Oleh:
DM FK-UWKS PROBOLINGGO
Pembimbing :
Abstrak
Skizofrenia merupakan kondisi kronis yang berdampak signifikan tidak hanya pada
individu dan keluarga, namun kelainan tersebut juga memiliki dampak yang lebih luas
bagi masyarakat dalam hal biaya yang tinggisecara ekonomi. Kondisi yang sangat lazim
tersebut mempengaruhi sekitar 1% populasi di seluruh dunia, namun terdapat beberapa
pilihan terapeutik. Strategi pengobatan utama untuk skizofrenia adalah pengobatan anti-
psikotik (dengan atau tanpa tambahan terapi wicara) walaupun pendekatan tersebut tidak
memiliki khasiat dalam mengelola gejala negatif dari kondisi skizofrenia, tidak efektif
pada sepertiga kelompok pasien, serta efek samping dari obatnya bisa berat dan
melemahkan. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah proses patofisiologis telah
diidentifikasi pada kelompok penderita skizofrenia termasuk stres oksidatif, metabolisme
satu karbon, dan respons yang dimediasi oleh imunitas.Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa mekanisme fisiologis yang mengalami perubahan tersebut dapat diperbaiki dengan
intervensi nutrisi pada beberapa individu dengan skizofrenia. Tinjauan ini
menggambarkan secara singkat proses yang disebutkan di atas dan menguraikan
penelitian yang telah menyelidiki manfaat pendekatan nutrisi sebagai tambahan untuk
pengobatan anti-psikotik termasuk suplemen antioksidan dan vitamin B, nutrisi
neuroprotektif dan anti-inflamasi serta diet eksklusi. Meskipun tidak satu pun dari
intervensi tersebut yang memberikan solusi terapeutik 'satu ukuran cocok untuk semua',
kami menyarankan agar pendekatan yang dipersonalisasi memberikan perhatian
penelitian karena terdapat kesepakatan bahwa skizofrenia adalah gangguan spektrum
yang berkembang dari interaksi antara faktor lingkungan dan genetik.
Kata kunci: Skizofrenia, Kesehatan Mental, Nutrisi, Obat pribadi, Pengobatan tambahan
Pendahuluan
Skizofrenia adalah kondisi melemahkan yang mempengaruhi 1% populasi di seluruh
dunia [1]. Gejala skizofrenia digambarkan sebagai gejala positif dan negatif; gejala
positif termasuk halusinasi, paranoia dan delusi, dan contoh-contoh gejala negatif
misalnya motivasi berkurang, sedikit biacara, afek dangkal dan penarikan diri secara
sosial; Selain itu, label yang terlalu melekattersebut dapat dikelompokkan lebih lanjut
berdasarkan profil gejala [2]. Gejala tersebut umumnya muncul pada masa dewasa awal
dan sering bertahan pada sekitar tiga perempat sampai dua pertiga individu meskipun
telah mendapatkan perawatan yang optimal [3-5]. Penyakit yang menetap dan/atau
berfluktuasi tersebut tidak hanya menyebabkan penderitaan dan kecacatan, tetapi juga
menimbulkan beban sosial yang tinggi dengan perkiraan biaya keuangan sebesar £ 11,8
miliar per tahun di Inggris saja.Selain itu, pasien skizofrenia sering mengalami
komorbiditas berupakecanduan, kecemasan, dan gangguan depresi [7], asma, penyakit
paru obstruktif kronik, diabetes tipe-2 dan banyak komplikasi lain terkait diabetes [8]
serta meningkatkan angka kematian dini karena penyakit jantung iskemik yang kurang
terdiagnosis [ 9,10]. Sebenarnya jika dibandingkan dengan populasi umum, penderita
skizofrenia memiliki tingkat kematian dua sampai tiga kali lipat lebih tinggi, yang setara
dengan pengurangan 10-25 tahun dalam rentang hidup [11]. Oleh karena itu, perlu untuk
terus mengembangkan dan mengevaluasi perawatan baru untuk gangguan ini, bukan
hanya untuk kepentingan pasien tetapi juga untuk masyarakat luas.
Saat ini, pengobatan menggunakan anti-psikotik (dengan atau tanpa psikoterapi)
merupakan pengobatan utama untuk individu dengan skizofrenia, sebuah intervensi yang
menimbulkan adanya hipotesis dopamin (DA). Teori skizofrenia yang bertahan lama
tersebut telah berevolusi dari waktu ke waktu dan teori yang pertama kali didasarkan
pada pengamatan secara klinis dan selanjutnya merupakan bukti empiris dari penelitian
terhadap pengobatan anti-psikotik [12]. Secara singkat, pada 1970-an, hipotesis DA
awalnya menunjuk peran dopamin yang berlebihan pada skizofrenia [13], yang
selanjutnya disempurnakan untuk memasukkan spesifisitas pembagianterkait
hipodopaminergia prefrontal dan hyperdopaminergia subkortikal [14]. Namun, kedua
konseptualisasi tersebut tidak memperhitungkan etiologi kelainan dopaminergik dan
karenanya muncul modifikasi lebih lanjut dari hipotesis DA sebagai 'jalur umum akhir' di
mana banyak faktor genetik dan lingkungan yang dapat menghasilkan peningkatan fungsi
dopaminergik presinaptik striatal [15].
Meskipun pengobatan menggunakan anti-psikotik telah bertahan sebagai
pengobatan yang optimal dan efektif dalam mengelola gejala positif, masih terdapat
keterbatasan dalam hal mengobati gejala negatif [16]. Selain kekurangan tersebut, terapi
jenis ini hanya didasarkan pada gejala dan dosis sering ditentukan oleh proses trial and
error [17]. Pada mereka yang respon terhadap pengobatan anti-psikotik, efek sampingnya
bisa sangat memberatkan dan seringkali tidak dapat ditolerir; gejalanya termasuk gerakan
tak disadari seperti tremor dan kekakuan otot, obat yang menginduksi Parkinson, Tardive
dyskinesia, hipersalivasi, peningkatan denyut jantung, sindrom metabolik, dan
penambahan berat badan. Seringkali efek samping itu sendiri memerlukan perawatan
farmakologis lebih lanjut dan/atau mengakibatkan dihentikannya pengobatan yang
menyebabkan kekambuhan berikutnya. Lebih jauh lagi, sekitar sepertiga penderita
skizofrenia tidak respon terhadap pengobatan anti-psikotik, baik sendiri atau bersamaan
dengan konseling psikodinamik dan farmakoterapi lainnya [18].
Namun saat ini terdapat bukti yang semakin banyak mengenai beberapa
mekanisme fisiologis seperti stres oksidatif, metabolisme satu karbon ,dan respons
atipikal yang dimediasi imunitas pada individu dengan skizofrenia, bukan semata-mata
patofisiologi dopaminergik sesuai hipotesis DA. Selanjutnya, manifestasi patofisiologis
yang berbeda tersebut dapat diperbaiki melalui strategi penanganan nutrisi. Oleh karena
itu, artikel ini bertujuan untuk menguraikan secara singkat mekanisme penyumbang yang
mendasar tersebutyang telah diamati pada pasien dengan didiagnosis skizofrenia serta
meninjau bukti penelitian dan klinis yang telah mengevaluasi intervensi nutrisi selain
pengobatan anti-psikotik untuk skizofrenia.
Metode
Hanya penelitian penilaian oleh sejawat yang dipertimbangkan. Desain penelitian pada
manusia meliputi Tinjauan Sistematik, Percobaan Terkontrol Acak (double blind atau
sebaliknya), studi kohort, Studi Kasus Terkendali dan Laporan Kasus. Pubmed, Google
Scholar and Science Direct digunakan untuk mencari penelitian yang relevan terkait
dengan skizofrenia dan nutrisi. Selain itu, referensi ditindaklanjuti dan dokumen kunci
diperoleh. Pencarian awal (replikasipada semua database) menggabungkan skizofrenia
dengan persyaratan dan sinonim, ejaan alternatif dan singkatan berikut:
1. Pencarian Gizi: nutrisi; Vitamin A, B (semua B-Vitamin dan Sinonimnya), C, D, E;
Omega 3 dan Omega 6 Asam lemak tak jenuh ganda (serta semua sinonim dan singkatan:
misalnya EFA, GLA, EPA dll.);
2. Pencarian Anti-Oksidan: Asam-alfa-lipoat; melatonin
3. Pencarian Metilasi: metilasi; Folat; methyfolate; metabolisme satu karbon; Vitamin
(semua B-Vitamin dan sinonim); Vitamin C, E;
4. Pencarian Gluten: Penyakit Celiac; Intoleransi gluten; Gluten;
Melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine)
Melatonin (N-acetyl-5-methoxytryptamine) adalah senyawa alami yang berperan penting
dalam siklus bangun-tidur (ritme sirkadian) dan juga merupakan antioksidan kuat sebagai
pemakam radikal bebas bebas dan stimulator enzim antioksidan [35] . Selain itu,
melatonin meningkatkan glutathione intraselular (GSH) dan menstabilkan membran
seluler [35]. Sekresi melatonin nokturnal ditemukan menurun pada pasien dengan
skizofrenia bebas obat dan hal tersebut tidak membaik meskupun telah menerima
pengobatan obat anti-psikotik [36-38]. Hal tersebut mungkin setidaknya menjelaskan
sebagian mengapa insomnia adalah gejala perifer yang umum dilaporkan pada
skizofrenia [39]. Dalam hal suplementasi, RCT kecil dari 19 pasien mengevaluasi
keefektifan melatonin sebagai tambahan terhadap perawatan medis standar selama tujuh
minggu [40]. Ditemukan bahwa efisiensi tidur meningkat secara signifikan pada mereka
yang menerima suplemen melatonin dan paling efektif pada orang dengan efisiensi tidur
terburuk. Demikian pula pada RCT yang lebih besar dari 40 peserta, kelompok melatonin
yang mengalami peningkatan melaporkan peningkatan kualitas tidur dan juga
meningkatkan kesegaran saat bangun, mood membaik, dan fungsi siang hari yang lebih
baik [41]. Meskipun perbaikan kualitas tidur ini mungkin tidak berdampak langsung pada
gejala utama skizofrenia, fungsi yang meningkat dan mood yang membaik masih
merupakan penemuan penting untuk kondisi yang sulit diobati ini. Akhirnya, dalam
tinjauan literatur yang sistematis, Anderson dan Maes melangkah lebih jauh dengan
menyarankan bahwa sekresi melatonin yang berkurang menyumbang etiologi dan
patofisiologi pada pasien skizofrenia dan harus dipertimbangkan dalam pendekatan
pengobatan tidak hanya untuk mengatasi gejala tetapi juga pada kontrol terhadap efek
samping metabolik pengobatan anti-psikotik [42].
Terakhir adalah karena beberapa anti-psikotik, khususnya olanzapine, penurunan
melatonin yang dapat menyebabkan disregulasi metabolik dan penambahan berat badan
yang dialami oleh pasien yang memakai obat ini [43]. Sebenarnya dalam RCT yang
termasuk pasien skizofrenia dan gangguan bipolar, penambahan melatonin pada
pengobatan antipsikotik generasi kedua selama delapan minggu menentukan apakah
melatonin dapat mengurangi efek metabolik yang merugikan yang dihasilkan oleh obat
tersebut [44]. Dibandingkan dengan plasebo, kelompok melatonin mengalami
peningkatan tekanan darah diastolik dan kenaikan berat badan yang melemahkan,
walaupun individu dengan gangguan bipolar mengamati efek metabolik menguntungkan
dari melatonin pada massa lemak.
Vitamin C dan E
Vitamin C (asam askorbat) dan E (a-tocopherol) adalah diet antioksidan nonenzimatik
yang mungkin bermanfaat dalam mengatasi stres oksidatif pada skizofrenia saat mereka
melepaskan reaksi berantai dari radikal bebas [45]. Dalam RCT double-blind, 40 pasien
dengan skizofrenia diuji menggunakan serum malondialdehyde (MDA; satu penanda
peroksidasi lipid) dan asam askorbat plasma pada awal dan delapan minggu berikutnya
diberikan suplementasi dengan vitamin C [46]. Tingkat MDA serum yang tinggi dan
asam askorbat plasma yang rendah ditemukan dalam sampel secara keseluruhan namun
pada tindakanselanjutnya untuk normalisasi penanda tersebut hanya diamati pada
kelompok yang menerima vitamin C sebagai tambahan pengobatan anti-psikotik. Gejala
skizofrenia juga meningkat secara signifikan pada kelompok eksperimen dibandingkan
dengan mereka yang menerima plasebo. Studi awal menunjukkan penemuan yang
menjanjikan terkait dengan manfaat Vitamin E untuk pengobatan tardive dyskinesia (TD)
[47-50]. Namun, metaanalisis terbaru dari 11 RCT menyimpulkan bahwa tidak ada bukti
bahwa Vitamin E meningkatkan TD; Meskipun terdapatpenemuan terbatas yang
menunjukkan bahwa suplementasi vitamin E dapat mencegah perburukan TD [51]. Oleh
karena itu, menambahkan vitamin E dalam protokol pengobatan mungkin masih
bermanfaat bagi pasien yang mengalami gejala menyedihkan tersebut yang dapat timbul
dari pemakaian jangka panjang obat anti-psikotik.
L-Theanine
L-Theanine (gamma-glutamylethylamide) adalah asam amino yang ditemukan pada
tanaman teh dan mungkin bermanfaat karena aktivitas antioksidannya, yaitu
kemampuannya untuk secara efektif menghambat peroksidasi [64] dan mengurangi reaksi
merugikandiinduksi doksorubisin yang terlibat dalam kerusakan oksidatif [65 ]. Selain
itu, L-Theanine juga telah diselidiki sebagai suplemen terapi tambahan bagi penderita
skizofrenia. Dalam penelitiandouble-blind randomised terkontrol menggunakan plasebo
selama 8 minggu yang mencakup 40 peserta yang didiagnosis dengan skizofrenia atau
gangguan schizoafektif, ditemukan bahwa dibandingkan dengan plasebo, tambahan terapi
antipsikotik dengan L-Theanine berhubungan dengan berkurangnya kecemasan,
psikopatologipositif dan umum, dibandingkan dengan plasebo [66]. Namun, gejala
negatif, fungsi neurokognitif objektif, fungsi umum, kualitas hidup dan efek samping
tidak berbeda dalam kelompok. Dalam hal mekanisme suplemen ini, tingkat sirkulasi
indikator neurokimia brain-derived neurotrophic factor (BDNF) dan cortisol-to-
dehydroepiandrosterone sulphate (DHEAS)*100 dalam rasio molar tampaknya terkait
dengan perbaikan klinis yang diamati pada gejala skizofrenia, walaupun alasan pasti
hubungan tersebut tidak jelas [67]. Miodownik dkk. menyatakan bahwa perubahan
tingkat BDNF serum dancortisol-toDHEAS*100 dalam rasio molar dapat memediasi efek
menguntungkan dari penambaha L-Theanine. Karena L-Theanine ditemukan aman dan
dapat ditolerir dengan baik dalam percobaan [66], tampaknya terdapatkebenarandalam
penggunaannya; Namun penelitian skala besar dan replikasi diperlukan untuk lebih
memperjelas peran asam amino ini dalam pengobatan skizofrenia.
Metabolisme satu karbon dan vitamin B
Pengamatan awal bahwa penyimpangan senyawa metilen tertentu dapat mempengaruhi
keadaan mental diusulkan pada tahun 1950an [68] dan kemudian disempurnakan menjadi
hipotesis siklus satu karbon dari skizofrenia [69]. Saat ini, reaksi metilasi diketahui
memiliki pengaruh yang sangat kompleks pada mesin biokimia dan selulersertamewakili
mekanisme biokimia luas [70]. Selanjutnya, peningkatan kadar homosistein (asam amino
beracun yang diproduksi secara berlebihan selama proses metilasi abnormal [71]) telah
diamati pada individu dengan skizofrenia [72]. Bidang utama yang diusulkan sebagai
faktor dalam etiologi skizofrenia dengan kaitan metabolisme satu karbon meliputi sintesis
DNA yang salah/abnormal, regulasi gen, fluiditas membran, fungsi sinaptik, dan sintesis
neurotransmitter [70,73-75].
Respons yang dimediasi imunitas dan manfaat terapeutik dari makanan bebas
kasein dan gluten
Penyakit seliak (CD) adalah kondisi yang dimediasi oleh kekebalan tubuh yang
menyebabkan radang mukosa usus halis sehingga terjadi kerusakan, hilangnya villi
penyerapan dan pada akhirnya terjadi malabsorbsi nutrisi [85]. CD dipicu oleh gliadin,
protein yang ditemukan dalam gluten gandum, dan protein larut alkohol lainnya
(prolamine) yang terkandung dalam jelai dan gandum hitam [86]. Penghapusan gluten
mengembalikan mukosa usus, mengatasi gejala, dan meningkatkan kualitas hidup
[86,87]. Hubungan antara skizofrenia dan CD pada anak-anak dan orang dewasa muda
diamati pada pengaturan klinis sejak tahun 1950an dan 60an [88,89]. Sebuah penelitian
casecontrolled berbasis populasi terbaru yang memperkirakan prevalensi angka
kehidupan dari berbagai gangguan autoimun pada skizofrenia menemukan bahwa mereka
yang memiliki kondisi tersebut 3,6 kali lebih mungkin didiagnosis dengan CD daripada
kontrol yang sesuai dengan sehat [90]. Dalam tinjauan bukti epidemiologi, Kalaydjian
dkk. mencatat bahwa prevalensi rata-rata CD pada mereka dengan skizofrenia dalam
sebelas studi adalah 2,6%, dimana lebih tinggi dari perkiraan 1% kasus CD yang
didiagnosis pada populasi umum [91]. Namun, penelitian telah mengidentifikasi bahwa
respon imunitas anti-gliadin pada skizofrenia mungkin memiliki spesifisitas antigenik
yang berbeda, tidak tergantung pada aktivitas enzim transglutaminase yang ditemukan
pada pasien dengan CD [92]. Pada beberapa individu dengan skizofrenia dan kondisi
kejiwaan lainnya seperti gangguan kecemasan, depresi dan mood, gangguan attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD) dan kelainan spektrum autisme, kepekaan CD dan
gluten mungkin terlibat dalam gangguan permeabilitas usus dan kelainan imunologis,
yang menyebabkan gejala neurologis. dan psikiatri [93].
TELAAH JURNAL
Judul
Nutritional Interventions For the Adjunctive Treatment of
Schizophrenia : a brief review
Abstrak:
Dapat menggambarkan isi jurnal: tujuan, metode pen
elitian, subjek, hasil penelitian, kesimpulan
Pendahuluan:
Dapat menjelaskan latar belakang dilakukannya pene
litian, tujuan penelitian, dan masalah yang ada
Interpretasi:
Arrol, A. M., Wilder, L., and Neil, J., 2014, Nutrional Interventions for the Adjunctive
Treatment of Schizophrenia, Nutrion Journal (13):93,
http://www.nutrionj.com/content/13/1/91