Anda di halaman 1dari 2

Mendirikan Negara Bayangan

Saya berpikir, sesudah Reformasi, kerja aktivis-aktivisan sudah selesai. LSM-LSM menjelma salesman Pemerintah atau
perusahaan besar. Satu kasus kemanusiaan diblow-up sedemikian rupa agar menaikkan posisi tawar: wani piro? Ternyata
saya keliru.

Mungkin ada beberapa mantan aktivis, atau yang masih ngaktivis, yang ingin hidup mapan dengan cara merapat pada
Penguasa. Entah Pemerintah atau konglomerat hitam. Mereka yang lelah menghadapi kenyataan hidup. Menganggap
perjuangan telah selesai dan ingin menikmati buahnya.

Ternyata masih banyak orang-orang yang nyaris tak pernah diliput media. Mereka berjuang dalam kebisuan. Saat
media massa menjelma penjilat murahan dan tokoh-tokoh kritis bungkam menikmati kemenangan. Orang-orang ini
masih hidup dalam romantisme perjuangan di masa Soeharto berjaya. Mereka memiliki sikap dan cara hidup yang
sulit dipahami secara normal.

Saya selalu beranggapan, Soeharto adalah ifrit terbesar. Ketika dia jatuh, hancur pula tentakel penuh racun di
sekitarnya. Sekali lagi saya keliru. Tentakel beracun itu justru mandiri dan meregenerasi organ baru. Mereka tumbuh
menjadi ifrit-ifrit kecil yang penuh kuasa. Menggantikan peran ifrit besar Soeharto menghisap kekayaan Indonesia
dengan dalih bisnis.

Sembilan Naga adalah nama yang samar-samar kita dengar. Seperti hantu, mereka berkelebat dalam perbincangan
sosmed kita. Meningkahi kabar politik dan kriminal brutal. Lalu senyap. Lenyap. Sembilan Naga yang tumbuh di
masa kejayaan Orde Baru terus menemukan bentuk baru untuk mendirikan Negara Bayangan. Dari satu rezim ke
rezim pemerintahan, mereka menyusup, menghisap darah dari dalam. Mereka immortal.

Kita hanya membaca kabar samar, TW membangun asrama polisi(-tentara) atau menyekolahkan anak miskin di
Akpol. Namun kita tidak sadar rangkaian benang merah, TW sanggup memerintahkan 30 Polda hanya untuk
memburu seorang aktivis. Tidak ada makan siang gratis. Tentu saja ini masuk akal. Budi baik harus dibayar lunas.

Atau kita dengar, Susi melarang kapal-kapal pengusaha hitam itu melaut karena melanggar ketentuan. Namun kita
tidak tahu, bahwa nyawa Susi selalu terancam. Oleh karena itu menteri dengan penjagaan ketat adalah Susi Pujiastuti.
Menteri yang paling diincar dan dibenci para mafia.

Ada benang merah yang menghubungkan fakta keberadaan Sembilan Naga dengan ruang publik kita. Namun karena
mereka juga memiliki media, cepat-cepat kebocoran itu ditumpangi berita heboh. Artis anu cabul, atau pejabat ini
kena OTT. Kemudian keberadaan mereka kembali lenyap. Seperti hantu.

Lalu apa yang sebenarnya kita hadapi ini? Kisah fiksi? Konspirasi antah-berantah?
Para mafia itu ada di sekitar kita. Mengontrol aparat, media, atensi publik, aktivis pembelot, bahkan mungkin
agamawan. Mereka mendirikan Negara Bayangan. Menjadi invisible hand dalam percaturan perekonomian.
Sementara kita sibuk mengunyah sampah politik dan infotainment artis murahan.

Panglima Budhi Tikal adalah salah satu manusia langka yang masih terus berjuang sampai detik ini. Seperti anda semua,
saya adalah orang yang luput mengikuti sepak-terjangnya. Ketika ia telah dibui dengan tuduhan macam-macam, saya baru
tersadar, Sembilan Naga benar-benar ada. Ini bukan kisah fiksi mafioso. Mereka adalah orang-orang kuat yang
mengendalikan perekonomian. Mereka mampu mengendalikan aparat dan hukum dari balik layar.

Linda Christanty (kakak Panglima) mengemukakan kisah-kisah mencengangkan perjalanan hidup adiknya yang penuh
bahaya. Seperti novel tebal yang penuh kisah tragis dan perjuangan berat, potongan-potongan temuan Linda itu
membeberkan simbiosis mutualisme antara aparat dan pengusaha hitam.

Di tengah ketersentakan itu, saya atau siapapun tak bisa berbuat banyak. Pertama, kita tak punya bukti. Kedua, kalaupun
ada, kita tak punya cukup nyali seperti Panglima Budhi Tikal. Kita orang-orang pengecut yang memilih diam saat ifrit-ifrit
itu gentayangan. Atau karena kita berada di bawah kendali mereka sebagai karyawan, bahkan mungkin attack dog.

Kita tidak perduli.

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kasus kriminalisasi aktivis seperti Panglima Budhi Tikal ini tak menarik bagi media,
bagi beranda sosmed kita. Apalagi ketika sebagian oknum, seperti cerita tokoh dalam narasi Linda itu, 30 Polda, ada dalam
genggaman mereka. Ia menjadi kisah sedih yang diabaikan. Contoh buruk dari bobroknya hukum Indonesia.

Reformasi adalah lubang besar yang kita buat dari bekas dinding represif Orde Baru. Namun kita tak membangun apa-apa
di sana, selain membiarkan kebobrokan yang sama. Orang-orang jujur dalam pemerintahan dan hukum terbatasi polah
rekan mereka sendiri. Kasus Novel Baswedan, Cicak-Buaya, dan banyak lagi, adalah indikasi jelas, sakitnya aparat hukum
kita.

Tentu selalu ada harapan baik di balik semua itu. Kita berharap ada kekuatan besar yang mampu merombak institusi
hukum dari dalam. Apakah itu Jokowi? Tito? Atau Panglima Budhi Tikal lain dalam jumlah puluhan ribu?

Sementara itu aktivis karbitan sibuk menjual kemanusiaan dengan menaikkan posisi tawar: wani piro? Pura-pura menolak
ini-itu untuk nego harga setelahnya. Menjual isu-isu politik dan menjadi seleb oposan baru di ruang maya. Membikin
video murahan dan reportase cengeng untuk menaikkan bendera aktivis kemayunya.

Padahal orang-orang seperti Panglima Budhi Tikal itu benar-benar bertaruh nyawa untuk memperjuangkan hak rakyat dan
negara yang dirampok pengusaha hitam. Aktivis sesungguhnya, yang bahkan tak diliput media sampah penjilat bokong
para penguasa.

Para aktivis palsu itu semoga merasa malu dan sadar perjuangan sebenarnya belum selesai. Musuh sebenarnya immortal
dan sangat berkuasa. Hantu yang dianggap fiksi itu benar-benar ada dan terus menggurita. Orang-orang yang mendirikan
negara bayangan di Indonesia, nama mereka Sembilan Naga.

Kajitow Elkayeni

https://www.seword.com/umum/mendirikan-negara-bayangan-HkooCCqSf

Anda mungkin juga menyukai