Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sifilis

Sifilis adalah penyakit menular seksual yang ditandai dengan adanya lesi

primer kemudian diikuti dengan erupsi sekunder pada area kulit, selaput lendir

dan juga organ tubuh. Penyakit sifilis disebabkan oleh T. pallidum. T. pallidum

merupakan salah satu bakteri spirochaeta. Bakteri ini berbentuk spiral (Andriana

et al, 2012).

Terdapat empat subspesies, yaitu T. pallidum subspesies pallidum yang

menyebabkan sifilis, T. pallidum subspesies pertenue yang menyebabkan yaws, T.

pallidum subspesies carateum yang menyebabkan pinta dan T. pallidum

subspesies endemicum yang menyebabkan sifilis endemik (juga disebut bejel)

(LaFond & Lukehart, 2006). Klasifikasi bakteri penyebab sifilis adalah; Kingdom:

Eubacteria, Filum: Spirochaetes, Kelas: Spirochaetes, Ordo: Spirochaetales,

Familia: Treponemataceae, Genus: Treponema, Spesies: T. pallidum, Subspesies:

T. pallidum subspesies pallidum (Elvinawaty, 2014)

Penularan bakteri ini biasanya melalui hubungan seksual (membran

mukosa vagina dan uretra), kontak langsung dengan lesi/luka yang terinfeksi atau

dari ibu yang menderita sifilis ke janinnya melalui plasenta pada stadium akhir

kehamilan (Prince SA & Wilson LM, 2006).

Bakteri T. pallidum masuk dengan cepat melalui membran mukosa yang

utuh dan kulit yang lecet lalu masuk ke dalam kelenjar getah bening dan aliran

5
http://repository.unimus.ac.id
6

darah, kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh. Bergerak masuk ke ruang

intersisial jaringan dengan cara gerakan cork-screw (seperti membuka tutup

botol). Beberapa jam setelah terpapar terjadi infeksi sistemik meskipun gejala

klinis dan serologi belum kelihatan pada saat itu (Elvinawaty, 2014).

Darah dari pasien yang baru terkena sifilis ataupun yang masih dalam

masa inkubasi bersifat infeksius. Waktu berkembang biak T. pallidum selama

masa aktif penyakit secara invivo 30-33 jam (LaFond & Lukehart, 2006). Lesi

primer muncul di tempat kuman pertama kali masuk, biasanya bertahan selama 4-

6 minggu dan kemudian sembuh secara spontan. Pada tempat masuknya, kuman

mengadakan multifikasi dan tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang

terdiri atas limfosit, makrofag dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat

sebagai papul. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas di tempat masuknya

kuman tetapi juga di daerah perivaskuler (T. pallidum berada diantara endotel

kapiler dan sekitar jaringan), hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat

menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). Kerusakan

vaskular ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang

sehingga terjadi erosi atau ulkus dan keadaan ini disebut chancre (Elvinawaty,

2014).

Bakteri T. pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral

yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 μm dan panjang 6-15 μm. Lengkung

spiralnya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak 1

μm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang. Organisme ini aktif

bergerak, berotasi hingga 90º dengan cepat di sekitar endoflagelnya bahkan

http://repository.unimus.ac.id
7

setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Aksis panjang spiral

biasanya lurus tetapi kadang-kadang melingkar, yang membuat organisme

tersebut dapat membuat lingkaran penuh dan kemudian akan kembali lurus ke

posisi semula. Spiralnya sangat tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung

kecuali menggunakan pewarnaan imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap

dan mikroskop elektron (LaFond & Lukehart, 2006).

Gambar 1. T. pallidum menggunakan mikroskop elektron.

(Sumber : Elvinawaty, 2014)

Struktur T. pallidum terdiri dari membran sel bagian dalam, dinding

selnya dilapisi oleh peptidoglikan yang tipis, dan membran sel bagian luar. Flagel

periplasmik (biasa disebut dengan endoflagel) ditemukan didalam ruang

periplasmik, antara dua membran. Organel ini yang menyebabkan gerakan

tersendiri bagi T. pallidum seperti alat pembuka tutup botol (Corkscrew) (LaFond

& Lukehart, 2006). Filamen flagel memiliki sarung/selubung dan struktur inti

yang terdiri dari sedikitnya empat polipeptida utama. Genus Treponema juga

memiliki filamen sitoplasmik, disebut juga dengan fibril sitoplasmik. Filamen

bentuknya seperti pita, lebarnya 7-7,5 nm. Partikel protein intramembran

http://repository.unimus.ac.id
8

membran bagian luar T. pallidum sedikit. Konsentrasi protein yang rendah ini

diduga menyebabkan T. pallidum dapat menghindar dari respons imun pejamu

(Elvinawaty, 2014).

Gambar 2. Struktur Sel T. pallidum.

(Sumber : Elvinawaty, 2014)

1. Sifilis Primer

Manifestasi klinis awal sifilis adalah papul kecil soliter, kemudian dalam satu

sampai beberapa minggu, papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik

dari sifilis primer disebut dengan chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang

bersih, tunggal, tidak nyeri, merah, berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta

dan berlokasi pada sisi T. pallidum pertama kali masuk. Chancre dapat

ditemukan dimana saja tetapi paling sering di penis, servik, dinding vagina

rektum dan anus. Dasar chancre banyak mengandung spirokaeta yang dapat

dilihat dengan mikroskop lapangan gelap atau imunofluresen pada sediaan

kerokan chancre (Prince SA & Wilson LM, 2006).

http://repository.unimus.ac.id
9

2. Sifilis Sekunder

Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam 2-6

bulan setelah pajanan, 2-8 minggu setelah chancre muncul. Sifilis sekunder

adalah penyakit sistemik dengan spirokaeta yang menyebar dari chancre dan

kelenjar limfe ke dalam aliran darah dan ke seluruh tubuh, dan menimbulkan

beragam gejala yang jauh dari lokasi infeksi semula. Sistem yang paling

sering terkena adalah kulit, limfe, saluran cerna, tulang, ginjal, mata, dan

susunan saraf pusat (Winn W, et al, 2006; Prince SA, 2006). Tanda tersering

pada sifilis sekunder adalah ruam kulit makulopapula yang terjadi pada 50% -

70% kasus, papula 12% kasus, makula 10% kasus dan papula anula 6% - 14%

kasus. Lesi biasanya simetrik, tidak gatal dan mungkin meluas (Elvinawaty,

2014).

Kasus yang jarang, lesi dapat menjadi nekrotik, keadaan ini disebut dengan

lues maligna. Lesi di telapak tangan dan kaki merupakan gambaran yang

paling khas pada 4% sampai 11% pasien. T. pallidum dapat menginfeksi

folikel rambut yang menyebabkan alopesia pada kulit kepala. Bersamaan

dengan munculnya lesi sekunder, sekitar 10% pasien mengidap kondilomata.

Lesinya berukuran besar, muncul di daerah yang hangat dan lembab termasuk

di perineum dan anus. Inflamasi lokal dapat terjadi di daerah membran

mukosa mulut, lidah dan genital. Pada kasus yang jarang bisa ditemukan sifilis

sekunder disertai dengan kelainan lambung, ginjal dan hepatitis. T. pallidum

telah ditemukan pada sampel biopsi hati yang diambil dari pasien dengan

sifilis sekunder. Glomerulonefritis terjadi karena kompleks antigen

http://repository.unimus.ac.id
10

treponema-imunoglobulin yang berada pada glomeruli yang menyebabkan

kerusakan ginjal. Sindroma nefrotik juga dapat terjadi. Sekitar 5% pasien

dengan sifilis sekunder memperlihatkan gejala neurosifilis termasuk

meningitis dan penyakit mata (LaFond & Lukehart, 2006).

3. Sifilis Laten

Sifilis laten atau asimtomatik adalah periode hilangnya gejala klinis sifilis

sekunder sampai diberikan terapi atau gejala klinik tersier muncul. Sifilis laten

dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu sifilis laten dini dan lanjut. Pembagian

berdasarkan waktu relaps infeksi mukokutaneus secara spontan pada pasien

yang tidak diobati. Sekitar 90% infeksi berulang muncul dalam satu tahun,

94% muncul dalam dua tahun dan dorman selama empat tahun. Sifilis laten

dini terjadi kurang satu tahun setelah infeksi sifilis sekunder, 25% diantaranya

mengalami relaps sifilis sekunder yang menular, sedangkan sifilis laten lanjut

muncul setelah satu tahun. Relaps ini dapat terus timbul sampai 5 tahun.

Pasien dengan sifilis laten dini dianggap lebih menular dari sifilis laten lanjut.

Pemeriksaaan serologi pada stadium laten lanjut adalah positif, tetapi

penularan secara seksual tidak (Prince SA & Wilson LM, 2006).

4. Sifilis Tersier

Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal dan dapat

dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%, neurosifilis

lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%. Sepertiga pasien

berkembang menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan. Pasien dengan sifilis

tersier tidak menular. Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya

http://repository.unimus.ac.id
11

muncul 1-46 tahun setelah infeksi awal, dengan rerata 15 tahun. Karakteristik

pada stadium ini ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor

yang inflamasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini biasanya

mengenai kulit, tulang dan hati tetapi dapat juga muncul dibahagian lain

(Pommerville, 2010).

Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan nekrosis sentral,

muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal, meskipun guma bisa juga

muncul lebih lambat. Lesi ini bersifat merusak biasanya mengenai kulit dan

tulang, meskipun bisa juga muncul di hati, jantung, otak, lambung dan traktus

respiratorius atas. Lesi jarang yang sembuh spontan tetapi dapat sembuh

secara cepat dengan terapi antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak

menyebabkan komplikasi yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut

(Winn W, et al, 2006; LaFond & Lukehart SA, 2006).

Neurosifilis merupakan infeksi yang melibatkan sistem saraf sentral, dapat

muncul lebih awal, asimtomatik atau dalam bentuk sifilis meningitis, lebih

lanjut sifilis meningovaskular, general paresis, atau tabes dorsalis. Sifilis

meningovaskular muncul 5-10 tahun setelah infeksi awal. Sifilis

meningovaskular ditandai dengan apati, seizure dan general paresis dengan

dimensia dan tabes dorsalis. General paresis biasanya muncul 15-20 tahun

setelah infeksi awal, sedangkan tabes dorsalis 25-30 tahun. Komplikasi yang

paling sering adalah aortitis sifilis yang dapat menyebabkan aneurisma (Winn

W, et al, 2006).

http://repository.unimus.ac.id
12

5. Sifilis Kongenital

Merupakan penyakit yang didapatkan janin dalam uterus dari ibu yang

menderita sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap

stadium sifilis dan setiap masa kehamilan. Dahulu dianggap infeksi tidak

dapat terjadi sebelum janin berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang

merupakan pertahanan janin terhadap infeksi masih belum atrofi. Tetapi

ternyata dengan mikroskop elektron dapat ditemukan T. pallidum pada janin

berusia 9-10 minggu (Agustini & Arsani, 2013).

B. Pemeriksaan T. pallidum Secara Serologi

Metode definitif untuk mendiagnosis sifilis dilakukan dengan

pemeriksaan mikroskop lapangan gelap terhadap eksudat dari chancre pada sifilis

primer dan lesi mukokutis pada sifilis sekunder serta uji antibodi fluoresens

langsung. Uji serologi lebih mudah, ekonomis, dan lebih sering dilakukan.

Terdapat dua jenis uji serologi yaitu (Prince SA & Wilson LM, 2006). :

1. Uji nontreponemal, yang paling sering dilakukan adalah :

a. Uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) dan

b. Rapid Plasma Reagin (RPR).

Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen

yang terdiri dari kardiolipin, kolesterol, dan lesitin yang sudah terstandardisasi.

2. Uji treponemal, terdiri dari :

a. Treponema pallidum Haem Aglutination (TPHA),

b. Treponema pallidum Particle Agglutination (TP-PA),

c. Fluorescent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS),

http://repository.unimus.ac.id
13

d. Micro Hemagglutination Assay for antibodies to Treponema pallidum

(MHA-TP),

e. Treponemal Enzyme Immuno Assay (EIA) untuk deteksi imunoglobulin G

(IgG), imunoglobulin G dan M (IgG dan IgM), atau imunoglobulin M

(IgM).

Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap antigen treponemal dan

memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji nontreponemal,

terutama sifilis lanjut.

C. Uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL)

Pemeriksaan VDRL merupakan tes yang mudah dilakukan, cepat dan

sangat baik untuk skrining. Pemeriksaan VDRL dilakukan untuk mendeteksi

adanya antibodi nontreponemal dan mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap

materi lipoidal (bahan yang dihasilkan dari sel host yang rusak) sama halnya

seperti lipoprotein, dan mungkin kardiolipin berasal dari treponema. Antibodi

antilipoidal adalah antibodi yang tidak hanya berasal dari sifilis atau penyakit

yang disebabkan oleh treponema lainnya, tetapi dapat juga berasal dari hasil

respons terhadap penyakit nontreponemal, baik akut ataupun kronik yang

menimbulkan kerusakan jaringan (Elvinawaty, 2014). Tetapi tes ini bersifat tidak

spesifik karena dapat menimbulkan positif palsu (misal karena penyakit malaria).

Untuk menegaskan diagnosa perlu dilakukan tes yang bersifat lebih spesifik yaitu

dengan tes TPHA (Treponema pallidum Haem Aglutination).

http://repository.unimus.ac.id
14

1. Prinsip Pemeriksaan

Antigen VDRL (reagin, kardiolipin, lesitin) + antibodi yang diduga

mengandung T. pallidum membentuk flokulasi.

2. Metode

Pemeriksaan VDRL dilakukan dengan metode flokulasi.

3. Komponen Reagen

Komponen reagen yang digunakan dalam pemeriksaan VDRL terdiri dari :

a. Antigen VDRL

Kardiolipin 0,9%, kolesterol dan lesitin murni secukupnya (0,21%).

b. Kontrol positif/+.

c. Kontrol negatif/-.

4. Interpretasi Hasil

Interpretasi hasil metode flokulasi diamati langsung pada mikroskop.

Interpretasi hasil pada VDRL ada 2 macam :

a. Interpretasi kualitatif, dilaporkan dengan dengan menyebutkan non-reaktif,

reaktif 1, reaktif 2, reaktif 3 atau reaktif 4.

b. Interpretasi kuantitatif, derajatnya disesuaikan pada pengenceran tertinggi

yang masih menunjukkan adanya flokulan.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil VDRL

1. Kurang memperhatikan kecepatan rotator yang akan mempengaruhi

terbentuknya flokulan.

2. Ketepatan volume pemipetan sampel dan reagen perlu diperhatikan untuk

memperoleh jumlah volume yang sesuai.

http://repository.unimus.ac.id
15

3. Sampel disimpan terlalu lama, sehingga akan menimbulkan negatif palsu.

4. Kurang teliti dalam mengamati terbentuknya flokulan.

5. Faktor eksternal seperti suhu, bentuk kompleks dan getaran yang akan

mempengaruhi terbentuknya flokulan (Manurung, 2012).

E. Pemantapan Mutu Laboratorium

Waktu pembacaan adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk mengamati

hasil pemeriksaan VDRL pada mikroskop segera setelah dirotasi dan dengan

selang waktu 5, 10, 15 dan 20 menit pada pemeriksaan VDRL metode flokulasi.

Waktu pembacaan dalam pemeriksaan VDRL dipengaruhi oleh pemantapan mutu

internal suatu laboratorium.

Pemantapan mutu internal adalah kegiatan pencegahan dan pengawasan

yang dilaksanakan oleh setiap laboratorium secara terus menerus agar diperoleh

hasil pemeriksaan yang tepat dan teliti (Nurfita, 2011). Pemantapan mutu internal

yang memperngaruhi pemeriksaan VDRL metode flokulasi dengan variasi waktu

pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5, 10, 15 dan 20

menit terdiri dari 3 tahapan meliputi pra analitik, analik dan pasca analitik.

1. Tahap pra analitik adalah suatu tahap yang digunakan untuk mengetahui

kesalahan sebelum dilakukan pemeriksaan VDRL metode flokulasi dengan

variasi waktu pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5,

10, 15 dan 20 menit (Sukorini, et al, 2010). Tahap pra analitik meliputi :

a. Persiapan pasien dalam pemeriksaan VDRL tidak memerlukan persiapan

khusus.

b. Pencatatan data pasien meliputi nama, umur dan jenis kelamin.

http://repository.unimus.ac.id
16

c. Pengambilan sampel dalam pemeriksaan VDRL adalah darah vena pasien

yang reaktif terhadap VDRL kemudian disentrifuge untuk diambil

serumnya. Sampel dalam pemeriksaan VDRL berupa serum yang

kemudian diperiksa lalu diamati di bawah mikroskop dengan variasi

waktu pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5, 10,

15 dan 20 menit.

d. Penyimpanan sampel yaitu pada refrigerator dengan suhu 2-8ºC.

2. Tahap analitik adalah suatu tahap yang digunakan untuk mengetahui

kesalahan yang terjadi selama proses pengamatan hasil pemeriksaan VDRL

metode flokulasi dengan variasi waktu pengamatan segera setelah dirotasi dan

dengan selang waktu 5, 10, 15 dan 20 menit. Tahap analitik dalam

pemeriksaan ini sangat mempengaruhi hasil pengamatan yang disebabkan

oleh kesalahan acak atau kesalahan sistematis. Kesalahan acak adalah

kesalahan yang terjadi tanpa diprediksi meliputi instrumen yang tidak stabil,

pipetasi dan waktu pengamatan. Kesalahan sistematis merupakan suatu

kesalahan yang disebabkan dalam metode yang digunakan, prosedur kalibrasi

yang tidak tepat dan kerusakan reagen pada pemeriksaan VDRL metode

flokulasi dengan variasi waktu pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan

selang waktu 5, 10, 15 dan 20 menit (Sukorini, et al, 2010). Tahap analitik

meliputi :

a. Reagen yang digunakan dalam pemeriksaan VDRL adalah antigen VDRL

(reagin, kardiolipin, lesitin), kontrol positif/+ dan kontrol negatif/-

http://repository.unimus.ac.id
17

b. Peralatan yang digunakan dalam pemeriksaan VDRL adalah rotator,

mikroskop, slide VDRL, mikropipet, tip kuning dan pengaduk.

c. Kontrol atau standar yang digunakan dalam pemeriksaan VDRL dengan

variasi waktu pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang

waktu 5, 10, 15 dan 20 menit adalah hasil dari pengamatan segera setelah

dirotasi.

d. Metode yang digunakan dalam pemeriksaan VDRL dengan variasi waktu

pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5, 10, 15

dan 20 menit adalah metode flokulasi. Metode ini sangat berpengaruh

terhadap hasil pemeriksaan VDRL. Waktu pengamatan selama segera

setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5, 10, 15 dan 20 menit

kemungkinan berpengaruh terhadap flokulan yang terbentuk.

3. Tahap pasca analitik adalah suatu tahap yang digunakan untuk mengetahui

kesalahan analitik yang terjadi dalam pemeriksaan VDRL dengan variasi

waktu pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5, 10, 15

dan 20 menit setelah pengambilan sampel dan proses pengamatan hasil pada

tahap analitik (Sukorini, et al, 2010). Tahap pasca analitik meliputi :

a. Pengamatan flokulasi dilakukan dengan teliti untuk memperoleh hasil

yang tepat dari pengamatan segera setelah dirotasi dan dengan selang

waktu 5, 10, 15 dan 20 menit

b. Hasil dilaporkan dengan menyebutkan non-reaktif, reaktif 1, reaktif 2,

reaktif 3 atau reaktif 4.

http://repository.unimus.ac.id
18

F. Kerangka Teori

Infeksi T. pallidum

Waktu
Pembacaan Hasil pemeriksaan VDRL

Metode
Flokulasi

Pra Pasca
Analitik
Analitik Analitik

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil VDRL :


1. Kecepatan rotator
2. Ketepatan volume pemipetan Pemantapan mutu
3. Sampel disimpan terlalu lama laboratorium
4. Perbandingan sampel dan reagen
5. Kurang teliti dalam mengamati flokulan
6. Suhu, bentuk kompleks dan getaran

G. Kerangka Konsep

Waktu pembacaan segera


setelah dirotasi dan dengan
Hasil Pemeriksaan VDRL
selang waktu 5, 10, 15 dan
20 menit

H. Hipotesis

Ada pengaruh variasi waktu pembacaan terhadap hasil pemeriksaan

VDRL metode flokulasi segera setelah dirotasi dan dengan selang waktu 5, 10, 15

dan 20 menit.

http://repository.unimus.ac.id

Anda mungkin juga menyukai