Anda di halaman 1dari 5

Tepat Pukul Lima

Oleh: Nurul Awali Fauziyah Hasbiyani*


Senja meringkus pelosok kampung. Mengguratkan selarik oranye diantara birunya
langit dan putihnya awan. Dari kejauhan terdengar lonceng sepeda bergemerincing. Kriing…
Kriingg…
Di kampung ini siapapun tahu makna bunyi itu. Bunyi yang telah menggema lebih dari
sepuluh tahun, setiap senja tiba tepat pukul lima. Ibu-ibu kampung bergegas keluar rumah,
membawa baskom wadah kenduri menunggu sang bunyi tepat tiba di muka rumahnya.
“Seribu, Wak!” Seru seorang ibu bergincu merah, menyerahkan baskom hijaunya. Di
dalamnya sudah terisi selembar uang bergambar ‘Kapten Pattimura’.
“Loh kok cuma satu, Wak? Kan biasanya seribu dapat dua!” Selorohnya berprotes.
“Harga kedelai naik, Bu!” Jawab penjual tahu pendek, tanpa ekspresi. Wak penjual tahu
berlalu tanpa basa-basi dahulu. Juga tanpa senyum. Sorot matanya jauh dari kata ramah.
***
Aku tengah menggeliat di balik hangatnya selimut ketika Ibu tetiba membuka pintu
kamar.
“Kinasih, ayo bangun! Sudah subuh!” Anak perawan mana boleh bangun siang.
“Aku kan lagi mens, Bu. Lagi pula hari ini kan Minggu.” Kilahku.
“Bangun cepat. Belikan Ibu tahu!” Ibu membuka selimutku.
Aku menguap lebar-lebar. Beliau menyelipkan selembar uang dua ribuan ke dalam saku
piyama.
“Dua saja, seperti biasa!” Kata Ibu pendek ketika aku melewati dapur.
Ibu tengah memasak bumbu di kuali, menebar aroma menusuk, campuran antara
bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, cabe, kunyit dan entah apa lagi.
“Lekas kembali.” Seru Ibu tanpa menoleh ke arahku.
Aku bergegas mengeluarkan sepeda, mengayuhnya cerpat sebelum diteriaki dua kali.
Pagi baru saja tiba. Embun menggelayut manja di dedaunan. Mentaripun malu-malu
menyiratkan hangat sinarnya. 05.07. Sepagi itu aku menayuhkan sepedaku, menerobos
dinginnya udara yang bahkan masih berkabut, menyisakan tetes air hujan yang menempel di
dahan.
“Kenapa harus sepagi ini?” Ceracauku dengan mata setengah tertutup.
“Apa tidak bisa nanti-nanti? Setengah jam lagi, lah!” Gerutuku lagi.
Tanpa terasa aku sepeda yang kukayuh sampai di perbatasan kampung.
Di ujung kampung, dekat persawahan, ada sebuah pabrik tahu dan beberapa rumah
warga. Satu di ujung timur, yang paling besar bangunannya namun lusuh catnya, rumah si
pemilik pabrik. Ke sanalah aku mengayuh sepeda. Satu-satunya rumah yang pintunya sudah
terbuka.
“Kula nuwun.”
“Tunggu sebentar.” Sebuah suara menyahut dari dalam.
“Mencari apa?” Sahutnya tepat ketika pintu dibukanya lebih lebar. Mengagetkanku
yang sibuk mengintipi ruang tamu. Satu set kursi rotan yang ditengahnya berdiri sebuah meja
bundar, sebilah kalender dan sebiji jam bergambar partai beringin mengisi ruang tamu yang
berdebu-jarang disapu.
“Eegh..Tahu. Kalih. Wonten?” Jawabku terbata. Mukaku memerah.
Lelaki di hadapanku berlalu masuk rumah, buru-buru. Menit berikutnya, diserahkannya
tahu yang kumaksud. Aku menyerahkan selembar uang pemberian Ibu.
“Matur nuwun, Wak Lan. Monggo..” Seruku bersopan santun.
Tak sepetah kata keluar darinya. Tak pula seuntai senyum tersirat di wajahnya.
Tidak ada yang benar-benar tahu nama lengkapnya. Orang-orang hanya memanggilnya
Wak Lan. Di kampungku, nama lengkap tidaklah penting. Nama panggilan yang pendek dan
mudah diucapkan justru lebih populer. Di sebuah rumah sederhana beratap asbes beralaskan
lantai berubin ia tinggal. Sendiri. Tanpa keluarga. Tidak punya anak, tidak pula menikah.
***
Aku menyodorkan bungkusan tahu kepada Ibu.
“Dahulu Wak Lan pernah menikah dengan Mbak Dah, wanita cantik yang lebih muda
darinya. Orang tua Mbak Dah menjodohkannya dengan Wak Lan, Si Pengusaha Tahu. Tapi
apa daya. Cinta memang tak bisa dipaksa. Mbak Dah tidak bisa mencintai Wak Lan meski
sudah menjadi suaminya.” Ibu membuka suara ketika aku bertanya mengenai status Wak Lan.
“Ibarat kata, cinta Wak Lan bertepuk sebelah tangan dengan Mbak Dah. Begitu Bu?”
Aku bertanya sok tahu.
Ibu mengangguk.
“Sungguh Wak Lan amat mencintai Mbak Dah. Ia memberikan mahar mahal untuk
Mbak Dah. Juga menyiapkan pesta pernikahan mewah. Tetapi, cinta Mbak Dah tetaplah
bukan untuknya.” Ibu melanjutkan cerita.
Aku membantu Ibu memeras santan. Sedang Ibu sibuk memotong tahu yang telah
dibersihkan.
“Jauh sebelum perjodohan itu berlangsung, Mbak Dah sudah mempunyai kekasih hati.
Seorang pemuda kampung sebelah yang sebaya dengannya. Lebih pendek dari Wak Lan, tapi
berkulit terang dan berwajah tampan, Pak Li namanya. Ia pemuda tangguh, jujur, ulet dan
pekerja keras. Baru saja lulus sekolah menengah atas tapi sudah berani merantau ke Ibukota.
Hubungan yang mereka bangun semasa SMA akhirnya pupus juga. Tetapi tidak dengan cinta.
Tetap hidup bara apinya. Tunas-tunas perasaannya tak bisa dipangkas lagi. Semakin ditikam,
dia tumbuh dua kali ipat. Semakin diinjak, helai daunnya semakin banyak. **”
Aku mendengarkan sambil memasak santan dalam kuali.
“Tak ada yang mampu menghalangi cinta mereka. Kepergian Pak Li ke kota membawa
luka di hati Mbak Dah. Wak Lan datang untuk menyembuhkannya. Menawarkan cinta dan
kepastian. Amboi! Terjadilah pernikahan itu. Pernikahan yang dipaksakan.”
“Jam bergulir menjadi hari. Waktu berjalan tiada henti. Siksa batin Mbak Dah menjadi-
jadi. Sungguh, tak ada cinta untuk Wak Lan. Tepat satu tahun pernikahan mereka, Pak Li
kembali ke kampung, itulah jawaban atas doa-doa Mbak Dah. Maka, bulan berikutnya, Mbak
Dah minta berpisah.” Mataku perih. Satu karena cerita Ibu, satu lagi karena aroma menyengat
brambang yang kuiris tipis.
“Wahai, besar nian cinta Wak Lan untuk Mbah Dah. Sebulan setelah itu, Wak Lan resmi
menduda. Kembali melajang. Melajang untuk selamanya.” Ibu mengaduk sayur lodeh di
kuali.
Ingatanku terlempar pada pria paruh baya yang beberapa tahun lebih tua dari Ibu. Pria
berkulit hitam legam. Bertubuh tinggi kurus. Kumis putih, yang lama tak dicukur, juga
rambut beruban yang kusut masai. Wajah tuanya terlihat sekali tak terawat. Kemeja batik biru
bermotif parang yang kusut tak disetrika ditambah topi koboi yang berlubang di bagian
atasnya adalah ‘kostumnya’ bekerja. Juga sepeda ontho tuanya, berkarat dimakan usia.
“Hanya Mbak Dah seorang wanita yang dicintainya. Tak pernah ada cinta-cinta lain
setelahnya. Tidak pernah.” Maka itulah sepenggal cerita akan diri Wak Lan. Aku sungguh
mampu mengartikan tatap mata Wak Lan. Sorot mata yang kecewa pada cinta. Mata yang
kehilangan semangatnya, hidupnya.
“Lalu mengapa Wak Lan mau melepas Mbak Dah?”
“Kinasih, kau tahu, hakikat cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati, semakin
tulus melepaskannya. Wak Lan tak ingin memaksakan jalan cerita ketika segalanya menjadi
rumit. Jika memang cinta sejati ia akan kembali. Maka begitulah keyakinan Wak Lan.**”
“Sayang seribu sayang. Mbak Dah tak pernah kembali. Ia pergi jauh meninggalkan
kampung ini. Tanah kelahirannya.”
Aku seakan melihat ‘siksa batin’ Wak Lan. Cinta yang disemainya bermanuver menjadi
racun baginya. Cinta membunuhnya pelan-pelan. Kini aku seolah mengertinya. Tentang
bagaimana ia mati-matian membujuk hatinya agar melanjutkan hidup seperti biasa.
Mempertahankan sisa umurnya tanpa kekasih hatinya. Hati yang kini kosong melompong,
ditinggal pergi pemiliknya. Ia yang mengais remah-remah semangat bukan lagi untuk
melanjutkan mimpi, tetapi sekedar penyambung napasnya setiap hari.
Sambil mendengarkan cerita Ibu, anganku terngiang akan sosok lelaki jangkung
berrahang tegas. Lintang Gemilang.
***
Lelaki di hadapanku terdiam. Kedua telapak tangannya terkepal, menantikan sebuah
jawaban. Sorot matanya menatapku tajam. Was-was. Bersiap atas semua kemungkinan.
“Apa keputusanmu?” Dia bertanya. Memaksaku membalas tatapannya.
Ketika seseorang membuat kita menunggu, itu berarti ada hal lebih penting yang dia
urus dibandingkan kita. Selalu begitu. Karena kalau kita penting, amat berharga, dia tidak
akan pernah membiarkan kita menunggu. Dan, sama ketika kita merasa seseorang itu
penting, kita juga tidak akan pernah membiarkan dia menunggu sedikitpun.**
Aku mencintai Gemilang. Tak ingin kehilangannya. Kurasa, aku takkan mampu
mencintai lelaki selain dirinya. Lelaki matang, pun tampan. Lelaki yang tulus mencintaiku
apa adanya, menerima segala kurang lebihku. Lelaki yang tulus menemaniku mengejar gelar
masterku. Sungguh aku tak ingin seperti Wak Lan.
“Maafkan aku yang telah membuatmu menanti.” Suaraku tercekat.
“Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ribuan kilometer jarak terbentang. Belasan
jam perbedaan waktu.. Terima kasih sudah menungguku kepulanganku.” Aku memutar cincin
berlian di jemari manis kiri.
“Maafkan aku yang terpaksa menunda rencana besar kita.” Aku tertunduk, menatap
kulacino*** di meja.
Lintang Gemilang. Lelaki pengisi sudut relung hatiku. Lelaki pilihanku bahkan ketika
rambutku masih dikuncir dua. Lelaki yang kepadanya aku menambatkan cinta. Lelaki
penyemat cincin berlian yang kini kukenakan.
“Dan kau dengan sabar melaluinya untukku. Aku takkan memintamu menunggu lagi”
Aku menatapnya sendu.
Satu senyum terlukis di wajah tampannya. Senyum yang meluluhkan segala rindu.
Senyum penguat jiwaku. Gemilang menggam jemariku. Sinar matanya hendak
menyampaikan sesuatu.
“Will you marry me?” Tanyanya untuk kedua kali.
***
Kring… Kriing..
Bunyi itu menguar kencang tepat pukul lima. Dengan sepeda ontho dan brong abu****
tuanya Wak Lan menawarkan tahunya.
“Wak Lan, tahu!! Sepuluh ribu.” Seorang bocah laki-laki berumur tiga tahun berteriak
kencang. Melambaikan tangannya meminta Wak Lan berhenti di depan rumahnya.
“Mboten Wak Lan! Preeeiii…” Ibunya menyahut dari dalam. Berteriak sama kencang.
“Wak Lan preeii. Mboten tumbasss..” Teriak bocah itu lagi.
“Preeiii Wak Lan. Mboten tumbasss..” Bocah itu masih berteriak, diantara lengkingan
bel sepeda. Kring… Kriing..
Wak Lan mengayuh sepedanya pelan. Tidak tertawa oleh lelucon barusan. Ekspresinya
datar. Tak pernah tersenyum. Selalu saja bermuka masam.
*Mahasiswa Teknobiomedik Universitas Airlangga
**Quotes Tere Liye
*** Bahasa italia: bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah
****Tempat/wadah untuk menaruh dagangan tahu berbentuk balok tanpa penutup.
Terbuat dari seng.

Anda mungkin juga menyukai