Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA NY. S P2002 Ab000 POST RADIKAL HISTEREKTOMY a/i


CERVIKS IIB DAN RETENSI URINE
Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan klinik Departemen
Maternitas

Disusun Oleh :

I Wayan Gede Saraswasta


1470300011111
PSIK A Kelompok 1

PROGRAM PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG
2016
MASA NIFAS
1. DEFINISI
Masa nifas atau masa yang disebut juga masa post partum atau puerperium
adalah dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan
kembali seperti keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama enam minggu
(Suherni, 2008).
Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta,
serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti
sebelum hamil dengan waktu kurang lebih dari enam minggu (Saleha, 2009).
Masa nifas (puerperium) adalah masa setelah keluarnya plasenta sampai
alat-alat reproduksi pulih seperti sebelum hamil dan secara normal masa nifas
berlangsung selama 6 minggu atau 40 hari (Ambarwati, 2010). Ada 4 masalah utama
yaitu: perdarahan post partum, infeksi masa nifas, tromboemboli, depresi pasca
persalinan. Hal yang sama diungkapkan oleh Saifuddin (2008), nifas adalah masa
yang dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan
kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas ini berlangsung selama kira-kira
6 minggu. Pada masa ini terjadi perubahan-perubahan fisiologi, yaitu:
a. Perubahan fisik
b. Involusi uterus dan pengeluaran lokhea
c. Laktasi atau pengeluaran air susu ibu
d. Perubahan sistem tubuh lainnya
e. Perubahan psikologi

2. KLASIFIKASI MASA NIFAS


Nifas dapat dibagi dalam 3 periode :
a. Puerperium dini yaitu masa pemulihan dimana dimana ibu telah diperbolehkan
berdiri dan berjalan-jalan.
b. Puerperium intermedial adalah pemulihan menyeluruh alat-alat genitalia yang
lamanya 6-8 minggu.
c. Remote puerperium adalah waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila ibu selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi.

3. PERUBAHAN YANG TERJADI PADA MASA NIFAS


a. Proses Adaptasi Fisik
Akhir dari persalinan, hampir seluruh sistem tubuh mengalami perubahan
secara progresif. Semua perubahan pada ibu postpartum perlu dimonitor oleh
perawat, untuk menghindari terjadinya komplikasi. Perubahan-perubahan tersebut
adalah sebagai berikut :
1) Sistem Respirasi
Penggunaan obat-obat anestesi umum selama proses pembedahan
menyebabkan perubahan kecepatan frekuensi, kedalaman dan pola respirasi.
Setelah operasi mungkin terjadi penumpukan secret pada jalan nafas yang
menyebabkan perubahan pola nafas, juga suara tambahan berupa rales. Hal
ini tidak ditemukan pada anesthesia spinal. Sedangkan peningkatan respirasi
mungkin terjadi sebagai respon klien terhadap adanya nyeri.
2) Sistem Cardiovaskuler
Selama masa kehamilan dan persalinan sistem cardiovaskuler banyak
mengalami perubahan antara lain :
a) Cardiak Output
Penurunan cardiac output menyebabkan bradikardi (50-70x/menit)
pada hari pertama setelah persalinan. Bila frekuensi denyut nadi cepat
mengindikasikan adanya perdarahan, kecemasan, kelelahan, infeksi
penyakit jantung, dapat terjadi hipotensi orthostatik dengan penurunan
tekanan systolic kurang lebih 20 mmHg yang merupakan kompensasi
pertahanan tubuh untuk menurunkan resistensi vaskuler sebagai akibat
peningkatan tekanan vena. Biasanya ini terjadi beberapa saat setelah
persalinan, dan saat pertama kali melakukan mobilisasi (ambulasi). Bila
terjadi penurunan secara drastic merupakan indikasi terjadinya perdarahan
uteri.
b) Volume dan Konsentrasi Darah
Pada 72 jam pertama setelah persalinan banyak kehilangan plasma
dari pada sel darah. Selama persalinan erithropoesis meningkat
menyebabkan kadar hemoglobin menurun dan nilainya akan kembali stabil
pada hari keempat postpartum. Jumlah leukosit meningkat pada early
postpartum hingga nilainya mencapai 30.000/mm3 tanpa adanya infeksi.
Apabila peningkatan lebih dari 30 % dalam 6 jam pertama, maka hal ini
mengindikasikan adanya infeksi.
Jumlah darah yang hilang selam persalinan sekitar 400-500 ml. Pada
klien postpartum dengan seksio sesarea kehilangan darah biasanya lebih
banyak dibanding persalinan normal (600-800 cc).
3) Sistem Gastrointestinal
Pada klien dengan postpartum seksio sesarea biasanya mengalami
penurunan tonus otot dan motilitas traktus gastrointestinal dalam beberapa
waktu. Pemulihan kontraksi dan motilitas otot tergantung atau dipengaruhi oleh
penggunaan analgetik dan anesthesia yang digunakan, serta mobilitas klien.
Sehingga berpengaruh pada pengosongan usus. Secara spontan mungkin
terhambat hingga 2-3 hari. Selain itu klien akan merasa pahit pada mulut karena
dipuasakan atau merasa mual karena pengaruh anesthesia umum. Sebagai
akibatnya klien akan mengalami gangguan pemenuhan asupan nutrisi serta
gangguan eliminasi BAB. Klien dengan spinal anesthesia tidak perlu puasa
sebelumnya.
4) Sistem Reproduksi
a) Payudara
Setelah persalinan behubung lepasnya plasenta dan berkurangnya
fungsi korpus luteum, maka estrogen dan progesterone berkurang, prolaktin
akan meningkat dalam darah yang merangsang sel-sel acini untuk
memproduksi ASI. Keadaan payudara pada dua hari pertama postpartum
sama dengan keadaan dalam masa kehamilan. Pada hari ketiga dan
keempat buah dada membesar, keras dan nyeri ditandai dengan sekresi air
susu sehingga akan terjadi proses laktasi. Laktasi merupakan suatu masa
dimana terjadi perubahan pada payudara ibu, sehingga mampu
memproduksi ASI dan merupakan suatu interaksi yang sangat kompleks
antara rangsangan mekanik, saraf dan berbagai macam hormon sehingga
ASI dapat keluar.
b) Involusi Uterus
Segera setelah plasenta lahir, uterus mengalami kontraksi dan
retraksi ototnya akan menjadi keras sehingga dapat menutup/menjepit
pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas inplantasi plasenta.
Proses involusi uterus terjadi secara progressive dan teratur yaitu 1-2 cm
setiap hari dari 24 jam pertama postpartum sampai akhir minggu pertama
saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Pada minggu keenam uterus
kembali normal seperti keadaan sebelum hamil kurang lebih 50-60 gram.
Pada seksio sesarea fundus uterus dapat diraba pada pinggir perut. Rasa
tidak nyaman karena kontraksi uterus bertambah dengan rasa nyeri akibat
luka sayat pada uterus terjadi setelah klien sadar dari narkose dari 24 jam
post operasi.
Isapan pada puting susu merupakan rangsangan psikis yang secara
reflektoris mengakibatkan oksitosin dikelurkan oleh hipofise. Produksi ASI
akan lebih banyak. Sebagai efek positif adalah involusi uteri akan lebih
sempurna (Mochtar, 1998)
c) Endometrium
Dalam dua hari postpartum desidua yang tertinggal dan
berdiferensiasi menjadi 2 lapisan, lapisan superficial menjadi nekrotik dan
terkelupas bersama lochea. Sedangkan lapisan basah yang bersebelahan
dengan miometrium yang berisi kelenjar tetap utuh dan merupakan sumber
pembentukan endometrium baru. Proses regenerasi endometrium
berlangsung cepat. Seluruhnya endometrium pulih kembali dalam minggu
kedua dan ketiga.
d) Cerviks, Vagina, Vulva, Perineum
Pada persalinan dengan seksio sesarea tidak terdapat peregangan
pada serviks dan vagina kecuali bila sebelumnya dilakukan partus
percobaan serviks akan mengalami peregangan dan kembali normal sama
seperti postpartum normal. Pada klien dengan seksio sesarea keadaan
perineum utuh tanpa luka.
e) Lochea
Lochea adalah secret yang berasal dari dalam rahim terutama luka
bekas inplantasi plasenta yang keluar melalui vagina. Lochea merupakan
pembersihan uterus setelah melahirkan yang secara mikroskopik terdiri dari
eritrosit, kelupasan desidua, sel-sel epitel dan bakteri yang dikeluarkan pada
awal masa nifas. Lochea dibagi berdasarkan warna dan kandungannya
yaitu:
 Lochea Rubra
Keluar pada hari pertama sampai hari ketiga postpartum. Warna merah
terdiri dari darah, sel-sel desidua, vernik caseosa, rambut lanugo, sisa
mekonium dan sisa-sisa selaput ketuban.
 Lochea Serosa
Mengandung sel darah tua, serum, leukosit dan sisa-sisa jaringan dengan
warna kuning kecoklatan, berlangsung hari keempat dan kesembilan
postpartum.
 Lochea Alba
Berwarna putih kekuningan, tidak mengandung darah, berisi sel leukosit,
sel-sel epitel dan mukosa serviks. Dimulai pada hari ke-10 sampai minggu
ke 2-6 postpartum (Cuningham, 1995).
Perdarahan lochea menunjukan keadaan normal. Jika pengeluaran
lochea berkepanjangan, pengeluaran lochea tertahan, lochea yang prulenta
(nanah), aras nyeri yang berlebihan, terdapat sisa plasenta yang merupakan
sumber perdarahan dan terjadi infeksi intra uterin.
5) Sistem Endokrin
Kaji kelenjar tiroid, adakah pembesaran pada kelenjar tiroid,
pembengkakan kelenjar getah bening dan kaji juga pengeluaran ASI dan
kontraksi uterus.
6) Sistem Perkemihan
Pada klien seksio sesarea terutama pada kandung kemih dapat terjadi
karena letak blass berdempetan dengan uterus, sehingga pengosongan
kandung kemih mutlak dilakukan dan biasanya dipasang folly kateter selama
pembedahan sampai 2 hari post operasi. Dengan demikian kmungkinan dapat
terjadi gangguan pola eliminasi BAK, sehingga klien perlu dilakukan bldder
training. Kaji warna urine yang keluar, jumlahnya dan baunya.
7) Sistem Persarafan
Sistem persarafan pada klien postpartum biasanya tidak mengalami
gangguan kecuali ada komplikasi akibat dari pemberian anestesia spinal atau
penusukan pada anesthesi epidural dapat menimbulkan komplikasi penurunan
sensasi pada ekstremitas bawah. Klien dengan anestesia spinal perlu tidur flat
selama 24 jam pertama.
8) Sistem Integumen
Cloasma/hyperpigmentasi kehamilan sering hilang setelah persalinan
akibat dari penurunan hormon progesterone dan melanotropin, namun pada
beberapa wanita ada yang tidak menghilang secara keseluruhan, kadang ada
yang hyperpigmentasi yang menetap. Pertumbuhan rambut yang berlebihan
terlihat selama kehamilan seringkali menghilang setelah persalinan, sebagai
akibat dari penurunan hormon progesteron yang mempengaruhi folikel rambut
sehingga rambut tampak rontok.
9) Sistem Muskuloskletal
Selama kehamilan otot abdomen teregang secara bertahap, hal ini
menyebabkan hilangnya kekenyalan otot pada masa postpartum, terutama
menurunnya tonus otot dinding dan adanya diastasis rektus abdominalis. Pada
dinding abdomen sering tampak lembek dan kendur dan terdapat luka/insisi
bekas operasi, secara berangsur akan kembali pulih, selain itu sensasi
ekstremitas bawah dapat berkurang selama 24 jam pertama setelah persalinan,
pada klien postpartum dengan seksio sesaria, hal ini terjadi bila dilakukan regio
anestesi dapat terjadi pula penurunan kekuatan otot yang disebabkan oleh
peregangan otot.
b. Proses Adaptasi Psikis
Menurut Suherni (2008), proses adaptasi psikologi pada seorang ibu
sudah dimulai sejak hamil. Wanita hamil akan mengalami perubahan psikologis
yang nyata sehingga memerlukan adaptasi. Perubahan mood seperti sering
menangis, lekas marah, dan sering sedih atau cepat berubah menjadi senang
merupakan manifestasi dari emosi yang labil. Proses adaptasi berbeda-beda
antara satu ibu dengan ibu yang lain. Perubahan peran seorang ibu memerlukan
adaptasi yang harus dijalani. Tanggung jawab bertambah dengan hadirnya bayi
yang baru lahir. Dorongan serta perhatian anggota keluarga lainnya merupakan
dukungan positif untuk ibu.
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan mengalami fase-
fase sebagai berikut :
1) Fase taking in
Fase taking in yaitu periode ketergantungan. Periode ini berlangsung
dari hari pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada fase ini, ibu
sedang berfokus terutama pada dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali
menceritakan proses persalinan yang dialaminya dari awal sampai akhir. Ibu
perlu bicara tentang dirinya sendiri. Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu
pada fase ini seperti rasa mules, nyeri pada jahitan, kurang tidur dan kelelahan
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu
cukup istirahat untuk mencegah gangguan psikologis yang mungkin dialami,
seperti mudah tersinggung, menangis. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi
pasif. Pada fase ini petugas kesehatan harus menggunakan pendekatan yang
empatik agar ibu dapat melewati fase ini dengan baik.
2) Fase taking hold
Fase taking hold yaitu periode yang berlangsung 3-10 hari setelah
melahirkan. Pada fase ini ibu timbul rasa khawatir akan ketidakmampuan dan
rasa tanggung jawabnya dalam merawat bayi. Ibu mempunyai perasaan sangat
sensitif sehingga mudah tersinggung dan gampang marah. Kita perlu berhati-
hati menjaga komunikasi dengan ibu. Dukungan moril sangat diperlukan untuk
menumbuhkan kepercayaan diri ibu. Bagi petugas kesehatan pada fase ini
merupakan kesempatan yang baik untuk memberikan berbagai penyuluhan
dan pendidikan kesehatan yang diperlukan ibu nifas. Tugas kita adalah
mengajarkan cara merawat bayi, cara menyusu yang benar, cara merawat luka
jahitan, senam nifas, memberikan pendidikan kesehatan yang dibutuhkan ibu
seperti gizi, istirahat, kebersihan diri dan lain-lain.
3) Fase letting go
Fase letting go yaitu periode menerima tanggung jawab akan peran
barunya. Fase ini berlangsung sepuluh hari setelah melahirkan. Ibu sudah
mulai menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Ibu memahami
bahwa bayi butuh disusui sehingga siap terjaga untuk memenuhi kebutuhan
bayinya. Keinginan untuk merawat diri dan bayinya sudah meningkat pada fase
ini. Ibu akan lebih percaya diri dalam menjalani peran barunya. Pendidikan
kesehatan yang kita berikan pada fase sebelumnya akan sangat berguna bagi
ibu. Ibu lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan diri dan bayinya. Dukungan
suami dan keluarga masih terus diperlukan oleh ibu. Suami dan keluarga dapat
membantu merawat bayi, mengerjakan urusan rumah tangga sehingga ibu
tidak telalu terbebani. Ibu memerlukan istirahat yang cukup, sehingga
mendapatkan kondisi fisik yang bagus untuk dapat merawat bayinya.

4. Kebijakan Program Nasional Masa Nifas


Paling sedikit empat kali kunjungan masa nifas dilakukan untuk mencegah,
mendeteksi, dan menangani masalah yang terjadi
Kunjungan Waktu Tujuan
I 6-8 jam 1. Mencegah perdarahan masa nifas akibat atonia uteri
setelah 2. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan dan rujuk
persalinan jika perdarahan berlanjut
3. Member konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga
mengenai cara mencegah perdarahan masa nifas akibat atonia
uteri
4. Pemberian ASI awal
5. Melakukan hubungan antara ibu dan bayi baru lahir
6. Menjaga bayi tetap sehat dengan mencegah hipotermia
7. Petugas kesehatan yang menolong persalinan harus
mendampingi ibu dan bayi lahir selama 2 jam pertama setelah
kelahiran/sampai ibu dan bayi stabil
II 6 hari setelah 1. Memastikan involusi uterus berjalan normal, uterus
persalinan berkontraksi, fundus di bawah umbilicus, tidak ada perdaraha
abnormal, tidak ada bau
2. Menilai adanya demam
3. Memastikan agar ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan
istirahat
4. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak
memperlihatkan tanda penyulit
5. Member konseling apda ibu tentang asuhan pada bayi,
perawatan tali pusat, menjaga bayi tetap hangat, dan
perawtaan bayi sehari-hari
III 2 minggu 1. Sama dengan 6 hari setelah persalinan
setelah
persalinan
IV 6 minggu 1. Mengkaji tentaang kemungkinan penyulit pada ibu
setelah 2. Member konseling keluarga berencana
persalinan

5. Tanda Bahaya Masa Nifas


 Demam
Suhu tubuh ibu yang baru saja melahirkan biasanya sedikit lebih tinggi
dibanding suhu normal, khususnya jika cuaca sangat panas, namun jika suhu
ibu lebih dari 380C dalam 2 hari lebih itu kemungkinan terjadi infeksi.
Penanganan awal yaitu (Prawirohardjo, 2002) :
a. Istirahat, berbaring
b. Perbanyak minum
c. Kompres atau kipas untuk menurunkan suhu
d. Jika ada syok, segera beri pengobatan, sekalipun tidak jelas gejala syok,
harus waspada untuk menilai berkala karena kondisi ini dapat memburuk
dengan cepat.
 Perdarahan Aktif
Setelah melahirkan, normal bagi wanita untuk mengalami perdarahan
yang sama banyaknya seperti ketika menstruasi. Darah yang keluar
seharusnya tampak seperti darah menstruasi, berwarna tua dan gelap. Darah
merembes sedikit-sedikit saat rahim berkontraksi atau ketika ibu batuk,
bergerak atau berdiri.
Perdarahan setelah persalinan dibagi menjadi 2, yaitu sebagai berikut
:
a. Perdarahan primer, yaitu terjadinya dalam 24 jam pertama pasca
persalinan
b. Perdarahan sekunder, yaitu terjadinya setelah 24 jam pertama pasca
persalinan
Perdarahan yang perlahan dan berlanjut atau perdarahan tiba-tiba
merupakan suatu kegawatdaruratan, segeralah bawa ibu ke fasilitas
kesehatan.
 Keluar banyak bekuan darah
Jika ibu mengalami perdarahan lebih dari gumpalan dalam satu jam,
ibu bisa mengalami perdarahan yang hebat. Ingatkan ibu untuk menggosok
rahimnya untuk membantu berkontraksi dan segera bawa ibu ke rumah sakit.
 Bau busuk dari vagina
Bau busuk dari vagina dapat disebabkan karena infeksi vagina.
Tanda-tanda awal adalah :
a. Ibu akan merasa sakit di daerah vagina,
b. Keluar nanah dan bau tidak sedap,
c. Kulit vagina yang membengkak dan memerah.
d. Keluarnya cairan dari vagina
e. Disertai dengan demam hingga 380 C
Penanganan awalnya yaitu jagalah selalu kebersihan vagina dengan
baik, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan anjurkan ibu untuk
memeriksakan diri ke tenaga kesehatan.
 Pusing yang terus-menerus
 Lemas luar biasa
Lemas yang berlebihan juga merupakan tanda-tanda bahaya, di mana
keadaan lemas disebabkan oleh kurangnya istirahat dan kurangnya asupan
kalori sehingga ibu kelihatan pucat, tekanan darah rendah. Kurang istirahat
akan mempengaruhi produksi ASI.
Penanganan awalnya yaitu :
a. Makan dengan diit berimbang untuk mendapatkan protein, mineral dan
vitamin yang cukup.
b. Istirahat yang cukup untuk mencegah kelelahan yang berlebihan.
 Keadaan Abnormal Pada Payudara
Beberapa keadaan abnormal yang mungkin terjadi adalah:
a. Bendungan ASI
Disebabkan oleh penyumbatan pada saluran ASI. Keluhan mamae
bengkak, keras, dan terasa panas sampai suhu badan meningkat.
b. Mastitis dan Abses Mamae
Infeksi ini menimbulkan demam, nyeri lokal pada mamae, pemadatan
mamae dan terjadi perubahan warna kulit mamae.
 Nyeri panggul atau perut yang lebih hebat dari nyeri kontraksi biasa.

6. Manajemen Laktasi
1. Pengertian
a. Manajemen laktasi merupakan segala daya upaya yang dilakukan
untuk membantu ibu mencapai keberhasilan dalam menyusui bayinya.
Usaha ini dilakukan terhadap ibu dalam 3 tahap, yaitu pada masa
kehamilan (antenatal), sewaktu ibu dalam persalinan sampai keluar
rumah sakit (perinatal), dan pada masa menyusui selanjutnya sampai
anak berumur 2 tahun (postnatal) (Perinasia, 2007).
b. Manajemen laktasi adalah suatu upaya yang dilakukan oleh ibu, ayah,
dan keluarga untuk menunjang keberhasilan menyusui (Prasetyono,
2009).
2. Langkah-langkah Kegiatan Manajemen Laktasi
a. Masa Kehamilan (Antenatal).
1) Memberikan komunikasi, informasi dan edukasi mengenai
manfaat dan keunggulan ASI, manfaat menyusui bagi ibu, bayi
dan keluarga serta cara pelaksanaan management laktasi.
2) Menyakinkan ibu hamil agar ibu mau dan mampu menyusui
bayinya.
3) Melakukan pemeriksaan kesehatan, kehamilan dan payudara. Di
samping itu, perlu pula dipantau kenaikan berat badan ibu hamil
selama kehamilan.
4) Memperhatikan kecukupan gizi dalam makanan sehari-hari
termasuk mencegah kekurangan zat besi. Jumlah makanan
sehari-hari perlu ditambah mulai kehamilan trimester ke-2 (minggu
ke 13-26) menjadi 1-2 kali porsi dari jumlah makanan pada saat
sebelum hamil untuk kebutuhan gizi ibu hamil.
5) Menciptakan suasana keluarga yang menyenangkan. Penting
pula perhatian keluarga terutama suami kepada istri yang sedang
hamil untuk memberikan dukungan dan membesarkan hatinya
bahwa kehamilan merupakan anugerah dan tugas yang mulia.
b. Saat segera setelah bayi lahir.
1) Dalam waktu 30 menit setelah melahirkan, ibu dibantu dan
dimotivasi agar mulai kontak dengan bayi (skin to skin contact) dan
mulai menyusui bayi. Karena saat ini bayi dalam keadaan paling
peka terhadap rangsangan, selanjutnya bayi akan mencari
payudara ibu secara naluriah.
2) Membantu kontak langsung ibu-bayi sedini mungkin untuk
memberikan rasa aman dan kehangatan.
c. Masa Neonatus
1) Bayi hanya diberi ASI saja atau ASI Eksklusif tanpa diberi minum
apapun.
2) Ibu selalu dekat dengan bayi atau di rawat gabung.
3) Menyusui tanpa dijadwal atau setiap kali bayi meminta (on
demand).
4) Melaksanakan cara menyusui (meletakan dan melekatkan) yang
baik dan benar.
5) Bila bayi terpaksa dipisah dari ibu karena indikasi medik, bayi
harus tetap mendapat ASI dengan cara memerah ASI untuk
mempertahankan agar produksi ASI tetap lancar.
6) Ibu nifas diberi kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI) dalam
waktu kurang dari 30 hari setelah melahirkan.
d. Masa menyusui selanjutnya (post neonatal).
1) Menyusui dilanjutkan secara eksklusif selama 6 bulan pertama
usia bayi, yaitu hanya memberikan ASI saja tanpa makanan atau
minuman lainnya.
2) Memperhatikan kecukupan gizi dalam makanan ibu menyusui
sehari-hari. Ibu menyusui perlu makan 1½ kali lebih banyak dari
biasanya (4-6 piring) dan minum minimal 10 gelas sehari.
3) Cukup istirahat (tidur siang/berbaring 1-2 jam), menjaga
ketenangan pikiran dan menghindari kelelahan fisik yang
berlebihan agar produksi ASI tidak terhambat.
4) Pengertian dan dukungan keluarga terutama suami penting untuk
menunjang keberhasilan menyusui.
5) Mengatasi bila ada masalah menyusui (payudara bengkak, bayi
tidak mau menyusu, puting lecet, dll ).
6) Memperhatikan kecukupan gizi makanan bayi, terutama setelah
bayi berumur 6 bulan; selain ASI, berikan MP-ASI yang cukup,
baik kualitas maupun kuantitasnya secara bertahap.
3. Manfaat Pemberian ASI
a. Manfaat ASI bagi bayi
1) Komposisi sesuai kebutuhan
2) Mudah dicerna dan diserap, mengandung enzim pencernaan
(maka sering merasa lapar)
3) Mengandung zat penangkal penyakit
4) Selalu berada dalam suhu yang tepat
5) Tidak menyebabkan alergi
6) Mencegah maloklusi / kerusakan gigi
7) Mengoptimalkan perkembangan
8) Meningkatkan hubungan ibu dan bayi
9) Menjadi orang yang percaya diri
10) Mengurangi kemungkinan berbagai penyakit kronik di kemudian
hari (DM, jantung, penyakit keganasan)
b. Manfaat ASI bagi ibu
1) Mencegah perdarahan pasca persalinan
2) Mempercepat involusi uterus
3) Mengurangi anemia
4) Mengurangi resiko Ca Ovarium & payudara
5) Memberikan rasa dibutuhkan
6) Mempercepat kembali ke berat semula
7) Sebagai metode KB sementara
Syarat :
a) Bayi berusia belum 6 bulan dan
b) Ibu belum haid kembali dan
c) Bayi diberi ASI eksklusif
c. Manfaat ASI bagi Keluarga
1) Menghemat biaya
2) Anak sehat, jarang sakit
3) Mudah pemberiannya
d. Manfaat ASI bagi Negara
1) Mengurangi devisa dalam pemberian susu formula
ASI dapat dianggap sebagai kekayaan nasional. Dengan
memberikan ASI maka dapat menghemat devisa sebesar Rp 8,6
milyar/ tahun yang seharusnya dipakai membeli susu formula.
2) Mengurangi subsidi untuk rumah sakit
Rawat gabung akan memperpendek lama perawatan ibu dan bayi
di rumah sakit sehingga mengurangi subsidi/biaya rumah sakit.
Selain itu, mengurangi infeksi nosokomial, mengurangi
komplikasi persalinan dan mengurangi biaya perawatan anak
sakit di rumah sakit.
3) Mengurangi morbiditas & mortalitas anak
Kandungan ASI yang berupa zat protektif dan nutrien di dalam ASI
yang sesuai dengan kebutuhan bayi, menjamin status gizi bayi
menjadi baik serta kesakitan dan kematian anak menurun.
4) Menghasilkan SDM yang bermutu
Anak yang mendapatkan ASI, tumbuh kembang secara optimal
sehingga akan menjamin kualitas generasi penerus bangsa.
4. Jenis-jenis ASI
Air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi yang paling baik dan tepat
untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi bayi (Soetjiningsih,
1997). Menurut waktu pengeluarannya, ASI pada masa laktasi dibedakan
menjadi tiga jenis yaitu kolostrum, Air Susu Peralihan dan Air Susu Matur:
a. ASI Kolostrum
Kolostrum merupakan cairan yang pertama disekresi oleh
kelenjar payudara dari hari pertama sampai hari keempat (Purwanti,
2004). Cairan sifatnya kental dan berwarna kekuningan karena
mengandung beta karoten dan dibutuhkan oleh bayi baru lahir (Bobak,
2000). Kolostrum berwarna kuning keemasan disebabkan oleh
tingginya komposisi lemak dan sel-sel hidup. Kolostrum merupakan
pencahar (pembersih usus bayi) yang membersihkan mekonium
sehingga mukosa usus bayi yang baru lahir segera bersih dan siap
menerima ASI (Bobak, 2000). Hal ini menyebabkan bayi yang
mendapat ASI pada minggu pertama sering defekasi dan feces
berwarna hitam.
Kandungan tertinggi dalam kolostrum adalah antibodi yang siap
melindungi bayi ketika kondisi bayi masih sangat lemah. Kandungan
protein dalam kolostrum lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan
protein dalam susu matur. Jenis protein globulin membuat konsistensi
Kolostrum menjadi pekat ataupun padat sehingga bayi lebih lama
merasa kenyang meskipun hanya mendapat sedikit kolostrum.
Kandungan hidrat arang dalam kolostrum lebih rendah
dibanding ASI matur. Ini disebabkan oleh aktivitas bayi pada tiga hari
pertama masih sedikit dan tidak terlalu banyak memerlukan kalori. Total
kalori dalam kolostrum hanya 58 kal/100 ml kolostrum. Mineral
terutama natrium, kalium, dan klorida dalam kolostrum lebih tinggi
dibanding susu matur. Vitamin yang larut di air lebih sedikit. Lemak
kolostrum lebih banyak mengandung kolestrol dan lisotin sehingga bayi
sejak dini sudah terlatih mengolah kolestrol. Kolestrol ini di dalam tubuh
bayi membangun enzim yang mencerna kolestrol. Karena adanya
tripsin inhibitor, hidrolisis protein di dalam usus bayi menjadi kurang
sempurna. Hal ini sangat menguntungkan karena dapt melindungi bayi.
Bila ada protein asing yang masuk akan terhambat sehingga tidak
menimbulkan alergi. Kekebalan bayi bertambah dengan volume
kolostrum yang meningkat, akibat isapan bayi baru lahir secara terus
menerus. Hal ini yang mengharuskan bayi segera setelah lahir
diberikan kepada ibunya untuk ditempelkan ke payudara, agar bayi
dapat sesering mungkin menyusui.
b. ASI Peralihan
ASI peralihan diproduksi pada hari keempat sampai hari
kesepuluh. Komposisi ASI Peralihan memiliki protein makin rendah,
sedangkan lemak dan hidrat arang makin tinggi, dan jumlah volume
ASI semakin meningkat. Hal ini merupakan pemenuhan terhadap
aktvitas bayi yang mulai aktif karena bayi sudah beradaptasi terhadap
lingkungan. Pada masa ini, pengeluaran ASI mulai stabil begitu juga
kondisi fisik ibu. Keluhan nyeri pada payudara sudah berkurang. Oleh
karena itu, yang perlu ditingkatkan adalah kandungan protein dan
kalsium dalam makanan ibu.
c. ASI Matur
Air susu matur disekresi dari hari kesepuluh sampai
seterusnya. Air Susu Matur merupakan nutrisi yang terus berubah
disesuaikan dengan perkembangan bayi sampai berumur 6 bulan. Air
Susu Matur merupakan cairan yang berwarna kekuning-kuningan
yang diakibatkan warna garam dan kalsium caseinat, riboflavin
dan karoten. Air Susu Matur ini mengandung antibodi, enzim, hormon
dan memiliki sifat biokimia yang khas yaitu kapasitas buffer yang
rendah dan adanya faktor bifidus.
SECTIO CAESARIA
1. Pengertian Sectio Caesaria
Sectio Caesarea (SC) adalah melahirkan janin melalui insisi pada dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histeretomi). Indikasi SC antara lain :
disproporsi janin-panggul, gawat janin, plasenta previa, riwayat SC, kelainan letak,
partus tak maju, kehamilan dengan resiko tinggi, pre-eklampsia dan hipertensi
(Cunningham, 2006).
Sectio Caesarea menurut (Wikjosastro, 2000) adalah suatu persalinan buatan
dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding perut dan dinding rahim
dengan syarat dinding dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500 gram.
Tindakan operasi caesar ini hanya dilakukan jika terjadi kemacetan pada
persalinan normal atau jika ada masalah pada proses persalinan yang dapat
mengancam nyawa ibu dan janin. Keadaan yang memerlukan operasi caesar, misalnya
gawat janin, jalan lahir tertutup plasenta (plasenta previa totalis), persalinan meacet,
ibu mengalami hipertensi (preeklamsia), bayi dalam posisi sungsang atau melintang,
serta terjadi pendarahan sebelum proses persalinan (Bobak, 2004).
Tujuan SC:
Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya
perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. Sectio
caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika
perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio
caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan
pada placenta previa walaupun anak sudah mati.

2. Klasifikasi Operasi Sectio Caesaria


Menurut Mochtar (2008), ada 3 jenis sectio caesaria :
a. Abdomen (Sectio caesaria abdominalis)
1) Sectio caesaria transperitonealis
SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri).Dilakukan
dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
 Mengeluarkan janin dengan cepat
 Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
 Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan
 Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik
 Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan
2) SC ismika atau profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah rahim)
Dilakukan dengan melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah
rahim (low servical transversal) kira-kira 10 cm.
Kelebihan :
 Penjahitan luka lebih mudah
 Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
 Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi
uterus ke rongga peritoneum
 Perdarahan tidak begitu banyak
 Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan :
 Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan
uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak
 Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi
b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian
tidak membuka cavum abdominal.
c. Vagina (section caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan sebagai berikut
:
 Sayatan memanjang ( longitudinal ) menurut kroning
 Sayatan melintang ( tranfersal ) menurut Kerr
 Sayatan huruf T ( T- incition )
Sectio Caesaria ekstra peritonealis dahulu dilakukan untuk mengurangi bahaya
infeksi nifas, dengan kemajuan terhadap terapi infeksi. Teknik ini tidak lagi
dilakukan krena tekniknya sulit, juga sering terjadi ruptur peritoneum yang tidak
dapat dihidarkan.
Menurut Farrer (2001), tipe – tipe sectio caesaria adalah :
a. Segmen bawah : insisi melintang
Pada bagian segmen bawah uterus dibuat insisi melintang yangkecil, luka ini
dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan danberhenti didekat daerah
pembuluh-pembuluh darah uterus.Kepalajanin yang pada sebagian besar kasus
terletak dibalik insisidiekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya
dankemudian plasenta serta selaput ketuban.
b. Segmen Bawah : Insisi Membujur
Cara membuka abdomen dan menyingkapkan uterus sama sepertipada insisi
melintang. Insisi membujur dibuat dengan skapel dandilebarkan dengan gunting
tumpul untuk menghindari cidera padabayi.
c. Sectio Caesaria klasik
Insisi longitudinal digaris tengah dibuat dengan skapel ke dalamdinding anterior
uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawahdengan gunting berujung
tumpul.Diperlukan luka insisi yanglebar karena bayi dilahirkan dengan
presentasi bokong dahulu,janin atau plasenta dikeluarkan dan uterus ditutup
dengan jahitan tiga lapis.
d. Sectio Caesaria Ekstra Peritoneal
Pembedahan ekstra peritoneal dikerjakan untuk menghindariperlunya
histerektomi pada kasus-kasus yang mengalmi infeksiluas dengan mencegah
peritonitis generalisasi yang sering bersifatfatal.

3. Indikasi Sectio Caesarea


Para ahli kandungan atau para penyaji perawatan yang lain menganjurkan sectio
caesareaapabila kelahiran melalui vagina mungkin membawa resiko pada ibu dan
janin. Indikasi untuk sectsio caesareaantara lain meliputi:
 Indikasi Medis
Ada 3 faktor penentu dalam proses persalinan yaitu :
a. Power
Yang memungkinkan dilakukan operasi caesar, misalnya daya mengejan
lemah, ibu berpenyakit jantung atau penyakit menahun lain yang
mempengaruhi tenaga.
a. Passanger
Diantaranya, anak terlalu besar, anak “mahal” dengan kelainan letak lintang,
primi gravida diatas 35 tahun dengan letak sungsang, anak tertekan terlalu
lama pada pintu atas panggul, dan anak menderita fetal distress syndrome
(denyut jantung janin kacau dan melemah).
b. Passage
Kelainan ini merupakan panggul sempit, trauma persalinan serius pada jalan
lahir atau pada anak, adanya infeksi pada jalan lahir yang diduga bisa menular
ke anak, umpamanya herpes kelamin (herpes genitalis), condyloma lota
(kondiloma sifilitik yang lebar dan pipih), condyloma acuminata (penyakit
infeksi yang menimbulkan massa mirip kembang kol di kulit luar kelamin
wanita), hepatitis B dan hepatitis C. (Dewi Y, 2007, hal. 11-12)
 Indikasi Ibu
a. Usia
Ibu yang melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki
resiko melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tahun
ke atas. Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang
beresiko,misalnya tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan
preeklamsia. Eklampsia (keracunan kehamilan) dapat menyebabkan ibu
kejang sehingga dokter memutuskan persalinan dengan sectio caesarea.
b. Tulang Panggul
Cephalopelvic diproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
melahirkan secara alami. Tulang panggul sangat menentukan mulus tidaknya
proses persalinan. Oleh karena pengul sempit, kemungkinan kepala tertekan
di pintu atas panggul lebih besar, maka dalam hal ini serviks uteri kurang
mengalami tekanan kepala. Hal ini dapat mengakibatkan inersia uteri serta
lambatnya pembukaan serviks ( Prawirohardjo, 2009 ).

c. Persalinan Sebelumnya dengan sectio caesarea


Sebenarnya, persalinan melalui bedah caesar tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak.Apabila memang ada
indikasi yang mengharuskan dilakukanya tindakan pembedahan, seperti bayi
terlalu besar, panggul terlalu sempit, atau jalan lahir yang tidak mau membuka,
operasi bisa saja dilakukan.
d. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga
tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan
pada jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernafas.
e. Kelainan Kontraksi Rahim
Jika kontraksi rahim lemah dan tidak terkoordinasi (inkordinate uterine action)
atau tidak elastisnya leher rahim sehingga tidak dapat melebar pada proses
persalinan, menyebabkan kepala bayi tidak terdorong, tidak dapat melewati
jalan lahir dengan lancar.
f. Ketuban Pecah Dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan.Kondisi ini membuat air ketuban merembes ke luar
sehingga tinggal sedikit atau habis.Air ketuban (amnion) adalah cairan yang
mengelilingi janin dalam rahim.
g. Tumor dapat merupakan rintangan bagi lahirnya janin pervaginam. Tumor
yang dapat dijumpai berupa mioma uteri, tumor ovarium, dan kanker rahim.
Adanya tumor bisa juga menyebabkan resiko persalinan pervaginam menjadi
lebih besar. Tergantung dari jenis dan besarnya tumor, perlu dipertimbangkan
apakah persalinan dapat berlangsung melalui vagina atau harus dilakukan
tindakan sectio caesarea. Pada kasus mioma uteri, dapat bertambah besar
karena pengaruh hormon estrogen yang meningkat dalam kehamilan. Dapat
pula terjadi gangguan sirkulasi dan menyebabkan perdarahan. Mioma
subserosum yang bertangkai dapat terjadi torsi atau terpelintir sehingga
menyebabkan rasa nyeri hebat pada ibu hamil (abdomen akut). Selain itu,
distosia tumor juga dapat menghalangi jalan lahir. Tumor ovarium mempunyai
arti obstetrik yang lebih penting. Ovarium merupakan tempat yang paling
banyak ditumbuhi tumor. Tumor yang besar dapat menghambat pertumbuhan
janin sehingga menyebabkan abortus dan bayi prematur, selain itu juga dapat
terjadi torsi. Tumor seperti ini harus diangkat pada usia kehamilan 16-20
minggu. Adapun kanker rahim, terbagi menjadi dua; kanker leher rahim dan
kanker korpus rahim. Pengaruh kanker rahim pada persalinan antara lain
dapat menyebabkan abortus, menghambat pertumbuhan janin, serta
perdarahan dan infeksi (Mochtar,2008).
h. Rasa Takut Kesakitan
Umumnya, seorang wanita yang melahirkan secara alami akan mengalami
proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit di pinggang dan
pangkal paha yang semakin kuat dan “menggigit”. Kondisi tersebut karena
keadaan yang pernah atau baru melahirkan merasa ketakutan, khawatir, dan
cemas menjalaninya.Hal ini bisa karena alasan secara psikologis tidak tahan
melahirkan dengan sakit. Kecemasan yang berlebihan juga akan mengambat
proses persalinan alami yang berlangsung. (Kasdu, 2003, hal. 21-26)
 Indikasi Janin
a. Ancaman Gawat Janin (fetal distress)
Detak jantung janin melambat, normalnya detak jantung janin berkisar 120-
160. Namun dengan CTG (cardiotography) detak jantung janin melemah,
lakukan segera sectio caesareasegara untuk menyelematkan janin
(Prawirohardjo, 2009). .
b. Bayi Besar (makrosemia)
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby) menyebabkan bayi
sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan
disebabkan sang ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Bayi yang
lahir dengan ukuran yang besar dapat mengalami kemungkinan komplikasi
persalinan 4 kali lebih besar daripada bayi dengan ukuran normal (Oxorn,
2003).
c. Letak Sungsang
Letak yang demikian dapat menyebabkan poros janin tidak sesuai dengan
arah jalan lahir. Pada keadaan ini, letak kepala pada posisi yang satu dan
bokong pada posisi yang lain.
d. Faktor Plasenta
 Plasenta previa
Posisi plasenta terletak dibawah rahim dan menutupi sebagian atau selruh
jalan lahir.
 Plasenta lepas (Solution placenta)
Kondisi ini merupakan keadaan plasenta yang lepas lebih cepat dari
dinding rahim sebelum waktunya. Persalinan dengan operasi dilakukan
untuk menolong janin segera lahir sebelum ia mengalami kekurangan
oksigen atau keracunan air ketuban.
 Plasenta accreta
Merupakan keadaan menempelnya plasenta di otot rahim.Pada umumnya
dialami ibu yang mengalami persalinan yang berulang kali, ibu berusia
rawan untuk hamil (di atas 35 tahun), dan ibu yang pernah operasi
(operasinya meninggalkan bekas yang menyebabkan menempelnya
plasenta.
e. Kelainan Tali Pusat
- prolapsus tali pusat (tali pusat menumbung), keadaan penyembulan
sebagian atau seluruh tali pusat. Pada keadaan ini, tali pusat berada di
depan atau di samping atau tali pusat sudah berada di jalan lahir sebelum
bayi.
- Terlilit tali pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin tidak selalu berbahaya. Selama tali pusat
tidak terjepit atau terpelintir maka aliran oksigen dan nutrisi dari plasenta
ke tubuh janin tetap aman.(Kasdu, 2003).
Kontra indikasi
Dalam praktek kesehatan modern, tidak ada kontra indikasi tegas terhadap
section caesaria, namun demikian section caesaria jarang dilakukan bila keadaan-
keadaan sebagai berikut (Cunningham, 1995):
a. Janin mati
b. Terlalu prenatur untuk bertahan hidup
c. Ada infeksi pada dinding abdomen, syok
d. Anemia berat yang belum diatasi
e. Kelainan Kongenital
f. Tidak ada / kurang sarana / fasilitas / kemampuan

4. Etiologi & Faktor Risiko


Faktor resiko yang dapat mengindikasikan operasi SC:
1. Umur
Faktor umur ibu mempunyai pengaruh terhadap kehamilan dan persalinan.Ibu
yang berumur dibawah 20 tahun atau diatas 35 tahun sangat berisiko untuk
persalinan patologis sebagai indikasi persalinan sectio caesaria. Kehamilan ibu
dengan usia dibawah 20 tahun berpengaruh kepada kematangan fisik dan mental
dalam menghadapi persalinan. Rahim dan panggul ibu seringkali belum tumbuh
mencapai ukuran dewasa.Akibatnya diragukan kesehatan dan keselamatan janin
dalam kandungan.Selain itu mental ibu belum cukup dewasa sehingga sangat
meragukan pada ketrampilan perawatan diri ibu dan bayinya.
Bahaya yang dapat terjadi antara lain: bayi lahir belum cukup bulan, perdarahan
dapat terjadi sebelum bayi lahir ataupun setelah bayi lahir. Kebutuhan pertolongan
medik, bila terdapat kelainan yaitu; 1) janin tidak dapat lahir normal, biasa dengan
tenaga ibu sendiri; 2) Persalinan membutuhkan tindakan kemungkinan operasi
sectio caesaria; 3) Bayi yang lahir kurang bulan membutuhkan perawatan khusus.
Sebaliknya usia ibu diatas 35 tahun atau lebih, dimana pada usia tersebut
terjadi perubahan pada jaringan alat – alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur
lagi. Selain itu ada kecenderungan didapatkan penyakit lain dalam tubuh ibu.
Bahaya yang dapat terjadi pada kelompok ini adalah;1) Tekanan darah tinggi dan
pre-eklampsi; 2) Ketuban pecah dini yaitu ketuban pecah sebelum persalinan
dimulai; 3) Persalinan tidak lancar atau macet; 4) Perdarahan setelah bayi lahir.
2. Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik yang hidup
maupun mati.Paritas digolongkan menjadi 3 bagian yaitu; 1) golongan primipara
adalah ibu dengan paritas 1; 2) golongan multipara adalah ibu dengan paritas 2 – 4;
3) golongan grande multipara yaitu paritas lebih dari 4. (Wiknjosastro, 2005)
Paritas berpengaruh pada ketahanan uterus.Pada Grande Multipara yaitu ibu
dengan kehamilan / melahirkan 4 kali atau lebih merupakan risiko persalinan
patologis. Keadaan kesehatan yang sering ditemukan pada ibu grande multipara
adalah; 1) Kesehatan terganggu karena anemia dan kurang gizi; 2) Kekendoran
pada dinding perut; 3) tampak ibu dengan perut menggantung; 4) Kekendoran
dinding rahim. (Rochjati 2003). Bahaya yang dapat terjadi pada kelompok ini adalah:
1) kelainan letak dan persalinan letak lintang; 2) Robekan rahim pada kelainan letak
lintang; 3) Persalinan Lama; 4) Perdarahan pasca persalinan (Rochjati 2003).
3. Jarak Antar Kelahiran
Kehamilan sebelum 2 tahun sering mengalami komplikasi dalam
persalinan.Kesehatan fisik dan rahim ibu masih butuh cukup istirahat.Ada
kemungkinan ibu masih menyusui.Selain itu anak tersebut masih butuh asuhan dan
perhatian orang tuanya. Bahaya yang mungkin terjadi bagi ibu antara lain ; 1)
Perdarahan setelah bayi lahir karena kondisi ibu masih lemah. 2) Bayi prematur /
lahir belum cukup bulan sebelum 37 minggu. 3) Bayi dengan berat badan lahir
rendah / BBLR < 2500 gram. Kebutuhan pertolongan medik yang dilakukan adalah
; 1) perawatan kehamilan yang teratur. 2) pertolongan persalinan kemungkinan
dengan tindakan.
4. Riwayat Komplikasi
Riwayat persalinan ibu dengan persalinan tidak normal merupakan risiko tinggi
untuk persalinan berikutnya. Riwayat persalinan tidak normal seperti perdarahan,
abortus, kematian janin dalam kandungan, preeklampsi/eklampsi, ketuban pecah
dini, kelainan letak pada hamil tua dan riwayat sectio caesaria sebelumnya
merupakan keadaan yang perlu diwaspadai, karena kemungkinan ibu akan
mendapatkan kesulitan dalam kehamilan dan saat proses persalinan (Pincus, 1998)

5. Manifestasi klinis
Persalinan dengan Sectio Caesaria , memerlukan perawatan yanglebih
koprehensif yaitu: perawatan post operatif dan perawatan postpartum.
a. Nyeri akibat luka pembedahan
b. Adanya luka insisi pada bagian abdomen
c. Fundus uterus kontraksi kuat dan terletak di umbilicus
d. Aliran lokhea sedang dan bebas bekuan yang berlebihan (lokheatidak banyak)
e. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800ml
f. Emosi labil / perubahan emosional dengan mengekspresikanketidakmampuan
menghadapi situasi baru
g. Terpasang kateter urinarius
h. Auskultasi bising usus tidak terdengar atau samar
i. Pengaruh anestesi dapat menimbulkan mual dan muntah
j. Status pulmonary bunyi paru jelas dan vesikuler
k. Pada kelahiran secara SC tidak direncanakan maka biasanyakurang paham
prosedur
l. Bonding dan Attachment pada anak yang baru dilahirkan

6. Patofisiologi
(terlampir)

7. Pemeriksaan diagnostic
 Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
 Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
 Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
 Urinalisis / kultur urine
 Pemeriksaan elektrolit

8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien Post SC diantaranya:
a. Penatalaksanaan secara medis
 Analgesik diberikan setiap 3 – 4 jam atau bila diperlukan sepertiAsam
Mefenamat, Ketorolak, Tramadol.
 Pemberian tranfusi darah bila terjadi perdarahan partum yang hebat.
 Pemberian antibiotik seperti Cefotaxim, Ceftriaxon dan lain-lain
 Pemberian cairan parenteral seperti Ringer Laktat dan NaCl.
 Kateterisasi
 Pengaturan Diit
Makanan dan minuman diberikan setelah klien Flatus, diilakukan
secarabertahap dari minum air putih sedikit tapi sering. Makanan yang
diberikan berupa bubur saring, selanjutnya bubur, nasi tim dan makananbiasa.
b. Penatalaksanaan secara keperawatan
 Periksa dan catat tanda – tanda vital setiap 15 menit pada 1 jampertama dan
30 menit pada 4 jam kemudian.
 Perdarahan dan urin harus dipantau secara ketat
 Mobilisasi
Pada hari pertama setelah operasi penderita harus turun dari tempattidur
dengan dibantu paling sedikit 2 kali.Pada hari keduapenderitasudah dapat
berjalan ke kamar mandi dengan bantuan.
 Pembalutan luka ( Wound Dressing / wound care)
 Pemulangan
Jika tidak terdapat komplikasi penderita dapat dipulangkan padahari kelima
setelah operasi

9. Jenis-jenis Anestesi
Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan kesadaran disertai hilangnya
rasa sakit yang sifatnya sementara.Anestesi pada setiap keadaan membawa
problema-problema tersendiri sesuai dengan kondisi penderita, sebab obat-obat
anestesi bersifat depresi pada organ-organ vital.
1. Aspek farmakologik anestesi yaitu :
a. Narkotik dan analgesik;
b. Sedatif, hipnotik, dan neuroleptik;
c. Relaksasi otot-otot;
d. Vasokonstriktor dan vasopresor; dan
e. Oksitosik.
2. Teknik anestesi
a. Anestesi Umum adalah menghilangkan rasa nyeri secara sentral
yangdisertai dengan hilangnya kesadaran.
1) Fisiologi terjadinya anestesi
Obat anestetika masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian
menyebar ke jaringan, yang pertama terpengaruh adalah jaringan yang
kaya akan pembuluh darah yaitu otak sehingga kesadaran menurun atau
hilang, disertai hilangnya rasa nyeri dan lain-lain.
2) Cara pemberian obat :
a) Melalui rectum : Tiopental 10%, kloralhidrat
b) Intramuskular : ketamin HCl, diazepam
c) Intra vena : Tiopental 5%, 2,5% diazepam, ketamin
d) Perinhalasi : N2O, halotan, sevofluran
3) Kontra indikasi :
a) Kontra indikasi mutlak payah jantung.
b) Kontra indikasi relatif, tergantung kepada efek farmakologis dari obat
yang dipakai yaitu :
(1) Kelainan jantung : hindarkan pemakaian obat yang
mendepresimiokard, misalnya eter, tiopental dan halotan.
(2) Kelainan hepar : hindarkan obat yang dimetabolisme di hepar
(3) Kelainan ginjal : hindarkan obat yang diekresi di ginjal,
misalpetidin atau gallarmin, morfin.
(4) Kelainan paru : hindarkan obat-obat yang menyebabkan
hipersekresi saluran pernafasan yang mengakibatkan
pengentalan sekresi dalam paru misal : eter.
(5) Kelainan endokrin : pada diabetes melitus hindarkan pemakaian
obat yang merangsang simpatis karena menyebabkan
peninggian gula darah misal eter. (Latief, 2009).

b. Anestesi regional dan lokal adalah untuk menghilangkan impuls rasa


nyeridari bagian tubuh tertentu dengan cara memblokir hantaran syaraf
sensorikuntuk sementara. Fungsi motorik dapat terkena atau tidak sama
sekali, danpenderita tidak kehilangan kesadarannya. Yang termasuk
anastesi regionaladalah :
a) Topikal : obat anestesi diberikan pada akhir serabut saraf dimukosa
dengan cara menyemprot atau mengoles.
b) Infiltrasi : obat anestesi regional dengan cara infiltrasi langsung pada
garis insisi atau luka.
c) Field block : obat anestesi regional dengan cara membentuk dinding
anestesi sekitar daerah operasi.
d) Blok syaraf : obat anestesi regional dengan cara suntikan langsung ke
saraf atau sekitar saraf yang mempersarafi bagian badan tertentu. Misal
anestesi spinal, epidural atau peridural.
Cara kerja obat anestesi regional adalah bergabung dengan protoplasma
sel saraf dan menghasilkan anestesi dengan cara mencegahdepolarisasi
yang ditimbulkan oleh impuls transmisi. Syaraf-syaraf motorik,karena
penampang yang lebih kecil dan selubung mielin saraf sensorik yanglebih
tipis.
PROM / KPD (Ketuban Pecah Dini)
1. Definisi dan Klasifikasi KPD
Ketuban pecah dini (KPD) atau spontaneus/early/premature rupture of membrans
(PROM) adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan pada saat belum menunjukkan
tanda-tanda persalinan/inpartu (keadaan inpartu didefinisikan sebagai kontraksi uterus
teratur dan menimbulkan nyeri yang menyebabkan terjadinya efficement atau dilatasi
serviks) atau bila satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal persalinan (Manuaba,
2009).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu bila pembukaan
pada primi kurang dari 3cm dan pada multipara kurang dari 5cm (Rustam, 2009)
Klasifikasi
a) PROM (premature rupture of membrane)
Ketuban peah pada saat usia kehamilan ≥37 minggu. Pada PROM penyebabnya
mungkin karena melemahnya membran amnion secara fisiologis. Kondisi klinis
seperti inkompetensi serviks dan polihidramnion telah diidentifikasi sebagai faktor
resiko yang jelas dalam beberapa kasus KPD. Untuk penanganannya melalui
Seksio sesarea ( Syaifuddin, 2002)
b) PPROM (Pretern Premature Rupture of Membrane)
PPROM mendefinisikan ruptur spontan membran janin sebelum mencapai
umur 37 minggudan sebelum onset persalinan (American College of Obstetricians
and Gynekologists, 2007). Pecah tersebut kemungkinan memiliki berbagai
penyebab, namun banyak yang percaya infeksi intrauterin menjadi salah satu
predisposisi utama (Gomez dan rekan, 1997; Mercer, 2003)
Sebuah tinjauan ilmiah penyebab PPROM diidentifikasi penyebab
potensial banyak dalam kasus tertentu. Ini termasuk penurunan umum dalam
kekuatan peregangan membran amnion, cacat lokal pada membran amnion,
penurunan kolagen cairan ketuban dan perubahan dalam struktur kolagen,
iritabilitas uterus, apoptosis, degradasi kolagen, dan peregangan membran. Pada
jaringan Maternal-Fetal Medicine Unit (MFMU) menemukan bahwa faktor resiko
PPROM adalah PPROM sebelumnya, Fibronektin janin positif pada kehamilan 23
minggu, dan leher rahim pendek (<25mm) pada umur kehamilan 23 minggu.

2. Etiologi dan Faktor Risiko KPD


Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi ditemukan beberapa
faktor predisposisi yang berperan pada terjadinya ketuban pecah dini antara lain adalah :
 Infeksi
Ketuban pecah dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi.
Infeksi dapat menyebabkan ketuban pecah dini melalui beberapa mekanisme.Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa bakteri flora normal (Streptokokus grup B, Stafilokokus
aureus, dan Trikomonas vaginalis ) yang menjadi pathogen masuk dan terikat pada
membran amnion melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan
melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks
metaloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya ketuban oleh
karena infeksi.
Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan
inhibisi interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan,
sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion / amnion, menyebabkan
selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan
 Defisiensi vitamin C
Vitamin C diperlukan untuk pembentukan dan pemeliharaan jaringan kolagen. Selaput
ketuban (yang dibentuk oleh jaringan kolagen) akan mempunyai elastisitas yang
berbeda tergantung kadar vitamin C dalam darah ibu
 Peningkatan tekanan inta uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a. Trauma : Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada kehamilan
gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan adanya
ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim
yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian
bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah. (Saifudin. 2002)
c. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan makrosomia
menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan
tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput ketuban,
manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang,tipis, dan kekuatan membrane
menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah pecah. (Winkjosastro, 2006)
d. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL. Uterus dapat
mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah
peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut,
volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam
waktu beberapa hari saja
3. Kelainan letak janin dan rahim : letak sungsang, letak lintang.
4. Kemungkinan kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP (sepalo
pelvic disproporsi)
 Persalinan premature
 Korioamnionitis
Adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh penyebaranorganism vagina
ke atas. Dua factor predisposisi terpenting adalah pecahnyaselaput ketuban > 24 jam
dan persalinan lama.
 Faktor yang mengakibatkan kerusakan serviks
 Pemakaian alat-alat pada serviks sebelumnya (mis.aborsi terapeutik,
LEEP,dan sebagainya)
 Peningkatan paritas yang memungkinkan kerusakan serviks selama pelahiran
sebelumnya.
 Inkompetensi Serviks.
 Riwayat KPD sebelumnya sebanyak dua kali atau lebih
 Multipara, grandemultipara. Pada kehamilan yang terlalu sering akan memengaruhi
proses embryogenesis sehingga selaput ketuban yang terbentuk akan lebih tipis yang
akan menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum tanda-tanda inpartu.
 Faktor-faktor yang berhubungan dengan BB ibu.
 Kelebihan BB sebelum kehamilan
 Penambahan BB yang sedikit selama kehamilan.
 Merokok selama kehamilan dapat menyebabkan vaskulopati pada desidua yang
menyebabkan iskemi dan nekrosis selain itu perokok memiliki asam amino, glukosa
,asam lemak,vitamin b12, dan asam askorbat yang rendah sehingga dapat
menghambat α1 antitripsin sebagai protease inhibitor, dimana protease inhibitor sanagt
dibutuhkan untuk mengurangi penipisan selaput amnion .
 Faktor tingkat sosio-ekonomi
Sosio-ekonomi yang rendah, status gizi yang kurang akan meningkatkan insiden KPD,
lebih-lebih disertai dengan jumlah persalinan yang banyak, serta jarak kelahiran yang
dekat.
 Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat daripada ibu muda.
 Pekerjaan : pola pekerjaan mempengaruhi kebutuhan energi. Ibu hamil dengan
pekerjaan yang berat dan dalam waktu lebih dari 3 jam dapat menyebabkan kelelahan,
selain itu lapisan khorion-amnion juga akan lebih lemah. Hal ini akan mempermudah
terjadinya KPD
 Riwayat hubungan seksual baru-baru ini.

4. Patofisiologi KPD
Terlampir
5. Manifestasi klinis KPD :
- Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri
pucat dan bergaris warna darah.
- Keluar air ketuban warna putih keruh, jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-
sedikit atau sekaligus banyak
- Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak. Cairan ini tidak
akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila
Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
“mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara
- Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah
cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi
- Pada periksa dalam selaput ketuban tidak ada, air ketuban sudah kering
- Inspekulo : tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering
- Pasien biasanya menguluh perutnya bertambah kecil setelah ada cairan yang
merembes dari jalan lahir

WARNA CAIRAN KETUBAN PH


Kuning 5,0
Kuning seperti minyak zaitun 5,5
Hijau sperti minyak zaitun 6,0
Hijau-biru 6,5
Kelabu-hijau 7,0
Biru tua 7,5

6. Pemeriksaan Diagnostik, Interpretasi G1 P0000 Ab000, normal cairan amnion dan


indikasi pemeriksaan cairan amnion
a. Pemeriksaan inspekulo
Pemeriksaan inspekulo secara steril merupakan langkah pemeriksaan pertama
terhadap kecurigaan KPD. Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan
tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga
tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau
megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak
keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada forniks posterior. Cairan yang
keluar dari vagina perlu diperiksa warna, bau dan pH nya. Air ketuban yang keruh
dan berbau menunjukkan adanya proses infeksi. Tentukan pula tanda-tanda
inpartu. Tentukan adanya kontraksi yang teratur. Mengenai pemeriksaan dalam
vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan. Periksa dalam dilakukan bila akan
dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor
pelvik dan dibatasi sedikit mungkin. Pada kehamilan yang kurang bulan yang
belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada
waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah
rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan
cepat menjadi pathogen
b. Pooling pada cairan amnion dari forniks posterioor mendukung diagnosis KPD,
Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien baik untuk mempermudah
melihat pooling
c. Pemeriksaan laboratorium
o Tes lakmus (tes Nitrazin): jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis) karena pH air ketuban 7 – 7,5
sedangkan sekret vagina ibu hamil pH nya 4-5, dengan kertas nitrazin
tidak berubah warna, tetap berwarna kuning. Darah dan infeksi vagina
dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.
o Test Ferning (tes pakis): dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
d. Pemeriksaan ultrasonografi USG
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum
uteri dan konfirmasi usia kehamilan. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan
ketuban yang sedikit. Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam
dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan
anamnesa dan pemeriksaan sedehana. Ultrasonografi digunakan untuk
memastikan posisi kandungan, plasenta, dan janin serta jumlah cairan amnion
yang mencukupi.
e. Amniocentesis
Adalah tes untuk mengetahui kelainan genetik pada bayi dengan memeriksa
cairan ketuban atau cairan amnion. Di dalam cairan amnion terdapat sel fetal
(kebanyakan kulit janin) yang dapat dilakukan analisis kromosom, analisis biokimia
dan biologi. Manfaat pemeriksaan amniocentesis antara lain :
 Mengetahui kelainan bawaan (Syndrome down,dll)
 Mengetahui jenis kelamin bayi.
 Mengetahui tingkat kematangan paru janin.
 Mengetahui ada tidaknya infeksi cairan amnion.
Pemeriksaan ini diutamakan untuk wanita hamil yang berisiko tinggi, yaitu :
o Wanita yang mempunyai riwayat keluarga dengan kelainan genetik.
o Wanita berusia di atas 35 tahun.
o Wanita yang memiliki hasil tes yang abnormal terhadap sindrom down
pada trimester pertama kehamilan.
o Wanita dengan kelainan pada pemeriksaan USG
o Wanita dengan sensitisasi Rh.
Risiko Amniocentesis
o Kebocoran atau infeksi terhadap air ketuban
o Jarum menyentuh bayi
o Kelahiran prematur
o Keguguran

7. Penatalaksanaan KPD
Penanganan ketuban pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya
infeksi pada komplikasi ibu dan janin dan adanya tanda-tanda persalinan.
a. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Preterm
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan preterm berupa
penanganan konservatif, antara lain:
 Rawat di Rumah Sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu
dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan
diusahakan bisa mencapai 37 minggu
 Berikan antibiotika (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak tahan
ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari
 Jika umur kehamilan < 32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar,
atau sampai air ketuban tidak keluar lagi
 Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan
paru janin, dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap
minggu. Sedian terdiri atas betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari
atau deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa (-):
beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan kesejahteraan janin.
Terminasi pada kehamilan 37 minggu
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan
tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam
 Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi
 Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin)Ketuban
pecah dini pada kehamilan aterm atau preterm dengan atau tanpa komplikasi
harus dirujuk ke rumah sakit.
b. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Pada Kehamilan Aterm
Penatalaksanaan ketuban pecah dini pada kehamilan aterm berupa penanganan
aktif, antara lain:
 Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat
pula diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
 Bila ada tanda-tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan persalinan di
akhiri:
a. bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian induksi. Jika tidak
berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.
b. bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam.
Penatalaksanaan lanjutan
 Kaji suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali didahului kondisi
ibu yang menggigil.
 Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan adalah
tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat
dengan alat pemantau janin elektronik secara kontinu dilakukan selama induksi
oksitosin untuk melihat tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi.
Takikardia dapat mengindikasikan infeksiuteri.
 Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.
 Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan, perhatikan
juga hal-hal berikut:
o Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa
o Bau rabas atau cairan di sarung tanagn anda
o Warna rabas atau cairan di sarung tangan
 Beri perhatian lebih seksama terhadap hidrasi agar dapat diperoleh
gambaranjelas dari setiap infeksi yang timbul. Seringkali terjadi peningkatan suhu
tubuh akibat dehidrasi.
8. Komplikasi KPD :
a. Komplikasi ibu : endometritis, penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia),
sepsis CEPAT (karena daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat
banyak), dapat terjadi syok septik sampai kematian ibu.
b. Komplikasi janin : asfiksia janin, sepsis perinatal sampai kematian janin. Risiko
infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap
masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada
KPD, flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa
membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya.
c. Sindrom deformitas janin
Sindrom deformitas janin ini terjadi akibat kompresi muka janin. Selain itu, terjadi
akibat oligohidramnion. Diantaranya terjadi hipoplasia paru, deformitas
ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambat (PJT)
d. Distasia ( partus Kering)
Pengeluaran cairan ketuban untuk waktu yang akan lama akan menyebabkan
dry labour atau persalinan kering
e. Ketuban pecah dini merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan
prematuritas janin.
f. Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan dilakukan
setelah 24 jam onset

9. Pencegahan
Pencegahannya adalah (Morgan dan Hamilton, 2003):
a. Mengurangi aktivitas atau istirahat pada akhir triwulan kedua atau awal triwulan
ketiga
b. Obati infeksi gonokokus, clamidia, dan vaginosis bacterial.
c. Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung usaha untuk
berhenti atau mengurangi.
d. Memotivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil.
e. Anjurkan pasangan untuk berhenti koitus pada trimester akhir bila ada factor
predisposisi.
f. Memberikan panduan mengantisipasi: jelaskan kepada pasien yang memiliki
riwayat berikut ini saat prenatal bahwa mereka harus segera melaporbila ketuban
pecah:
 Kondisi ketuban pecah dapat menyebabkan prolaps tali pusat: letak kepala
selain vertex dan polihidramnion.
 Herpes aktif
 Riwayat infeksi streptokokus beta hemolitikus sebelumnya.
f. Mengkonsumsi makanan yang bergizi, cukup minum dan olahraga yang cukup
KEHAMILAN BEKAS SEKSIO CESAREA

Pada kehamilan dengan riwayat seksio cesarea, perlu diperhatikan apakah akan
dilaksanakan persalinan per vaginam atau per abdominam. Pada ibu dengan riwayat
tersebut tidak harus selalu dilakukan seksio cesarea (SC) lagi, terutama bila penyebab SC
sebelumnya bukan merupakan indikasi yang menetap. Jika tidak ada kontraindikasi, ibu
dicoba untuk melahirkan per vaginam.
Diagnosis dapat ditegakkan dari:
 Anamnesis: pada persalinan sebelumnya terdapat riwayat SC dan jenis SS yang
dilakukan
 Pemeriksaan fisik: Didapatkan bekas luka SC pada dinding perut
SC dilakukan pada kehamilan 37 minggu dalam keadaan-keadaan sebagai berikut:
o Indikasi SC sebelumnya adalah penyebab tetap seperti panggul sempit absolut
o Jenis insisi SC sebelumnya adalah SC klasik (insisi corporal)
o SC sudah dilakukan sebanyak dua kali atau lebih.
Kontraindikasi dilakukannya persalinan per vaginam adalah:
 Bekas SC klasik
 Pernah histerektomi/histerorafi
 Pernah miomektomi (yang mencapai cavum uteri)
 Terdapat indikasi SS pada kehamilan saat ini (plasenta previa, gawat janin, dsb)
Pada pasien:
 Dari pemeriksaan abdomen tampak bekas luka SCTP
 Indikasi SC adalah indikasi tidak tetap yaitu CPD (cephalopelvic disproportion)
Dalam pemeriksaan pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan panggul untuk
mengetahui apakah terdapat indikasi tetap SC yaitu panggul sempit absolut.
Pemeriksaan panggul meliputi:
Conjugata vera Conjugata diagonalis Promontorium
Linea innominata Sacrum Spinda ischiadica
Arcus Pubis Dinding samping Kesan panggul
 SC baru dilakukan sebanyak satu kali
 Tidak terdapat riwayat histerektomi/histerorafi
 Tidak terdapat riwayat miomektomi
 Tidak terdapat indikasi dilakukannya SC
MASALAH KEPERAWATAN PADA PASIEN
PASKA OPERASI SEKSIO CAESAREA

Pengkajian
a. Identitas klien dan penanggung jawab
Meliputi nama, umur, pendidikan, suku bangsa, pekerjaan, agam, alamat,
status perkawinan, ruang rawat, nomor medical record, diagnosa medik, yang
mengirim, cara masuk, alasan masuk, keadaan umum tanda vital.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien multipara
d. Data Riwayat penyakit
1. Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan atau yang berhubungan dengan gangguan atau penyakit
dirasakan saat ini dan keluhan yang dirasakan setelah pasien operasi.
2. Riwayat Kesehatan Dahulu
Meliputi penyakit yang lain yang dapat mempengaruhi penyakit sekarang,
Maksudnya apakah pasien pernah mengalami penyakit yang sama (Plasenta
previa).

3. Riwayat Kesehatan Keluarga


Meliputi penyakit yang diderita pasien dan apakah keluarga pasien ada
juga mempunyai riwayat persalinan plasenta previa.
e. Keadaan klien meliputi :
1. Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi. Kemungkinan
kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-kira 600-800 mL
2. Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda kegagalan
dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita. Menunjukkan labilitas
emosional dari kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
3. Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).

4. Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal epidural.
5. Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah,
distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
6. Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
7. Keamanan
8. Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
9. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea sedang.
Diagnosa dan Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan adanya luka post SC
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, nyeri berkurang/
menghilang.
Kriteria hasil:
 Klien tidak mengeluh nyeri.
 Klien mengerti penyebab nyerinya.
 Klien mampu beradaptasi terhadap nyerinya.
 Klien tampak rileks, ekspresi wajah tenang.
 TTV dalam batas normal
Intervensi
Intervensi Rasional
Kaji tingkat intensitas nyeri pada Ambang nyeri setiap orang berbeda dengan
pasien demikian akan dapat menentukan tindakan
perawatan yang sesuai dengan respon pasien
terhadap nyerinya.
Jelaskan penyebab nyerinya Klien dapat memahami penyebab nyerinya
sehingga bisa kooperatif.
Ajarkan klien mengantisipasi Dengan nafas dalam otot-otot dapat
nyeri dengan nafas berelaksasi, terjadi vasodilatasi pembuluh
darah, expansi paru optimal sehingga
kebutuhan O₂ pada bagian terpenuhi.
Bantu klien dengan massage Untuk mengalihkan perhatian pasien
lembut pada bagian area sekitar
yang nyeri.
Minimalkan aktivitas Aktivitas yang meningkatkan vasokonstriksi
vasokontriksi yang dapat menambah beratnya penyakit.
meningkatkan sakit
Pertahankan tirah baring Meminimalkan stimulasi/ meningkatkan
relaksasi
Kaji skala nyeri Mengetahui intensitas nyeri
Ajarkan teknik relaksasi dan Membantu menghilangkan rasa nyeri
distraksi
Monitor tekanan darah dan nadi Nyeri dapat menyebabkan gelisah serta TD
dan nadi meningkat.
Kolaborasi pemberian analgesik Menurunkan nyeri dan menurunkan rangsang
dan terapi farmakologis lainnya sistem saraf pusat dan mengurangi keluhan
sesuai indikasi gejala klinis klien.

2. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur invasif SC


Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, integritas jaringan tertutup
rapat
Kriteria hasil:
 Kemerahan minimal
 Indurasi <4 cm
 Bengkak (-)
 Jahitan paska SC utuh
 Drainase pus atau eksudat (-)
Intervensi
Intervensi Rasional
Inspeksi kondisi luka: Pengkajian detail kondisi luka perlu dilakukan
kemerahan, edema, cairan yang untuk menentukan intervensi yang tepat
keluar
Monitor kulit di sekitar luka Keadaan kulit sekitar luka dapat menjadi
indicator kondisi baik/buruknya luka
Instruksikan klien untuk Kelembaban yang berlebih menyebabkan
menjaga area luka teta dan bakteri mudah berkembang biak, sehingga
balutan tetap kering dapat memperlama masa penyembuhan atau
bahkan menimbulkan masalah infeksi
Berikan edukasi tentang Menghindari risiko kontaminasi dan menjaga
perawatan luka dan prosedur teknik asepsis
menyeka
Dokumentasi perubahan kulit Perubahan kulit sekitar luka dapat menjadi
yang terjadi indikator perkembangan luka

3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan luka post SC


Tujuan
Setelah dilakuakn intervensi dalam 3x24 jam, klien bebas dari infeksi, pencapaian
tepat waktu dalam pemulihan luka tanpa komplikasi.
Kriteria hasil
 Hasil laboratorium normal (leukosit dalam rentang normal)
 Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti demam, nyeri dan lain-lain.
Intervensi
Intervensi Rasional
Tinjau ulang kondisi/faktor risiko Kondisi dasar ibu, seperti diabetes atau
yang ada sebelumnya hemoragi, menimbulkan potensial risiko
infeksi atau penyembuhan luka yang buruk.
Kaji terhadap tanda dan gejala Kehadiran infeksi direspon tubuh dengan
infeksi (misalnya, peningkatan meningkatkan suhu tubuh dan jumlah sel
suhu,nadi, jumlah sel darah darah putih.
putih, atau bau/warna rabas
vagina).
Kolaborasi melakukan Terapi topikal dapat diindikasikan untuk
perawatan luka dengan terapi profilaksis infeksi.
topikal.
Kolaborasi melakukan kultur Mengidentifikasi organisme yang menginfeksi
darah, vagina, dan plasenta dan tingkat keterlibatan.
sesuai indikasi.
Kolaborasi dalam mencatat Hb Risiko infeksi pasca-melahirkan dan
dan Ht; catat perkiraan penyembuhan buruk meningkat bila kadar Hb
kehilangan darah. rendah dan kehilangan darah berlebihan.
Kolaborasi dalam memberikan Antibiotik profilaktik dapat dipesankan untuk
antibiotik spektrum luas pada mencegah terjadinya proses infeksi, atau
praoperasi. sebagai pengobatan pada infeksi yang
teridetifikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul BS. Kematian maternal. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2002.
Anonim. Presentasi Bokong. (Dikutip dari http://medlinux.blogspot.com/. Diakses Tanggal 28 Novenber
2010. Pukul 13. 35 WIB)
Benson dan Pernoll. 2009. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta. EGC
Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and Obstetrics; Revised Ed, 1997.
Philadelphia: Lippincott Raven Publ, 1997.
Carpenito, Lynda. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Cunningham FG. 2006. Obstetri William Vol. 1. Jakarta: EGC.
Davood S, Parviar K and Ebrahimi S. 2008. Selected pregnancy variables in women with placenta
previa. Res. J. Obstet. Gynecol.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. Johns Hopkins manual of gynecology and obstetrics,
3rd ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian Obstetri
danGinekologi FK UNHAS; 1997.
Hamilton, C. Mary. 1995. Dasar-dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 6. Jakarta : EGC.
Hidayat, A.A. 2007. Metodologi Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Jakarta. Salemba Medika.
Liu, David. 2008. Manual Persalinan. Jakarta EGC
Mansjoer, Arif, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius
Manuaba, Ida Bagus Gde. 2004. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi. Edisi II
Cetakan I. Jakarta : EGC.
Moechtar R. Pedarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri
Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998.
Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan dalam masa lampau, kini dan kelak. Dalam: Ilmu Kebidanan,
edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002.
Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno Prabowo,
Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga University Press,
2001.
Rohani, Dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Masa Persalinan. Jakarta. Salemba Medika
Rukiyah dan yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Jakarta. Buku Kesehatan.
Sastrawinata, Sulaiman et.al (ed). 2005. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Edisi 2
Cetakan I. Jakarta : EGC.
Sinclair, Constance. 2009. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC.
Sulistyawati, Ari. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta. Salemba Medika.
Taber, Ben-Zion. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC.
Varney, Helen et.al. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4 Cetakan I. Jakarta : EGC.
Winkjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo.
Yulaikhah, Lily. 2009. Kehamilan. Cetakan I. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai