Anda di halaman 1dari 39

ACARA I

KESESUAIAN JENIS DENGAN TEMPAT TUMBUH


DAN PEMUPUKAN
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesesuian jenis tanaman terhadap lahan tempat tumbuh merupakan kemampuan suatu
jenis dalam beradaptasi dengan lahan tanam yang dimana lahan tersebut termasuk ke dalam
keriteria kemampuan suatu jenis tersebut untuk hidup, baik dalam memperoleh unsur hara
ataupun air di tanah dengan syarat-syarat tertentu yang dimiliki oleh tanaman tersebut.
Masing-masing jenis tanaman memiliki kemampuan yang berbeda terhadap lingkungan, ada
yang mampu betahan hidup ditempat yang berdasarkan iklim, seperti keadaan tempat yang
kering, sedang kemudian lembab. Kemampuan tumbuh berdasarkan tekstur tanah apakah
mampu di tanah yang berpasir, berlempung dan liat. Semua jenis tanaman tersebut mampu
hidup dikeadaan yang berbeda tersebut karena jenis tanaman mempunyai ciri-ciri fisiologi
yang berbeda seperti daun yang tebal, lebar dan kecil, baik dari segi warna, kemudian
panjangnya akar akan mempengaruhi kemampuan suatu jenis terhadap suatu lahan tanam.
Hal tersebut terjadi karena setiap jenis tanaman mempunyai sifat dasar atau karakteristik
yang berbeda yang merupakan sebagai penanda yang dapat membedakan antara jenis satu
dengan jenis lainnya. Penanda ini merupakan identitas dan jenis tersebut. Pemahaman tentang
karakteristik tiap jenis tanaman ini menjadi kunci penentu dalam keberhasilan pembangunan
hutan. Karena dengan memahami sifat dasar ini akan terjadi penempatan atau pemilihan jenis
sesuai dengan kondisi tempat tumbuhnya (matching species/kecocokan jenis dengan tempat
tumbuh) (Indriyatno, 2016: 2). Salah satu perlakuan penting dalam mengatasi kemampuan
suatu tanaman apakah akan sesuai dengan tempat tumbuh dapat pula dilakukan perlakuan
dengan penambahan kemampuan suatu jenis untuk beregerasi atau tumbuh sehingga
membantu tanman tersebut dalam beradaptasi dan penyesuaian dengan tempat tumbuh
tersebut dengan penambahan unsur hara seperti pemupukan. Sehingga kita dapat mengetahui
bahwa dengan dengan lahan yang mempunyai kemampuan minim kemudian dengan
penambahan pupuk atau unsur hara apakah masih dapat mengoptimalkan pertumbuhan dari
jenis tanaman. Khususnya pada praktikum ini kemampuan jenis tanaman Gamal (Gliricidia
sepium) terhadap tanah kebun dan di beri pupuk kompos dengan 4 perlakuan.
Takaran pupuk yang digunakan untuk memupuk satu jenis tanaman akan berbeda untuk
masing-masing jenis tanah, hal ini dapat dipahami karena setiap jenis tanah, memiliki
karakteristik dan susunan kimia tanah yang berbeda. Beberapa hal penting yang perlu
dicermati untuk mendapatkan efesiensi dalam pemupukan antara lain: jenis pupuk yang
digunakan, sifat dari pupuk tersebut, waktu pemupukan dan syarat pemberian pupuk serta
cara atau metode pemupukan. Maka dari itu, pentingnya dilakuakn praktikum ini dalam
mengetahui kemampuan tanaman Gamal terhadap tanah kebun dan pengaruh pertumbuhan
tanaman terhadap adanya pemberian perlakuan dengan pemberian pupuk kompos dengan
kuantitas yang berbeda.
1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan praktikum ini dilaksanakan, yakni:


1. Untuk mengetahui respon tanaman Gamal (Gliricidia sepium) terhadap pupuk kompos
dengan empat kuantitas perlakuan
2. Untuk mengetahui pertumbuhan tanaman Gamal (Gliricidia sepium) terhadap kesesuaian
dengan tempat tumbuh.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gamal dalam taksonomi tumbuhan termasuk famili Fabaceae (Papilionoideae) yaitu


salah satu jenis tanaman yang mudah ditanam dan tidak memerlukan sifat tanah khusus.
Gamal adalah pribumi di kawasan Pantai Pasifik Amerika Tengah yang bermusim kering.
Gamal diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1900 untuk digunakan sebagai tanaman
pelindung pada areal perkebunan di daerah Medan. Ciri umum Gamal adalah daun menyirip,
dengan bentuk daun oval runcing yang agak lebar, dan bunganya cukup indah berwarna ungu
keputihan. Tanaman Gamal tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian 0-1300 meter dari
permukaan laut dan dapat tumbuh mencapai ketinggian 10 meter (Martoatmodjo, 1976)
dalam (Albab dkk, 2011: 3).
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan
organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam
kondisi lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H.
Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami
penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses
alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat
campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan
penambahan aktivator pengomposan (dalam Khasanah, 2014).
Pupuk kompos merupakan salah satu pupuk organik yang dibuat dengan cara
menguraikan sisa-sisa tanaman dan hewan dengan bantuan organisme hidup. Untuk membuat
pupuk kompos diperlukan bahan baku berupa material organik dan organisme pengurai.
Organisme pengurainya bisa berupa mikroorganisme ataupun makroorganisme (Khasanah,
2014).
Teknologi pengomposan dikembangkan dari proses penguraian material organik yang
terjadi di alam bebas. Terbentuknya humus di hutan merupakan salah satu contoh
pengomposan secara alami. Prosesnya berjalan sangat lambat, bisa sampai berbulan-bulan
hingga bertahun-tahun. Kemudian umat manusia memodifikasi proses penguraian material
organik tersebut. Sehingga pengomposan yang dikelola manusia bisa dilakukan dalam tempo
yang lebih singkat (Khasanah, 2014).
Menurut Khasanah (2014), jenis-jenis pupuk kompos bisa dilihat dari tiga aspek.
Pertama, dilihat dari proses pembuatannya, yaitu ada kompos aerob dan anaerob. Kedua,
dilihat dari dekomposernya, ada kompos yang menggunakan mikroorganisme ada juga yang
memanfaatkan aktivitas makroorganisme.Ketiga, dilihat dari bentuknya ada yang berbentuk
padat dan ada juga yang cair.Berikut ini beberapa contoh dari jenis-jenis pupuk kompos yang
umum dipakai.
1. Pupuk kompos aerob
Pupuk kompos aerob dibuat melalui proses biokimia yang melibatkan oksigen. Bahan
baku utama pembuatan pupuk kompos aerob adalah sisa tanaman, kotoran hewan atau
campuran keduanya. Proses pembuatannya memakan waktu 40-50 hari, untuk lebih
jelasnya silahkan baca cara membuat kompos. Lamanya waktu dekomposisi tergantung
dari jenis dekomposer dan bahan baku pupuk.
2. Pupuk bokashi
Pupuk bokashi merupakan salah satu tipe pupuk kompos anaerob yang paling
terkenal adalah pupuk bokashi. Ciri khas pupuk bokashi terletak pada jenis inokulan yang
digunakan sebagai starter-nya, yaitu efektif mikroorganisme (EM4) . Inokulan ini terdiri
dari campuran berbagai macam mikroorganisme pilihan yang bisa mendekomposisi bahan
organik dengan cepat dan efektif.
3. Vermikompos
Vermikompos merupakan salah satu produk kompos yang memanfaatkan
makroorganisme sebagai pengurai.Makroorganisme yang digunakan adalah cacing tanah
dari jenis Lumbricus atau jenis lainnya. Vermikompos dibuat dengan cara memberikan
bahan organik sebagai pakan kepada cacing tanah. Kotoran yang dihasilkan cacing tanah
inilah yang dinamakan vermikompos. Jenis organisme lain yang bisa digunakan untuk
membuat kompos adalah belatung (maggot black soldier fly).
4. Pupuk organik cair
Pupuk organik cair merupakan pupuk kompos yang dibuat dengan cara pengomposan
basah. Prosesnya bisa berlangsung aerob ataupun anaerob.Pupuk organik cair dibuat karena
lebih mudah diserap oleh tanaman.Dari beberapa praktek, pupuk organik cair lebih efektif
diberikan pada daun dibanding pada akar (kecuali pada sistem hidroponik).Penyemprotan
pupuk organik cair pada daun harus menggunakan takaran atau dosis yang tepat.
Pemberian dosis yang berlebihan akan menyebabkan kelayuan daun dengan cepat.
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum tentang Kesesuaian Jenis dengan Tempat Tumbuh dan Pemupukan ini
dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 Desember 2016 pada pukul 16.30 Wita s/d Minggu, 8
Januari 2017, bertempat di kebun Dosen Kehutanan, Ampenan, Kota Mataram, Kabupaten
Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah


3.2.1 Alat
1. Sreyer
2. Cangkul
3. Parang
4. Solasi
5. Kertas Label
6. Ember
7. Kertas dan Alat Tulis
8. Plastik ukuran 1 kg, 2 kg dan 3 kg.
3.2.2 Bahan
1. Tanaman Gamal (Gliricidia sepium)
2. Pupuk Kompos
3. Air
3.3 Cara Kerja

Cara kerja dalam praktikum ini, yakni:


1. Dipilih tanaman Gamal yang akan diberi perlakuan
2. Diseragamkan ukuran, kenampakan warna dan kesehatannya (tidak cacat fisiknya)
3. Dibersihkan tanaman Gamal dengan cara dicabut/dibersihkan rumputnya sekitar tanaman
untuk mengurangi kompetisi pupuk pada tanaman.
4. Dibuat perlakuan (dosis 0 kg sebagai kontrol, 1 kg, 2 kg dan 3 kg), diulang 3 kali, setiap
perlakuan terdapat 3 tanaman Gamal
5. Diberi label menggunakan kertas label pada setiap tanaman yang akan
diperlakukan dengan mencatat tinggi, diameter dan jumlah daun sebagai data awal.
6. Dipersiapkan pupuk kandang dengan membuat pupuk kandang menjadi kompos,
kemudian diisikan ke dalam plastik ukuran 1 kg, 2 kg dan 3 kg.
7. Diletakan pupuk kandang pada tempat yang telah disediakan dengan rapi sesuai label
yang telah dibuat
8. Dilakukan pemupukan pupuk kompos pada tiap tanaman 0 kg, 1 kg, 2 kg dan 3 kg.
9. Dilakukan penyiraman 3 hari sekali
10. Diamati pertumbuhan tanaman setiap 3 hari sekali sampai 2 minggu dengan mencatat
tinggi, diameter dan jumlah daun.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Tanaman Gamal dengan Dosis Pupuk 0 Kg

Tanggal Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm) Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata
Pengamatan Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm)
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
27/12/2016 8 3 7 0 3 11 57.5 80 64 7.96 5.25 3.66 6 5 67.17 5.62
28/12/2016 10 4 12 0 3 11 57.5 80 64 7.96 5.25 3.66 9 5 67.17 5.62
30/12/2016 11 6 12 45 24 53 57.5 80 64 7.96 5.25 3.66 10 41 67.17 5.62
2/1/2017 13 6 12 61 34 66 57.5 80 64 7.96 5.25 3.66 10 54 67.17 5.62
5/1/2017 13 6 12 86 52 85 57.5 80 64 7.96 5.25 3.66 10 74 67.17 5.62

Tabel 1.2 Hasil Pengamatan Tanaman Gamal dengan Dosis Pupuk 1 Kg

Tanggal Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm) Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata
Pengamatan Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm)
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
27/12/2016 1 2 5 2 0 3 35.5 67.5 73 2.07 3.18 4.2 3 2 58.67 3.15
28/12/2016 3 16 10 2 0 3 35.5 67.5 73 2.07 3.18 4.2 10 2 58.67 3.15
30/12/2016 3 16 10 10 45 43 35.5 67.5 73 2.07 3.18 4.2 10 33 58.67 3.15
2/1/2017 3 22 13 15 72 67 35.5 67.5 73 2.07 3.18 4.2 13 51 58.67 3.15
5/1/2017 3 22 13 20 128 102 35.5 67.5 73 2.07 3.18 4.2 13 83 58.67 3.15

Tabel 1.3 Hasil Pengamatan Tanaman Gamal dengan Dosis Pupuk 2 Kg


Tanggal Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm) Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata
Pengamatan Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm)
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
27/12/2016 2 4 5 0 1 3 77.5 91 87 8.98 9.82 3.18 4 1 85.17 7.33
28/12/2016 17 7 5 0 1 3 77.5 91 87 8.98 9.82 3.18 10 1 85.17 7.33
30/12/2016 17 7 5 57 29 15 77.5 91 87 8.98 9.82 3.18 10 34 85.17 7.33
2/1/2017 17 7 11 85 35 44 77.5 91 87 8.98 9.82 3.18 12 55 85.17 7.33
5/1/2017 17 7 11 110 51 74 77.5 91 87 8.98 9.82 3.18 12 78 85.17 7.33

Tabel 1.4 Hasil Pengamatan Tanaman Gamal dengan Dosis Pupuk 3 Kg

Tanggal Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm) Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata
Pengamatan Jumlah Tunas Jumlah Daun TB (cm) DB (cm)
U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
27/12/2016 8 4 4 2 0 0 84.5 65 62 8.44 3.82 3.82 5 1 70.5 5.36
28/12/2016 8 7 4 2 0 0 84.5 65 62 8.44 3.82 3.82 6 1 70.5 5.36
30/12/2016 9 7 4 32 27 17 84.5 65 62 8.44 3.82 3.82 7 25 70.5 5.36
2/1/2017 9 7 6 52 44 25 84.5 65 62 8.44 3.82 3.82 7 40 70.5 5.36
5/1/2017 9 7 6 66 61 45 84.5 65 62 8.44 3.82 3.82 7 57 70.5 5.36
4.2 Pembahasan

Kesesuaian lahan dan dosis pupuk merupakan suatu peubah yang sangat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman baik pada parameter tinggi, diameter, jumlah daun pada tanaman. Hal
tersebut terjadi karena tanah merupakan tempat tanaman tumbuh yang didalamnya terdapat
unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam memenuhi kebutuhan untuk proses
pertumbuhan. Di dalam tanah terdapat air tanah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman. Tanah
merupakan wadah resapan air ketika terjadinya hujan. Sehingga struktur tanah sangat
mempengaruhi jumlah air tanah yang tersedia didalam tanah. Maka dari itu tanah yang baik
yakni mempunyai unsur hara yang banyak dan mengandung air yang banyak akan
mempengaruhi optimal atau tidaknya pertumbuhan tanaman. Selain itu, ketika tanah
kekurangan unsur hara dapat dilakukan penambahan unsur hara dengan menambah pupuk.
Pupuk yang alami atau pupuk yang berasal bukan dari bahan kimia merupakan salah satu
pilihan dalam memperbaiki kemampuan tanah dalam menyediakan unsur hara. Maka dari itu
struktur tanah atau kesesuaian tanah pada tanaman dan penmabahan pupuk penting terhadap
laju pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan hasil praktikum, yakni sekitar 2 minggu mendapatkan hasil yang cukup jelas
memberikan informasi terhadap tingkat kesuaian lahan dan pemupukan terhadap pertumbuhan
tanaman gamal. Seperti yang terdapat pada Tabel 1.1 untuk hasil pengamatan tanpa perlakuan
yakni 0 kg Pupuk Kandang, Tabel 1.2 untuk hasil pengamatan dengan perlakuan 1 kg pupuk
kandang, Tabel 1.3 untuk hasil pengamatan dengan perlakuan 2 kg pupuk kandang dan pada
Tabel 1.4 untuk hasil pengamatan dengan perlakuan 3 kg. Masing-masing perlakuan di ulang
sebanyak 3 ulangan atau 3 pohon dalam satu perlakuan pupuk.
Pupuk kompos diberikan pada awal pemangkasan tanaman gamal kemudian disiram dan
diamati 3 hari sekali dan dilakukan pengamatan satu kali dalam 3 hari bersamaan dengan
dilakukannya penyiraman. Ketika turun hujan maka tidak dilakaukan penyiraman. Tetapi
pada praktikum ini, itensitas hujan tidak terlalu besar sehingga tetap dilakukan penyiraman.
Hal ini juga akan memberikan pengaruh terhadap produktifitas daun dan tunas tanaman
gamal. Demi adanya perbandingan antar tanaman yang diberi perlakuan praktikan melakukan
pengamatan dengan selang yang berbeda untuk mengetahui jumlah tunas yang tumbuh dalam
selang satu atau dua hari. Sehingga dapat diketahui berapa tunas yang tumbuh dalam selang
satu hari atau dua hari tersebut.
Dari hasil pengamatan jumlah tunas, jumlah daun, diameter batang dan tinggi batang
menyatakan bahwa pada tanaman dengan tanpa perlakuan atau kontrol pada awal pengamatan
mempunyai pertumbuhan yang sangat cepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain yakni
sebayak 6 tunas sementara pada perlakuan 1 kg, 2 kg dan 3 kg secara berturut-turut tunasnya
sebanyak 3, 4, 5. Pada pengamatan berikutnya dengan perlakuan 1 kg mempunyai laju
perbanyakkan tunas yang tinggi dibaningkan dengan yang lain yakni dari 3 tunas ke 10 tunas.
Sementara perlakuan 0 kg, 2 kg dan 3 kg secara berturut-turut adalah 6 ke 9 tunas, 4 ke 10
tunas dan 5 ke 6 tunas. Begitu pula pada pengamatan berikutnya perlakuan 1 kg pupuk
kandang perbanyakan tunas lebih banyak dibandingkan perlakuan yang lain.
Begitupun pada pertumbuhan jumlah daun tanaman gamal perlakuan pupuk kandang 1
kg mempunyai laju pertumbuhan jumlah daun yang tinggi dibandingkan perlakuan yang lain
yakni sebnyak 83 jumlah daun, sedangkan pada perlakuan 0 kg, 2 kg dan 3 kg jumlah daun
berturut-turut adalah 74 daun, 78 daun dan 57 daun. Pada pengamatan tinggi dan diameter
batang dari awal pengamatan sampai akhir pengamatan mendapatkan hasil yang sama.
Sehingga pada pengamatan ini tidak terjadi perubahn diameter batang dan tinggi batang.
Dilihat dari tinggi batang ataupun diameter batang berdasarkan hasil pengamatan tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan jumlah tunas dan jumlah daun yang terdapat pada
batang.
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah pupuk yang sesuai dengan tanah
yanag terdapat pada tanah kebun dosen kehutanan adalah pemberian pupuk kompos atau
kandang sebanyak 1 kg dengan hasil pengamatan terakhir jumlah tunas sebanyak 13 tunas,
jumlah daun sebanyak 83 daun walaupun dengan diameter yang kecil dan tinggi yang pendek
dibandingkan yang lain.
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil praktikum ini adalah


1. Respon tanaman Gamal (Gliricidia sepium) terhadap pupuk kompos dengan empat
kuantitas perlakuan dapat dilihat dari jumlah daun pada perlakuan 0 kg, 1 kg, 2 kg dan 3
kg berturut mempunyai daun sebnyak 74 daun, 83 daun, 78 daun dan 57 daun. Sehingga
yang sesuai adalah pada perlakuan 1 kg pupuk kompos.
2. Pertumbuhan tanaman Gamal (Gliricidia sepium) terhadap kesesuaian dengan tempat
tumbuh dapat dikatakan sesuai atau cocok dengan tanah kebun dosen kehutanan dengan
melihat tidak ada jauh perbedaan jumlah daun yang tanpa perlakuan dengan perlakuan 2
kg, bahkan lebih banyak dari perlakuan 3 kg.
5.2 Saran

Saran praktikan dalam praktikum ini adalah


1. Perlunya mempercepat waktu dimulainya praktikum, agar hasil yang didapatkan lebih
optimal
2. Perlunya penambahan jumlah jenis tanaman. Sehingga terdapat pembanding antara
kesesuaian jenis tanaman gamal dengan jenis tanaman lainnya.
3. Perlunya penambahan jenis tanah yang berbeda. Sehingga dapat membandingkan
kesesuaian terhadap jenis lahan yang digunakan.
ACARA II.
TERASERING
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terasering merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya erosi. Terasering
sering digunakan pada daerah atau kawasan berbukit dan rawan longsor. Dengan terasering
dapat menghambat terkikisnya tanah oleh aliran air hujan. Teras sering adalah suatu konsep
yang digunakan untuk meletakkan tanaman dengan system yang bertingkat-tingkat. Lahan
yang paling cocok dan pas digunakan untuk terasering adalah lahan yang bentuknya miring
(Moy, 2013).
Pelapukan, pengangkutan dan pengendapan sangat dipengaruhi oleh kelerengan.
Semakin besar kemiringan dan panjang lereng maka semakin rentan terhadap proses erosi dan
pergerakan massa tanah (longsoran). Sehingga dalam setiap analisis dan perencanaan tata
ruang di suatu wilayah, kemiringan lereng selalu menjadi salah satu faktor fisik lahan yang
harus diperhatikan, terutama kaitannya dengan evaluasi kemampuan lahan dan potensi rawan
bencana
Lahan yang miring biasanya akan sering ditemukan di daerah perbukitan. Sehingga
dengan keadaan tropografi yang miring maka harus dibuat konsep penataan agar tidak terjadi
erosi yang besar, penataan tersebut dapat dilakukan dengan menyusaikan derajat kemiringan
antara permukaan yang satu dengan yang lainnya. Daerah perbukitan yang memiliki topografi
yang berbeda-beda membuat tanah sangat rentan untuk terjadi erosi, karena limpasan air yang
berada di atas akan membawa air yang berisikan partikel-partikel tanah yang akan
meyebabkan terkikisnya top soil tanah dan air tidak memiliki kesempatan meresap ke dalam
tanah. Sehingga tanah kekurangan unsur hara dan menyebabkan tanah yang berada di atasnya
akan semakin berkurang. Dengan adanya pembuatan pola penaatan permukaan yang benar
maka limpasan dari daerah puncak (atas) tidak mengalir deras melewati lereng lahan.
Hal ini penting dilakukan dalam penataan ruang dan khususnya terasering ini digunakan
untuk pola penanaman di sisiem agroforestri sehingga mengurangi terjadinya erosi dan
kemampuan lahan dalam memberikan unsur hara lebih optimal dan tanaman dapat meresap
air maupun unsur hara dengan optimal. Maka pentingnya praktikum ini dalam mengetahui
bagaimana cara pembuatan dan pentingnya penerapan terasering dalam pola penanaman
tanaman di sistem agroforestri.
1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui cara membuat terasering
dengan alat sederhana
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Stabilitas lereng ditentukan oleh kapasitas geser pada bidang geser (bidang longsor). Jika
kapasitas geser terlapui oleh beban geser dari masa tanah di atas bidang geser maka longsor
akan terjadi. Dalam mekanika tanah, kapasitas gesernya ditentukan oleh parameter kohesi (c)
dan sudut gesek internal tanah (Sumiyanto dan Noor, 2010).
Beberapa pendekatan dalam upaya untuk mitigasi bencana longsor adalah dengan
pendekatan struktural ataupun non struktural. Rekayasa vegetasi (bioengineering) dapat
dilakukan dengan menanam stek batang pohon yang bisa hidup (live fascine) pada tanah yang
akan longsor agar di sepanjang batang pohon yang terpendam keluar akar yang akan mengikat
tanah (Widodo, 2011). Menurut Sitorus (2006), vegetasi berpengaruh terhadap aliran
permukaan, erosi, dan longsor melalui (1) intersepsi hujan oleh tajuk vegetasi/tanaman, (2)
batang mengurangi kecepatan aliran permukaan dan kanopi mengurangi kekuatan merusak
butir hujan, (3) akar meningkatkan stabilitas struktur tanah dan pergerakan tanah, dan (4)
transpirasi mengakibatkan kandungan air tanah berkurang. Keseluruhan hal ini dapat
mencegah dan mengurangi terjadinya erosi dan longsor. Tanaman mampu menahan air hujan
agar tidak merembes untuk sementara, sehingga bila dikombinasikan dengan saluran drainase
dapat mencegah penjenuhan material lereng dan erosi buluh (Rusli, 2007). Keberadaan
vegetasi juga mencegah erosi dan pelapukan lebih lanjut batuan lereng, sehingga lereng tidak
bertambah labil. Dalam batasan tertentu, akar tanaman juga mampu membantu kestabilan
lereng. Namun, terdapat fungsi-fungsi yang tidak dapat dilakukan sendiri oleh tanaman dalam
mencegah longsor Rusli (1997) dalam (Hasmana, 2013).
Kelerengan lahan merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya erosi pada
suatu lahan. Dari hasil pembagian kelas lereng wilayah studi dibagi dalam 6 kelas kelerengan.
Namun demikian, kelas lereng lahan dapat juga dikelompokkan menjadi 4 bagian besar, yaitu
kelompok lahan datar, lahan bergelombang, dan lahan berbukit dan bergunung (Hasmana,
2013).
Teras adalah bangunan konservasi tanah dan air yang dibuat dengan penggalian dan
pengurugan tanah, membentuk bangunan utama berupa bidang olah, guludan, dan saluran air
yang mengikuti kontur serta dapat pula dilengkapi dengan bangunan pelengkapnya seperti
saluran pembuangan air (SPA) dan terjunan air yang tegak lurus kontur. (Yuliarta et al.,
2002). Sedangkan menurut Sukartaatmadja (2004), teras adalah bangunan konservasi tanah
dan air secara mekanis yang dibuat untuk memperpendek panjang lereng dan atau
memperkecil kemiringan lereng dengan jalan penggalian dan pengurugan tanah melintang
lereng. Tujuan pembuatan teras adalah untuk mengurangi kecepatan aliran permukaan (run
off) dan memperbesar peresapan air, sehingga kehilangan tanah berkurang dalam (Moy,
2013)..
Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air, sehingga mengurangi
kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan memungkinkan penyerapan air oleh tanah.
Dengan demikian erosi berkurang (Arsyad, 1989) dalam (Moy, 2013).

BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum tentang Terasering ini dilaksanakan pada hari Minggu, 18 Desember 2016
pada pukul 08.00 s/d 12.00 Wita, bertempat di HKm dalam Hutan Lindung Sesaot pada
sistem Agroforestri, Desa Sesaot, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah


3.2.1 Alat
1. Ondol-Ondol
2. Parang
3. Tali Rafiah
4. Ajir
5. Kertas dan Alat Tulis
3.2.2 Bahan
1. Lahan sistem agroforestri di Kawasan Hutan Lindung Sesaot
3.4 Cara Kerja

Cara kerja dalam praktikum ini, yakni:


1. :Dibuat alat ondol-ondol, dengan menyeragamkan ukuran, kenampakan warna dan
kesehatannya (tidak cacat fisiknya)
2. Ditentukan titik awal
3. Dibuat titik sesuai contour, setiap titik dipasang ajir.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

(Terlampir)
4.2 Pembahasan

Terasering merupakan metode dalam mengurangi jumlah erosi atau limpasan air yang
membawa partikel-partikel tanah debu atau liat. Sehingga akan mengurangi jumlah top soil
yang pada suatu lahan perbukitan. Dengan adanya terasering ini daerah lereng dapat di
seragamkan berdasarkan garis kontur agar dapat mengurangi limpasan run off tentunya ini ada
perlakuan yakni pembuatan teras dan adanya penanaman vegetasi pada lereng yang
mempunyai tingkat kelerengan yang sama sehingga terdapat keteraturan yang dapat
mengurangi terjadinya limpasan permukaan yang tinggi. Teras biasanya digunakan dalam
pembagunan lahan-lahan baru yang memang dalam pengefesien jumlah tanah yang digalih
atau diangkut harus memperhatikan tingkat kelerengan.
pada praktikum ini, terasering dilakukan pada lahan agroforestri HKm Sesaot dengan
membangun sketsa atau pengambilan titik awal dari satu pohon yang akan dilihat apakah
pohon yang satu dengan pohon yang lain menggunakan sitem kontur atau terasering.
Pembuatan terasering dilakukan dengan menggunakan alat sederhana berupa ondol-ondol
yang merupakan bagunan yang cukup berfungsi dengan baik dalam mempersentasekan titik
kontur pada ketinggian yang sama. Ondol-ondol dibuat dari bambu yang telah dibelah
kemudian membuat segitiga sama sisi dan adanya bantu di tengah yang mempersentasikan
apakah garis tersebut sudah termasuk kedalam kelas kelerengan yang sam yang dilehat dari
bertepatannya bandul dengan garis yang telah dibuat pada bambu bagian bawah yang lurus
dengan bagian atas segitiga.
Berasarkan hasil pengamatan setelah memahami konsep alat ondol-ondol dalam
mempersentasekan kelerengan didapatkan hasil bahwa pada sitem agroforestri di HKm Sesaot
ditanam tidak sesuai dengan garis kontur. Sehingga cukup banyak erosi yang terjadi pada plot
yang diukur dan atau diduga bahwa kalau dulunya mengikuti sitem kontur berarti karena
waktu yang sudah cukup lama dapat dikatakan bahwa tanah tersebut terkikis oleh waktu.
Karena waktu juga merupakan salah satu pengaruh dari terbentuknya tanah. Terasering cukup
bagus diterapkan karena tanaman akan ditanam pada titik kontur yang mempunyai kelerengan
yang sama dan dapat pula dikombinaikan dengan jarak tanam di salah satu titik saja serta
tidak dapat diterapkan ketika ingin mengikuti jarak tanam yang sama Karena harus mengikuti
garis kontur. Sehingga alat sederhana berupa ondol-ondol ini dapat diterapkan karena cara
kerja yang sederhan dan pembuatannya pun begitu mudah tidak terlalu banyak mengeluarkan
biaya jika dibandingkan dengan mengenalisis dengan menggunakan data spasial.
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dalam praktikum ini adalah penggunaan alat sederhana
dalam membuat tersering dapat menggunakan alat berupa ondol-ondol alat yang segi tiga sama
sisi dengan bahan bambu yang sudah dibelah sebayak 3 buah dan dengan 1 bandul yang tepat
ikat dibagian ujung bertemunya bambu bagian atas serta penandaan dibagian bambu tengah yang
tepat dengan ujung bagian atas tadi. Cara kerja dapat dengan menentukan titik awal dan mencari
titk selanjutnya dengan melihat tepatnya bandul pas dengan penanaan pada bambu bagian
bawah.
5.2 Saran

Saran praktikan dalam praktikum ini adalah


1. Perlunya mempercepat waktu dimulainya praktikum, agar hasil yang didapatkan lebih
optimal
2. Perlunya memperjelas output dilaksanakannya praktikum
3. Perlunya praktikan lebih memahami apa yang akan dipraktikumkan
ACARA III
PENGATURAN JARAK TANAM
UNTUK PENANAMAN AGROFORESTRY
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jarak tanam yang optimal atau jarak tanaman yang baik dipengaruhi berbagai faktor.
Faktor-faktor itu yang dipengaruhi, diantarnya sifat klon yang di tanam, bentuk wilayah
(topografi), dan kerapatan tanaman yang dihendaki dan sebagainya sehingga menjadi faktor-
faktor yang mempengaruhi tumbuhan. Pada lahan yang datar dan agak landai digunakan jarak
tanam yang biasa jarak tanamannya, tetapi untuk daerah yang miring, harus digunakan sistem
kontur supaya tidak terjadi kompetisi antar tanaman (Setyamidjaja, 2000) dalam (Sinaga,
2015).
Jarak tanam merupakan pengaturan pertumbuhan dalam satuan luas yang patut
diperhitungkan tapi jarang diperhatikan oleh petani. Jarak tanam sangat erat kaitannya dengan
produktifitas yang akan dihasilkan. Ini berarti jarak tanam erat kaitannya dengan jumlah hasil
yang akan diperoleh dalam sebidang tanah. Karena itu pengaturan jarak tanam perlu
diperhatikan untuk memenuhi sasaran yaitu produksi yang maksimal (Rubatzky,1998) dalam
(Dewi, 2014).
Penentuan jarak tanam sesuai dengan produktifitas tanaman, ketika tanaman mempunyai
biofisik yang tinggi seperti daun besar dengan cabang yang banyak sehingga rindang
membuat ruang terpenuhi. Dengan hal tersebut maka akan terjadi kompetisi yang tinggi dalam
mendapatkan cahaya, unsur hara dan kompetisi-kompetisi lainnya. Menurut Andre (2003)
dalam (Sinaga dkk, 2015), jarak tanam memepengaruhi interaksi hara antara tanaman dan
mikroba dalam tanah semakin sempit jarak tanam maka persaingan antar tanaman semakin
tidak seimbang dan mikroba dalam tanah semakin besar dalam hal pemanfaatan hara,oleh
karena itu pemilihan jarak tanam harus diperhatikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan
tanaman dan kehidupan mikroba yang kelak akan menentukan kesuburan tanah pada musim
berikutnya.
Dari hal tersebut jarak tanam ini sangat penting diperhatikan agar tanaman mendapatkan
unsur hara, dan air yang optimal yang disesuaikan dengan luas daerah tanam kemudian jarak
yang optimal yang disesuaikan dengan luas daerah tanam untuk memenuhi kebutuhan
tanaman untuk pertumbuhan tanaman. Maka pentingnya praktikum ini dalam mengetahui
jarak tanam dan pengaturan jarak tanam pada sistem agroforestri.
1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengetahui cara pengaturan jarak tanam pada sistem
agoforestri.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengaturan jarak tanam dengan kepadatan tertentu bertujuan memberi ruang tumbuh
pada tiap-tiap tanaman agar tumbuh dengan baik. Jarak tanam akan mempengaruhi kepadatan
dan efisiensi penggunaan cahaya, persaingan diantara tanaman dalam penggunaan air dan
unsur hara sehingga akan mempengaruhi produksi tanaman. Pada kerapatan rendah, tanaman
kurang berkompetisi dengan tanaman lain, sehingga penampilan individu tanaman lebih baik.
Sebaliknya padakerapatan tinggi, tingkat kompetisi diantara tanaman terhadap cahaya, air dan
unsur hara semakin ketat sehingga tanaman dapat terhambat pertumbuhannya dan Secara
fisiologis jarak tanam akan menyangkut ruang dan tempat tanaman hidup dan berkembang.
Maka, bila jika jarak tanam terlalu sempit akan terjadi persaingan dalam memperoleh unsur
hara, air, sinar matahari, dan tempat untuk berkembang. Jarak tanam tidak hanya dipengaruhi
oleh habitus tanaman dan luasnya perakaran, tetapi juga oleh faktor-faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi turunnya produktivitas tanaman yang mendapatkan kerugian bagi petani
(Susanti, 2001) dalam (Sinaga, 2015).
Jarak Tanam menentukan efisiensi pemanfaatan ruang tumbuh, mempermudah tindakan
budidaya lainnya, tingkat dan jenis teknologi yang digunakan yang dapat ditentukan oleh :
Jenis tanaman, Kesuburan tanah, kelembaban tanah, dan tujuan pengusahaan, Teknologi yang
digunakan (manual atau mesin). Pengaturan jarak tanam terbagi menjadi beberapa yaitu :
baris tunggal (single row), baris rangkap (double row), bujur sangkar (on the square), sama
segala penjuru (equidistant), atau hexagonal, dan sebagainya (Mahdi, 2011) dalam (Dhika,
2014).
Tanjuk tanaman, perakaran serta kondisi tanah menentukan jarak tanam antar tanaman.
Hal ini berkaitan dengan penyerapan sinar matahari dan penyerapan unsur hara oleh tanaman,
sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Tanaman dengan jarak
yang lebih luas mendapatkan sinar matahari dan unsur hara yang cukup karena persaingan
antar tanaman lebih kecil (Pima, 2000) dalam (Dhika, 2014).
Pengaturan jarak tanam sangat mendukung pertumbuhan tanaman dan produksi. Jarak
tanam juga sangat berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro disekitar tanaman dan
penerimaan sinar matahari. Jarak tanam yang rapat dapat menyebabkan kelembapan udara
yang tinggi disekitar tanaman. Kondisi ini tidak menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman
karena tanaman mudah terserang penyakit (Cahyono, 2003) dalam (Sinaga, 2015).
Pengaturan jarak tanam yang tepat diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi.
Perlakuan jarak tanam yang rapat menghasilkan tanaman yang lebih tinggi. Semakin rapat
jarak tanam maka laju pertumbuhan tinggi tanaman akan semakin besar, akibatnya tanaman
mempunyai tajuk yang tinggi. Pertumbuhan tinggi tanaman yang pesat disebabkan oleh ruang
tumbuh yang sempit sehingga kompetisi cahaya antar individu semakin besar (Aliudin, 1995)
dalam (Dewi, 2014).
Akibat persaingan dan tidak adanya space tersebut maka proses pertumbuhan seperti
fotosintesis dan perkembangan dahan akan terhambat, hal tersebut dikarenakan unsur hara, air
maupun cahaya merupakan kebutuhan mutlak bagi tanaman dalam proses fotosintesisnya.
Sedangkan tanpa adanya space maka dahan akan bertabrakan sehingga perkembangannya
akan terganggu (Azwir, 2008) dalam (Dewi, 2014).
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum tentang Pengaturan Jarak Tanam Untuk Penanaman Agroforestry ini


dilaksanakan pada hari Minggu, 18 Desember 2016 pada pukul 08.00 s/d 12.00 Wita,
bertempat di HKm dalam Hutan Lindung Sesaot pada sistem Agroforestri, Desa Sesaot,
Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah


3.2.1 Alat
1. Tali Rafiah
2. Parang
3. Ajir
4. Kertas dan Alat Tulis
3.2.2 Bahan
1. Lahan sistem agroforestri di Kawasan Hutan Lindung Sesaot
3.3 Cara Kerja

Cara kerja dalam praktikum ini, yakni:


1. Disiapkan tali rapiah dengan ukuran 9 m sebanyak 4 buah untuk penanaan jarak tanam
pada luas daerah seluas 81 m2.
2. Disiapkan pancang atau ajir untuk penandaan setiap sudut untuk menanam
3. Diulurkan tali rafiah yang sudah diukur, kemudian diatur dengan membentuk 90o agar
semua sudut bertepatan satu sama lain sehingga membentuk siku-siku
4. Ajir dipasang disetiap sudut yang menjadi sudut jarak tanam
5. Dilihat apakah semua bertepatan garis lurus satu sama lain
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Jarak Tanam

Luas Jarak Jumlah Tanaman


No
Area Tanam yang dapat di Tanam
1 9mx9m 3mx3m 16 Tanaman

4.2 Pembahasan

Pengaturan jarak tanam sangat penting dilakukan dalam mengatur tata ruang yang masuk
kedalam sistem jarak tanaman baik berupa angin yang masuk, tutupan tajuk yang teratur
sehingga tidak menindih yang lainnya. Jarak tanam mempengaruhi tingkat kompetisi tanaman
dalam memperoleh makanan dan air didalam tanah karena semakin dekat jarak tanaman maka
kompetisi semkain besar dalam merebut unsur hara di dalam tanah. Begitupun dengan
kebutuhan akan cahaya matahari semakin teratur jarak tanam maka itensitas penyinaran yang
didapatkan akan sama rata. Jarak tanam di lapangan harus mempertimbangkan luasan area
tanam dan tanaman apa yang akan ditanam. Ketika menanam dengan sistem yang cukup rapat
maka saat mengalami pertumbuhan, tanaman yang rapat dapat dilakukan penjarangan. Maka
sangat penting pengaturan jarak diperhatikan
Berdasarkan hasil praktikum dengan luasan area seluas 9 m x 9 m akan ditanami suatu
tanaman dengan jarak tanam 3 m. Jarak antara sudut harus sama sehingga sudut yang
diperlukan adalah sudut 90o agar jarak tanamnya teratur. Maka setelah dilakuakan pengukuran
maka didapatkan banyaknya tanaman yang dapat di tanam pada area dengan luas 81 m 2
adalah 16 tanam karena pada satu garis terdapat 4 tanaman yang dapat ditanam karena
jaraknya sama maka jumlahnya adalah 4 x 4 sama dengan 16 tanaman.
Sesuai dengan yang dijabarkan Dewi (2014) bahwa semakin rapat jarak tanam maka laju
pertumbuhan tinggi tanaman akan semakin besar, akibatnya tanaman mempunyai tajuk yang
tinggi. Pertumbuhan tinggi tanaman yang pesat disebabkan oleh ruang tumbuh yang sempit
sehingga kompetisi cahaya antar individu semakin besar. Maka untuk tanaman-tanaman
industri perlu jarak tanam yang rapat sehingga mempunyai batang yang monopodial sehingga
memiliki nilai kubikasi yang tinggi. Begitu juga dengan tanaman pada sitem agroforestri jika
tanaman berupa tanaman yang toleran maka baik untuk merapatkan jarak tanam.
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil ari praktikum ini adalah cara pengaturan jarak tanam
pada sistem agoforestri dapat dilakukan dengan mengetahui luas daerah terlebih dahulu,
kemudian menentukan jarak tanam yang cocok pada jenis tanaman, setelah itu membuat jarak
tanam dengan sistem phytagoras sehingga menghasilkan jarak tanam yang lurus dan
menghasilkan pola tanam yang teratur.
5.2 Saran

Saran praktikan dalam praktikum ini adalah


1. Perlunya mempercepat waktu dimulainya praktikum, agar hasil yang didapatkan lebih
optimal
2. Perlunya memperjelas output dilaksanakannya praktikum
3. Perlunya praktikan lebih memahami apa yang akan dipraktikumkan
ACARA IV
STRUKTUR DAN KOMPOSISI
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem agroforestri seringkali memiliki banyak spesies alami yang tumbuh pada sebidang
lahan yang sama, sehingga ahli agroforestri dapat memberikan kontribusi penting dalam
usaha melestarikan keanekaragaman hayati (biodiversitas) (Widianto, Hairiah, Suharjito dan
Sardjono, 2003: 19).
Struktur dan komposisi merupakan bagian dari kegiatan analisis vegetasi dalam
mengetahui unsur-unsur vegetasi baik dalam bentuk pertumbuhan stratifikasi dan penutupan
tajuk. Hal ini dapat dijabarkan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis vegetasi yang
diproleh dengan informasi secara kualitatif dapat berupa diagram profil pohon baik tampak
depan ataupun tampak atas. Sedangkan secara kuantitatif dapat melalui tahap perhitungan
dengan berbagai rumus untuk menyatakan struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Kimmins (1987) dalam (Mamat, 2016), variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam
suatu komunitas dipengaruhi oleh fenologi, dispersal, dan natalitas. Keberhasilannya menjadi
individu baru dipengaruhi oleh vertilitas dan ekunditas yang berbeda setiap spesies sehingga
terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing-masing spesies.
Sistem agroforestri mempunyai vegetasi yang mendekati hutan alam dengan strata yang
beragam dan jenis yang heterogen. Tentu akan mempunyai struktur dan komposisi yang
berbeda dengan hutan pada umumnya. Maka dari itu perlu mengetahui perbedaan struktur dan
komposisi hutan yang berada di sistem agroforestri dengan hutan pada umumnya. Sehingga
pentingnya praktikum ini dilakukan dalam mengetahui struktur dan komposisi pada sistem
agroforestri.
1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan praktikum ini adalah untuk Mengetahui struktur dan komposisi pohon
penyususun HKm Desa Sesasot, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Utara.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Agroforestri memiliki beberapa persamaan dengan ‘hutan alam’ khususnya yang


berkaitan dengan susunan vegetasi, pengaruh terhadap kondisi tanah dan kondisi bentang
lahan. Susunan vegetasi merupakan aspek terpenting dalam komponen vegetasi yakni susunan
tajuk dari sistem agroforestri yang berlapis-lapis, jenis pohon dan tanaman bawah. Komposisi
vegetasi ini terkait dengan peran dan fungsi terhadap evaporasi dan transpirasi, intersepsi
hujan, dan iklim mikro. Dalam hal ini beberapa sistem agroforestri memiliki kemiripan
dengan hutan ((Widianto, Hairiah, Suharjito dan Sardjono, 2003: 12-13).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi vegetasi
secara bentuk (struktur) vegetasi dari masyarakat tumbuh- tumbuhan. Unsur struktur vegetasi
adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Dengan analisis vegetasi dapat
diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi suatu komunitas tumbuhan.
Metode ini harus dipilih, sebab meletakkan plot secara sembarang tidak akan mencapai
tujuan. Letak dan distribusi plot harus diatur sesuai dengan tujuannya, selain itu untuk
mempermudah analisis/interpretasi data. Cara pengambilan plot harus secara random, tersebar
dengan jarak yang sama (cara kuadran), mengikuti arah kompas yang telah ditentukan (arah
transek), transek arahnya alternasi dan berbentuk kuadran atau stratified (Syafei, 1990).
Struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Struktur vegetasi berupa vegetasi
secara vertikal yang merupakan diagram profil yang melukiskan lapisan pohon, tiang,
sapihan, semai dan herba penyusun vegetasi. 2. Sebaran, horisotal jenis-jenis penyusun yang
menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain.3. Kelimpahan (abudance)
setiap jenis dalam suatu komunitas. Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan,
biasanya terdiri dari beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam
mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga
merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Irwanto, Fatchur dan
Sumberartha, 2007).
Variasi struktur dan komposisi tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain
oleh fenologi, dispersal, dan natalitas. Keberhasilannya menjadi individu baru dipengaruhi
oleh vertilitas dan ekunditas yang berbeda setiap spesies sehingga terdapat perbedaan struktur
dan komposisi masing-masing spesies (Kimmins.1987) dalam (Mamat, 2016).
BAB III METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum tentang Pengaturan Jarak Tanam Untuk Penanaman Agroforestry ini


dilaksanakan pada hari Minggu, 18 Desember 2016 pada pukul 08.00 s/d 12.00 Wita,
bertempat di HKm dalam Hutan Lindung Sesaot pada sistem Agroforestri, Desa Sesaot,
Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah


3.2.1 Alat
1. Tali Rafiah
2. Parang
3. Ajir
4. Kertas dan Alat Tulis
5. Hypsometer
3.2.2 Bahan
1. Vegetasi di sistem agroforestri di Kawasan Hutan Lindung Sesaot
3.3 Cara Kerja

Cara kerja dalam praktikum ini, yakni:


1. Dilakukan pengambilan sampel dengan membuat petak ukur empat persegi panjang
dengan yang berukuran 61 m x 7,6 m (Richard, 1977) sebanyak 2 plot di lokasi yang
berbeda.
2. Dilakukan pengukuran jenis pohon, tinggi, tinggi batang lepas cabang, diameter tajuk,
diameter batang (dbh) yang ada dalam plot.
3. Dibuat sketsa pohon dari hasil pengukuran yang diperoleh dari plot ukur,
4. Dibuat diagram profil pohon
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Data Pohon Pada Plot (61 m x 7,6 m) di HKm Sesaot
Kordinat
Keliling Diameter Tinggi Tinggi Lebar Tajuk
Plot
Nama Total Bebas
No. (keliling
Tanaman (di atas Tanaman Cabang
dibagi X Y B T U S
62,8 cm) (m) (m)
3,14)
1 Nangka 135 42.99 24.54 3.92 2.5 0 10 4 4.5 3.2
2 Pinus 158 50.32 29.41 24.1 15 0.7 7 4.55 4 7
3 Pinus 234 74.52 39.47 19.1 16 0.5 7 3 2 4
4 Pinus 184 58.6 38.1 18.14 22 4 2 2 2 1
5 Mahoni 224 71.34 35.96 12.34 23.5 0 3.5 2 5.5 4.5
6 Pinus 190 60.51 33.38 26.82 26 0.5 2 4 2.5 2
7 Durian 74 23.57 5.18 2.65 32.5 0 4.5 4.5 5.5 4
8 Nangka 80 25.48 7 1.83 34 6 5 4 5 3.5
9 Nangka 86 27.39 5.79 1.52 41.5 2 4 4.5 5 4
10 Mahoni 78 24.84 17 13.5 52.5 1.5 4.1 6 3.5 2.5

Dari hasil data di atas dijabarkan dalam bentuk diagram profil pohon tampak depan yang
dilampirkan pada lampiran 4 (Gambar Diagram Profil Pohon Pada Plot dengan ukuran (61 m
x 7.6 m).
4.2 Pembahasan

Sistem agroforestri yang baik adalah sistem agroforestri yang mendekati hutan alam
klimaks, hal demikian dikatakan terjadi karena penyusun jenis atau tanaman yang ada pada
sistem agroforestri hampir semua jenis ada 4 penyusun plantae yakni Spermatophyta,
Briophyta, Petherodophyta dan Thalophyta. Hutan yang baik adalah hutan yang mempunyai
keempat tanaman tersebut. Sehingga sistem agroforestri mampu dikatakan sebagai hutan yang
hampir peranannya sama dengan hutan alami.
Tentunya suatu lahan dikatakan berhutan biasanya mempunyai tingkat strata yang
beragam, an spesies yang setidaknya menyusun hutan tersebut beragam, hal ini merupakan
sistem yang ada pada hutan alam, berbeda dengan hutan tanaman yang mempunyai jenis dan
strata yang homogen. Tentunya strata dan jenis akan mempengaruhi tingkat adaptasi tanaman
terhadapa berbagai hal, miasalkan terhadap hama dan sebagainya.
Hutan agroforestri merupakan hutan yang mempunyai tingkat strata dan jenis yang
bergagam karena sistem pemanfaatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan lahan yang
didominasi oleh tanaman kehutanan atau lahan pertanian. Sehingga berdasarkan pengamatan
yang dilakukan di sistem agroforestri Hkm Sesaot mendapatkan jumlah pohon yang cukup
beragam yakni ada empat jenis tanaman yang menyusun pada plot 61 m x 7.6 m. Keberadaan
pohon tersebut mendukung struktur dan komposisi dari sistem agroforestri di HKm Sesaot.
Pengamatan dilakukan dengan menghitung diameter tanaman untuk menegtahui apakah
tanaman itu termasuk ke dalam kelas pohon.selain diameter pohon, yang perlu dihitung dalam
mengetahui struktur dan komposisi adalah tinggi total pohon, tinggi bebas cabang pohon,
kordinat x,y pohon untuk dicatat di diagram pohon, lebar tajuk arah utara, selatan, timur dan
barat untuk mengetahui tingkat kerapatan dari semua jenis pohon yang masuk di dalam plot.
Metode ini merupakan metode untuk mengetahui struktur dan komposisi secara
kualitatif, sementara untuk menegtahui nilai secara kuantitatif dapat dilakukan dengan
menghitung Indek Nilai Penting, kerapatan tanaman dan sebagainya. Jadi pada pengamatan
ini hanya dilakukan pencapaian hasil yang bersifat kualitatif saja. Berdasarkan hasil
pengamatan tanaman yang menyusun plot tersebut adalah nangka, pinus, mahoni dan durian.
Dimana tanaman yang mempunyai tinggi yang paling tinggi adalah terdapat pada tanaman
pinus kemudian mahoni, nangka dan durian. Sementara pada lebar tajuk didominasi oleh
tanaman nangka.
BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat iambil dari praktikum ini adalah struktur dan komposisi sistem
agroforestri di Hkm Sesaot disusun dengan tanaman secara berturut-turut yang mempunyai
kuantitas paling banyak adalah tanaman pinus, nangka, mahoni dan durian.
5.2 Saran

Saran praktikan dalam praktikum ini adalah


1. Perlunya mempercepat waktu dimulainya praktikum, agar hasil yang didapatkan lebih
optimal
2. Perlunya memperjelas output dilaksanakannya praktikum
3. Perlunya praktikan lebih memahami apa yang akan dipraktikumkan
4. Perlunya menhintung atau analisis vegetasi terhadap tingkat pancang dan tiang untuk
mengetahui struktur dan komposisi lebih kompleks.
DAFTAR PUSTAKA

Albab, B.R.U. , Nursadi, I.P., Rismayanti, Igunsyah, T.R. dan Pristiarini W. 2011. Laporan
Akhir Praktikum (Produksi Tanaman Perkebunanan). Program Studi
Agroekoteknologi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung.

Dewi, S.S. 2014. Laporan Praktikum TBT "Pengaturan Jarak Tanam".Yogyakarta

Dhika, D. 2014. Jurnal Praktikum Dasar-Dasar Agronomi Jarak Tanam Praktikum Dasar-
Dasar Agronomi. Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian. Universitas Islam
Sumatra Utara. Medan

Hasmana, S. 2013. Land Suitability For Land Disaster Mitigation On Cultivated Area Case
Study In Cultivated Area In Mount Sindoro-Sumbing Slopes At Wonosob And
Temanggung Regency) Kajian Kesesuaian Lahan Untuk Mitigasi Bencana Lahan Di
Kawasan Budidaya (Kasus Kawasan Budidaya Di Lereng Gunung Sindoro-Sumbing
Kabupaten Wonosobo Dan Temanggung) Pusat Teknologi Sumberdaya Lahan
Wilayah dan Mitigasi Bencana-BPPT.

Indriyatno. 2016 Petunjuk Praktikum Agroforestry. Program Studi Kehutanan Universitas


Mataram. Mataram.

Irwanto, Fatchur dan Sumberartha, I.W. 2007. Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan.
Malang: JICA.

Khasanah, D. 2014. Pengaruh Pupuk Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tomat

Mamat. 2016. Laporan Lengkap Hasil Praktikum Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan.
Universitas Tadulako.

Moy, M. 2013 Laporan Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Pertanian. Universitas Mataram.
Mataram.

Sinaga, W.H. 2015. Jurnal Praktikum Agroklimatologi Jarak Tanam. Prodi Agroteknologi.
Fakultas Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara. Medan.

Sumiyanto dan Noor, A.A. 2010. Pengaruh Pembuatan Terasering Pada Lereng Terhadap
Potensi Longsor (Influence Of Terrace In Slope To Landslide. Prodi Teknik Sipil
Jurusan Teknik Universitas Jenderal Soedirmandinamika. Rekayasa Vol. 6 No. ISSN
1858-3075.
Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung : ITB

Anda mungkin juga menyukai