Anda di halaman 1dari 14

Penggunaan Antikoagulan Oral dengan Anestesi

Regional pada Pasien Bedah Ortopedi


Oleh:
IVANA MAULIDIA
1407101030322

Pembimbing:
dr. Mujahidin, Sp.An (K)

BAGIAN/ SMF ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016
BAB I

PENDAHULUAN

Tromboemboli vena (VTE) yang terdiri dari deep vein thrombosis (DVT) dan emboli
paru (PE), merupakan komplikasi jangka panjang yang dapat menyebabkan morbiditas,
mortalitas dan besarnya biaya kesehatan. Risiko VTE sangat tinggi pada pasien yang
menjalani operasi ortopedi besar, seperti Total Knee Replacement (TKR) atau Total Hip
Replacement (THR). Oleh karena itu, pasien disarankan menerima antikoagulan untuk
perioperatif jangka pendek dan thromboprophylaxis pascaoperasi. Bila pasien menerima
antikoagulan jangka panjang untuk terapi atau pencegahan VTE maupun untuk pencegahan
stroke pada pasien dengan atrial fibrilasi [AF], maka sebelum operasi ortopedi juga harus
dipertimbangkan terkait manajemen antikoagulan yang tepat berdasarkan risiko
tromboemboli dan perdarahan pada pasien [5]. Selain itu, penggunaan anestesi neuraksial
menimbulkan risiko hematoma pada pasien yang mengkonsumsi antikoagulan, karena
penusukan jarum dan kateter.

Obat antikoagulan oral (OAC) apixaban, rivaroxaban, dan dabigatran digunakan untuk
pencegahan VTE pada operasi TKR maupun THR di Uni Eropa dan / atau Amerika Serikat,
serta untuk pencegahan stroke pada pasien dengan AF, dan terapi VTE. Di Eropa, rivaroxaban
juga dapat dikombinasikan dengan asam asetilsalisilat (ASA)dengan atau tanpa ditambah
clopidogrel atau tiklopidin untuk pencegahan kejadian atherothrombotik setelah sindrom
koroner akut dengan biomarker jantung meningkat. Apixaban dan rivaroxaban adalah
penghambat langsung Faktor Xa, sedangkan dabigatran adalah inhibitor trombin.

Ketiga jenis obat telah menunjukkan farmakokinetik dan farmakodinamik, dan


memiliki onset cepat, konsentrasi plasma maksimum dicapai setelah pemberian oral
(apixaban, 3-4 jam; rivaroxaban, 2-4 jam; dabigatran, 0,5-2,0 jam ). Waktu paruh apixaban,
rivaroxaban, dan dabigatran masing-masing adalah ~ 12 jam, 5-13 jam, dan 11-14 jam.
Selanjutnya, karakteristik farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obat tersebut tidak akan
bekerja hingga mencapai dosis tertentu sesuai berat badan, usia maupun jenis kelamin
tertentu. Pada pasien dengan kerusakan ginjal sedang (kreatinin 30-50 mLmin-1) yang
menerima terapi dabigatran untuk pencegahan VTE setelah operasi THR, diperlukan
pengurangan dosis. Namun, apixaban, rivaroxaban, dan dabigatran tidak menimbulkan
peningkatan risiko pendarahan dibandingkan dengan enoxaparin dalam pencegahan VTE
setelah operasi THR maupun TKR. Meskipun bukti klinis pada profil keamanan dan
kemanjuran OACs ditunjukkan dalam uji klinis, para dokter khususnya ahli anestesi perlu
menyadari bagaimana meminimalisasi risiko komplikasi perdarahan saat merawat pasien
yang menggunakan antikoagulan dan menjalani operasi dengan anestesi regional.

Teknik anestesi regional semakin populer karena memiliki beberapa keuntungan lebih
dari anestesi umum dan analgesia sistemik tradisional, termasuk mengurangi risiko kematian
dan rasa sakit pasca operasi, sehingga memudahkan mobilisasi tungkai pasca operasi dan
mengurangi kemungkinan VTE pasca operasi. Anestesi regional digunakan dalam jutaan
operasi setiap tahun dan pada penggunaan OACs yang tidak tepat dapat menyebabkan
komplikasi berupa perdarahan. Saat ini hal tersebut memberikan gambaran data terkait risiko
komplikasi perdarahan pada pengguna OACs yang menggunakan anestesi regional, terutama
pada pasien dengan risiko tinggi terkena VTE, seperti yang menjalani bedah ortopedi mayor.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anestesi Regional

Blok spinal dan epidural menghasilkan blokade sistem saraf simpatis, analgesia atau
anestesia sensorik dan blokade motorik yang bergantung pada dosis, konsentrasi, atau volume
anestetika lokal setelah pemberian melalui jarum ke plana neuraksial. Walaupun terlihat
serupa, ketiga teknik tersebut berbeda secara fisiologis dan farmakologis. Anestesia spinal
dan epidural terkenal mampu menumpulkan tanggapan stres terhadap pembedahan,
menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan kejadian tromboemboli pascabedah, dan
menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien-pasien berisiko tinggi.

2.1.1 Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Regional

Tidak terdapat indikasi absolut untuk anestesia spinal atau epidural. Pertimbangan
pemilihan teknik tergantung pada situasi klinis saat itu, seperti kesesuaian pasien, kondisi
fisiologis, atau prosedur pembedahan itu sendiri. Sedangkan kontraindikasi absolut paling
penting dari anestesia regional adalah penolakan pasien. Selain itu ada beberapa kondisi
perioperatif yang meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. Kontraindikasi lainnya
adalah hipovolemia, syok, koagulopati atau trombositopenia, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Beberapa kondisi di atas berbeda-beda dalam setiap literatur yang ada.

2.1.2 Komplikasi Anestesi Regional

Komplikasi yang paling umum dari anestesi regional diantaranya sakit kepala akibat
tusukan postdural (terjadi pada 0,1% -36% dari pasien tetapi jarang berlangsung lebih dari 7
hari), sakit punggung (terjadi hingga 11% dari pasien dalam 5 hari setelah prosedur), dan
kerusakan saraf perifer (misalnya, paresthesia sementara diperkirakan sampai dengan 8% -
10% dari pasien. Adapun komplikasi serius, seperti hematoma spinal atau epidural, jarang
terjadi abses epidural. Untuk blok saraf perifer, komplikasi neurologis sangat langka, berkisar
antara 0,02% dan 0,04%. Gangguan sistem hemostasis juga merupakan masalah penting yang
berkaitan dengan komplikasi anestesia regional. Termasuk di dalamnya penggunaan obat-
obat anti koagulan sebelum maupun sesudah dilakukan anestesia neuraksial.
2.1.3 Faktor Risiko Terjadinya Hematoma Sspinal

Kejadian hematoma pada pasien yang menjalani anestesi neuroaksial (epidural dan
spinal) diperkirakan sekitar 1 dari 220 000 (epidural) dan 1 dari 320 000 (spinal) tanpa
adanya traumatik penusukan dan tanpa menggunakan heparin atau ASA. Namun, kejadian
hematoma spinal meningkat dengan adanya faktor risiko, terlebih lagi jika pasien
menggunakan antikoagulan heparin atau disertai dengan adanya trauma saat penusukan.
Untuk terapi ASA risikonya adalah 1 dari 8500 kasus epidural dan 1 dari 12 000 untuk
anestesi spinal, masing-masing. Sebuah peninjauan baru-baru ini menilai spinal / komplikasi
anestesi epidural di Finlandia 2000-2009 menunjukkan peningkatan risiko komplikasi serius
setelah blok neuroaksial, yaitu sekitar 1 dari 35 000 pasien, dengan kerusakan permanen
sekitar 1 dari 53 000 pasien.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko terjadinya komplikasi, diantaranya:

a) Faktor internal pasien. Pasien yang membutuhkan intervensi pembedahan besar akan
mengalami peningkatan risiko gangguan tromboemboli. Oleh karena itu, lebih mungkin
untuk mengkonsumsi antikoagulan. Selain itu, risiko perdarahan akan bertambah tinggi pada
pasien usia lanjut yang menerima antikoagulan. Pasien lanjut usia juga lebih cenderung
memiliki gangguan ginjal atau hati, menyebabkan peningkatan konsentrasi obat dalam
plasma, dan akibatnya ekskresi obat akan lebih lambat pada pasien tersebut.

b) Faktor obat. Beberapa interaksi obat antikoagulan dapat meningkatkan risiko komplikasi
perdarahan, termasuk risiko hematoma. OACs memiliki risiko lebih kecil terkait interaksi
obat dengan obat maupun obat dengan makanan bila dibandingkan dengan antagonis vitamin
K. Interaksi yang paling signifikan adalah dari apixaban dan rivaroxaban yang tidak
dianjurkan, dan dabigatran dengan amiodaron dan verapamil yang membutuhkan
pengurangan dosis harian. Ketika pasien mendapatkan salah satu jenis OACs tersebut, maka
harus lebih diperhatikan bila dikombinasi dengan non-steroid anti-inflamasi, ASA, atau
inhibitor agregasi platelet, yang dapat meningkatkan resiko pendarahan.

c) Faktor-prosedural. Risiko hematoma spinal juga telah dikaitkan dengan faktor prosedural,
termasuk jarum / kateter yang tidak disengaja menyebabkan trauma mekanik pada komponen
saraf atau pembuluh darah spinal. Karakteristik pasien juga memiliki pengaruh terhadap
faktor risiko prosedur misalnya, penuaan dikaitkan dengan degenerasi tulang yang dapat
membuat prosedur anestesi lebih sulit.
2.2. Pengaruh Anestesi pada Pasien yang Menerima Antikoagulan Oral

Pada pemanfaatan OACs untuk pengobatan dan pencegahan gangguan tromboemboli,


sangat penting untuk mengevaluasi risiko hematoma dan dampak pada hasil klinis saat
anestesi regional dilakukan. Perlu diperhatikan risiko hematoma spinal dengan anestesi
regional saat menerima antikoagulan tradisional. Terapi antagonis Vitamin K merupakan
kontraindikasi untuk anestesi neuraksial, karena memiliki risiko tinggi perdarahan yang
berhubungan dengan dosis terapi. Risiko hematoma spinal pada pasien yang menerima
heparin dengan berat molekul rendah dan telah menjalani anestesi epidural dilaporkan
berkisar 1: 6600 untuk single-shot epidural dan 1: 3100 dengan kateter untuk dosis heparin 30
mg dua kali sehari dan 1 : 18 000 untuk 40 mg dosis sekali sehari. Berbeda dengan pasien
yang menerima ASA maka risiko perdarahannya lebih kecil, tetapi data penelitian
menunjukkan bahwa pasien medis yang menerima antikoagulan dengan dosis harian di atas
100 mg memiliki risiko komplikasi perdarahan lebih tinggi.

2.2.1. Apixaban
Studi khusus yang meneliti hubungan antara anestesi dan risiko hematoma spinal pada
pasien yang menerima apixaban masih kurang. Namun, terdapat hasil uji klinis yang
membandingkan apixaban (2,5 mg dua kali sehari) dengan enoxaparin subkutan (30 mg dua
kali sehari atau 40 mg sekali sehari) yang bertujuan sebagai pencegahan VTE setelah operasi
TKR maupun THR, dijelaskan bahwa apixaban sama efektifnya dengan enoxaparin bahkan
lebih baik dalam mengurangi risiko VTE atau kematian dengan perdarahan yang lebih
sedikit. Dalam uji coba ini, 15,8% pasien diacak untuk mengkonsumsi apixaban dan diberi
anestesi regional. Penggunaan apixaban dengan blokade neuroaksial masih sedikit dan
menurut European Society of Anesthesy (ESA) hal tersebut harus dilakukan dengan sangat
hati-hati.

2.2.2. Rivaroxaban
Dalam sebuah penelitian, 66% dari pasien menerima anestesi neuroaksial, hanya
terdapat 1 kasus hematoma kompresi setelah pengangkatan kateter epidural. Kasus ini terjadi
setelah operasi TKR pada pasien yang diobati dengan enoxaparin, yang memiliki risiko
pendarahan akibat usia lanjut dan gagal ginjal. ESA guidelines, diterbitkan sebelum
selesainya subanalysis RECORD yang relevan, merekomendasikan untuk berhati-hati ketika
menggunakan rivaroxaban dengan blokade neuroaksial. American Society of Regional
Anestesi dan Pain Medicine (ASRA) masih mengevaluasi pedoman penggunaan dabigatran,
serta rivaroxaban. Pedoman ini tidak memberikan informasi rinci untuk pengelolaan
antikoagulan dengan OACs karena kurangnya informasi yang tersedia pada kinerja blok.

2.2.3. Dabigatran
Sebuah analisis dari populasi pasien tentang studi pasien yang menjalani operasi TKR
maupun THR dan menerima thromboprophylaxis dengan dabigatran (220 mg atau 150mg
sekali sehari) atau enoxaparin menunjukkan penggunaan yang lebih tinggi dari anestesi
neuroaksial (n = 4212; 52%) dibandingkan dengan anestesi umum (n = 2311; 29%) atau
kombinasi anestesi, yaitu, neuroaksial atau anestesi umum yang dikombinasikan dengan blok
saraf perifer (n = 1539; 19%). Penggunaan anestesi neuroaksial tidak berhubungan dengan
hematoma neuroaksial, tidak ada kasus yang dilaporkan.

2.3. Pengelolaan Antikoagulan Oral dan Anestesi Neuroaksial pada Bedah Ortopedi
Mayor
Sifat farmakodinamik dan farmakokinetik antikoagulan, pengaruh usia pasien, fungsi
hati dan ginjal harus dipahami dengan baik, khusunya bila antikoagulan tersebut dipakai pada
pasien yang menjalani operasi besar seperti TKR dan THR. Pantau proses anestesi
neuroaksial pada pasien yang menerima terapi antikoagulan, perhitungkan risiko dan
manfaatnya, lakukan pemantauan tanda-tanda neurologis dan penurunan fungsi. Pastikan
tidak adanya efek antikoagulan sebelum melakukan blok neuroaksial. Hal ini memudahkan
pengukuran efek dari OACs baik secara kualitatif maupun kuantitatif, jika diperlukan.
Menurut penelitian, kejadian tromboemboli pada anestesi neuroaksial lebih rendah
dibandingkan dengan anestesi umum pada pasien yang menjalani TKR maupun THR elektif.

2.3.1. Manajemen Perioperatif Antikoagulan Oral

Pedoman praktek klinis dari ESA, ASRA, dan Skandinavia Society of Anestesiologi
And Care Medicine Intensive (SSAI), memberikan rekomendasi untuk pemakaian anestesi
regional pada pasien yang menjalani operasi dan membutuhkan antikoagulan, termasuk
dengan OACs. Rekomendasi ini berdasarkan data dari uji klinis farmakokinetik setiap
antikoagulan, dan dari uji klinis merekomendasikan rentang waktu antara pemberian
antikoagulan dan pembiusan blokade neuraksial tergantung pada waktu paruh antikoagulan.
Pasien yang menjalani operasi TKR maupun THR dengan usia lanjut sering memiliki
gangguan fungsi ginjal dan menerima terapi antiplatelet; untuk pasien ini, waktu tunggu 3-5
paruh bisa lebih tepat. Untuk mencegah VTE setelah operasi ortopedi mayor, OACs langsung
harus diberikan pada periode pasca operasi ketika hemodinamik stabil.

Manajemen Perioperatif dari Apixaban. The Summary of Product Characteristics


merekomendasikan bahwa apixaban harus dihentikan ≥48 jam sebelum operasi elektif terkait
dengan risiko perdarahan sedang hingga berat, terlebih lagi dianjurkan pada pasien usia lanjut
(yang menunjukkan waktu paruh lambat dan mengalami peningkatan risiko perdarahan). ESA
merekomendasikan 26-30 jam antara penghentian antikoagulan dan melakukan prosedur
anestesi neuroaksial untuk pengelolaan antikoagulan dengan apixaban dalam kasus bedah
ortopedi elektif.

Manajemen perioperatif rivaroxaban. The Summary of Product Characteristics


menyarankan pemakaian rivaroxaban memiliki tenggat waktu minimal 24 jam antara
pemberian terakhir antikoagulan dan operasi, pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Untuk
pasien dengan gangguan ginjal berat, banyak penulis merekomendasikan selang waktu
hingga 4-5 hari. Imberti et al menyarankan penghentian rivaroxaban setidaknya 48 jam
sebelum prosedur pembiusan dengan risiko perdarahan sedang, seperti bedah ortopedi; untuk
prosedur dengan risiko perdarahan tinggi (neuroaksial blok), rivaroxaban harus dihentikan 72
jam sebelum intervensi.

Manajemen perioperatif dari Dabigatran. The Summary of Product Characteristics


merekomendasikan penghentian antikoagulan dabigatran untuk ≥ 2 hari sebelum operasi
elektif dengan risiko tinggi perdarahan atau operasi mayor, tergantung pada fungsi ginjal
pasien. Prosedur risiko tinggi, termasuk operasi jantung, bedah saraf, bedah perut, atau
prosedur yang memerlukan anestesi spinal, memerlukan penghentian dabigatran 2-4 hari
sebelum operasi pada pasien dengan fungsi ginjal normal dan ≥4 hari sebelum operasi pada
pasien dengan gangguan ginjal sedang ( kreatinin 30-50 ml min-1). Berdasarkan karakteristik
farmakokinetik dabigatran, telah disarankan interval waktu 36 jam antara dosis terakhir
dabigatran dan pembiusan, tapi hal ini belum diteliti atau dikonfirmasi.

2.3.2 Inisiasi Antikoagulan Oral Pascaoperatif

Dimulainya kembali apixaban setelah operasi. The Summary of Product


Characteristics merekomendasikan untuk memulai kembali apixaban 12-24 jam setelah
operasi dengan hemostasis stabil dan menunggu jangka waktu minimal 5 jam untuk kembali
memulai pengobatan setelah pencabutan kateter. ESA merekomendasikan 4-6 jam antara
pencabutan kateter dan inisiasi antikoagulan

Rivaroxaban bisa kembali diberikan 6-10 jam setelah akhir operasi, dengan
hemostasis stabil. SSAI guideline merekomendasikan minimal rentang waktu 6 jam antara
pembiusan blok neuroaksial dan inisiasi rivaroxaban, atau penundaan 24 jam jika terjadi
trauma penusukan selama kinerja blok saraf pusat. ESA guideline merekomendasikan selang
waktu 4-6 jam antara intervensi kateter epidural dan pemberian rivaroxaban. Baron et al
menyarankan waktu tunggu 48 jam sebelum melanjutkan antikoagulan setelah prosedur
dengan risiko tinggi perdarahan.

Dimulainya kembali dabigatran setelah operasi. Jika hemostasis stabil, dabigatran


harus dimulai 1-4 jam setelah operasi. Jika anestesi neuroaksial digunakan, dosis pertama
dabigatran tidak harus diberikan dalam waktu 2 jam dari waktu pembiusan dengan kateter,
sesuai rekomendasi dari the Summary of Product Characteristics. ESA guideline
merekomendasikan rentang waktu 6 jam antara pembiusan memakai kateter dengan
pemberian kembali antikoagulasi dabigatran. Namun, ASRA guideline menyatakan bahwa
karena kurangnya informasi tentang kinerja blok neuroaksial dan waktu paruh antikoagulan
ini setelah beberapa dosis maka harus diwaspadai, terutama pada pasien dengan gangguan
ginjal, meskipun tidak adanya laporan hematoma spinal sampai dengan penerbitan guideline
ini. SSAI guideline merekomendasikan untuk menunggu setidaknya 6 jam setelah
neuroaksial blok atau pencabutan kateter pusat sebelum dosis pertama dabigatran kembali
diberikan. Namun, berdasarkan karakteristik farmakokinetik dabigatran, lebih baik jika
menunggu setidaknya 12 jam setelah pencabutan kateter sebelum pemberian dabigatran.

2.3.3 Komplikasi Neurologis dan Anestesi Regional

Komplikasi neurologis pada pasien anestesi regional yang juga menerima terapi
OACs merupakan perhatian utama. Penilaian fungsi neurologis adalah metode yang dapat
diandalkan untuk mendeteksi cedera neurologis, karena tes laboratorium standar tidak dapat
memberikan informasi yang memadai mengenai status koagulasi pasien. Berdasarkan sifat
farmakokinetik dari OACs dan onsetnya yang cepat (dalam beberapa jam), membatasi
penilaian fungsi neurologis dengan periode antara penyuntikan obat bius neuroaksial dan 4
jam setelah mulai terapi masih wajar. Namun, lebih dari waktu tersebut maka penting untuk
tetap memantau adanya cedera neurologis karena perkembangannya mungkin lambat, dengan
onset gejala berkisar selama 3 hari atau lebih.
BAB III

KESIMPULAN

Pasien yang menjalani bedah ortopedi mayor memiliki risiko tinggi VTE sehingga
perlu diberi terapi thromboprophylaxis. Dari keseluruhan populasi, banyak pasien yang
menjalani bedah ortopedi mayor diberi terapi antikoagulan sebelum prosedur pembedahan
untuk mencegah gangguan tromboemboli. Beberapa OACs saat ini disetujui pemakaiannya
untuk beberapa indikasi, termasuk untuk pencegahan VTE setelah operasi TKR atau THR dan
penggunaannya telah berkembang dalam praktek klinis.

Manajemen efektif dari penggunaan OACs dan anestesi regional sangat penting untuk
menghindari komplikasi perdarahan. Pemberian thromboprophylaxis dengan semua jenis
OACs dapat dimulai antara 1 dan 24 jam setelah operasi, asalkan hemostasis stabil, dengan
demikian risiko yang ditimbulkan lebih rendah dalam kasus blok sentral. Setelah operasi,
restart OACs ditunda hingga 48 jam dalam kasus perdarahan atau blok neuroaksial, dan
perlindungan terhadap peristiwa tromboemboli dicapai dalam beberapa jam setelah dosis
pertama obat ini. Efek dari jenis anestesi pada hasil klinis dari OACs masih belum jelas.
Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa pada anestesi neuroaksial risiko kejadian
tromboemboli dan mortalitas terkait VTE lebih rendah dari anestesi umum. Sebaliknya, data
subanalysis RECORD yang dikumpulkan tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam
risiko kejadian tromboemboli vena antara jenis anestesi yang digunakan. Sebuah badan
penelitian dan data klinis di dunia nyata, terutama dengan rivaroxaban, menunjukkan bahwa
anestesi neuroaksial dapat dilakukan pada pasien yang menjalani bedah ortopedi mayor tanpa
meningkatkan risiko hematoma, asalkan mengikuti rekomendasi guideline dan perdarahan
risiko dievaluasi secara individual.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai