Anda di halaman 1dari 4

Puncak Ilmu

Ilmu membawa kita naik. Satu tangga menjadi dua tangga. Dua tangga menjadi tiga tangga.
Begitu pun seterusnya. Sampai pada puncaknya. Puncak bagi tiap-tiap orang pun berbeda.
Tangga itu akan berjalan menuju tujuannya, semakin hari semakin menjulang tinggi ke langit
sampai pada puncaknya. Lalu apa yang kita letakkan sebagai puncak dari ilmu itu?
“Puncak ilmu adalah rasa. Pemenangnya adalah hati yang tunduk pada Sang Pemilik ilmu
itu sendiri.”- 2018

(sungguh ketercapaian tertinggi saya dalam belajar, yang menjadi tugas besar saya
sekarang, belajar yang dimaksud adalah belajar apapun)

Saya menyadari saya masih lalai dalam menggapai tujuan tersebut. Saya takut puncak yang
saya ingin menggapainya, saya lupakan karena merasa terbiasa atau bisa dibilang telah
menjadi rutinitas. Saya takut semua ilmu ini tiada bernilai di mata Sang Pemilik-Nya.

Dosen Radiologi saya pernah mengatakan bahwa,


“Tantangan terbesar kita bukanlah kemalasan tapi terjebaknya kita dengan rutinitas.
Hingga kita tiada jeda untuk berpikir apa-apa yang terjadi dalam kehidupan kita. Hingga
kita lupa pertanyakan kemanakah nilainya dari apa yang kita lakukan ini?” – dr. Harry
Galuh, Sp. Rad (K)

Kita sadari ilmu itu hanya perantara. Ya, semua yang ada pada kita, ilmu, rezeki, jodoh, nikmat
bahkan ujian sekalipun. Semua itu adalah perantara seorang hamba di dunia yang nanti akan
kembali kepada Tuannya.

Dulu kita pernah belajar, garis vertikal dan horizontal. Keduanya harus seimbang agar
membentuk 3600. Vertikal menuju Allah, yang memiliki ilmu itu sendiri dan horizontal adalah
kebermanfaatan kita sebaik-baik kita menjadi untuk orang-orang di sekitar kita. Lalu, bisa kita
bayangkan bagaimana garis tersebut bila berdiri sendiri. Vertikal saja atau horizontal saja.
Sudut berapakah yang akan dibentuk? Wallahualam. Allah mengajarkan kita keseimbangan.
Alam ini pun seimbang bukan? Masa kita tidak  he 

Surat Al Mulk ayat 1-4, yang saya tetap jatuh cinta padanya
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Yang telah
menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan
Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan
penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.”

Saya pernah membaca tulisan seseorang,


“Attitude yang baik, humble dan sopan sama sekali tidak membuatmu terlihat rendah.
Malah bagiku, kepalamu sering tertunduk sopan karena beratnya isi kepalamu, saking
banyaknya ilmu di dalamnya. Begitu pula attitudemu yang kasar, sombong, dan semena-
mena tidak membuatmu terlihat tinggi. Malah bagiku kepalamu sering menengadah
sombong karena ringannya isi kepalamu, saking sedikitnya ilmu di dalamnya.”- dr. Abdullah
Ihsan

Dokter favorit saya, dr. Dedi Fitriyadi, Sp.An (K) dengan penuh semangatnya menyadarkan
kita, kira-kira seperti ini “Betapa sombongnya kita bila kita tidak membaca, tidak
memahami, bila hidup hanya bermalas-malasan.“ (sebetulnya kata-kata beliau lebih
menggugah karena campuran antara Bahasa Inggris dan Bahasa Sunda  )

Semakin kita baca (ilmu) semakin kita akan terus membaca (diri dan keadaan). Pola pikir kita
terbentuk, perasaan kita terasah, kedewasaan kita terpupuk.

Bapak selalu bilang, “Teh, urang teh kudu pinter-pinter ngaji diri, ngaji kaayaan. Ngaji
Qur’an atawa buku mah tos kawajiban, tos teu kedah dicatur ku Bapa.”

Saya anak kecil yang selalu tetap kecil di matanya yang selalu ingat pesan ini. Sebetulnya saat
itu ingin sekali saya bertanya, apa maksud beliau berkata demikian. Tapi mulut rasanya
terbungkam. Lalu hati bergumam, biarlah nanti terjawab sendiri maksud dari kata-kata Bapak.
Saya buka satu persatu maksud beliau. Walau hingga detik ini saya belum tahu persis maksud
sebenarnya apa.
Mungkin saya coba terjemahkan,
Kita harus pandai mengkaji diri. Al-Qur’an atau buku-buku bacaan yang kita baca, perantara
kita untuk mengkaji yang lain. Pertama, mengkaji diri kita sendiri. Betapa kecilnya diri kita,
betapa terbatasnya kemampuan kita, betapakah kita banyak melakukan kesalahan-kesalahn
selama kita hidup. Mengkaji diri pula untuk mengembalikan lagi kepada diri kita, tidak akan
pernah bosan saya diingatkan oleh Bapa ketika saya sesekali merasa kesal terhadap keadaan,
La ilaha illa anta. Subhanaka, inni kuntu minazzhalimin
“Tiada Tuhan Selain Engkau. Maha suci Engkau Ya Allah.Sesungguhnya aku adalah
termasuk dalam golongan orang-orang zalim.”
Memang benar, yang dzalim itu adalah diri kita sendiri. Apabila kita ingin sekali marah, kesal
terhadap seseorang atau keadaan, sesungguhnya Allah sedang menegur kita. Bahwa kita
harus mengenal apa itu muhasabah. Kembali, apa yang harus kita perbaiki dari diri kita.
Kedua, mengkaji keadaan. Ialah bersikap dewasa terhadap apa-apa yang ada di hadapan.
Menghormati kepada yang lebih tua, menyayangi kepada yang lebih muda, memberikan
kenyamanan pada sesama. Tentu, memberikan kehangatan bagi setiap orang siapapun itu.
Mengkaji keadaan pula adalah memposisikan, apa yang butuh, apa yang sekedar ingin.
Memposisikan pula bagaimana dewasa terhadap suatu keadaan. Kapan berhenti, kapan
bertindak. Memposisikan apa yang kita harus lakukan dan apa yang tak boleh kita lakukan.
Memposisikan adalah pula mengerti bahwa memahami adalah kunci persaudaraan,
mengalah, menahan ego dan berbijaksana adalah sebuah kemenangan hati yang tetap ingin
menciptakan kedamaian.
Pernah saya dengar sudah lama sekali di Ruang Lecture, guru saya dr. Putri Halley
mengatakan,
“Kamu tahu? Dewasa itu bertahan, dewasa itu berdamai dengan ketidaknyamanan”.
Dan tentang ilmu, saya simpulkan..
“Puncak ilmu adalah rasa. Pemenangnya adalah hati yang tunduk pada Sang Pemilik ilmu
itu sendiri.”- 2018
Do’akan saya mencapai puncak ilmu yang ia hanya sebagai perantara untuk membuat Sang
Pemiliknya tetap menyayangi, tetap mencintai, tetap mencurahkan berkah-Nya di setiap
langkah. Karena saya tidak tahu amalan yang mana dan seperti apa yang membuat Ia ridha.

(Terimakasih orang-orang yang telah menginspirasi yang kutipan-kutipannya saya sebutkan


diatas. Saya hanya meneruskan hebatnya kata-kata beliau-beliau yang saya kutip menjadi
sebuah tulisan dan saya banyak belajar darinya. Mohon maaf saya langsung menuliskannya.
Semoga menjadi kebaikan :)

Anda mungkin juga menyukai