Anda di halaman 1dari 2

JAUH

“Langitku jauh, birunya terpantul penuh menyeluruh pada laut. Jiwanya luas, dengan senang hati
memberikan keluasan hati bersama jarak. Awan adalah do’a-do’aku yang tak pernah lepas dan
selalu membersamaimu. Pun ombak ini adalah do’a-do’amu yang melekat pada diriku.“

Mendengarnya, tiba-tiba saja muncul kata “jauh ya”, tiba-tiba juga mengobati diri sendiri “Tapi tidak
lama kan?”

Terkadang jauh itu menciptakan rasa memiliki yang tak kita sadari. Terkadang jauh itu kesempatan
untuk kita merindu, mengungkapkan rasa yang selama ini malu untuk diucap.

Dulu, ketika dekat dan bertemu setiap saat, untuk memeluk pun duh malu rasanya, untuk minta do’a,
lidah kaku tiba-tiba karena berujung dengan air mata yang tak tertahankan.

Untuk jauh kali ini berlaku pada tiap-tiap kehadiran, siapapun itu.

Saya ambil contoh saja. Yap, hari ini 27 Januari, tanggal ke 27 ke 47. Hari ini wanita terkuat, wanita
yang mengorbankan apapun dan mendahulukan saya sepanjang hidupnya. Hari ini saya ucapkan do’a
dan tak malu saya nyatakan bahwa saya sangat menyayanginya.

“Mah, wilujeng tepang taun dina yuswa ka 47, mugia sehat teras. Mugia mamah dikiatkeun. Mugia
mamah tiasa ngabimbing sareng ngemutan teteh, elik, ade. Teteh nyaah ka mamah.”

(Mah, selamat ulang tahun di usia ke 47, semoga mamah sehat terus. Dikuatkan. Semoga bisa
membimbing teteh, elik dan ade. Teteh sayang mamah)

Kedengarannya mamah tersedu dan menjawab,

“Teh, hatur nuhun tos emut. Mudah-mudahan teteh sing panjang yuswa. Mudah-mudahan teteh
sing katungkulan ku mamah”

(susah diterjemahkan)

Saya akui untuk hal ini, saya hanya berpura-pura kuat di depannya. Padahal dibaliknya, air mata saya
mengalir begitu saja mendengarnya.

Dulu, jarang bahkan tidak pernah mengucapkan seperti ini. Saya tidak fokus pada ucapannya, boleh
atau tidaknya. Namun, yang saya bahas disini adalah bagaimana jarak menghadirkan seorang anak
perempuan mengungkapkan rasa kepada ibunya. Bagaimana seorang anak perempuan menumpuk
rindu, menikmati jarak hingga hikmahnya menjadi berani mengungkapkan kasih sayangnya.

Jarak terkadang tidak selamanya menyakitkan. Walau memang saya akui, itu adalah perasaan yang
paling dominan yang ada di dalam diri seseorang jika harus merelakan orang yang paling ia sayangi
pergi, untuk tujuan apapun itu.

Jarak terkadang lucu. Ia mendidik kita untuk mengenal adab berbicara, untuk dewasa dalam
menyampaikan dan sama-sama menguatkan.

Mengutip sebuah buku yang berjudul Berdamai dengan Takdir,

“.......................................................................................................................................................
Aku melihat air yang diam akan menjadi busuk. Jika bergerak, tentu akan baik rasa dan rupanya.
Harimau tak kan mendapat mangsa jika tidak meninggalkan sarangnya. Anak panah tidak akan
menemui sasaran jika tidak meninggalkan busurnya. Serbuk emas sama dengan tanah ketika masih
ditempatnya, kayu galian sama dengan kayu bakar di negeri asalnya.”

.........................................................................................................................................................

Menyayangi adalah menghendaki apa-apa yang baik untuknya. Terkadang pula rasa sayang itulah yang
membiarkan jarak mendidik untuk tetap bersabar dan menunggu waktu tepat.

Sampai pada akhirnya, do’a untuk segala kebaikan-kebaikan yang selalu disemogakan setiap saatnya.

Nanti, ada saatnya menjadi pendengar cakrawala bersama ceritranya.

Bandung, 27 Januari 2018

Anda mungkin juga menyukai