Anda di halaman 1dari 56

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : An. MI
Tanggal Lahir : 02 Desember 2005
Umur : 12 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 35 kg
Alamat : Sumur batu utara rt 04/001, kel sumur batu
Masuk IGD : 9 Juli 2017 pukul 23.25
Masuk ICU : 9 Juli 2017 pukul 06.00
No RM : 85.86.83

1.2 ANAMNESIS
A. Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara aloanamnesa dengan keluarga pasien dan
berdasarkan data dari rekam medis pada tanggal 11 Juli 2017 pukul 13.00.
Keluhan Utama : Demam sejak 4 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
4 hari SMRS pasien mengeluhkan demam, pasien berobat ke
klinik dan diberi obat penurun panas. Panas turun setelah meminum
obat namun kemudian naik lagi. Pasien juga terdapat muntah 5x/hr,
muntah berisi maknan, mual (-), nyeri perut (-). Keluarga pasien
mengeluhkan muncul bintik merah di tangan, kaki, dan perut sisi kiri
Pada hari masuk rumah sakit, pasien merasa demam, lemas,
batuk (+), muntah-muntah kurang lebih 1 hari, kemudian dibawa ke
Rumah sakit. Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto tanggal 9
Juli 2017. Buang Air Kecil (BAK) tidak berdarah, jumlah urin
sedikit, dan tidak ada nyeri saat BAK. Buang air besar (BAB)
berwarna kuning, tidak ada darah atau feses hitam. Perdarahan dari
hidung(-).

1
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Demam Berdarah : Disangkal
Riwayat Demam Tifoid : Disangkal
Riwayat rawat inap di RS : Disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga sakit serupa : Disangkal

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di ruang IMCU tanggal 11 Juli 2017 pkl 14.00 WIB
 Keadaan Umum : pasien tampak sakit berat
 Kesadaran : apatis
 Tanda Vital :
- Suhu : 37.7 0C (per aksila)
- Nadi : 155 kali/menit, regular, isi cukup
- RR : 30 kali/menit, teratur, kedalaman cukup
₋ TD : 110/60 mmHg
 Status Gizi:
BB : 60 kg, TB :160 cm
BMI = 60/(1,6)2
= 23,4 (Normoweight)
 Kepala : kesan normocephal , rambut berwarna hitam tidak mudah dicabut
- Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikhterik (-/-
), pupil isokor kanan kiri sama, refleks cahaya positif,
edema palpebra (-/-)
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), gusi berdarah (-),
coated tounge (+)
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring hiperemis (-) , pembesaran tonsil (-)
- Telinga : Normotia, sekret (-/-)
 Leher

2
Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun tiroid
 Thorax
Bentuk : Normochest
Pulmo:
Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada simetris kanan kiri, purpura
(+)
Palpasi : vocal fremitus kanan & kiri simetris
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen:
Inspeksi : Datar, distensi (-), purpura (+)
Auskutasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hati dan limpa tidak teraba,
turgor kembali cepat
 Ekstremitas :
Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-/-), ptekie
(+/+).
Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-/-), ptekie
(+/+), purpura (-/-)

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

3
Jenis pemeriksaan Hasil Hasil Hasil Hasil Nilai rujukan
09-07-2017 10-07-2017 11-07-2017 12-07-2017

Hemoglobin 9.9 (L) 9.6 (L) 10.6 11.0 10.5-13.5 g/dL

hematokrit 28 (L) 27 (L) 30 (L) 32 (L) 33-39%

eritrosit 3.4 (L) 3.6 (L) 3.9 4.1 3.7-5.3 jt/uL

leukosit 8660 9650 9850 6370 6.000-17.500

trombosit 50.000 (L) 132.000 (L) 108.000 (L) 105.000 (L) 150.000-400.000/ul

MCV 75 70-86 fL

MCH 30 30-36 g/dL

MCHC 36 30-36 g/dL

albumin 2.3 (L) 3.6 3.4 4.2 3.5-5.0 g/dL

ureum 52 (H) 8.7 30 20-50 mg/dL

kreatinin 0.6 0.5 0.5-1.5 mg/dL

Kalsium (Ca) 7.2 (L) 8.9 8.7 9.1 8.6-10.3 mg/dL

Magnesium (Mg) 2.25 2.36 (H) 2.21 1.92 (H) 1.7-2.3 mEg/L

GDS 105 91 60-140 mg/dL

Natrium (Na) 130 (L) 134 134 133 132-145 mmol/L

Kalium (K) 2.9 (L) 27 (L) 3.6 3.1 (L) 3.1-5.1 mmol/L

Klorida (Cl) 100 100 102 90 96-111 mmol/L

Analisa Gas darah

pH 7.49 (H) 28.2 (H) 7.387 7.469 7.73-7.45

pCO2 28.2 (L) 28.2 (L) 41.8 39.2 33-34 mmHg

pO2 167.4 (H) 167.4 (H) 147.3 (H) 137.5 (H) 71-104 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 21.7 (L) 21.7 (L) 25.3 28.7 22-29 mmol/L

Kelebihan basa (BE) -1.0 -1.0 1.0 5.4 (-2) - 3 mmol/L

Saturasi O2 99.6 99.6 % 99.9 % 99.6 % 94-98 %

Jenis pemeriksaan Hasil Hasil Hasil Hasil Nilai rujukan

13-07-2017 14-07-2017 15-07-2017 16-07-2017

4
Hemoglobin 11.1 10.7 10.5-13.5 g/dL

hematokrit 32 (L) 32 33-39%

eritrosit 4.2 3.7-5.3 jt/uL

leukosit 7800 10.220 6.000-17.500

trombosit 194.000 (L) 487.000 150.000-400.000/ul

MCV 70-86 fL

MCH 30-36 g/dL

MCHC 30-36 g/dL

albumin 4.1 3.5-5.0 g/dL

ureum 32 32 20-50 mg/dL

kreatinin 0.4 (L) 0.2 (L) 0.5-1.5 mg/dL

Kalsium (Ca) 9.0 9.4 9.8 9.1 8.6-10.3 mg/dL

Magnesium (Mg) 1.83 1.91 2.25 2.27 1.7-2.3 mEg/L

GDS 119 96 60-140 mg/dL

Natrium (Na) 132 134 130 (L) 134 132-145 mmol/L

Kalium (K) 3.6 (L) 5.1 4.8 5.6 3.1-5.1 mmol/L

Klorida (Cl) 89 (L) 97 104 98 96-111 mmol/L

Analisa Gas darah

pH 7.430 7.387 7.73-7.45

pCO2 35.6 33.3 33-34 mmHg

pO2 151.7 (H) 156.4 (H) 71-104 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 23.8 20.2 22-29 mmol/L

Kelebihan basa (BE) 0.4 -3.6 (-2) - 3 mmol/L

Saturasi O2 99.9 % 99.9 % 94-98 %

Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

17-07-2017

5
Hemoglobin 11.4 10.5-13.5 g/dL

hematokrit 34 33-39%

eritrosit 4.2 3.7-5.3 jt/uL

leukosit 10250 6.000-17.500

trombosit 11.4 150.000-400.000/ul

MCV 80 70-86 fL

MCH 27 30-36 g/dL

MCHC 34 30-36 g/dL

albumin 4.4 3.5-5.0 g/dL

ureum 32 20-50 mg/dL

kreatinin 0.2 (L) 0.5-1.5 mg/dL

Kalsium (Ca) 9.8 8.6-10.3 mg/dL

Magnesium (Mg) 2.16 1.7-2.3 mEg/L

GDS 104 60-140 mg/dL

Natrium (Na) 135 132-145 mmol/L

Kalium (K) 5.5 (L) 3.1-5.1 mmol/L

Klorida (Cl) 98 96-111 mmol/L

Analisa Gas darah

pH 7.437 7.73-7.45

pCO2 34.3 33-34 mmHg

pO2 11.4 71-104 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 34 22-29 mmol/L

Kelebihan basa (BE) 4.2 (-2) - 3 mmol/L

Saturasi O2 10250 94-98 %

1.5 DIAGNOSIS KERJA


Dengue Haemoraghic Fever Grade II
Sepsis ec Pneumonia

6
1.6 PLANNING
Rawat Inap di IMCU
Cek DL per 8 jam
Tranfusi Trombosit

1.7 PENATALAKSANAAN
IVFD RL + KCl 7.4 % 5cc/kolf 60 ml/jam
Obat :
 Injeks cefotaxme 3x1 gr
 Injeksi omeprazol 1x40 mg
 Injeksi meropenem 3x1 gr
 Injeksi transamin 3x500 mg
 Injeksi Vitamin C 1x100 mg
 Injeksi metoclopramide 1/2 amp
 PO : Paracetamol 3x1 tablet

1.8 PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

1.9 PERJALANAN PENYAKIT


Pasien diberikan tranfusi pada tanggal 10 Juli 2017 sebanyak 10 unit
dengan masing-masing pemberian sebagai berikut:
Tranfusi TC 1 47 ml Tranfusi TC 6 50 ml
Tranfusi TC 2 47 ml Tranfusi TC 7 46 ml
Tranfusi TC 3 50 ml Tranfusi TC 8 58 ml
Tranfusi TC 4 62 ml Tranfusi TC 9 49 ml
Tranfusi TC 5 50 ml Tranfusi TC 10 60 ml

7
Kemudian dilakukan pemeriksaan Lab kembali dengan hasil sebagai
berikut:

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


IGD 13-02-16
01.00 wib 13.00 wib
Hematologi
Hb 14.1 14.3 12- 16 g/dL
Ht 40 41 37- 47 %
Eritrosit 4.8 4.9 4.3 – 6.7 juta/uL
Leukosit 3980 3540 4.800-10.000 /uL
Trombosit 4000 35000 150.000 – 400.000/uL
MCV 80 84 80-96 fL
MCH 30 29 27-32 pg
MCHC 35 35 32-36 g/dL

Kemudian pasien pada pukul 18.00 wib pindah ke ruang IMCU untuk
observasi.

8
1.10 FOLLOW UP PASIEN

Minggu, 09-07-2017 Senin, 10-07-2017 Selasa, 11-07-2017 Rabu, 12-07-2017


Keluhan (S) Hari ke-1: Hari ke-2: Hari ke-3: Hari ke-4:
- Pasien datang dari IGD RSPAD - Badan lemah - lemah - lemah
rujukan dari RS Kemayoran dengan
keadaan lemah. Pasien muntah 1x
berwarna coklat
Keadaan Umum  KU: Tampak sakit berat  KU: tampak sakit berat  KU: Tampak sakkit Berat  KU: Tampak sakkit Berat
(KU)  Kesadaran : somnolen  Kesadaran : somnolen  Kesadaran :somnolen  Kesadaran : somnolen
Kesadaran  Tanda Vital  Tanda vital :  Tanda vital :  Tanda vital :
Tanda Vital ₋ Suhu : 37 0C - Suhu : 37 0C - Suhu : 36,5 C - Suhu : 36,5 C
₋ TD : 120/78 mmHg - TD 98/53 mmHg - TD : 108/60 mmHg - TD : 100/50 mmHg
₋ Nadi : 130 kali/menit, - Nadi :122 x/menit - Nadi : 132 x/mnit - Nadi : 120 x/mnit
₋ RR : 22 kali/menit - RR : 23 x/mnt - RR : 16 x/mnit - RR : 19 x/mnit
₋ SpO2: 100 % - Sp02 : 99% - Sp02 : 98 % - Sp02 : 99 %

 Diuresis 4 jam 700 ml  Diuresis: 1800 ml/24 jam Diuresi :2500 ml/24 jam Diuresi :3650 ml/24 jam

Pemeriksaan Kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal


Fisik - Mata: konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-)
- Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping hidung
hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis hidung (-/-), sekret (-/-), (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
(-) (-) epistaksis (-) - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), perdarahan gusi (-)
sianosis (-), perdarahan gusi(-) sianosis (-), perdarahan gusi (-) sianosis (-), perdarahan gusi (-) - Tenggorok : Uvula ditengah, faring
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring - Tenggorok : Uvula ditengah, - Tenggorok : Uvula ditengah, hiperemis (-) , tonsil T1-T1
hiperemis (-) , tonsil T1-T1 faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1 faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1 - Telinga : Normotia, sekret (-/-)
- Telinga : Normotia, sekret (-/-) - Telinga : Normotia, sekret (-/-) - Telinga : Normotia, sekret (-/-)  Leher
 Leher  Leher  Leher Trakea ditengah, tidak ada
Trakea ditengah, tidak ada Trakea ditengah, tidak ada Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
pembesaran kelenjar getah bening pembesaran kelenjar getah bening pembesaran kelenjar getah bening  Thorax
 Thorax  Thorax  Thorax Bentuk : Normochest, gerakan
Bentuk : Normochest, gerakan Bentuk : Normochest, gerakan Bentuk : Normochest, gerakan simetris kanan kiri
simetris kanan kiri simetris kanan kiri simetris kanan kiri Pulmo:

9
Pulmo: Pulmo: Pulmo: - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada
- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri - Palpasi : vocal fremitus kanan &
- Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan kiri simetris
& kiri simetris & kiri simetris & kiri simetris - Perkusi : Sonor di semua
- Perkusi : Sonor di semua lapangan - Perkusi : Sonor di semua - Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
paru lapangan paru lapangan paru - Auskultasi : Suara dasar vesikuler
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler - Auskultasi : Suara dasar - Auskultasi : Suara dasar (+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-)
(+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) Cor :
Cor : wheezing (-/-) wheezing (-/-) - Inspeksi : iktus cordis tidak
- Inspeksi : iktus cordis tidak Cor : Cor : tampak,
tampak, - Inspeksi : iktus cordis tidak - Inspeksi : iktus cordis tidak - Palpasi : iktus kordis tidak kuat
- Palpasi : iktus tampak, tampak, angkat
kordis tidak kuat angkat - Palpasi : iktus kordis tidak kuat - Palpasi : iktus kordis tidak - Perkusi : Batas jantung kesan
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak angkat kuat angkat tidak membesar
membesar - Perkusi : Batas jantung kesan - Perkusi : Batas jantung kesan - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II
- Auskultasi : Bunyi Jantung tidak membesar tidak membesar normal, murmur(-), gallop (-)
I-II normal, murmur(-), gallop (-) - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II  Abdomen:
 Abdomen: normal, murmur(-), gallop (-) normal, murmur(-), gallop (-) - Inspeksi : Datar, (+) ptekie
- Inspeksi : Datar, (+) ptekie  Abdomen:  Abdomen: - Auskutasi : BU (+)
- Auskutasi : BU (+) - Inspeksi : Datar, (+) ptekie - Inspeksi : Datar, (+) ptekie - Perkusi : Timpani
- Perkusi : Timpani - Auskutasi : BU (+) - Auskutasi : BU (+) - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Perkusi : Timpani - Perkusi : Timpani hati dan limpa tidak teraba, turgor
hati dan limpa tidak teraba, - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), kembali cepat
turgor kembali cepat hati dan limpa tidak teraba, hati dan limpa tidak teraba,  Ekstremitas:
 Ekstremitas: turgor kembali cepat turgor kembali cepat Superior:
Superior:  Ekstremitas:  Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Superior: Superior: (-), edema (-/-), ptekie (+/+)
(-), edema (-/-), ptekie (+/+) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior :
Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (+/+) (-), edema (-/-), ptekie (+/+) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior : Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (+/+), purpura
(-), edema (-/-), ptekie (+/+), purpura akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-/-)
(-/-) (-), edema (-/-), ptekie (+/+), purpura (-), edema (-/-), ptekie (+/+),
(-/-) purpura (-/-)

10
Pemeriksaan
Penunjang
Hematologi
Rutin
Hb 9.1 (L) 9.6 (L) 10.6 11.0
(12-16 g/dL)
Ht 25 (L) 27 (L) 30 (L) 32 (L)
(37-47 %)
Eritrosit 3.4 (L) 3.6 (L) 3.9 4.1
Leukosit 8660 9650 9850 6370
Trombosit 50.000 (L) 132.000 (L) 108.000 (L) 105.000 (L)
MCV 75
MCH 27
MCHC 36
Koagulasi
PT 12.1 (H)
(10.2-12.2
detik)
APTT 58.5 (H)
(20.9-40.2
detik)
Kimia Klinik
Albumin 3.6 3.4 4.2
(3.5-5.0 g/dl)
Ureum 52 (H) 8.7 30
(20-50 mg/dL)
Kreatinin 0.6 0.5
(0.5-1.5 mg/dL)
Kalsium (Ca) 7.2 (L) mg/dL 8.9 8.7 9.1
(8.6-10.3
mg/dL)

11
Magnesium(Mg 2.25 meq/dL 2.36 (H) 2.21 1.92 (H)
)
(1.8-3.0 meq/L)
GDS 105 91
(<140 mg/dL)
Na 130 (L) mmol 134 134 133
(135-147
mmol/L)
K 2.9 (L) mmol 27 (L) 3.6 3.1 (L)
(3.5-5.0
mmol/L)
Cl `100 mmol 100 102 90
(95-105
mmol/L)
Abalisa Gas
Darah
pH 7.49 (H) 28.2 (H) 7.387 7.469
pCO2 28.2 (L) 28.2 (L) 41.8 39.2
pO2 167.4 (H) 167.4 (H) 147.3 (H) 137.5 (H)
Bikarbonat 21.7 (L) 21.7 (L) 25.3 28.7
(HCO3)
Kelebihan Basa -1.0 -1.0 1.0 5.4
(BE)
Saturasi O2 99.6 99.6 % 99.9 % 99.6 %
Assesment DHF gr. III Dengue Shock Syndrome DSS DSS
Syok sepsis ec bronkopnrumonia Syok sepsis ec bronkopnrumonia

12
-
Plan Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450
- Monitor TTV, perdarahan - Monitor TTV - observasi TTV, perdarahan,KU - observasi TTV, perdarahan,KU
- Cegah dehidrasi - Cegah dehidrasi - Cek DL, AGD, Elektrolit, - Cek DL, AGD, Elektrolit,
- Lab AGD, Darah Lengkap, - Cegah infeksi PT+APTT PT+APTT
KamiE
s,le1k3t-r0o7li-t2017 -JumaC
t, e1g4a-h07n-y2e0ri17 S-abtuD,i1e5t-e0n7s-u2r0e137x100 m - ingD
M guie,t1e6n-s0u7r-e230x11700 ml (drip 2 jam
- Ensure 3x50 ml - Cek DL, AGD, Elektrolit, PT & - RL+KCl 20 ml/jam via feeding bag)
- RL+KCL 7.4% APTT - Lasix 1 ml/jam - RL+KCl 20 ml/jam
- Omeprazole 1x 40 mg - Diet ensure 3x100 ml - FFP (2) untuk 3 hari 300 ml - Lasix 1 ml/jam
- Cefotaxim 3x1 gr iv - RL + KCl 60 ml/jam - Albumin 5% - FFP (2) untuk 3 hari 300 ml
- Meropenem 3x1 gr iv - FFP - Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv - Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv
- Vit. K 1x10 mg iv - PRC 300 ml - Omeprazol 1x40 mg iv - Omeprazol 1x40 mg iv
- Transamin 3x500 mg iv - meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv - Vit. C 1x100 mg - Vit. C 1x100 mg
- Vit. C 1x100 mg iv - Omeprazole 1x 40 mg - Vit. K 1x10 mg iv - Vit. K 1x10 mg iv
- Metoclopramide 1/2 amp - Vit. C 1x100mg iv - Transamin 3x30 mg iv - Transamin 3x30 mg iv
- PO Paracetamol 3x500 mg - Vit. K 1x10 mg iv - PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT - PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT
- PO Paracetamol 3x500 mg (KP) - PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT - PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT
- Inhalasi : nebule berotec 10 tts + - Inhalasi : nebule berotec 10 tts +
atrovent 10 tts + NaCl 0.9% 3ml atrovent 10 tts + NaCl 0.9% 3ml
3x1 3x1

13
Keluhan (S) Hari ke-5: Hari ke-6: Hari ke-7: Hari ke-8:
- - Menangis, batuk (+) - menangis - lemah
- kontak (+)
Keadaan Umum  KU: Tampak sakit berat  KU: tampak sakit berat  KU: Tampak sakit Berat  KU: Tampak sakkit Berat
(KU)  Kesadaran : somnolen  Kesadaran : apatis  Kesadaran : apatis  Kesadaran : apatis
Kesadaran  Tanda Vital  Tanda vital :  Tanda vital :  Tanda vital :
Tanda Vital ₋ Suhu : 37.5 0C - Suhu : 37 0C - Suhu : 36,5 C - Suhu : 36,5 C
₋ TD : 107-71 mmHg - TD 108/67 mmHg - TD : 119/69 mmHg - TD : 100/50 mmHg
₋ Nadi : 108 kali/menit, - Nadi :112 x/menit - Nadi : 132 x/mnit - Nadi : 120 x/mnit
₋ RR : 16 kali/menit - RR : 12 x/mnt - RR : 16 x/mnit - RR : 19 x/mnit
₋ SpO2: 100 % - Sp02 : 99% - Sp02 : 100 % - Sp02 : 99 %

 Diuresis 2150 ml/24 jam  Diuresis: 2425 ml/24 jam Diuresi :2250 ml/24 jam Diuresi :3650 ml/24 jam

Pemeriksaan Kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal


Fisik - Mata: konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-)
- Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping hidung
hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis hidung (-/-), sekret (-/-), (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
(-) (-) epistaksis (-) - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), perdarahan gusi (-)
sianosis (-), perdarahan gusi(-) sianosis (-), perdarahan gusi (-) sianosis (-), perdarahan gusi (-) - Tenggorok : Uvula ditengah, faring
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring - Tenggorok : Uvula ditengah, - Tenggorok : Uvula ditengah, hiperemis (-) , tonsil T1-T1
hiperemis (-) , tonsil T1-T1 faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1 faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1 - Telinga : Normotia, sekret (-/-)
- Telinga : Normotia, sekret (-/-) - Telinga : Normotia, sekret (-/-) - Telinga : Normotia, sekret (-/-)  Leher
 Leher  Leher  Leher Trakea ditengah, tidak ada
Trakea ditengah, tidak ada Trakea ditengah, tidak ada Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
pembesaran kelenjar getah bening pembesaran kelenjar getah bening pembesaran kelenjar getah bening  Thorax
 Thorax  Thorax  Thorax Bentuk : Normochest, gerakan
Bentuk : Normochest, gerakan Bentuk : Normochest, gerakan Bentuk : Normochest, gerakan simetris kanan kiri
simetris kanan kiri simetris kanan kiri simetris kanan kiri Pulmo:
Pulmo: Pulmo: Pulmo: - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada
- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri - Palpasi : vocal fremitus kanan &
- Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan kiri simetris

14
& kiri simetris & kiri simetris & kiri simetris - Perkusi : Sonor di semua
- Perkusi : Sonor di semua lapangan - Perkusi : Sonor di semua - Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
paru lapangan paru lapangan paru - Auskultasi : Suara dasar vesikuler
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler - Auskultasi : Suara dasar - Auskultasi : Suara dasar (+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-)
(+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) Cor :
Cor : wheezing (-/-) wheezing (-/-) - Inspeksi : iktus cordis tidak
- Inspeksi : iktus cordis tidak Cor : Cor : tampak,
tampak, - Inspeksi : iktus cordis tidak - Inspeksi : iktus cordis tidak - Palpasi : iktus kordis tidak kuat
- Palpasi : iktus tampak, tampak, angkat
kordis tidak kuat angkat - Palpasi : iktus kordis tidak kuat - Palpasi : iktus kordis tidak - Perkusi : Batas jantung kesan
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak angkat kuat angkat tidak membesar
membesar - Perkusi : Batas jantung kesan - Perkusi : Batas jantung kesan - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II
- Auskultasi : Bunyi Jantung tidak membesar tidak membesar normal, murmur(-), gallop (-)
I-II normal, murmur(-), gallop (-) - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II  Abdomen:
 Abdomen: normal, murmur(-), gallop (-) normal, murmur(-), gallop (-) - Inspeksi : Datar, (+) ptekie
- Inspeksi : Datar, (+) ptekie  Abdomen:  Abdomen: - Auskutasi : BU (+)
- Auskutasi : BU (+) - Inspeksi : Datar, (+) ptekie - Inspeksi : Datar, (+) ptekie - Perkusi : Timpani
- Perkusi : Timpani - Auskutasi : BU (+) - Auskutasi : BU (+) - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Perkusi : Timpani - Perkusi : Timpani hati dan limpa tidak teraba, turgor
hati dan limpa tidak teraba, - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), kembali cepat
turgor kembali cepat hati dan limpa tidak teraba, hati dan limpa tidak teraba,  Ekstremitas:
 Ekstremitas: turgor kembali cepat turgor kembali cepat Superior:
Superior:  Ekstremitas:  Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Superior: Superior: (-), edema (-/-), ptekie (+/+)
(-), edema (-/-), ptekie (+/+) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior :
Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (+/+) (-), edema (-/-), ptekie (+/+) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior : Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (+/+), purpura
(-), edema (-/-), ptekie (+/+), purpura akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-/-)
(-/-) (-), edema (-/-), ptekie (+/+), purpura (-), edema (-/-), ptekie (+/+),
(-/-) purpura (-/-)

Pemeriksaan
Penunjang
Hematologi
Rutin

15
Hb 11.1 10.7
(12-16 g/dL)
Ht 32 (L) 32
(37-47 %)
Eritrosit 4.2
Leukosit 7800 10.220

Trombosit 194.000 (L) 487.000

MCV
MCH
MCHC
Koagulasi
PT 10.3 10.3 10.2
(10.2-12.2
detik)
APTT 31.7 25.7 29.1
(20.9-40.2
detik)
Kimia Klinik
Albumin 4.1 4.2
(3.5-5.0 g/dl)
Ureum 32 32
(20-50 mg/dL)
Kreatinin 0.4 (L) 0.2 (L)
(0.5-1.5 mg/dL)
Kalsium (Ca) 9.0 9.4 9.8 9.1
(8.6-10.3
mg/dL)
Magnesium(Mg 1.83 1.91 2.25 2.27
)
(1.8-3.0 meq/L)
GDS 119 96
(<140 mg/dL)

16
Na 132 134 130 (L) 134
(135-147
mmol/L)
K 3.6 (L) 5.1 4.8 5.6
(3.5-5.0
mmol/L)
Cl 89 (L) 97 104 98
(95-105
mmol/L)
Analisa Gas
Darah
pH 7.430 7.387

pCO2 35.6 33.3

pO2 151.7 (H) 156.4 (H)

Bikarbonat 23.8 20.2


(HCO3)
Kelebihan Basa 0.4 -3.6
(BE)
Saturasi O2 99.9 % 99.9 %

Assesment DSS DSS DSS DSS


Syok sepsis ec bronkopnrumonia Syok sepsis ec bronkopnrumonia Syok sepsis ec bronkopnrumonia Syok sepsis ec bronkopnrumonia
-
Plan Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450
- observasi TTV, perdarahan,KU - observasi TTV, perdarahan,KU - observasi TTV, perdarahan,KU - observasi TTV, perdarahan,KU
- Cek DL, AGD, Elektrolit, - Cek DL, AGD, Elektrolit, - Cek DL, AGD, Elektrolit, - Cek DL, AGD, Elektrolit,
PT+APTT PT+APTT PT+APTT PT+APTT
- Diet ensure 3x250 ml (drip 2 jam - Diet ensure 3x200 ml - Diet ensure 3x200 ml - Diet ensure 3x200 ml
via feeding bag) - Diit cair 3x250 ml - Diit cair 3x250 ml - Diit cair 3x250 ml
- RL+KCl 40 ml/jam - KAEN 3B 60 ml/jam - KAEN 3B 60 ml/jam - KAEN 3B 60 ml/jam
- Lasix 2.5 mg/jam 0.5ml/jam - Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv - Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv - Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv
- Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv - Omeprazol 1x40 mg iv - Omeprazol 1x40 mg iv - Omeprazol 1x40 mg iv
- Omeprazol 1x40 mg iv - Paracetamo jika suhu >38 3x350 - Paracetamo jika suhu >38 3x350 - Paracetamo jika suhu >38 3x350

17
- Vit. C 1x100 mg mg) mg) mg)
- Paracetamo jika suhu >38 3x350 - Dexametason 3x4 mg iv - Dexametason 3x4 mg iv - Dexametason 3x4 mg iv
mg) - Amikasin 2x250 mg - Amikasin 2x250 mg - Amikasin 2x250 mg
- Dexametason 3x4 mg iv - PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT - PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT - PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT
- Amikasin 2x250 mg - PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT - PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT - PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT
- PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT - Inhalasi : nebule berotec 10 tts + - Inhalasi : nebule berotec 10 tts + - Inhalasi : nebule berotec 10 tts +
- PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT atrovent 10 tts + NaCl 0.9% 3ml atrovent 10 tts + NaCl 0.9% 3ml atrovent 10 tts + NaCl 0.9% 3ml
- Inhalasi : nebule berotec 10 tts + 3x1 3x1 3x1
atrovent 10 tts + NaCl 0.9% 3ml
3x1

18
Senin, 17-07-2017
Keluhan (S) Hari ke-9:
- kontak (+)
Keadaan Umum (KU)  KU: Tampak sakit sedang - berat
Kesadaran  Kesadaran : apatis
Tanda Vital  Tanda Vital
₋ Suhu : 36.3 0C
₋ TD : 110/76 mmHg
₋ Nadi : 92 kali/menit,
₋ RR : 18 kali/menit
₋ SpO2: 100 %

 Diuresis 3600 ml/24 jam


Pemeriksaan Fisik Kepala : Normocephal
- Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikhterik
(-/-)
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-),
sekret (-/-), epistaksis (-)
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-),
perdarahan gusi(-)
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring hiperemis
(-) , tonsil T1-T1
- Telinga : Normotia, sekret (-/-)
 Leher
Trakea ditengah, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening
 Thorax
Bentuk : Normochest, gerakan simetris kanan
kiri
Pulmo:
- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada simetris
kanan kiri
- Palpasi : vocal fremitus kanan & kiri
simetris
- Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
19
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+),
ronkhi(-/-) wheezing (-/-)
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak tampak,
- Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
- Auskultasi : Bunyi Jantung I-II normal,
murmur(-), gallop (-)
 Abdomen:
- Inspeksi : Datar, (+) ptekie
- Auskutasi : BU (+)
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hati dan
limpa tidak teraba, turgor kembali cepat
 Ekstremitas:
Superior:
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema
(-/-), ptekie (+/+)
Inferior :
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema
(-/-), ptekie (+/+), purpura (-/-)

Pemeriksaan
Penunjang
Hematologi Rutin
Hb 11.4
(12-16 g/dL)
Ht 34
(37-47 %)
Eritrosit 4.2
Leukosit 10250

20
Trombosit 969.000(H)
MCV 80
MCH 27
MCHC 34
Koagulasi
PT
(10.2-12.2 detik)
APTT
(20.9-40.2 detik)
Kimia Klinik
Albumin (3.5-5.0 4.4
g/dl)
Ureum 32
(20-50 mg/dL)
Kreatinin 0.2 (L)
(0.5-1.5 mg/dL)
Kalsium (Ca) 9.8
(8.6-10.3 mg/dL)
Magnesium(Mg) 2.16
(1.8-3.0 meq/L)
GDS 104
(<140 mg/dL)
Na 135
(135-147 mmol/L)
K 5.5 (L)
(3.5-5.0 mmol/L)
Cl 98
(95-105 mmol/L)
Analisa Gas Darah

pH 7.437
pCO2 34.3

21
pO2 136.6 (H)
Bikarbonat (HCO3) 23.3
Kelebihan Basa (BE) 0.1
Saturasi O2 99.9 %
Assesment DSS
Sepsis ec bronkopnrumonia
-
Plan Head up 450
- observasi TTV, perdarahan,KU
- Cek DL, AGD, Elektrolit, PT+APTT
- Diet ensure 3x200 ml
- Diit cair 3x250 ml
- KAEN 3B 60 ml/jam
- Meropenem drip 4 jam 3x1 gr iv
- Omeprazol 1x40 mg iv
- Paracetamo jika suhu >38 3x350 mg)
- Dexametason 3x4 mg iv
- Amikasin 2x250 mg
- PO Inpepsa syr 4x10 ml PNGT
- PO vitalbumin kaps 3x4 PNGT
Inhalasi : nebule berotec 10 tts + atrovent 10 tts +
NaCl 0.9% 3ml 3x1

22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intensive Care Unit (ICU)


2.1.1 Definisi

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu ruangan perawatan khusus


dengan staff dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau
penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa
dengan prognosis dubia.1

Pelayanan ICU adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien dalam


kondisi kritis diruang perawatan intensif, dilaksanakan secara terintegrasi oleh
tim yang terlatih dan berpengalaman dibidang critical care. Pengelolaan
pelayanan ICU dilakukan secara khusus dengan mengutamakan keselamatan
pasien (Patient Safety), untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan.1

2.2.2 Indikasi masuk ICU

Pada keadaan permintaan layanan ICU lebih tinggi dari pada kapasitas atau
sarana dan prasarana maka kepala ICU harus menentukan prioritas sesuai
indikasi. Prioritas tersebut adalah:1
1. Pasien prioritas 1 (satu)

Kelompok ini dengan kondisi sakit kritis, tidak stabil, memerlukan bantuan
ventilasi dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat
kontinyu, misalnya pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
2. Pasien prioritas 2 (dua)

Pasien ini memerlukan pelayanan karena sangat berisiko bila tidak


mendapatkan terapi intensive dan pemantauan segera.
3. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya,

23
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat
terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Pengelolaan pada pasien
golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.

Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria lainnya. Hal
tersebut sebagai berikkut : 2
A. Kriteria berdasarkan system organ
1. Penilaian Sistema Kardiovaskular
a. Acute myocard infark dengan komplikasi
b. Shock kardiogenik
c. Complex arrhythmia yang memerlukan pengawasan ketat dan intervensi
d. Gagal jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan bantuan
hemodinamik
e. Hipertensi emergensi
f. Unstable angina, yang disertai aritmia, hemodinamik yang tidak stabil, atau
nyeri dada yang presisten
g. Pasca pemulihan setelah Henti jantung
h. Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak stabil
i. Disseksi aneurisma aorta
j. Blok jantung total
k. Laju jantung <50 kali/menit atau >150 kali/menit dengan instabilitas
l. Gagal Jantung kronis dekompensata yang membutuhkan pemantauan
intensive
2. Pulmonary System
a. Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator
b. Emboli paru dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil
c. Pasien ruang perawatan High Care Unit yang menunjukkanperburukan
pada system pernafasan
d. Hemoptisis masive
e. Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
3. Gangguan Gastrointestinal

24
a. Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi, terus menerus
b. Gagal hati fulminan
c. Pankreatitis berat
d. Perforasi Esofagus dengan atau tanpa mediastinitis
e. Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya hipertensi
4. Endokrin
a. Ketoasidosi diabetikum dengan instabilitas hemodinamik, perubahan status
mental, isufisiensi pernafasan.
b. Krisis tiroid dengan instabilitas hemodinamik
c. Hiperosmolar status dengan koma dan atau instabilitas hemodinamik
d. Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal dengan instabilitas
hemodinamik
e. Hiperkalemia berat dengan perubahan status mental yang memerlukan
monitoring hemodinamik
f. Hipo atau hipernatremia dengan kejang, perubahan status mental
g. Hipo atau hipermagnesemia dengan kegagalan hemodinamik
h. Hipo atau hiperkalemia dengan aritmia atau kelemahan otot
i. Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
5. SistemRenal
a. Gagal ginjal yang baru didiagnosisdengan azotemia berat (ureum>200
mg/dL)
b. Produksi urin <0.5 ml/kgbb/jam selama > 3jam dan ada pertimbangan
hemodinamik yang tidak membaik
c. Penurunan akut bersihan kreatinin<30 ml
d. Membutuhkan terpi pengganti ginjal
6. Neurologic Disorders
a. Stroke akut dengan perubahan status mental
b. Koma : metabolic, toksik, atau anoxik
c. Perdarahan intracranial yang berpotensi terjadi herniasi
d. Perdarahan subarachnoid akut
e. Meningitis dengan perubahan status mental atau gangguan pernapasan

25
f. Sistem saraf pusat dan neurumuskular disorder dengan disorientasi saraf
dan fungsi paru
g. Status epileptikus
h. Pasien mati batang otak atau berpotensi mati batang otak dengan status
pendonor organ
i. Pasien dengan cedera kepala berat
7. Penilaian Sistem Hematologi
a. Trombositopenia (<70.000) dengan bukti perdarahan
b. Koagulopati (INR > 2.5 atau APTT >40-50 detik)dengan bukti perdarahan
aktif
c. Buktihemolisis aktif dengan penurunan hematocrit
d. Leukosit >100.000/mcl, dan terutama dengan fungsi organ target
8. Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan hemodinamik/ dukungan
ventilator atau perawatan intensif
9. Gangguan Lainnya
a. Septik shok dengan instabilitas hemodinamik
b. Pengawasan hemodinamik
c. Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)

B. Model Parameter Objektif


a. Tanda Vital
1. Nadi < 40 atau > 150 kali/menit
2. Tekanan darah Sistolik < 80 mm Hg atau 20 mm Hg dibawah tekanan darah
biasa pasien
3. Mean arterial pressure < 60 mm Hg
4. Tekanan Diastolik > 120 mm Hg
5. Respiratory rate > 35 kali/menit
b. Laboratorium
1. Serum sodium < 110 mEq/L or > 170 mEq/L
2. Serum potassium < 2.0 mEq/L or > 7.0 mEq/L
3. PaO2 < 50 mm Hg

26
4. pH < 7.1 or > 7.7
5. Serum glukosa > 800 mg/dl
Serum kalcium > 15 mg/dl

2.2 Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)


2.2.1 Definisi

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue


haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang di sebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi kinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang di tandai dengan hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang di
tandai oleh renjatan/syok.3

Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang ditandai dengan


panas tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas disertai bintik-bintik merah pada
kulit. DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan ke manusia melalui
gigitan nyamuk Ae. aegypti.4

2.2.2 Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk


dalam genus Flavivirus keluarga Flaviviridae. Flavirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106. Terdapat 4 serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak.3

2.2.3 Epidemiologi

Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan


peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari
kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah
tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan

27
Karibia Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan
subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian
pada anak 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun
1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak
800 orang lebih.5

DBD merupakan penyakit endemis di berbagai negara dan ada beberapa


Negara yang terdeteksi terdapat keempat serotipe dari virus dengue tersebut
termasuk ke dalam kategori hyperendemis.6

Sumber : WHO, 2011

Gambar 1

2.2.4 Patogenesis

Nyamuk Ae. aegypti yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah,
nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru.5

28
Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang
masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan
antibody dependent enhancement (ADE).5

Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila seseorang


mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi proses
kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu yang
lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe virus
dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Hal ini terjadi karena
antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer akan membentuk
kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat
dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat
oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL- 6,
tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF),
akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha
akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan
plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh darah yang
mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.5

Pada teori kedua (ADE), terdapat 3 hal yang berkontribusi terhadap


terjadinya DBD dan DSS yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance
infection, limfosit T dan monosit. Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat
antibodi speseifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat
mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh
tidak dapat menetralisir penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit yang
berat.7

2.2.5 Patofisiologi
Virus demam berdarah akan masuk ke dalam makrofag. Menurut antibody
dependent enhancement, antigen infeksi pertama pada makrofag justru menjadi
semacam opsonisasi untuk memfasilitasi virus menempel ke permukaan makrofag
dan masuk ke dalamnya. Makrofag akan melepaskan monokin, sitokin, histamine,
dan interferon, yang akan mengakibatkan celah endotel melebar, selanjutnya terjadi
kebocoran cairan intravaskular ke ruang eks-travaskular. Konsekuensinya, terjadi

29
hipovolemia, hemokonsentrasi, tubuh lemah, edema, dan kongesti visceral.
Perenggangan celah antar sel endotel dapat juga disebabkan oleh virus dengue itu
sendiri. Saat sel endotel terinfeksi DV, terjadi kerusakan sel endotel. Akan tetapi
pelebaran celah sel endotel terutama disebabkan oleh pelepasan sitokin inflamasi.
Adapun mekanisme hipotesis antibody dependent enhancement dijelaskan sebagai
berikut :

Gambar 2. Homologous Antibodies Form Non-Infectious Complexes


Manusia yang pernah terinfeksi demam berdarah akan membuat serum antibodi
yang dapat menetralkan virus dengue yang serotipenya sama (homolog).

Gambar 3. Heterologous Antibodies Form Infectious Complexes


Dalam infeksi berikutnya, antibodi heterolog yang sudah ada sebelumnya
membentuk kompleks dengan serotipe virus baru yang menginfeksi, tetapi tidak
menetralkan virus baru.

30
Gambar 4. Heterologous Complexes Enter More Monocytes, Where Virus
Replicates
Peningkatan antibodi-terikat adalah proses di mana strain tertentu dari virus
dengue, bergabung dengan antibodi non-penetral, menginisiasi munculnya monosit
yang lebih banyak, sehingga meningkatkan produksi virus.
Monosit yang terinfeksi melepaskan mediator vasoaktif, mengakibatkan
permeabilitas pembuluh darah meningkat dan manifestasi perdarahan yang menjadi
ciri DBD dan DSS.
Dengan demikian, manifestasi klinis yang paling penting dalam penyakit
DBD adalah kebocoran plasma. Dan untuk mengetahui tanda-tanda kebocoran
plasma bukannya trombosit yang dipantau tetapi hematokrit. Selain itu, penting
juga pemantauan urine output dan hemostasis. Dari pengalaman dokter, apabila
tidak terjadi pendarahan massive, trombosit 3.000 atau 7.000 juga tidak
mengakibatkan kematian pasien.
Adapun tingkat keparahan sindrom kebocoran kapiler tergantung ukuran
celah endotel dan lokasi atau daerah yang terkena infeksi, komposisi matriks
kompartemen perivaskular, dan perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik
di intra dan ekstravaskular. Tekanan hidrostatik dipengaruhi oleh tekanan pompa
jantung yang mendorong plasma keluar dari intravaskular ke ekstravaskular.
Tekanan onkotik adalah nilai tekanan zat-zat yang terkandung dalam darah yang
memiliki sifat osmolaritas untuk menahan plasma tetap berada pada intravaskular.
Pada arteri tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan onkotik maka plasma bisa
keluar ke ekstravaskular memberikan nutrisi dan oksigen pada jaringan tubuh.
Sedangkan di mikrokapiler tekanan hidrostatik lebih kecil dari tekanan onkotik
sehingga cairan tubuh yang telah kehilangan nutrisi dan mengandung CO2 dapat

31
dikembalikan ke dalam pembuluh darah. Perlu dipahami bahwa apabila kita telah
mengetahui kalau kebocoran plasma dipengaruhi oleh tekanan onkotik,
penggunaan koloid untuk meningkatkan tekanan osmotik dapat dilakukan apabila
telah diketahui adanya tanda-tanda kebocoran plasma.
Pelebaran celah endotel dapat juga menyebabkan leukosit keluar dari
intravaskular mengejar makrofag yang mengandung virus dengue, sehingga dapat
dimengerti terjadi leukopenia pada DBD. Manisfestasi trombositopeni pada infeksi
dengue memiliki beberapa hipotesa penyebab:
1. terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di
permukaan trombosit;
2. kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan
interaksi trombosit dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi
dan destruksi trombosit;
3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi
trombosit;
4. manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit.
Manifestasi (nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus
trombosit pada pederita DBD, karena pada akhirnya trombosit yang di
berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi antitrombosit.
Pada kasus dengue, ada masa inkubasi (virus dengue ada dalam tubuh tapi
tidak ada manifestasi klinis penyakit), fase akut (demam hari I-IV), dan fase kritis
(hari V-VII), dan fase konvalesense. Proses plasma leakage hanya terjadi pada
fase kritis, dan hanya terjadi dalam 24-48 jam. Untuk mengidentifikasi fase kritis
perhatikan bahwa pada sekitar hari kelima demam sudah mulai turun, tetapi
kematrokit makin meningkat, leukosit makin anjlok, dan trombosit juga makin
anjlok. Leukopeni rata-rata selalu mendahului trombositopeni, dan trombositopeni
mendahului plasma leakage. Pemeriksaan serologi baru dapat terdeteksi setelah
hari kelima, karena disitu kemungkinan besar konsentrasi antibodi cukup di atas
batas deteksi alat. Sedangkan pemeriksaan antigen NS1 dapat dilakukan dari H-1
sampai dengan hari keempat, kadar optimal NS1 adalah pada hari ketiga.
Pemeriksaan antigen NS1 ada dua, yaitu dengan ELISA dan rapid test.

32
Pemeriksaan dengan ELISA lebih akurat tetapi membutuhkan waktu yang lama (4
jam). Sedangkan pemeriksaan dengan rapid test hanya mebutuhkan waktu 5 menit.
NS1 merupakan non structure protein yang terdapat pada permukaan virus,
merupakan antigen yang letaknya paling luar sehingga paling mudah terdeteksi dan
merupakan biang kerok utama manifestasi respon imun yang telah diterangkan
sebelumnya.
Menurut penemu alat rapid test untuk NS1 ini, hari ketiga merupakan
puncak kadar NS1 sehingga paling memungkinkan deteksi NS1 pada hari itu. Akan
tetapi setelah hari kelima, jumlah antigen sudah menurun sampai tidak bisa
terdeteksi. Untuk antibodi, dapat dideteksi setelah kelima demam.
Pemeriksaan NS1 tidak bisa menggantikan pemeriksaan antibodi. Akan
tetapi tidak dapat menentukan infeksi yang terjadi primer atau sekunder. Kita juga
telah melupakan uji tourniquet. Padahal uji tourniquet merupakan uji yang paling
sederhana dan spesifik untuk DBD. Perbedaan antara demam dengue dengan
demam berdarah dengue, pada DBD sudah pasti terjadi plasma leakage, sedangkan
pada demam dengue tidak terjadi.

2.2.6 Mekanisme Penularan DBD


Penyakit DBD hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti betina.
Nyamuk ini mendapat virus dengue sewaktu menggigit/menghisap darah orang
yang sakit DBD atau tidak sakit DBD tetapi dalam darahnya terdapat virus dengue.4
Virus dengue yang terhisap akan berkembang biak dan menyebar ke seluruh
tubuh nyamuk termasuk kelenjar liurnya. Bila nyamuk tersebut
menggigit/menghisap darah orang lain, virus itu akan berpindah bersama air liur
nyamuk. Apabila orang yang ditulari tidak memiliki kekebalan (umumnya anak-
anak) maka ia akan menderita DBD. Nyamuk yang sudah mengandung virus
dengue, seumur hidupnya dapat menularkan kepada orang lain. Dalam darah
manusia, virus dengue akan mati dengan sendirinya dalam waktu lebih kurang 1
minggu.4

2.2.7 Manifestasi klinis6

33
Infeksi virus dengue dapat terjadi asimptomatik atau bahkan bisa
menyebabkan Undifferentiated fever, dengue fever (DF) / demam dengue (DD),
Dengue Hemmoragic Fever (DHF) / Demam Berdarah Dengue (DBD) dan juga
termasuk Dengue Shock syndrome (DSS). Infeksi dari salah satu serotipe virus
dengue akan menyebabkan kekebalan terhadap serotipe tersebut. Manifestasi yang
terjadi tergantung dari jenis strain virusnya (agent) dan juga faktor host yaitu usia,
status imunitas dan lain-lain.

A. Undifferentiated fever

Bayi, anak-anak dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama
kalinya atau primary infection dapat menunjukan gejala demam yang tidak
bisa dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Makulopapular rash dapat
terjadi bersamaan pada saat demam muncul atau saat penurunan suhu tubuh
ke normal. Gejala saluran nafas atas dan gastrointestinal sistem yang paling
umum terjadi.

B. Demam Dengue (DD)

Demam Dengue umumnya terjadi pada kalangan anak-anak, remaja


dan orang dewasa. Gejalanya terdiri dari demam febris, nyeri kepala hebat,
mialgia, artralgia, kemerahan di kulit, leokopenia dan trombositopenia
(100. 000 -150.000 cells/mm3).

C. Dengue Hemmoragic Fever (DHF)

DHF umumnya terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun di daerah


hyperendemis, akan tetapi pada saat ini insiden pada dewasa mengalami
peningkatan. Karakteristik DHF adalah demam tinggi dan di ikuti gejala
lainnya yang mirip dengan Demam Dengue. Pada DHF terjadi
trombositopenia (< 100.000 cells/mm3), pemeriksaan tourniquet positif,
ptekeie dan pada kasus berat terdapat perdarahan di saluran cerna.

Pada saat masa kritis (hari ke-5 demam) terjadi penurunan suhu yang dapat
diikuti dengan syok hipovolemik oleh karena kebocoran plasma.

2.2.8 Gambaran klinis9

34
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris,
fase kritis dan fase pemulihan.

a. Fase Febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2–7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit
kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun
jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal.

b. Fase Kritis
Terjadi pada hari 3–7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24– 48 jam. Kebocoran plasma
sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan trombosit. Pada
fase ini dapat terjadi syok.

c. Fase Pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48–72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali ,
hemodinamik stabil dan dieresis membaik.

d. Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :

1) Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau


meningkat secara progresif, adanya efusi pleura atau asites,
gangguan sirkulasi atau syok (takikardi, ekstremitas yang dingin,
waktu pengisian kapiler (capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah
atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit atau pada syok
lanjut tidak terukurnya tekanan darah.
2) Adanya perdarahan yang signifikan

35
3) Gangguan kesadaran
4) Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri
abdomen yang hebat atau bertambah, ikterik)
5) Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim
lainnya.
2.2.9 Diagnosis Derajat penyakit DBD

A. Menurut WHO 2011 derajat beratnya DBD di bagi menjadi : 6

Sumber : WHO, 2011.

Gambar 5 Derajat Penyakit DBD

B. Terdapat 3 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 2014), yaitu:15


1. Dengue Fever : Demam disertai gejala tidak khas (wajah memerah dan
sakit kepala . Kadang-kadang , menggigil menemani kenaikan suhu yang
mendadak . setelah itu , mungkin ada nyeri retro - orbital pada gerakan mata

36
atau tekanan mata , fotofobia , sakit punggung , dan nyeri pada otot dan
sendi / tulang) dapat ditemui manifestasi perdarahan petekie dan atau uji
torniquet positif .
Laboratorium : Leukopenia , trombositopenia (100.000-150.000),
peningkatan hematokrit ringan (10%)
2. Dengue Haemorragic Fever : Seperti DF, uji tourniquet positif (≥10 spot/
inchi) disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain, terdapat
pembesaran hepar.
LABORATORIUM : trombositopenia sedang hingga berat (50.000-
100.000), peningkatan hematokrit 15-20%
3. Dengue Shock Syndrome: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) dan
peningkatan tekanan diastole contoh : 100/90 atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah, CRT > 3 menit.

2.2.10 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit,


jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif
disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3).

1. Hitung jenis sel darah putih ( WBC ) mungkin normal atau dengan
neutrofil dominan di fase awal demam. Setelah itu, ada penurunan
jumlah darah putih sel dan neutrofil, mencapai titik nadir menjelang
akhir fase demam . perubahan total jumlah sel putih (
≤5000 sel / mm3 ) dan rasio neutrofil ke limfosit (neutrofil < limfosit)
berguna untuk memprediksi masa kritis kebocoran plasma. Temuan ini
mendahului trombositopenia atau peningkatan hematokrit .
Limfositosis relatif dengan peningkatan limfosit atipikal umumnya
diamati pada akhir fase demam dan dalam pemulihan . Perubahan ini
juga terlihat di DF.
2. Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak timbulnya
demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari

37
ke 3 demam. Jumlah trombosit normal selama fase demam awal.
Penurunan ringan bisadiamati sesudahnya. Penurunan tiba-tiba
trombosit di bawah 100 000 terjadi pada akhir dari fase demam
sebelum timbulnya shock atau penurunan demam. Tingkat trombosit
berkorelasi dengan keparahan DBD. Selain itu ada gangguan fungsi
trombosit. Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali normal
selama masa pemulihan.
3. Hematokrit normal pada fase demam awal. Peningkatan ringan
mungkin karena demam , anoreksia dan muntah . Kenaikan mendadak
hematokrit diamati secara bersamaan atau segera setelah penurunan
jumlah trombosit. Hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit 20%
dari baseline, misalnya dari hematokrit 35 % untuk ≥42 % merupakan
bukti obyektif dari kebocoran plasma.
4. Temuan umum lainnya adalah hypoproteinemia / albuminaemia (
sebagai konsekuensi dari kebocoran plasma), hiponatremia, dan
tingkat serum aspartat aminotransferase sedikit meningkat (≤200U / L )
dengan rasio AST : ALT > 2
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT,
Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah
albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,


yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM
terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3 dan menghilang
setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14,
sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.15

38
Gambar 6. Peningkatan kadar IgM & IgG anti Dengue9

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah


pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen
NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai
hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi
sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen
NS1 sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer.

2.2.11 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD

Berdasarkan model segitiga epidemiologi (triangle epidemiology), ada 3


faktor yang berperan dalam timbulnya suatu penyakit yaitu, penjamu, agen
penyakit dan lingkungan (host, agent, environment).

A. Faktor Penjamu (Host)


a. Usia dan Jenis Kelamin
Hasil penelitian Rasyada (2014) mendapatkan penderita DDB dengan
usia terendah 10 tahun dan usia tertinggi 59 tahun dengan rata-rata usia

39
penderita adalah 25,1 tahun. Usia terbanyak penderita DBD adalah usia 19
tahun. Selain itu, juga didapatkan frekuensi umur pasien DBD terbanyak
adalah kelompok umur 20-40 tahun dan frekuensi terendah adalah pada
kelompok umur > 40 tahun. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan
dari Carribean Epidemiology Centre yang menyatakan bahwa
epidemiologi penderita DBD terbanyak pada anak-anak dan dewasa muda.
Menurut hasil penelitian Subagia (2013) sebagian besar subyek yang
menderita DBD berjenis kelamin perempuan.

b. Pekerjaan

Mobilitas seseorang berpengaruh terhadap risiko kejaidan DBD. Hal


ini identik dengan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari dan berkaitan
dengan pendapatan dan daya beli keluarga. Semakin tinggi tingkat
mobilitas seseorang, semakin besar risiko untuk menderita penyakit DBD.
Semakin baik tingkat penghasilan seseorang, semakin mampu ia memenuhi
kebutuhannya, termasuk dalam hal pencegahan dan pengobatan suatu
penyakit.

c. Imunitas dan status Gizi

Imunitas/daya tahan tubuh terhadap suatu infeksi penyakit menular


erat kaitannya dengan faktor gizi. Status gizi adalah tingkat kesehatan
seseorang yang dipengaruhi oleh makanan yang di konsumsinya .

Status gizi mempengaruhi pembentukan antibodi dalam tubuh.


Dengan gizi yang kurang maka pembentukan antibodi akan terhambat,
sehingga kemampuan tubuh untuk terhindar dari suatu penyakit akan
berkurang.12

d. Ras (suku bangsa)

Setiap ras mempunyai sifat dan kebiasaan masing-masing terkait


dengan penularan penyakit DBD. Hal tersebut menyangkut keadaan sosial
ekonomi, adat kebiasaan dan kebudayaan suatu masyarakat.

B. Faktor Agent dan Vektor Penyakit

40
a. Agent Penyakit

Penyebab DBD adalah virus dengue. Virus dengue termasuk dalam


kelompok Arbovirus yang ditularkan melalui vektor serangga. Ukuran
diameter dari virion ini adalah 40-50 nm dan termasuk dalam RNA untai
tunggal. Virus dengue terdiri atas sepuluh protein, tiga diantaranya adalah
protein structural dan tujuh lainnya adalah protein non-structural. Hingga
kini di kenal 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 .

Hasil penelitian di Indonesia menunjukan bahwa DEN-3 sangat


berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling
luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1, dan DEN-4.8

b.Vektor Penyakit

1). Siklus hidup


Nyamuk Ae. aegypti seperti nyamuk anophelini lainnya, mengalami
metamorfosis sempurna, yaitu: telur-jentik-kepompong-nyamuk. Stadium
telur, jentik dan kepompong terjadi di dalam air. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam di dalam
air. Stadium jentik biasanya berlangsung antara 2-14 hari. Pertumbuhan
dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina
dapat mencapai 2-3 bulan .8
2). Penyebaran
Ae.aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun
umumnya jarak terbangnya adalah pendek yaitu kurang dari lebih 40
meter, namun karena angina tau kendaraan, dapat berpindah lebih jauh.
Nyamuk Ae. aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Di
Indonesia, nyamuk tersebar luas, baik di rumah-rumah maupun
tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak
pada daerah yang beretinggian sampai 1000 meter. Di atas ketinggian
1000 meter, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak karena suhu
udara yang rendah.14

2.2.12 Penatalaksanaan

41
A. Tatalaksana Rawat Jalan Pasien
a. Istirahat tirah baring yang cukup di rumah
b. Minum yang cukup, tidak harus air putih boleh seperti susu, jus buah,
elektrolit isotonik, solusi rehidrasi oral ( oralit ) dan barley / air beras.
Waspadai overhydration pada bayi dan anak-anak
c. Menjaga suhu tubuh di bawah 39 ° C . Jika suhu melampaui 39 ° C,
berikan parasetamol. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg / dosis dan
harus diberikan dalam frekuensi tidak kurang dari enam jam. Dosis
maksimum untuk orang dewasa adalah 4 gram /hari . Hindari
menggunakan terlalu banyak parasetamol , dan aspirin ,NSAID tidak
dianjurkan .
d. Kompres hangat dahi, ketiak dan kaki. Mandi hangat atau mandi
direkomendasikan untuk orang dewasa.
e. Segera bawa ke rumah sakit bila terdapat tanda bahaya.
B. Tatalaksana pasien dengan DHF/DSS di Rumah Sakit

Gambar 8. Penatalaksanaan DHF

42
Gambar 9.Penatalaksanaan DSS (Dengue Syok Syndrom)

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan
kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan
terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular,
pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun

43
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar
pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan
dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan


efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam
hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan


yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan
yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).
Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue
(DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam
pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan,

44
dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari
banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih
akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk
kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan
50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24
jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih
perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara
6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan
cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6
dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

Monitoring pada pasien Rawat inap


Kondisi umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda dan gejala
lainnya.
• perfusi perifer dapat dilakukan sesering diindikasikan karena merupakan
indikator awal shock dan mudah dan cepat untuk dilakukan .
Tanda-tanda vital
• seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah harus diperiksa
setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-shock dan 1-2 jam pada pasien shock.
• Serial hematokrit harus dilakukan setidaknya setiap 4-6 jam dalam kasus yang
stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau mereka yang
dicurigai perdarahan.
• Output urine (jumlah urine) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam di
kasus rumit dan pada setiap jam pada pasien dengan mendalam syok /

45
berkepanjangan atau orang-orang dengan kelebihan cairan. Selama periode ini
jumlah urin harus 0,5ml/kgbb/jam.

Kriteria untuk pemulangan pasien


• Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa penggunaan terapi anti -
demam .
• Nafsu makan baik .
• Perbaikan klinis terlihat .
• Output urine memuaskan .
• Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah pemulihan dari shock.
• Tidak ada gangguan pernapasan dari efusi pleura dan ascites sudah tidak ada .
• Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3 . Jika tidak , pasien dapat dianjurkan
untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu untuk jumlah
trombosit menjadi normal. dalam kebanyakan kasus rumit , trombosit meningkat
normal dalam 3-5 hari .

2.3 SEPSIS
2.3.1 Definisi
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik tubuh terhadap infeksi. Respons
inflamasi sistemik tersebut, atau disebut sebagai systemic inflamatory response
syndrome (SIRS). JAMA (2016) Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam
nyawa disebabkan oleh gangguan regulasi tubuh dalam merespon infeksi. Sepsis
terjadi akibat dari cedera klinis yang berat, misalnya trauma, luka bakar,
pankreatitis, infeksi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, sepsis ditegakkan bila curiga
atau terbukti bakteremia pada pasien-pasien dengan SIRS. Dalam perjalanannya,
sepsis dapat menjadi sepsis berat, syok septik, hingga menjadi multiple organ
dysfunction syndrome/MODS.
2.3.2 Diagnosis
Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis penting dalam
penegakkan diagnosis pasien disamping faktor resiko seperti umur, jenis kelamin,
ras, status imunocompromise dan pemakaian alat-alat invasif atau kondisi lain yang
dapat menyebabkan kolonisasi bakteri. Demam adalah salah satu tanda infeksi

46
walaupun hipotermia dapat terjadi pada pasien-pasien tertentu. Tandatanda non
spesifik lainnya seperti takipneu dan hipotensi juga harus di curigai serta dapat di
lengkapi dengan pemeriksaan penunjang.

SKOR SOFA & QUICK SOFA


Skor SOFA adalah sistem Skor untuk menilai kegagalan organ terutama
dimaksudkan sebagai alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan
status pasien di ICU dalam hal morbiditas, bukan mortalitas. Pada umumnya,
sistem skoring tersebut meliputi enam sistem organ utama, yakni kardiovaskuler,
respirasi, hematologi, sistem saraf pusat (SSP), ginjal, dan hepar .
Total nilai dari Sofa yaitu 12 Skor berkisar antara 0 yang merujuk pada
fungsi normal , sampai 4 merujuk pada keadaan sangat abnormal, berdasarkan
keadaan terburuk dalam satu hari. Skor SOFA total yang tinggi (SOFA maksimum)
dan perubahan/perbedaan SOFA yang tinggi 19 (SOFA maksimum total dikurangi
SOFA total saat masuk) berhubungan dengan keluaran yang lebih buruk. Selain itu,
quick-sofa merupakan versi sederhana dari sofa score yang lebih mudah digunakan
dan cepat. Skor total tampak terus meningkat pada pasien yang meninggal
dibandingkan pasien yang selamat.

Tabel 1 Kriteria qSOFA

47
qSOFA ( Quick SOFA) Criteria
Respiratory rate ≥22/min
Gangguan status mental
Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg

2.3.3 Patogenesis dan Patofisiologi


Kondisi sepsis memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi karena dapat
menimbulkan kegagalan organ, yang disebut sebagai MODS dan multiple organ
failureI (MOF). MODS dan MOF terjadi akibat kematian sel-sel beberapa organ
secara difus. Mekanisme kematian sel tersebut dapat berupa:
1. Nekrosis seluler (jejas iskemik). Infeksi dapat memicu pelepasan mediator
inflamasi seperti vasoactive intestinal peptide, bradikinin, trombosit
activating factor, prostanoids, sitokin, leukotrin, histamin, dan NO.
Berbagai meditor tersebut lalu menyebabkan vasodilatasi, disfungsi
endotel, sumbatan pada mikrovaskular, maupun efek vasokonstriksi.
2. Proses apoptosis. Sejumlah mediator inflamasi (seperti NO), perfusi yang
rendah, stres oksidatif, toksin lipopolisakarisa (LPS), dan glukokortikoid
yang dilepaskan dapat memicu proses apoptosis seluler, suatu proses
kematian sel yang fisiologis dan telah terprogram untuk mengurangi sel-sel
yang disfungsional.

48
3. Kerusakan jaringan akibat mediator leukosit. Migrasi dan pelepasan
enzim-enzim degradatif oleh laukosit dapat merusakan struktur jaringan
normal sehingga turut mengganggu fungsi organ bersangkutan. Disamping
itu, terjadi juga pelepasan reactive oxygen species yang merusak DNA dan
membran sel secara langsung.
4. Hipoksia sitopatik, yaitu suatu gangguan utilisasi oksigen seluler. Pada
sepsis, kondisi ini disebabkan oleh aktivasi PARP (poly-ADP-
ribosylpolymerase-1) yang meningkatkan konsumsi NAD intraselular dan
mitokondria. NAD akan berkurang jumlahnya sehingga terjadi gangguan
respirasi selular (menjadi metabolisme anaerob) hingga kematian sel.

2.3.4 Manifestasi Klinis


Syok septik dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang
dikategorikan menjadi:
a. Kondisi hiperdinamik (“warm shock”): takikardia, peningkatan cardiac output
(atau bisa normal), serta penurunan resistensi pembuluh darah sistemik.
b. Kondisi hipodinamik (“cold shock”). Suatu bentuk lanjut setelah hiperdinamik,
dimana telah terjadi penurunan cardiac output.

2.3.5 Manajemen dan Tata Laksana Sepsis Berat


Mamajemen sepsis berat harus dilakukan sesegera mungkin dalam periode
emas (golden hours) 6 jam pertama. Secara ringkas, strategi terapi sepsis berat
mencakup tiga hal berikut: resusitasi awal dan kontrol infeksi, terapi dukungan
hemodinamik, serta terapi suportif lainnya. Berikut Algoritma Penatalaksanaan
sepsis berdasarkan Surviving Sepsis Campaign:
Early Goal Directed Therapy of Sepsis

49
Surviving Sepsis Campaign 2015

A. Resusitasi Awal dan Kontrol Infeksi


1. Resusitasi cairan (dalam 6 jam pertama). Berikan sesegera mungkin
pada kondisi hipotensi atau peningkatan laktat serum >4 mmol/L.
Resusitasi menggunakan cairan fisiologis, baik kristaloid (NaCI, Ringer
Laktat) maupun koloid.
 Berikan cairan kristaloid minimal 30 mL/KgBB bolus cepat selama 30
menit dengan prinsip fluid challenge techniques. Volume yang lebih
besar dan cepat dapat diberikan bila terjadi hipoperfusi jaringan.

50
Kecepatan pemberian harus dikurangi apabila tekanan pengisian
jantung meningkat tanpa adanya perbaikan hemodinamik.
 Albumin boleh diberikan setelah pasien mendapatkan cairan
kristaloid dalam jumlah yang adekuat.
 Target resusitasi: CVP 8-12 mmHg. MAP ≥65 mmHg, produksi urin
≥0.5 mL/KgBB/jam, saturasi oksigen vena cava superior (ScvO2) atau
vena campuran/mixed vein (SvO2) 65-70%, serta normalisasi kadar
laktat serum.
2. Pemberian antibiotik. Diberikan sesuai etiologi berdasarkan hasil kultur
darah. Sambil menunggu hasil kultur, berikan antibiotik intravena secara
empiris dalam jam pertama; sesuai dengan lokasi atau sumber infeksi.
a. Kultur darah. Sampel untuk kultur darah baiknya diambil sebelum
terapi antibiotik, bila memungkinkan (maksimal 45 menit, antibiotik
empiris harus diberikan). Kultur dilakukan secara duplo, masing-
masing menggunakan satu botol aerob dan satu botol anaerob, serta
ambil diambil secara perkutaneus dan dari perangkat akses vaskular
(meski barudipasang).
b. Antibiotik empiris dalam jam pertama. Lokasi dan sumber infeksi
merupakan pertimbangan utama dalam menentukan antibiotik empiris.
Berbagai pilihan antibiotik pada syok sepsis dapat dilihat pada Tabel 2.
Terapi empiris diberikan dalam durasi terbatas 7-10 hari, atau lebih
lama bila ada fokus infeksi yang sulit dicapai oleh obat atau kondisi
imunodefisiensi.
c. Kontrol sumber infeksi. Lokasi anatomis infeksi harus ditentukan dan
diintervensi dalam 12 jam setelah diagnosis ditegakkan. Bila perangkat
akses vaskular yang curigai sebagai sumber infeksi, lakukan
penggantian segera setelah akses baru dipasang.
B. Terapi Dukungan Hemodinamik
1. Pemberian agen vasopresor dan inotropik. Vasopresor diberikan untuk
menjaga tekanan arteri rerata (MAP) ≥65 mmHg dan inotropik diberikan
pada pasien dengan disfungsi miokardium (peninggian tekanan pengisian
jantung dan curah jantung yang rendah).

51
Vasopresor pilihan pertama ialah norepinefrin. Pemberian epinefrin
(ditambahkan setelah norepinefrin) dapat dipertimbangkan untuk menjaga
tekanan darah tetap adekuat. Vasopresin dosis 0.03 U/menit dapat
ditambahkan pada norepinefrin untuk meningkatkan MAP atau
menurunkan dosis norepinefrin.
Penggunaan dopamin sebagai vasopresor alternatif norepinefrin hanya
diberikan pada pasien tertentu, seperti risiko rendah mengalami
takiaritmia, bradikardia absolut atau relatif).
2. Kortikosteroid. Pemberian hidrokortison intravena (dosis 50 mg setiap 6
jam selama 7 hari) hanya direkomendasikan bagi pasien dewasa dengan
syok septik yang tidak mengalami perbaikan tekanan darah setelah
resusitasi cairan dan terapi vasopresor. Kortikosteroid tidak boleh
digunakan untuk mengobati sepsis tanpa adanya kejadian syok, kecuali
adanya riwayat penyakit endokrin atau pemakaian steroid sebelumnya.
C. Terapi Suportif Lainnya
1. Transfusi darah. Transfusi packed red cells (PRC) diberikan bila Hb <7.0
g/dL. Target transfusi ialah Hb 7.0-9.0 g/dL pada dewasa. Pada kasus
sepsis berat, transfusi trombosit diberikan apabila jumlah trombosit
<5000/mm3 tanpa adanya tanpa adanya perdarahan, atau pada jumlah
trombosit 5000-30.000/mm3 bila ditemukan ada perdarahan yang
signifikan. Batasan lebih tinggi (≥50.000/mm3) seringkali dibutuhkan
untuk keperluan operasi atau prosedur invasif. Penggunaan eritropoietin
maupun fresh-frozen plasma tidak direkomendasikan untuk pemberian
rutin tanpa adanya indikasi khusus.
2. Kontrol glikemik. Kondisi hiperglikemia ditambah dengan resistensi
insulin yang telah ada sebelumnya dapat memperburuk infeksi,
menyebabkan polineuropati, hingga menjadi kegagalan organ multipel dan
kematian. Dalam hal ini, pemberian insulin dan glukosa ditujukan untuk
mencegah katabolisme, menekan inflamasi, dan meningkatkan imunitas.
Kontrol kadar glikosa tinggi pada pasien sakit kritis (critically ill) hanya
boleh dilakukan dengan pemberian insulin dan glikosa. Target: gula darah
serum ≤180 mg/dL. Kadar glukosa serum harus dimonitor setiap 1-2 jam

52
hingga laju insulin dan glukosa stabil, lalu dilanjutkan monitor setiap 4
jam. Pemeriksaan glukosa melalui darah kapiler tidak direkomendasikan.
3. Profilaksis trombosis vena dalam. Profilaksis dilakukan dengan
pemberian low-molecular weight heparin (LMWH) setiap hari: enoxaparin
40 mg SC sehari sekali, dengan target aPTT 1.5-2.5 kali kontrol. Bila
bersihan kreatinin <30 mL/menit, gunakan dalteparin 2500-5000 IU SK
sehari sekali atau jenis lain yang lebih minimal dimetabolisme oleh renal.
Kontraindikasi pemberian heparin ialah pada pasien dengan
trombositopenia, koagulopati berat, perdarahan aktif, dan riwayat
perdarahan intraserebri. Pada kasus tersebut, direkomendasikan teknik
profilaksis mekanik, seperti kompresi dengan stoking atau perangkat
lainnya, kecuali ada kontraindikasi.
4. Profilaksis ulkus stres (stress ulcer). Penggunaan H2-antagonis (ranitidin
IV 50 mg/8 jam) atau penghambat pompa proton (omeprazol IV 40 mg/12
jam atau pantoprazol IV 40-80 mg/12-24 jam) dapat diberikan pada pasien
dengan faktor risiko. Pasien tanpa faktor risiko tidak perlu diberikan.
5. Manajemen nutrisi. Prioritaskan rute oral atau enteral, bila
memungkinkan, dalam 48 jam pertama setelah diagnosis sepsis berat/syok
septik. Rute enteral ditambah intravena glukosa juga lebih
direkomendasikan daripada nutrisi parenteral total. Pemberian kalori
diberikan secara bertahap (500 kalori/hari), dan tingkatkan bila
memungkinkan. Hindari pemberian nutrisi kalori tinggi pada minggu
pertama.

53
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis DHF pada pasien ini ditegakkan dari hasil anamnesa,


pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesa diketahui bahwa pasien demam
sejak 4 hari SMRS, demam dirasakan mendadak tinggi. Pasien sudah minum obat
penurun panas tetapi panas kembali naik lagi. Selain demam pasien juga
mengeluhkan lemas, muntah 5 kali, batuk dan timbul bintik merah di bagian tangan
kaki dan perut kiri. Dari keluhan-keluhan tersebut, menunjukkan bahwa adanya
reaksi dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, biasanya yang paling sering
menyebabkan demam adalah infeksi. Dari riwayat demam yang dikatakan
mendadak tinggi, maka kita bisa mencurigai demam kearah infeksi yang
disebabkan oleh virus, karena virus biasanya menyebabkan demam yang tinggi dan
datang mendadak tinggi. 2 hari SMRS pasien mengeluhkan adanya bintik merah.
Hal ini menandakan adanya perdarahan spontan yang merupakan tanda dan gejala
dari DHF. BAK tidak berdarah dan ada penurunan jumlah urin. Hal ini ditanyakan
untuk mengetahui cairan dalam tubuh pasien dan, karena bila pada DHF yang
ditakutkan adalah adanya kebocoran plasma yang massif.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya ptekie pada ke empat ektremitas,


dan abdomen sinistra. Ptekie menunjukkan adanya darah dibawah kulit, hal ini
terjadi karena darah keluar dari pembuluh darah akibat berbagai faktor yaitu

54
kerusakan pada endotel pembuluh darah, permeabilitas kapiler, dan gangguan pada
pembekuan darah akibat trombositopenia. Pada pemeriksaan penunjang di IGD,
didapatkan hasil trombosit 132.000/uL. Hal ini sesuai dengan tanda dari DHF yaitu
adanya trombositopenia. Trombosit berfungsi untuk mengehentikan perdarahan
baik yang mikrolesi ataupun makrolesi. Oleh karena itu trombosit yang mencapai
132000 /uL, mengakibatkan rentannya terjadi perdarahan. Saat di ICU diberikan
tranfusi FFP (Fresh Frozen Plasma) sebanyak 6 unit.

55
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI. Standar Pelayanan Perawatan ICU.2006. Diunduh dari URL:


perpustakaan.depkes.go.id
2. Panduan ICU: Kriteria Masuk ICU RSPAD Gatot Soebroto. 2013.
3. Suhendro, Demam Berdarah Dengue : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5,
Interna Publishing, Jakarta Pusat. 2008.
4. Indonesia, Kementrian Kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue Buletin
Jendela Epidemiologi, Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian
Kesehatan RI, Jakarta. 2010.
5. Candra, A. 'Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor
Risiko Penularan', Aspirator, vol.2, no.2, tahun 2010, hlm.110-119.
6. World Health Organiazation. Comprehensive Guidelines For Prevention And
Control Of Dengue And Dengue Haemorrhagic Fever Revised And Expanded
Edition 2011,WHO.2011.
7. Indonesia, Departemen Kesehatan RI. 2005, Pencegahan dan Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Departemen kesehatan RI, Jakarta.
8. World Health Organiazation. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment,
Prevention And Control New Edition 2009, WHO. 2009.
9. Indonesia, Departemen Kesehatan RI. Pencegahan dan Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue di Indonesia, Departemen kesehatan RI, Jakarta.
2005.
10. Widodo, NP., Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) Di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Tesis Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. 2012.
11. Raheel, U, Riaz, MN, Faheem, M, Kanwal, N., 'Dengue fever in the Indian
subcontinent: an overview', The journal of infection in developing countries,
vol.5, no.4, tahun 2011, p. 239-274.
12. Sutanto, I (ed.) Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta. 2008.

56

Anda mungkin juga menyukai