Anda di halaman 1dari 40

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. SM
Tanggal Lahir : 27 Maret 1995
Umur : 22 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Graha Prima Baru, Tambun
Masuk IGD : 8 Januari 2018 pukul 02.00
Masuk ICU : 10 Januari 2018 pukul 23.00
No RM : 045648

II. ANAMNESIS
A. Anamnesa
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 12
Januari 2018 pukul 08.00.
Keluhan Utama : Demam sejak 3 hari Sebelum Masuk Rumah Sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
3 hari SMRS pasien mengeluhkan pusing, demam, mual dikosannya,
lalu besoknya pasien merasa sangat mual dan muntah hingga lebih dari 3x,
muntah berisi makanan dan dibawa kerumahnya oleh kedua orang tuanya, lalu
pasien diperiksakan ke klinik dekat rumahnya, diketahui hasil laboratorium
trombositnya sekitar 200.000, lalu pasien diberi obat penurunan panas dan
pulang kerumah.
1 hari SMRS pasien merasa demamnya semakin tinggi dan kepalanya
merasa sangat pusing. Pasien lalu dibawa ke klinik dekat rumahnya untuk
diperiksakan kembali, didapatkan trombositnya sekitar 150.000, karena
merasa sangat pusing dan demam tidak kunjung turun, paginya pasien dibawa
ke IGD RSPAD. Pasien mengeluhkan muncul bintik merah di tangan, kaki.
Buang Air Kecil (BAK) dan BAB (Buang Air Besar) tidak ada keluhan,
jumlah urin sedikit, Perdarahan dari hidung dan gusi tidak ada. Pasien sedang
mengalami menstruasi hari pertama saat masuk ke IGD

1
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Demam Berdarah : Disangkal
Riwayat Demam Tifoid : Disangkal
Riwayat rawat inap di RS : Disangkal

C. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat keluarga sakit serupa : Disangkal

D. Riwayat Sosial dan Kebiasaan


Pasien tidak tinggal dirumah bersama keluarganya. Pasien tinggal dikosan dan
hanya pulang kerumah saat weekend. Pasien mengatakan kamar kosannya terdapat
kamar mandi dalam dan jarang dibersihkan. Pasien menggunakan bak untuk
menampung air. Pasien mengatakan terkadang jajan sembarangan dan makan
dipinggir jalan. Lingkungan tempat tinggal pasien tidak ada yag memiliki keluhhan
serupa.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan di ruang ICU tanggal 11 Juli 2018 pkl 04.00 WIB
a.Keadaan Umum : pasien tampak sakit berat
b.Kesadaran : somnolen
c. Tanda Vital :
1. Suhu : 39 0C (per aksila)
2. Nadi : 128 kali/menit, regular, isi cukup
3. RR : 24 kali/menit, teratur, kedalaman cukup
4. TD : 101/53 mmHg
d. Status Gizi:
- BB : 58 kg,
- TB :158 cm
- BMI = 58/(1,58)2 = 23,23(Normoweight)
e. Kepala : kesan normocephal , rambut berwarna hitam tidak mudah dicabut

f. Mata : mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikhterik (-/-),
pupil isokor kanan kiri sama, refleks cahaya positif, edema palpebra (+/+)
g. Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
2
h. Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), gusi berdarah (-), coated
tounge (-)
i. Tenggorok : Uvula ditengah, faring hiperemis (-) , pembesaran tonsil (-)
j. Telinga : Normotia, sekret (-/-)
k. Leher
Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun tiroid
l. Thorax
Bentuk : Normochest
Pulmo:
- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada simetris kanan kiri
- Palpasi : vocal fremitus kanan & kiri simetris

- Perkusi : Sonor di semua lapangan paru


- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-)
Cor :
- Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak membesar
- Auskultasi : Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
m. Abdomen:
- Inspeksi : Datar, distensi (-), purpura (-)
- Auskutasi : Bising usus (+) normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hati
dan limpa tidak teraba, turgor kembali cepat
n. Ekstremitas :
- Superior : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-/-), ptekie
(+/+).
- Inferior : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (+/+), ptekie
(+/+)

3
III. PERAWATAN, PLANNING & PENATALAKSANAAN DI IGD DAN RUANGAN

Senin, 08-01-2018 Selasa, 09-01-2018 Rabu, 10-01-2018


Keluhan (S) Perwatan hari -1: Perawatan hari ke-2: Hari ke-3:
- Pasien mengeluh demam, mual, - Pasien mengeluh demam, mual, - Pasien mengeluh demam, mual,
muntah, dan pusing. muntah, dan pusing. muntah, dan pusing

Keadaan Umum  KU: Tampak sakit sedang  KU: tampak sakit sedang  KU: Tampak sakit sedang
(KU)  Kesadaran : composmentis  Kesadaran : compos mentis  Kesadaran :compos mentis
Kesadaran  Tanda Vital  Tanda vital :  Tanda vital :
Tanda Vital ₋ Suhu : 39 0C - Suhu : 39,4 0C - Suhu : 39,1 C
₋ TD : 100/60 mmHg - TD 98/60 mmHg - TD : 80/50mmHg
₋ Nadi : 88 kali/menit, - Nadi :100x/menit - Nadi : 120x/menit
₋ RR : 22kali/menit - RR : 18 x/mnt - RR : 20 x/menit
₋ SpO2: 100 % - Sp02 : 100% - Sp02 : 99%

Pemeriksaan Kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal


Fisik - Mata: konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/- - Mata : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikhterik (-/-) ), sklera ikhterik (-/-) palpebra sklera ikhterik (-/-), palpebra
- Hidung : Pernapasan cuping udem (-) udem (+)
hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping
(-) hidung (-/-), sekret (-/-), hidung (-/-), sekret (-/-),
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir epistaksis (-) epistaksis (-)
sianosis (-), perdarahan gusi(-) - Mulut : Mukosa basah (+), - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring Bibir sianosis (-), perdarahan sianosis (-), perdarahan gusi (-)
hiperemis (-) , tonsil T1-T1 gusi (-) - Tenggorok : Uvula ditengah,
- Telinga : Normotia, sekret (-/-) - Tenggorok : Uvula ditengah, faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1
 Leher faring hiperemis (-) , tonsil T1- - Telinga : Normotia, sekret (-/-)
Trakea ditengah, tidak ada T1  Leher
pembesaran kelenjar getah bening - Telinga : Normotia, sekret (-/-) Trakea ditengah, tidak ada
 Thorax  Leher pembesaran kelenjar getah bening
Bentuk : Normochest, gerakan Trakea ditengah, tidak ada  Thorax
simetris kanan kiri pembesaran kelenjar getah bening Bentuk : Normochest, gerakan
 Thorax simetris kanan kiri
Bentuk : Normochest, gerakan
simetris kanan kiri

Pulmo: Pulmo: Pulmo:


- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan
simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri
- Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan
& kiri simetris & kiri simetris & kiri simetris
- Perkusi : Sonor di semua lapangan - Perkusi : Sonor di semua - Perkusi : Sonor di semua
paru lapangan paru lapangan paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler - Auskultasi : Suara dasar - Auskultasi : Suara dasar
(+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-)
Cor : wheezing (-/-) wheezing (-/-)
- Inspeksi : iktus cordis tidak Cor : Cor :
tampak, - Inspeksi : iktus cordis tidak - Inspeksi : iktus cordis tidak
- Palpasi : iktus tampak, tampak,
kordis tidak kuat angkat - Palpasi : iktus kordis tidak kuat - Palpasi : iktus kordis tidak
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak angkat kuat angkat
membesar - Perkusi : Batas jantung kesan - Perkusi : Batas jantung kesan
- Auskultasi : Bunyi Jantung tidak membesar tidak membesar
I-II normal, murmur(-), gallop (-) - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II
 Abdomen: normal, murmur(-), gallop (-) normal, murmur(-), gallop (-)
- Inspeksi : Datar, (+)  Abdomen:  Abdomen:
- Auskutasi : BU (+) - Inspeksi : Datar, (+) - Inspeksi : Datar, (+)
- Perkusi : Timpani - Auskutasi : BU (+) - Auskutasi : BU (+)
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Perkusi : Timpani - Perkusi : Timpani
hati dan limpa tidak teraba, - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
turgor kembali cepat hati dan limpa tidak teraba, hati dan limpa tidak teraba,
 Ekstremitas: turgor kembali cepat turgor kembali cepat
Superior:  Ekstremitas:  Ekstremitas:
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Superior: Superior:
(-), edema (-/-), ptekie (+/+) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (+/+) (-), edema (-/-). Ptekie (+/+)
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior : Inferior :
(-), edema (+/+), ptekie (+/+), akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
(-), edema (-/-), ptekie (+/+) (-), edema (+/+), ptekie (+/+)
Assesment DHF hari ke 3 dd/ Typhoid fever DHF hari ke 4 Dengue Shock Syndrome

Dari IGD - IVFD RL 500 cc/6 jam - -


Head up 450
- Inj. Ceftriakson 1x2 g IV -
- Monitor KU dan TTV
Inj Ranitidin 2x50 mg IV - Cukupi cairan
- PO Paracetamol 3x500 mg -
- Cegah infeksi dan nyeri
Cek lab lengkap diruangan + IgG IgM
- Cek DPL / hari
- DPJP : infeksi tropis

- IVFD RL 500 cc/6 jam - Banyak minum 8 gelas / hari - Banyak minum 8 gelas / hari
Di Perawatan - - -
Umum Inj. Ceftriakson 1x2 g IV IVFD RL 500 cc/6 jam IVFD RL 500 cc/6 jam
- PO Paracetamol 3x500 mg - Inj. Ceftriakson 1x2 g IV - Inj. Ceftriakson 1x2 g IV
- Ranitidin stop. - PO Paracetamol 3x500 mg - PO Paracetamol 3x500 mg
- Omeprazol 1x40 mg jika masih mual - Omeprazol 1x40 mg - Omeprazol 1x40 mg
- Cek DPL / hari - PO Fluimucyl 3x20 mg - PO Fluimucyl 3x20 mg
- PO Curcuma tab 3x1 - PO Curcuma tab 3x1
- PO HP pro 3x1 tab - PO HP pro 3x1 tab
- Cek Darah lengkap - Bedrest total
- Resusitasi cairan 250 cc s/d Tekanan
darah >100
Pemantauan 3 Jam Terakhir di Ruangan Sebelum Masuk ICU

Pukul Keadaan Tekanan Nadi RR SpO2


umum dan Darah
Kesadaran
19.00 Tampak Sakit 98/72 mmHg 107 kali/menit 22 kali/menit 98%
Sedang dan
Compos mentis
20.00 Tampak Sakit 83/62 mmHg 110 kali/menit 24 kali/menit 98%
Sedang dan
Compos mentis
21.00 Tampak Sakit 80/42 mmHg 121 kali/menit 24 kali/menit 98%
Sedang dan
Compos mentis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Jenis pemeriksaan Hasil Hasil Hasil Nilai rujukan


08-01-2018 09-01-2018 10-01-2018

Hemoglobin 13.8 15.4 14.7 10.5-13.5 g/dL


Hematokrit 43 45 42 33-39%

Eritrosit 5.3 5.8 5.5 3.7-5.3 jt/uL

Leukosit 6070 3190 (L) 2670 (L) 6.000-17.500

Trombosit 110.000 (L) 57000(L) 43000(L) 150.000-400.000/ul

MCV 80 77 (L) 75 (L) 80-96 fL

MCH 26 26 (L) 27(L) 30-36 g/dL

MCHC 33 34 35 30-36 g/dL

7
Jenis pemeriksaan Hasil Hasil Hasil Hasil Nilai rujukan
11-01-2018 12-01-2018 12-01-2018 13-01-2018

Hemoglobin 13.3 13.3 12.7 12.6 10.5-13.5 g/dL


hematokrit 38 38 36 37 33-39%

eritrosit 5.0 5.0 4.7 4.8 3.7-5.3 jt/uL

leukosit 3210 (L) 4130(L) 3620 (L) 5410 (L) 6.000-17.500

trombosit 47.000 (L) 52000(L) 36000 (L) 164000 (L) 150.000-400.000/ul

MCV 75 75 76 78 70-86 fL

MCH 27(L) 26(L) 27(L) 26(L) 30-36 g/dL

MCHC 36 35 36 34 30-36 g/dL


albumin 3.2 (L) 2.8(L) - - 3.5-5.0 g/dL

ureum 19 (L) - 17(L) - 20-50 mg/dL

kreatinin 0.7 - 0.6 - 0.5-1.5 mg/dL

Kalsium (Ca) 7.1(L) 8.4 (L) 8.1 (L) - 8.6-10.3 mg/dL

Magnesium (Mg) 2.09 1.68 (L) 2.66 - 1.7-2.3 mEg/L


GDS - - - - 60-140 mg/dL

Natrium (Na) 130(L) 136 137 140 132-145 mmol/L

Kalium (K) 3.5 3.7 3.2 3.4 3.1-5.1 mmol/L

Klorida (Cl) 103 103 102 103 96-111 mmol/L

Analisa Gas darah


pH 7.362 (L) - - - 7.73-7.45

pCO2 29.2 (L) - - - 33-34 mmHg

pO2 65.8 (L) - - - 71-104 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 16.7 (L) - - - 22-29 mmol/L

Kelebihan basa (BE) -6.8 (L) - - - (-2) - 3 mmol/L

Saturasi O2 92.3 % (L) - - - 94-98

8
Foto Thorax (11/01/2018)

V. DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Syndrom

VI. PROGNOSIS

- Ad Vitam : Dubia ad bonam


- Ad fungsionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad bonam

9
VII. FOLLOW UP PASIEN

Kamis, 11-01-2018 Jumat, 12-01-2018 Sabtu, 13-01-2018 Minggu, 14-01-2018


Keluhan (S) Hari ke-1: Hari ke-2: Hari ke-3: Hari ke-4:
- Pasien dari lantai 2 Perawatan - Pasien mengeluh pusing dan mual. - pasien mengeluh masih pusing. - lemah
Umum, perawatan hari ke 3, pusing, Perawatan hari ke 4. Perawatan hari ke 5.
lemas, dan mual.

Keadaan Umum  KU: Tampak sakit berat  KU: tampak sakit sedang  KU: Tampak sakit sedang  KU: Tampak sakit sedang
(KU)  Kesadaran : somnolen  Kesadaran : compos mentis  Kesadaran :compos mentis  Kesadaran : compos mentis
Kesadaran  Tanda Vital  Tanda vital :  Tanda vital :  Tanda vital :
Tanda Vital ₋ Suhu : 37 0C - Suhu : 37 0C - Suhu : 36,5 C - Suhu : 36,5 C
₋ TD : 101/59 mmHg - TD 98/53 mmHg - TD : 100/61 mmHg - TD : 100/50 mmHg
₋ Nadi : 87 kali/menit, - Nadi :72 x/menit - Nadi : 67 x/menit - Nadi : 120 x/mnit
₋ RR : 20 kali/menit - RR : 23 x/mnt - RR : 16 x/mnit - RR : 19 x/mnit
₋ SpO2: 100 % - Sp02 : 99% - Sp02 : 99% - Sp02 : 99 %

 Intake : 2740 ml/24 jam  Intake : 1810 ml/24 jam  Intake :3050 ml/ 24 jam
 Output : 3690 ml/24 jam  Output : 3940 ml/24 jam  Output :3690 ml/24 jam
 Balance : -950 ml/24 jam  Balance : -2130 ml/jam  Balance : -640 ml/ 24 jam
 Diuresis: 2850ml/24 jam  Dieresis : 3100 ml/24 jam  Diiuresis : 2850 ml/ 24 jam
Pemeriksaan Kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal kepala : Normocephal
Fisik - Mata: konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/- - Mata : konjungtiva anemis (-/-), - Mata : konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikhterik (-/-) palpebra ), sklera ikhterik (-/-) palpebra sklera ikhterik (-/-) sklera ikhterik (-/-)
udem (+) udem (-) - Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping hidung
- Hidung : Pernapasan cuping - Hidung : Pernapasan cuping hidung (-/-), sekret (-/-), (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-)
hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-) - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir
(-) epistaksis (-) - Mulut : Mukosa basah (+), Bibir sianosis (-), perdarahan gusi (-)
- Mulut : Mukosa basah (+), Bibir - Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-), perdarahan gusi (-) - Tenggorok : Uvula ditengah, faring
sianosis (-), perdarahan gusi(-) Bibir sianosis (-), perdarahan - Tenggorok : Uvula ditengah, hiperemis (-) , tonsil T1-T1
- Tenggorok : Uvula ditengah, faring gusi (-) faring hiperemis (-) , tonsil T1-T1 - Telinga : Normotia, sekret (-/-)
hiperemis (-) , tonsil T1-T1 - Tenggorok : Uvula ditengah, - Telinga : Normotia, sekret (-/-)  Leher
- Telinga : Normotia, sekret (-/-) faring hiperemis (-) , tonsil T1-  Leher Trakea ditengah, tidak ada
 Leher T1 Trakea ditengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Trakea ditengah, tidak ada - Telinga : Normotia, sekret (-/-) pembesaran kelenjar getah bening  Thorax
pembesaran kelenjar getah bening  Leher  Thorax Bentuk : Normochest, gerakan
 Thorax Trakea ditengah, tidak ada Bentuk : Normochest, gerakan simetris kanan kiri
Bentuk : Normochest, gerakan pembesaran kelenjar getah bening simetris kanan kiri Pulmo:
9
simetris kanan kiri  Thorax
Bentuk : Normochest, gerakan
simetris kanan kiri

Pulmo: Pulmo: Pulmo: - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada


- Inspeksi : Retraksi (-), gerakan dada - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan - Inspeksi : Retraksi (-), gerakan simetris kanan kiri
simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri dada simetris kanan kiri - Palpasi : vocal fremitus kanan &
- Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan - Palpasi : vocal fremitus kanan kiri simetris
& kiri simetris & kiri simetris & kiri simetris - Perkusi : Sonor di semua
- Perkusi : Sonor di semua lapangan - Perkusi : Sonor di semua - Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
paru lapangan paru lapangan paru - Auskultasi : Suara dasar vesikuler
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler - Auskultasi : Suara dasar - Auskultasi : Suara dasar (+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-)
(+/+), ronkhi(-/-) wheezing (-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) vesikuler (+/+), ronkhi(-/-) Cor :
Cor : wheezing (-/-) wheezing (-/-) - Inspeksi : iktus cordis tidak
- Inspeksi : iktus cordis tidak Cor : Cor : tampak,
tampak, - Inspeksi : iktus cordis tidak - Inspeksi : iktus cordis tidak - Palpasi : iktus kordis tidak kuat
- Palpasi : iktus tampak, tampak, angkat
kordis tidak kuat angkat - Palpasi : iktus kordis tidak kuat - Palpasi : iktus kordis tidak - Perkusi : Batas jantung kesan
- Perkusi : Batas jantung kesan tidak angkat kuat angkat tidak membesar
membesar - Perkusi : Batas jantung kesan - Perkusi : Batas jantung kesan - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II
- Auskultasi : Bunyi Jantung tidak membesar tidak membesar normal, murmur(-), gallop (-)
I-II normal, murmur(-), gallop (-) - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II - Auskultasi : Bunyi Jantung I-II  Abdomen:
 Abdomen: normal, murmur(-), gallop (-) normal, murmur(-), gallop (-) - Inspeksi : Datar, (+)
- Inspeksi : Datar, (+)  Abdomen:  Abdomen: - Auskutasi : BU (+)
- Auskutasi : BU (+) - Inspeksi : Datar, (+) - Inspeksi : Datar, (+) - Perkusi : Timpani
- Perkusi : Timpani - Auskutasi : BU (+) - Auskutasi : BU (+) - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-),
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Perkusi : Timpani - Perkusi : Timpani hati dan limpa tidak teraba, turgor
hati dan limpa tidak teraba, - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), - Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), kembali cepat
turgor kembali cepat hati dan limpa tidak teraba, hati dan limpa tidak teraba,  Ekstremitas:
 Ekstremitas: turgor kembali cepat turgor kembali cepat Superior:
Superior:  Ekstremitas:  Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Superior: Superior: (-), edema (-/-), ptekie (-)
(-), edema (-/-), ptekie (+/+) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior :
Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (-) (-), edema (-/-). Ptekie (-) akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis Inferior : Inferior : (-), edema (-/-), ptekie (-)
(-), edema (+/+), ptekie (+/+), akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis
(-), edema (-/-), ptekie (-) (-), edema (-/-), ptekie (-)

10
Assesment Dengue Shock Syndrome Dengue Shock Syndrome DHF Post DSS DHF Post DSS

-
Plan Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450 -
Head up 450
- Monitor KU dan TTV - Monitor KU dan TTV - Monitor KU dan TTV - Monitor KU dan TTV
- Cukupi cairan - Cukupi cairan - Cukupi cairan - Balance cairan seimbang
- Cegah infeksi dan nyeri - Cegah infeksi dan nyeri - Cegah infeksi dan nyeri - Pindah ruangan
M
- IVFD RL 60 ml/jam - IVFD RL 60 ml/jam - IVFD RL 40 ml/jam - IVFD RL 40 ml/jam
- Inj. Ceftriakson 1x2 g iv - Inj. Ceftriakson 1x2 g iv - Inj. Ceftriakson 1x2 g iv - Inj. Ceftriakson 1x2 g iv
- Inj.Omeprazole 1x 40 mg iv - Inj. Ranitidin 2x50 mg iv - Inj.Omeprazole 1x 40 mg iv - Inj.Omeprazole 1x 40 mg iv
- Inj. Ca glukonas 3x1 g iv
PO: PO: PO:
PO : - Vit. C 1x400 mg iv - Vit. C 1x400 mg iv - Vit. C 1x400 mg iv
- Vit. C 1x400 mg iv - Fluimucyl 3x200 mg - Fluimucyl 3x200 mg - Fluimucyl 3x200 mg
- Fluimucyl 3x200 mg - Paracetamol 3x500 mg - Paracetamol 3x500 mg - Paracetamol 3x500 mg
- Paracetamol 3x500 mg - Curcuma 3x1 tab - Curcuma 3x1 tab - Curcuma 3x1 tab
- Curcuma 3x1 tab - VIP albumin 3x4 caps - VIP albumin 3x4 caps - VIP albumin 3x4 caps
- VIP albumin 3x4 caps

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intensive Care Unit (ICU)


2.1.1 Definisi

Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu ruangan perawatan khusus


dengan staff dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau
penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa
dengan prognosis dubia.1

Pelayanan ICU adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien dalam


kondisi kritis diruang perawatan intensif, dilaksanakan secara terintegrasi oleh
tim yang terlatih dan berpengalaman dibidang critical care. Pengelolaan
pelayanan ICU dilakukan secara khusus dengan mengutamakan keselamatan
pasien (Patient Safety), untuk menurunkan angka kematian dan kecacatan.1

2.2.2 Indikasi masuk ICU

Pada keadaan permintaan layanan ICU lebih tinggi dari pada kapasitas atau
sarana dan prasarana maka kepala ICU harus menentukan prioritas sesuai
indikasi. Prioritas tersebut adalah:1
1. Pasien prioritas 1 (satu)

Kelompok ini dengan kondisi sakit kritis, tidak stabil, memerlukan bantuan
ventilasi dan alat bantu suportif organ/sistem yang lain, infus obat-obat
kontinyu, misalnya pasca bedah kardiotorasik, pasien sepsis berat, gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam nyawa.
2. Pasien prioritas 2 (dua)

Pasien ini memerlukan pelayanan karena sangat berisiko bila tidak


mendapatkan terapi intensive dan pemantauan segera.
3. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien golongan ini adalah pasien sakit kritis, yang tidak stabil status
kesehatan sebelumnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya,

23
secara sendirian atau kombinasi. Kemungkinan sembuh dan/atau manfaat
terapi di ICU pada golongan ini sangat kecil. Pengelolaan pada pasien
golongan ini hanya untuk mengatasi kegawatan akutnya saja, dan usaha
terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau resusitasi jantung paru.

Selain indikasi dari skala prioritas, terdapat juga indikasi dari kriteria lainnya. Hal
tersebut sebagai berikkut : 2
A. Kriteria berdasarkan system organ
1. Penilaian Sistema Kardiovaskular
a. Acute myocard infark dengan komplikasi
b. Shock kardiogenik
c. Complex arrhythmia yang memerlukan pengawasan ketat dan intervensi
d. Gagal jantung akut dengan gagal nafas dan atau memerlukan bantuan
hemodinamik
e. Hipertensi emergensi
f. Unstable angina, yang disertai aritmia, hemodinamik yang tidak stabil, atau
nyeri dada yang presisten
g. Pasca pemulihan setelah Henti jantung
h. Tamponade jantung dengan hemodinamik yang tidak stabil
i. Disseksi aneurisma aorta
j. Blok jantung total
k. Laju jantung <50 kali/menit atau >150 kali/menit dengan instabilitas
l. Gagal Jantung kronis dekompensata yang membutuhkan pemantauan
intensive
2. Pulmonary System
a. Gagal nafas akut yang memerlukan ventilator
b. Emboli paru dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil
c. Pasien ruang perawatan High Care Unit yang menunjukkanperburukan
pada system pernafasan
d. Hemoptisis masive
e. Gagal nafas dengan memerlukan intubasi
3. Gangguan Gastrointestinal

24
a. Perdarahan saluran cerna yang disertai hipotensi, terus menerus
b. Gagal hati fulminan
c. Pankreatitis berat
d. Perforasi Esofagus dengan atau tanpa mediastinitis
e. Abdomen yang tegang dengan pertimbangan adanya hipertensi
4. Endokrin
a. Ketoasidosi diabetikum dengan instabilitas hemodinamik, perubahan status
mental, isufisiensi pernafasan.
b. Krisis tiroid dengan instabilitas hemodinamik
c. Hiperosmolar status dengan koma dan atau instabilitas hemodinamik
d. Gangguan endokrin lainnya seperti krisis adrenal dengan instabilitas
hemodinamik
e. Hiperkalemia berat dengan perubahan status mental yang memerlukan
monitoring hemodinamik
f. Hipo atau hipernatremia dengan kejang, perubahan status mental
g. Hipo atau hipermagnesemia dengan kegagalan hemodinamik
h. Hipo atau hiperkalemia dengan aritmia atau kelemahan otot
i. Hipofosfatemia dengan kelemahan otot
5. SistemRenal
a. Gagal ginjal yang baru didiagnosisdengan azotemia berat (ureum>200
mg/dL)
b. Produksi urin <0.5 ml/kgbb/jam selama > 3jam dan ada pertimbangan
hemodinamik yang tidak membaik
c. Penurunan akut bersihan kreatinin<30 ml
d. Membutuhkan terpi pengganti ginjal
6. Neurologic Disorders
a. Stroke akut dengan perubahan status mental
b. Koma : metabolic, toksik, atau anoxik
c. Perdarahan intracranial yang berpotensi terjadi herniasi
d. Perdarahan subarachnoid akut
e. Meningitis dengan perubahan status mental atau gangguan pernapasan

25
f. Sistem saraf pusat dan neurumuskular disorder dengan disorientasi saraf
dan fungsi paru
g. Status epileptikus
h. Pasien mati batang otak atau berpotensi mati batang otak dengan status
pendonor organ
i. Pasien dengan cedera kepala berat
7. Penilaian Sistem Hematologi
a. Trombositopenia (<70.000) dengan bukti perdarahan
b. Koagulopati (INR > 2.5 atau APTT >40-50 detik)dengan bukti perdarahan
aktif
c. Buktihemolisis aktif dengan penurunan hematocrit
d. Leukosit >100.000/mcl, dan terutama dengan fungsi organ target
8. Pembedahan
Pasien post operasi yang memerlukan pengawasan hemodinamik/ dukungan
ventilator atau perawatan intensif
9. Gangguan Lainnya
a. Septik shok dengan instabilitas hemodinamik
b. Pengawasan hemodinamik
c. Trauma lingkungan (listrik, hipotermi, hipertermi)

B. Model Parameter Objektif


a. Tanda Vital
1. Nadi < 40 atau > 150 kali/menit
2. Tekanan darah Sistolik < 80 mm Hg atau 20 mm Hg dibawah tekanan darah
biasa pasien
3. Mean arterial pressure < 60 mm Hg
4. Tekanan Diastolik > 120 mm Hg
5. Respiratory rate > 35 kali/menit
b. Laboratorium
1. Serum sodium < 110 mEq/L or > 170 mEq/L
2. Serum potassium < 2.0 mEq/L or > 7.0 mEq/L
3. PaO2 < 50 mm Hg

26
4. pH < 7.1 or > 7.7
5. Serum glukosa > 800 mg/dl
Serum kalcium > 15 mg/dl

2.2 Demam Berdarah Dengue


2.2.1 Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD. DBD adalah salah satu
manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus dengue

Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut (Gambar 1):
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari,
ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan [petekie atau uji bendung
positif], leukopenia) dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien
yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD pada lokasi dan waktu yang
sama
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan).

2.2.2 Etiologi
Virus dengue yang termasuk kelompok Arthropod Borne Virus (Arbovirus) yang
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, familio flavivisidae dan mempunyai 4 jenis
serotipe, yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, DEN – 4.
27
Di Indonesia pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa Rumah Sakit menunjukkan keempat serotipe di temukan dan bersirkulasi
sepanjang tahun. Serotipe DEN – 3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.

Gambar .2. Vektor nyamuk aedes aegypti dan struktur virus dengue

2.2.3 Epidemiologi

Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan
ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dekade ini, dari kota ke lokasi
pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan
subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia Jumlah
kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan
cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak 90% di
antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu
terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan
jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. DBD
merupakan penyakit endemis di berbagai negara dan ada beberapa Negara yang
terdeteksi terdapat keempat serotipe dari virus dengue tersebut termasuk ke dalam
kategori hyperendemis

28
2.2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian
virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic
incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat
terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.
Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog
yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc
reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog
maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi
dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement
(ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam
sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator

29
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada gambar 3. yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi
antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam
limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal
ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody
complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan
C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang
ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai
lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti
dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya
cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara
adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena
itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virusbinatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktuvirus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuhnyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapatmenyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensidan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu
beberapastrain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang
besar.Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.

30
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya syok pada DBD

Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain


mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar
4). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat
satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

31
Gambar.4 Patofisiologi perdarahan pada DBD

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga


walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.

2.2.5 Mekanisme Penularan DBD


Penyakit DBD hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Ae. aegypti betina. Nyamuk ini
mendapat virus dengue sewaktu menggigit/menghisap darah orang yang sakit DBD atau
tidak sakit DBD tetapi dalam darahnya terdapat virus dengue.4 Virus dengue yang
terhisap akan berkembang biak dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk termasuk
kelenjar liurnya. Bila nyamuk tersebut menggigit/menghisap darah orang lain, virus itu
akan berpindah bersama air liur nyamuk. Apabila orang yang ditulari tidak memiliki
32
kekebalan (umumnya anak-anak) maka ia akan menderita DBD. Nyamuk yang sudah
mengandung virus dengue, seumur hidupnya dapat menularkan kepada orang lain.
Dalam darah manusia, virus dengue akan mati dengan sendirinya dalam waktu lebih
kurang 1 minggu.

2.2.6 Manifestasi klinis


Infeksi virus dengue dapat terjadi asimptomatik atau bahkan bisa menyebabkan
Undifferentiated fever, dengue fever (DF) / demam dengue (DD), Dengue Hemmoragic
Fever (DHF) / Demam Berdarah Dengue (DBD) dan juga termasuk Dengue Shock
syndrome (DSS). Infeksi dari salah satu serotipe virus dengue akan menyebabkan
kekebalan terhadap serotipe tersebut. Manifestasi yang terjadi tergantung dari jenis
strain virusnya (agent) dan juga faktor host yaitu usia, status imunitas dan lain-lain.

A. Undifferentiated fever

Bayi, anak-anak dan dewasa yang terinfeksi virus dengue untuk pertama
kalinya atau primary infection dapat menunjukan gejala demam yang tidak
bisa dibedakan dengan infeksi virus lainnya. Makulopapular rash dapat
terjadi bersamaan pada saat demam muncul atau saat penurunan suhu tubuh
ke normal. Gejala saluran nafas atas dan gastrointestinal sistem yang paling
umum terjadi.

B. Demam Dengue (DD)

Demam Dengue umumnya terjadi pada kalangan anak-anak, remaja


dan orang dewasa. Gejalanya terdiri dari demam febris, nyeri kepala hebat,
mialgia, artralgia, kemerahan di kulit, leokopenia dan trombositopenia
(100. 000 -150.000 cells/mm3).

C. Dengue Hemmoragic Fever (DHF)

DHF umumnya terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun di daerah


hyperendemis, akan tetapi pada saat ini insiden pada dewasa mengalami
peningkatan. Karakteristik DHF adalah demam tinggi dan di ikuti gejala
lainnya yang mirip dengan Demam Dengue. Pada DHF terjadi
trombositopenia (< 100.000 cells/mm3), pemeriksaan tourniquet positif,
ptekeie dan pada kasus berat terdapat perdarahan di saluran cerna.

Pada saat masa kritis (hari ke-5 demam) terjadi penurunan suhu yang dapat
33
diikuti dengan syok hipovolemik oleh karena kebocoran plasma.

Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris,
fase kritis dan fase pemulihan.

a. Fase Febris
Biasanya demam mendadak tinggi 2–7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit
kepala. Pada beberapa kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi faring dan
konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula
ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa, walaupun
jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan
gastrointestinal.

b. Fase Kritis
Terjadi pada hari 3–7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu
tubuh disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran
plasma yang biasanya berlangsung selama 24– 48 jam. Kebocoran plasma
sering didahului oleh lekopeni progresif disertai penurunan trombosit. Pada
fase ini dapat terjadi syok.

c. Fase Pemulihan
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari
ekstravaskuler ke intravaskuler secara perlahan pada 48–72 jam setelahnya.
Keadaan umum penderita membaik, nafsu makan pulih kembali ,
hemodinamik stabil dan dieresis membaik.

d. Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :

1) Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau


meningkat secara progresif, adanya efusi pleura atau asites,
gangguan sirkulasi atau syok (takikardi, ekstremitas yang dingin,
waktu pengisian kapiler (capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah
atau tidak terdeteksi, tekanan nadi yang menyempit atau pada syok
lanjut tidak terukurnya tekanan darah.
2) Adanya perdarahan yang signifikan

34
3) Gangguan kesadaran
4) Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri
abdomen yang hebat atau bertambah, ikterik)
5) Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim
lainnya.
Diagnosis Derajat penyakit DBD

A. Menurut WHO 2011 derajat beratnya DBD di bagi menjadi : 6

Sumber : WHO, 2011.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai
hari ke 3 demam.
Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya

35
gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-
Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT,
ureum/ kreatinin.
Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostik melalui
pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun,
metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2
minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang
dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcriptionpolymerasechain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-
PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan
isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi
yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke
2.
Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat
dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan
pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan USG.

2.2.8 Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini
terpenuhi:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif, petekie,
ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa, hematemesis dan melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ mm3)
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sebagai berikut:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis
kelamin.

36
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:
 Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasiperdarahan
adalah uji torniquet.
 Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit danperdarahan lain.
 Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi,sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab, tampakgelisah.
 Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidakterukur.

Gambar 5. Derajat DBD

37
2.2.9 Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD

Berdasarkan model segitiga epidemiologi (triangle epidemiology), ada 3


faktor yang berperan dalam timbulnya suatu penyakit yaitu, penjamu, agen
penyakit dan lingkungan (host, agent, environment).

A. Faktor Penjamu (Host)


a. Usia dan Jenis Kelamin
Hasil penelitian Rasyada (2014) mendapatkan penderita DDB dengan
usia terendah 10 tahun dan usia tertinggi 59 tahun dengan rata-rata usia

penderita adalah 25,1 tahun. Usia terbanyak penderita DBD adalah usia 19
tahun. Selain itu, juga didapatkan frekuensi umur pasien DBD terbanyak
adalah kelompok umur 20-40 tahun dan frekuensi terendah adalah pada
kelompok umur > 40 tahun. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan
dari Carribean Epidemiology Centre yang menyatakan bahwa
epidemiologi penderita DBD terbanyak pada anak-anak dan dewasa muda.
Menurut hasil penelitian Subagia (2013) sebagian besar subyek yang
menderita DBD berjenis kelamin perempuan.

b. Pekerjaan

Mobilitas seseorang berpengaruh terhadap risiko kejaidan DBD. Hal


ini identik dengan pekerjaan yang dilakukan sehari-hari dan berkaitan
dengan pendapatan dan daya beli keluarga. Semakin tinggi tingkat
mobilitas seseorang, semakin besar risiko untuk menderita penyakit DBD.
Semakin baik tingkat penghasilan seseorang, semakin mampu ia memenuhi
kebutuhannya, termasuk dalam hal pencegahan dan pengobatan suatu
penyakit.

c. Imunitas dan status Gizi

Imunitas/daya tahan tubuh terhadap suatu infeksi penyakit menular


erat kaitannya dengan faktor gizi. Status gizi adalah tingkat kesehatan
seseorang yang dipengaruhi oleh makanan yang di konsumsinya .

Status gizi mempengaruhi pembentukan antibodi dalam tubuh.


Dengan gizi yang kurang maka pembentukan antibodi akan terhambat,
sehingga kemampuan tubuh untuk terhindar dari suatu penyakit akan
38
berkurang.12

d. Ras (suku bangsa)

Setiap ras mempunyai sifat dan kebiasaan masing-masing terkait


dengan penularan penyakit DBD. Hal tersebut menyangkut keadaan sosial
ekonomi, adat kebiasaan dan kebudayaan suatu masyarakat.

B. Faktor Agent dan Vektor Penyakit


a. Agent Penyakit

Penyebab DBD adalah virus dengue. Virus dengue termasuk dalam


kelompok Arbovirus yang ditularkan melalui vektor serangga. Ukuran
diameter dari virion ini adalah 40-50 nm dan termasuk dalam RNA untai
tunggal. Virus dengue terdiri atas sepuluh protein, tiga diantaranya adalah
protein structural dan tujuh lainnya adalah protein non-structural. Hingga
kini di kenal 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 .

Hasil penelitian di Indonesia menunjukan bahwa DEN-3 sangat


berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling
luas distribusinya disusul oleh DEN-2, DEN-1, dan DEN-4.8

b.Vektor Penyakit

1). Siklus hidup


Nyamuk Ae. aegypti seperti nyamuk anophelini lainnya, mengalami
metamorfosis sempurna, yaitu: telur-jentik-kepompong-nyamuk. Stadium
telur, jentik dan kepompong terjadi di dalam air. Pada umumnya telur akan
menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah telur terendam di dalam
air. Stadium jentik biasanya berlangsung antara 2-14 hari. Pertumbuhan
dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina
dapat mencapai 2-3 bulan .8
2). Penyebaran
Ae.aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun
umumnya jarak terbangnya adalah pendek yaitu kurang dari lebih 40
meter, namun karena angina tau kendaraan, dapat berpindah lebih jauh.
Nyamuk Ae. aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Di
Indonesia, nyamuk tersebar luas, baik di rumah-rumah maupun
tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak
39
pada daerah yang beretinggian sampai 1000 meter. Di atas ketinggian
1000 meter, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak karena suhu
udara yang rendah.

2.2.10 Penatalaksanaan

Gambar 6. Penanganan tersangka DBD tanpa syok

Gambar 7. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

A. Tatalaksana Rawat Jalan Pasien


a. Istirahat tirah baring yang cukup di rumah
b. Minum yang cukup, tidak harus air putih boleh seperti susu, jus buah,
elektrolit isotonik, solusi rehidrasi oral ( oralit ) dan barley / air beras.
Waspadai overhydration pada bayi dan anak-anak
c. Menjaga suhu tubuh di bawah 39 ° C . Jika suhu melampaui 39 ° C,
berikan parasetamol. Dosis yang dianjurkan adalah 10 mg / kg / dosis dan
harus diberikan dalam frekuensi tidak kurang dari enam jam. Dosis
maksimum untuk orang dewasa adalah 4 gram /hari . Hindari
menggunakan terlalu banyak parasetamol , dan aspirin ,NSAID tidak
dianjurkan .
d. Kompres hangat dahi, ketiak dan kaki. Mandi hangat atau mandi
40
direkomendasikan untuk orang dewasa.
e. Segera bawa ke rumah sakit bila terdapat tanda bahaya.
B. Tatalaksana pasien dengan DHF/DSS di Rumah Sakit

Gambar 8. Penatalaksanaan DHF

41
Gambar 9.Penatalaksanaan DSS (Dengue Syok Syndrom)

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan
kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan. Karena tujuan
terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di ruang intravaskular,
pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin) maupun

42
koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar
pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan
dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular,
aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan
memiliki efek alergi yang minimal.

Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD aman dan


efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan
hemokonsentrasi. Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam
pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskular)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu jam
hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke dalam
ruang interstisial.14 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan dalam
temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.

Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa keunggulan


yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang
intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi
jaringan lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan
yang mungkin didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, dan biaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti
memiliki efek samping koagulopati dan alergi yang rendah (contoh: hetastarch).
Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue
(DSS) pada pasien anak dengan parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam
pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis cairan. Sebuah
penelitian lain yang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada
penderita dewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah selesai dilakukan,

43
dan dalam proses publikasi. Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari
banyaknya kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut masih
akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan diberikan untuk
kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk mengganti cairan akibat kebocoran
plasma. Secara praktis, kebutuhan rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan
50 kg, adalah sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-3000 ml/24
jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD dengan hemodinamik yang
stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam. Namun demikian, pemantauan kadar
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai apakah hemokonsentrasi masih
berlangsung dan apakah jumlah cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih
perlu ditambah. Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi hemodinamik
tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara
6-10 mg/kg berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan
cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6
dan 7). Pada kondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun
kondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit
perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya perdarahan internal.

Monitoring pada pasien Rawat inap


Kondisi umum, nafsu makan, muntah, perdarahan dan tanda-tanda dan gejala
lainnya.
• perfusi perifer dapat dilakukan sesering diindikasikan karena merupakan
indikator awal shock dan mudah dan cepat untuk dilakukan .
Tanda-tanda vital
• seperti suhu, denyut nadi, frekuensi pernapasan dan tekanan darah harus diperiksa
setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-shock dan 1-2 jam pada pasien shock.
• Serial hematokrit harus dilakukan setidaknya setiap 4-6 jam dalam kasus yang
stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil atau mereka yang
dicurigai perdarahan.
• Output urine (jumlah urine) harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam di
kasus rumit dan pada setiap jam pada pasien dengan mendalam syok /

44
berkepanjangan atau orang-orang dengan kelebihan cairan. Selama periode ini
jumlah urin harus 0,5ml/kgbb/jam.

Kriteria untuk pemulangan pasien


• Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa penggunaan terapi anti -
demam .
• Nafsu makan baik .
• Perbaikan klinis terlihat .
• Output urine memuaskan .
• Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah pemulihan dari shock.
• Tidak ada gangguan pernapasan dari efusi pleura dan ascites sudah tidak ada .
• Jumlah trombosit lebih dari 50 000 / mm3 . Jika tidak , pasien dapat dianjurkan
untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu untuk jumlah
trombosit menjadi normal. dalam kebanyakan kasus rumit , trombosit meningkat
normal dalam 3-5 hari .

2.2.11 Diagnosis Banding


1. Demam thyphoid
2. Malaria
3. Morbili
4. Demam Chikungunya
5. Leptospirosis
6. Idiophatic Thrombocytopenia Purpura (ITP)

2.2.12 Prognosis
Dubia ad bonam

2.2.12 Pencegahan
Memutuskan rantai penularan dengan cara :
1. Menggunakan insektisida
 Malathion (adultisida) dengan pengasapan
 Temephos (larvasida) dimasukkan ketempat penampungan air bersih.
2. Tanpa insektisida

45
 Menguras bak mandi dan tempat penampungan air bersih minimal 1x
seminggu.
 Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
 Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol
pecah dan benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

46
BAB III
PEMBAHASAN

Nn. SM usia 22 tahun datang dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam yang dirasakan pasien terus menerus dan tinggi. Pasien juga
mengeluhkan pusing, mual , lalu besoknya pasien muntah hingga lebih dari 3x, muntah
berisi makanan. Pasien berobat di klinik dekat rumahnya dan diberi obat penurunan
panas namun demam tidak kunjung turun. Demam tinggi dan terus menerus menunjukan
adanya suatu infeksi yang penyebabnya dapat terjadi dari virus atau bakteri. Namun, dari
tipe demam terus menerus yang dikeluhkan pasien dapat diduga bahwa penyebabnya
adalah virus dengue.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya ptekie pada ke empat ektremitas, Ptekie
menunjukkan adanya manifestasi klinis dari DHF dan adanya udem pada palpebra serta
ekstremitas inferior karena sudah terjadi kebocoran plasma, yang memperkuat hipotesis
DHF. Pada pemeriksaan penunjang di IGD, didapatkan hasil trombositopenia. Hal ini
sesuai dengan tanda dari DHF . Trombosit berfungsi untuk menghentikan perdarahan
baik yang mikrolesi ataupun makrolesi. Trombosit dan tekanan darah yang terus
menurun menandakan adanya perdarahan dan kegagalan sirkulasi sehingga pasien perlu
pemantauan terapi cairan yang tepat di ICU untuk memperbaiki keadaan hemodinamik
pasien.

47
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana


pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
Depkes RI. Standar Pelayanan Perawatan ICU.2006. Diunduh dari URL:
perpustakaan.depkes.go.id
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta,
2007
Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue:an escalating problem. BMJ 2002;324:1563-6
Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di Indonesia.
Depkes RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan. 2004
Panduan ICU: Kriteria Masuk ICU RSPAD Gatot Soebroto. 2013.
Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat Penerbitan IPD FKUI,
2006.p.137-8
Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Sudoyo,
A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9
World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock
syndrome in the context of the integrated management of childhood illness.
Department of Child and Adolescent Health and Development.
WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva, 2005
World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17

48
49
50

Anda mungkin juga menyukai