Senja meringkus pelosok kampung. Mengguratkan selarik oranye diantara birunya langit dan putihnya awan. Dari kejauhan terdengar lonceng sepeda bergemerincing. Kriing… Kriingg… Di kampung ini siapapun tahu makna bunyi itu. Bunyi yang telah menggema lebih dari sepuluh tahun, setiap senja tiba tepat pukul lima. Ibu-ibu kampung bergegas keluar rumah, membawa baskom wadah kenduri menunggu sang bunyi tepat tiba di muka rumahnya. “Seribu, Wak!” Seru seorang ibu bergincu merah, menyerahkan baskom hijaunya. Di dalamnya sudah terisi selembar uang bergambar ‘Kapten Pattimura’. “Loh kok cuma satu, Wak? Kan biasanya seribu dapat dua!” Selorohnya berprotes. “Harga kedelai naik, Bu!” Jawab penjual tahu pendek, tanpa ekspresi. Wak penjual tahu berlalu tanpa basa-basi dahulu. Juga tanpa senyum. Sorot matanya jauh dari kata ramah. *** Aku tengah menggeliat di balik hangatnya selimut ketika Ibu tetiba membuka pintu kamar. “Kinasih, ayo bangun! Sudah subuh!” Anak perawan mana boleh bangun siang. “Aku kan lagi mens, Bu. Lagi pula hari ini kan Minggu.” Kilahku. “Bangun cepat. Belikan Ibu tahu!” Ibu membuka selimutku. Aku menguap lebar-lebar. Beliau menyelipkan selembar uang dua ribuan ke dalam saku piyama. “Dua saja, seperti biasa!” Kata Ibu pendek ketika aku melewati dapur. Ibu tengah memasak bumbu di kuali, menebar aroma menusuk, campuran antara bawang merah, bawang putih, ketumbar, kemiri, cabe, kunyit dan entah apa lagi. “Lekas kembali.” Seru Ibu tanpa menoleh ke arahku. Aku bergegas mengeluarkan sepeda, mengayuhnya cerpat sebelum diteriaki dua kali. Pagi baru saja tiba. Embun menggelayut manja di dedaunan. Mentaripun malu-malu menyiratkan hangat sinarnya. 05.07. Sepagi itu aku menayuhkan sepedaku, menerobos dinginnya udara yang bahkan masih berkabut, menyisakan tetes air hujan yang menempel di dahan. “Kenapa harus sepagi ini?” Ceracauku dengan mata setengah tertutup. “Apa tidak bisa nanti-nanti? Setengah jam lagi, lah!” Gerutuku lagi. Tanpa terasa aku sepeda yang kukayuh sampai di perbatasan kampung. Di ujung kampung, dekat persawahan, ada sebuah pabrik tahu dan beberapa rumah warga. Satu di ujung timur, yang paling besar bangunannya namun lusuh catnya, rumah si pemilik pabrik. Ke sanalah aku mengayuh sepeda. Satu-satunya rumah yang pintunya sudah terbuka. “Kula nuwun.” “Tunggu sebentar.” Sebuah suara menyahut dari dalam. “Mencari apa?” Sahutnya tepat ketika pintu dibukanya lebih lebar. Mengagetkanku yang sibuk mengintipi ruang tamu. Satu set kursi rotan yang ditengahnya berdiri sebuah meja bundar, sebilah kalender dan sebiji jam bergambar partai beringin mengisi ruang tamu yang berdebu-jarang disapu. “Eegh..Tahu. Kalih. Wonten?” Jawabku terbata. Mukaku memerah. Lelaki di hadapanku berlalu masuk rumah, buru-buru. Menit berikutnya, diserahkannya tahu yang kumaksud. Aku menyerahkan selembar uang pemberian Ibu. “Matur nuwun, Wak Lan. Monggo..” Seruku bersopan santun. Tak sepetah kata keluar darinya. Tak pula seuntai senyum tersirat di wajahnya. Tidak ada yang benar-benar tahu nama lengkapnya. Orang-orang hanya memanggilnya Wak Lan. Di kampungku, nama lengkap tidaklah penting. Nama panggilan yang pendek dan mudah diucapkan justru lebih populer. Di sebuah rumah sederhana beratap asbes beralaskan lantai berubin ia tinggal. Sendiri. Tanpa keluarga. Tidak punya anak, tidak pula menikah. *** Aku menyodorkan bungkusan tahu kepada Ibu. “Dahulu Wak Lan pernah menikah dengan Mbak Dah, wanita cantik yang lebih muda darinya. Orang tua Mbak Dah menjodohkannya dengan Wak Lan, Si Pengusaha Tahu. Tapi apa daya. Cinta memang tak bisa dipaksa. Mbak Dah tidak bisa mencintai Wak Lan meski sudah menjadi suaminya.” Ibu membuka suara ketika aku bertanya mengenai status Wak Lan. “Ibarat kata, cinta Wak Lan bertepuk sebelah tangan dengan Mbak Dah. Begitu Bu?” Aku bertanya sok tahu. Ibu mengangguk. “Sungguh Wak Lan amat mencintai Mbak Dah. Ia memberikan mahar mahal untuk Mbak Dah. Juga menyiapkan pesta pernikahan mewah. Tetapi, cinta Mbak Dah tetaplah bukan untuknya.” Ibu melanjutkan cerita. Aku membantu Ibu memeras santan. Sedang Ibu sibuk memotong tahu yang telah dibersihkan. “Jauh sebelum perjodohan itu berlangsung, Mbak Dah sudah mempunyai kekasih hati. Seorang pemuda kampung sebelah yang sebaya dengannya. Lebih pendek dari Wak Lan, tapi berkulit terang dan berwajah tampan, Pak Li namanya. Ia pemuda tangguh, jujur, ulet dan pekerja keras. Baru saja lulus sekolah menengah atas tapi sudah berani merantau ke Ibukota. Hubungan yang mereka bangun semasa SMA akhirnya pupus juga. Tetapi tidak dengan cinta. Tetap hidup bara apinya. Tunas-tunas perasaannya tak bisa dipangkas lagi. Semakin ditikam, dia tumbuh dua kali ipat. Semakin diinjak, helai daunnya semakin banyak. **” Aku mendengarkan sambil memasak santan dalam kuali. “Tak ada yang mampu menghalangi cinta mereka. Kepergian Pak Li ke kota membawa luka di hati Mbak Dah. Wak Lan datang untuk menyembuhkannya. Menawarkan cinta dan kepastian. Amboi! Terjadilah pernikahan itu. Pernikahan yang dipaksakan.” “Jam bergulir menjadi hari. Waktu berjalan tiada henti. Siksa batin Mbak Dah menjadi- jadi. Sungguh, tak ada cinta untuk Wak Lan. Tepat satu tahun pernikahan mereka, Pak Li kembali ke kampung, itulah jawaban atas doa-doa Mbak Dah. Maka, bulan berikutnya, Mbak Dah minta berpisah.” Mataku perih. Satu karena cerita Ibu, satu lagi karena aroma menyengat brambang yang kuiris tipis. “Wahai, besar nian cinta Wak Lan untuk Mbah Dah. Sebulan setelah itu, Wak Lan resmi menduda. Kembali melajang. Melajang untuk selamanya.” Ibu mengaduk sayur lodeh di kuali. Ingatanku terlempar pada pria paruh baya yang beberapa tahun lebih tua dari Ibu. Pria berkulit hitam legam. Bertubuh tinggi kurus. Kumis putih, yang lama tak dicukur, juga rambut beruban yang kusut masai. Wajah tuanya terlihat sekali tak terawat. Kemeja batik biru bermotif parang yang kusut tak disetrika ditambah topi koboi yang berlubang di bagian atasnya adalah ‘kostumnya’ bekerja. Juga sepeda ontho tuanya, berkarat dimakan usia. “Hanya Mbak Dah seorang wanita yang dicintainya. Tak pernah ada cinta-cinta lain setelahnya. Tidak pernah.” Maka itulah sepenggal cerita akan diri Wak Lan. Aku sungguh mampu mengartikan tatap mata Wak Lan. Sorot mata yang kecewa pada cinta. Mata yang kehilangan semangatnya, hidupnya. “Lalu mengapa Wak Lan mau melepas Mbak Dah?” “Kinasih, kau tahu, hakikat cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati, semakin tulus melepaskannya. Wak Lan tak ingin memaksakan jalan cerita ketika segalanya menjadi rumit. Jika memang cinta sejati ia akan kembali. Maka begitulah keyakinan Wak Lan.**” “Sayang seribu sayang. Mbak Dah tak pernah kembali. Ia pergi jauh meninggalkan kampung ini. Tanah kelahirannya.” Aku seakan melihat ‘siksa batin’ Wak Lan. Cinta yang disemainya bermanuver menjadi racun baginya. Cinta membunuhnya pelan-pelan. Kini aku seolah mengertinya. Tentang bagaimana ia mati-matian membujuk hatinya agar melanjutkan hidup seperti biasa. Mempertahankan sisa umurnya tanpa kekasih hatinya. Hati yang kini kosong melompong, ditinggal pergi pemiliknya. Ia yang mengais remah-remah semangat bukan lagi untuk melanjutkan mimpi, tetapi sekedar penyambung napasnya setiap hari. Sambil mendengarkan cerita Ibu, anganku terngiang akan sosok lelaki jangkung berrahang tegas. Lintang Gemilang. *** Lelaki di hadapanku terdiam. Kedua telapak tangannya terkepal, menantikan sebuah jawaban. Sorot matanya menatapku tajam. Was-was. Bersiap atas semua kemungkinan. “Apa keputusanmu?” Dia bertanya. Memaksaku membalas tatapannya. Ketika seseorang membuat kita menunggu, itu berarti ada hal lebih penting yang dia urus dibandingkan kita. Selalu begitu. Karena kalau kita penting, amat berharga, dia tidak akan pernah membiarkan kita menunggu. Dan, sama ketika kita merasa seseorang itu penting, kita juga tidak akan pernah membiarkan dia menunggu sedikitpun.** Aku mencintai Gemilang. Tak ingin kehilangannya. Kurasa, aku takkan mampu mencintai lelaki selain dirinya. Lelaki matang, pun tampan. Lelaki yang tulus mencintaiku apa adanya, menerima segala kurang lebihku. Lelaki yang tulus menemaniku mengejar gelar masterku. Sungguh aku tak ingin seperti Wak Lan. “Maafkan aku yang telah membuatmu menanti.” Suaraku tercekat. “Dua tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ribuan kilometer jarak terbentang. Belasan jam perbedaan waktu.. Terima kasih sudah menungguku kepulanganku.” Aku memutar cincin berlian di jemari manis kiri. “Maafkan aku yang terpaksa menunda rencana besar kita.” Aku tertunduk, menatap kulacino*** di meja. Lintang Gemilang. Lelaki pengisi sudut relung hatiku. Lelaki pilihanku bahkan ketika rambutku masih dikuncir dua. Lelaki yang kepadanya aku menambatkan cinta. Lelaki penyemat cincin berlian yang kini kukenakan. “Dan kau dengan sabar melaluinya untukku. Aku takkan memintamu menunggu lagi” Aku menatapnya sendu. Satu senyum terlukis di wajah tampannya. Senyum yang meluluhkan segala rindu. Senyum penguat jiwaku. Gemilang menggam jemariku. Sinar matanya hendak menyampaikan sesuatu. “Will you marry me?” Tanyanya untuk kedua kali. *** Kring… Kriing.. Bunyi itu menguar kencang tepat pukul lima. Dengan sepeda ontho dan brong abu**** tuanya Wak Lan menawarkan tahunya. “Wak Lan, tahu!! Sepuluh ribu.” Seorang bocah laki-laki berumur tiga tahun berteriak kencang. Melambaikan tangannya meminta Wak Lan berhenti di depan rumahnya. “Mboten Wak Lan! Preeeiii…” Ibunya menyahut dari dalam. Berteriak sama kencang. “Wak Lan preeii. Mboten tumbasss..” Teriak bocah itu lagi. “Preeiii Wak Lan. Mboten tumbasss..” Bocah itu masih berteriak, diantara lengkingan bel sepeda. Kring… Kriing.. Wak Lan mengayuh sepedanya pelan. Tidak tertawa oleh lelucon barusan. Ekspresinya datar. Tak pernah tersenyum. Selalu saja bermuka masam. *Mahasiswa Teknobiomedik Universitas Airlangga **Quotes Tere Liye *** Bahasa italia: bekas air di meja akibat gelas dingin atau basah ****Tempat/wadah untuk menaruh dagangan tahu berbentuk balok tanpa penutup. Terbuat dari seng.