Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
i Bambang Trim
Melejitkan Daya Literasi Indonesia: Sebuah Kajian Pendahuluan
Jakarta
ii
Prakata
iii
Literasi dasar terbagi lagi atas beberapa kemampuan, yaitu
membaca, menyimak, berbicara, menulis; berhitung dan mem-
perhitungkan; mengamati dan menggambar. Jadi, sedemikian
luas makna literasi maka sejatinya tidaklah mudah untuk
menguraikan semua aspek literasi dalam suatu hasil kajian tanpa
dilakukan melalui riset mendalam.
Untuk itu, menyambut tugas dari Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud, kami mencoba membuat
kajian pendahuluan berdasarkan studi pustaka terkait dengan
keliterasian Indonesia dibandingkan negara lain. Kajian ini tidak
lain didorong oleh program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang
telah dicanangkan Kemendikbud pada awal 2016 dan juga
sebuah laporan dari Central Connecticut State University (CCSU)
di New Britain, Connecticut, AS, yang menempatkan Indonesia
pada peringkat ke-60 dari 61 negara paling literat.
Peringkat paling “buntut” itu menyentakkan kita semua
mengingat bahwa kompetensi literasi menjadi salah satu
indikator bagi individu suatu bangsa untuk memainkan
peranannya dalam kancah ekonomi berbasis ilmu pengetahuan
sehingga menjadi penentu masa depan kita secara global, seperti
diungkap John Miller, President of Central Connecticut State
University (CCSU). Oleh sebab itu, daya literasi tidak dapat
diabaikan dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Kajian pendahuluan ini menitikberatkan perbandingan
antara Indonesia dan Finlandia sebagai negara terbaik dalam hal
pendidikan dan keliterasian serta perbandingan antara
Indonesia dan negara ASEAN yang masuk ke dalam peringkat
CCSU tersebut. Dari kajian ini akan ditemukan fakta-fakta
iv
keliterasian yang harus ditingkatkan demi melejitkan daya
literasi masyarakat Indonesia.
Kami mengucapkan syukur ke hadirat Ilahi Rabbi yang
menuntun dan memudahkan kami dalam penyusunan kajian
dalam bentuk buku kecil ini. Semoga karya kecil ini bermanfaat
dalam menuntun langkah-langkah perbaikan untuk masa
mendatang bagi para pemangku kepentingan keliterasian,
khususnya Pemerintah, pendidik, penerbit, penulis, dan orangtua
(keluarga).
Bambang Trim
v
Daftar Isi
Prakata ..................................................................................................................iii
Prolog ..................................................................................................................... 1
Singapura ................................................................................................. 29
Malaysia .................................................................................................... 30
Thailand .................................................................................................... 33
Epilog ................................................................................................................... 42
vi
Prolog
1
Adalah sangat memprihatinkan bahwa Indonesia ternyata
menempati posisi 60 dari 61 negara yang dinilai. Artinya,
Indonesia adalah negara terburuk kedua dalam soal perilaku
membaca dan keliterasian—satu tingkat berada di bawah
Thailand dan di atas Botswana. Hal ini memang sudah lama
menjadi persoalan yang mengemuka bahwa selalu ditengarai
minat membaca dan minat menulis bangsa Indonesia sangatlah
rendah.
Negara-negara Nordic (Norwegia, Denmark, Islandia, dan
Swedia) menurut kajian tersebut menjadi negara-negara terbaik
dalam soal perilaku membaca dan keliterasian, sedangkan
negara-negara Barat lainnya mengalami kemunduran, termasuk
negara adidaya Amerika Serikat. Botswana menempati peringkat
terakhir bersama empat negara lainnya berturut-turut dari
bawah adalah Indonesia, Thailand, Maroko, dan Kolombia.
Berikut daftar lengkap peringkat negara paling literat yang
didata CCSU.3
2
Negara Peringkat Negara Peringkat Negara Peringkat
Finlandia 1 Malta 21 Rumania 41
Norwegia 2 Korea 22 Portugis 42
Selatan
Islandia 3 Republik 23 Brasil 43
Chech
Denmark 4 Irlandia 24 Kroasia 44
Swedia 5 Italia 25 Qatar 45
Swiss 6 Austria 26 Kosta Rika 46
Amerika 7 Rusia 27 Argentina 47
Serikat
Jerman 8 Slovenia 28 Mauritius 48
Latvia 9 Hongaria 29 Serbia 49
Belanda 10 Republik 30 Turki 50
Slowakia
Kanada 11 Lithuania 31 Georgia 51
Prancis 12 Jepang 32 Tunisia 52
Luemburg 13 Siprus 33 Malaysia 53
Estonia 14 Bulgaria 34 Albania 54
Selandia 15 Spanyol 35 Panama 55
Baru
Australia 16 Singapura 36 Afrika 56
Selatan
Inggris 17 Chili 37 Kolombia 57
Belgia 18 Meksiko 38 Maroko 58
Israel 19 China 39 Thailand 59
Polandia 20 Yunani 40 Indonesia 60
Botswana 61
Tabel 1 Peringkat Negara Paling Literat (Sumber: John Miller dan
Michael C. McKenna)
3
di Indonesia, khususnya Pemerintah. Walaupun demikian,
literasi sejatinya adalah persoalan seluruh bangsa, bukan parsial
pada penulis, penerbit, ataupun pemangku kepentingan per-
bukuan.
Miller mengungkapkan, "Faktor-faktor yang kami dalami
menyajikan potret yang sangat kompleks dan bernuansa vitalitas
budaya suatu bangsa."
Miller melanjutkan, "Apa yang ditampilkan oleh pe-
meringkatan ini terkait keliterasian dunia sangat menyarankan
dan menunjukkan bahwa berbagai jenis perilaku literasi sangat
penting bagi keberhasilan individu suatu bangsa dalam ekonomi
berbasis ilmu pengetahuan yang menentukan masa depan global
kita."4
Atas dasar kajian yang dilakukan Miller beserta uraian
kepentingannya terungkaplah bahwa keandalan literasi sangat
menentukan sukses individu suatu bangsa, apalagi dalam
menghadapi tantangan global masa depan. Untuk itu, sebuah
kajian pendahuluan disampaikan melalui buku ini guna mem-
bandingkan usaha-usaha berbagai negara dalam “perjuangan
keliterasian”.
Kajian Miller menggunakan beberapa variabel, utamanya
statistik tes prestasi membaca dari PIRLS (Progress in
International Reading Literacy Study) dan PISA (Program for
International Student Assessment) yang disokong Unesco.
Variabel lain yang menjadi pertimbangan mencakup sumber
perpustakaan pada suatu negara, sirkulasi dan pembaca surat
4
kabar, jumlah toko buku, sistem pendidikan, ketersediaan
komputer, dan ukuran populasi. Secara umum kajian Miller
melihat dua aspek yaitu perilaku membaca dan aspek pendukung
tumbuhnya perilaku tersebut.
Kajian ini menjadi menarik karena baru kali pertama
dilakukan di dunia dengan sejumlah variabel. Hal ini berbeda
dengan pemeringkatan PISA yang hanya mendasarkan pada
literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains tanpa
mempertimbangkan aspek lain. Walaupun demikian, peringkat
Indonesia dalam daftar PISA tidaklah lebih baik dari daftar yang
dikeluarkan berdasarkan kajian Miller di CCSU.
Dalam variabel-variabel tertentu, beberapa negara
menempati prestasi terbaik. Sebagai contoh negara-negara
Pasifik (Pasific Rim) menempati posisi tertinggi dalam tes
membaca yang hanya mampu disaingi oleh Finlandia.
Miller menyebutkan, “"Negara-negara Pasifik, yaitu
Singapura, Korea Selatan, Jepang dan China, akan berada pada
daftar teratas jika kinerja tes adalah satu-satunya ukuran.
Finlandia akan menjadi satu-satunya negara non-Pacific Rim
untuk peringkat tertinggi. Ketika faktor-faktor seperti ukuran
perpustakaan dan aksesibilitas ditambahkan ke dalam (peme-
ringkatan), negara-negara Pasifik turun drastis. "
Berikut ini adalah lima besar negara dalam peringkat
tertinggi berdasarkan variabel tertentu. Dalam daftar ini tampak
bahwa Finlandia sebagai negara paling literat justru hanya
menempati peringkat lima besar pada dua variabel. Dalam
peringkat berdasarkan nilai tes membaca, Finlandia menempati
posisi kedua setelah Singapura dan dalam hal pembaca surat
kabar, Finlandia menempati posisi pertama. Dari semua variabel,
5
hanya Finlandia, Islandia, dan Norwegia yang muncul pada lebih
dari satu variabel yang masuk peringkat lima besar.
Table 2 Lima besar negara dalam variabel tertentu. (Sumber: John Miller
dan Michael C. McKenna)
6
Baswedan, dalam suatu kesempatan, ’Ini artinya Indonesia rajin
membangun proyek perpustakaan. Tetapi tidak difungsikan
dengan optimal.’’
Buku ini menjadi kajian pendahuluan terhadap negara lain
dalam dua hal yaitu terhadap Finlandia sebagai negara dengan
peringkat nomor satu dan terhadap negara-negara ASEAN yang
lebih baik dibandingkan Indonesia. Sebagai kajian pendahuluan,
penyusun berharap adanya upaya untuk melakukan kajian lebih
mendalam guna mendorong peningkatan prestasi keliterasian di
Indonesia, paling tidak di antara negara-negara ASEAN. Upaya ke
arah itu telah dirintis oleh Pemerintah melalui Kemendikbud
lewat Gerakan Literasi Sekolah yang telah dicanangkan pada
2016 dengan salah satu programnya adalah pembiasaan
membaca buku selama lima belas menit sebelum pemelajaran
dimulai.
7
Keunggulan Finlandia,
Kekalahan AS, dan
Keterpurukan Indonesia
8
Struktur sistem pendidikan di Finlandia memungkinkan
siswa selalu dapat melanjutkan ke tingkat atas pendidikan,
terlepas dari pilihan yang mereka tentukan. Misalnya, baik ijazah
SMA ataupun SMK memberikan kesempatan lulusannya untuk
melanjutkan ke pendidikan tinggi.
9
Paparan ini setidaknya menjadi fondasi pemikiran mengapa
Finlandia ditetapkan sebagai negara paling literat sejagat ini.
Dalam hal ini tentu saja keliterasian tidak dapat dipisahkan dari
praktik pendidikan di suatu negara.
Keluarbiasaan atau keajaiban Finlandia ini dapat dilihat dari
sepuluh fakta berikut seperti yang dituliskan Andrew Freeman
sebagai hal yang tidak dapat diabaikan oleh negara adidaya
Amerika Serikat.6 AS sendiri merupakan negara dengan populasi
lebih dari 58 kali Finlandia. Dalam peringkat PISA tahun 2015, AS
hanya menempati urutan ke-17.
10
masih menghadapi tantangan partisipasi untuk PAUD yaitu 59%
anak usia 4 tahun—atau enam dari setiap 10 anak—tidak
terdaftar dalam program prasekolah yang didanai publik melalui
program prasekolah negara.
11
2. Lebih Banyak Jam Istirahat
12
Di Indonesia: Rata-rata istirahat yang diberikan adalah 30 menit
dengan dua kali istirahat yaitu 15 menit pada istirahat kedua dan
15 menit pada istirahat kedua. Artinya, dalam soal ini Indonesia
hampir sama dengan Amerika. Waktu istirahat lebih banyak
dipergunakan anak untuk bermain, makan, bersosialisasi dengan
teman-teman, dan sedikit yang memanfaatkan untuk membaca
buku atau bahan bacaan lainnya.
Hampir tidak ada ujian kelulusan di Finlandia. Jika pun ada, hanya
ujian wajib yang dilakukan pada akhir SMA sebagai ujian tunggal
(National Matriculation Examination), sedangkan pada tingkat SD
dan SMP tidak ada sama sekali. Ujian tingkat SMA itu dinilai
langsung oleh para guru, bukan komputer.
Kari Louhivuori, seorang kepala sekolah dan guru di Finlandia
berkomentar, “Ini (ujian) adalah omong kosong. Kami tahu lebih
tentang anak-anak daripada tes yang memberi tahu kami.”
Begitupun PR di sekolah sedikit sekali. Berdasarkan penelitian
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Deve-
lopment) pada 2014, siswa Finlandia menghabiskan 2,8 jam
seminggu untuk mengerjakan PR.
13
untuk tetap memberlakukan UN karena membandingkan dengan
Negara Adidaya itu. Dalam soal PR, berdasarkan riset OECD,
siswa di Amerika menghabiskan 6,1 jam per minggu untuk
mengerjakan PR.
14
membaca buku pelajaran, buku latihan soal, dan mengambil les
privat tambahan di luar jam sekolah demi lulus ujian.
5. Belajar Multibahasa
15
Di Indonesia: Kemampuan berbahasa kedua (bahasa asing)
tidak terlalu mendapat perhatian khusus pada banyak sekolah
sehingga kemampuan berbahasa asing, khususnya bahasa
Inggris sangat rendah pada lulusan SMA/SMK di Indonesia.
16
Dengan jam mengajar yang lebih sedikit, siswa tidak kewalahan
dengan kelas, dan guru punya banyak kesempatan mem-
persiapkan pengembangan pemelajaran yang berkualitas.
17
Gambar 4 Banyak jam yang dihabiskan guru di beberapa negara per
tahun. (Sumber: OECD, 2012).
18
sekolah. Guru tidak memiliki waktu yang cukup untuk
mempersiapkan pemelajaran.
19
juga memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengenal siswa
sebagai peserta didik.
***
Finlandia lebih kita kenal sebagai negara produsen ponsel merek
Nokia di Indonesia daripada negara yang unggul dalam hal
pendidikan sampai kemudian negara ini melejit secara
mencengangkan. Pada tahun 1971, sebuah komisi di negara itu
mengusulkan program modernisasi ekonomi dengan cara
20
meningkatkan kualitas sekolah karena negara ini miskin sumber
daya alam. Oleh karena itu, pemerintah Finlandia kemudian
menaikkan gaji guru, mengurangi jumlah siswa per kelas, dan
mewajibkan pada 1979 guru mengambil gelar master.
Sistem pendidikan yang dikembangkan ini tidak pelak lagi
menjadikan Finlandia sebagai surga pendidikan bagi para guru
dan siswa. Mereka memiliki waktu lebih banyak untuk mengem-
bangkan diri, termasuk dalam hal keliterasian. Peringkat terbaik
yang mereka capai kini adalah bonus dari perjuangan mereka
lebih dari dua dekade.
21
tradisional. 9 Adapun yang paling sering dibaca setiap hari adalah
pesan teks, pos-el, dan media digital lainnya. Dari sisi gender,
remaja perempuan lebih tertarik membaca daripada remaja pria.
Terkait dengan peringkat PISA, skor siswa di Finlandia yang
menikmati kegiatan membaca masih lebih baik daripada skor
rata-rata siswa di negara Eropa lainnya. Angka-angka itu juga
menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara menikmati kegiatan
membaca dan unjuk kinerja (performa) dalam prestasi belajar
bahwa siswa-siswa yang menikmati kegiatan membaca dapat
menjalankan strategi membaca yang efektif, terutama untuk
meringkas bahan bacaan.
Terkait laporan tersebut, EU High Level Group of Experts on
Literacy memberikan rekomendasi untuk menciptakan ling-
kungan yang literat sebagai berikut.
9 Ibid.
22
lebih baik, mereka membaca lebih jauh: lingkaran berbudi
luhur yang memberi manfaat untuk individu, keluarga,
dan masyarakat secara keseluruhan. (HLG report 2012, p.
41)
23
mereka mendapatkan lebih banyak bahan bacaan, baik cetak
maupun digital. Begitu juga termasuk kegiatan memberi peluang
kepada mereka untuk aktif berkomunikasi dan bertukar ide-ide
tentang teks dengan teman sebaya, guru, ataupun orangtua.
Data menarik lainnya disajikan oleh PIRLS 2011 tentang
jumlah buku anak yang dilaporkan oleh orangtua anak di
Finlandia sebagai berikut:10
0-10 : 2.6 % (EU average 11.8%)
11-25 : 9.6 % (EU average 19.7%)
26-50 : 28.8 % (EU average 29.4%)
51-100 : 32.9% (EU average 23.4%)
>100 : 26.1% (EU average 15.7%).
Data menunjukkan sangat banyak orangtua atau keluarga
yang menyediakan lebih dari 26 judul buku anak di rumahnya.
Bahkan, persentase tertinggi adalah orangtua yang menyediakan
51-100 judul buku anak di rumah mereka.
Jika berdasarkan laporan anak 5% dari siswa melaporkan
memiliki 10 atau lebih sedikit buku di rumah. Siswa lainnya di
Finlandia (16%) dilaporkan memiliki lebih dari 200 buku
(ELINET PIRLS Lampiran C, Tabel E1). Nilai rata-rata siswa di
Finlandia dengan 10 atau lebih sedikit buku 67 poin lebih rendah
daripada siswa yang memiliki lebih dari 200 buku.
Dalam hal skala kegiatan literasi awal yang dilaporkan
PIRLS 2011 berdasarkan data para orangtua siswa di Finlandia
diperoleh data berikut:
Sering: 27,1%
Kadang-kadang: 72,0%
10 Ibid.
24
Jarang atau hampir tidak pernah: 0,8%.
Disebutkan ada 9 kegiatan yang termasuk pengenalan
literasi awal, yaitu membaca buku, bercerita, menyanyikan lagu-
lagu, bermain dengan mainan alfabet, berbicara tentang hal-hal
yang dilakukan, berbicara tentang bacaan, bermain permainan
kata, menulis surat atau kata-kata, membaca tanda-tanda dan
label secara nyaring.
Dibanding dengan negara Eropa pada umumnya, orangtua
di Finlandia lebih sering membacakan buku untuk anak-anak
mereka. Orangtua di Finlandia juga sedikit lebih tinggi dalam
proporsi mendongeng atau bercerita untuk anak mereka
dibandingkan orangtua di negara Eropa lainnya. Namun, anak-
anak Finlandia tidak lebih sering dinyanyikan lagu-lagu
dibandingkan teman-teman seusia mereka di negara Eropa
lainnya. Begitupun dengan pengenalan variasi permainan, anak-
anak Finlandia tidak terlalu mendapatkannya dari orangtua
mereka.11
Tantangan yang kini dihadapi Finlandia seperti dirilis PIRLS
dalam rentang 2000-2009 terdapat penurunan drastis anak-anak
di atas 15 tahun dalam hal membaca untuk kesenangan. Pada
PISA 2000 sekitar 22% dari siswa Finlandia melaporkan bahwa
mereka tidak pernah membaca untuk kesenangan di luar
sekolah. Adapun PISA 2009, melaporkan bahwa 33% dari anak
usia 15 tahun melaporkan tidak membaca untuk kesenangan di
luar sekolah. (OECD, 2010b.)
Tantangan lain dalam membaca untuk kesenangan adalah
penggunaan buku itu sendiri. Buku pelajaran dan buku kerja
masih mendominasi sebagai buku bacaan di sekolah walaupun
11 Ibid.
25
buku-buku anak tetap disediakan sebagai suplemen. Akses ke
perpustakaan kelas masih rendah sehingga diperlukan investasi
pada perpustakaan kelas dengan bahan bacaan yang lebih
beragam.
Dari fenomena di Finlandia tersebut, Indonesia sejatinya
dapat belajar banyak hal sebagai berikut.
Rumah menjadi lingkungan literat pertama yang dapat
dibangun oleh orangtua untuk menciptakan generasi yang
literat. Orangtua harus berupaya menyediakan buku di
rumah untuk anak-anak lebih dari 20 judul atau
mengusahakan sampai lebih dari 50 judul. Upaya ini juga
dapat didukung dengan menjadi anggota perpustakaan di
daerah sehingga dapat meminjam buku. Upaya lain adalah
keterjangkauan buku, baik dari sisi harga maupun dari sisi
ragamnya bagi para orangtua yang dapat digalang oleh
penerbit, terutama Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) melalui
program pamerannya.
Orangtua harus lebih banyak terlibat dalam kegiatan literasi
sebelum anak masuk ke sekolah, terutama dalam hal
membacakan buku, mendongeng, dan menstimulus anak
untuk bercerita. Dalam hal ini, ketersediaan buku di rumah
menjadi sangat penting.
Orangtua harus menyediakan waktu bermain dengan anak
dalam hal permainan verbal seperti permainan kata-kata
ataupun bentuk.
Sekolah menjadi tempat kedua setelah rumah untuk
membangun lingkungan yang literat. Sekolah perlu
mengembangkan perpustakaan kelas (sudut baca kelas)
26
yang leibh mudah diakses daripada perpustakaan sekolah
atau perpustakaan umum.
Sekolah harus memberi kesempatan yang lebih banyak pada
kegiatan membaca untuk kesenangan dengan juga menye-
diakan bahan bacaan yang lebih beragam. Karena itu, buku
pelajaran bukan menjadi satu-satunya buku bacaan utama
bagi anak-anak.
Pemerintah perlu mendukung program penyediaan bacaan
anak-remaja yang berkualitas, baik secara cetak maupun
digital untuk menyongsong lahirnya Generasi Z. Bahan
bacaan yang disediakan haruslah mengikuti semangat zaman
sehingga menjadi pilihan bagi anak.
Tantangan ke depan untuk menanamkan minat baca pada
Generasi Z sangatlah berat mengingat negara seperti
Finlandia juga mengalami penurunan minat baca pada anak-
anak dalam kelompok usia di atas 15 tahun. Anak-anak mulai
cenderung meninggalkan “buku tradisional” dan beralih
kepada media digital yang terinstal di dalam gawai mereka.
27
Indonesia di antara
Singapura, Malaysia, dan
Thailand
28
Walapun demikian, sejarah telah mencatat bahwa pada
tahun 2015, Indonesia-lah negara ASEAN pertama yang
mendapat kehormatan menjadi Guest of Honour pada perhelatan
Frankurt Book Fair. Semestinya momentum tersebut mampu
melejitkan potensi daya literasi bangsa Indonesia, terutama
dalam hal membaca dan menulis untuk tahun-tahun ke depan.
Indonesia memiliki segala hal yang memungkinkan
bangkitnya daya literasi dalam hal membaca dan menulis,
termasuk kekayaan budaya luhur sebagai warisan tidak ternilai.
Dari sisi kreativitas, bangsa Indonesia sudah terkenal sejak
zaman dahulu, bahkan mampu menghasilkan berbagai maha-
karya, termasuk dalam bidang sastra.
Untuk itu, adalah suatu pertanyaan yang menggugat jika kini
Indonesia tidak lebih baik dari tiga negara ASEAN lainnya, yaitu
Singapura, Malaysia, dan Thailand dalam soal keliterasian.
Mengapa hal ini dapat terjadi?
Kami mengajak Anda untuk menyelisik keandalan literasi
tiga negara tersebut sebagai bahan perbandingan. Dengan
demikian, setidaknya dapatlah diketahui strategi negara-negara
tersebut mengembangkan daya literasi masyarakat negaranya.
Singapura
29
Direktur Reading Initiatives, The Singapore National
Library Board, Kiang-Koh Lai Lin, menyebutkan bahwa kata
‘perpustakaan’ telah diasosiasikan sebagai tempat suci bagi
semua warga Singapura, terlepas dari usia, ras, bahasa,
pekerjaan, tingkat pendidikan, ataupun agama. Berdasarkan hasil
survei, total ada sekira 37 juta pengunjung ke perpustakaan di
Singapura per tahun dan ada peningkatan yang stabil dalam hal
pinjaman buku.
Dengan visi (readers for life) dan misi (literacy skill
empowerment) yang jelas, Singapura telah berhasil menciptakan
sebuah citra perpustakaan tidak hanya sebagai tempat untuk
kemajuan akademis dan akses ke pengetahuan, tetapi juga pusat
budaya serta tempat yang aman dan terpercaya.
Singapura juga merupakan salah satu dari negara ASEAN
yang memiliki badan perbukuan nasional yaitu National Book
Development Council of Singapore (NBDCS). NBDCS berdiri sejak
tahun 1968 sebagai badan independen untuk mempromosikan
minat membaca, minat menulis, bercerita, dan juga penerbitan.
Kegiatan NBDCS di antaranya mengadakan berbagai festival
literasi tahunan dan memberi penghargaan literasi.
Malaysia
30
ITBM didirikan demi memberi akses penerjemahan karya-
karya penulis Malaysia ke dalam bahasa lain, begitu pula
sebaliknya menerjemahkan karya-karya berkualitas dari
berbagai negara ke dalam bahasa Malaysia.
ITBM Malaysia
31
Sokongan pemerintah yang besar membuat ITBM mampu
berkiprah mengalihbahasakan karya penulis lokalnya ke
dalam berbagai bahasa, seperti Inggris, Jerman, Spanyol,
Mandarin, Korea, Jepang, dan Arab. Sebaliknya, juga mereka
mampu memainkan peranannya menerjemahkan karya-karya
asing dan melakukan kerja sama penerbitan (co-publishing).
Selain itu, ITBM juga aktif mengirimkan utusan penulis untuk
menghadiri berbagai event-event perbukuan internasional di
berbagai negara.
ITBM juga berkembang menjadi lembaga yang sangat
kuat dan memiliki reputasi di bidang alih bahasa,
penyuntingan, serta pengembangan literature ke dalam
berbagai bahasa dunia.
32
Thailand
33
menerus diperluas untuk menjangkau daerah-daerah terpencil di
Thailand.
Asosiasi penerbit di Thailand juga sangat aktif
menyelenggarakan pameran buku bertaraf internasional.
Penyelenggaraan pameran di Bangkok, Thailand sudah
memasuki usia 43 tahun pada 2015. Adapun Bangkok
International Book Fair telah berusia 13 tahun. BKKIBF diklaim
sebagai the hub of book markets di Asia Tenggara dan juga disebut
sebagai gerbang pameran buku untuk negara-negara Asia.
Interaksi antara penerbit dari Eropa, Asia, dan Amerika Utara
terjadi di sini.
Apa yang dilakukan oleh tiga negara ASEAN tersebut serta ambisi
mereka untuk menjadi Pusat Buku ASEAN patut menjadi cermin
bagi kita dalam menerapkan strategi keliterasian bukan semata
demi menaikkan peringkat Indonesia dalam soal keliterasian,
melainkan lebih jauh lagi mempersiapkan generasi Indonesia
memiliki keandalan daya literasi untuk bertahan dan melejit di
dalam masyarakat informasi. Informasi adalah oksigen bagi
ekosistem pendidikan di Indonesia dan informasi itu dipasok
melalui bahan bacaan.
Oleh karena itu, akses terhadap bahan bacaan bermutu
dihadirkan oleh Negara dengan tidak menumpukan semata pada
pemangku kepentingan lain di luar pemerintahan, seperti penu-
lis, editor, desainer, penerbit, toko buku, taman bacaan, atau
media massa. Negara harus mampu hadir menjadi lokomotif
gerakan reformasi keliterasian.
34
Berikut ini adalah empat hal yang perlu menjadi perhatian
dalam peningkatan daya literasi bangsa setelah kita berkaca
dengan apa yang telah dilakukan negara lain.
35
Jika meninjau dari sisi pemeringkatan buku berdasarkan
usia yang dilakukan negara lain, dapat dilihat contoh berikut ini.
Buku
36
2. Akses dan Keterjangkauan Buku di Seluruh Indonesia
37
Hanya ada segelintir toko buku yang masih bertahan, sedangkan
lainnya diberitakan telah tutup.
Melalui pengaturan tata kelola perbukuan, diharapkan toko-
toko buku, baik modern maupun tradisional dapat dihidupkan
kembali karena toko buku dapat menjadi alternatif tujuan wisata
keluarga pada saat akhir pekan. Selain toko buku, pameran-
pameran buku di daerah juga perlu digalakkan.
Saat ini Pemerintah lewat Kemendikbud juga telah
menyokong penyelenggaraan Indonesia International Book Fair
yang diinisiasi Ikapi. Tahun lalu Korea Selatan telah menjadi
tamu kehormatan dan tahun ini (2016) Malaysia akan menjadi
tamu kehormatan. Indonesia sedikit banyak dapat melihat
kemajuan literasi Malayasia pada bulan September 2016 ketika
mereka akan unjuk gigi sebagai tamu kehormatan.
38
dicanangkannya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) pada masa
Mendikbud Anies Baswedan. Harapannya GLS dapat diteruskan
sebagai program nasional bernama yang menjangkau seluruh
anak atau peserta didik di Indonesia.
Salah satu misi dari GLS adalah terciptanya lingkungan
sekolah yang literat dengan ciri berikut:
a. menyenangkan dan ramah anak sehingga menumbuhkan
semangat warganya dalam belajar;
b. semua warganya menunjukkan empati, peduli, dan meng-
hargai sesama;
c. menumbuhkan semangat ingin tahu dan cinta pengetahuan;
d. memampukan warganya cakap berkomunikasi dan dapat
berkontribusi pada lingkungan sosialnya;
e. mengakomodasi partisipasi seluruh warga dan lingkungan
eksternal sekolah. (Kemdikbud, 2016)
Secara khusus ekosistem yang diharapkan pada setiap
jenjang seperti tertuang dalam tabel berikut (Kemdikbud, 2016).
39
SLB Ekosistem SLB yang literat adalah kondisi yang
memungkinkan pengembangan sikap dan perilaku yang
baik, berempati sosial, mandiri, dan terampil.
40
Walaupun demikian, semestinya penetrasi internet dan
penerbitan digital semestinya dapat dimanfaatkan oleh para
pemangku kepentingan perbukuan untuk kembali mengajak
masyarakat membaca buku meskipun buku telah berubah rupa.
Karena itu, jika RUU Sisbuk akan diundangkan tentu harus
memuat antisipasi terjadinya perubahan pada dunia buku yang
sejatinya hanya berubah bentuk dan kemampuan—dapat
mengandung audio, video, animasi, atau gabungan kesemuanya.
***
Keempat isu literasi yang perlu menjadi perhatian dalam upaya
melejitkan daya literasi bangsa seperti dipaparkan masih
memerlukan kajian lebih lanjut. Data-data yang tersedia pada
negara lain perlu menjadi rujukan. Dalam hal ini, patut
diapresiasi apa yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia yang
mengusahakan Indonesia menjadi tamu kehormatan Frankfurt
Book Fair 2015 dan mengusahakan kehadiran Indonesia pada
event-event perbukuan dunia.
Hal tersebut setidaknya memberi pengalaman kepada
Indonesia untuk melihat gerakan-gerakan literasi yang dirancang
negara-negara besar dunia. Sebelumnya Indonesia tidak pernah
membuka booth di arena Frankfurt Book Fair. Namun, sejak 2010
tradisi itu dimulai mengikuti tiga negara ASEAN yang sudah lebih
dulu eksis, yaitu Singapura, Malaysia, dan Thailand.
41
Epilog
Sistem
Ekosistem Sumber Bahan
Pendidikan Informasi Bacaan
Pelaku
42
Kita memang harus mengakui ada masalah dalam hal daya
literasi bangsa Indonesia. Secara gamblang kita dapat melihat
penggunaan media sosial yang sangat tinggi di Indonesia, tetapi
juga rentan digunakan untuk kegiatan-kegiatan negatif karena
memanfaatkan rendahnya daya literasi masyarakat. Masyarakat
Indonesia dalam arus informasi menjadi masyarakat informasi
yang kehilangan wawas diri karena tidak dapat lagi membedakan
teks-teks fitnah, bohong, dan berbahaya lainnya.
Di sisi lain, kita semakin tidak mampu mengakses sumber
informasi dan bahan informasi yang sesungguhnya berguna
karena keengganan membaca dan memperdalam bacaan.
Perilaku menginginkan hal instan menjadi kebiasaan sehingga
merendahkan minat membaca dan minat menulis secara serius
pada masyarakat.
Walaupun demkian, kita tetap harus optimistis mem-
perbaiki keadaan dan memperjuangkan keandalan daya literasi
bangsa dengan berbagai upaya yang kini dimulai melalui Gerakan
Literasi Sekolah. Para pendidik harus dibangunkan, para
orangtua harus disadarkan, dan para peserta didik harus
dirangkul dengan kehangatan bahwa daya dan energi literasi
adalah matahari untuk kehidupan mereka.
43
Daftar Pustaka
44
Miller, John W. and Michael C. McKenna. 2015. World Literacy:
How Country Rank and Why it Matters, Connecticut:
OECD/Asian Development Bank. 2015, Education in Indonesia:
Rising to the Challenge, Paris: OECD Publishing.
Sugiharto, Setiono. “Reading Habit a Challenge for ASEAN”.
JakartaPost.com, 10 September 2011, dilihat pada 26
Agustus 2016 <http://www.thejakartapost.com>.
Taryadi, Alfons (ed.). 1999. Buku dalam Indonesia Baru. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Trim, Bambang. 2012. Apa dan Bagaimana Menerbitkan Buku:
Sebuah Pengalaman Bersama Ikapi. Jakarta: Ikapi.
United Nations, “The World’s Women 2015 Education”, 2015,
dilihat 26 Agustus 2016 <http://unstats.un.org/
unsd/gender/chapter3/chapter3.html>
45
Tentang Penulis
46