BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus Tipe 2
2.1.1 Definisi
2
2.1.4 Patofisiologi
DM tipe 2 biasanya disebabkan oleh gabungan dari faktor genetik yang
berhubungan dengan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dan faktor
lingkungan seperti obesitas, kurang berolahraga, stress dan faktor penuaan.
Secara umum, penyakit ini merupakan penyakit multi-faktorial yang melibatkan
banyak gen dan faktor-faktor lingkungan yang sangat bervariasi. Terdapat fakta
yang dianggap penting untuk patogenesis. Hal ini dapat ditunjukkan pada orang
Jepang yang mempunyai insulin secretory capacity yang rendah setelah
pemberian glukosa yang mengarahkan bahwa orang Jepang mempunyai
pontensial fungsi sel β yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang Barat.
Ini menunjukkan orang Jepang kemungkinan memiliki banyak gen diabetes
sensitive. Selain itu peningkatkan angka penderita DM tipe 2 meningkat secara
drastis menunjukkan perubahan gaya hidup seperti terdapat pada gambar
dibawah ini.
4
disertai penurunan massa otot, merangsang resistensi insulin dan hal ini juga
terkait erat dengan usia penderita. Perubahan sumber energi pada diet terutama
pada peningkatan kadar asupan lemak, penurunan asupan tepung, peningkatan
konsumpsi monosakarida dan penurunan asupan fiber, mengkontribusi
terjadinya obesitas dan penurunan toleransi glukosa. Walaupun obesitasnya
ringan, risiko menderita DM meningkat sebanyak 4-5 kali, jika disertai
peningkatan massa lemak viseral. Orang Jepang lebih cederung akumulasi lemak
akibat hiperalimentasi dan faktor risiko DM berhubungan dengna akumulasi
lemak viseral.
Gangguan sekresi insulin:
Gangguan sekresi insulin adalah penurunan responsif glukosa terhadap
insulin yang dapat diperhatikan sebelum terjadinya gejala-gejala DM. Lebih
spesifik, toleransi glukosa terganggu disebabkan oleh penurunan responsif
glukosa pada fasa awal sekresi insulin dan penurunan sekresi insulin sesudah
makan dan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Gangguan sekresi insulin
ini akan progresif dan progresif ini akan menyebabkan toksisitas glukosa dan
toksisitas lipid. Jika tidak diobati, maka toksin ini akan menyebabkan mass sel-
sel β prankreas akan berkurang dan jika ini berterus, maka fungsi sel-sel β
terganggu dan kontrol kadar glukosa darah yang jangka masa panjang.
Pasien pada tahap awal sesudah onset penyakit ditandai dengan
peningkatan glukosa darah postprandial akibat peningkatan resistance insulin
dan penurunan sekresi fasa awal, progesi semakin memburuk pada fungsi sel
pankreas terakhirnya menyebabkan elevasi glukosa darah yang permenan.
Resistensi insulin:
Resistensi insulin merupakan kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak
dapat berfungsi sesuai dengan proportional konsentrasi kadar glukosa darah.
Gangguan fungsi insulin akan pada target organ yang mayor seperti hati dan
otot.
Faktor genetik seperti reseptor insulin, gen polimorfik insulin receptor
substrate(IRS)-1 yang memberi afek sinyal insulin secara langsung, gen reseptor
adrenergik β3 dan gen uncoupling protein(UCP) mempromosi resistensi insulin.
Glucolipotoxicity dan inflammatory mediators terlibat dalam mekanism
gangguan sekresi insulin dan gangguan sinyal insulin.
6
Didapati bahwa leptin, resistin dan asam lemak bebas dapat menyebabkan
peningkatan resistensi insulin manakala adiponectin mengurangkan resistensi
insulin.
Kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan: (1) polidipsia akibat
hiperosmolaritas glukosa, (2) poliuria akibat asupan cairan yang berlebihan dan
diuretik osmotik yang diinduksi glukosa, (3) penurunan berat badan oleh karena
terjadi kehilangan kalori akibat glukosuria, sehingga terjadi negative calorie
balance, (4) polifagia akibat glukosuria dan negative calorie balance.6
2.1.5 Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut
di bawah ini:
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelakan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan
disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan
klasik ditemukan, maka pemerikssan glukosa plasma sewaktu ≥200mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta
murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga
dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan
spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki
keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam
praktek sangat jarang dilakukan . 3
Kriteria diagnosa DM untuk dewasa tidak hamil.
7
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka
dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil
yang diperoleh:
TGT: diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199mg/dL.
GDPT: diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125mg/dL.3
Pemeriksaan HbA1c:
HbA1c adalah glukosa yang terikat dengan molekul hemoglobin A. Dalam
darah, glukosa bisa terikat dengan molekul hemoglobin dalam sel darah merah.
Proses ini dikatakan glycosylation. Ketika glukosa terikat, glukosa akan tetap
berikat dengan sel darah merah sehingga sel darah merah dihancurkan yaitu 60-
90 hari. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah semakin banyak glukosa
berikatan dengan hemoglobin.
Tes HbA1c digunakan untuk mengukur kadar glukosa yang berikat dengan hemoglobin di dalam sel darah merah dan tanda dalam
persentase glukosa yang terikat dengan hemoglobin dengan jumlah konsentrasi hemoglobin. HbA1c diteskan untuk mengetahui rata-rata
glukosa darah yang terkontrol dalam 60-90 hari sebelum pemeriksaan glukosa puasa, sewaktu atau postprandial.
6
Anjuran HbA1c%
Sangat sehat ≤ 7,0
Sedang, memerlukan perbaikan 7,0 – 8,0
Tinggi, memerlukan tindakan terapi 8,0 – 10,0
Sangat tinggi, memerlukan tindakan terapi >10,0
2.1.6 Penatalaksanaan
Terdapat 4 pilar penatalaksanaan diabetes melitus yaitu:
1. Edukasi
2. Terapi gizi medik
3. Latihan jasmani
4. Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM setelah edukasi dimulai dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa
8
kacangan, tahu, tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB/hr atau 10% dari kebutuhan energi dan 65%
hendaknya bernilai biologik tinggi. 3
c. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <7%
kebutuhan kalori dan lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak
MUFA. Anjuran konsumsi kolesterol <300mg/hr. Bahan makanan yang perlu
dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara
lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). 3,4
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta
2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.3
Perhitungan jumlah kalori untuk penyandang DM ditentukan oleh status gizi,
umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Perhitungan kebutuhan
kalori basal adalah sebesar 25-30 kalori/kg BB ideal dan ditambah atau dikurang
oleh faktor-faktor tadi. Perhitungan BBI (berat badan ideal) dengan rumus
brocca yang dimodifikasi adalah sbb:
BBI = 90% x (tb dalam cm-100) x 1kg
Dimana bagi pria dengan tinggi dibawah 160cm dan wanita dibawah 150cm,
tidak perlu dikali 90%. Interpretasinya adalah:
BB normal : BB ideal ± 10%
BB kurus : <BBI -10%
BB gemuk : >BBI + 10%
Selain Broca juga terdapat perhitungan berat badan ideal menurut IMT
(indeks massa tubuh). IMT dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB
(m2). Klasifikasi IMT:
BB kurang : <18,5
BB normal : 18,5-22,9
BB lebih : ≥23,0
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
Jenis kelamin: kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria.
Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30
kal/kg BB.
10
Umur: Untuk pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%,
untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69
tahun dikurangi 15%, dan dikurangi 20% untuk umur diatas 70 tahun.
Aktivitas fisik: Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan
pada keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30%
dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
Berat badan: Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung pada
tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan
kebutuhan untuk meningkatkan BB. 3
3. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Pada diabetisi dengan gula darah tak terkontrol, latihan
jasmani akan menyebabkan terjadi peningkatkan kadar glukosa darah dan badan
keton yang dapat berakibat fatal. Sebaiknya bila ingin melakukan latihan jasmai,
seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tidak lebih dari 250
mg/dl. Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada
saat kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani yang dikerjakan
dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak terkendali, akan
menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati, disertai
peningkatan produksi benda-benda keton. 4
Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan
insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedang pada otot
aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tidak
meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor
insulin otot dan penambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan
jasmani. Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin
dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah
berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah,
menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia
reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.4
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
11
300mg/dL A1C .10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat
mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu, terapi
insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala
nyata (poliuria, polidipsia, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan).
Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan
penggunaan insulin dapat dihentikan.
Agar terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien
hiperglikemia yang dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola
sekresi insulin pada orang normal. Sekresi insulin dapat dibagi menjadi
sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum makan) dan insulin prandial
(setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per unit waktu
yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat
glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi. Insulin
prandial adalah insulin yang dibutuhkan untuk mengkonversi bahan
makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak terjadi
hiperglikemia postprandial.
Secara umum, kebutuhann insulin dapat diperkirakan sebagai berikut:
insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB;
insulin prandial adalah 50% dari kebutuhan total insulin per hari; dan insulin
koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari.
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin sampai
insulin analog. Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin
basal dapat digunakan insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin)
atau kerja panjang (long-acting insulin); sementara untuk memenuhi
kebutuhan insulin prandial (setelah makan) digunakan insulin kerja cepat
(sering disebut insulin regular/ short-acting insulin) atau insulin kerja sangat
cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin). 4,7
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi Akut Diabetes Mellitus:
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)8
Ciri biokimia kardinal KAD adalah: hiperglikemia, hiperketonemia, asidosis
metabolik.
Ketoasidosis merupakan suatu kondisi gawat medis yang sering menjadi
penyebab serius morbiditas, terutama pada pasien diabetes tipe 1. Hiperglikemia
yang terjadi pada KAD menyebabkan suatu diuresis osmotik yang besar
sehingga terjadi dehidrasi dan kehilangan elektrolit, terutama sodium dan
15
walaupun dengan resusitasi dan tindakan yang cepat. Sodium dikloroasetat dapat
diberikan untuk menurunkan laktat darah.
2. Hipoglikemia
Apabila hipoglikemia (glukosa darah <3.5 mmol/l (63 mg/dl)) terjadi pada
pasien diabetes, ini merupakan kondisi akibat pengobatan dan bukan manifestasi
penyakit diabetes. Hipoglikemia sering terjadi pada mereka yang diobati dengan
insulin, dan kadang-kadang pada pasien yang mengkonsumsi obat sulfonilurea,
dan lebih jarang lagi pada mereka yang mengkonsumsi metformin.
Gejala klinis umum hipoglikemia dibagi kepada dua kelompok utama:
berhubungan dengan aktivasi akut sistem saraf autonom dan sekunder kepada
deprivasi glukosa di otak (neuroglikopenia). Simptom-simptom hipoglikemia
idiosinkratik dan berbeda dengan usia. Simptom hipoglikemia autonom
termasuk: berkeringat, menggetar, jantung berdebar, kelaparan, anxietas.
Simptom hipoglikemia neuroglikopenia termasuk: kebingungan, mengantuk,
masalah bercakap, ketidakmampuan berkonsentrasi, tidak dapat koordinasi.
Hipoglikemia karena sebab yang tidak spesifik menunjukkan simtptom mual,
kelelahan, dan sakit kepala.
Faktor resiko hipoglikemia berat termasuk: (1) kontrol glikemia ketat, (2)
kurang pengetahuan tentang hipoglikemia, (3) usia – sangat muda/lanjut usia, (4)
durasi diabetes yang meningkat, (5) tidur, (6) negativitas peptide-C, (7) riwayat
hipoglikemia sebelumnya, (8) gangguan ginjal, (9) genotip ACE (angiotensin-
converting enzyme).
Penyebab hipoglikemia termasuk: (1) tidak makan atau makan terlambat, (2)
senaman yang tidak tersangka atau tidak biasa dilakukan, (3) alkohol, (4)
kesalahan pada dosis/jadwal/pemberian obat hipoglikemik oral atau insulin, (5)
regimen insulin yang tidak didesain dengan baik, terutama apabila terdapat
predisposisi hiperinsulinemia nokturnal, (6) lipohipertrofi pada tempat injeksi
sehingga menyebabkan absorpsi insulin yang bervariasi, (7) gastroparesis akibat
neuropati autonom, (8) malabsorpsi seperti penyakit usus, (9) penyakit endokrin
yang tidak terdiagnosa seperti penyakit Addison, (10) factitious – dirangsang
dengan sengaja, dan (11) pasien diabetes yang menyusui anak.
Pengobatan hipoglikemia akut bergantung kepada beratnya hipoglikemia dan
kesadaran pasien serta kemampuan pasien untuk menelan. Pengobatan mungkin
terdiri hanya dari karbohidrat oral jika hipoglikemia terdeteksi secara dini.
Apabila pasien dewasa tidak dapat menelan, glukosa intravena (30-50 ml
18
Retinopati Diabetik:
Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab kebutaan yang paling
sering pada dewasa antara usia 30-65 tahun di negara maju. Fotokoagulasi
retinal merupakan terapi yang efektif, terutama apabila dilakukan pada tingkat
awal penyakit ketika pasien masih tidak menunjukkan sebarang simptom. Oleh
karena itu, pemeriksaan berkala fundi dengan dilatasi pupil maksimal adalah
wajib pada semua pasien diabetes.
Patogenesis terjadinya retinopati diabetik adalah seperti berikut:
Hiperglikemia meningkatkan aliran darah retinal dan metabolisme dan
19
mempunyai efek langsung terhadap sel endotelial retinal dan kehilangan perisit,
yang menyebabkan gangguan pada autoregulasi vaskular. Pengaliran darah
tidak terkontrol pada awalnya mengakibatkan dilatasi kapiler tetapi juga
meningkatkan produksi bahan vasoaktif dan proliferasi sel endotel, sehingga
terjadi penutupan kapiler. Ini menyebabkan hipoksia retinal kronis dan
menstimulasi produksi faktor pertumbuhan, termasuk faktor pertumbuhan
vaskular endotelial, yang menstimulasi pertumbuhan sel endotelial
(menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru) dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler (menyebabkan pembocoran retinal dan eksudasi.
Gejala klinis retinopati diabetik termasuk: mikroaneurisme, perdarahan
retinal, eksudasi, bercak cotton wool, perubahan vena, neovaskularisasi,
perdarahan pre-retinal, perdarahan vitreous, fibrosis, dan rubeosis iridis.
Retinopati proliferatif dan non-proliferatif berat diterapi dengan
fotokoagulasi retinal, di mana terapi ini telah menunjukkan penurunan
kehilangan penglihatan sebanyak 85% (50% pada pasien dengan makulopati).
Fotokoagulasi digunakan untuk: (1) mendestruksi area iskemia retinal (karena
dianggap bahwa area tersebut memainkan peran penting dalam terjadinya
neovaskularisasi), (2) menutup mikroaneurisme yang bocor dan mengurangkan
edema macular, (3) untuk gliose pembuluh darah baru secara langsung pada
permukaan retinal (tetapi tidak pada diskus optik).
Vitrektomi dapat dilakukan pada kasus terpilih dengan penyakit mata
diabetik lanjut di mana kehilangan penglihatan disebabkan oleh perdarahan
vitreous berulang yang gagal sembuh, atau retinal detachment akibat retinitis
proliferans. Rubeosis iridis diterapi dengan fotokoagulasi pan-retinal yang awal.
Penyebab Kehilangan Penglihatan Yang Lain Pada Pasien Diabetes:
Hampir 50% dari pasien diabetik dengan kehilangan penglihatan itu
disebabkan oleh penyebab selain dari retinopati diabetik. Ini termasuk katarak,
degenerasi makular berhubungan usia, oklusi vena retinal, oklusi arterial retinal,
neuropati optik iskemik non-arteritik, dan glaukoma.
Katarak merupakan suatu opasitas lensa yang permanen dan merupakan
penyebab penurunan visus yang paling sering pada populasi lanjut usia. Lensa
menjadi lebih tebal dan semakin opasifikasi seiring dengan usia yang bertambah,
dan proses ini akserelasasi dan terjadi secara prematur pada orang dengan
diabetes akibat peningkatan gangguan metabolik. Kadang-kadang, katarak
20
snowflake yang merupakan suatu katarak spesifik diabetes terjadi pada pasien
muda dengan diabetes yang tidak terkontrol tetapi ini sangat jarang. Keadaan ini
biasanya tidak mempengaruhi visus tetapi cenderung menyebabkan pemeriksaan
fundi sulit dilakukan. Indikasi ekstraksi katarak adalah sama dengan populasi
non-diabetik dan bergantung kepada derajat gangguan visus. Suatu indikasi
tambahan pada diabetes adalah apabila pemeriksaan fundus yang adekuat, atau
terapi laser terhadap retina tidak dapat dilakukan. Metode ekstraksi yang umum
adalah secara phakoemulsifikasi, dengan implantasi lensa intra-okuler.
Nefropati Diabetik
Nefropati diabetik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan pada
saat sekarang meupakan salah satu penyebab gagal ginjal stadium akhir (end-
stage renal failure, ESRF) di negara maju. Oleh karena penyakit ini sering
dijumpai bersamaan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang lain,
tatalaksana sering sulit untuk dilakukan, dan keuntungan pencegahan sangat
substansial.
Secara patologi, perubahan pertama (yang terlihat sewaktu
mikroalbuminuria) adalah penebalan glomerular basement membrane dan
akumulasi bahan matriks pada mesangium. Setelah itu, akan terjadi deposit
nodular yang merupakan gejala karakteristik, dan glomerulersklerosis menjadi
lebih parah (proteinuria berat terjadi) sehingga glomeruli menghilang secara
progresif dan fungsi ginjal menurun.
Faktor resiko terjadinya nefropati diabetik termasuk: (1) glukosa darah yang
tidak terkontrol dengan baik, (2) durasi diabetes yang lama, (3) adanya
komplikasi mikrovaskular yang lain, etnisitas (Asia, India Pima), (4) hipertensi
yang sudah muncul sebelumnya, (5)riwayat keluarga mengalami nefropati
diabetik, dan (6) riwayat keluarga mengalami hipertensi.
Walaupun mikroalbuminuria juga terdapat pada penyakit yang lain, keadaan
ini adalah indikator resiko terjadi nefropati diabetik yang penting dan oleh
karena itu, merupakan indikator yang paling reliabel untuk nefropati diabetik
pada sepuluh tahun yang pertama untuk DM tipe 1, dan kurang reliabel pada
pasien lanjut usia dengan DM tipe 2, di mana mikroalbuminuria mungkin terjadi
akibat penyakit yang lain. Secara khusus, kehadiran mikroalbuminuria pada
pasien dengan diabetes tipe 2 berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit
makrovaskular. Peningkatan albuminuria yang progresif, atau albuminuria yang
21
Kaki Diabetik:
Kaki merupakan tempat sering terjadi komplikasi pada pasien dengan
diabetes dan oleh karena itu, penjagaan kaki terutama penting pada pasien
diabetes. Nekrosis jaringan pada kaki merupakan penyebab sering rawat inap
pasien diabetik dan rawatan inap sering diperpanjangkan dan mungkin berakhir
dengan amputasi.
Ulserasi kaki terjadi akibat trauma (sering trauma kecil yang tidak bermakna
pada orang normal) dengan adanya neuropati dan/atau penyakit vaskular perifer,
dan terjadi infeksi sebagai fenomena sekunder setelah terjadi gangguan pada
epidermis yang bersifat protektif. Pada kebanyakan kasus, ketiga komponen
tersebut turut terlibat tetapi kadang-kadang, neuropati atau iskemia predominasi.
Iskemia sendiri merupakan penyebab ulkus pedis pada minoritas pasien diabetik,
dengan kebanyakan jenis neuropatik atau neuro-iskemik.
Gejala Klinis Kaki Diabetik
Neuropati Iskemia
Simptom Tidak ada Tidak ada
Parestesia Klaudikasio
Nyeri Nyeri waktu istirahat
Kebas
Kerusakan Ulkus Ulkus
Sepsis Sepsis
struktural
Abses Gangren
Osteomielitis
Gangren digit
Sendi Charcot
kontrol glikemik baik, (5) kontrol edema, (6) melakukan angiogram untuk
memeriksa kemungkinan rekonstruksi vaskular jika terdapat indikasi, (7)
amputasi mungkin tidak dapat dielakkan jika terdapat destruksi jaringan dan/atau
tulang yang luas atau nyeri iskemik yang tidak dapat dikontrol sewaktu istirahat
di mana rekonstruksi vaskular gagal atau tidak bisa dilakukan karena terdapat
penyakit pembuluh darah besar.8
2.1.8 Pencegahan
Dari sudut pandangan kesehatan awam, cara yang paling kos-efektif untuk
menangani diabetes adalah untuk mencegahnya.
Diabetes tipe 2 dihubungkan dengan gaya hidup makmur yang
kemungkinan besar akan muncul pada individu yang secara genetik mempunyai
predisposisi dan makan terlalu banyak dan berolahraga terlalu sedikit. Edukasi
kesehatan yang efektif telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam
pencegahan primer diabetes tipe 2, sedangkan skrining diabetes (terutama
kelompok resiko tinggi seperti mempunyai keluarga kandung yang mengalami
diabetes) dan pengobatan yang awal dan agresif untuk pasien dengan toleransi
glukosa terganggu dapat mengurangkan insidensi penyakit vaskular serius.
Pada diabetes tipe 1, kenyataan bahwa sel islet yang mensekresi insulin
didestruksi secara perlahan-lahan dalam jangka beberapa tahun sebelum
terjadinya gejala klinis memberi harapan bahwa, pada masa depan, diabetes tipe
1 dapat dicegah. Ini bergantung kepada: (1) ketersediaan petanda yang akurat
dan prediktif untuk perkembangan diabetes klinis pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik, (2) fahaman tentang urutan tepat yang
menyebabkan terjadinya destruksi sel-β pankreas, (3) perkembangan metode
intervensi berdasarkan immunomodulasi yang ditarget secara spesifik dan dapat
diaplikasikan dengan awal pada periode pre-diabetik sebelum semua sel yang
mensekresi insulin didestruksi.8
2.1.9 Prognosis
Senaman dan pengurangan berat badan dapat menyebabkan tubuh menjadi
lebih sensitif terhadap kerja insulin dan ini sangat membantu untuk mengontrol
kadar glukosa darah. Prognosis adalah baik dengan regulasi kadar glukosa darah
yang baik dan kepatuhan pasien dengan regimen self-care yang dianjurkan.
Komplikasi pada diabetes mellitus tipe 2 akan memperburuk prognosis. Penyakit
mata, ginjal, dan amputasi dapat menyebabkan disabilitas permanen. Walaupun
25
diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu kondisi yang kronis, progresif dan
belum diketahui pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit ini, namun
kondisi ini dapat dikontrol secara efektif dengan edukasi pasien dan pengobatan
yang tepat dan teratur.9
26
2.2.2 Etiologi
Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi
seperti infeksi(infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi kronik(artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik.
2.2.3 Patogenesis
Mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan sekarang
masih bayak yang belum dapat dijelaskan walaupun banyak penelitian telah dilakukan.
ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin-sitokin proses inflamasi seperti tumor
nekrosis faktor alfa(TNF α), interleukin 1 dan interferon dan interferon gamma (γ) yang
diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat
terjadinya proses eirtropoesis. Pada pasien aritritis reumatoid interleukin 6 juga
meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis melainkan
meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik, eritropoetinnya
leibh rendah dibandingkan dengan eritropoetin pasien anemia defisiensi besi. Dari
sejumlah penelitian ditemukan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan
penting terjadinya anemia pada penyakit kronik antara lain:
1. Menurunya umur hidup eritrosit sekitar 20-30% atau 80 hari.
2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadapanemia pada penyakit kronk.
3. Sering ditemukan sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai dengan
deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem. Ini menunjukkan
terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang
mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritoblast.
4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Ini terlihat dari terjadinya
hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal
27
2.2.5 Diagnosa
Diagnosis anemia penyakit kronik dapadt ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan antara lain:
1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya
kelelahan berdebar-debar, pusing dan lain-lain.
2. Pemeriksaan laboratoirum, antara lain:
a. Derajat anemia ringan sampai sedang
b. Gambaran morfologi darah tepi: biasnya normositik-normokromik atau
mikrositik ringan.
c. mean corpuscular volume(MCV): normal atau menurun sedikit
d. Besi serum: menurun
e. Total iron binding capacity(TIBC): menurun
f. Jenuh transferin: menurun
g. Feritin serum: normal atau meninggi
28
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anemia penyakit kronik tidak spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya diobati, kondisi anemia akan membaik. Pemberian obat-
obat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia
penyakit kronik tidak bermanfaat.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang
mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain:
1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien-=pasien anemia
penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya
dapat dimuali dari 50-100 unit/kg 3 kali seminggu, pemberian secara
intravena(IV) atau subkutan(SC). Bila dalam 2-3 minggu konsentrasi
hemoglobin meningkat dan/ atau feritin serum menurun, mak kita boleh
menduga bahwa eritoit repsons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum
adekuat, mka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150unit/kg tiga kali seminggu.
Bila juga tidak ada respons, makn pemberian eritropoetin dihentikan dan cari
kemungkinan penyebab yang lain, misalnya anemia defisiensi besi. Namun ada
pula yang mengajurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000-20.000
unit, 3 kali seminggu.
2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya
telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena
anemianya berat jarang dijumpai.
29
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka waktu yang panjang.
Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit didasari artritis
temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal
demikian juga dengan gejala-gejala polimialgia akan segera hilang dengn cepat.
Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian
kortikosteroid tersebut segara dihentikan
4. Koblat klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronik. Cara
kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh kerana efek
toksiknya obat ini tidka dianjurkan.
30
BAB 3
KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD)
CATATAN MEDIK PASIEN
No. Reg. RS : 28.04.08
Nama Lengkap : Nursiah
Tanggal Lahir : 1944 Umur : 67 thn Jenis Kelamin : Wanita
Alamat : - No. Telepon : -
Pekerjaan : IRT Status: Menikah
Pendidikan : - Jenis Suku :- Agama : Islam
ANAMNESIS
Automentesis √ Heternomentesis
RIWAYAT KELUARGA
Laki-laki Perempuan
31
X X X
X
D= diabetes
X= meninggal dunia
RIWAYAT PRIBADI
Riwayat imunisasi
Riwayat Alergi
Tahun Jenis imunisasi
Tahun Bahan / obat Gejala
-
- -
DISKRIPSI UMUM
TANDA VITAL
KEPALA DAN LEHER : simetris, TVJ R-2 cmH20, trakea medial, pembesaran
KGB(-)
33
THORAX
Depan Belakang
Inspeksi Simetris fusiformis simetris
Palpasi Stem fermitus Stem fermitus
Perkusi Sonor pada kedua paru Sonor pada kedua paru
Auskultasi SP: vesikuler SP: vesikuler
ST : - ST : -
JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas : ICR III Sinistra
Kanan : LSD
Kiri : 1 cm medial LMCS, ICR VI
Jantung : HR : 98x/i,reguler, M1>M2 ,A2>A1 ,P2>P1 ,A2>P2,
desah (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan: normal
PINGGANG
Tapping pain : tidak dilakukan pemeriksaan,
ballotement (-)
INGUINAL
Pembesaran KGB (-)
EKSTREMITAS:
Superior: edema (-)
Inferior : edema (-) pada kaki dextra terdapat gangren
ALAT KELAMIN:
Wanita , dalam batas normal
NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis (+) Normal
34
BICARA
Lancar
PEMERIKSAAN LAB
04/07/2011
Darah rutin
WBC: 12,3; LYM:1,8; MID:0,4; GRAN:10,8
Foto toraks
Kesan: mild cardiomegaly
Hal dialami os 1 minggu, hal ini semakin memberat 1 hari ini, lemas disertai keringatan(+),
sefalgia(+) vertigo(+), syncope(+) dan penurunan kesadaran(-). Febris(+) 1 minggu ini dialami os,
lebih sering pada pagi hari dan turun dengan obat penurunan panas, mengiggil (-), kejang (-)
Mual (+) 1 minggu ini, muntah (+), nafsu makan menurun(+) 1 minggu.
Darah rutin
WBC: 12,3; GRAN:10,8
35
RBC: 1,8x106 ; Hb: 5,1 g/dl; HCT:15,8; MCH:22,5pg; RDW:15,7 LED: 60mm/jam
Kimia darah
UREA: 64mg/Dl
TRIGLYCERIDES: 193mg/dL
HDL CHOLESTEROL: 22mg/dL
GLUKOSA-PP 327mg/dL
GLUKOSA -PUASA: 361mg/dL
Foto toraks
Kesan: mild cardiomegaly
36
RENCANA AWAL
Nama Penderita : Nursiah No. RM 2 8 0 4 0 8
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnose,
penatalaksanaan dan edukasi)
No Masalah Rencana Rencana Rencana Rencana
Diagnosa Terapi Monitoring Edukasi
1 DM tipe 2 Lipid profile Tirah baring - Klinis Menerangkan dan
KGD puasa O2 2L/i - Laboratorium menjelaskan keadaan,
KGD PP Diet DM 1500kkal penatalaksanaan dan
Liver function test IVFD NaCl 0,9% komplikasi penyakit
Renal function test Ceftriaxone 1gr/12jam pada pasien dan
2 Ulkus diabetikum Darah rutin Klindamisin 4x300mg keluarga
Kultur pus/ST Aspilet tab 1 x80mg
3 Anemia ec penyakit kronis Darah rutin Ketorolac 1amp/8jam(k/p)
Dopamin 1 amp dalam 100cc NaCl(15
tetes)
37
Tgl S O A P
Therapi Diagnostic
04/07/ Lemas(+), Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
2011 mual(+), TD: 60/40 mmHg diabetikum + anemia ec O2 2L/i Darah rutin
muntah(+), Pols:89x/i penyakit kronis Diet DM 1500kkal RFT/LFT
Pusing(+) RR: 20x/i Ivfd NaCl 0,9% Bilirubin
T35,3˚C Ceftriaxone 2gr/12jam Kultur pus/ST
Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
dopamin mulai 12gtt/i
micro tingkat 4gtt/I setiap
30 min bila TD<90mmHg
Glukosa 5% 20gtt/i
Apidra insulin 8-8-8
Lantus 10 unit
05/07/ Lemas (+), Sens : CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring Morfologi darah tepi
2011 mual (+), TD : 80/50 mmHg diabetikum + anemia ec O2 2L/i
sulit tidur Pols : 64 x/i penyakit kronis Diet DM 1500kkal
(+), kaki RR : 16x/i Ivfd NaCl 0,9%
berdenyut T : 36 oC Ceftriaxone 2gr/12jam
(+) Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
Drip jayaccin 400mg/hari
38
Transfusi PRC 3
bag@175cc
06/07/ Nyeri pada Sens : CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
2011 kaki (+) TD : 100/60 mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal Darah rutin
Nadi : 80x/menit penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
RR : 20x/menit Ceftriaxone 2gr/12jam
T : 36,0 oC Clindamycin 4x300mg
Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Metoclopramid 1amp/8jam
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
Drip jayaccin 400mg/hari
Ceftriaxone 1gr/12jam
Metoclopramid 1amp/8jam
NaCl 0,9% 100cc + 200g
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
14- Mual dan Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
20/07/ muntah TD: 110-120/70mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal Darah rutin
2011 berkurang HR: 72-76x/i penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
Lemas(+) RR: 20-24x/i Clindamycin 4x300mg
T: 35,5-36,7 oC Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Ceftriaxone 1gr/12jam
Metoclopramid 1amp/8jam
NaCl 0,9% 100cc + 200g
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
21- Lemas (+) Sens: CM DM tipe 2 + ulkus Tirah baring KGD N/2j PP
28/07/ TD: 110-120/70mmHg diabetikum + anemia ec Diet DM 1500kkal
2011 HR: 72-84x/i penyakit kronis Ivfd NaCl 0,9%
RR: 16-24x/i Clindamycin 4x300mg
T: 35,5-36,6 oC Aspilet tab 1x80mg
Ketorolac 1amp/jam
Ciprofloxacin 400mg/4jam
Ceftriaxone 1gr/12jam
Metoclopramid 1amp/8jam
NaCl 0,9% 100cc + 200g
Apidra insulin 10-10-10
Lantus 12 unit
40
DAFTAR MASALAH
Nama : Nursiah i/d Kasno No. RM
2 8 0 4 0 8
:
Masalah
Tanggal
No. M A S A LA H Selesai/ Terkontrol/
Ditemukan Tetap
Tanggal Tanggal
1. 04/07/ 2011 DM tipe 2 √
2 04/07/2011 Ulkus diabetikum 14/07/2011
Ulkus diabetik post amputasi
digiti 2,3 pedis sinstra
3. 04/07/2011 Anemia ec penyakit kronis √
Kesimpulan :
Seorang wanita , 67 tahun dengan diagnosis : DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis
Prognosis :
-Ad Vitam : bonam
-Ad Functionam : bonam
-Ad Sanactionam : dubia ad bonam
41
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena
kelainan kerja insulin. Perjalanan penyakit diabetes melitus sangat perlahan bermula dari
timbulnya gejala klasik dan intoleransi glukosa hingga terjadinya komplikasi pada mikro dan
makrovaskular serta neuropati. Diabetes melitus tipe 2 dapat ditangani dengan menggunakan
4 pilar penanganan yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan pengobatan
farmakologi. Tujuan pengobatan penderita diabetes melitus tipe 2 adalah mencegah
morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh gangguan akibat kadar glukosa darah yang
tinggi dan tidak terkontrol.
Anemia penyakit kronis adalah anemia yang terjadi setelah proses infeksi atau
inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami penyakit tersebut
selama 1-2 bulan. Penatalaksanaan anemia penyakit kronik tidak spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya diobati, kondisi anemia akan membaik.
4.2. Saran
Deteksi dini dan perawatan diabetes melitus yang efektif dapat menurunkan jumlah
morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan kadar gula darah secara teratur
disarankan kepada orang-orang yang memiliki faktor risiko diabetes melitus karena hal
tersebut mempunyai arti penting dalam perawatan diabetes melitus.
Anemia penyakit kronis disebabkan oleh penyakit dasarnya oleh itu, mengobati
penyakit dasarnya adalah paling penting. Namun begitu, penatalaksanaan untuk membaiki
kondisi anemia juga bisa dilakukan.
42
DAFTAR PUSTAKA
2. Nasution, S., 2011. Gambaran Pengetahuan dan Tindakan Penderita Diabetes Melitus
Tipe 2 Terhadap Pentingnya Aktivitas Fisik di RSUP H.Adam Malik.Avaliable from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21752/5/Chapter%20I.pdf . [Accesed:
21 Juli 2011]
6. Kaku, K., 2010. Pathophysiology of Type 2 Diabetes and It’s Treatment Policy.
Avaliable from : http://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2010_01/041_046.pdf.
[Accesed : 20 Juli 2011].
8. Frier, B.M., Fisher, M., 2006. Diabetes Mellitus. In: Boon, N.A., Colledge, N.R.,
Walker, B.R.. Davidson’s Principles & Practice of Medicine 20 th Edition. UK:
Elsevier; 21:805-48
10. Panjaitan S,2003. Beberapa Aspek Anemia Penyakit Kronik Pada Lanjut Usia, Sept
2002- Jan 2003. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan. Hlm: 8-14. Avaliable from:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6338/1/D0300606.pdf [Accesed : 21
Juli 2011].