Anda di halaman 1dari 44

0

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes melitus merupakan
penyakit kronik yang akan diderita seumur hidup dan dapat memicu terjadinya
komplikasi serius dan kematian. Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit
degeneratif yang banyak di derita penduduk dunia dan belum ditemukan pengobatan
yang efektif. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan tingkat prevalensi
diabetes melitus tipe 2 sebesar 1,5-2,3% pada usia lebih dari 15 tahun.
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan angka insidensi
dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Diabetes melitus tipe 2 meliputi
90% kasus DM di negara-negara berkembang dan merupakan kasus terbesar pada
beberapa negara berkembang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 3020 di Indonesia.
Indonesia menempati urutan ke 4 terbesar dalam jumlah penyandang DM, sedangkan
urutan diatasnya yaitu India, China dan Amerika Serikat.
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah dan gejala klinis.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan,
gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Penatalaksanaan DM terdiri dari pertama terapi non farmakologis yang meliputi
perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan, meningkatkan
aktivitas jasmani, dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit. Kedua
adalah terapi farmakologis yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi
insulin. Apabila tidak dilakukan pengontrolan kadar gula darah dan faktor risiko, maka
akan mengarah kepada terjadinya komplikasi baik yang bersifat akut maupun kronis
pada mikro dan makrovaskular.
Anemia penyakit kronis merupakan anemia yang terjadi setelah proses infeksi
atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami
penyakit tersebut selama 1-2 bulan.
1

Anemia sering dijumpai pada lansia dan meningkatnya insidensi anemia


dihubungkan dengan bertambahnya usia setelah menimbulkan spekulasi bahwa
penurunan hemoglobin kemungkinan merupakan konsekuensi dari pertambahan usia.
Prevelensi anemia pada lansia adalah sekitar 8-44% dengan prevalensi tertinggi
pada laki-kali usia 85 tahun atau leibh. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan
bahwa prevalensi anemia pada laki-laki lansia adalah 27-40% dan wantia lansia sekitar
16-21 dan kebanyakan adalah disebabkan oleh anemia penyakit kronik.

1.2 Rumusan Masalah


Yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah : Bagaimana
gambaran klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami
DM dan anemia penyakit kronis?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya:
a. Untuk memahami teori mengenai diabetes melitus dan anemia penyakit kronis .
b. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus diabetes melitus dan
anemia penyakit kronis pada pasien secara langsung.
c. Untuk memahami perjalanan diabetes melitus dan anemia penyakit kronis.

1.4 Manfaat Penulisan


Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya:
a. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit
dalam, khususnya mengenai diabetes melitus tipe 2 dan anemia penyakit
kronis.
b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut
topik topik yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 2 dan anemia penyakit
kronis.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1 Definisi
2

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1
2.1.2 Epidemiologi
Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit
tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Perubahan
pola penyakit ini diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola
makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung
banyak karbohidrat dan serat sayur, ke pola makan barat yang mengandung
banyak protein, lemak, gula, garam dan sedikit serat. Di samping itu cara hidup
yang sangat sibuk dibelakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk
aktivitas fisik dan rekreasi.
WHO (World Health Organitation) membuat perkiraan bahwa tahun 2000
jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan
dalam kurun waktu 25 tahun kemudian jumlah itu akan membengkak menjadi 300
juta orang. Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari
orang dewasanya. Penelitian epidemiologi di Indonesia prevalensi diabetes
melitus tipe 2 sebesar 1,5-2,3% pada usia lebih dari 15 tahun. Dan terdapat jelas
perbedaan prevalensi didaerah urban dan di daerah rural yang menunjukkan
bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes.1,2,3,4
2.1.3 Klasifikasi Etiologik
I. Diabetes tipe 1 (destruksi sel-β, biasanya akan menyebabkan defisiensi insulin
absolut)
A. Mediasi sistem imun
B. Idiopatik
II. Diabetes tipe 2 (dapat berupa keadaan dimana resistensi insulin lebih
predominan dengan defisiensi insulin relatif hingga suatu keadaaan dimana
defek sekresi yang predominan dengan resistensi insulin)5
III. Tipe diabetes lain yang spesifik
A. Defek genetik fungsi sel-β yang dikarakterisasi oleh mutasi pada
1. Faktor transkripsi nuclear hepatosit (HNF) 4α (MODY 1)
2. Glukokinase (MODY 2)
3. HNF-1α (MODY 5)
4. Faktor-1 promoter insulin (PF-1; MODY 4)
5. HNF-1β (MODY 5)
6. Neuro D1 (MODY 6)
7. DNA mitokrondrial
8. Subunit channel kalium sensitif-ATP
3

9. Proinsulin atau konversi insulin


B. Defek genetik kerja insulin
1. Resistensi insulin tipe A
2. Leprechaunisme
3. Sindroma Rabson-Mendenhall
4. Sindroma Lipodistrofi
C. Penyakit pancreas eksokrin – pankreatitis, pankreatektomi, neoplasia,
fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulus, mutasi lipase
karboksil ester
D. Endrokrinopati – akromegali, sindroma Cushing, glukagonoma,
feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma
E. Reaksi yang diinduksi zat obat atau kimia – vakor, pentamidin, asam
nikotinik, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoksid, agonist adrenergik-β,
thiazid, fenitoin, interferon-α, inhibitor protease, klozapin
F. Infeksi – rubella kongenital, cytomegalovirus, cocksakie
G. Diabetes yang dimediasi sistem imun yang tidak umum – sindroma ‘stiff
person’, antibodi reseptor anti-insulin
H. Sindroma genetik lain yang kadang-kadang berhubungan dengan diabetes
– Sindroma Down, sindroma Klinefelter, sindroma Turner,
sindromaWolfram, ataksia Friedreich, korea Huntington, sindroma
Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, sindroma Prader-Willi
IV. Diabetes mellitus gestasional5

2.1.4 Patofisiologi
DM tipe 2 biasanya disebabkan oleh gabungan dari faktor genetik yang
berhubungan dengan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dan faktor
lingkungan seperti obesitas, kurang berolahraga, stress dan faktor penuaan.
Secara umum, penyakit ini merupakan penyakit multi-faktorial yang melibatkan
banyak gen dan faktor-faktor lingkungan yang sangat bervariasi. Terdapat fakta
yang dianggap penting untuk patogenesis. Hal ini dapat ditunjukkan pada orang
Jepang yang mempunyai insulin secretory capacity yang rendah setelah
pemberian glukosa yang mengarahkan bahwa orang Jepang mempunyai
pontensial fungsi sel β yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang Barat.
Ini menunjukkan orang Jepang kemungkinan memiliki banyak gen diabetes
sensitive. Selain itu peningkatkan angka penderita DM tipe 2 meningkat secara
drastis menunjukkan perubahan gaya hidup seperti terdapat pada gambar
dibawah ini.
4

Gambar: Patofisiologi DM tipe 2


Faktor genetik yang terlibat pada patogenesis DM tipe 2:6
Perkembangan terjadinya DM tipe 2 jelas berhubungan dengan adanya
riwayat keluarga DM. Anak kembar monozigot mempunyai kecendurungan
keduanya menderita DM dibandingkan dengan anak kembar dizigot, ini
memberi petunjuk adanya keterlibatan faktor genetik pada DM. Terdapat asumsi
bahwa patogenesis yang melibatkan abnormalitas genetik pada tingkat
molekuler memiliki hubungan dengan sistem regulasi metabolime glukosa.
Analisis yang dilakukan pada kandidat gen target pada sel β pankreas
penyekresi insulin yang distimulasi glukosa dan molekular yang terdiri daripada
molekul yang terlibat dapat mekanisme terjadinya pelepasan insulin, telah
mengindentifikasi abnormalitas genetik yang dapat menyebabkan patogensis
secara independen seperti gen glukokinase, gen mitokondrial dan gen reseptor
insulin. Belakangan ini, Genome Wide Association Study (GWAS) telah
mengindentifikasi mutasi gen KCNQ1 yang berhubungan dengan abnormalitas
sekresi insulin sebagai disease-susceptible gene yang penting disertai
patogenesis DM pada orang Asia. Namun begitu, hasil hingga sekarang laporan
menunjukkan bahwa penderita DM merupakan akibat kombinasi abnormalitas
genetik.
Peranan faktor lingkungan:
Penuaan, obesitas, konsumsi energi yang tidak cukup, peminum alkohol dan
merokok adalah faktor risiko independen pada patogenesis DM. Obesitas,
terutama obesitas lemak viseral, disebabkan karena kurang berolahraga sering
5

disertai penurunan massa otot, merangsang resistensi insulin dan hal ini juga
terkait erat dengan usia penderita. Perubahan sumber energi pada diet terutama
pada peningkatan kadar asupan lemak, penurunan asupan tepung, peningkatan
konsumpsi monosakarida dan penurunan asupan fiber, mengkontribusi
terjadinya obesitas dan penurunan toleransi glukosa. Walaupun obesitasnya
ringan, risiko menderita DM meningkat sebanyak 4-5 kali, jika disertai
peningkatan massa lemak viseral. Orang Jepang lebih cederung akumulasi lemak
akibat hiperalimentasi dan faktor risiko DM berhubungan dengna akumulasi
lemak viseral.
Gangguan sekresi insulin:
Gangguan sekresi insulin adalah penurunan responsif glukosa terhadap
insulin yang dapat diperhatikan sebelum terjadinya gejala-gejala DM. Lebih
spesifik, toleransi glukosa terganggu disebabkan oleh penurunan responsif
glukosa pada fasa awal sekresi insulin dan penurunan sekresi insulin sesudah
makan dan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Gangguan sekresi insulin
ini akan progresif dan progresif ini akan menyebabkan toksisitas glukosa dan
toksisitas lipid. Jika tidak diobati, maka toksin ini akan menyebabkan mass sel-
sel β prankreas akan berkurang dan jika ini berterus, maka fungsi sel-sel β
terganggu dan kontrol kadar glukosa darah yang jangka masa panjang.
Pasien pada tahap awal sesudah onset penyakit ditandai dengan
peningkatan glukosa darah postprandial akibat peningkatan resistance insulin
dan penurunan sekresi fasa awal, progesi semakin memburuk pada fungsi sel
pankreas terakhirnya menyebabkan elevasi glukosa darah yang permenan.
Resistensi insulin:
Resistensi insulin merupakan kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak
dapat berfungsi sesuai dengan proportional konsentrasi kadar glukosa darah.
Gangguan fungsi insulin akan pada target organ yang mayor seperti hati dan
otot.
Faktor genetik seperti reseptor insulin, gen polimorfik insulin receptor
substrate(IRS)-1 yang memberi afek sinyal insulin secara langsung, gen reseptor
adrenergik β3 dan gen uncoupling protein(UCP) mempromosi resistensi insulin.
Glucolipotoxicity dan inflammatory mediators terlibat dalam mekanism
gangguan sekresi insulin dan gangguan sinyal insulin.
6

Didapati bahwa leptin, resistin dan asam lemak bebas dapat menyebabkan
peningkatan resistensi insulin manakala adiponectin mengurangkan resistensi
insulin.

Kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan: (1) polidipsia akibat
hiperosmolaritas glukosa, (2) poliuria akibat asupan cairan yang berlebihan dan
diuretik osmotik yang diinduksi glukosa, (3) penurunan berat badan oleh karena
terjadi kehilangan kalori akibat glukosuria, sehingga terjadi negative calorie
balance, (4) polifagia akibat glukosuria dan negative calorie balance.6
2.1.5 Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut
di bawah ini:
 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelakan sebabnya.
 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemerikssan glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga
dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan . 3
Kriteria diagnosa DM untuk dewasa tidak hamil.
7

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dL. Glukosa plasma


sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir, ATAU
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasama puasa ≥ 126mg/dL, ATAU
3. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200mg/dL.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil
yang diperoleh:
TGT: diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199mg/dL.
GDPT: diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125mg/dL.3
Pemeriksaan HbA1c:
HbA1c adalah glukosa yang terikat dengan molekul hemoglobin A. Dalam
darah, glukosa bisa terikat dengan molekul hemoglobin dalam sel darah merah.
Proses ini dikatakan glycosylation. Ketika glukosa terikat, glukosa akan tetap
berikat dengan sel darah merah sehingga sel darah merah dihancurkan yaitu 60-
90 hari. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah semakin banyak glukosa
berikatan dengan hemoglobin.
Tes HbA1c digunakan untuk mengukur kadar glukosa yang berikat dengan hemoglobin di dalam sel darah merah dan tanda dalam

persentase glukosa yang terikat dengan hemoglobin dengan jumlah konsentrasi hemoglobin. HbA1c diteskan untuk mengetahui rata-rata

glukosa darah yang terkontrol dalam 60-90 hari sebelum pemeriksaan glukosa puasa, sewaktu atau postprandial.
6
Anjuran HbA1c%
Sangat sehat ≤ 7,0
Sedang, memerlukan perbaikan 7,0 – 8,0
Tinggi, memerlukan tindakan terapi 8,0 – 10,0
Sangat tinggi, memerlukan tindakan terapi >10,0

2.1.6 Penatalaksanaan
Terdapat 4 pilar penatalaksanaan diabetes melitus yaitu:
1. Edukasi
2. Terapi gizi medik
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM setelah edukasi dimulai dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
8

darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat


hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pemantauan kadar glukosa
darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.3,4
1. Edukasi
Diabetes melitus biasanya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku
telah terbentuk dengan mapan. Untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi dan ini membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan
cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.

2. Terapi gizi medik


Merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat
direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis pada
prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.
Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan:
 kadar glukosa darah mendekati normal
 tekanan darah < 130/80 mmHg
 profil lipid: -LDL < 100mg/dl
-HDL < 40 mg/dl
-Trigliserida < 150 mg/dl

Berat badan senormal mungkin
Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi
karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan
mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan
diabetisi secara tepat.3
a. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi sehari, atau
tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian MUFA
(Monounsaturated Fatty Acids). Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total
asupan energi. Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hr. Makanan harus
mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.3,4
b. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan
energi. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll),
daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
9

kacangan, tahu, tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB/hr atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi. 3
c. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <7%
kebutuhan kalori dan lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak
MUFA. Anjuran konsumsi kolesterol <300mg/hr. Bahan makanan yang perlu
dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara
lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). 3,4
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.3
Perhitungan jumlah kalori untuk penyandang DM ditentukan oleh status gizi,
umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Perhitungan kebutuhan
kalori basal adalah sebesar 25-30 kalori/kg BB ideal dan ditambah atau dikurang
oleh faktor-faktor tadi. Perhitungan BBI (berat badan ideal) dengan rumus
brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
BBI = 90% x (tb dalam cm-100) x 1kg
Dimana bagi pria dengan tinggi dibawah 160cm dan wanita dibawah 150cm,
tidak perlu dikali 90%. Interpretasinya adalah:
BB normal : BB ideal ± 10%
BB kurus : <BBI -10%
BB gemuk : >BBI + 10%
Selain Broca juga terdapat perhitungan berat badan ideal menurut IMT
(indeks massa tubuh). IMT dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB
(m2). Klasifikasi IMT:
BB kurang : <18,5
BB normal : 18,5-22,9
BB lebih : ≥23,0
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:

Jenis kelamin: kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30
kal/kg BB.
10


Umur: Untuk pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%,
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69
tahun dikurangi 15%, dan dikurangi 20% untuk umur diatas 70 tahun.

Aktivitas fisik: Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan
pada keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30%
dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.

Berat badan: Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung pada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan
kebutuhan untuk meningkatkan BB. 3
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Pada diabetisi dengan gula darah tak terkontrol, latihan
jasmani akan menyebabkan terjadi peningkatkan kadar glukosa darah dan badan
keton yang dapat berakibat fatal. Sebaiknya bila ingin melakukan latihan jasmai,
seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tidak lebih dari 250
mg/dl. Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada
saat kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani yang dikerjakan
dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak terkendali, akan
menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati, disertai
peningkatan produksi benda-benda keton. 4
Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan
insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedang pada otot
aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tidak
meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor
insulin otot dan penambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan
jasmani. Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin
dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah
berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah,
menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia
reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.4
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
11

sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindari


kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.3
4. Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum
tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Dalam melakukan
pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat. Pada
kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stres) pengelolaan
farmakologi dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan
seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit.
a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oeh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan
kepada pasien dengan berat badan lebih.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit
kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang
tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada
reseptor channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan
menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta,
terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase,
dan meyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada
Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat
bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi
insulin.
Dosis permulaan sulfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia.
Bila konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dL, sebaiknya dimulai dengan
pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu
sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa darah
puasa >200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat
sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan
lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan
pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
12

Kombinasi sulfonilurea dan insulin lebih baik daripada insulin sendiri


dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara
kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin
multipel.
Glinid: Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea
dengan penekanan pada meningkatkan insulin pada fase pertama. Golongan
ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini
kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua
sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa
walaupun mempunyai masa paruh yang singkat. Sedang Nateglinid
mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah
puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan
glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena
sedikit mempunyai efek terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk
menurunkan A1C tidak begitu kuat.
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Insulin Sensitizing)
Biguanid: menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus
sehingga menurunkan glukosa darah. Setelah diberikan secara oral,
metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan
diekskresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak dianggap sebagai
obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik.
Pada pemakaian tunggal metfomin dapat menurunkan glukosa darah
sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun.
Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah
penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin
sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk
dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Bila tidak bisa monoterapi
maka kmobinasi dengan sulfonilurea atau obat antidiabetik lain. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum
kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien dengan kecenderungan
hipoksemia.
13

c. Penghambat Absorpsi Glukosa (Penghambat Glukosidase Alfa)


Acarbose: Obat ini bekerja dengan secara kompetitif menghambat kerja
enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga dengan demikian
dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia
postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tida berpengaruh pada kadar insulin.
Mekanisme kerja acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa
glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian
proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan
monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang peningkatan
glukosa darah post-prandial, dan mempengaruhi respon insulin plasma.
Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat
menyebabkan hipoglikemia. Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja
lokal pada saluran cerna.
Efek samping berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus,
flatulens, dan diare. Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini harus
diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan
penghambat kompetitif. Obat ini dapat menurunkan rata-rata glukosa
postprandial sebesar 40-60 mg/dL dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dL,
dan A1C 0,5-1%. 3,4
d. Insulin
Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes
mellitus tipe 1. Namun demikian, pada pasien DM tipe 2 karena
prevalensinya yang jauh lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Terapi
insulin pada pasien DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan
kegagalan terapi oral, endali kadar glukosa darah yang buruk (A1C >7,5%
atau kadar glukosa darah puasa >250 mg/dL), riwayat pankreaktomi, atau
disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat
ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang
DM lebih dari 10 tahun. Dan sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah
tidak terkontrol dengan baik (A1C > 6,5%) dalam jangka waktu 3 bulan
dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi
kombinasi obat antidiabetik dan insulin. Pada keadaan tertentu dimana
kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar
glukosa darah puasa >250 mg/dL, kadar glukosa darah acak menetap >
14

300mg/dL A1C .10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat
mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu, terapi
insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala
nyata (poliuria, polidipsia, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan).
Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan
penggunaan insulin dapat dihentikan.
Agar terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien
hiperglikemia yang dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola
sekresi insulin pada orang normal. Sekresi insulin dapat dibagi menjadi
sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum makan) dan insulin prandial
(setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per unit waktu
yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat
glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi. Insulin
prandial adalah insulin yang dibutuhkan untuk mengkonversi bahan
makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak terjadi
hiperglikemia postprandial.
Secara umum, kebutuhann insulin dapat diperkirakan sebagai berikut:
insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB;
insulin prandial adalah 50% dari kebutuhan total insulin per hari; dan insulin
koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari.
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin sampai
insulin analog. Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin
basal dapat digunakan insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin)
atau kerja panjang (long-acting insulin); sementara untuk memenuhi
kebutuhan insulin prandial (setelah makan) digunakan insulin kerja cepat
(sering disebut insulin regular/ short-acting insulin) atau insulin kerja sangat
cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin). 4,7
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi Akut Diabetes Mellitus:
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)8
Ciri biokimia kardinal KAD adalah: hiperglikemia, hiperketonemia, asidosis
metabolik.
Ketoasidosis merupakan suatu kondisi gawat medis yang sering menjadi
penyebab serius morbiditas, terutama pada pasien diabetes tipe 1. Hiperglikemia
yang terjadi pada KAD menyebabkan suatu diuresis osmotik yang besar
sehingga terjadi dehidrasi dan kehilangan elektrolit, terutama sodium dan
15

kalium. Ketosis terjadi akibat defisiensi insulin, dieksaserbasi oleh peningkatan


katekolamin dan hormon stres yang lain, sehingga menyebabkan lipolisis dan
suplai asam lemak bebas untuk ketogenesis hepatik yang tidak terkontrol.
Apabila ini melebihi kapasitas metabolisme keton asam, akan terjadi akumulasi
keton dalam darah. Akibatnya, asidosis metabolik memaksa ion hidrogen ke
dalam sel lalu mengambil tempat ion kalium, yang mungkin hilang pada urin
atau melalui muntah.
Secara rata-rata, 6 liter air, 500 mmol natrium, 400 mmol klorida, dan 350
mmol kalium hilang pada pasien KAD yang sedang-berat. Pada kondisi ini,
terjadi pengurangan ruang ekstraselular yang signifikan, disertai dengan
hemokonsentrasi, penurunan volume darah, dan akhirnya penurunan tekanan
darah yang berhubungan dengan iskemia renal dan oliguria.
Setiap pasien KAD mengalami deplesi kalium, tetapi konsentrasi plasma
kalium memberi indikasi defisit seluruh tubuh yang sangat sedikit. Kalium
plasma malah mungkin meningkat sedikit pada awalnya oleh karena kehilangan
disproposi air dan katabolisme protein dan glikogen. Walaupun begitu, setelah
terapi insulin, kemungkinan besar terjadi penurunan mendadak kalium plasma
oleh karena pengenceran kalium ekstraselular dengan pemberian cairan
intravena, gerakan kalium ke dalam sel akibat terapi insulin, dan kehilangan
kalium yang berterusan di ginjal.
Magnitud hiperglikemia tidak berkorelasi dengan keparahan asidosis
metabolik; elevasi glukosa darah yang sedang dapat berhubungan dengan
ketoasidosis yang mengancam nyawa. Pada sesetengah kasus, predominasinya
adalah hiperglikemia dan asidosis hanya minimal, dan pasien dating dalam
keadaan hiperosmolar.
Simptom KAD termasuk poliuria atau kehausan, penurunan berat badan,
kelemahan, mual dan muntah, kaki kebas, pandangan kabur, nyeri daerah
abdominal sedangkan tanda KAD termasuk dehidrasi, hipotensi (postural atau
supine), ekstremitas dingin/sianosis perifer, takikardia, air hunger (pernafasan
Kussmaul), pernapasan berbau seperti aseton, hipotermia, kebingungan,
mengantuk, dan koma (10%). Amilase serum mungkin meningkat tetapi ini
jarang mengindikasi pancreatitis yang terjadi bersamaan. Walaupun leukositosis
kadang-kadang terjadi, ini menunjukkan suatu respons stres dan tidak
semestinya memberi indikasi infeksi. Pireksia pada awalnya mungkin tidak
muncul karena terjadinya vasodilatsi akibat asidosis.
16

Antara berikut merupakan pemeriksaan untuk KAD tetapi harus dipastikan


bahwa ini tidak memperlambat tindakan pemberian cairan dan insulin: urea dan
elektrolit; glukosa darah; bikarbonat plasma; gas darah arterial, urinalisis untuk
memeriksa adanya keton, elektrokardiografi, dan skrining infeksi yaitu darah
lengkap, kultur darah dan urin, protein reaktif C, dan foto toraks.
Komponen utama pengobatan KAD adalah: (1) pemberian insulin kerja
jangka pendek (terlarut), (2) penggantian cairan, (3) penggantian kalium, (4)
pemberian antibiotik jika terdapat infeksi.

1. Koma Diabetik, Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK)


Kondisi ini dikarakterisasi oleh hiperglikemia berat (>900 mg/dl) tanpa
hiperketonemia atau asidosis yang signifikan. Dehidrasi berat dan uremia pre-
renal biasa terjadi pada HONK. Terapi HONK berbeda dari ketoasidosis pada
dua aspek: (1) pasien HONK biasanya mempunyai sensitivitas relatif terhadap
insulin dan kira-kira setengah dari dosis insulin yang dianjurkan untuk
pengobatan ketoasidosis digunakan pada HONK (3 unit/jam), (2) osmolalitas
plasma haruslah diukur, atau dihitung dengan menggunakan formula berikut
yang berdasarkan nilai plasma dalam mmol/l: 2[Na+] + 2[K+] + [glukosa] +
[urea].
Nilai biasa adalah 280-300 mmol/kg dan tingkat kesadaran akan menurun
apabila nilai ini tinggi (>340 mmol/kg). Pasien harus diberi 0,45% saline
sehingga osmolalitas hampir mencapai normal, lalu digantikan dengan saline
isotonik (0,9%). Kadar penggantian cairan harus diregulasi berdasarkan tekanan
vena sentral, dan konsentrasi natrium plasma harus diperiksa secara berkala.
Komplikasi tromboembolik sering terjadi, dan profilaksis dengan heparin berat
molekul ringan subkutan dianjurkan.
Pada koma yang diakibatkan asidosis laktat, pasien tersebut kemungkinan
besar mengkonsumsi metformin untuk diabetes tipe 2, dalam keadaan sakit berat
dan bernafas berlebihan tetapi tidak dehidrasi seberat seperti koma pada
ketoasidosis. Pernafasan pasien tidak berbau seperti aseton,dan ketonuria adalah
ringan atau mungkin tidak ada, namun bikarbonat plasma dan pH menurun
secara signifikan (H+ > 63 mmol/l, pH<7,2) dan anion gap meningkat. Diagnosis
ditegakkan dengan konsentrasi asam laktat yang tinggi dalam darah (biasanya >
5 mmol/l). Pengobatan adalah dengan sodium bikarbonat intravena yang
mencukupi untuk meningkatkan pH arterial sehingga melebihi 7,2, diberi
bersamaan insulin dan glukosa. Mortalitas pada kondisi ini adalah >50%,
17

walaupun dengan resusitasi dan tindakan yang cepat. Sodium dikloroasetat dapat
diberikan untuk menurunkan laktat darah.

2. Hipoglikemia
Apabila hipoglikemia (glukosa darah <3.5 mmol/l (63 mg/dl)) terjadi pada
pasien diabetes, ini merupakan kondisi akibat pengobatan dan bukan manifestasi
penyakit diabetes. Hipoglikemia sering terjadi pada mereka yang diobati dengan
insulin, dan kadang-kadang pada pasien yang mengkonsumsi obat sulfonilurea,
dan lebih jarang lagi pada mereka yang mengkonsumsi metformin.
Gejala klinis umum hipoglikemia dibagi kepada dua kelompok utama:
berhubungan dengan aktivasi akut sistem saraf autonom dan sekunder kepada
deprivasi glukosa di otak (neuroglikopenia). Simptom-simptom hipoglikemia
idiosinkratik dan berbeda dengan usia. Simptom hipoglikemia autonom
termasuk: berkeringat, menggetar, jantung berdebar, kelaparan, anxietas.
Simptom hipoglikemia neuroglikopenia termasuk: kebingungan, mengantuk,
masalah bercakap, ketidakmampuan berkonsentrasi, tidak dapat koordinasi.
Hipoglikemia karena sebab yang tidak spesifik menunjukkan simtptom mual,
kelelahan, dan sakit kepala.
Faktor resiko hipoglikemia berat termasuk: (1) kontrol glikemia ketat, (2)
kurang pengetahuan tentang hipoglikemia, (3) usia – sangat muda/lanjut usia, (4)
durasi diabetes yang meningkat, (5) tidur, (6) negativitas peptide-C, (7) riwayat
hipoglikemia sebelumnya, (8) gangguan ginjal, (9) genotip ACE (angiotensin-
converting enzyme).
Penyebab hipoglikemia termasuk: (1) tidak makan atau makan terlambat, (2)
senaman yang tidak tersangka atau tidak biasa dilakukan, (3) alkohol, (4)
kesalahan pada dosis/jadwal/pemberian obat hipoglikemik oral atau insulin, (5)
regimen insulin yang tidak didesain dengan baik, terutama apabila terdapat
predisposisi hiperinsulinemia nokturnal, (6) lipohipertrofi pada tempat injeksi
sehingga menyebabkan absorpsi insulin yang bervariasi, (7) gastroparesis akibat
neuropati autonom, (8) malabsorpsi seperti penyakit usus, (9) penyakit endokrin
yang tidak terdiagnosa seperti penyakit Addison, (10) factitious – dirangsang
dengan sengaja, dan (11) pasien diabetes yang menyusui anak.
Pengobatan hipoglikemia akut bergantung kepada beratnya hipoglikemia dan
kesadaran pasien serta kemampuan pasien untuk menelan. Pengobatan mungkin
terdiri hanya dari karbohidrat oral jika hipoglikemia terdeteksi secara dini.
Apabila pasien dewasa tidak dapat menelan, glukosa intravena (30-50 ml
18

dektrosa 20-50%) atau glucagon (injeksi 1 ml secara intramuscular) dapat


diberikan. Anjuran dosis dekstrosa intravena pada kanak-kanak adalah 0,2g/kg.
Solusio gel glukosa yang komersial dapat diberi pada kavitas bukal; selai atau
madu juga sama efektivitasnya tetapi tidak harus diberikan pada pasien yang
tidak sadar.
Apabila pasien sudah dapat menelan, glukosa harus diberi secara oral.
Pemulihan penuh mungkin tidak terjadi dengan segera, dan fungsi kognitif
mungkin tidak terjadi sehingga 60 menit setelah mencapai normoglikemia. Lagi
pula, apabila hipoglikemia terjadi pada pasien yang menggunakan insulin kerja
jangka panjang atau sedang atau sulfonilurea kerja jangka panjang seperti
glibenklamid, maka kemungkinan kekambuhan harus diantisipasi dan untuk
mengelakkan ini dari terjadi, pemberian infus glukosa 10% harus dititrasi kepada
glukosa darah pasien mungkin diperlukan.

Komplikasi Kronis Diabetes Mellitus


Komplikasi Diabetes
Mikrovaskular/neuropatik
1. Retinopati/katarak – gangguan penglihatan
2. Nefropati – Gagal ginjal
3. Neuropati perifer – kehilangan sensori, kelemahan motor
4. Neuropati autonom – hipotensi postural, masalah gastrointestinal
5. Penyakit kaki – Ulserasi, artropati
Makrovaskular
1. Sirkulasi koroner – Iskemia miokard/infark
2. Sirkulasi serebral – Transient Ischemic Attack (TIA), Strok
3. Sirkulasi perifer – Kladikasio, iskmemia

Retinopati Diabetik:
Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab kebutaan yang paling
sering pada dewasa antara usia 30-65 tahun di negara maju. Fotokoagulasi
retinal merupakan terapi yang efektif, terutama apabila dilakukan pada tingkat
awal penyakit ketika pasien masih tidak menunjukkan sebarang simptom. Oleh
karena itu, pemeriksaan berkala fundi dengan dilatasi pupil maksimal adalah
wajib pada semua pasien diabetes.
Patogenesis terjadinya retinopati diabetik adalah seperti berikut:
Hiperglikemia meningkatkan aliran darah retinal dan metabolisme dan
19

mempunyai efek langsung terhadap sel endotelial retinal dan kehilangan perisit,
yang menyebabkan gangguan pada autoregulasi vaskular. Pengaliran darah
tidak terkontrol pada awalnya mengakibatkan dilatasi kapiler tetapi juga
meningkatkan produksi bahan vasoaktif dan proliferasi sel endotel, sehingga
terjadi penutupan kapiler. Ini menyebabkan hipoksia retinal kronis dan
menstimulasi produksi faktor pertumbuhan, termasuk faktor pertumbuhan
vaskular endotelial, yang menstimulasi pertumbuhan sel endotelial
(menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru) dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler (menyebabkan pembocoran retinal dan eksudasi.
Gejala klinis retinopati diabetik termasuk: mikroaneurisme, perdarahan
retinal, eksudasi, bercak cotton wool, perubahan vena, neovaskularisasi,
perdarahan pre-retinal, perdarahan vitreous, fibrosis, dan rubeosis iridis.
Retinopati proliferatif dan non-proliferatif berat diterapi dengan
fotokoagulasi retinal, di mana terapi ini telah menunjukkan penurunan
kehilangan penglihatan sebanyak 85% (50% pada pasien dengan makulopati).
Fotokoagulasi digunakan untuk: (1) mendestruksi area iskemia retinal (karena
dianggap bahwa area tersebut memainkan peran penting dalam terjadinya
neovaskularisasi), (2) menutup mikroaneurisme yang bocor dan mengurangkan
edema macular, (3) untuk gliose pembuluh darah baru secara langsung pada
permukaan retinal (tetapi tidak pada diskus optik).
Vitrektomi dapat dilakukan pada kasus terpilih dengan penyakit mata
diabetik lanjut di mana kehilangan penglihatan disebabkan oleh perdarahan
vitreous berulang yang gagal sembuh, atau retinal detachment akibat retinitis
proliferans. Rubeosis iridis diterapi dengan fotokoagulasi pan-retinal yang awal.
Penyebab Kehilangan Penglihatan Yang Lain Pada Pasien Diabetes:
Hampir 50% dari pasien diabetik dengan kehilangan penglihatan itu
disebabkan oleh penyebab selain dari retinopati diabetik. Ini termasuk katarak,
degenerasi makular berhubungan usia, oklusi vena retinal, oklusi arterial retinal,
neuropati optik iskemik non-arteritik, dan glaukoma.
Katarak merupakan suatu opasitas lensa yang permanen dan merupakan
penyebab penurunan visus yang paling sering pada populasi lanjut usia. Lensa
menjadi lebih tebal dan semakin opasifikasi seiring dengan usia yang bertambah,
dan proses ini akserelasasi dan terjadi secara prematur pada orang dengan
diabetes akibat peningkatan gangguan metabolik. Kadang-kadang, katarak
20

snowflake yang merupakan suatu katarak spesifik diabetes terjadi pada pasien
muda dengan diabetes yang tidak terkontrol tetapi ini sangat jarang. Keadaan ini
biasanya tidak mempengaruhi visus tetapi cenderung menyebabkan pemeriksaan
fundi sulit dilakukan. Indikasi ekstraksi katarak adalah sama dengan populasi
non-diabetik dan bergantung kepada derajat gangguan visus. Suatu indikasi
tambahan pada diabetes adalah apabila pemeriksaan fundus yang adekuat, atau
terapi laser terhadap retina tidak dapat dilakukan. Metode ekstraksi yang umum
adalah secara phakoemulsifikasi, dengan implantasi lensa intra-okuler.
Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan pada
saat sekarang meupakan salah satu penyebab gagal ginjal stadium akhir (end-
stage renal failure, ESRF) di negara maju. Oleh karena penyakit ini sering
dijumpai bersamaan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang lain,
tatalaksana sering sulit untuk dilakukan, dan keuntungan pencegahan sangat
substansial.
Secara patologi, perubahan pertama (yang terlihat sewaktu
mikroalbuminuria) adalah penebalan glomerular basement membrane dan
akumulasi bahan matriks pada mesangium. Setelah itu, akan terjadi deposit
nodular yang merupakan gejala karakteristik, dan glomerulersklerosis menjadi
lebih parah (proteinuria berat terjadi) sehingga glomeruli menghilang secara
progresif dan fungsi ginjal menurun.
Faktor resiko terjadinya nefropati diabetik termasuk: (1) glukosa darah yang
tidak terkontrol dengan baik, (2) durasi diabetes yang lama, (3) adanya
komplikasi mikrovaskular yang lain, etnisitas (Asia, India Pima), (4) hipertensi
yang sudah muncul sebelumnya, (5)riwayat keluarga mengalami nefropati
diabetik, dan (6) riwayat keluarga mengalami hipertensi.
Walaupun mikroalbuminuria juga terdapat pada penyakit yang lain, keadaan
ini adalah indikator resiko terjadi nefropati diabetik yang penting dan oleh
karena itu, merupakan indikator yang paling reliabel untuk nefropati diabetik
pada sepuluh tahun yang pertama untuk DM tipe 1, dan kurang reliabel pada
pasien lanjut usia dengan DM tipe 2, di mana mikroalbuminuria mungkin terjadi
akibat penyakit yang lain. Secara khusus, kehadiran mikroalbuminuria pada
pasien dengan diabetes tipe 2 berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit
makrovaskular. Peningkatan albuminuria yang progresif, atau albuminuria yang
21

terjadi bersamaam hipertensi, kemungkinan lebih terjadi karena nefropati


diabetik yang awal.
Jika terdapat bukti nefropati yang insidien, usaha kuat harus dilakukan
untuk mengurangkan resiko progresi penyakit dengan: (1) control glukosa darah
yang lebih baik, (2) penurunan agresif tekanan darah dengan pemberian terapi
ACE-inhibitor dan pengurangan faktor resiko kardiovaskular yang agresif.
Neuropati Diabetik:
Ini merupakan komplikasi yang relatif awal dan umum berlaku pada 30%
pasien diabetes. Seperti retinopati, neuropati diabetik terjadi secara sekunder
karena gangguan metabolik, dan prevalensi berhubungan dengan durasi diabetes
dan derajat kontrol metabolik. Walaupun terdapat bukti bahwa sistem saraf
sentral dipengaruhi pada diabetes jangka panjang, impak klinis diabetes terutama
dimanifestasi pada sistem saraf perifer.
Antara temuan histopatologi neuropati diabetik adalah: (1) degenerasi
aksonal kedua myelinated dan unmyelinated fibres, awalnya terdapat pengecutan
akson, pada tingkat lanjut terjadi fragmentasi akson dan regenerasi, (2)
penebelan basal lamina sel Schwann, (3) demielinasasi segmental, bercak, dan
(4) penebalan basement membrane dan mikrotrombi pada kapiler intraneural.
Klasifikasi Neuropati Diabetik
Somatik
Polineuropati
 Simetris, umumnya sensori dan distal
 Asimetris, umumnya motor dan proksimal (termasuk amiotrofi)
Mononeuropati (termasuk mononeuritis multipleks
Viseral (autonom)
Kardiovaskular
Gastrointestinal
Saluran kemih
Sudomotor
Vasomotor
Pupillary

Gejala Klinis Neuropati Autonom


Kardiovaskular
- Hypotensi postural
- Takikardia istirahat
- Denyut jantung menetap
Gastrointestinal
22

- Disfagia, oleh karena atoni esofageal


- Daerah abdomen terasa penuh, mual dan muntah, glisemia yang tidak
stabil, oleh karena pengosongan lambung lama (‘gastroparesis’)
- Diare nokturnal ± inkontinensia feses
- Konstipasi, oleh karena atoni kolon
Saluran kemih
- Sulit miksi, inkontinensia urin, infeksi rekuren, oleh karena kandung
kemih atoni
- Disfungsi erektil dan ejakulasi retrograd
Sudomotor
- Berkeringat gustatori
- Keringat malam tanpa hipoglikemia
- Anhidrosis, fisura pada kaki
Vasomotor
Kaki merasa dingin, oleh karena kehilangan respons vasomotor
Edema dependen, oleh karena kehilangan tonus vasomotor dan
peningkatan permeabilitas vaskular
Pembentukan bula-bula.
Pupillary
- Pengecilan saiz pupil
- Resistensi terhadap midriatik
- Refleks cahaya yang lambat atau tidak ada sama sekali

Pilihan penanganan untuk neuropati autonom dan sensorimotor perifer


Kondisi Penanganan
Nyeri dan parestesia Terapi insulin intensif (kontrol glikemik ketat)
Antidepresan trisiklik (amitriptilin, imipramin)
dari neuropati
Antikonvulsan (gabapentin, karbamazepin, fenitoin,
somatik perifer
pregabalin)
Substans P depleter kapsaikin – topical
Opiat (tramadol, oksikodon)
Stabiliser membran (mexiletin, lidokain intravena)
Antioksidan (α-asam lipoik)
Hipotensi postural Stoking sokongan
Fluorokortison
Αgonis α-adrenoreseptor
NSAID
Gastroparesis Antagonis dopamine (metoklopramid, domperidon)
Eritromisin
Diare Loperamid
Antibiotik spektrum luas
Klonidin
Oktreotid
Konstipasi Laksan stimulan (senna)
Kandung kemih atoni Self catherization intermiten
23

Berkeringat Obat antikolinergik (propantelin, poldin)


Klonidin
berlebihan
Agen topikal antimuskarinik (krim glikopirolat)
Disfungsi erektil Inhibitor fosfoesterase tipe 5 (sildenafil, vardenafil,
(impotensi) tadalafil) – oral
Agonis dopamine (apomorfin) – sublingual
Prostaglandin E1 (alprostadil) – diinjeksi ke korpus
kavernosum, atau pemberian pellet intra-urethral
Vacumn tumescence devices
Implan prostesis penis
Konseling psikologis, terapi psikoseksual

Kaki Diabetik:
Kaki merupakan tempat sering terjadi komplikasi pada pasien dengan
diabetes dan oleh karena itu, penjagaan kaki terutama penting pada pasien
diabetes. Nekrosis jaringan pada kaki merupakan penyebab sering rawat inap
pasien diabetik dan rawatan inap sering diperpanjangkan dan mungkin berakhir
dengan amputasi.
Ulserasi kaki terjadi akibat trauma (sering trauma kecil yang tidak bermakna
pada orang normal) dengan adanya neuropati dan/atau penyakit vaskular perifer,
dan terjadi infeksi sebagai fenomena sekunder setelah terjadi gangguan pada
epidermis yang bersifat protektif. Pada kebanyakan kasus, ketiga komponen
tersebut turut terlibat tetapi kadang-kadang, neuropati atau iskemia predominasi.
Iskemia sendiri merupakan penyebab ulkus pedis pada minoritas pasien diabetik,
dengan kebanyakan jenis neuropatik atau neuro-iskemik.
Gejala Klinis Kaki Diabetik
Neuropati Iskemia
Simptom Tidak ada Tidak ada
Parestesia Klaudikasio
Nyeri Nyeri waktu istirahat
Kebas
Kerusakan Ulkus Ulkus
Sepsis Sepsis
struktural
Abses Gangren
Osteomielitis
Gangren digit
Sendi Charcot

Penanganan untuk ulkus kaki diabetik termasuk: (1) Pengangkatan kulit


kalus, (2) merawat infeksi, (3) menghindari weight-bearing, (4) memastikan
24

kontrol glikemik baik, (5) kontrol edema, (6) melakukan angiogram untuk
memeriksa kemungkinan rekonstruksi vaskular jika terdapat indikasi, (7)
amputasi mungkin tidak dapat dielakkan jika terdapat destruksi jaringan dan/atau
tulang yang luas atau nyeri iskemik yang tidak dapat dikontrol sewaktu istirahat
di mana rekonstruksi vaskular gagal atau tidak bisa dilakukan karena terdapat
penyakit pembuluh darah besar.8
2.1.8 Pencegahan
Dari sudut pandangan kesehatan awam, cara yang paling kos-efektif untuk
menangani diabetes adalah untuk mencegahnya.
Diabetes tipe 2 dihubungkan dengan gaya hidup makmur yang
kemungkinan besar akan muncul pada individu yang secara genetik mempunyai
predisposisi dan makan terlalu banyak dan berolahraga terlalu sedikit. Edukasi
kesehatan yang efektif telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
pencegahan primer diabetes tipe 2, sedangkan skrining diabetes (terutama
kelompok resiko tinggi seperti mempunyai keluarga kandung yang mengalami
diabetes) dan pengobatan yang awal dan agresif untuk pasien dengan toleransi
glukosa terganggu dapat mengurangkan insidensi penyakit vaskular serius.
Pada diabetes tipe 1, kenyataan bahwa sel islet yang mensekresi insulin
didestruksi secara perlahan-lahan dalam jangka beberapa tahun sebelum
terjadinya gejala klinis memberi harapan bahwa, pada masa depan, diabetes tipe
1 dapat dicegah. Ini bergantung kepada: (1) ketersediaan petanda yang akurat
dan prediktif untuk perkembangan diabetes klinis pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik, (2) fahaman tentang urutan tepat yang
menyebabkan terjadinya destruksi sel-β pankreas, (3) perkembangan metode
intervensi berdasarkan immunomodulasi yang ditarget secara spesifik dan dapat
diaplikasikan dengan awal pada periode pre-diabetik sebelum semua sel yang
mensekresi insulin didestruksi.8
2.1.9 Prognosis
Senaman dan pengurangan berat badan dapat menyebabkan tubuh menjadi
lebih sensitif terhadap kerja insulin dan ini sangat membantu untuk mengontrol
kadar glukosa darah. Prognosis adalah baik dengan regulasi kadar glukosa darah
yang baik dan kepatuhan pasien dengan regimen self-care yang dianjurkan.
Komplikasi pada diabetes mellitus tipe 2 akan memperburuk prognosis. Penyakit
mata, ginjal, dan amputasi dapat menyebabkan disabilitas permanen. Walaupun
25

diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu kondisi yang kronis, progresif dan
belum diketahui pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit ini, namun
kondisi ini dapat dikontrol secara efektif dengan edukasi pasien dan pengobatan
yang tepat dan teratur.9
26

2.2 ANEMIA PENYAKIT KRONIS


2.2.1 Definisi
Anemia penyakit kronis adalah anemia yang terjadi setelah proses infeksi atau
inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami penyakit
tersebut selama 1-2 bulan.
Tumor dulunya merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namum
dari hasil studi yang terakhir tumor tidak dimasukkan sebagai penyebab anemia
penyakit kronik.

2.2.2 Etiologi
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi
seperti infeksi(infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi kronik(artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik.

2.2.3 Patogenesis
Mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan sekarang
masih bayak yang belum dapat dijelaskan walaupun banyak penelitian telah dilakukan.
ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin-sitokin proses inflamasi seperti tumor
nekrosis faktor alfa(TNF α), interleukin 1 dan interferon dan interferon gamma (γ) yang
diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat
terjadinya proses eirtropoesis. Pada pasien aritritis reumatoid interleukin 6 juga
meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis melainkan
meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik, eritropoetinnya
leibh rendah dibandingkan dengan eritropoetin pasien anemia defisiensi besi. Dari
sejumlah penelitian ditemukan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan
penting terjadinya anemia pada penyakit kronik antara lain:
1. Menurunya umur hidup eritrosit sekitar 20-30% atau 80 hari.
2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadapanemia pada penyakit kronk.
3. Sering ditemukan sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai dengan
deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem. Ini menunjukkan
terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang
mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritoblast.
4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Ini terlihat dari terjadinya
hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal
27

dari makrofag dan mediator leukosit endogen. Hipoferemia dapat menyebabkan


kegagalan sumsum tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritosit
dan juga menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara
biologis.
5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang disebabkan
oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang.
6. Kegagalan produksi transferin

2.2.4 Gambaran klinis


Anemia penyakit kronis biasanya bentuk anemia derajat ringan sampai
sedangdan terjadi seteleh 1-2 bulan menderita sakit. Anemianya tidak bertambah
progresif atau stabil, dan berat ringannya anemia pada seorang penderita
tergantung kepada beratnya penyakit dan lamanya menderita penyakit tersebut.
Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dan penyakit
yang mendasari(asiptomatik). Pada pasien-pasien lansia,oleh karena adanya
penyakit vaskular degeneratif kemungkinan juga akan ditemukan gejala-gejala
kelelahan, lemah, kladokasio intermiten, muka pucat dan pada jantung
keluhannya dapat berupa palpitasi agina pektoris dan gangguan serebral.

2.2.5 Diagnosa
Diagnosis anemia penyakit kronik dapadt ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan antara lain:
1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya
kelelahan berdebar-debar, pusing dan lain-lain.
2. Pemeriksaan laboratoirum, antara lain:
a. Derajat anemia ringan sampai sedang
b. Gambaran morfologi darah tepi: biasnya normositik-normokromik atau
mikrositik ringan.
c. mean corpuscular volume(MCV): normal atau menurun sedikit
d. Besi serum: menurun
e. Total iron binding capacity(TIBC): menurun
f. Jenuh transferin: menurun
g. Feritin serum: normal atau meninggi
28

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang


dan konsentrasi protoporfirin eritosit bebas, namun pemeriksaannya jaring
dilakukan, oleh karena sulit menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum
tulang. Hal ini disebabkan karena bentuk dan struktur sel-sel sumsum tulang
dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi protoporfirin
eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia penyakit
kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien
anemia defisiensi besi. Oleh itu, pemeriksaan konsentrasi protoprofirin
eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada pasien-pasien anemia defisiensi
besi.

2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia penyakit kronik tidak spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya diobati, kondisi anemia akan membaik. Pemberian obat-
obat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia
penyakit kronik tidak bermanfaat.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang
mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien-=pasien anemia
penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya
dapat dimuali dari 50-100 unit/kg 3 kali seminggu, pemberian secara
intravena(IV) atau subkutan(SC). Bila dalam 2-3 minggu konsentrasi
hemoglobin meningkat dan/ atau feritin serum menurun, mak kita boleh
menduga bahwa eritoit repsons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum
adekuat, mka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150unit/kg tiga kali seminggu.
Bila juga tidak ada respons, makn pemberian eritropoetin dihentikan dan cari
kemungkinan penyebab yang lain, misalnya anemia defisiensi besi. Namun ada
pula yang mengajurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000-20.000
unit, 3 kali seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya
telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena
anemianya berat jarang dijumpai.
29

3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka waktu yang panjang.
Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit didasari artritis
temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal
demikian juga dengan gejala-gejala polimialgia akan segera hilang dengn cepat.
Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian
kortikosteroid tersebut segara dihentikan
4. Koblat klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronik. Cara
kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh kerana efek
toksiknya obat ini tidka dianjurkan.
30

BAB 3
KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD)
CATATAN MEDIK PASIEN
No. Reg. RS : 28.04.08
Nama Lengkap : Nursiah
Tanggal Lahir : 1944 Umur : 67 thn Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : - No. Telepon : -
Pekerjaan : IRT Status: Menikah
Pendidikan : - Jenis Suku :- Agama : Islam

Dokter Muda : Huriah Menggala Putra & Suci Darmawati


Dokter : dr. H.M. Mazhir D.J, Sp.PD
Tanggal Masuk: 3 Juli 2011

ANAMNESIS
Automentesis √ Heternomentesis

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Keluhan Utama : Badan Lemas


Deskripsi : Hal dialami os 1 minggu, hal ini semakin memberat 1 hari ini,
lemas disertai keringatan(+), sakit kepala(+) pusing(+),
pandangan gelap(+) dan penurunan kesadaran(-).
Demam (+) 1 minggu ini dialami os, lebih sering pada pagi hari
dan turun dengan obat penurunan panas, mengiggil (-), kejang
(-)
Mual (+) 1 minggu ini, muntah (+), nafsu makan menurun(+) 1
minggu.
RPT : DM, dialami sejak tahun 2010, KGD tinggi 475mg/dl
RPO : obat anti DM tidak jelas

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Tanggal Penyakit Tempat Perawatan Pengobatan dan Operasi


Tahun 2010 Diabetes mellitus RSTD Tidak jelas

RIWAYAT KELUARGA

Laki-laki Perempuan
31

X X X
X

D= diabetes
X= meninggal dunia

RIWAYAT PRIBADI
Riwayat imunisasi
Riwayat Alergi
Tahun Jenis imunisasi
Tahun Bahan / obat Gejala
-
- -

Hobi : tidak ada khusus


Olah Raga : tidak ada khusus
Kebiasaan Makanan : Berkurang
Merokok : (-)
Minum Alkohol : (-)
Hubungan Seks : (+)
32

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal Dan Berikan Deskripsi
Umum : Abdomen :
Tidak ada keluhan Mual (+) dan Muntah (+)
Kulit: Alat kelamin pria:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Kepala dan leher: Ginjal dan saluran kencing :
Kepala pusing Tidak ada keluhan
Mata: Hematologi:
Padangan gelap Tidak ada keluhan
Telinga: Endokrin/metabolik:
Tidak ada keluhan Diabetes mellitus
Hidung: Musculoskeletal :
Tidak ada keluhan Badan lemas
Mulut dan Tenggorokan: Sistem saraf:
Tidak ada keluhan Badan lemas
Pernafasan : Emosi :
Tidak ada keluhan Terkontrol
Jantung : Vaskuler :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan

DISKRIPSI UMUM

Kesan Sakit Ringan ●vV Sedang Berat

Gizi  BB : 45 Kg, TB : 153 Cm

IMT= 19,223 (normoweight)

TANDA VITAL

Kesadaran Compos metis Deskripsi:


Bicara dengan lancar
Nadi Frekuensi 80 Reguler, t/v: cukup
Tekanan darah Berbaring: Duduk:
Lengan kanan: 75/40 mmHg Lengan kanan: - mmHg
Lengan kiri : - mmHg Lengan kiri : - mmHg
Temperatur Aksila: 37,5°C Rektal : tdp
Pernafasan Frekuensi: 28 x/menit Deskripsi:
Abdomino-torakal

KULIT : dalam batas normal

KEPALA DAN LEHER : simetris, TVJ R-2 cmH20, trakea medial, pembesaran
KGB(-)
33

TELINGA: dalam batas normal

HIDUNG: dalam batas normal

RONGGA MULUT DAN TENGGORAKAN : dalam batas normal

MATA : Conjunctiva palp. inf. pucat (+), sclera ikterik (-),


RC (+)/(+), Pupil isokor, ki=ka, ø 3mm,

THORAX
Depan Belakang
Inspeksi Simetris fusiformis simetris
Palpasi Stem fermitus Stem fermitus
Perkusi Sonor pada kedua paru Sonor pada kedua paru
Auskultasi SP: vesikuler SP: vesikuler
ST : - ST : -

JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas : ICR III Sinistra
Kanan : LSD
Kiri : 1 cm medial LMCS, ICR VI
Jantung : HR : 98x/i,reguler, M1>M2 ,A2>A1 ,P2>P1 ,A2>P2,
desah (-), gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan: normal

PINGGANG
Tapping pain : tidak dilakukan pemeriksaan,
ballotement (-)

INGUINAL
Pembesaran KGB (-)

EKSTREMITAS:
Superior: edema (-)
Inferior : edema (-) pada kaki dextra terdapat gangren

ALAT KELAMIN:
Wanita , dalam batas normal

NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis (+) Normal
34

BICARA
Lancar

PEMERIKSAAN LAB
04/07/2011
Darah rutin
WBC: 12,3; LYM:1,8; MID:0,4; GRAN:10,8

RBC: 1,8x106 ; Hb: 5,1 g/dl; HCT:15,8; MCV:85fL; MCH:22,5pg; MHC:31,5g/dL;


RDW:15,7 LED: 60mm/jam
SEG:81; BAND:0; LYMP:17; MONO:2; EOSIN:0; BASO:0
Kimia darah
SGOT: 21U/L
SGPT: 25U/L
UREA: 64mg/Dl
CREATININE: 1.0mg/dL
URIC ACID: 6,3mg/dL
CHOLESTEROL: 168mg/dL
TRIGLYCERIDES: 193mg/dL
HDL CHOLESTEROL: 22mg/dL
GLUKOSA-PP 327mg/dL
GLUKOSA -PUASA: 361mg/dL

Foto toraks
Kesan: mild cardiomegaly

RESUME DATA DASAR


(Diisi dengan Temuan Positif)

Oleh dokter : dr. H M Mazhir D J Sp.PD


Nama Pasien : Nursiah No. RM : 28.04.08

1. KELUHAN UTAMA : badan lemas

2. ANAMNESIS : (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit


Dahulu, Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, Dll.)

Hal dialami os 1 minggu, hal ini semakin memberat 1 hari ini, lemas disertai keringatan(+),
sefalgia(+) vertigo(+), syncope(+) dan penurunan kesadaran(-). Febris(+) 1 minggu ini dialami os,
lebih sering pada pagi hari dan turun dengan obat penurunan panas, mengiggil (-), kejang (-)
Mual (+) 1 minggu ini, muntah (+), nafsu makan menurun(+) 1 minggu.

RPT : DM, dialami sejak tahun 2010, KGD tinggi 475mg/dl


RPO : obat anti DM tidak jelas

Darah rutin
WBC: 12,3; GRAN:10,8
35

RBC: 1,8x106 ; Hb: 5,1 g/dl; HCT:15,8; MCH:22,5pg; RDW:15,7 LED: 60mm/jam

Kimia darah
UREA: 64mg/Dl
TRIGLYCERIDES: 193mg/dL
HDL CHOLESTEROL: 22mg/dL
GLUKOSA-PP 327mg/dL
GLUKOSA -PUASA: 361mg/dL

Foto toraks
Kesan: mild cardiomegaly
36

RENCANA AWAL
Nama Penderita : Nursiah No. RM 2 8 0 4 0 8
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnose,
penatalaksanaan dan edukasi)
No Masalah Rencana Rencana Rencana Rencana
Diagnosa Terapi Monitoring Edukasi
1 DM tipe 2 Lipid profile Tirah baring - Klinis Menerangkan dan
KGD puasa O2 2L/i - Laboratorium menjelaskan keadaan,
KGD PP Diet DM 1500kkal penatalaksanaan dan
Liver function test IVFD NaCl 0,9% komplikasi penyakit
Renal function test Ceftriaxone 1gr/12jam pada pasien dan
2 Ulkus diabetikum Darah rutin Klindamisin 4x300mg keluarga
Kultur pus/ST Aspilet tab 1 x80mg
3 Anemia ec penyakit kronis Darah rutin Ketorolac 1amp/8jam(k/p)
Dopamin 1 amp dalam 100cc NaCl(15
tetes)
37

Tgl S O A P
Therapi Diagnostic
04/07/ Lemas(+), Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
2011 mual(+), TD: 60/40 mmHg diabetikum + anemia ec O2 2L/i Darah rutin
muntah(+), Pols:89x/i penyakit kronis Diet DM 1500kkal RFT/LFT
Pusing(+) RR: 20x/i Ivfd NaCl 0,9% Bilirubin
T35,3˚C Ceftriaxone 2gr/12jam Kultur pus/ST
Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
dopamin mulai 12gtt/i
micro tingkat 4gtt/I setiap
30 min bila TD<90mmHg
Glukosa 5% 20gtt/i
Apidra insulin 8-8-8
Lantus 10 unit

05/07/ Lemas (+), Sens : CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring Morfologi darah tepi
2011 mual (+), TD : 80/50 mmHg diabetikum + anemia ec O2 2L/i
sulit tidur Pols : 64 x/i penyakit kronis Diet DM 1500kkal
(+), kaki RR : 16x/i Ivfd NaCl 0,9%
berdenyut T : 36 oC Ceftriaxone 2gr/12jam
(+) Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
Drip jayaccin 400mg/hari
38

Transfusi PRC 3
bag@175cc
06/07/ Nyeri pada Sens : CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
2011 kaki (+) TD : 100/60 mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal Darah rutin
Nadi : 80x/menit penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
RR : 20x/menit Ceftriaxone 2gr/12jam
T : 36,0 oC Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
Drip jayaccin 400mg/hari

07/07/ Lemas(+) Sens : CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring


2011- TD : 120-100/80-70mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal
09/07/ Pols : 72-76x/i penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
2011 RR : 20-26x/i Ceftriaxone 2gr/12jam
T : 35,4-36,3˚ C Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
Drip jayaccin 400mg/hari

12- Pening(+), Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP


13/07/ mual(+), TD: 110-120/65-70mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal Darah rutin
2011 muntah(+) HR: 72-76x/i penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9% Urinalisa
RR: 20x/i Clindamycin 4x300mg Foto thorax
T: 35,4-36,2 oC Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
39

Ceftriaxone 1gr/12jam
Metoclopramid 1amp/8jam
NaCl 0,9% 100cc + 200g
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit

14- Mual dan Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
20/07/ muntah TD: 110-120/70mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal Darah rutin
2011 berkurang HR: 72-76x/i penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
Lemas(+) RR: 20-24x/i Clindamycin 4x300mg
T: 35,5-36,7 oC Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Ceftriaxone 1gr/12jam
Metoclopramid 1amp/8jam
NaCl 0,9% 100cc + 200g
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit

21- Lemas (+) Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
28/07/ TD: 110-120/70mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal
2011 HR: 72-84x/i penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
RR: 16-24x/i Clindamycin 4x300mg
T: 35,5-36,6 oC Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Ceftriaxone 1gr/12jam
Metoclopramid 1amp/8jam
NaCl 0,9% 100cc + 200g
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
40

DAFTAR MASALAH
Nama : Nursiah i/d Kasno No. RM
2 8 0 4 0 8
:
Masalah
Tanggal
No. M A S A LA H Selesai/ Terkontrol/
Ditemukan Tetap
Tanggal Tanggal
1. 04/07/ 2011 DM tipe 2 √
2 04/07/2011 Ulkus diabetikum 14/07/2011
Ulkus diabetik post amputasi
digiti 2,3 pedis sinstra
3. 04/07/2011 Anemia ec penyakit kronis √

Kesimpulan :
Seorang wanita , 67 tahun dengan diagnosis : DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

Prognosis :
-Ad Vitam : bonam
-Ad Functionam : bonam
-Ad Sanactionam : dubia ad bonam
41

BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena
kelainan kerja insulin. Perjalanan penyakit diabetes melitus sangat perlahan bermula dari
timbulnya gejala klasik dan intoleransi glukosa hingga terjadinya komplikasi pada mikro dan
makrovaskular serta neuropati. Diabetes melitus tipe 2 dapat ditangani dengan menggunakan
4 pilar penanganan yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan pengobatan
farmakologi. Tujuan pengobatan penderita diabetes melitus tipe 2 adalah mencegah
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh gangguan akibat kadar glukosa darah yang
tinggi dan tidak terkontrol.
Anemia penyakit kronis adalah anemia yang terjadi setelah proses infeksi atau
inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami penyakit tersebut
selama 1-2 bulan. Penatalaksanaan anemia penyakit kronik tidak spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya diobati, kondisi anemia akan membaik.

4.2. Saran
Deteksi dini dan perawatan diabetes melitus yang efektif dapat menurunkan jumlah
morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan kadar gula darah secara teratur
disarankan kepada orang-orang yang memiliki faktor risiko diabetes melitus karena hal
tersebut mempunyai arti penting dalam perawatan diabetes melitus.
Anemia penyakit kronis disebabkan oleh penyakit dasarnya oleh itu, mengobati
penyakit dasarnya adalah paling penting. Namun begitu, penatalaksanaan untuk membaiki
kondisi anemia juga bisa dilakukan.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. Widyagarini, Amrita.,2007. Hubungan antara Konsentrasi Protein Total Saliva


Terhadap pH Saliva pada Penyandang DM Tipe2 Terkontrol Buruk. Avaliable from:
http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128192-R19-OM-166-Hubungan%20
konsentrasi-Pendahuluan.pdf . [Accesed : 21 Juli 2011]

2. Nasution, S., 2011. Gambaran Pengetahuan dan Tindakan Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 Terhadap Pentingnya Aktivitas Fisik di RSUP H.Adam Malik.Avaliable from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21752/5/Chapter%20I.pdf . [Accesed:
21 Juli 2011]

3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).,2006. Konsensus Pengelolaan


dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 4-23.

4. Suyono, Slamet., 2006. Metabolik Endokrin. In :Sudoyo Aru W, Setiyohsdi Bambang,


Alwi Idrus, K Marcellus S, Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4
Jilid III. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1849-69.

5. Powers, A C.,2005. Diabetes Mellitus. In: Kasper, DL (eds). Harrison’s Principles of


Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill; 323: 2153-83

6. Kaku, K., 2010. Pathophysiology of Type 2 Diabetes and It’s Treatment Policy.
Avaliable from : http://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2010_01/041_046.pdf.
[Accesed : 20 Juli 2011].

7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).,2007. Petunjuk Praktis terapi


Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FK UI;1-19.

8. Frier, B.M., Fisher, M., 2006. Diabetes Mellitus. In: Boon, N.A., Colledge, N.R.,
Walker, B.R.. Davidson’s Principles & Practice of Medicine 20 th Edition. UK:
Elsevier; 21:805-48

9. MD Guidelines., 2011. Prognosis of Diabetes Mellitus. Avaliable from :


http://www.mdguidelines.com/diabetes-mellitus-type-ii/prognosis. [Accesed : 21 Juli
2011].
43

10. Panjaitan S,2003. Beberapa Aspek Anemia Penyakit Kronik Pada Lanjut Usia, Sept
2002- Jan 2003. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan. Hlm: 8-14. Avaliable from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6338/1/D0300606.pdf [Accesed : 21
Juli 2011].

11. Muhammad A, Sianipar O. Penetuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis


Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indonesian Jornal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory. Vol 12, No. 1. Nov 2008.. Hal 9-12. Avaliable from:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf [Accesed : 21 Juli 2011]

Anda mungkin juga menyukai