Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar

dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia

obat-obat baru yang lebih spesifik dengan kerja lebih efektif, pembasmian

penyakit ini masih tetap merupakan salah satu masalah antara lain disebabkan oleh

kondisi sosial ekonomi di beberapa bagian dunia. Jumlah manusia yang

dihinggapinya juga semakin bertambah akibat migrasi, lalu-lintas dan

kepariwisataan udara dapat menyebabkan perluasan kemungkinan infeksi (Tjay,

2007)

Cacingan merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai di

masyarakat dan saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

penting. Cacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi,

kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak

menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein

serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama

1
2

pada golongan penduduk yang kurang mampu, mempunyai risiko tinggi terjangkit

penyakit ini.

Antehelmetik atau obat cacing ialah obat yang digunakan untuk

memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh.

Mebendazol merupakan suatu benzimidazol sintetik yang mempunyai spectrum

antihelmetik luas dan insidens efek samping yang rendah (katzung,2012).

Mebendazol sangat efektif untuk mengobati infestasi cacing gelang, cacing

kremi,cacing tambang dan T.trichiura (syarif,2007).

Kebanyakan antelmintik efektif terhadap satu macam cacing, sehingga

diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat tertentu. Kebanyakan

antelmintik diberikan secara oral, pada saat makan atau sesudah makan. Beberapa

senyawa antelmintik yang lama, sudah tergeser oleh obat baru seperti

Mebendazole, Piperazin, Levamisol, Albendazole, Tiabendazole, dan sebagainya.

Karena obat tersebut kurang dimanfaatkan. (Gunawan, 2009).

Mebendazol merupakan obat terpilih untuk enterobiasis dan trichuriasis

dengan angka penyembuhan 90-100% untuk enterobiasis pada dosis tunggal.

Untuk trichuriasis angka penyembuhan sampai 94% dengan dosis ganda terutama

pada anak-anak (syarif,2007). Mebendazol tersedia dalam bentuk tablet 100 mg

dan sirup 20mg/ml.


3

1.2 Rumusan masalah

a. Bagaimana mekanisme kerja mebendazol sebagai obat cacing?

b. Bagaimana peran mebendazol dalam pengobatan infeksi Soil-Transmitted

Helminths?

c. Bagaimana manfaat mebendazol dalam dunia kedokteran?

1.3 Tujuan

a. Mengetahui mekanisme kerja mebendazol sebagai obat cacing.

b. Mengetahui peran mebendazol dalam pengobatan infeksi Soil-Transmitted

Helminth.

c. Mengetahui manfaat mebendazol dalam dunia kedokteran

1.4 Manfaat

a. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan ilmu kedokteran khususnya tentang mekanisme

kerja obat mebendazol.

b. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan untuk menambah bahan pustaka serta meningkatkan

pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang mekanisme kerja obat

mebendazol.

3
4

BAB II

FARMASI – FARMAKOLOGI

2.1 Sifat fisiko kimia dan rumus kimia obat

2.1.1 Rumus kimia

Mebendazol merupakan antelmentik yang luas spektrumnya. Nama

kimianya ialah N-(5-benzoil-2-benzimidazoil) Karbamat dengan rumus

kimia sebagai berikut:

Gambar II.1 Struktur kimia mebendazole (sumber : Syarif, 2007)

2.1.2 Sifat Fisiko kimia

Mebendazol berupa serbuk putih sampai agak kuning, hampir tidak

berbau, melebur pada suhu lebih kurang 290 derajat. Obat ini merupakan

benzimidazole sintetis yang memiliki aktifitas antelmintik brspektrum luas


5

dan mempunyai tingkat kemunculan efek yang tidak diinginkan yang

rendah. (Katzung, 2004).

Mebendazol menghalangi sintesis mikrotubulus dalam nematoda, dan

dengan demikian menghentikan ambilan glukosa secara irreversible. Parasit-

parasit intestinal dilumpuhkan atau mati perlahan-lahan, dan

pembersihannya dari saluran gastrointestinal belum dapat terpenuhi hingga

beberapa hari setelah pengobatan. Mebendazol membasmi cacing tambang,

ascaris, dan telur-telur trichuris (Theodorus, 2012)

2.2 Farmakologi Umum

Mebendazol termasuk obat antelmentik berspektrum luas yang sangat efektif

untuk mengobati infestasi cacing gelang, cacing kremi, cacing tambang dan T.

trichiura, maka berguna untuk mengobati infestasi campuran cacing-cacing

tersebut. Mebendazol juga efektif untuk trichostrongylus, sedangkan untuk

taeniasis dan S. stercoralis efeknya bervariasi (Syarif, 2007).

Mekanisme kerja mebendazol dengan cara merusak struktur subseluler dan

menghambat sekresi asetilkolines-terase cacing. Obat ini juga menghambat

ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi)

glikogen pada cacing. Cacing akan mati secara perlahan-lahan dan hasil terapi

yang memuaskan baru Nampak sesudah 3 hari pemberian obat. Obat ini juga

menimbulkan sterilitas pada telur cacing T. trichiura, cacing tambang, dan askaris

5
6

sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang sudah

matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol (Syarif, 2007).

Mebendazol tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan sirop 20 mg/mL. Dosis

pada anak dan dewasa sama yaitu 2 x 100 mg sehari selama 3 hari berturut-turut

untuk askariasis, trikuris dan infestasi cacing tambang dan tri-chostrongylus. Bila

perlu pengobatan ulang dapat diberikan 2-3 minggu kemudian. Mebendazol

terutama bermanfaat untuk infeksi campuran. Untuk infeksi cacing kremi

diberikan dosis tunggal 100 mg dan diulang 2 minggu dan 4 minggu kemudian.

Untuk taeniasis, dosis 2 kali sehari 300 mg selama 3-4 hari, menghasilkan

penyembuhan 73-100%. Proglotid keluar bersama tinja dalam keadaan utuh

sehingga memperkecil kemungkinan timbulnya sistiserkosis (Syarif, 2007).

Untuk terapi kista hidatid diperlukan dosis 50 mg/KgBB per hari yang

terbagi dalam 3 dosis selama 3 bulan dan terapi dilakukan kalau tindakan operasi

tak memungkinkan atau kista sudah pecah. Beberapa keluhan efek samping yang

muncul pada terapi kista hidatid ini, dapat disebabkan karena pecahnya kista. Pada

terapi ini pernah dilaporkan 3 pasien mengalami agranulositosis dan seorang

diantaranya meninggal. Karbamazepin atau fenitoin dapat menurunkan konsentrasi

mebendazol dalam darah. Sedangkan simetidin dapat meningkatkan kadar

mebendazol dalam darah (Syarif, 2007).


7

Untuk terapi visceral larva migrans, mebendazol dapat dicobakan pada dosis

200-400 mg sehari dalam dosis terbagi selama 5 hari. Untuk terapi strongyloidiasis

dengan dosis strandar selama 3 hari memberikan angka penyembuhan kurang dari

50%. Angka penyembuhan untuk cacing kremi 90%, untuk askaris dan trikuris 90-

100%, sedang untuk cacing tambang 70-95% (Syarif, 2007)

2.3 Farmakodinamik

2.3.1 Khasiat

Mebendazol adalah antihelmintik yang berspektrum luas, efektif

terhadap cacing kremi, cacing gelang, cacing pita, T. Trichiura,

trichostrongylus dan cacing cambuk. Mebendazol dapat digunakan sebagai

monoterapi penanganan massal penyakit cacing juga untuk infeksi campuran

92 atau lebih dari infeksi) missal cacing tambang dengan cacing kremi atau

cacing tambang dengan cacing pita dan cacing gelang. Mebendazol bekerja

sebagai vermisid, larvasid, dan ovisid (Tjay dkk, 2007).

2.3.2 Kegunaan Terapi

Mebendazol mungkin bekerja dengan menghambat sintesis

mikrotubulus; obat induk tampaknya merupakan bentuk aktif. Efikasi obat

bervariasi sesuai dengan waktu transit di saluran cerna, dengan intensitas

infeksi, dan mungkin dengan galur parasite. Obat ini mematikan telur cacing

tambang, askaris, dan trikuris (Katzung, 2012).

7
8

Obat ini menyebabkan kerusakan struktur subseluler dan menghambat

asetilkolinesterase cacing sehingga terjadi paralisis pada cacing. Mebendazol

juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi

pengosongan (deplesi) glikogen pada cacing akan mati perlahan-lahan

dengan hasil memuaskan pada 3 hari setelah pengobatan (Syarif dkk, 2007).

Dan tidak memerlukan laksan untuk mengeluarkan cacing (Tjay dkk, 2007).

Mebendazol merupakan obat terpilih untuk Enterobiasis. Penyembuhan 90-

100% pada Enterobiasis pada dosis tunggal (Syarif dkk, 2007).

2.3.3 Kontra Indikasi

Mebendazol bersifat teratogenik pada hewan dan karenanya

dikontraindikasikan pada kehamilan. Obat ini perlu diberikan dengan hati-

hati pada anak berusia kurang dari 2 tahun karena pengalaman masih

terbatas dan pernah dilaporkan, walaupun jarang, kejang pada kelompok usia

ini. Kadar plasma mungkin berkurang jika obat diberikan bersama dengan

karbamazepin atau fenitoin dan ditambah dengan simetidin. Mebendazol

perlu diberikan secara hati-hati pada pasien dengan sirosis (Katzung, 2012).

2.4 Farmakokinetik

Mebendazol tidak larut dalam air dan rasanya enak. Pada pemberian oral

absorbsinya buruk. Obat ini memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah yang

disebabkan oleh absorbsinya yang rendah dan mengalami first pass hepatic

metabolisme yang cepat. Diekskresikan lewat urin dalam bentuk yang utuh dan
9

metabolit sebagai hasil dekarboksilasi dalam waktu 48 jam. Absorbsi mebendazol

akan lebih cepat jika diberikan bersama lemak (Ganirwarna, 1995).

Mebendazole absorpsinya menigkat dengan memakan makanan yang

berlemak. Distribusi diberikan secara oral. Mebendazole dimetabolisme dihati.

First pass effect sangat tinggi. Eksresi berlangsung lewat empedu dan urine.

Mebendazole merupakan obat antihelmint spectrum luas (Yanti dkk, 2013).

Resorbsinya di usus rendah sekali, kurang dari 10 %. Batas amannya rendah

akibat “First pass effect” tinggi. Waktu paruh berkisar 2-6 jam. Ekskresi

berlangsung lewat urin dan empedu (Tjay dkk, 2007).

Penggunaan bersama Phenitoin dan Karbamazepin dilaporkan menurunkan

konsentrasi plasma mebendazol, sedangkan pemberian bersama Cimetidin

memilki efek yang berlawanan (Yanti dkk, 2013).

2.5 Toksisitas

2.5.1 Efek samping dan toksisitas

Efek samping obat jarang terjadi. Mebendazol tidak dianjurkan bagi

wanita hamil trisemester pertama karena bersifat toksik dan teratogenik pada

embrio tikus. Penggunaan pada anak dibawah 2 tahun harus

dipertimbangkan dan penggunaan harus hatihati pada penderita sirosis

hepatis (Janssen Inc, 2014). Mebendazol tidak menyebabkan efek toksik

9
10

sistemik mungkin karena absopsinya yang buruk sehingga aman diberikan

pada pasien dengan anemia maupun malnutrisi (Syarif dkk, 2007).

Terapi mebendazol jangka pendek untuk nematode usus hamper bebas

dari efek samping, sedangkan pada terapi dosis tinggi adalah reaksi

hipersensitivitas (ruam, urtikaria), agranulositosis, alopesia, dan peningkatan

enzim hati. Kadar plasma mungkin berkurang jika obat diberikan bersamaan

dengan karbamazepin atau fenitoin dan ditambah dengan cimetidine

(Katzung dkk, 2012).

Dari studi toksikologi terbukti obat ini memiliki batas keamanan yang

lebar. Tetapi pada tikus terlihat efek embrio toksik dan teratogenik, karena

itu mebendazol tidak di anjurkan pada wanita hamil trisemester pertama

(Syarif dkk, 2007).

Menurut BPOM Ibu yang menyusui agar menghentikan pemberian ASI

kepada anaknya selama menggunakan obat ini. Mebendazol kadang-kadang

dapat meningkatkan sekresi insulin dalam tubuh, sehingga hati-hati

penggunaan bersama-sama dengan insulin atau obat-obat anti diabetic oral

pada penderita diabetes mellitus. Pada pemakaian jangka lama dan dosis

besar akan timbul kemungkinan neutropenia yang akan kembali normal bila

pengobatan dihentikan (Janssen Inc, 2014).


11

2.5.2 Gejala toksisitas dan penanggulangannya

Gejala yang dapat timbul mungkin mual, muntah, diare, dan sakit perut

ringan yang bersifat sementara. Gejala-gejala ini biasanya terjadi pada

infestasi ascaris yang berat yang disertai ekspulsi atau keluarnya cacing

lewat mulut (erratic migration) (Katzung dkk, 2012).

Pada pasien dengan pengobatan dosis tinggi dari yang

direkomendasikan dan/untuk jangka waktu yang lama, reaksi yang terjadi

mungkin jarang seperti : alopecia, gangguan fungsi hati, hepatitis,

agranulositosis, neutropenia, dan glomerulonephritis. Namun agranulositosis

dan glomerulonephritis juga bias terjadi pada pasien dengan pengobatan

mebendazole dosis normal. Gejala yang mungkin bias terjadi : kram perut,

mual, muntah, dan diare juga dapat terjadi (Janssen Inc, 2014).

Apabila salah satu gejala berikut terjadi, segera hubungi dokter :

1. Ada kelainan ruam kulit yang parah, lecet pada kulit dan luka di mulut,

atau mata, anus atau area genitalia, yang bersamaan dengan demam.

2. Hipersensitivitas parah (reaksi alergi) terjadi setelah pemakaian dengan

gejala seperti mulut bengkak, ruam kulit, gatal-gatal, memerah atau

pingsan.

3. Kejang juga dilaporkan, termasuk pada bayi.

11
12

2.6 Contoh Penulisan Resep

Menurut Janssen Inc 2014, dosis obat untuk orang dewasa dan anak-anak 2

tahun atau lebih. Mebendazole tersedia dalam bentuk tablet 100mg dan sirup

100mg/5ml.

a. Cacing kremi : 1 tablet (100 mg) diberikan sebagai dosis tunggal. Pengobatan

di ulang setelah dua dan empat minggu, terutama dalam program

pemberantasan.

b. Trichuriasis, ascariasis, ankylostomiasis, strongylodiasis, taeniasis, dan infeksi

campuran : 1 tablet (100 mg) dua kali sehari pada pagi dan sore hari selama tiga

hari berturut-turut. Jika pasien tidak sembuh setelah 3 minggu pengobatan.

Trichuriasis, ascariasis, ankylostomiasis, strongyloidiasis, taeniasis dan

dicampur kutu: satu tablet (100 mg) dua kali sehari pada pagi dan sore hari

selama tiga hari berturut-turut.

Contoh kasus 1 :

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun diantar ibunya ke dokter dengan keluhan

nyeri perut dan kembung, diare berdarah, dan tenesmus. Pasien juga mengalami

penurunan berat badan dan anemis. Pada pemeriksaan feses ditemukan telur

berbentuk seperti tempayan kayu yang khas pada telur trichuris trichiura.

Diagnosa : Trichuriasis
13

Terapi : Mebendazole 100 mg, dua kali sehari tiap pagi dan sore hari selama tiga

hari.

dr. Tanpa Nama


SIP : 08098999
Alamat : Jl.Belokan Pojok

Surabaya, 16 Desember 2015

R/ Tabl. Mebendazole 100 mg No. VI


S. 2 d.d. tabl. I m.et.v

Pro : An. X
Umur : 5 tahun
Alamat : Jl. Melati

13
14

Contoh kasus 2 :

Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun diantar ibunya ke dokter dengan keluhan

nyeri perut dan kembung, diare berdarah, dan tenesmus. Pasien juga mengalami

penurunan berat badan dan anemis. Pada pemeriksaan feses ditemukan telur

berbentuk seperti tempayan kayu yang khas pada telur trichuris trichiura.

Diagnosa : Trichuriasis

Terapi : Terapi minum berupa suspensi yang mengandung Mebendazole dengan

dosis Mebendazole 100mg/5ml, dua kali sehari tiap pagi dan sore hari selama tiga

hari.

dr. Tanpa Nama


SIP : 08098999
Alamat : Jl.Belokan Pojok

Surabaya, 16 Desember 2015

R/ Sirup Mebendazole 100mg/5ml No. I fL


S. 3d.d Cth I m.et.v
#

Pro : An. X
Umur : 5 tahun
Alamat : Jl. Melati
15

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mekanisme Kerja Mebendazol

Mekanisme kerja mebendazol dengan cara merusak struktur subseluler dan

menghambat sekresi asetilkolines-terase cacing. Obat ini juga menghambat

ambilan glukosa secara ireversibel sehingga terjadi pengosongan (deplesi)

glikogen pada cacing. Cacing akan mati secara perlahan-lahan dan hasil terapi

yang memuaskan baru Nampak sesudah 3 hari pemberian obat. Obat ini juga

menimbulkan sterilitas pada telur cacing T. trichiura, cacing tambang, dan

askaris sehingga telur ini gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang

sudah matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol (Syarif, 2007).

Mebendazol juga tidak memerlukan laksan untuk mengeluarkan cacing (Tjay,

2007).

3.2 Soil-Transmitted Helminths

Soil-transmitted helminths merupakan kelompok parasit cacing nematoda

yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak

dengan larva yang berkembang dengan cepat pada tanah yang hangat dan basah

di negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Bentuk dewasa

soiltransmitted helminths dapat hidup selama bertahun-tahun di saluran

percernaan manusia. Lebih dari dua milyar penduduk dunia terinfeksi oleh paling

15
16

sedikit satu spesies cacing tersebut, terutama yang disebabkan oleh A.

lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang (WHO, 2005; WHO, 2006).

Tabel III.1 Infeksi Soil-Transmitted Helminths pada manusia

Cacing Penyebab Utama Penyakit Perkiraan Populasi


Di seluruh dunia yang Terinfeksi
(Juta)

Ascaris Lumbricoides Infeksi Cacing 807-1221


Gelang

Trichuris Trichiura Infeksi Cacing 604-795


Cambuk
Necator Americanus dan Infeksi Cacing 576-740
Ancylostoma Duedenale Tambang

Strongyloides Strecoralis Infeksi Cacing 30-100


Benang
Enterobius Vermicularis Infeksi Cacing Kremi 4-28%

(sumber: Bethony, dkk, 2007)

Peran Mebendazol pada Infeksi Soil-Transmitted Helminth

Mebendazol dikatakan dapat bekerja pada semua stadium nematoda usus

(Abadi, 1985; Pasaribu, 1989; Chan,1992). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk

melihat efikasi mebendazol ini seperti Abadi (1985) pada pemberian mebendazol 500

mg dosis tunggal mendapat Angka Penyembuhan 93,4%, 77,6%, dan 91,1% untuk

A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang. Adapun pada penelitian yang

dilakukan oleh Albanico, dkk (2003), mendapatkan Angka Penyembuhan terhadap

Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan pemberian


17

mebendazol 500 mg dosis tunggal masing-masing 96,5%, 23%, dan 7,6%.

Mebendazol banyak digunakan sebagai monoterapi untuk pengobatan massal

terhadap penyakit kecacingan dan juga pada infeksi campuran dua atau lebih cacing.

Obat ini bekerja sebagai vermicid, larvicid dan juga ovicid. Walaupun mebendazol

merupakan derivat dari kelompok yang sama dengan senyawa seperti tiabendazol,

mekanisme kerja dan farmakologi keduanya sedikit berbeda.

Mebendazol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat

sekresi asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis mikrotubulus

nematoda yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan pengambilan glukosa

secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing, dan kemudian

cacing akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menimbulkan sterilitas

pada telur cacing T.trichiura, cacing tambang dan A. lumbricoides sehingga telur ini

gagal berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang sudah matang tidak dapat

dipengaruhi oleh mebendazol (Pasaribu, 1989; Goldsmith, 1998; Sukarban dan

Santoso, 2001).

Penyerapan mebendazol dari usus setelah pemberian secara oral kurang dari

10%. Obat yang diabsorbsi 90% berikatan dengan protein. Bioavailabilitas sistemik

yang rendah dari mebendazol merupakan dampak dari absorbsinya yang buruk dan

mengalami first pass hepatic metabolism yang cepat. Dieksresi terutama lewat urin

dalam bentuk utuh dan metabolit dekarboksilasi dalam tempo 48 jam. Mebendazol

merupakan bentuk obat yang lebih aktif dibandingkan dengan metabolitnya. Absorbsi

ditingkatkan bila obat diberikan bersama makanan berlemak (Goodman, L.S. &

17
18

Gilman, A , 1996; Goldsmith, 1998; Sukarban dan Santoso, 2001). Mebendazol

merupakan obat yang aman, efek samping berupa gangguan saluran cerna seperti

sakit perut dan diare jarang terjadi. Efek samping mebendazol dosis tinggi berupa

reaksi alergi, alopecia, neutropenia reversible, agranulocytosis, dan hypospermia

jarang dijumpai. Obat ini tidak dianjurkan digunakan pada ibu hamil karena memiliki

sifat teratogenik yang potensial dan bagi anak usia dibawah dua tahun. Pemberian

obat ini pada pasien yang mempunyai riwayat alergi sebelumnya tidak dianjurkan

(Goodman, L.S. & Gilman, A, 1996; Tjay dan Rahardja, 2002).

3.2.1 Ascariasis

Askariasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh A.

lumbricoides (cacing gelang) yang hidup di usus halus manusia dan

penularannya melalui tanah. Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit

yaitu tersebar di seluruh dunia, frekuensi terbesar berada di negara tropis yang

lembab, dengan angka prevalensi kadangkala mencapai di atas 50%. Angka

prevalensi dan intensitas infeksi biasanya paling tinggi pada anak usia 5-15

tahun (Bethony dkk, 2006).


19

Gambar III.1 Siklus Hidup Cacing gelang (Sumber: http://www.dpd.adc.gov/dpdx)

Siklus hidup cacing ini membutuhkan waktu empat hingga delapan

minggu untuk menjadi dewasa. Manusia dapat terinfeksi cacing ini karena

mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing yang

telah berkembang (telur berembrio). Telur yang telah berkembang tadi menetas

menjadi larva di usus halus. Selanjutnya larva bergerak menembus pembuluh

darah dan limfe usus mengikuti aliran darah ke hati atau ductus thoracicus

menuju ke jantung. Kemudian larva dipompa ke paru. Larva di paru mencapai

alveoli dan tinggal disitu selama 10 hari untuk berkembang lebih lanjut. Bila

larva telah berukuran 1,5 mm, ia mulai bermigrasi ke saluran nafas, ke epiglotis

dan kemudian esofagus, lambung akhirnya kembali ke usus halus dan menjadi

dewasa. Umur yang normal dari cacing dewasa adalah 12 bulan; paling lama

19
20

bisa lebih dari 20 bulan, cacing betina dapat memproduksi lebih dari 200.000

telur sehari. Dalam kondisi yang memungkinkan telur dapat tetap bertahan

hidup di tanah selama 17 bulan sampai beberapa tahun (Beaver dkk, 1984;

Markell dkk, 1999; Strikland, G.T. dkk , 2000)

Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau

tanpa gejala sama sekali. Kelainan patologi yang terjadi, disebabkan oleh dua

stadium sebagai berikut (Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999; Strikland, G.T.

dkk, 2000):

a. Kelainan oleh larva, yaitu berupa efek larva yang bermigrasi di paru

(manifestasi respiratorik). Gejala yang timbul berupa demam, dyspneu,

batuk, malaise bahkan pneumonia. Gejala ini terjadi 4-16 hari setelah

infeksi. Cyanosis dan tachycardia dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi.

Semua gejala ini dinamakan Ascaris pneumonia atau Syndroma loffler.

Kelainan ini akan menghilang dalam waktu ± 1 bulan.

b. Kelainan oleh cacing dewasa, berupa efek mekanis yang jika jumlahnya

cukup banyak, akan terbentuk bolus dan menyebabkan obstruksi parsial atau

total. Migrasi yang menyimpang dapat menyebabkan berbagai efek patologi,

tergantung kepada tempat akhir migrasinya. Infeksi Ascaris lumbricoides

dapat menyebabkan gangguan absorbsi beberapa zat gizi; seperti karbohidrat

dan protein, dan cacing ini dapat memetabolisme vitamin A, sehingga

menyebabkan kekurangan gizi, defisiensi vitamin A dan anemia ringan.


21

3.2.2 Trichiuriasis

Trichuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. trichiura

(cacing cambuk) yang hidup di usus besar manusia khususnya caecum yang

penularannya melalui tanah. Cacing ini tersebar di seluruh dunia, prevalensinya

paling tinggi berada di daerah panas dan lembab seperti di negara tropis dan

juga di daerahdaerah dengan sanitasi yang buruk, cacing ini jarang dijumpai di

daerah yang gersang, sangat panas atau sangat dingin. Cacing ini merupakan

penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis (;

Beaver dkk, 1984; Markell dkk, 1999).

Siklus hidup cacing ini langsung dan menjadi dewasa pada satu inang.

Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia dan

dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Cacing betina

diperkirakan memproduksi lebih dari 1000 telur perhari. Telur yang keluar

melalui tinja menjadi infektif dalam waktu 10-14 hari (lebih kurang tiga

minggu) di tanah yang hangat dan lembab. Manusia mendapat infeksi karena

menelan telur infektif dari tanah yang mengkontaminasi tangan, makanan, dan

sayuran segar. Selanjutnya larva cacing tumbuh dan berkembang menjadi

dewasa dalam waktu 1-3 bulan setelah infeksi. Telur ditemukan dalam tinja

setelah 70-90 hari sejak terinfeksi (Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk,

2000).

21
22

Gambar III.2 Siklus Hidup Trichuris trichiura (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov

/dpdx)

Infeksi ringan pada manusia biasanya tanpa gejala. Kelainan patologi

disebabkan oleh cacing dewasa. Bila jumlah cacing cukup banyak dapat

menyebabkan colitis dan apendisitis akibat blokade lumen appendics. Infeksi

yang berat menyebabkan nyeri perut, tenesmus, diare berisi darah dan lendir

(disentri), anemia, prolapsus rektum, dan hipoproteinemia. Pada anak, cacing

ini dapat menyebabkan jari tabuh (clubbing fingers) akibat anemia dan

gangguan pertumbuhan (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T.

dkk, 2000).
23

3.2.3 Infeksi Cacing Tambang

Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh infeksi

parasit cacing nematoda N. americanus dan Ancylostoma duodenale yang

penularannya melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Cacing ini

merupakan penyebab infeksi kronis yang paling sering, dengan jumlah

orang yang terinfeksi diperkirakan mencapai seperempat dari populasi

penduduk dunia di negara tropis dan subtropis. Jumlah penderita infeksi

cacing tambang paling banyak dijumpai di Asia, kemudian diikuti negara-

negara sub–Sahara Afrika. N. americanus merupakan cacing tambang yang

paling banyak dijumpai di berbagai belahan dunia, sedangkan A. duodenale

penyebarannya secara geografis sangat terbatas (Tanaka dkk, 1980; Beaver

dkk, 1984; Strikland, G.T. dkk, 2000;).

Cacing dewasa hidup dan melekat pada mukosa jejunum dan

bagian atas ileum. Cacing betina N. americanus dapat memproduksi 10.000

telur sehari dan A. duodenale memproduksi 20.000 telur sehari. Dalam

kondisi yang memungkinkan; tanah berpasir yang hangat dan lembab, telur

di tanah tumbuh dan berkembang menjadi embrio dalam 24-48 jam pada

suhu 23 sampai 30 °C. Penularan terjadi karena penetrasi larva filariform

melalui kulit atau pada Ancylostoma duodenale lebih sering tertular karena

tertelan larva filariform dari pada penetrasi larva tersebut melalui kulit.

Selanjutnya cacing ini tumbuh dan berkembang menjadi cacing dewasa,

kawin dan mulai bertelur empat sampai tujuh minggu setelah terinfeksi.

23
24

Larva filariform A. duodenale yang tertelan tumbuh dan berkembang

menjadi cacing dewasa tanpa migrasi paru. Cacing dewasa dapat hidup

selama satu tahun (Tanaka dkk, 1980; Beaver dkk, 1984; Strikland, G.T.

dkk, 2000).

Gambar III.3 Siklus Hidup Cacing Tambang (Sumber: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx)

Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau

tanpa gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan patologi yang

terjadi, disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Tanaka dkk, 1980; Beaver

dkk, 1984):

a. Fase cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva yang

menembus kulit. Larva ini menyebabkan dermatitis yang disebut Ground

itch. Timbul rasa nyeri dan gatal pada tempat penetrasi.


25

b. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari

pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering,

asma yang disertai dengan wheezing dan demam.

c. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa

pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi

usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang

berdarah dan berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing

tambang kronis akibat kehilangan darah melalui usus akibat dihisap oleh

cacing tersebut di mukosa usus. Jumlah darah yang hilang per hari per satu

ekor cacing adalah 0,03 mL pada infeksi Necator americanus dan 0,15 mL

pada infeksi Ancylostoma duodenale. Jumlah darah yang hilang setiap

harinya adalah 2 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Necator americanus

dan 5 mL/1000 telur/gram tinja pada infeksi Ancylostoma duodenale,

sehingga kadar hemoglobin dapat turun mencapai level 5 gr/dl atau lebih

rendah. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik

dan mental.

3.3 Manfaat Mebendazole Bagi Dunia Kedokteran

Pengobatan antihemintik secara teratur belum menjamin hilangnya

infeksi cacing. Akhir-akhir ini ditemukan resistensi terhadap obat-obat tersebut.

Untuk itu diperlukan cara pengendalian yang baru. Infeksi cacing masih

merupakan masalah kesehatan masyarakat diseluruh dunia. Pengobatan secara

25
26

luas sangat penting untuk menurunkan angka kesakitan namun tanpa perbaikan

penyediaan air bersih dan perbaikan sanitasi strategi ini tidak dapat menurunkan

intensitas infeksi parasite secara berkelanjutan (Suriptiastuti, 2006).

Penanggulangan infeksi cacing usus dalam program kesehatan nasional

ditekankan pada penyuluhan kesehatan dan pengobatan masal dengan obat

cacing pada anak-anak sekolah dasar. Pirantel pamoat yang biasanya digunakan

untuk pengobatan cacing usus, dan bias dibeli bebas di warung, efektif terhadap

infeksi cacing ascaris dan cacing tambang , ternyata kurang efektif terhadap

Trichuris trichiura sering menyertai infeksi Ascaris lumbricoides dengan

prevalensi yang cukup tinggi. Mebendazole adalah satu obat cacing derivate

imidazole, berspektrum luas, dianggap cukup efektif, aman, serta mudah cara

pemberiannya, disamping itu harganya pun terjangkau. Pengobatan dengan

mebendazol 500 mg dosis tunggal ternyata masih kurang memuaskan untuk

trikuriasis (Julia, 2010).

Mebendazole merupakan antihelmintik yang paling luas spektrumnya.

Mebendazole tidak menyebabkan efek toksis sistemik karena absorbsinya yang

buruk. Efek samping yang timbul adalah diare dan sakit perut ringan yang

bersifat sementara. Infeksi cacing seringkali tidak menimbulkan keluhan dan

gejala yang spesifik. Tujuan utama dari pengobatan infeksi cacing adalah

mengeluarkan semua cacing dewasa dari saluran gastrointestinal. Obat yang

banyak digunakan adalah Mebendazole dan Albendazole. Walaupun albendazole


27

dan mebendazole merupakan obat broad spectrum terdapat perbedaan

penggunaannya dalam klinik. Kedua obat sangan efektif terhadap ascariasis

dengan pemberian dosis tunggal. Namun untuk cacing tambang, mebendazole

dosis tunggal memberikan rate pengobatan yang rendah dan albendazole dosis

tunggal tidak efektif untunk kasus trichuriasis (WHO, 2002).

Bagi dunia kedokteran, mebendazole bermanfaat untuk mengatasi infeksi

yang disebabkan oleh parasit cacing. Cara kerja mebendazole yaitu dengan

mencegah cacing menyerap gula yang merupakan sumber makanannya. Efek

mebendazole dalam membunuh cacing akan memakan proses beberapa hari.

Meski mebendazole ampuh membasmi cacing dewasa, namun tidak akan

berpengaruh pada telur cacing. Maka dari itu, sangatlah penting untuk mencegah

siklus terjadinya infeksi kembali.

Mebendazol adalah obat cacing yang efektif terhadap cacing Toxocara

canis, Toxocara cati, Toxascaris leonina. Trichuris vulpis, Uncinaria

stenocephala, Ancylostoma caninum, Taenia pisiformis, Taenia hydatigena,

Echinococcus granulosus dan aeniaformis hydatigena (Tennant, 2002).

Mebendazol sebagai antelmintik memiliki mekanisme kerja menyebabkan

kerusakan struktur subselular dan menghambat asetilkolinesterase pada tubuh

cacing. Obat ini juga menghambat ambilan glukosa secara ireversibel sehingga

terjadi pengosongan glikogen pada cacing dan cacing akan mati perlahan-lahan

(Alex Loukas & Peter J. Hotez, 2006, Amir & Elysabeth, 2007).

27
28

BAB IV

KESIMPULAN

Mebendazol merupakan antelmentik yang luas spektrumnya. Nama kimianya ialah N-

(5-benzoil-2-benzimidazoil) Karbamat. Mebendazol termasuk obat antelmentik

berspektrum luas yang sangat efektif untuk mengobati infestasi cacing gelang, cacing

kremi, cacing tambang dan T. trichiura, maka berguna untuk mengobati infestasi

campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol juga efektif untuk trichostrongylus,

sedangkan untuk taeniasis dan S. stercoralis efeknya bervariasi. Mebendazol

menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi

asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat sintesis mikrotubulus nematoda

yang mengakibatkan gangguan pada mitosis dan pengambilan glukosa secara

irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing, dan kemudian cacing

akan mati secara perlahan-lahan. Mebendazol juga menimbulkan sterilitas pada telur

cacing T.trichiura, cacing tambang dan A. lumbricoides sehingga telur ini gagal

berkembang menjadi larva. Tetapi larva yang sudah matang tidak dapat dipengaruhi

oleh mebendazol.
29

DAFTAR PUSTAKA

Syarif, A. Estuningtyas, A., Arini, dkk. 2007. “Farmakologi dan terapi” Edisi 5,

Gaya Baru, Jakarta. (Hal. 541-542)

Katzung, Bertram G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 4. Jakarta. EGC.

(Hal. 709-719)

Theodorus, dr. 2012. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta. EGC.( Hal. 169)

Syarif A., Elysabeth (Eds). 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI. Hal: 541-44.

Tjay T. H., Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek

Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hal : 433.

Yanti, Anggita Setiya Dama, dkk. 2013. Toxocariasis pada Anjing. Malang: Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya.

Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi

(Editor).1995.Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Bagian

Farmakologi FK UI.

Janssen, Inc. 2014. Product Monograph Vermox. Toronto Ontario. Dalam :

(https://www.janssen.com/canada/sites/www_janssen_com_canada/files/pro

duct/pdf/ver11192014cpm.pdf)

29
30

Bethony,J., Brooker, S., Albonico, M., Geiger, SM. Soil Transmitted Helminth

Infections: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Available from:

http://140.226.65.22/Davis_lab/Parasit_links/Soil_Transmitted_Helminths_L

ancet_ '06.pdf

Hotez, P. J., Bundy, D.A.P., Beegle K., Simon, B. 2006. Helminth Infections: Soil

Transmitted Helminth Infections and Schistosomiasis. Available from:

http://files.dcp2.org/pdf/DCP/DCP24.pdf

Beaver, P . C., Jung, R. C., Cupp, E.W. 1984. Clinical Parasitology. 9th Edition. Lea

and Febringer. Philadelphia.

Strickland, G.T. 2000. Trichuriasis. Dalam : Hunter’s Tropical Medicine. Saunders,

W. B. (Editor). Edisi ke-8. Philadelphia.

Julia Suwandi et al. 2010. Efektivitas Dosis Tunggal Berulang Mebendazol 500 mg
Terhadap Trikuriasis pada Anak-anak Sekolah Dasar Cigadung dan
Cicadas, Bandung Timur. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha.

World Health Organization. Prevention and control of schistosomiasis and soil


transmiteted helminth. WHO Technical Report Series . Geneva : WHO;
2002.

Suriptiastuti. 2006. Infeksi Soil Transmitted Helminth : ascariasis, trichiuriasis dan


cacing tambang. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti.

Alex Loukas dan Peter J. Hotez. 2006. Chemotheraphy of Parasitic Diseases. In


Goodman and Gilman’s : The Pharmacological Basis of Therapeutic
Eleventh Edition. New York: McGraw-Hill. p. 1078-89
31

Amir Syarif dan Elysabeth. 2007. Antelmintik. Dalam Farmakologi dan Terapi FK
UI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hal. 541-550

Tennant, Bryn. 2002. BSAVA Small Animal Formulary 4th Edition

Syarif, A. , Estuningtyas, A. , Arini., dkk, 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.

Gaya Baru, Jakarta. (Halm. 541-542)

Katzung, Bertram G., dkk. 2014. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 12. Penerbit

Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Janssen, Inc. 2014. Product Monograph Vermox. Toronto Ontario.

(https://www.janssen.com/canada/sites/www_janssen_com_canada/files/pro

duct/pdf/ver11192014cpm.pdf)

31

Anda mungkin juga menyukai