PENDAHULUAN
1
atau jatuh dari ketinggian. Dislokasi pinggul posterior lebih sering ditemukan dibanding
dislokasi pinggul anterior yaotu sekitar 90 % dari semua jenis dislokasi hips.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tulang pendek, contohnya antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang carpal
Tulang pipih, antara lain tulang iga, tulang skapula, tulang pelvis
3
Tulang terdiri atas bagian kompak pada bagian luar yang disebut korteks dan bagian
dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekular dan di luarnya dilapisi oleh periosteum.
Berdasarkan histologisnya maka dikenal:
Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone), tulang ini pertma-tama
terbentuk dari osifikasi endokondral pada perkembangan embrional dan kemudian
secara perlahan-lahan menjadi tulang yang matur dan pada umur 1 tahun tulang imatur
tidak terlihat lagi. Tulang imatur ini mengandung jaringan kolagen dengan substansi
semen dan mineral yang lebih sedikit dibandingkan dengan tulang matur.
Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
o Tulang kortikal (cortical bone, dense bone, compacta bone)
o Tulang trabekular (cansellous bone, trabecular bone, spongiosa)
Secara histolgik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel,
jaringan kolagen, dan mukopolisakarida. Tulang mature ditandai dengan sistem Harversian
atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi darah melalui korteks yang tebal. Tulang
matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi semen dan mineral dibanding dengan
tulang imatur.
Tulang terdiri atas bahan antar sel dan
sel tulang. Sel tulang ada 3, yaitu
osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Sedang bahan antar sel terdiri dari
bahan organik (serabut kolagen, dll)
dan bahan anorganik (kalsium, fosfor,
dll). Osteoblas merupakan salah satu
jenis sel hasil diferensiasi sel
mesenkim yang sangat penting dalam
proses osteogenesis dan osifikasi.
Sebagai sel osteoblas dapat memproduksi substansi organik intraseluler atau matriks, dimana
kalsifikasi terjadi di kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid
dan apabila kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat sesudah
osteoblas dikelilingi oleh substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana kradaan ini
terjadi dalam lakuna.
4
Osteosit adalah bentuk dewasa dari osteoblas yang berfungsi dalam recycling garam
kalsium dan berpartisipasi dalam reparasi tulang. Osteoklas adalah sel makrofag yang
aktivitasnya meresorpsi jaringan tulang. Kalsium hanya dapat dikeluarkan dari tulang melalui
proses aktivitas osteoklasis yang mengilangkan matriks organik dan kalsium secara bersamaan
dan disebut deosifikasi. Jadi dalam tulang selalu terjadi perubahan dan pembaharuan.3,4
Tulang dapat dibentuk dengan dua cara: melalui mineralisasi langsung pada matriks
yang disintesis osteoblas (osifikasi intramembranosa) atau melalui penimbunan matiks tulang
pada matriks tulang rawan sebelumnya (osifikasi endokondral).
Struktur tulang berubah sangat lambat terutama setelah periode pertumbuhan tulang
berakhir. Setelah fase ini perubahan tulang lebih banyak terjadi dalam bentuk perubahan
mikroskopik akibat aktivitas fisiologis tulang sebagai suatu organ biokimia utama tulang.
Komposisi tulang terdiri atas: substansi organik (35%), substansi anorganik (45%), air (20%).
Substansi organik terdiri atas sel-sel tulang serta substansi organik intraseluler atau matriks
kolagen dan merupakan bagian terbesar dari matriks (90%), sedangkan sisanya adalah asam
hialuronat dan kondrotin asam sulfur. Substansi anorganik terutama terdiri atas kalsium dan
fosfor dan sisanya oleh magnesium, sodium, hidroksil, karbonat, dan fluorida. Enzim tulang
adalah alkali fosfatase yang diproduksi oleh osteoblas yang kemungkinan besar mempunyai
peranan penting dalam produksi organik matriks sebelum terjadi kalsifikasi.
2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun parsial.5
5
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan.
Trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada
klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi
atau fraktur dislokasi
Kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya pada
badan vertebra, talus atau fraktur buckle pada anak-anak
Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan menyebabkan
fraktur oblik atau fraktur Z
Fraktur oleh karena remuk
Trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian tulang
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai
keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat berupa
fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak seperti otot,
tendon, ligamen, dan pembuluh darah.
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat
menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbuka
dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya
darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang
disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada tulang,
sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
6
Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan,
dan densitas tulang.
Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan untuk
menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari: (1) cedera; (2) stress
berulang; (3) fraktur patologis.5
A. Fraktur yang disebabkan oleh cedera5
Sebagian besar fraktur disebabkan oeh tenaga berlebihan yang tiba-tiba, dapat secara
langsung ataupun tidak langsung.
Dengan tenaga langsung tulang patah pada titik kejadian; jaringan lunak juga rusak.
Pukulan langsung biasanya mematahkan tulang secara transversal atau membengkokkan
tulang melebihi titik tupunya sehingga terjadi patahan dengan fragmen “butterfly”.
Kerusakan pada kulit diluarnya sering terjadi; jika crush injury terjadi, pola faktur dapat
kominutif dengan kerusakan jaringan lunak ekstensif.
Dengan tenaga tidak langsung, tulang patah jauh dari dimana tenaga dierikan; kerusakan
jaringan lunak pada tempat fraktur jarang terjadi. Walaupun sebagian besar fraktur
disebabkan oleh kombinasi tenaga (perputaran, pembengkokkan, kompresi, atau
tekanan), pola x-ray menunjukkan mekanisme yang dominan:
Terpelintir mengakibatkan fraktur spiral;
Kompresi mengakibatkan fraktur oblique pendek;
Pembengkokan mengakibatkan fraktur dengan fragmen triangular “butterfly”;
7
Tekanan cenderung mematahkan tulang kearah transversal; pada beberapa situasi
tulang dapat avulse menjadi fragmen kecil pada titik insersi ligament atau tendon.
Deskripsi diatas merupakan deskripsi untuk tulang panjang. Tulang kecil jika terkena
gaya yang cukup, akan terbelah atau hancur menjadi bentuk yang abnormal.
B. Fatigue atau stress fracture5
Fraktur ini terjadi pada tulang normal yang menjadi subjek tumpuan berat berulang,
seperti pada atlet, penari, atau anggota militer yang menjalani program berat. Beban ini
menciptakan perubahan bentuk yang memicu proses normal remodeling—kombinasi dari
esorpsi tulang dan pembentukan tulang baru menurut hukum Wolff. Ketika pajanan
terjadap stress dan perubahan bentuk terjadi berulang dan dalam jangka panjang, resorpsi
terjadi lebih cepat dari pergantian tulang, mengakibatkan daerah tersebut rentan terjadi
fraktur. Masalah yang sama terjadi pada individu dengan pengobatan yang mengganggu
keseimbangan normal resorpsi dan pergantian tulang; stress fracture meningkat pada
penyakit inflamasi kronik dan pasien dengan pengobatan steroid atau methotrexate.
C. Fraktur patologis5
Fraktur dapat terjadi pada tekanan normal jika tulang telah lemah karena perubahan
strukturnya (seperti pada osteoporosis, osteogenesis imperfekta, atau Paget’s disease)
atau melalui lesi litik (contoh: kista tulang, atau metastasis).
8
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma minor berulang dibawah ambang batas cedera
yang menyebabkan fraktur, mengakibatkan fraktur stress (fatigue fracture).2 Fraktur juga dapat
disebabkan oleh trauma langsung bertenaga tinggi seperti pada kecelakaan sepeda motor.
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma tidak langsung dimana gaya ditransmisikan melalui
tulang dengan terpuntir atau tertekuk.6
Cedera bertenaga rendah mengakibatkan cedera jaringan lunak yang terbatas dan pola
fraktur sederhana. Tenaga yang besar mengakibatkan absorpsi energi yang lebih besar sehingga
menyebabkan trauma jaringan lunak yang lebih berat dan kominutif yang berat. Kombinasi
kedua mekanisme ini dapat terjadi.7
Prognosisnya ditentukan oleh derajat keparahan cedera jaringan lunak, jenis fraktur,
yang keduanya bergantung pada jumlah tenaga yang ditangkap ekstrimitas saat cedera.5
9
o Fraktur stres : terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu
tempat tertentu
Klasifikasi klinis
o Fraktur tertutup (simple fracture) : suatu fraktur yang tidak mempunyai
hubungan dengan dunia luar
o Fraktur terbuka (compound fracture) : fraktur yang mempunyai hubungan
dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk
from within (dari dalam) atau from without (dari luar).
Fraktur terbuka dibagi berdasarkan klasifikasi Gustilo-Anderson, yang
pertama kali diajukan pada tahun 1976 dan modifikasi pada tahun 1984.5
10
1. Grade I : Luka kecil kurang dari 1cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan dari
fragmen tulang yang menembus kulit. Terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak
terdapat tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit komunitif.
2. Grade II : Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat
atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit kontaminasi
fraktur.
3. Grade III : Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan
struktur neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Tipe ini biasanya di sebabkan oleh
karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3 subtipe:
Tipe IIIA : Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi
yang hebat ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental atau komunitif yang hebat
Tipe IIIB: fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan kehilangan
jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka, kontaminasi yang hebatserta
fraktur komunitif yang hebat.
Tipe IIIC: fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan
perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.10
Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture) : fraktur yang disertai dengan komplikasi
misalnya malunion, delayed union, nonunion, atau infeksi tulang
Klasifikasi radiologis
Klasifikasi ini berdasarkan atas :
o Lokalisasi
Diafisial
Metafisial
Intra-artikuler
Fraktur dengan dislokasi
o Konfigurasi
Fraktur transversal
Fraktur oblik
Fraktur spiral
Fraktur Z
Fraktur segmental
Fraktur komunitif, fraktur lebih dari dua fragmen
11
Fraktur baji biasanya pada vertebra karena trauma kompresi
Fraktur avulsi, fragmen kecil tertarik oleh otot atau tendo misalnya
fraktur epikondilus humeri, fraktur trochanter major, fraktur patella
Fraktur depresi, karena trauma langsung misalnya pada tulang
tengkorak
Fraktur impaksi
Fraktur pecah (burst) dimana terjadi fragmen kecil yang berpisah
misalnya pada fraktur vertebra, patella, talus, kalkaneus
Fraktur epifisis
o Menurut eksistensi
Fraktur total
Fraktur tidak total (fraktur crack)
Fraktur buckle atau torus
Fraktur garis rambut
Fraktur green stick
o Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya
Tidak bergeser (undisplaced)
Bergeser (displaced) dapat terjadi dalam 6 cara :
Bersampingan
12
Angulasi
Rotasi
Distraksi
Over-riding
Impaksi
Dampak dari fraktur femur menyebabkan adanya gangguan pada aktivitas individu dimana
rata-rata individu tidak bekerja atau tidak sekolah selama 30 hari, dan mengalami keterbatasan
aktivitas selama 107 hari.
Fraktur femur dapat terjadi mulai dari proksimal sampai ke distal tulang. Berdasarkan letak
patahannya, fraktur femur dekategorikan sebagai2:
a. Fraktur collum femur
b. Fraktur trokanterik
c. Fraktur subtrokanterik
d. Fraktur diafisis
e. Fraktur suprakondiler
f. Fraktur kondiler
13
Gambar Anatomi Lokasi Fraktur Femur
2.2.5.1.2 Klasifikasi
1. Hubungan terhadap kapsul
- Ekstrakapsuler
- Intrakapsuler
2. Sesuai lokasi
- Sub-kapital
- Trans-servikal
- Basis collum
3. Radiologis
a. Berdasarkan keadaan fraktur
14
- Tidak ada pergeseran fraktur
- Fragmen distal, rotasi eksterna, abduksi dan dapat bergeser ke proksimal
- Fraktur impaksi
b. Klasifikasi menurut Garden
15
o Tipe I : Garis fraktur membentuk sudut 30º dengan sumbu
horizontal
o Tipe II : Garis fraktur membentuk sudut 50º dengan sumbu
horizontal
o Tipe III : Garis fraktur membentuk sudut 70º dengan sumbu
Horizontal
2.2.5.1.3 Patologi
Caput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber, yaitu:
a. Pembuluh darah intrameduler di dalam collum femur
b. Pembuluh darah servikal asendens dalam retinakulum kapsul sendi
c. Pembuluh darah dari ligamen yang berputar
Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intrameduler dan pembuluh darah
retinakulum selalu mengalami robekan, bila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur
transervikal adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang mempunyai kapasitas yang
sangat rendah dalam penyembuhan karena adanya kerusakan pembuluh darah,
periosteum yang rapuh serta hambatan dari cairan sinovial.
16
2.2.5.2.1 Mekanisme trauma
Fraktur trokanterik terjadi bila penderita jatuh dengan trauma langsung pada trokanter
mayor atau pada trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter
mayor dan minor dimana fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat
bersifat komunitif terutama pada korteks bagian posteromedial.
2.2.5.2.2 Klasifikasi
Fraktur trokanterik dapat dibagi atas:
a. Stabil
b. Tidak stabil
Disebut fraktur tidak stabil bila korteks bagian medial remuk dan fragmen besar
mengalami pergeseran terutama trokanter minor.
Fraktur trokanterik diklasifikasikan atas empat tipe, yaitu
17
2.2.5.2.3 Gambaran klinis
Penderita lanjut usia dengan riwayat trauma pada daerah femur proksimal. Pada
pemeriksaan didapatkan pemendekan anggota gerak bawah disertai rotasi eksterna.
18
2.2.5.4 Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada setiap umur, biasanya karena trauma hebat
misalnya kecelakaan lalu lintas atau trauma lain misalnya jatuh dari ketinggian. Femur diliputi
oleh otot yang kuat dan merupakan proteksi untuk tulang femur, tetapi juga daat berkibat jelek
karena dapat menarik fragmen fraktur sehingga bergeser. Femur dapat pula mengalami fraktur
patologis akibat metastasis tumor ganas. Fraktur femur sering disertai dengan perdarahan masif
yang harus selalu dipikirkan sebagai penyebab syok.
2.2.5.4.2 Klasifikasi
Fraktur femur dapat bersifat tertutup atau terbuka, simpel, komunitif, fraktur Z atau
segmental.
19
2.2.5.4.3 Gambaran klinis
Penderita pada umumnya dewasa muda. Ditemukan pembengkakan dan deformitas
pada tungkai atas berupa rotasi eksterna dan pemendekan tungkai dan mungkin datang dalam
keadaan syok.
2.2.5.5.2 Klasifikasi
Pergeseran terjadi pada fraktur oleh karena tarikan otot sehingga pada terapi konservatif
lutut harus difleksi untuk menghilangkan tarikan otot.
20
Gambar Mekanisme Pergeseran Fraktur Suprakondiler
21
2.2.5.6 Fraktur suprakondiler femur dan fraktur interkondiler
Menurut Neer, Grantham, Shelton (1967)
- Tipe I : Fraktur suprakondiler dan kondiler bentuk T
- Tipe IIA : Fraktur suprakondiler dan kondiler dengan sebagian metafisis (bentuk
Y)
- Tipe IIB : Sama seperti IIA tetapi bagian metafisis lebih kecil
- Tipe III : Fraktur suprakondiler komunitif dengan fraktur kondiler yang tidak
total
22
Gambar Klasifikasi Fraktur Kondilus Femoris
23
2.2.6 Gambaran Klinis Fraktur2
Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun trauma
ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Pasien
biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir dimana nyeri tersebut bertambah
bila digerakkan, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan
gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan abdomen
3. Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekan
- Perhatikan adanya pembengkakan
- Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup
atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
- Perhatikan keadaan vaskular
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati dikarenakan pasien biasanya mengeluh
sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
- Temperatur setempat yang meningkat
24
- Nyeri tekan nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan
oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara
hati-hati
- Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri
radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Dinilai juga refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma, dan temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk menggerakan secara aktif dan pasif
sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada pasien dengan
fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak
boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta
gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis, atau neurotmesis.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi, serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak sebelumnya,
maka sebaiknya mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis :
- Mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
- Konfirmasi adanya fraktur
- Melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
- Menentukan teknik pengobatan
25
- Mnentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
- Menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
- Melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
- Melihat adanya benda asing, misalnya peluru
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yakni foto polos, CT-Scan, MRI,
tomografi, dan radioisotop scanning. Umumnya dengan foto polos kita dapat
mendiagnosis fraktur, tetapi perlu ditanyakan apakah fraktur terbuka atau tertutup,
tulang mana yang terkena dan lokasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta
bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta waktu
penyembuhan fraktur.
o Foto Polos
Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur.
Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan,
lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan bidai yang bersifat radiolusen untuk
imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan beberapa prinsip dua (rule of 2):
2 posisi proyeksi (minimal AP dan lateral)
2 sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, dibawah dan diatas sendi yang
mengalami fraktur
2 anggota gerak
2 trauma, pada trauma hebat sering menyebabkan fraktur pada 2 daerah tulang. Misal:
fraktur kalkaneus dan femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang
belakang
2 kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya tulang skafoid foto pertama
biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 harikemudian.
o CT-Scan. Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail mengenai bagian
tulang atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis demi lapis.
o MRI, dapat digunakan untuk memeriksa hampir seluruh tulang, sendi, dan
jaringan lunak. mRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi cedera tendon,ligamen,
otot, tulang rawan dan tulang.
o Radioisotop scanning
26
o Tomografi
A: Aiway (saluran napas), penilaian terhadap patensi jalan napas. Apabila terdapat
obstruksi jalan napas, maka harus segera dibebaskan. Apabila dicurigai kelaian
vertebra servikalis maka dilakukan pemasangan collar neck.
B: Breathing (pernapasan), perlu diperhatikan dan dilihat secara keseluruhan
daerah thorak untuk menilai ventilasi. Jalan napas yang bebas bukan berarti
ventilasi cukup. Bila ada gangguan atau instabilitas kardiovaskuler, respirasi, atau
gangguan neurologis, kita harus melakukan ventilasi dengan bantuan alat
pernapasan berupa kantong yang disambung dengan masker atau pipa endotrakeal.
C: Circulation (sirkulasi), sirkulasi adalah kontrol perdarahan meliputi 2 hal: a)
Volume darah dan output jantung; b) perdarahan baik perdarahan luar maupun
perdarahan dalam, perdarahan luar harus diatasi dengan balut tekan.
D: Disability (evaluasi neurologis), evaluasi neurologis secara cepat setelah satu
survei awal, dengan menilai tingkat kesadaran, besar dan reaksi pupil.
Menggunakan metode AVPU: A (alert / sadar), V (vokal / adanya respon terhadap
stimuli vokal), P (painful, danya respon terhadap rangsang nyeri), U (unresponsive
27
/ tidak ada respon sama sekali). Hasinya dapat diketahui GCS (glasgow coma
scale).
E: Exposure (kontrol lingkungan), untuk melakukan pemeriksaan secara teliti
pakaian penderita perlu dilepas (pada pasien tidak sadarkan diri), selain itu perlu
dihindari terjadinya hipotermi.
2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka
itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/ saraf ataukah ada trauma
alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan syok,
sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri
berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.
28
progresif. Rasa nyeri pada fraktur dapat berkurang dengan imobilisasi dan
menghindari pembalutan yang terlalu ketat. Beberapa hari pertama setelah
terjadinya fraktur dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri.
Untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen fraktur
Reduksi fraktur untuk mendapatkan posisi yang baik, yakni diindikasikan
hanya untuk memperbaiki fungsi dan mencegah terjadinya artritis
degeneratif. Pemeliharan posisi fragmen fraktur biasanya membutuhkan
beberapa derajat imobilisasi, dengan beberapa metode, termasuk continuous
traction, plaster-of-Paris cast, fiksasi skeletal eksterna, dan fiksasi skeletal
interna, berdasarkan derajat dari kestabilan atau ketidakstabilan reduksi.
Untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union)
Pada kebanyakan fraktur, proses penyatuan tulang merupakan proses
penyembuhan yang terjadi secara alami. Namun pada beberapa kasus,
misalnya dengan robekan periosteum berat dan jaringan lunak atau dengan
nekrosis avaskular pada satu atau dua fragmen, proses penyatuan tulang
harus dengan autogenous bone grafts, pada tahap penyembuhan awal atau
lanjut.
Untuk mengembalikan fungsi secara optimal
Saat periode imobilisasi dalam penyembuhan fraktur, diuse atrophy pada
otot regional harus dicegah dengan latihan aktif statik (isometrik) pada otot
tersebut dengan mengkontrol imobilisasi sendi dan latihan aktif dinamik
(isotonik) pada seluruh otot lainnya di tubuh. Setelah periode imobilisasi,
latihan aktif sebaiknya tetap dilanjutkan.
4. Mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami
Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai dengan hukum
alami yang ada.
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang realistik dan
praktis.
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu dengan
mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi, dan perlu
pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien secara individual.
29
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip
pengobatan ada empat (4R), yaitu :
Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan
anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu
diperhatikan lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai
untuk pengobatan, dan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah
pengobatan.
Penatalaksanaan fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status
neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi
dan imobilisasi. Pada pasien dengan multipel trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal
fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif
fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan “ORIF” maupun
“OREF”.
30
Tujuan pengobatan fraktur yaitu :
a. REPOSISI
Dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Teknik reposisi terdiri dari
reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka yang dilakukan
pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi
dini, fraktur multipel, dan fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI
Mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai union. Indikasi dilakukannya
fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstable serta kerusakan hebat
pada kulit dan jaringan sekitar.
Jenis Fiksasi :
1. Eksternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
• Gips (plester cast)
• Traksi
Jenis traksi :
• Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
• Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali
ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
• Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut),
pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi
pada pemasangan traksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma
saraf peroneus (kruris) , sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin.
- Indikasi OREF :
• Fraktur terbuka derajat III
• Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
• Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
• Fraktur Kominutif
• Fraktur Pelvis
31
• Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
• Non Union
• Trauma multipel
- Indikasi ORIF :
• Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avascular nekrosis tinggi, misalnya fraktur
talus dan fraktur collum femur.
• Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulsi dan fraktur dislokasi.
• Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur Monteggia,
fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
• Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi,
misalnya : fraktur femur.
Penatalaksanaan Khusus
I. Penatalaksanaan Fraktur Tertutup
Prinsip tatalaksana untuk fraktur meliputi tindakan manipulasi untuk memperbaiki posisi
fragmen, diikuti pembebatan untuk mempertahankannya bersama sebelum semua fragmennya
menyatu, lalu melakukan tindakan rehabilitasi guna menjaga fungsi dan pergerakan sendi.
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang sehingga dianjurkan
melakukan aktivitas otot dan penahanan beban lebih awal. Secara umum, komponen
tatalaksana untuk fraktur tertutup meliputi Reduce (Reduksi), Hold (Mempertahankan), dan
Exercise (Latihan).
Permasalahnya adalah bagaimana cara menahan fraktur secara memadai sambil tetap
menggunakan tungkai secukupnya, hal ini menjadi pertentangan antara “penahanan” lawan
“gerakan” yang perlu dicari jalan keluarnya secepatnya oleh tenaga medis (semisal dengan
fiksasi internal), tetapi dia juga ingin menghindari risiko yang tak perlu, hal ini menjadi
pertentangan antara “kecepatan” dan “keamanan”. Adanya dua konflik ini menggambarkan
empat faktor utama dalam penanganan fraktur (kuartet fraktur).
32
Perlu digarisbawahi untuk fraktur tertutup adalah hubungan fraktur dengan jaringan
sekitarnya yaitu jaringan lunak di sekitar lokasi fraktur. Tscherne tahun 1984 mencoba
mengklasifikasikan fraktur tertutup menjadi :
Grade 0 : fraktur ringan tanpa kerusakan jaringan lunak
Grade 1 : fraktur dengan abrasi superfisial atau memar pada kulit dan jaringan subkutan
Grade 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio di jaringan lunak bagian dalam dan
terdapat pembengkakan
Grade 3 : fraktur tertutup terberat dengan ancaman terdapat sindrom kompartemen.
Semakin berat cedera yang terjadi akan lebih membutuhkan bentuk fiksasi mekanik
tertentu.
33
tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga
merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur. Proses
penyembuhan fraktur berbeda pada tulang kortikal pada tulang panjang serta tulang kanselosa
pada metafisis tulang panjang atau tulang-tulang pendek, sehingga kedua jenis penyembuhan
fraktur ini harus dibedakan.
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem harvesian mengalami robekan pada daerah fraktur
dan akan membentuk hematoma di antara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar
34
diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan
akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke
dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur
akan kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler
tulang yang matipada sisi sisi fraktur segera setelah trauma. Waktu terjadinya proses
ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2 – 3 minggu.
35
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel
dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang
rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan
polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang imatur. Bentuk tulang
ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologis pertama terjadi
penyembuhan fraktur.
5. Fase remodelling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang
menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase
remodelling ini, perlahan-lahan akan terjadi resorbsi secara osteoklasik dan tetap terjadi
proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang.
Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem harvesian
dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.
Pada fase terakhir ini, dimulai dari minggu ke 8 – 12 dan berakhir sampai beberapa
tahun dari terjadinya fraktur.
36
WAKTU PENYEMBUHAN FRAKTUR
Waktu penyembuhan fraktur bervariasi secara individual dan berhubungan dengan
beberapa faktor penting pada penderita, antara lain:
1. Umur penderita
Waktu penyembuhan tulang pada anak – anak jauh lebih cepat pada orng dewasa. Hal
ini terutama disebabkan karena aktivitas proses osteogenesis pada daerah periosteum
dan endoestium dan juga berhubungan dengan proses remodeling tulang pada bayi pada
bayi sangat aktif dan makin berkurang apabila unur bertambah
37
6. Waktu imobilisasi
Bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi union,
maka kemungkinan untuk terjadinya nonunion sangat besar.
8. Adanya infeksi
Bila terjadi infeksi didaerah fraktur, misalnya operasi terbuka pada fraktur tertutup atau
fraktur terbuka, maka akan mengganggu terjadinya proses penyembuhan.
9. Cairan Sinovia
Pada persendian dimana terdapat cairan sinovia merupakan hambatan dalam
penyembuhan fraktur.
38
Perkiraan penyembuhan fraktur pada orang dewasa dapat di lihat pada table berikut :
LOKALISASI WAKTU PENYEMBUHAN (minggu)
Phalang / metacarpal/ metatarsal / kosta 3–6
Distal radius 6
Diafisis ulna dan radius 12
Humerus 10 – 12
Klavicula 6
Panggul 10 – 12
Femur 12 – 16
Condillus femur / tibia 8 – 10
Tibia / fibula 12 – 16
Vertebra 12
39
2.2.9 Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum5,6
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan
fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca
trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa
peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
b. Komplikasi Lokal5
Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.
• Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union
40
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada
fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago
sendi dan berakhir dengan degenerasi.
• Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.
Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol.
• Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu.
Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi
dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan
menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
• Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada
robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti
spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau
manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh
darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas
dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi
sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti
bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai
atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena
ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat
sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara
periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis
41
• Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan
akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus.5
Komplikasi lanjut5,6
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan
terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
• Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20
minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
• Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union)
Tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh
jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi
dan bone grafting.
42
union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya
atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
• Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga
terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan
tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif
dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap.
2.3.2 Etiologi
Penyebab dislokasi sendi panggul adalah trauma dengan gaya atau tekanan yang besar
seperti kecelakaan kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabarak mobil, atau jatuh dari
ketinggian.
Dislokasi pinggul traumatik hampir selalu disebabkan oleh trauma berenergi
tinggi. Adanya cedera dislokasi menandakan bahwa ada gaya yang mencapai 90 pound atau
bahkan lebih pada mekanisme traumatik atau adanya patologi yang mendasari yang
menyebabkan ketidakstabilan sendi. Penumpang yang tidak menggunakan sabuk pengaman
lebih memiliki resiko mengalaminya. Mekanisme klasik untuk dislokasi posterior adalah pada
cedera dashboard, yaitu terjadi gaya yang menekan kepala femur melewati posterior acetabular
rim saat lutut yang terfleksi dan pinggul terhantam dashboard pada kecelakaan. Selain oleh
dashboard,dikatakan juga bahwa cedera ini bisa terjadi saat mekanisme mengerem.Dislokasi
anterior dihasilkan dari rotasi eksternal dan abduksi panggul. Kasus dislokasi posterior
mendekati 90% kasus, sementara dislokasi anterior hanya 10%.2,3 Cedera nervus sciatic
43
mungkin terjadi pada 10-20% kasus dan lebih dari setengah pasien juga mengalami fraktur
lain.
2.3.3 Epidemiologi
Dislokasi pinggul posterior lebih sering ditemukan dibanding dislokasi pinggul anterior
yaotu sekitar 90 % dari semua jenis dislokasi hips. Frekuensi menurun dengan dipakainya
sabuk pengaman ketika berkendaraan. Anterior dan central dislokasi terjadi sekitar 10% dari
seluruh dislokasi hips.
2.3.4 Anatomi
a. Articulatio
Articulatio coxae adalah persendian antara caput femoris yang berbentuk
hemisphere dan acetabulum os coxae yang berbentuk mangkuk dengan tipe “ball and
socket”. Permukaan sendi acetabulum berbentuk tapal kuda dan dibagian bawah
membentuk takik disebut incisura acetabuli. Rongga acetabulum diperdalam dengan
adanya fibrocartilago dibagian pinggrinya yang disebut sebagai labrum acetabuli. Labrum
ini menghubungkan incisura acetabuli dan disini dikenal sebagai ligamentum transversum
acetabuli. Persendian ini dibungkus oleh capsula dan melekat di medial pada labrum
acetabuli.
b. Ligamentum
Simpai sendi jaringan ikat di sebelah depan diperkuat oleh sebuah ligamentum yang
kuat dan berbentuk Y, yakni ligamentum ileofemoral yang melekat pada SIAI dan
pinggiran acetabulum serta pada linea intertrochanterica di sebelah distal. Ligamentum ini
mencegah ekstensi yang berlebihan sewaktu berdiri .
Di bawah simpai tadi diperkuat oleh ligamentum pubofemoral yang berbentuk
segitiga. Dasar ligamentum melekat pada ramus superior ossis pubis dan apex melekat
dibawah pada bagian bawah linea intertrochanterica. Ligamentum ini membatasi gerakan
ekstensi dan abduksi.
Di belakang simpai ini diperkuat oleh ligamentum ischiofemorale yang berbentuk
spiral dan melekat pada corpus ischium dekat margo acetabuli. Ligamentum ini mencegah
terjadinya hieprekstensi dengan cara memutar caput femoris ke arah medial ke dalam
acetabulum sewaktu diadakan ekstensi pada articulatio coxae.
44
Ligamentum teres femoris berbentuk pipih dan segitiga. Ligamentum ini melekat
melalui puncaknya pada lubang yang ada di caput femoris dan melalui dasarnya pada
ligamentum transversum dan pinggir incisura acetabuli. Ligamentum ini terletak pada sendi
dan dan dibungkus membrana sinovial
45
f. Gerakan
o Fleksi dilakukan oleh m. Iliopsoas, m. Rectus femoris, m.sartorius, mdan juga mm.
Adductores.
o Ekstensi dilakukan oleh m. Gluteus maximus dan otot otot hamstring
o Abduksi dilakukan oleh m. Gluteus medius dan minimus, dan dibantu oleh m.
Sartorius, m.tensor fascia latae dan m. Piriformis
o Adduksi dilakukan oleh musculus adductor longus dan musculus adductor brevis
serta serabut serabut adductor dari m adductor magnus. Otot otot ini dibantu oleh
musculus pectineus dan m.gracilis.
o Rotasi lateral
o Rotasi medial
o Circumduksi merupakan kombinasi dari gerakan gerakan diatas.
2.3.5 Klasifikasi
a. Dislokasi posterior
Dislokasi posterior terjadi patah trauma saat panggul fleksi dan adduksi. Arah trauma
dan lutut ditransmisikan sepanjang batang femur dan mendorong caput femur ke
belakang (Dashboard injury) atau jatuh dengan posisi kaki fleksi dan lutut tertumpu.
46
Gambar X: eksternal rotasi
c. Dislokasi sentral
Dislokasi sentral terjadi kalau trauma datang dan arah samping sehingga trauma
ditransmisikan lewat trokanter mayor mendesak terjadi fraktur acetabulum sehingga
caput femors masuk ke rongga pelvis.
47
Gambar X: Klasifikasi Thompson-Epstein pada dislokasi posterior
b. Dislokasi anterior
1) Sendi panggul dalam posisi eksorotasi, ekstensi dan abduksi
2) Tak ada pemendekan tungkai
3) Benjolan di depan daerah inguinal dimana kaput femur dapat diraba dengan
mudah
4) Sendi panggul sulit digerakkan
Klasifikasi Epstein pada dislokasi Anterior:
Type Radiography
Type II IA No associated fractures
Superior dislocations, IB Associated fracture or impaction of the
including pubic and femoral head
subspinous IC Associated fracture of the acetabulum
Type II IIA No associated fractures
Inferior dislocations, IIB Associated fracture or impaction of the
including obturator, femoral head
and perineal IIC Associated fracture of the acetabulum
48
Caput femur berada di luar dan di atas acetabulum Femur adduksi dan internal
rotasi.
o
Gambar X: dislokasi posterior
49
o Dislokasi anterior
2.3.8 Tatalaksana
Berdasarkan posisi anatomi:
a. Dislokasi posterior
Dislokasi harus direposisi secepatnya dengan pembiusan umum dengan disertai
relaksasi yang cukup.
Penderita dibaringkan di 1antai dan pembantu menahan panggul. Sendi panggul
difleksikan 90° dan kemudian dilakukan tarikan pada pada secara vertikal.
Sesudah reposisi dilakukan traksi kulit 3-4 minggu disertai exercise Weight bearing
dilakukan minimal sesudah 12 minggu.
Pengobatan pada tipe ini dengan reduksi tertutup dan dapat dilakukan dengan
beberapa metode Bigelow, Stimson, dan Allis.
Metode stimson
Penderita dalam posisi terlentang
Melakukan immobilisasi pada panggul
Melakukan fleksi pada lutut sebesar 90º dan tungkai diadduksi ringan dan
rotasi medial
Melakukan traksi vertikal dan kaput femur diangkat dari bagian posterior
asetabulum
Panggul dan lutut diekstensikan secara hati-hati
50
Gambar X: Metode stimson
Metode bigelow
Penderita dalam posisi terlentang dilantai
Melakukan traksi berlawanan pada daerah spina iliaka anterior superior dan
ilium
Tungkai difleksikan 90º atau lebih pada daerah abdomen dan dilakukan
traksi longitudinal
51
Gambar X: Metode allis
b. Dislokasi anterior
Dilakukan reposisi seperti dislokasi posterior, kecuali pada saat fleksi dan tarikan
pada dislokasi posterior dilakukan adduksi pada dislokasi anterior
c. Dislokasi sentral
Dilakukan reposisi dengan skietal traksi sehingga self reposisi pada fraktur
acetabulum tanpa penonjolan kaput femur ke dalam panggul dilakukan terapi
konservatif dengan traksi tulang 4-6 minggu.
Berdasarkan type:
Dislokasi harus direduksi secara cepat dengan general anestesi. Padasebagian
besar kasus dilakukan reduksi reduksi tertutup. Seorang asisten menahan pelvis, ahli
bedah ortopedi memfleksikan pinggul dan lutut pasien sampai 90 derajat dan menarik
paha keatas secara vertikal. Setelah direposisi, stabilitas sendi diperiksa apakah sendi
panggul dapat didislokasi dengan cara menggerakkan secara vertikal pada sendi
panggul.
Secara umum reduksi stabil namun perlu dipasang traksi dan
mempertahankannya selama 3 minggu. Gerakan dan latihan dimulai setelah nyeri
mereda.
Pada tipe II, sering diterapi dengan reduksi terbuka dan fiksasi anatomis pada
fragmen yang terkena. Terutama jika sendi tidak stabil atau fragmen besar tidak
tereduksi dengan reduksi tertutup, reduksi terbuka dan fiksasi internal dan
dipertahankan selama 6 minggu diperlukan.
Pada cedera tipe III umumnya diterapi dengan reduksi tertutup, kecuali jika ada
fragmen yang terjebak dalam asetabulum, maka dilakukan tindakan reduksi terbuka dan
pemasangan fiksasi interna dan traksi dipertahankan selama 6 minggu.
Cedera tipe IV dan V awalnya diterapi dengan reduksi tertutup. Fragmen caput
femoris dapat tepat berada ditempatnya dan dapat dibuktikan dengan foto atau ct scan
52
pasca reduksi. Jika fragmen tetap tak tereduksi maka dilakukan reduksi terbuka dengan
caput femoris didislokasikan dan fragmen diikat pada posisinya dengan sekrup
countersunk pasca operasi traksi dipertahankan selama 4 minggu, dan pembebatan
ditunda selama 12 minggu.
2.3.9 Komplikasi
a. Komplikasi dini
1) Cedera nervus skiatikus
Cedera nervus skiatikus terjadi 10-14% pada dislokasi posterior selama awal
trauma atau selama relokasi. Fungsi nervus dapat digunakan sebagai verifikasi
sebelum dan sesudah relokasi untuk mendeteksi terjadinya komplikasi ini. Jika
ditemukan adanya dysfungsi atau lesi pada nervus ini setelah reposisi maka
surgical explorasi untuk mengeluarkan dan memperbaikinya. Penyembuhan
sering membutuhkan waktu lama beberapa bulan dan untuk sementara itu tungkai
harus dihindarkan dari cedera dan pergelangan kaki harus dibebat untuk
menghindari kaki terkulai “foot drop”
2) Kerusakan pada Caput Femur
Sewaktu terjadi dislokasi sering kaput femur menabrak asetabulum hingga pecah.
3) Kerusakan pada pembuluh darah
Biasanya pembuluh darah yang mengalami robekan adalah arteri glutea superior.
Kalau keadaan ini dicurigai perlu dilakukan arteriogram. Pembuluh darah yang
robek mungkin perlu dilakukan ligasi.
4) Fraktur diafisis femur
Bila terjadi bersamaan dengan hip dislokasi biasanya terlewatkan. Kecurigaan
adanya dislokasi panggul, bilamana pada fraktur femur ditemukan posisi fraktur
proksimal dalam keadaan adduksi. Pemeriksaan radiologis sebaiknya dilakukan
di atas dan dibawah daerah fraktur.
.
b. Komplikasi lanjut
1) Nekrosis avaskular
Persediaan darah pada caput femoris sangat terganggu sekurang kurangnya 10%
pada dislokasi panggul traumatik, kalau reduksi ditunda menjadi beberapa jam
maka angkanya meningkat manjadi 40%. Nekrosis avaskular terlihat dalam
pemeriksaan sinar x sebagai peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi
53
perubahan ini tidak ditemukan sekurang kurangnya selama 6 minggu, bahkan
ada yang 2 tahun dan pada pemeriksaan radiologis ditemukan adanya
fragmentasi ataupun sklerosis.
2) Miositis ossifikans
Komplikasi ini jarang terjadi, mungkin berhubungan dengan beratnya cedera.
Tetapi gerakan tak boleh dipaksakan dan pada cedera yang berat masa istirahat
dan pembebanan mungkin perlu diperpanjang
3) Dislokasi yang tidak dapat direduksi
Hal ini dikarenakan reduksi yang terlalu lama sehingga sulit dimanipulasi
dengan reduksi tertutup dan diperlukan reduksi terbuka. Dengan seperti ini
insidensi kekakuan dan nekrosis avaskular sangat meningkat dan dikemudian
hari pembedahan reksontruktif diperlukan.
4) Osteoarthritis
Osteoartritis sekunder sering terjadi dan diakibatkan oleh kerusakan kartilago
saat dislokasi, adanya fragmen yang tertahan dalam sendi, atau nekrosis iskemik
pada caput femoris.
2.3.10 Prognosis
o Prognosis dari dislokasi sendi panggul tergantung dari adanya kerusakan jaringan yang
lain, manajemen awal dari dislokasi dan keparahan dislokasi.
o Pada keseluruhan, dislokasi anterior memiliki prognosis yang lebih baik daripada
dislokasi posterior. Penelitian menunjukkan prognosis buruk terjadi pada 25% pasien
dengan dislokasi anterior dan 53% pada dislokasi posterior.
o Prognosis juga dapat dilihat dari klasifikasi Stewart dan Milford.
Pada grade I, komplikasi jangka panjang sering terjadi. Avascular osteonecrosis
terjadi sekitar 4% dari pasien dan osteoatritis sekunder juga dapat terjadi.
Grade III dan IV memiliki resiko tinggi untuk terjadinya avaskular osteonekrosis
54
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah pada tulang yang mengakibatkan keparahan disabilitas adalah fraktur.
Dislokasi sendi panggul adalah keadaan dimana kaput femur keluar dari socketnya pada tulang
panggul (pelvis). Penyebab dislokasi sendi panggul adalah trauma dengan gaya atau tekanan
yang besar seperti kecelakaan kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabarak mobil, atau
jatuh dari ketinggian. Penyebabnya dapat berupa trauma langsung dan tidak langsung. Diagnosis
didapatkan dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik serta penunjang berupa pemeriksaan
rafiologis. Tujuan dari tata laksana adalah untuk mengurangi resiko infeksi, terjadi penyembuhan
fraktur, dislokasi dan restorasi fungsi anggota gerak.
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-
6. Jakarta: EGC.
2. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Struktur dan Fungsi Tulang, Edisi ke-3.
Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2008; 6-11.
3. Carlos Junqueira, Jose Carniero, Robert Kelley. 1998. Histologi Dasar. Jakarta : EGC.
4. Ott S. Bone Growth and Remodelling. 2008. Available from:URL:
depts.washington.edu/bonebio/ASBMRed/growth.html. Accessed 5 November 2014.
5. Solomon L, et al (eds). Apley’s system of orthopaedics and fractures. 9th ed. London:
Hodder Arnold; 2010.
6. Chapman MW. Chapman’s orthopaedic surgery. 3rd ed. Boston: Lippincott
Williams&wilkins; 2001. p 756-804.
7. Konowalchuk BK, editor. Tibia shaft fractures [online]. 2012. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1249984 Accessed 5 November 2014.
8. Salter RB. Textbook of disorders and injuries of the muesculoskeletal system. USA:
Williams & Wilkins; 1999. p. 436-8.
9. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi: Trauma, Fraktur Terbuka, Edisi ke-3.
Jakarta: PT Yarsif Watampone. 2008; 317-478.
10. Buckley, R. General Principles of Fracture Care Treatment and Management.
Emedicine Drugs, Desease and Procedures. 2012.
11. Apley, Graham dan Louis Solomon. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem
Appley. Jakarta : Widya Medika.
12. Moore, Keith L dan Anne M. R. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : EGC.
13. Pate, Deborah. 1991. Congenital Hip. Dislocation. Mei 1991.
http://emedicine.medscape.com
14. Rasjad, Chairrudin. 2002. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Yarsif Watampone
15. Snell, Richard S.2006. Anatomi Klinik. Jakarta : EGC.
16. Steelei, Joseph R dan John R. Edwards. 1997. Traumatic Anterior Dislocation of the
Hip : Spectrum of Plain Film and CT Findings. Jurnal 1997. http://www.ajronline.org
56