
sebenarnya 0,6%.
Perbedaan ion kuat 0,9% saline adalah nol, dengan hasil bahwa administrasi
volume besar saline menghasilkan asidosis metabolik hiperkloremia. Efek
samping seperti disfungsi imun dan ginjal telah dikaitkan dengan fenomena ini,
meskipun akibat klinis pada efek ini tidak jelas.
Perhatian tentang natrium dan kelebihan air yang terkait dengan resusitasi
saline telah menghasilkan konsep "volume kecil" kristaloid resusitasi dengan
penggunaan larutan saline hipertonik (3%, 5%, dan 7,5%). Namun, penggunaan
awal salin hipertonik untuk resusitasi, terutama pada pasien dengan cedera otak
traumatis, belum memperbaiki outcome jangka pendek atau jangka panjang.
Kristaloid dengan komposisi kimia yang mendekati cairan ekstraseluler
telah disebut larutan "seimbang" atau "fisiologis" dan derivat asli larutan
Hartmann dan Ringer. Namun, tak satu pun dari larutan tersebut yang baik benar-
benar seimbang atau fisiologis (Tabel 1).
Larutan garam seimbang relatif hipotonik karena memiliki konsentrasi
natrium lebih rendah dari cairan ekstraseluler. Karena ketidakstabilan larutan yang
mengandung bikarbonat dalam wadah plastik, anion alternatif, seperti laktat,
asetat, glukonat, dan malat, telah digunakan. Pemberian yang berlebihan pada
larutan garam seimbang dapat mengakibatkan hiperlaktatemia, alkalosis
metabolik, dan hipotonisitas (dengan senyawa natrium laktat) dan kardiotoksisitas
(dengan asetat). Penambahan kalsium dalam beberapa larutan dapat menghasilkan
microthrombi dengan transfusi sel darah merah yang mengandung sitrat.
Mengingat perhatian tentang kelebihan natrium dan klorida yang terkait
dengan yang normal saline, larutan garam seimbang semakin direkomendasikan
sebagai lini pertama cairan resusitasi pada pasien yang menjalani operasi, pasien
dengan trauma, dan pasien dengan ketoasidosis diabetik. Resusitasi dengan
larutan garam seimbang merupakan elemen kunci dalam pengobatan awal pada
pasien dengan luka bakar, meskipun ada peningkatan kekhawatiran tentang efek
samping dari beban cairan berlebihan, dan strategi "hipovolemia permisif" pada
pasien tersebut telah dianjurkan.

11
Suatu penelitian kohort observasional membandingkan tingkat komplikasi
utama pada 213 pasien yang hanya menerima 0,9% saline dan 714 pasien yang
menerima hanya larutan garam seimbang bebas kalsium (PlasmaLyte) untuk
penggantian cairan yang hilang pada pembedahan. Penggunaan larutan garam
seimbang menunjukkan penurunan signifikan pada tingkat komplikasi utama
(odds ratio, 0,79; 95% CI, 0,66-0,97; P <0,05), termasuk insiden lebih rendah dari
infeksi pasca operasi, terapi ginjal pengganti, transfusi darah, dan investigasi yang
berkaitan dengan asidosis.
Pada penelitian sekuensial, observasional, yang terpusat pada ICU,
penggunaan cairan restriktif klorida (menggunakan laktat dan larutan seimbang
bebas kalsium) untuk menggantikan intravena cairan kaya klorida (0,9% saline,
gelatin succinylated, atau 4% albumin) didapatkan penurunan signifikan dalam
kejadian gagal ginjal akut dan terapi ginjal pengganti. Mengingat meluasnya
penggunaan saline (> 200 juta liter per tahun di Amerika Serikat saja), data ini
menunjukkan bahwa uji coba secara acak dan terkontrol menguji keamanan dan
kemanjuran dari saline, dibandingkan dengan larutan garam seimbang, dapat
dijamin.

Dosis dan Volume

Keperluan dan respon terhadap resusitasi cairan sangat bervariasi pada


setiap penyakit kritis. Tidak ada ukuran fisiologis atau biokimia yang memadai
yang mencerminkan kompleksitas deplesi cairan atau respons terhadap resusitasi
cairan pada penyakit akut. Namun, hipotensi sistolik dan khususnya oliguria
banyak digunakan tindakan "fluid challenge", mulai 200-1000 ml kristalloid atau
koloid untuk pasien dewasa.

12
Tabel 2. Rekomendasi Resusitasi Cairan pada Pasien dengan Kondisi Penyakit
Akut
Cairan harus diberikan dengan perhatian yang sama dengan pemberian obat
intravena.
Pertimbangkan jenis, dosis, indikasi, kontraindikasi, potensi toksisitas, dan biaya.

Resusitasi cairan merupakan komponen dari proses fisiologis yang


kompleks.
Identifikasi cairan yang kemungkinan besar hilang dan gantilah cairan yang hilang
dengan volume setara.
Pertimbangkan natrium serum, osmolaritas, dan status asam-basa ketika memilih
cairan resusitasi.
Pertimbangkan keseimbangan cairan kumulatif dan berat badan yang sebenarnya
ketika memilih dosis cairan resusitasi.
Pertimbangkan penggunaan awal katekolamin sebagai pengobatan yang cocok
dengan syok.

Kebutuhan cairan berubah dari waktu ke waktu pada pasien sakit kritis.
Dosis kumulatif resusitasi dan perawatan cairan berhubungan dengan edema
interstitial.
Edema patologis dikaitkan dengan hasil yang merugikan.
Oliguria adalah respon normal terhadap hipovolemia dan tidak boleh digunakan
sebagai pemicu atau titik akhir untuk resusitasi cairan, terutama pada periode
pasca-resusitasi.
Penggunaan fluid challenge dalam periode pasca-resusitasi (≥24 jam) masih
diragukan.
Penggunaan cairan pemeliharaan hipotonik diragukan setelah dehidrasi dikoreksi.

Pertimbangan khusus berlaku untuk kategori yang berbeda dari pasien.


Pasien pendarahan memerlukan kontrol perdarahan dan transfusi dengan sel darah
merah dan komponen darah seperti yang ditunjukkan.
Larutan garam seimbang yang isotonik merupakan cairan resusitasi awal yang
umum digunakan pada mayoritas pasien akut.
Pertimbangkan saline pada pasien dengan hipovolemia dan alkalosis.
Pertimbangkan albumin selama resusitasi awal pasien dengan sepsis berat.
Saline atau kristaloid isotonik diindikasikan pada pasien dengan cedera otak
traumatis.
Albumin tidak diindikasikan pada pasien dengan cedera otak traumatis.
Hydroxyethil starch (HES) tidak diindikasikan pada pasien dengan sepsis atau
yang berisiko untuk gagal ginjal akut.
Keamanan koloid semisintetik lainnya belum dibuktikan, sehingga penggunaan
larutan ini tidak dianjurkan.
Keamanan salin hipertonik belum dibuktikan.
Jenis dan dosis yang sesuai untuk cairan resusitasi pada pasien dengan luka bakar
belum ditentukan.

13
Penggunaan cairan resusitasi kristaloid dan koloid, sering diresepkan oleh
anggota tim klinis yang paling junior, selain cairan "pemeliharaan" hipotonik,
menghasilkan peningkatan dosis kumulatif natrium dan air. Peningkatan ini
berhubungan dengan pengembangan edema interstitial dengan disfungsi organ.
Hubungan antara peningkatan kumulatif pada keseimbangan cairan positif
dan outcome jangka panjang yang merugikan telah dilaporkan pada pasien dengan
sepsis. Dalam uji coba bebas dibandingkan strategi cairan restriktif pada pasien
dengan sindrom gangguan pernapasan akut (terutama pada pasien perioperatif),
strategi cairan restriktif dikaitkan dengan penurunan morbiditas. Namun, karena
tidak ada konsensus tentang definisi strategi ini, uji coba berkualitas tinggi pada
populasi pasien spesifik diperlukan.
Meskipun penggunaan cairan resusitasi merupakan salah satu intervensi
yang paling umum dalam dunia kedokteran, tidak ada cairan resusitasi yang dapat
dianggap ideal. Mengingat bukti-bukti yang berkualitas belakangan ini, penilaian
kembali bagaimana cairan resusitasi cairan digunakan pada pasien akut sekarang
diperlukan (Tabel 2). Pemilihan, waktu, dan dosis cairan intravena harus
dievaluasi secermat pada pemberian obat intravena, dengan tujuan
memaksimalkan khasiat dan meminimalkan toksisitas iatrogenik.

REFERENSI

1. Lewins R. Saline injections into the veins. London Medical Gazette. April
7,1832:257-68.
2. Lee JA. Sydney Ringer (1834-1910) and Alexis Hartmann (1898-1964).
Anaesthesia 1981;36:1115-21.
3. Funk DJ, Jacobsohn E, Kumar A. The role of venous return in critical illness
and shock. I. Physiology. Crit Care Med 2013;41:255-62.
4. Persichini R, Silva S, Teboul JL, et al. Effects of norepinephrine on mean
systemic pressure and venous return in human septic shock. Crit Care Med
2012;40: 3146-53.
5. Starling EH. On the absorption of fluids from connective tissue spaces. J
Physiol 1896;19:312-26.

14
6. Krogh A, Landis EM, Turner AH. The movement of fluid through the human
capillary wall in relation to venous pressure and to the colloid osmotic
pressure of the blood. J Clin Invest 1932;11:63-95.
7. Levick JR, Michel CC. Microvascular fluid exchange and the revised Starling
principle. Cardiovasc Res 2010;87:198-210.
8. Weinbaum S, Tarbell JM, Damiano ER. The structure and function of the
endothelial glycocalyx layer. Annu Rev Biomed Eng 2007;9:121-67.
9. Woodcock TE, Woodcock TM. Revised Starling equation and the glycocalyx
model of transvascular fluid exchange: an improved paradigm for prescribing
intravenous fluid therapy. Br J Anaesth 2012; 108:384-94.
10. Lee WL, Slutsky AS. Sepsis and endothelial permeability. N Engl J Med
2010; 363:689-91.
11. Finfer S, Liu B, Taylor C, et al. Resuscitation fluid use in critically ill adults:
an international cross-sectional study in 391 intensive care units. Crit Care
2010;14: R185.
12. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, et al. Surviving Sepsis Campaign:
international guidelines for management of severe sepsis and septic shock:
2008. Crit Care Med 2008;36:296-327. [Erratum, Crit Care Med
2008;36:1394-6.]
13. Powell-Tuck J, Gosling P, Lobo DN, et al. British Consensus Guidelines on
Intravenous Fluid Therapy for Adult Surgical Patients (GIFTASUP). March
2011 (http://www.bapen.org.uk/pdfs/bapen_ pubs/giftasup.pdf).
14. Advanced Trauma Life Support (ATLS) for doctors. Chicago: American
College of Surgeons Committee on Trauma, 2012
(http://www.facs.org/trauma/atls/index .html).
15. Perel P, Roberts I. Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation in
critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2012;6:CD000567.
16. Bunn F, Trivedi D. Colloid solutions for fluid resuscitation. Cochrane
Database Syst Rev 2012;7:CD001319.
17. Cochrane Injuries Group Albumin Reviewers. Human albumin administration
in critically ill patients: systematic review of randomised controlled trials.
BMJ 1998;317:235-40.

15
18. The SAFE Study Investigators. A comparison of albumin and saline for fluid
resuscitation in the intensive care unit. N Engl J Med 2004;350:2247-56.
19. Idem. Saline or albumin for fluid resuscitation in patients with traumatic brain
injury. N Engl J Med 2007;357:874-84.
20. Cooper DJ, Myburgh J, Finfer S, et al. Albumin resuscitation for traumatic
brain injury: is intracranial hypertension the cause of increased mortality? J
Neurotrauma 2013 March 21 (Epub ahead of print).
21. Finfer S, McEvoy S, Bellomo R, McArthur C, Myburgh J, Norton R. Impact
of albumin compared to saline on organ function and mortality of patients
with severe sepsis. Intensive Care Med 2011; 37:86-96.
22. Finfer S, Bellomo R, McEvoy S, et al. Effect of baseline serum albumin
concentration on outcome of resuscitation with albumin or saline in patients
in intensive care units: analysis of data from the Saline versus Albumin Fluid
Evaluation (SAFE) study. BMJ 2006;333:1044.
23. Maitland K, Kiguli S, Opoka R, et al. Mortality after fluid bolus in African
children with shock. N Engl J Med 2011;364: 2483-95.
24. Maitland K, George E, Evans J, et al. Exploring mechanisms of excess
mortality with early fluid resuscitation: insights from the FEAST trial. BMC
Med 2013;11:68.
25. Hartog CS, Reuter D, Loesche W, Hofmann M, Reinhart K. Influence of
hydroxyethyl starch (HES) 130/0.4 on hemostasis as measured by viscoelastic
device analysis: a systematic review. Intensive Care Med 2011;37:1725-37.
26. Schortgen F, Lacherade JC, Bruneel F, et al. Effects of hydroxyethylstarch
and gelatin on renal function in severe sepsis: a multicentre randomised
study. Lancet 2001;357:911-6.
27. Brunkhorst FM, Engel C, Bloos F, et al. Intensive insulin therapy and
pentastarch resuscitation in severe sepsis. N Engl J Med 2008;358:125-39.
28. Brandstrup B, Svendsen PE, Rasmussen M, et al. Which goal for fluid
therapy during colorectal surgery is followed by the best outcome: near-
maximal stroke volume or zero fluid balance? Br J Anaesth 2012;109:191-9.

16
29. McSwain NE, Champion HR, Fabian TC, et al. State of the art of fluid
resuscitation 2010: prehospital and immediate transition to the hospital. J
Trauma 2011; 70:Suppl:S2-S10.
30. Perner A, Haase N, Guttormsen AB, et al. Hydroxyethyl starch 130/0.42
versus Ringer’s acetate in severe sepsis. N Engl J Med 2012;367:124-34.
[Erratum, N Engl J Med 2012;367:481.]
31. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, et al. Hydroxyethyl starch or saline for
fluid resuscitation in intensive care. N Engl J Med 2012;367:1901-11.
32. James MF, Michell WL, Joubert IA, Nicol AJ, Navsaria PH, Gillespie RS.
Resuscitation with hydroxyethyl starch improves renal function and lactate
clearance in penetrating trauma in a randomized controlled study: the FIRST
trial (Fluids in Resuscitation of Severe Trauma). Br J Anaesth
2011;107:693702.
33. Guidet B, Martinet O, Boulain T, et al. Assessment of hemodynamic efficacy
and safety of 6% hydroxyethylstarch 130/0.4 vs. 0.9% NaCl fluid
replacement in patients with severe sepsis: the CRYSTMAS study. Crit Care
2012;16(3):R94.
34. Bayer O, Reinhart K, Sakr Y, et al. Renal effects of synthetic colloids and
crystalloids in patients with severe sepsis: a prospective sequential
comparison. Crit Care Med 2011;39:1335-42.
35. Awad S, Allison SP, Lobo DN. The history of 0.9% saline. Clin Nutr
2008;27: 179-88.
36. Morgan TJ, Venkatesh B, Hall J. Crystalloid strong ion difference determines
metabolic acid-base change during acute normovolaemic haemodilution.
Intensive Care Med 2004;30:1432-7.
37. Kellum JA, Song M, Li J. Science review: extracellular acidosis and the
immune response: clinical and physiologic implications. Crit Care 2004; 8:
331-6.
38. Hadimioglu N, Saadawy I, Saglam T, Ertug Z, Dinckan A. The effect of
different crystalloid solutions on acid-base balance and early kidney function
after kidney transplantation. Anesth Analg 2008; 107:264-9.

17
39. Handy JM, Soni N. Physiological effects of hyperchloraemia and acidosis. Br
J Anaesth 2008;101:141-50.
40. Cooper DJ, Myles PS, McDermott FT, et al. Prehospital hypertonic saline
resuscitation of patients with hypotension and severe traumatic brain injury: a
randomized controlled trial. JAMA 2004;291: 1350-7.
41. Guidet B, Soni N, Della Rocca G, et al. A balanced view of balanced
solutions. Crit Care 2010;14:325.
42. Chua HR, Venkatesh B, Stachowski E, et al. Plasma-Lyte 148 vs 0.9% saline
for fluid resuscitation in diabetic ketoacidosis. J Crit Care 2012;27:138-45.
43. Arlati S, Storti E, Pradella V, Bucci L, Vitolo A, Pulici M. Decreased fluid
volume to reduce organ damage: a new approach to burn shock resuscitation?
A preliminary study. Resuscitation 2007;72: 371-8.
44. Shaw AD, Bagshaw SM, Goldstein SL, et al. Major complications, mortality,
and resource utilization after open abdominal surgery: 0.9% saline compared
to Plasma- Lyte. Ann Surg 2012;255:821-9.
45. Yunos NM, Bellomo R, Hegarty C, Story D, Ho L, Bailey M. Association
Between a chloride-liberal vs chloride-restrictive intravenous fluid
administration strategy and kidney injury in critically ill adults. JAMA
2012;308:1566-72.
46. Corcoran T, Rhodes JE, Clarke S, Myles PS, Ho KM. Perioperative fluid
management strategies in major surgery: a stratified meta-analysis. Anesth
Analg 2012; 114:640-51.
47. Cordemans C, De Laet I, Van Regenmortel N, et al. Fluid management in
critically ill patients: the role of extravascular lung water, abdominal
hypertension, capillary leak, and fluid balance. Ann Intensive Care
2012;2:Suppl 1:S1.
48. Boyd JH, Forbes J, Nakada TA, Walley KR, Russell JA. Fluid resuscitation
in septic shock: a positive fluid balance and elevated central venous pressure
are associated with increased mortality. Crit Care Med 2011;39:259-65.
49. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network. Comparison of two

18
fluidmanagement strategies in acute lung injury. N Engl J Med
2006;354:2564-75.
50. Murphy CV, Schramm GE, Doherty JA, et al. The importance of fluid
management in acute lung injury secondary to septic shock. Chest 2009; 136:
102-9.

19

Anda mungkin juga menyukai