1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi
dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dispepsia
sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang
menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai
penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih
dikenal sebagai penyakit maag.
Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5%
dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di
Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata telah
terinfeksi H. pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Etiologi :
Faktor risiko :
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia: konsumsi ka- fein
berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan OAINS, serta
berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori tinggi.
4. PATOFISIOLOGI
Kasus dispepsia fungsional umumnya mem- punyai tingkat sekresi asam lambung, baik sekresi
basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat
peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di
perut.
Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum sepenuhnya di-
mengertidanditerima.Kekerapaninfeksi H. pylori pada dispepsia fungsional sekitar 50%
dantidakberbedabermaknadenganangka kekerapaninfeksiH.pyloripadakelompok orang sehat.
Mulai ada kecenderungan untuk melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan
H. pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku.
Dismotilitas
Selama beberapa waktu, dismotilitas telah menjadi fokus perhatian dan beragam abnormalitas
motorik telah dilaporkan, di antaranya keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus
terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan dismotilitas duodenal.
Beragam studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional, terjadi perlambatan pengosongan
lambung dan hipomotilitas antrum (hingga 50% kasus), tetapi harus dimengerti bahwa proses
motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan
pengosongan lambung saja tidak dapat mutlak menjadi penyebab tunggal adanya gangguan
motilitas.
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan
nociceptors. Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai mempunyai hipersensitivitas viseral
terhadap distensi balon di gaster atau duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih
belumdipahami. Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut memainkan peranan penting pada
semua gangguan fungsional dan dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia
fungsional.
Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada tahun 2012. Dalam penelitian
tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang
sehat. Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada individu dispepsia
fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting hipersensitivitas dalam pato siologi dispepsia.
Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus
dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi
bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
Peranan hormonal
Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding
kasus kontrol.
Psikologis
Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada
orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang men- dahului keluhan
mual setelah pemberian sti- mulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada
upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak
didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsionalini, walaupun
dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan
seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional.
5. DIAGNOSTIK
Dispepsia fungsional
Kriteria diagnostik terpenuhi* bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Salah satu atau
lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah
retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
6. TATALAKSANA
Namun, bila tidak didapatkan kondisi di atas, terdapat 2 tindakan yang dapat dilakukan: (1) Test-
and-treat: untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi Helicobacter pylori dengan uji noninvasif yang
tervalidasi disertai pemberian obat penekan asam bila eradikasi berhasil, tetapi gejala masih
tetap ada, (2) Pengobatan empiris menggunakan proton-pump inhibitor (PPI) untuk 4-8
minggu.American College of Physicians menyatakan bahwa pengobatan empiris menggunakan
obat antisekresi ini merupakan tulang punggung utama pengobatan dispepsia dan masih
dipraktikkan secara luas hingga saat ini.Alternatif (1) dianjurkan untuk mengobati populasi
dengan prevalensi infeksi H. pylori tingkat sedang sampai tinggi (>10%), sedangkan alternatif (2)
disarankanpadapopulasidenganprevalensi infeksi H. pylori rendah.
Sebuah studi di Denmark (2011) telah berhasil menerapkan test-and-treat secara massal dengan
cara melakukan urea breath test (UBT) di rumah-rumah.Namun, dalam upaya eradikasi H. Pylori,
perlu diwaspadai adanya resistensi tehadap pengobatan antibiotik yang diberikan; dalam studi
di Spanyol (2012), ditemukan peningkatan resistensi terhadap levo oksasin yang hampir
menyamai tingkat resistensi terhadap klaritromisin.
Terapi terbaru, seperti ekstrak herbal STW 5, masih memerlukan penelitian- penelitian preklinis
yang intensif sebelum dapat digunakan. Guo (2011) melaporkan efektivitas akupunktur dalam
meningkatkan motilin plasma, frekuensi elektrogastrogra k, pengosongan lambung, dan
meredakan gejala-gejala dispepsia fungsional, terlebih bila dikombinasikan dengan obat-obat
yang sudah ada.
7. PROGNOSIS
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pa- sien dispepsia fungsional memiliki prognosis
kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat
kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.Lebih
jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap
pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.
8. RUJUKAN
Pasien dispepsia harus dirujuk ke dokter spesialis terkait jika ditemukan tanda dan gejala di
bawah ini:
1. Jika pasien mengalami gejala dan tanda bahaya (alarming features) seperti berikut: perdarahan
saluran cerna, sulit menelan, nyeri saat menelan, anemia yang tidak bisa dijelaskan sebabnya,
perubahan nafsu makan, dan penurunan berat badan, atau ada indikasi endoskopi. Segera rujuk
pasien ke spesialis gastroenterologi atau rumah sakit dengan fasilitas endoskopi.
2. Bila gejala dan tanda lebih mengarah pada kelainan jantung, segera rujuk ke spesialis jantung.