Oleh:
Dymas Rhamandasyah P (150070200011145)
Pembimbing :
dr.Wiwi Jaya, Sp.An
PPDS PEMBIMBING :
dr. Shindu
Cover .......................................................................................................... 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 3
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 3
1.2 Tujuan Penulisan .................................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1 Septik dan Syok Septik ......................................................................... 5
2.1.1 Definisi Septik dan Syok Septik ................................................... 5
2.1.2 Epidemiologi Septik.................................................................... .6
2.1.3 Klasifikasi Penyebab dan Shock ................................................. 7
2.1.4 Etiologi Septik dan Syok Septik ................................................... 7
2.1.5 Patofisiologi Septik ...................................................................... 8
2.1.5.1 Kaskade Inflamasi ............................................................. 9
2.1.6 Diagnosis .................................................................................. 10
2.1.7 SkorQSOFA dan SOFA ........................................................... 11
2.2 Manajemen Syok Septik ..................................................................... 14
BAB 3 KESIMPULAN .............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 29
Lampiran Presentasi ................................................................................. 32
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
interstisial sehingga hipotensi dapat diatasi(Dellinger, et al., 2013; Rocha, et al.,
2014; Corrêa, et al., 2015).
Berdasarkan fakta-fakta di atas, tentu menjadi penting untuk mengulas
kembali terkait syok septik. Manajemen yang tepat utamanya terkait resusitasi
dalam syok septik merupakan hal yang sebaiknya tidak dilupakan dan bisa
dilakukan dimana saja. Resusitasi cairan merupakan hal utama yang dapat
dilakukan segera karena menyangkut kegawatan yang dialami dalam syok
septik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2. EpidemiologiSeptik
Septik dan Septikemia adalah penyakit infeksi yang dapat mengancam
jiwa dengan cepat.Pasien dengan kondisi septik dan septikemia sering masuk
kedalam ruang ICU untuk mendapatkan pengobatan. Di Amerika Serikat, syok
septik merupakan penyebab kematian yang sering di ruang ICU.Berdasarkan
datadari survei rumah sakit nasional di Amerika Serikat, dari tahun 2000 sampai
tahun 2008, jumlah rata – rata pasien per 10.000 populasi yang dirawat dirumah
sakit dengan septik dan septikemia mengalami peningkatan lebih dari dua kali
5
lipat. Rata – rata pasien wanita dengan pria mengalami septik dan septikemia
hampir sama dan mengalami peningkatan seiring dengan penambahan
umur.Pasien dengan septik atau septikemia lebih terlihat sakit dan mendapat
perawatan yang lebih lama(Esperet al, 2006).
Menurut penelitian Greg S, et al selama 22 tahun, 10,319,418 kasus
septik telah terjadi (terhitung sebanyak 1.3% dari semua kasus rumah
sakit).Angka pasien septik meningkat per tahun dari 164,072 pada tahun 1979
menjadi 659,935 pada tahun 2000 (peningkatan 13,7% per tahun)(James MT,
2008).
Rata-rata umur wanita terkena septik pada 62 tahun, sedangkan pada
pria rata-rata terjadi pada umur 57 tahun.Sebanyak 15% pasien meninggal tanpa
mengalami kegagalan organ dan 70% pasien dengan gagal organ>3%
meninggal.Organ yang mengalami kegagalan paling sering pada pasien septik
adalah paru-paru (18% pasien) dan ginjal (15% pasien)sedangkan kegagalan
hematologi sebanyak 6% pasien, kegagalan metabolisme 4% pasien, dan
kegagalan neurologi 2% pasien (James MT, 2008).
6
2.1.4. Etiologi Septik dan Syok Septik
Septik dan Syok Septik biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri
(meskipun septik dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan
oleh jamur).Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. Umumnya, septik merupakan suatu interaksi yang kompleks antara
efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan
respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.(Caterino , 2012).
Kultur darah positif pada 20-40% kasus septik dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga
70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram
negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya.
Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat
mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses
tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur(Rungeet al, 2009; Fauciet al,
2013).
Insidensi septik yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya
populasi manusia di dunia, pasien-pasien yang menderita penyakit kronis dapat
bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi septik yang relatif tinggi di antara
pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau
7
antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi
mekanis(Fauciet al, 2013).
Septik dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh.Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan septik adalah paru-paru, saluran kemih,
perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan septik yaitu:
Infeksi paru-paru (pneumonia)
Flu (influenza)
Appendiksitis
Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
Infeksi pasca operasi
Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau ensefalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber septik tidak dapat
terdeteksi(NHSUKet al, 2014).
8
factor-kB (NF-kB) diaktifkan sehingga terjadi produksi sitokin pro-inflamasi, tumor
necrosis factor α (TNF-α), dan interleukin 1 (IL-1)(Caterino, 2012; LaRose, 2013).
TNF-α dan IL-1 memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk
prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator
ini merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran
kapiler.Selain itu, sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel
endotel dan neutrofil.Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel
lebih lanjut melalui pelepasan komponen neutrofil.Akhirnya, neutrofil teraktivasi
melepaskan oksida nitrat (NO), vasodilator kuat.Dengan demikian
memungkinkan neutrofil dan cairan mengalami ekstravasasi ke dalam ruang
ekstravaskular yang terinfeksi sehingga terjadi syok septik(Caterino,
2012;LaRose, 2013).
Oksida nitrat dapat mengganggu adhesi leukosit, agregasi trombosit, dan
mikrotrombosis, serta permeabilitas mikrovaskular.Peningkatan NO tampaknya
meningkatkan aliran di tingkat mikrosirkulasi, meskipun tentu saja vasodilatasi di
tingkat makrosirkulasi merupakan penyebab hipotensi yang membahayakan dan
refrakter sehingga dapat mengakibatkan gangguan fungsi organ dan
kematian(Caterino, 2012; LaRose, 2013).
9
Gambar 2.2 Patofisiologi Septik (LaRose, 2013)
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis septik dan syok septik meliputi diagnosis klinis septik dan syok
septik sesuai dengan yang disebutkan di subbab 2.1.3 (Klasifikasi Septik)
dengan konfirmasi mikrobiologi etiologi infeksi seperti kultur darah positif atau
hapusan gram yang menunjukkan mikroorganisme. Spesimen darah, urin, abses
dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan dilakukan pemeriksaan hapusan
untuk menentukan organisme(Garna HH, 2012).
Pemeriksaan hitung sel darah, hitung trombosit, waktu protrombin dan
tromboplastin parsial, kadar fibrinogen serta D-dimer, analisis gas darah, profil
ginjal dan hati, serta kalsium ion harus dilakukan. Pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif yang mampu melakukan pemantauan tekanan vena sentral,
tekanan darah, dan cardiac outputsecara intensif serta kontinu(Garna HH, 2012).
Tanda-tanda klinis yang dapat menyebabkan dokter untuk
mempertimbangkan septik dalam diagnosis diferensial, yaitu demam atau
hipotermia, takikardi yang tidak jelas, takipnea yang tidak jelas, tanda-tanda
vasodilatasi perifer, syok dan perubahan status mental yang tidak dapat
dijelaskan.Pengukuran hemodinamik yang menunjukkan syok septik, yaitu curah
jantung meningkat dengan resistensi vaskuler sistemik yang
10
rendah.Abnormalitas hitung darah lengkap, hasil uji laboratorium, faktor
pembekuan, dan reaktan fase akut mungkin mengindikasikan septik (LaRosa,
2013).
2.1.7. Skor QSOFA dan SOFA (Septik related Organ Failure Asessment)
Pada pasien dengan septik, kriteria QSOFA (Quick Sequential Organ
Failure Assesment) dan SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) Score
berguna untuk mengetahui prognosa pasien. Untuk QSOFA Score digunakan
untuk pasien non-ICU, dapat dilihat dari beberapa kriteria, kriteria pertama
kesadaran apabila GCS <15 maka skornya 1, kriteria kedua laju pernafasan
apabila ≥22x/menit maka skornya 1, kriteria ketiga adalah SBP apabila ≤100
maka skornya 1. Apabila total skor QSOFA 1 maka masih suspek septik namun
tidak dalam kelompok resiko tinggi, skor QSOFA ≥2 maka termasuk kelompok
resiko tinggi dan resiko mortalitasnya meningkat 3-14x lipat, untuk pasien ICU
dapat dicek dengan menggunakan Skor SOFA memakai data yang paling buruk
dicek setiap 24 jam (Lamontagne, Harrison, dan Rowan. 2017
Untuk Skor SOFA dapat dilihat dari tabel berikut :
11
Tabel 2.3 Skor SOFA (Vincent et al, 1996)
10 0 1 2 3 4
Respirasi
>400 ≤400 ≤300 ≤200 ≤100
Pa02/Fi02
301-433 >433
Ginjal Kreatinin
<106 106-168 169-300 Urine output Urine output
(µmol/L)
<500 ml/hari <200 ml/hari
Hati
<20 20-32 33-100 101-203 >203
Bilirubin (µmol/L)
Dopamin > 5 Dopamin >15
atau atau
MAP epinefrin ≤ 0,1 epinefrin >0,1
Jantung Hipotensi Dopamin ≤
<70 atau atau
Hipotensi (-) 5µg/kg/menit
mmHg Norepinefrin Norepinefrin
≤0,1 >0,1
µg/kg/menit µg/kg/menit
DarahJumlah
>150 ≤150 ≤100 ≤50 ≤20
Platelet (x103/mm3)
Saraf
15 13-14 10-12 6-9 <6
Glasgow Coma Scale
Gambar 2.4 Kriteria Klinis untuk Identifikasi Septik dan Syok Septik
(Singer, et al, 2016)
12
Pengaplikasian skor SOFA dapat dilihat pada gambar 2.4 yang
menjelaskan bahwa pada semua pasien dengan dugaan infeksi dapat dilakukan
penilaian SOFA untuk memudahkan diagnosis. Hal yang dinilai pertama kali
pasien dengan dugaan infeksi adalah laju napas, status mental, dan tekanan
darah sistolik. Apabila tidak didapatkan kelainan maka lakukan monitoring dan
evaluasi ulang kondisi pasien. Jika terdapat abnormalitas pada penilaian, maka
dapat diduga telah terjadi septik dan dilakukan penilaian selanjutnya yaitu pada
rasio PaO2/FiO2, kesadaran dengan GCS, MAP, pemberian vasopressor, serum
kreatinin atau urin output, bilirubin, dan trombosit. Keseluruhan penilaian tersebut
mewakili organ paru, jantung dan pembuluh darah, ginjal, hati, serta sistem
hematologi. Apabila terdapat abnormalitas pada penilaian ke dua, maka dapat
dipastikan pasien tersebut mengalami septik. Langkah yang harus dilakukan
selanjutnya adalah melakukan resusitasi cairan, penggunaan vasopressor untuk
mempertahankan MAP ≥65mmHg, dan serum laktat >2mmol/L.Jika MAP dan
serum latktat tidak mencapai target, pasien tersebut dalam keadaan syok septik
(Singer, et al., 2016).
Pada pasien septik dengan ditemukan ketidakstabilan hemodinamik dan
konsentrasi laktat serum yang meningkat, maka penanganan dengan bolus
500ml kristaloid selama 15 menit sangat dianjurkan. Evaluasi selalu dilakukan
setelah intervensi. Jika kondisi menetap, maka segera cari tahu tanda lain yang
terjadi pada pasien. Guideline dari NCEC (2014) membagi kriteria pasien
menjadi 3 yaitu dengan kondisi hipovolemi dan hemodinamik yang semakin
turun, kondisi yang telah mengalami overload cairan, dan yang mengalami
euvolemi (NCEC, 2014).
Pasien dengan hipovolemi sebaiknya dilakukan observasi ketat setiap 15
menit. Tanda-tanda yang dapat terlihat adalah terjadi penurunan kesadaran,
oliguria, akral dingin dan basah, hipotensi, dan peningkatan serum laktat. Pada
pasien dengan overload cairan tanda yang dapat diamati adalah peningkatan laju
napas, penurunan saturasi oksigen, krepitasi, dan ada distensi JVP. Observasi
ketat yang dilakukan adalah terhadap tekanan darah sistolik dan MAP, penilaian
serum laktat dapat dilakukan maupun tidak. Pada pasien dengan overload cairan
apabila tekanan darah sistolik, MAP, dan serum laktat baik maka dapat diberikan
diuretik untuk mengeluarkan cairan. Namun jika tekanan sistolik, MAP, dan laktat
mengalami abnormalitas maka tidak ada tempat untuk pemberian diuretik,
namun segera berikan vasopressor (NCEC, 2014).
13
14
SBP <90mmHg
Give bolusor MAP500mls
<65mmHg,
isotonic crystalloid
• Lactate
over 15 Euvolaemia
•minutes
Fluid
>2mmol/l and or no
Hypovola overloaded
emia reassess. longer fluid
• Increasing
• Altered (Repeat lactate after
respiratory responsive
SBP >90
SBP 2 SBP and if SBP
litres shock is
mentation rate <90 mmHg
>90 <90
• Oliguria persistent consider MAP
mmHg mmHg
• Sto
mmHg
Decreasing M
St
• MAP
CRITICAL MAP
CARE) >65mm
MAP
O2 <65mm V Hg, ai
op
Cold/mott
>65mm p
<65mm Hg,
saturations
Hg,
as
and/or nt
all Hg,
led skin all and/or
Lactate
and/or • IVT
JVP
and/or Lactate o e
IV
• Lactate >2mmo <2mmo
pr
Lactate
distension l/L n
T
Hypotensi Vas
>2mm l/L
<2mm
• opr Despite es a
Co
on ol/L ol/L adequa so
Crepitations n
ns
• Raised ess te fluid
resuscit rs c
id
lactate ors ation IV
e
15 er Co
m Fl
di
Minute nsi
ai ui
ur
Observati der
nt d
onseti NIV
e s
c or
n 1
Co Int
a /
ns ub
n 2
id ati
ce h
er on
C o
NI No
o u
V t
nt rl
or for
in y
In diu
u O
tu reti
o b
ba c15
us s
ti Co
m e
on nti
Gambar 2.3 Algoritma Resusitasi Cairan pada Dewasa dengan Septik
(NCEC, 2014)
Gambar 2.5 Algoritma berdasarkan waktu, manajemen hemodinamik pada infan dan anak-
anak. (Brierley,et al., 2009)
MAP=mean arterial pressure; CVP= central venous oxygen saturation; PiCCO=pulse contour cardiac output; FATD=
femoral artery thermodillution; sCVo2= central venous oxygen saturation; ECMO=extra corporeal membrane
oxygenation.
Penanganan syok pada infan dan anak hampir sama dengan dewasa.
Langkah awal resusitasi adalah dengan memberikan cairan kristaloid sebesar
20cc/kgBB pada 15 menit pertama kemudian dilakukan evaluasi. Jika tidak ada
16
perbaikan maka dilanjutkan dengan pemberian inotropik. Perlu diperhatikan pula
pada anak-anak terdapat klasifikasi syok, yaitu cold dan warm.Klasifikasi ini
berhubungan dengan respon pembuluh darah perifer. Perbedaan yang mencolok
adalah dilakukan pemberian dopamin pada cold dan norepinefrin pada warm
secara titrasi. Observasi, monitorig, dan evaluasi ketat sangat diperlukan pada
kasus syok septik pada anak (Brierley,et al., 2009).
Guideline yang telah disepakati menyatakan penilaian central venous
pressure (CVP) perlu dilakukan sehingga pemasangan central venous cathether
(CVC) pada kasus septik mutlak dilakukan. Selain untuk mengukur CVP, adanya
CVC juga membantu pemberian cairan dan nutrisi bila diperlukan karena
aksesnya yang langsung bermuara pada vena besar. CVP normal dan yang
menjadi target pemberian resusitasi cairan adalah bernilai 8-12mmHg. Pada
pasien yang telah mencapai target CVP namun MAP masih <65mmHg apat
diberikan obat vasoaktif. Vasoaktif pilihan yang dapat diberikan adalan
norepinefrin. Selanjutnya evaluasi pemeriksaan blood gass analisys (BGA).
Apabila laktat dan saturasi vena sentral terdapat abnormalitas, tambahkan
inotoprik yaitu dobutamine atau dapat dilakukan transfusi pocket red cell (PRC)
hingga hematokrit ≥30% (Rocha, et al., 2014).
17
Gambar 2.4 Suggested goal-directed therapy algorithm for septic shock
resuscitation (Rocha, et al., 2014)
ETI=endotracheal intubation; MV=mechanical ventilation; NBM=neuromuscular blockers; CVP=central
venous pressure; F-R=fluid responsiveness; MAP=mean arterial blood pressure; LacCl=blood lactate clearance;
ScvO2=central venousoxygen saturation;ϪPP=pulse pressure variation; ECHO=hemodynamic
echocardiography; dIVC=distensibility index of the inferior vena cava; PLR=passive leg raising; RBC=packed
red blood cells; HCT=hematocrite
Dari beberapa guideline yang telah ditampilkan, ada 3 komponen dalam
resusitasi pada syok septik, yaitu terapi cairan yang diberikan, pemberian obat
vasoaktif, dan inotropik.
1. Terapi cairan (Dellinger, et al., 2013)
- Kristaloid adalah cairan pertama sebagai pilihan untuk resusitasi
pada septik berat dan syok septik. Ventilasi mekanik segera
dilakukan apabila hipoksemia berat dan gagal napas disertai dengan
penurunan kesadaran atau kemampuan ventilasi yang menurun.
- Tidak menggunakan hydroxyethyl starches (HES) untuk resusitasi
cairan pada septik berat dan syok septik.
- Albumin dapat diberikan dalam resusitasi cairan untuk septik berat
dan syok septik ketika pasien membutuhkan jumlah substansial dari
kristaloid.
- Target cairan minimal 30ml/kg kristaloid pada pasien dengan septik
yang mengakibatkan hipoperfusi jaringan dengan hipovolemia.
Pemberian yang lebih cepat dan jumlah cairan yang lebih banyak
mungkin dibutuhkan oleh beberapa pasien.
Terapi cairan untuk meningkatkan aliran darah mikrovaskuler dan
meningkatkan curah jantung merupakan bagian penting dari pengobatan
segala bentuk syok. Bahkan pasien dengan syok kardiogenik dapat
mengambil manfaat dari cairan, karena edema akut dapat mengakibatkan
penurunan volume intravaskular efektif. Namun, pemberian cairan harus
dipantau secara ketat, karena terlalu banyak cairan dapat meningkatkan
risiko edema dengan konsekuensi yang tidak diinginkan(Dellinger, et al.,
2013).
Titik akhir pragmatis untuk resusitasi cairan sulit untuk ditentukan.
Secara umum, tujuannya adalah untuk meningkatkan cardiac
outputsehingga keadaan preload-independen dapat dipertahankan (yaitu,
di bagian dataran tinggi kurva Frank-Starling), namun hal ini sulit dinilai
secara klinis. Pada pasien yang menerima ventilasi mekanik, tanda-tanda
respon cairan dapat diidentifikasi langsung dari pengukuran beat-by-beat
stroke volume dengan menggunakan monitor cardiac-output atau secara
18
tidak langsung dari variasi yang diamati dalam tekanan nadi pada arteri
selama siklus ventilator(Dellinger, et al., 2013; Rocha, et al., 2014;
Corrêa, et al., 2015).
Namun, terdapat beberapa limitasi yaitu pasien harus menerima
ventilasi dengan volume tidal yang relatif besar, tidak memiliki napas
spontan (yang biasanya membutuhkan pemberian obat penenang atau
obat pelumpuh otot), dan bebas dari aritmia besar dan disfungsi ventrikel
kanan. Tes leg raising pasif adalah metode alternatif yang memiliki respon
yang dapat dinilai dengan cepat namun efeknya bersifat sementara.
Selain dari tes yang digunakan, respon pasien terhadap cairan resusitasi
terkadang sulit untuk dinilai (Dellinger, et al., 2013; Rocha, et al., 2014;
Corrêa, et al., 2015).
Teknik fluid-challenge sebaiknya digunakan untuk menentukan
respon aktual pasien. Fluid-challenge merupakan langkah yang cepat dan
dapat meminimalisirefeksamping. Fluid-challengemenggabungkan empat
unsur yang harus didefinisikan. Pertama, jenis cairan yang harus dipilih.
Larutan kristaloid adalah pilihan pertama, karena dapat ditoleransi
dengan baik dan murah. Penggunaan albumin untuk memperbaiki
hipoalbuminemia berat mungkin wajar dalam beberapa pasien (Dellinger,
et al., 2013; Rocha, et al., 2014).
Kedua, tingkat pemberian cairan. Cairan harus meresap dengan
cepat untuk menginduksi respon yang cepat tapi tidak begitu cepat
sehingga respon stres buatan berkembang; biasanya, infus 300 sampai
500 ml cairan diberikan selama periode 20 sampai 30 menit. Ketiga,
tujuan dari fluid-challenge. Pada syok, tujuannya meningkatkan tekanan
arteri sistemik, meskipun juga dapat terjadi penurunan denyut jantung
atau peningkatan output urin(Dellinger, et al., 2013; Rocha, et al., 2014;
Corrêa, et al., 2015).
Ketiga, batas keselamatan. Edema paru adalah komplikasi yang
paling serius dari infus cairan. Meskipun bukan merupakan pedoman
yang sempurna, batas tekanan vena sentral dari beberapa milimeter air
raksa di atas nilai dasar biasanya diatur untuk mencegah overload cairan.
Stimulasi pasien dan perubahan lainnya dalam terapi harus dihindari
selama tes. Fluid-challenge dapat diulang sesuai kebutuhan, tetapi harus
19
dihentikan dengan cepat jika tidak ada respon untuk menghindari
kelebihan cairan (Dellinger, et al., 2013; Corrêa, et al., 2015).
Guideline pemilihan cairan kristaloid hingga saat ini belum
ditetapkan. Cairan kristaloid yang dikenal adalah NaCl 0,9%, ringer laktat,
dan ringer asetat. Pemilihan cairan kristaloid sebaiknya disesuaikan pada
kondisi pasien (Avila, et al., 2016).
Larutan kristaloid dibagi menjadi non balanced fluid (isotonis
namun mengandung elektrolit yang tidak ekuivalen dengan plasma) yaitu
NaCl 0,9% dan balanced fluid seperti ringer asetat dan ringer laktat. Pada
ringer laktat, buffer yang digunakan adalah laktat, dimana laktat
merupakan marker hipoksia dan dapat meningkatkan konsumsi oksigen
jaringan. Laktat di metabolisme di dalam hepar. Pada keadaan septik,
hepar dapat mengalami gangguan fungsi, sehigga dapat menurunkan
laktat klirens. Oleh karena itu ringer laktat (Dellinger, et al., 2013; Rocha,
et al., 2014; Corrêa, et al., 2015; Avila, et al., 2016).
Beberapa penelitian membandingkan penggunaan NaCl 0,9%
digabungkan dengan cairan kristaloid balanced, dan koloid sebagai
pilihan cairan pada syok septik. Hasil yang didapatkan adalah pilihan
terbaik adalah penggunaan NaCl 0,9% bersamaan dengan cairan
kristaloid balanced. Sedangkan cairan koloid yang dapat dipertimbangkan
adalah albumin ketika cairan kristaloid sudah terlalu banyak diberikan dan
khawatir terjadi edema paru (Dellinger, et al., 2013; Rocha, et al., 2014;
Corrêa, et al., 2015; Avila, et al., 2016).
20
- Terapi vasopressor dimulai untuk mencapai target tekanan arterial
rata-rata (MAP) 65mmHg.
- Norepinephrine merupakan pilihan utama vasopressor.
- Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi dari
norepinefrin) digunakan ketika obat tambahan dibutuhkan untuk
menjaga tekanan darah yang adekuat.
- Vasopresin 0,03U/menit dapat ditambahkan pada norepinefrin dengan
tujuan untuk menaikkan MAP atau menurunkan dosis norepinefrin.
- Dopamin dapat menjadi alternative vasopressor selain norepinefrin
hanya pada pasien tertentu. Misalnya pada pasien dengan resiko
rendah takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif.
- Fenilefrin tidak direkomendasikan pada pengobatan syok septik
kecuali pada keadaan dimana (a) norepinefrin berhubungan dengan
aritmia yang serius, (b) curah jantung diketahui akan tinggi atau
tekanan darah akan secara persisten rendah, (c) atau sebagai terapi
penyelamat ketika kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan
vasopressin dosis rendah telah gagal untuk mencapai target MAP.
- Dopamin dosis rendah seharusnya tidak digunakan untuk proteksi
renal.
Indikasi penggunaan vasopresor adalah jika hipotensi tidak
teratasi atau jika terus berlanjut meskipun telah diberikan cairan.
Vasopresor dapat mulai digunakan bersamaan dengan reusitasi cairan,
jika memungkinkan saat hipovolemia telah tertangani. Tujuan
pemakaian vasopresor adalah menghentikan keluarnya cairan
intravaskuler ke interstisial sehingga hipotensi dapat diatasi(De Backer,
et al.,2010; Dellinger, et al., 2013; Rocha, et al., 2014; Corrêa, et al.,
2015; Pollard, et al., 2015).
21
Vasopressin 0 0 0 0 +++++
22
menit, diberikan secara intravena) secara selektif dapat melebarkan
sirkulasi hepatosplanchnic dan ginjal, tetapi uji coba terkontrol belum
menunjukkan efek perlindungan pada fungsi ginjal, dan penggunaan rutin
untuk tujuan ini tidak lagi dianjurkan. Stimulasi dopaminergik mungkin
juga memiliki efek endokrin yang tidak diinginkan pada sistem
hipotalamus-hipofisis, sehingga imunosupresi, terutama melalui
pengurangan pelepasan prolaktin (De Backer, et al., 2012; Dellinger, et
al., 2013; Corrêa, et al., 2015; Pollard, et al., 2015).
Epinefrin merupakan obat kuat, memiliki efek dominan β-
adrenergik pada dosis rendah, dengan efek α-adrenergik menjadi lebih
klinis signifikan pada dosis yang lebih tinggi. Namun, pemberian epinefrin
dapat dikaitkan dengan peningkatan arrhythmia dan penurunan aliran
darah splanknik dan dapat meningkatkan kadar laktat darah, mungkin
dengan meningkatkan metabolisme seluler(De Backer, et al.,2010;
Dellinger, et al., 2013; Corrêa, et al., 2015; Pollard, et al., 2015).
Penggunaan obat vasopressor kuat lainnya sebagai infus kontinyu
(misalnya, angiotensin atau metaraminol) sebagian besar telah
ditinggalkan. Penghambatan NO2 non selektif belum terbukti bermanfaat
pada pasien dengan syok kardiogenik dan merugikan pada pasien
dengan syok septik (Russell, et al.,2008; De Backer, et al.,2010;
Dellinger, et al., 2013; Corrêa, et al., 2015; Pollard, et al., 2015).
3. Terapi Inotropik
Percobaan infus dobutamin hingga mencapai 20 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam
keadaan (a). disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena
peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah
atau (b). gejala hipoperfusi yang terus menerus, meskipun mencapai
volume intravascular secara adekuat dan MAP yang cukup (Dellinger, et
al., 2013).
Dobutamin merupakan obat inotropik pilihan untuk meningkatkan
curah jantung, walau norepinephrine juga diberikan. Dengan sifat
dominan β-adrenergik, dobutamin kurang cenderung menyebabkan
takikardia dari isoproterenol. Dosis awal hanya beberapa mikrogram per
kilogram per menit secara substansial dapat meningkatkan curah jantung.
23
Dosis intravena lebih dari 20ug per kilogram per menit biasanya
memberikan manfaat tambahan sedikit.
Dobutamin memiliki efek terbatas pada tekanan arteri, meskipun
tekanan bisa meningkat sedikit pada pasien dengan disfungsi miokard
sebagai kelainan primer atau mungkin sedikit menurun pada pasien
dengan hipovolemia yang mendasari. Selain dari pemberian rutin dosis
tetap dobutamin untuk meningkatkan pengiriman oksigen ke atas normal,
tingkat yang telah ditentukan, dosis harus disesuaikan secara individual
untuk mencapai perfusi jaringan yang memadai. Dobutamin dapat
meningkatkan perfusi kapiler pada pasien dengan syok septik (Russell, et
al.,2008; Dellinger, et al., 2013).
Levosimendan, obat lebih mahal, bertindak terutama dengan
mengikat jantung troponin C dan meningkatkan sensitivitas kalsium
miosit, tetapi juga bertindak sebagai vasodilator dengan membuka
saluran kalium ATP-sensitif dalam otot polos pembuluh darah. Namun,
obat ini memiliki waktu paruh beberapa hari, yang membatasi kepraktisan
penggunaannya di negara-negara tertentu (Russell, et al.,2008; Dellinger,
et al., 2013; Corrêa, et al., 2015).
24
BAB III
KESIMPULAN
25
menghasilkan peningkatan klinis yang signifikan pada tekanan arteri rata-rata,
dengan sedikit perubahan denyut jantung atau cardiac output. Dosis umum
adalah 0,1-2,0 mg/kgBB/menit (Russell, et al.,2008; Dellinger, et al., 2013).
Dobutamin merupakan obat inotropik pilihan untuk meningkatkan curah
jantung, walau norepinephrine juga diberikan. Dengan sifat dominan β-
adrenergik, dobutamin kurang cenderung menyebabkan takikardia dari
isoproterenol. Dosis awal hanya beberapa mikrogram per kilogram per menit
secara substansial dapat meningkatkan curah jantung. Dosis intravena lebih dari
20ug/kg/menit biasanya memberikan manfaat tambahan sedikit.
26
DAFTAR PUSTAKA
Avila, et al. 2016. The Use of Fluids in Septik. Cureus 8(3):e528. DOI
10.7759/cureus.528.
Balk RA. Pathogenesis and management of multiple organ dysfunction or failure
in severe septik and septic shock. Critical Care Clinics 2000;16(2):337-52.
Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa
Aksara Publisher; 2012
Corrêa, Thiago Domingos, et al. 2015. Fluid Therapy For Septic Shock
Resuscitation: Which Fluid Should Be Used?.Thematic Review: Intensive
Care. DOI: 10.1590/S1679-45082015RW3273.
Dellinger, R. Phillip, et al. 2013. Surviving Septik Campaign:
InternationalGuidelines for Management of Severe Septik and Septic
Shock: 2012. Critical Care Medicine Journal. DOI:
10.1097/CCM.0b013e31827e83af.
De Backer, Daniel, et al.2012.Dopamine versus norepinephrine in the treatment
of septic shock:A meta-analysis. The Society of Critical Care Medicine
and Lippincott Williams & Wilkins. DOI:
10.1097/CCM.0b013e31823778ee.
Dino halim dkk , Comparison of Apache II, SOFA, and Modified SOFA Scores in
Predicting Mortality of Surgical Patients in Intensive Care Unit at Dr.
Hasan Sadikin General Hospital. Crit Care & Shock (2009) 12:157-169.
Dorland’s Illustrated Medical Dictionary ed 32. USA. Saunders. 2011
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al. Harrison”s Principle of Internal
Medicine ed 18. USA: McGraww Hills. 2013.
Garna HH. Buku ajar divisi infeksi dan penyakit tropis Universitas Padjajaran.
Jakarta: Sagung Seto. 2012
Hadisaputro S patogenesis Dasar – dasar Pengelolaan Septik dan syok septik
.Dalam :Majalah Media Medika Indonesia , ed.2 , Semarang . FK
Undip,1998 ; 37 – 45.
Hall M , William S , De Frmes C , Golosinky A. Inpatient care for septicemia or
septik : A challenger for patient and hospitals.2011.
27
Marshall JC, Cook DJ, Christou NV, Bernard GR, Sprung CL, Sibbald WJ.
Multiple organ dysfunction score: a reliable descriptor of a complex
clinical outcome. Crit Care Med. 1995;23 (10):1638-52.
National health service United Kingdom. Septik [Internet]. [cited 2014 feb 7].
Available from: http://www.nhs.uk/Conditions/Blood-
poisoning/Pages/Causes.aspx
NEC. 2014. Septik Management National Clinical Guideline No. 6. ISSN 2009-
6259.
Rhodes,A., Evans, L., Alhazzani, W., Levy, M., et al. 2016. Surviving
Septik Campaign: International Guidelines for Management of Septik and
Septic Shock 2016. Critical Care Medicine: Maret 2017 - Volume 45 -
Issue 3 - hal 486–552
Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia USA:
Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9
Russell JA, Walley KR, Singer J, et al. 2008. VASST Investigators. Vasopressin
versus norepinephrine infusion in patients with septic shock. N Engl J
Med; 358: 877-87.
Sakr C, Sphonholz, Reinhart K. Organ dysfuntion in the ICU: a clinical
perspective. In: Vincent JL, ed. 2007 Yearbook of intensive care and
emergency medicine. New York: Springer; 2007. p. 238-43.
Singer, Mervyn, et al. 2016. The Third International Consensus Definitionsfor
Septik and Septic Shock (Septik-3).JAMA315(8):801-810.
doi:10.1001/jama.2016.0287.
The epidemiology of septik in the United States from 1979 through 2000 – NEJM
(internet ). ( cited 2012 Dect ) . Available from : http : // www.nejm . org /
doi / full / 10.1056 / NEJ Moa 022139.
Vincent J-L, Moreno L, Takala J, Willatts S, De Mendonca A,Bruining H, et al.
The SOFA (Septik-related Organ Failure Assessment) score to describe
organ dysfunction/ failure. On behalf of the Working Group on Septik-
Related Problems of the European Society of Intensive Care Medicine.
Intensive Care Med. 1996;22(7): 717-20. 16.Dorland . W.A . Newman.
Vincent J-L. Septic shock. Dalam: Fink MP, Abraham E, Vincent J-L, Kochanek
PM eds. Textbook of critical care. 5th ed. Philadelphia; Elsevier:
2005.p.1259-65.
28