Anda di halaman 1dari 11

Perjalanan Panjang

RABU, 17 OKTOBER 2012

Ulcus Diabetic

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik, ditandai oleh adanya
hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Di
dunia, jumlah penderita DM diperkirakan sebanyak 171 juta jiwa dan keadaan ini diprediksi akan
terus meningkat mencapai 366 juta jiwa pada tahun 2025.1DM sering disertai berbagai komplikasi
jangka pendek maupun panjang, komplikasi ini menyebabkan meningkatnya angka morbiditas,
mortalitas, dan penurunan kualitas hidup.2

Seiring dengan peningkatan jumlah penderita DM, maka komplikasi yang terjadi juga
semakin meningkat, satu diantaranya adalah ulserasi yang mengenai tungkai bawah, dengan
atau tanpa infeksi dan menyebabkan kerusakan jaringan di bawahnya yang selanjutnya disebut
dengan kaki diabetes (KD).3 Manifestasi KD dapat berupa dermopati, selulitis, ulkus, gangrene,
dan osteomyelitis. KD merupakan masalah yang kompleks dan menjadi alasan utama mengapa
penderita DM menjalani perawatan di rumah sakit yang selama rawatan membutuhkan biaya
sangat mahal dan sering tidak terjangkau oleh kebanyakan masyarakat umum. 3,4

Insiden dan Prevalensi

Insiden ulkus KD 2-3% dan prevalensi 4-10%, pria lebih sering dari wanita. Distribusi usia
jarang dijumpai pada usia 40-49 tahun dan terbanyak pada usia di atas 60 tahun. Suatu studi di
Eropa, mendapatkan prevalensi ulkus KD 3% pada usia <50 14="14" 60="60" 7="7" 80="80"
dan="dan" pada="pada" serta="serta" sup="sup" tahun.="tahun." tahun="tahun" usia="usia">5

Patofisiologi

Terjadinya kaki diabetik adalah proses multifaktorial yang melibatkan berbagai komplikasi
DM maupun trauma yang secara langsung menyebabkan luka pada kaki yang berisiko. Neuropati
diabetes, kelainan vaskular, dan kerentanan terhadap infeksi merupakan tiga faktor predisposisi
terjadinya ulserasi pada kaki diabetik.6 Trias ini jarang menyebabkan lesi pada kaki tanpa disertai
dengan trauma atau luka. Progresivitas dari lesi ini tergantung pada status metabolik dari pasien,
kemampuan sensoris untuk merasakan dan melindungi diri dari luka, sirkulasi yang adekuat, dan
perawatan luka. Interaksi ketiga faktor predisposisi bisa dilihat pada gambar 1.
Neuropati Perifer

Neuropati perifer merupakan komplikasi umum dari DM terbukti berhubungan dengan


intensitas dan durasi dari penyakit.6 Secara morfologi kelainan sel saraf pada neuropati terdapat
pada sel-sel Schwan, selaput myelin dan akson. Kelainan yang terjadi tergantung pada derajat
dan lamanya mengidap diabetes serta jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Lesi serabut saraf
dapat terjadi dibagian proksimal atau distal, fokal atau difus, mengenai serabut kecil atau besar,
mengenai serabut saraf sensorik, motorik atau otonom.

Penyebab neuropati perifer sampai sekarang ini belum diketahui sepenuhnya tetapi diduga
bersifat multifaktorial, beberapa teori yang terkait terjadinya neuropati perifer antara lain :

- Teori metabolik

Hiperglikemia menyebabkan kenaikan kadar gula darah intraseluler. Kelebihan glukosa diubah
menjadi sorbitol dan fruktosa. Akumulasi keduanya akan menyebabkan penurunan mionositol,
penurunan aktifitas Na+/K+ - ATPase yang selanjutnya mengganggu transport aksonal
sehingga menyebabkan kecepatan hantar saraf tepi menurun.

- Teori vaskuler (Hypoksik-Iskemik)

Teori ini menyebutkan pada penderita neuropati terjadi penurunan aliran darah ke
endoneurium yang disebabkan oleh adanya resistensi pembuluh darah akibat hiperglikemi dan
juga berbagai faktor metabolik yang dapat menyebabkan penebalan pembuluh darah,
agregasi platelet, hiperplasi sel endothelial yang kesemuanya dapat menyebabkan iskemia,
dan keadaan ini juga menyebabkan terganggunya transport aksonal, aktifitas Na+/K+ -
ATPase yang akhirnya menimbulkan degenerasi akson.

- Teori Neurotrophic factor

Neurotrophic factor (NF) sangat penting untuk system saraf dalam mempertahankan
perkembangan dan respon regenerasi system saraf. Nerve growth factor (NGF) misalnya
merupakan protein yang member dukungan besar terhadap kehidupan serabut saraf dan
neuron simpatis. Pada penderita DM, neurotrophic factor jumlahnya berkurang sehingga
transport aksonal yang retrograd terganggu.
Pada pasien DM dengan neuropati, terdapat 3 sistem saraf yang bisanya mengalami
gangguan,yaitu system saraf sensorik, motorik, dan otonom.

- Sistem saraf Sensorik

Sistem saraf sensorik dimulai dengan badan sel di ganglion radiks dorsalis yang mengirim
serabut saraf afferent ke perifer menuju organ target bersama serabut saraf motorik dan
otonom, dan juga mengirim serabut ke sentral melalui radiks dorsalis yang berakhir di kornu
dorsalis medulla spinallis. Serabut saraf sensorik terdiri atas : A-alfa, A-beta, A-delta, dan C
dengan sifat dan fungsi yang berbeda-beda.

Nilai ambang proteksi dari kaki ditentukan oleh normal tidaknya fungsi saraf sensoris kaki.
Keterlibatan saraf sensorik (neuropati sensorik) menimbulkan berbagai keluhan yang
beraneka ragam, seperti rasa kebas-kebas, hiperestesia, rasa proprioseptik, vibrasi.
Adakalanya didapati rasa nyeri yang tak tertahankan seperti rasa terbakar terutama di malam
hari sehingga pasien tidak dapat tidur, “burning feet restless leg syndrome”.

Dengan adanya neuropati sensorik akan menyebabkan penderita DM kurang atau tidak
merasakan berbagai trauma, keadaan ini mempermudah terjadinya lesi. Disamping itu
neuropati sendiri menyebabkan perubahan pada tulang (osteolisis diabetic) sehingga timbul
deformitas dan menimbulkan titik tekan baru yang dapat menyebabkan ulserasi ataupun
gangren.

- Sistem saraf Motorik

Neuron motorik berasal dari kornu anterior medulla spinalis, terletak di badan selnya.
Serabut motorik keluar dari medulla spinalis melalui radiks ventralis dan menginervasi organ
target melalui saraf perifer.

Gejala motorik dapat terjadi di bagian distal, proksimal, atau kelemahan pada satu tempat.
Neuropati ini sering mengenai ujung jari kaki yang menyebabkan atrofi otot-otot telapak kaki
selanjutnya terjadi deformitas tapak kaki sehingga memberikan kontribusi terhadap lesi pada
kaki. Keterlibatan saraf motorik (neuropati motorik) dapat berupa kelemahan pada otot intrinsik
kaki dan terjadi ketidakseimbangan fleksor dengan ekstensor yang
menimbulkan “intrinsic minum foot” dan dapat terjadi claw toes, penonjolan kaput metatarsal,
pergeseran bantalan kaki metatarsal ke depan.

Peninggian tekanan pada daerah ini dapat menimbulkan ulkus. Pada kasus yang berat,
otot-otot proksimal dapat terkena terutama otot dorsofleksor sehingga menimbulkan drop foot.
Perubahan otot-otot tersebut menyebabkan terjadinya deformitas pada kaki yang
menyebabkan daerah tersebut lebih mendapat tekanan dari luar. Dijumpai juga reflex tendon
menurun, parese, pergerakkan sendi-sendi terganggu.
- Sistem saraf Otonom

Sistem saraf otonom terdiri dari simpatis dan parasimpatis. Di perifer, serabut
preganglionik meninggalkan medulla spinalis bersinaps di ganglion dan serabut pot ganglion
berjalan bersama dengan saraf motorik dan sensorik membentuk saraf perifer.

Keterlibatan saraf otonom (neuropati otonom) mengganggu persepsi, perubahan pola


berkeringat dan regulasi temperature, kulit kering, bersisik, kakum mudah terjadi pecah-
pecah, serta tidak peka terhadap perubahan dan akhirnya mudah terkena infeksi.

Gangguan Pembuluh Darah

Bentuk aterosklerosis pada penderita DM sama dengan pada non-DM, yang terjadi
adalah gangguan keseimbangan gula darah mengakibatkan metabolisme lemak yang
terganggu. Perubahan struktur yang terjadi dalam lapisan intima dan media menyebabkan
penebalan yang menonjol kearah lumen yang berupa ateromatosis, yang kadang-kadang
disertai endapan kapur. Aterosklerosis ini menyebabkan permukaan dalam arteri tidak rata dan
licin, yang akhirnya mengundang trombosit dan mediator-mediator inflamasi yang menempel
dan membuat lumen arteri semakin sempit, bahkan membentuk trombus dan menyumbat aliran
darah. Apabila aliran kolateral tidak cukup untuk menyuplai oksigen dan nutrisi ke jaringan
perifer maka akan terjadi iskhemik dan kemudian nekrosis. Apabila disebelah distal lesi
mengalami luka maka akan terjadi penyembuhan yang terlambat dan akhirnya meluas. Hal ini
seringkali disertai dengan saprofit dan membentuk gangren.

Kelainan Makrovaskuler

Berhubungan dengan aterosklerosis yang menyebabkan penyempitan arteri besar dan


sedang di tungkai bawah dan kaki. Hipertrigliserimia, hiperkolesterolimia (LDL), dan penurunan
kadar kolesterol HDL berperan dalam aterogenesis ini. Pada pasien diabetes predileksi
terjadinya penyempitan adalah di arteri tibialis dan arteri peronialis antara lutut dan pergelangan
kaki. Penurunan suplai oksigen dan nutrisi menyebabkan kaki iskhemik sehingga regenerasi
terhambat, kurang kemampuan untuk mempertahankan integritas normal jaringan, lemahnya
melawan infeksi.

Kelainan Mikrovaskular

Terdapat abnormalitas pembuluh darah arteriola, kapiler dan venula.

a. Terjadi perubahan struktur berupa penebalan membran basal endotel sehingga


menurunkan transfer nutrisi melalui dinding sel dan mengurangi kemampuan pembuluh
darah untuk berdilatasi sebagai bagian dari proses inflamasi normal. Penebalan ini
merupakan konsekuensi dari gangguan toleransi glukosa kronis, glikosilasi nonenzimatik
kolagen dan proteoglikan, serta kerentanan genetik.
b. Terjadi trombosis kapiler karena pembuluh darah menjadi kaku dan eritrosit sulit untuk
lewat karena penebalan membran basal. Akhirnya akan terjadi penutupan pembuluh
kapiler sehingga jaringan menjadi iskhemik.
c. Terjadi perubahan fungsional pada pasien DM yaitu perubahan dalam aliran darah, timbul
arterio-venous shunting akibat denervasi saraf simpatis pada arteriola dan venula

Infeksi

Mudahnya terjadi infeksi pada penderita KD diakibatkan oleh adanya iskemia,


mikrotrombus, sebelumnya hingga akhirnya terbentuk abses, gangren, sepsis, dan osteomielitis.
Setiap penderita DM memiliki respon terhadap infeksi yang berbeda-beda. Tanda-tanda infeksi
yang umum dapat berupa demam, edema, eritema, pernanahan, atau berbau dan leukositosis.
Penderita DM dengan infeksi kaki sekalipun berat tidak selalu diikuti dengan peningkatan
temperature tubuh dan jumlah leukosit. Di samping itu sering sekali luasnya infeksi melebihi
yang tampak secara klinis.

Staphylococcus aureus dan streptokokus β-hemolyticus adalah mikroorganisme yang


pertama menginfeksi ketika terjadi kerusakan kulit. Ketika luka terjadi dalam proses lama, maka
mikroorganisme yang terlibat semakin komplek, pada keadaan ini kuman aerob gram negatif
dan anaerob akan berkembang. Bakteri gram negatif, terutama enterobakteriase banyak
ditemukan pada pasien dengan infeksi kronik.

2.4 Penilaian Kaki Diabetik

Dalam menilai kaki diabetik, anamnesis adanya riwayat ulkus dan amputasi sebelumnya
diperlukan. Anamnesis juga harus menanyakan adanya gejala neuropati atau gejala yang
mengarah kepada penyakit vaskular perifer. Pertanyaan mengenai komplikasi lain dari DM juga
harus ditanyakan, seperti gangguan penglihatan.

Pada pemeriksaan inspeksi kaki, pemeriksa harus melihat adanya tanda-tanda infeksi atau
adanya ulkus pada kaki. Adanya callus atau kelainan kuku harus menjadi catatan bagi
pemeriksa. Adanya perbedaan suhu merupakan salah satu tanda adanya penyakit vaskular.
Pemeriksa juga harus menilai adanya deformitas pada kaki (claw toe, hammer, charcot foot).

Ketika melakukan pemeriksaan kelainan vaskular pada kaki, harus dilakukan palpasi pada
arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior untuk menilai adanya pulsasi atau tidak. Adanya
klaudikasi, hilangnya rambut, kulit pucat dan kering menandakan adanya iskemia. Pada
pemeriksaan vaskular, pengukuran ankle brachial index (ABI) juga dianjurkan untuk melihat
adanya sumbatan pada arteri perifer. Pengukuran ABI dilakukan dengan cara mengukur
tekanan sistolik pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan
dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan yang tinggi terhadap
adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan vascular
imaging untuk melihat adanya kemungkinan terjadinya iskemia.

2.5 Klasifikasi Ulkus Kaki Diabetik

Jika ditemukan adanya ulkus, maka deskripsi karakteristik ulkus harus mencakup ukuran,
kedalaman, tampilan ulkus, dan lokasi. Banyak klasifikasi yang digunakan untuk
mendeskripsikan ulkus kaki diabetik. Klasifikasi yang biasa digunakan yaitu wagner ulcer
classification system, klasifikasi ini dibuat berdasarkan kedalam ulkus dan luasnya jaringan
nekrosis. Kelemahan dari sistem klasifikasi ini adalah, sistem ini hanya mengklasifikasi ulkus
berdasarkar kedalam dan tampilan ulkus tanpa melihat adanya tanda-tanda iskemia atau
infeksi.

Klasifikasi lain yang biasa digunakan adalah klasifikasi The unversity of Texas
system. Pada klasifikasi ini dijelaskan mengenai kedalam ulkus serta menjelaskan adanya
iskemi dan infeksi.6
Klasifikasi kaki diabetes yang dianjurkan oleh International Consensus on the Diabetic
Foot 2003 (klasifikasi PEDIS) adalah:7

Tatalaksana Kaki Diabetik


Pasien dengan infeksi berat (grade 4), luka dalam, dicurigai adanya keterlibatan tulang dan
sendi, serta menunjukkan tanda iskemia berat (gangren) harus dirawat inap. Karena pada
keadaan ini dibutuhkan banyak tindakan seperti pembedahan ( debridemen, drainase, reseksi
tulang atau revaskularisasi), terapi cairan, dan pemantauan gula darah yang ketat (biasanya
menggunakan terapi insulin).

Terapi Empiris Antibiotik


Drainase infeksi secara invasif menjadi lini pertama dalam penatalaksanaan semua ulkus,
terutama jika terdapat abses yang disertai dengan keadaan sindrom kompartemen, nekrosis
luas, atau selulitis nekrosis. Hasil dari randomized clinical trials menunjukkan bahwa antibiotik
sistemik mempunyai makna klinis pada pasien dengan kaki diabetik. Terapi empiris yang
diberikan pada pasien dengan kaki diabetik infeksi harus mampu mencakup patogen yang
paling umum menyerang dan hal ini harus berdasarkan epidemiologi patogen dari infeksi kaki
diabetik.

Beratnya infeksi menentukan regimen antibiotik yang diberikan. Pasien dengan infeksi
ringan yang sebelumnya belum pernah mendapatkan terapi antibiotik biasanya disebabkan oleh
infeksi dari satu atau dua jenis spesies bakteri, sehingga regimen antibiotik yang diberikan harus
bisa melawan patogen staphylococcus aureus dan streptococcus spp. Pada kasus infeksi kaki
diabetik yang telah lama dan berat membutuhkan antibiotik yang mampu melingkupi bakteri
basilus gram negatif, enterococcus spp dan kuman anaerob.

Revaskularisasi

Pada kasus critical ischemia, setelah infeksi dapat terkontrol, tindakan revaskularisasi dapat
dipertimbangkan. Idealnya tindakan revaskularisasi dilakukan bersamaan dengan tindakan debridemen.
Namun, pada beberapa kasus, revaskularisasi dapat dilakukan belakangan, terutama pada kasus delayed
healing.

Revaskularisasi pada pasien DM bisa dilakukan secara conventional open surgery atau
intervensi endovaskular. Teknik open surgical seperti endarterektomi dilakukan untuk lesi lokal
dan bypass perifer pada oklusi yang panjang. Intervensi endovaskular antara lain angioplasti,
dengan atau tanpa stenting, dan aterektomi. Intervensi ini memiliki keuntungan yang lebih jika
dibandingkan operasi bypass, yaitu dalam hal morbiditas dan mortalitas.

Drainase dan debridemen

Drainase dan debridemen adalah dua prosedur bedah yang berbeda namun saling
melengkapi. Drainase adalah tindakan melakukan sayatan seluas jaringan phelgmon atau
abses. Prosedur pembedahan ini sangat penting khususnya pada infeksi dalam di daerah
permukaan plantar kaki, dimana infeksi menyebar melalui selubung tendon dari otot-otot flexor
yang terletak di kompartemen antara fasia superfisialis dan arkus kaki. Sehingga jika terjadi
iskemia atau jaringan nekrosis pada daerah ini, perlu dilakukan drainase dengan membuka fasia
plantaris.
Tindakan debridement melibatkan eksisi jaringan nekrosis dan debris sampai jaringan
normal muncul, sehingga memungkinkan terjadinya penyembuhan luka dan menghilangkan
sumber patogen. Prinsip dari debridement ini adalah membuang jaringan yang mati, sambil
menjaga jaringan yang masih layak sebanyak mungkin. Adanya clotted vessels, stringy fascia
dan tendon menandakan bahwa jaringan sudah tidak layak dan harus dibuang. Tulang yang
lunak berwarna abu-abu menandakan nekrosis dan harus direseksi untuk membersihkannya.
Bau adalah indikator yang paling bagus dalam menilai keberhasilan debridement, jika luka post
debridement tidak berbau, maka bisa menjadi tanda bahwa debridement berjalan dengan baik.

Negative Pressure Wound Therapy (NPWT)


NPWT adalah terapi adjuvant noninvasif yang menggunakan kontrol tekanan negatif
menggunakan Vacum assisted closure device (VAC) untuk membantu penyembuhan luka
dengan menghilangkan cairan yang dihasilkan dari luka terbuka melalui sealed dressing dan
tube yang disambungkan dengan kontainer penampung.8 NPWT memberikan tekanan
subatmosfer secara intermiten atau terus-terusan dengan tekanan sebesar 50-175 mmHg.9

NPWT paling bagus dilakukan pada ulkus pada stage III dan IV dengan inadekuat atau
jaringan granulasi yang buruk serta banyak terdapat eksudat. Secara umum, NPWT bisa
digunakan pada luka kronik yang ukurannya berkurang tidal lebih dari 30% setelah empat
minggu dilakukannya debridement, atau pada luka dengan cairan eksudat yang banyak, yanh
tidak bisa ditatalaksana secara efektif hanya dengan mengganti perban.8.9

Pencegahan

Pencegahan terjadinya ulkus KD adalah dengan melakukan pengontrolan kadar gula darah
ketingkat kadar gula darah yang normal dirumah. Termasuk keterampilan mengatur diet
penggunaan obat-obatan.

- Perawatan ke ahli Podiatri

· Kunjungan regular, pemeriksaan dan perawatan kaki secara dini

· Penilaian faktor resiko

· Deteksi dini dan terapi yang agresif pada lesi yang baru

- Pemeriksaan denyut nadi

· Evaluasi denyut nadi

· Menilai pulsasi kaki, tes vaskular noninvasive jika ada indikasi

- Sepatu proteksi

· Memiliki ruangan yang adekuat, berperan sebagai protektif terhadap cidera, sepatu karet,
sepatu yang dalam dan lebar.

· Modifikasi khusus jika perlu

- Mengurangi tekanan

· Sepatu tempahan
· Memiliki bantalan yang lembut

- Pembedahan profilaksis

· Memperbaiki deformitas : Hammer toe, Charcots foot

· Mencegah ulkus berulang

- Edukasi

· Hindari rokok, berjalan menggunakan alas kaki, mencuci kaki dengan air hangat.

· Perawatan kuku

· Pemeriksaan tapak kaki regular setiap hari, antara jari kaki

· Kaki dibersihkan setiap hari, mempergunakan sabun yang lembut dan mempergunakan

Pelembab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Synder RJ, et al. Consensus recommendations on advancing the standard of care for
treating neuropathic foot ulcers ini patients with diabetes. 2010

2. American Diabetes Association. Consensus development conference diabetic foot wound


care. Diabetes care. 1999; 22(8). 1354-9.

3. Apelqvist J, bakker K, Hotum W, Schaper N. Practical guidelines on the management and


prevention of the diabetic foot. Diabetes Metab Res Rev. 2008; 24(1). 181–7.

4. Frykberg R, et al. Diabetic foot disorders: Clinical practice guideline (2006 revision). The
journal of foot & ankle surgery. 2006; 45(6).

5. Mendes JJ, Neves J. Diabetic foot infections: Current diagnosis and treatment. The Journal
of Diabetic Foot Complications. 2012; 4(2). 26-45

6. ClaytonW, Elasy TA. Review of the pathophysiology, classification, and treatment of foot
ulcers in diabetic patients. Clinical Diabetes. 2009; 27(2). 52-7

7. Lipsky BA,et al. Diagnosis and treatment of diabetic foot infections. CID; 2004; 39. 886-
903.

8. Nain SP, Uppal S, Garg R, Bajaj K, garg S. Role of negative pressure wound therapy in
healing of diabetic foot ulcers. Journal of surgical technique and case report. 2011; 3(1). 17-
9

9. Kirby M. Negative pressure wound therapy. The british journal of diabetes and vascular
disease. 2007; 7(5). 230-3.
Diposting oleh oktaviadi 05.55

Tidak ada komentar:


Posting Komentar

Posting LamaBeranda

Langganan: Posting Komentar (Atom)


Pengikut

Arsip Blog
 ▼ 2012 (2)
o ▼ Oktober (2)
 Ulcus Diabetic
 Trauma Kimia Mata
 ► 2011 (1)
 ► 2010 (5)

Mengenai Saya
oktavia

Lihat profil lengkapku

Anda mungkin juga menyukai