Presus Anes
Presus Anes
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. SM
Tanggal Lahir : 27 Maret 1995
Umur : 22 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Graha Prima Baru, Tambun
Masuk IGD : 8 Januari 2018 pukul 02.00
Masuk ICU : 10 Januari 2018 pukul 23.00
No RM : 045648
II. ANAMNESIS
A. Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 12
Januari 2018 pukul 08.00.
Keluhan Utama : Demam sejak 3 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
3 hari SMRS pasien mengeluhkan pusing, demam, mual dikosannya,
lalu besoknya pasien merasa sangat mual dan muntah hingga lebih dari 3x,
muntah berisi makanan dan dibawa kerumahnya oleh kedua orang tuanya, lalu
pasien diperiksakan ke klinik dekat rumahnya, diketahui hasil laboratorium
trombositnya sekitar 200.000, lalu pasien diberi obat penurunan panas dan
pulang kerumah.
1 hari SMRS pasien merasa demamnya semakin tinggi dan kepalanya
merasa sangat pusing. Pasien lalu dibawa ke klinik dekat rumahnya untuk
diperiksakan kembali, didapatkan trombositnya sekitar 150.000, karena
merasa sangat pusing dan demam tidak kunjung turun, paginya pasien dibawa
ke IGD RSPAD. Pasien mengeluhkan muncul bintik merah di tangan, kaki.
Buang Air Kecil (BAK) dan BAB (Buang Air Besar) tidak ada keluhan,
jumlah urin sedikit, Perdarahan dari hidung dan gusi tidak ada. Pasien sedang
mengalami menstruasi hari pertama saat masuk ke IGD
1
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Demam Berdarah : Disangkal
Riwayat Demam Tifoid : Disangkal
Riwayat rawat inap di RS : Disangkal
f. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikhterik (-/-),
pupil isokor kanan kiri sama, refleks cahaya positif, edema palpebra (+/+)
g. Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
2
h. Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), coated
tounge (-)
i. Tenggorok : Uvula ditengah, faring hiperemis (-) , pembesaran tonsil (-)
j. Telinga : Normotia, sekret (-/-)
k. Leher
Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun tiroid
l. Thorax
Bentuk : Normochest
Pulmo:
- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada simetris kanan kiri
- Palpasi : vocal fremitus kanan & kiri simetris
3
III. PERAWATAN, PLANNING & PENATALAKSANAAN DI IGD DAN RUANGAN
Keadaan Umum KU: Tampak sakit sedang KU: tampak sakit sedang KU: Tampak sakit sedang
(KU) Kesadaran : composmentis Kesadaran : compos mentis Kesadaran :compos mentis
Kesadaran Tanda Vital Tanda vital : Tanda vital :
Tanda Vital ₋ Suhu : 39 0C - Suhu : 39,4 0C - Suhu : 39,1 C
₋ TD : 100/60 mmHg - TD 98/60 mmHg - TD : 80/50mmHg
₋ Nadi : 88 kali/menit, - Nadi :100x/menit - Nadi : 120x/menit
₋ RR : 22kali/menit - RR : 18 x/mnt - RR : 20 x/menit
₋ SpO2: 100 % - Sp02 : 100% - Sp02 : 99%
- IVFD RL 500 cc/6 jam - Banyak minum 8 gelas / hari - Banyak minum 8 gelas / hari
Di Perawatan - - -
Umum Inj. Ceftriakson 1x2 g IV IVFD RL 500 cc/6 jam IVFD RL 500 cc/6 jam
- PO Paracetamol 3x500 mg - Inj. Ceftriakson 1x2 g IV - Inj. Ceftriakson 1x2 g IV
- Ranitidin stop. - PO Paracetamol 3x500 mg - PO Paracetamol 3x500 mg
- Omeprazol 1x40 mg jika masih mual - Omeprazol 1x40 mg - Omeprazol 1x40 mg
- Cek DPL / hari - PO Fluimucyl 3x20 mg - PO Fluimucyl 3x20 mg
- PO Curcuma tab 3x1 - PO Curcuma tab 3x1
- PO HP pro 3x1 tab - PO HP pro 3x1 tab
- Cek Darah lengkap - Bedrest total
- Resusitasi cairan 250 cc s/d Tekanan
darah >100
Pemantauan 3 Jam Terakhir di Ruangan Sebelum Masuk ICU
7
Jenis pemeriksaan Hasil Hasil Hasil Hasil Nilai rujukan
11-01-2018 12-01-2018 12-01-2018 13-01-2018
MCV 75 75 76 78 70-86 fL
8
Foto Thorax (11/01/2018)
V. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrom
VI. PROGNOSIS
9
VII. FOLLOW UP PASIEN
Keadaan Umum KU: Tampak sakit berat KU: tampak sakit sedang KU: Tampak sakit sedang KU: Tampak sakit sedang
(KU) Kesadaran : somnolen Kesadaran : compos mentis Kesadaran :compos mentis Kesadaran : compos mentis
Kesadaran Tanda Vital Tanda vital : Tanda vital : Tanda vital :
Tanda Vital ₋ Suhu : 37 0C - Suhu : 37 0C - Suhu : 36,5 C - Suhu : 36,5 C
₋ TD : 101/59 mmHg - TD 98/53 mmHg - TD : 100/61 mmHg - TD : 100/50 mmHg
₋ Nadi : 87 kali/menit, - Nadi :72 x/menit - Nadi : 67 x/menit - Nadi : 120 x/mnit
₋ RR : 20 kali/menit - RR : 23 x/mnt - RR : 16 x/mnit - RR : 19 x/mnit
₋ SpO2: 100 % - Sp02 : 99% - Sp02 : 99% - Sp02 : 99 %
Intake : 2740 ml/24 jam Intake : 1810 ml/24 jam Intake :3050 ml/ 24 jam
Output : 3690 ml/24 jam Output : 3940 ml/24 jam Output :3690 ml/24 jam
Balance : -950 ml/24 jam Balance : -2130 ml/jam Balance : -640 ml/ 24 jam
Diuresis: 2850ml/24 jam Dieresis : 3100 ml/24 jam Diiuresis : 2850 ml/ 24 jam
Pemeriksaan Kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal
Fisik - Mata: konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/- - Mata : konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikhterik (-/-) palpebra ), sklera ikhterik (-/-) palpebra sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-)
udem (+) udem (-) - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping hidung
- Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-), (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-) - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir
(-) epistaksis (-) - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), perdarahan gusi (-)
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir - Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), perdarahan gusi (-) - Tenggorok : Uvula ditengah, faring
sianosis (-), perdarahan gusi(-) Bibir sianosis (-), perdarahan - Tenggorok : Uvula ditengah, hiperemis (-) , tonsil T1-T1
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring gusi (-) faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1 - Telinga : Normotia, sekret (-/-)
hiperemis (-) , tonsil T1-T1 - Tenggorok : Uvula ditengah, - Telinga : Normotia, sekret (-/-) Leher
- Telinga : Normotia, sekret (-/-) faring hiperemis (-) , tonsil T1- Leher Trakea ditengah, tidak ada
Leher T1 Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Trakea ditengah, tidak ada - Telinga : Normotia, sekret (-/-) pembesaran kelenjar getah bening Thorax
pembesaran kelenjar getah bening Leher Thorax Bentuk : Normochest, gerakan
Thorax Trakea ditengah, tidak ada Bentuk : Normochest, gerakan simetris kanan kiri
Bentuk : Normochest, gerakan pembesaran kelenjar getah bening simetris kanan kiri Pulmo:
9
simetris kanan kiri Thorax
Bentuk : Normochest, gerakan
simetris kanan kiri
10
Assesment Dengue Shock Syndrome Dengue Shock Syndrome DHF Post DSS DHF Post DSS
-
Plan Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450
- Monitor KU dan TTV - Monitor KU dan TTV - Monitor KU dan TTV - Monitor KU dan TTV
- Cukupi cairan - Cukupi cairan - Cukupi cairan - Balance cairan seimbang
- Cegah infeksi dan nyeri - Cegah infeksi dan nyeri - Cegah infeksi dan nyeri - Pindah ruangan
M
- IVFD RL 60 ml/jam - IVFD RL 60 ml/jam - IVFD RL 40 ml/jam - IVFD RL 40 ml/jam
- Inj. Ceftriakson 1x2 g iv - Inj. Ceftriakson 1x2 g iv - Inj. Ceftriakson 1x2 g iv - Inj. Ceftriakson 1x2 g iv
- Inj.Omeprazole 1x 40 mg iv - Inj. Ranitidin 2x50 mg iv - Inj.Omeprazole 1x 40 mg iv - Inj.Omeprazole 1x 40 mg iv
- Inj. Ca glukonas 3x1 g iv
PO: PO: PO:
PO : - Vit. C 1x400 mg iv - Vit. C 1x400 mg iv - Vit. C 1x400 mg iv
- Vit. C 1x400 mg iv - Fluimucyl 3x200 mg - Fluimucyl 3x200 mg - Fluimucyl 3x200 mg
- Fluimucyl 3x200 mg - Paracetamol 3x500 mg - Paracetamol 3x500 mg - Paracetamol 3x500 mg
- Paracetamol 3x500 mg - Curcuma 3x1 tab - Curcuma 3x1 tab - Curcuma 3x1 tab
- Curcuma 3x1 tab - VIP albumin 3x4 caps - VIP albumin 3x4 caps - VIP albumin 3x4 caps
- VIP albumin 3x4 caps
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada keadaan permintaan layanan ICU lebih tinggi dari pada kapasitas atau
sarana dan prasarana maka kepala ICU harus menentukan prioritas sesuai
indikasi. Prioritas tersebut adalah:1
1. Pasien prioritas 1 (satu)
Kelompok ini dengan kondisi sakit kritis, tidak stabil, memerlukan bantuan
ventilasi dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat
kontinyu, misalnya pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
2. Pasien prioritas 2 (dua)
Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya,
23
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat
terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Pengelolaan pada pasien
golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.
Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria lainnya. Hal
tersebut sebagai berikkut : 2
A. Kriteria berdasarkan system organ
1. Penilaian Sistema Kardiovaskular
a. Acute myocard infark dengan komplikasi
b. Shock kardiogenik
c. Complex arrhythmia yang memerlukan pengawasan ketat dan intervensi
d. Gagal jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan bantuan
hemodinamik
e. Hipertensi emergensi
f. Unstable angina, yang disertai aritmia, hemodinamik yang tidak stabil, atau
nyeri dada yang presisten
g. Pasca pemulihan setelah Henti jantung
h. Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak stabil
i. Disseksi aneurisma aorta
j. Blok jantung total
k. Laju jantung <50 kali/menit atau >150 kali/menit dengan instabilitas
l. Gagal Jantung kronis dekompensata yang membutuhkan pemantauan
intensive
2. Pulmonary System
a. Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator
b. Emboli paru dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil
c. Pasien ruang perawatan High Care Unit yang menunjukkanperburukan
pada system pernafasan
d. Hemoptisis masive
e. Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
3. Gangguan Gastrointestinal
24
a. Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi, terus menerus
b. Gagal hati fulminan
c. Pankreatitis berat
d. Perforasi Esofagus dengan atau tanpa mediastinitis
e. Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya hipertensi
4. Endokrin
a. Ketoasidosi diabetikum dengan instabilitas hemodinamik, perubahan status
mental, isufisiensi pernafasan.
b. Krisis tiroid dengan instabilitas hemodinamik
c. Hiperosmolar status dengan koma dan atau instabilitas hemodinamik
d. Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal dengan instabilitas
hemodinamik
e. Hiperkalemia berat dengan perubahan status mental yang memerlukan
monitoring hemodinamik
f. Hipo atau hipernatremia dengan kejang, perubahan status mental
g. Hipo atau hipermagnesemia dengan kegagalan hemodinamik
h. Hipo atau hiperkalemia dengan aritmia atau kelemahan otot
i. Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
5. SistemRenal
a. Gagal ginjal yang baru didiagnosisdengan azotemia berat (ureum>200
mg/dL)
b. Produksi urin <0.5 ml/kgbb/jam selama > 3jam dan ada pertimbangan
hemodinamik yang tidak membaik
c. Penurunan akut bersihan kreatinin<30 ml
d. Membutuhkan terpi pengganti ginjal
6. Neurologic Disorders
a. Stroke akut dengan perubahan status mental
b. Koma : metabolic, toksik, atau anoxik
c. Perdarahan intracranial yang berpotensi terjadi herniasi
d. Perdarahan subarachnoid akut
e. Meningitis dengan perubahan status mental atau gangguan pernapasan
25
f. Sistem saraf pusat dan neurumuskular disorder dengan disorientasi saraf
dan fungsi paru
g. Status epileptikus
h. Pasien mati batang otak atau berpotensi mati batang otak dengan status
pendonor organ
i. Pasien dengan cedera kepala berat
7. Penilaian Sistem Hematologi
a. Trombositopenia (<70.000) dengan bukti perdarahan
b. Koagulopati (INR > 2.5 atau APTT >40-50 detik)dengan bukti perdarahan
aktif
c. Buktihemolisis aktif dengan penurunan hematocrit
d. Leukosit >100.000/mcl, dan terutama dengan fungsi organ target
8. Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan hemodinamik/ dukungan
ventilator atau perawatan intensif
9. Gangguan Lainnya
a. Septik shok dengan instabilitas hemodinamik
b. Pengawasan hemodinamik
c. Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)
26
4. pH < 7.1 or > 7.7
5. Serum glukosa > 800 mg/dl
Serum kalcium > 15 mg/dl
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar 1):
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung
positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien
yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang
sama
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan).
2.2.2 Etiologi
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, DEN – 4.
27
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN – 3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Gambar .2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue
2.2.3 Epidemiologi
Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan
ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi
pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan
subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia Jumlah
kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di
antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu
terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. DBD
merupakan penyakit endemis di berbagai negara dan ada beberapa Negara yang
terdeteksi terdapat keempat serotipe dari virus dengue tersebut termasuk ke dalam
kategori hyperendemis
28
2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog
yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc
reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog
maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
29
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada gambar 3. yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena
itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virusbinatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktuvirus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuhnyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapatmenyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensidan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapastrain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang
besar.Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
30
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD
31
Gambar.4 Patofisiologi perdarahan pada DBD
A. Undifferentiated fever
Bayi, anak-anak dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama
kalinya atau primary infection dapat menunjukan gejala demam yang tidak
bisa dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Makulopapular rash dapat
terjadi bersamaan pada saat demam muncul atau saat penurunan suhu tubuh
ke normal. Gejala saluran nafas atas dan gastrointestinal sistem yang paling
umum terjadi.
Pada saat masa kritis (hari ke-5 demam) terjadi penurunan suhu yang dapat
33
diikuti dengan syok hipovolemik oleh karena kebocoran plasma.
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris,
fase kritis dan fase pemulihan.
a. Fase Febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2–7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit
kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun
jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal.
b. Fase Kritis
Terjadi pada hari 3–7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24– 48 jam. Kebocoran plasma
sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan trombosit. Pada
fase ini dapat terjadi syok.
c. Fase Pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48–72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali ,
hemodinamik stabil dan dieresis membaik.
d. Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :
34
3) Gangguan kesadaran
4) Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri
abdomen yang hebat atau bertambah, ikterik)
5) Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim
lainnya.
Diagnosis Derajat penyakit DBD
35
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,
ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2
minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcriptionpolymerasechain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-
PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi
yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke
2.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.
2.2.8 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif, petekie,
ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.
36
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasiperdarahan
adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit danperdarahan lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, tampakgelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidakterukur.
37
2.2.9 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD
penderita adalah 25,1 tahun. Usia terbanyak penderita DBD adalah usia 19
tahun. Selain itu, juga didapatkan frekuensi umur pasien DBD terbanyak
adalah kelompok umur 20-40 tahun dan frekuensi terendah adalah pada
kelompok umur > 40 tahun. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan
dari Carribean Epidemiology Centre yang menyatakan bahwa
epidemiologi penderita DBD terbanyak pada anak-anak dan dewasa muda.
Menurut hasil penelitian Subagia (2013) sebagian besar subyek yang
menderita DBD berjenis kelamin perempuan.
b. Pekerjaan
b.Vektor Penyakit
2.2.10 Penatalaksanaan
41
Gambar 9.Penatalaksanaan DSS (Dengue Syok Syndrom)
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan
kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan
terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular,
pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun
42
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar
pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan
dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.
43
dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari
banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih
akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk
kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan
50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24
jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih
perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara
6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan
cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6
dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.
44
berkepanjangan atau orang-orang dengan kelebihan cairan. Selama periode ini
jumlah urin harus 0,5ml/kgbb/jam.
2.2.12 Prognosis
Dubia ad bonam
2.2.12 Pencegahan
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
1. Menggunakan insektisida
Malathion (adultisida) dengan pengasapan
Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air bersih.
2. Tanpa insektisida
45
Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal 1x
seminggu.
Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol
pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.
46
BAB III
PEMBAHASAN
Nn. SM usia 22 tahun datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam yang dirasakan pasien terus menerus dan tinggi. Pasien juga
mengeluhkan pusing, mual , lalu besoknya pasien muntah hingga lebih dari 3x, muntah
berisi makanan. Pasien berobat di klinik dekat rumahnya dan diberi obat penurunan
panas namun demam tidak kunjung turun. Demam tinggi dan terus menerus menunjukan
adanya suatu infeksi yang penyebabnya dapat terjadi dari virus atau bakteri. Namun, dari
tipe demam terus menerus yang dikeluhkan pasien dapat diduga bahwa penyebabnya
adalah virus dengue.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya ptekie pada ke empat ektremitas, Ptekie
menunjukkan adanya manifestasi klinis dari DHF dan adanya udem pada palpebra serta
ekstremitas inferior karena sudah terjadi kebocoran plasma, yang memperkuat hipotesis
DHF. Pada pemeriksaan penunjang di IGD, didapatkan hasil trombositopenia. Hal ini
sesuai dengan tanda dari DHF . Trombosit berfungsi untuk menghentikan perdarahan
baik yang mikrolesi ataupun makrolesi. Trombosit dan tekanan darah yang terus
menurun menandakan adanya perdarahan dan kegagalan sirkulasi sehingga pasien perlu
pemantauan terapi cairan yang tepat di ICU untuk memperbaiki keadaan hemodinamik
pasien.
47
DAFTAR PUSTAKA
48
49
50