Anda di halaman 1dari 8

Hubungan Dokter pasien singapura

Baru-baru ini berbagai media elektronik menceritakan seorang selebriti yang dirawat di negara tetangga.
Berita tentang dirinya, kemajuan kondisinya dan betapa hebatnya perawatan yang diberikan di negara
tetangga menghiasi hari-hari kita. Ketika suatu kali salah seorang anggota keluarganya ditanya mengapa
memilih perawatan di negara tersebut, ia mengatakan bahwa dokter di negara tetangga tersebut amat
perhatian pada pasiennya. Dokter bersedia dihubungi kapan saja diperlukan dan memberikan informasi
apa saja yang diminta keluarga. Dokter juga sangat ramah, mengenal pasien dan keluarga secara pribadi.
Keluarga sang selebriti merasa aman dan tenang karena semua kebutuhan informasi terpenuhi,
sehingga mereka dapat memfokuskan diri pada upaya agar sang selebriti dapat segera pulih.

Kita mendengar pula pejabat negara yang dirawat di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta karena
mengalami serangan jantung, tetapi oleh keluarganya dipindah ke negara tetangga karena “ingin
mendapatkan perawatan yang lebih baik”.

Pejabat rumah sakit (RS) pemerintah Singapura mengatakan lebih dari seratus ribu warga Indonesia
berobat ke Singapura setiap tahunnya. Selain Singapura pasien Indonesia juga mendominasi di sejumlah
RS di Malaysia dan Ghuang Zou Cina. Data tahun 2006 menyebutkan jumlah devisa negara yang tersedot
ke RS luar negeri mencapai US$600 juta setiap tahunnya. General Manager National Healthcare Group
International Business Development Unit (NHG IBDU) Kamaljeet Singh Gill mengungkapkan, sebanyak
50% pasien internasional yang berobat ke Singapura adalah warga Indonesia. Berdasarkan data yang
dihimpun, setiap tahunnya, wisatawan medis atau medical tourist yang berobat ke Singapura mencapai
200.000 per tahun. Artinya ada sekitar 100.000 warga Indonesia berobat ke Singapura tiap tahun, atau
sekitar 273 pasien setiap harinya.

Data lainnya menyebutkan jumlah pasien Indonesia yang berobat di RS Lam Wah Ee Malaysia mencapai
12.000 per tahun atau sekitar 32 pasien per hari. Sementara, di RS Adventist Malaysia jumlah pasien
Indonesia yang terjaring mencapai 14.000 per tahun atau sekitar 38 pasien per hari. Sementara jumlah
warga Sumatera Utara dan sekitarnya yang berobat ke Penang, Malaysia, mencapai seribu orang setiap
bulannya. Bukankah ini jumlah yang tidak sedikit untuk harga sebuah pelayanan.

Alaskan mengapa dokter-dokter anak bangsa ini seperti tidak dipercaya oleh masyarakatnya sendiri
masih sering kaki dipertanyakan, padahal kemampuan medis dokter-dokter kita tidak kalah
dibandingkan dengan dokter-dokter di luar negeri. Pelayanan kesehatan di Indonesia belum cukup
mampu untuk bersaing dan mempunyai daya saing yang tinggi dibanding dengan pelayanan di negara-
negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Dengan mutu yang rendah seringkali menimbulkan
risiko bagi keselamatan pasien.Perhimpunan RS Seluruh Indonesia (PERSI) mengajak semua stakeholders
RS untuk memperhatikan keselamatan pasien RS. Gerakan keselamatan pasien RS diawali dengan
membentuk Komite keselamatan pasien RS oleh PERSI pada Juni 2005 sebagai hasil Raker PERSI Maret
2005 diikuti dengan pencanangan Gerakan Keselamatan Pasien RS oleh Menkes Dr. Siti Fadilah Supari
pada 21 Agustus 2005. Peraturan menteri kesehatan RI No 1691/MENKES/PER/VIII/2011 menyatakan
bahwa keselamatan pasien RS adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman dan meminimalkan timbulnya risiko serta mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Utamakan keselamatan “safety first” telah menjadi kebijakan global untuk pelayanan dirumah sakit.
Rumah sakit mempunyai tugas dan tanggungjawab menjaga dan mengupayakan keselamatan pasien
dari berbagai risiko yang dapat timbul selama menjalani perawatan di rumah sakit. Fokus utama
kegiatan di rumah sakit adalah pelayanan medis dan keperawatan. Oleh karena itu keselamatan pasien
menjadi prioritas utama untuk dilaksaksanakan. Kebijakan keselamatan pasien di rumah sakit juga
sebagai bentuk tanggung jawab dan perlindungan kepada masyarakat. Pada akhirnya masyarakat akan
menilai mutu layanan citra dari RS dari implementasi kebijakan tersebut diterapkan dalam setiap aspek
pelayanannya.

Namun di berbagai RS standar keselamatan pasien belum diimplementasikan secara optimal. Hal
tersebut disebabkan karena kompetensi petugas kesehatan yang belum memenuhi standar. Aspek
ketrampilan (skill), pengetahuan /knowledge), pengalaman (experiences) dan perilaku professional
(professional attitude) menjadi komponen kompetensi yang harus dimiliki oleh semua petugas
kesehatan. Adanya kecenderungan lemahnya komunikasi antar dokter dan pasien sehingga hak pasien
untuk mengetahui kondisi penyakitnya tidak terpenuhi.

Banyak opini menyebutkan, cara berkomunikasi dokter-pasien di Indonesia kalah jauh dibandingkan
dokter-dokter di luar negeri. Kendala yang kerap timbul dalam komunikasi antara pasien dan dokter
antara lain adalah keterbatasan waktu untuk bertemu atau pertemuan yang tidak efektif karena yang
terjadi adalah komunikasi satu arah.

Beberapa pasien mengungkapkan berobat di Singapura sangat puas, karena dapat berkonsultasi dengan
dokter hingga 1 jam. Di Indonesia, seorang pasien bisa masuk ruang praktek dokter 15 menit saja sudah
menjadi hal yang langka. Sebagian besar hubungan dokter-pasien pun hanya bersifat satu arah.
Bayangkan begitu hebatnya kesadaran para dokter untuk memberikan value-added services disana.

Bedasarkan data penanganan pengaduan yang telah dilakukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
(MKDKI) periode 2006 – April 2014 berjumlah keseluruhan 270 kasus pengaduan dugaan malpraktik.
Berdasarkan data MKDKI permasalahan pengaduan disebabkan oleh: komunikasi (59%), ingkar janji
(dishonesty/fraud) penelantaran, pembiayaan, standar pelayanan, kasus rumah tangga, kompetensi dan
iklan. Kelemahan komunikasi tersebut dalam bentuk komunikasi sehari-hari yang diharapkan dapat
mempererat hubungan antar individu maupun dalam bentuk pemberian informasi sebelum
dilakukannya tindakan dan sesudah terjadinya risiko atau komplikasi.

Penting untuk diingat bahwa hubungan dan komunikasi yang tidak berjalan dengan baik akan membuat
pasien merasa sungkan dan enggan untuk bertanya pada dokter, pasien hanya mengikuti saja apa yang
disampaikan sang dokter.

Melihat kondisi yang demikian kompleks bagi permasalahan pelayanan kesehatan tersebut tetapi hal ini
bukan alasan untuk dapat memperbaiki kualitas pelayanan RS dengan cara melaksanakan standar
pelayanan keselamatan pasien. Keadaan seperti ini tentu tidak akan terjadi ketika setiap dokter
menyadari akan posisi dirinya di hadapan pasien, menyediakan waktu yang cukup untuk pasiennya,
berkomunikasi dengan baik dan sadar betapa pasien sangat “bergantung” padanya. Perlunya
membangun budaya komunikasi efektif antara dokter-pasien saat pertamakali bertemu dengan pasien.
Golden moment ini akan menciptakan kepercayaan (trust) pasien terhadap usaha promotif, preventif,
dan kuratif sehingga penyembuhan pasien optimal.

PEMBAHASAN

Fakta dan Data

Pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri terus meningkat. Sebuah data menyebutkan, di Singapura
saja setiap tahunnya sekitar 300 000 pasien internasional datang berobat. Enampuluh persen dari dua
perlimanya merupakan pasien Indonesia. Sementara itu, jumlah orang Indonesia yang berobat ke
Malaysia tahun-tahun terakhir ini sudah melampaui yang ke Singapura. Chooi Yee Choong, direktur
regional, ASEAN (Islands) International Operations mengiyakan pernyataan tersebut. “Setiap tahun
sekitar 300 000 pasien asing berobat ke Singapura. Indonesia termasuk the big three jaringan rumah
sakit milik pemerintah Singapura di antaranya RS Alexandra, RS National University, dan RS Tan Tock
Seng. Secara keseluruhan, pasien dari luar Singapura yang dirawat di RS Tan Tock Seng pada tahun 2005
sebanyak 49 000 orang. Dari jumlah itu, 44% atau sekitar 11 000 orang dari Indonesia, 50% di antaranya
berasal dari Jakarta.1,2

Data lainnya menyebutkan jumlah pasien Indonesia yang berobat di RS Lam Wah Ee Malaysia mencapai
12 000 per tahun atau sekitar 32 pasien per hari. Di RS Adventist Malay- sia jumlah pasien Indonesia
yang terjaring mencapai 14 000 per tahun atau sekitar 38 pasien per hari. Warga Sumatera Utara dan
sekitarnya yang berobat ke Penang, Malaysia, mencapai seribu orang setiap bulannya.3
Selain Singapura, tujuan berobat pasien asal Indonesia adalah Malaysia dan Ghuang Zou di Cina. Data
tahun 2006 menyebutkan jumlah devisa negara yang tersedot ke rumah sakit di luar negeri mencapai US
$ 600 juta setiap tahunnya.1

Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medis Departemen Kesehatan menyatakan, orang Indonesia lebih
memilih berobat ke luar lantaran kurangnya sarana medik, rendahnya tingkat kepercayaan pasien, dan
minimnya perhatian dokter. Presiden Susilo Bambang Yudoyono bahkan turut prihatin atas peningkatan
jumlah warga negara kita yang berobat ke luar negeri. Presiden menyatakan hal tersebut usai
menghadiri rapat kerja di Departemen Kesehatan. Menurut presiden, hal tersebut telah menjadi
masalah tersendiri bagi pemerintah, bukan hanya berpengaruh terhadap masalah ekonomi tetapi juga
menyangkut harga diri bangsa.1

Dari data dan fakta di atas dapat diambil beberapa poin penting:

1. Dari waktu ke waktu, semakin banyak warga negara Indonesia yang berobat ke luar negeri.
Keberangkatan mereka tentu dengan membawa sejumlah dana yang sangat besar. Bila saja dana
tersebut tidak “lari” ke luar negeri, dapat dipastikan dana tersebut dapat digunakan untuk peningkatan
kesejahteraan tenaga pelayanan kesehatan di dalam negeri.

2. Kepergian mereka menandakan bahwa ada sesuatu yang salah dari pelayanan kesehatan yang
diselanggarakan di Indonesia. Mereka pergi ke luar negeri karena tidak puas dengan pelayanan yang
sepatutnya mereka terima di Indonesia. Hal tersebut membuat presiden mengungkapkan
keprihatinannya.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah, faktor apa

yang sangat penting dan membuat pasien “lari” ke luar negeri?

Komunikasi, Faktor Penting dalam Hubungan Dokter- Pasien

Negara tetangga kita, seperti Singapura, Malaysia, kemudian menyusul Thailand memang menawarkan
pelayanankesehatanyanglengkapdanunggul,dengan jumlah tenaga kesehatan yang sangat banyak,
kompeten, serta fasilitas diagnostik dan perawatan terbaru yang canggih. Dengan modal tersebut,
mereka tentu saja amat percaya diri mengundang pasien dari negara di sekitarnya untuk menikmati
layanan yang mereka tawarkan. Ditambah lagi, dari sisi biaya mereka sangat efisien sehingga bila
dibandingkan dengan biaya berobat di negara asalnya maka tidak akan jauh berbeda, namun pasien
akan mendapatkan pelayanan yang lebih profesional. Hal tersebut, ditambah fakta bahwa Singapura
adalah juga surga wisata belanja, menjadikan kesehatan menjadi komoditas baru yang sangat potensial,
yang kemudian dikemas menjadi wisata medis.

Benarkah bahwa faktor tersebut yang menjadi keunggulan mereka? Ternyata tidak. Secara klinis,
keterampilan dokter Indonesia tidak kalah bila dibandingkan dengan dokter luar negeri, tidak demikian
dengan keterampilan berkomunikasi. Berdasarkan penuturan pasien yang pernah berobat ke luar negeri
dan dari berbagai tulisan yang berhasil dikumpulkan penulis, faktor utama yang menyebabkan pasien
“kesengsem” berobat ke luar negeri adalah komunikasi dokter pasien (KDP) yang amat baik.1-3
Berobat di Singapura sangat memuaskan, karena pasien dapat berkonsultasi dengan dokter hingga 1
jam. Dokter di Singapura juga lebih mudah dan bersedia dihubungi pasien. Mereka mencantumkan
nomor telepon selular atau nomor hotline yang dapat dihubungi pasien pada kartu namanya. Seorang
pasien dapat berkonsultasi dengan dokternya melalui email dan short message service (SMS) setelah
tidak lagi berada di Singapura.4

Di Indonesia, hal yang langka bila seorang pasien dapat berkonsultasi dengan dokter selama 15 menit.
Sebagian besar hubungan dokter-pasien di Indonesia hanya bersifat satu arah. Di Indonesia, banyak
dokter yang tidak memberikan waktu untuk mendengarkan keluhan pasien, sehingga pasien takut untuk
mengungkapkan masalahnya secara lengkap. Juga sangat sedikit yang bersedia memberikan nomor
telepon/ handphone serta alamat email kepada pasien.4

KDP Meningkatkan Kepuasan Pasien

Komunikasi dalam disiplin medis adalah keterampilan klinik dasar pembentuk kompetensi klinis seorang
dokter, bersama dengan pengetahuan klinis, kemampuan menye- lesaikan masalah dan pemeriksaan
fisik. WHO menyebutkan tujuan akhir pendidikan dokter adalah menghasilkan the five- star doctor, yaitu
dokter sebagai care provider, decision maker, manager, community leader, dan communicator.5
Keterampilan berkomunikasi bukanlah mata pelajaran tambahan dalam pendidikan dokter. Tanpa
keterampilan komunikasi yang baik, pengetahuan klinis dan keterampilan lainnya menjadi tidak
efektif.6,7

Untuk meningkatkan KDP dan memberikan pelayanan yang lebih memuaskan pasien ternyata tidak
terlalu sulit. Internis yang dilatih untuk mendengarkan secara aktif tanpa
menginterupsisampaipasienselesaimenyampaikandeskripsi masalah mereka, ternyata membutuhkan
rerata waktu hanya 92 detik. Menanyakan pasien apakah mereka masih punya pertanyaan dan
memastikan bahwa saat pasien pulang semua pertanyaannya telah terjawab ternyata meningkatkan
kepuasan pasien. Komunikasi nonverbal dokter (kontak mata, sikap tubuh, anggukan, jarak pasien-
dokter, ekspresi wajah dan suara) berhubungan positif dengan kepuasan pasien.6,7

Penelitian mengungkapkan terdapat perbedaan pan- dangan tentang apa yang dimaksud KDP yang baik
dan efek- tif. Perbedaan pandangan tersebut terbukti mempengaruhi kualitas interaksi dokter-pasien,
kepatuhan pasien terhadap dokter, yang pada akhirnya tingkat kesembuhan pasien.8

Penelitian lain membuktikan hampir semua pasien ingin dipanggil dengan namanya saat bertemu dokter
untuk pertama kalinya, namun hanya setengahnya yang dipanggil oleh dokter. Penelitian tersebut
menggunakan dua metode, metode pertama menggunakan survey melalui telepon untuk menanyakan
bagaimana sebaiknya dokter menyapa pasien. Metode kedua menggunakan rekaman video untuk
merekam apa yang terjadi pada kunjungan pertama pasien. Hasil penelitian tersebut adalah 91.3%
pasien ingin agar dokter menyapa mereka dengan menyebut nama, sedangkan dari hasil rekaman video
hanya 49.6% dokter yang terbukti memanggil pasien dengan nama. Selain itu, 96.1% pasien
menginginkan dokter memperkenalkan diri dengan me- nyebutkan namanya pada pertemuan pertama,
dan 78.1% menginginkan dokter berjabat tangan.8
Studi yang dilakukan Kaplan et al9 terhadap 7730 pasien dan dokternya mengungkapkan bahwa pasien
cenderung meninggalkan dokter yang tidak melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.
Sepertiga pasien mening- galkan dokter tersebut pada tahun berikutnya.

Bagaimana Meningkatkan Keterampilan KDP

Komunikasi bukanlah bagian dari kepribadian, tetapi merupakan serangkaian keterampilan yang dapat
dipelajari.6,7 Kepribadian memang mempengaruhi komunikasi, misalnya sikap serta keinginan belajar
mempengaruhi pembelajaran, dan kepribadian dapat mempengaruhi kedua faktor tersebut.
Keterampilan berkomunikasi adalah keterampilan yang dapat dipelajari oleh siapa saja yang ingin
mempelajarinya.

Pembelajaran komunikasi berbeda dengan pembelajaran subyek/mata kuliah lain.6 Pertama,


pembelajaran komunikasi mempunyai materi dan metodologi yang berbeda. Seorang dokter yang
menguasai cabang ilmu kardiologi belum tentu menguasai keterampilan untuk menyampaikannya
secara baik dan benar kepada pasien, keluarga pasien atau kepada sesama profesional. Berkomunikasi
menyampaikan ilmu tentang kardiologi juga berbeda dengan berkomunikasi dengan pasien. KDP adalah
keterampilan profesional spesifik yang perlu dibangun sampai tingkat profesional. Kedua, komunikasi
terkait erat dengan dengan konsep diri, rasa percaya diri dan bersifat individual. Ketiga, setiap orang
mempunyai pengalaman dan pengetahuan berkomunikasi, sehingga tidak harus memulai dari awal.
Keempat, mempelajari komunikasi melibatkan perasaan diri sendiri dan orang lain, sesuatu yang tidak
ditemui pada pembelajaran kognitif dan teknik dalam pendidikan kedokteran.

Menurut MacGuire,10 paling tidak terdapat tiga komponen pembelajaran yaitu cognitive input,
modeling dan practice of key skills.

Cognitive Input

Pelatihan harus dilengkapi dengan handouts atau modul, atau keduanya, yang memberikan informasi
tentang kekurangan dalam berkomunikasi dengan pasien, mengapa kekurangan tersebut terjadi, dan
apa dampaknya terhadap dokter dan pasien. Peserta pelatihan perlu diajarkan tentang keterampilan
komunikasi dan perubahan sikap yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan tersebut, serta diberikan
fakta tentang kegunaan keterampilan tersebut dalam praktik klinis sehari-hari.

Modelling

Pelatih harus mendemonstrasikan keterampilan kunci dalam praktik sebenarnya, dapat berupa rekaman
suara, video, atau konsultasi yang benar-benar terjadi. Peserta perlu mendiskusikan dampak
keterampilan yang dipertunjukkan terhadap pasien dan dokter.

Practising Key Skills

Bila dokter diharapkan untuk menguasai keterampilan KDP dan menghapus perilaku yang menghalangi
mereka menguasai keterampilan tersebut, mereka harus diberikan kesempatan untuk mempraktikkan
keterampilan KDP dan mendapatkan umpan balik tentang penampilannya. Risiko dokter merasa
tertekan atau gugup harus diminimalkan.

Praktik dengan pasien simulasi memiliki kelebihan karena atmosfir dan kompleksitas tugas dapat
dikendalikan. Time out/stop bila konsultasi “macet” dokter terlihat gugup dan tidak tahu harus berbuat
apa, konsultasi dapat sejenak dihentikan. Kelompok dapat memberikan saran apa yang sebaiknya harus
dikatakan atau dilakukan. Cara lain adalah meminta dokter berperan sebagai pasien. Dengan cara itu
dokter mendapat masukan apa yang sebenarnya dialami dan dirasakan pasien tersebut.

1. Model pelatihan komunikasi yang baik telah di-

kembangkan oleh beberapa peneliti. Maguire10 menya- takan pendekatan yang efektif agar dokter
bersedia mengubah sikap dan perilakunya agar dapat menguasai keterampilan KDP adalah:
menginformasikan fakta/bukti tentang kelemahan komunikasi dokter-pasien, mengapa kelemahan
tersebut dapat terjadi, dan apa konsekuensi dari kelemahan tersebut terhadap pasien dan dokter.

2. Menawarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatasi kelemahan tersebut berdasarkan bukti-
bukti (evidence base).

3. Mendemonstrasikan keterampilan yang akan dipelajari dan memperhatikan reaksi yang muncul ke
permukaan.

4. Memberikan kesempatan untuk mempraktikkan keterampilan tersebut dalam kondisi dan suasana
yang aman dan terkendali.

5. Memberikan umpan balik yang membangun terhadap hasil praktik dan memberikan kesempatan
untuk menjelaskan bila ada hambatan yang ditemui.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas, langkah selanjutnya ada di tangan para dokter: apakah akan membiarkan
pasien berobat ke luar negeri dan menghabiskan devisa negara di sana, atau meningkatkan
keterampilan KDP dan meraih kembali kesempatan untuk meningkatkan martabat profesi kedokteran
serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan di Indonesia. Semua ada di tangan kita.

Daftar Pustaka

1. Sudiyatmo, S. Komunikasi dokter-pasien yang Mengecewakan. Diunduh dari http://fkuii.org/tiki-


read_article.php?articleId=74 Diakses 18 September 2007.

2. Pasien Indonesia berobat ke Singapura. Diunduh dari http:// www.kompas.com/kompas-


cetak/0603/28/daerah/2542888.htm. 11.000 . Diakses 23 Oktober 2007.

3. Tiga Besar Pasien Singapura - KOMPAS CYBER MEDIA 11 Juli 2006. Diakses 23 Oktober 2007.

4. Berobat dengan Rasa Wisata - KOMPAS CYBER MEDIA 16 Maret 2007. Diakses 23 Oktober 2007.
5.

Murtagh J. General Practice. 2nd edition. Australia: McGraw-Hill Health Profession Division, 1999.

6.Kurtz S, Silverman J, Draper J. Teaching and learning communi- cation skills in medicine 2nd edition.
Oxon: Radcliffe Publishing Ltd; 2005.

7.Kurtz S, Silverman J, Draper J. Skills for communicating with patients. 2nd edition Oxon: Radcliffe
Publishing; 2005.

8.Makoul G, Zick A, Green M. An evidence-based perspective on greetings in medical encounters. Arch


Intern Med. 2007;167:1172- 6.

9.Kaplan SH, Greenfield S, Gandek B, Rogers WH, Ware JE. Char- acteristics of physicians with
participatory decision-making styles. Ann Intern Med 1996;124:497-504.

10.Maguire P, Pitceathly C. Key communication skills and how to acquire them. BMJ 2002;325:697-700.

Anda mungkin juga menyukai