Anda di halaman 1dari 22

BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Tanggal lahir : 16 Juni 2016
Usia : 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
No RekamMedis : 01358xxx
Alamat : Jebres Surakarta
BB : 4 kg
TB : 57 cm
Tanggal Masuk : 16 Desember 2016
Tanggal Pemeriksaan : 19 Desember 2016

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
BAB cair

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh BAB cair >10
kali sehari, sebayak ±¼ gelas belimbing setiap kali BAB. BAB berwarna
kuning, cairan lebih banyak daripada ampas, tidak ada lendir maupun darah,
tidak berbau amis. Pasien tidak mengeluhkan adanya mual ataupun muntah.
Pasien masih mau minum susu dengan baik.
Orang tua pasien juga mengatakan pasien demam dan membaik
dengan pemberian obat turun panas, demam tidak pernah tinggi, menggigil
(-), batuk (-) , pilek (-), riwayat keluar cairan dari kedua telinga (-)
Saat di IGD RSDM, pasien tampak rawel, BAB 1 kali di pempes air
lebih banyak dibanding ampas, volum sekitar ¼ gelas belimbing, warna
kuning, tidak ada lendir maupun darah, ber bau amis (-), pasien masih
demam, pasien masih minum susu dan makan sedikt ,tidak muntah, batuk
(-), pilek(-), BAK (+) banyak sekitar ½ gelas belimbing warna kuning, BAK
darah (-)
.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak terdapat riwayat dengan keluahan yang sama
Tidak terdapat riwayat alergi obat/makanan/trauma/kejang.
Pasien merupakan penderita Hidrosefalus dengan usia 8 bulan
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Tidak terdapat riwayat muntah dan BAB cair di keluarga dan sekitar
lingkungan pasien.
Tidak terdapat riwayat alergi obat/makanan pada keluarga

5. Riwayat Kehamilan
Pemeriksaan di : Bidan
Frekuensi :
a. Trimester I : setiap bulan
b. Trimester II : setiap bulan
c. Trimester III : setiap 2 minggu
Tidak didapatkan keluhan saat kehamilan
Tidak didapatkan tekanan darah tinggi selama kehamilan
Selama hamil pasien mengkonsumsi tablet penambah darah.
Kesan: kehamilan dalam batas normal.

6. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir secara spontan dengan usia kehamilan 39 minggu, berat lahir
2800 gram, panjang badan 45 cm, langsung menangis kuat, tidak biru, gerak
aktif.
Kesan: kelahiran dalam batas normal.

7. Riwayat Imunisasi
0 bulan : Hepatitis B1
1 bulan : BCG, Polio 1
2 bulan :DPT-HepB, Polio 2
3 bulan : DPT-HepB, Polio 3
4 bulan : DPT-HepB, Polio 4
Kesimpulan : Imunisasi lengkap sesuai Kemenkes 2014.

8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


BB 4,0 kg, TB 57 cm, Umur : 6 bulan
Saat ini pasien masih belum bisa untuk mengkoordinasikan gerakan sesuai
dengan anak sebayanya. Pasien belum bisa menunjuk dan mengambil benda
yang diinginkan.
Kesan: tumbuh kembang kurang

9. Riwayat Nutrisi
Pasien sampai saat ini hanya minum ASI dan ASB. Ibu pasien
mengatakan bahwa ASI hanya sedikit, sehingga pasien lebih sering
mengkonsumsi ASB. Sehari pasien jarang minum ASI dan ASB. Pasien juga
lebih sering minum air putih atau teh yang dimasukkan ke dalam botol
minum.
Kesan: Kualitas dan kuantitas kurang

10. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal di rumah bersama kedua orangtua pasien. Orang tua
pasien tidak merokok. Pasien berobat menggunakan fasilitas BPJS
Kesehatan kelas I.
Kesan: Sosial ekonomi cukup

11. Pohon Keluarga

Tn. W, 29 tahun Ny.N, 27 tahun

C. PEMERIKSAAN FISIK An. S, 6 bulan


1. Keadaan Umum
Pasien tampak lemah, sakit sedang , kesadaran kompos mentis (E4V5M6),
kesan gizi kurang
2. Tanda Vital
Laju nadi :144 x/menit, regular, isian dan tegangan cukup, teraba kuat
Laju pernapasan: 28 x/menit, irama regular, kedalaman cukup,
abdominothorakal
Suhu : 37.6 oC per aksiler
3. Perhitungan Status Gizi
BB: 4kg, PB: 57cm, Umur : 6 bulan
BB/U : 70 % severe underweight
TB/U : 87% severe stunded
BB/TB : 92,5 % (P10<BB/BB ideal< P50) kesan: gizi kurang
Kesan Gizi : Severe underweight, severe stunded, gizi kurang
4. Kepala
Ubun-ubun besar tidak cekung mesocepal, rambut berwarna hitam, rambut
rontok (-)
5. Mata
Mata cekung (+/+), konjingtiva tidak anemis, palpebra tidak oedem,
skelera tidak ikterik, pupil miosis isokhor (2mm/2mm), dan reflex cahaya
(+/+), air mata (-/ -) berkurang.
6. Hidung
Tidak didapatkan napas cuping hidung. Tidak didapatkan sekret.
7. Mulut
Mukosa basah, bibir tidak ada sianosis.
8. Tenggorok
Uvula berada di tengah, tonsil T1-T1, tonsil tidak hiperemis, tidak terdapat
eksudat pada tonsil, faring tidak hiperemis.
9. Telinga
Normotia, tidak didapatkan serumen pada kedua telinga. Nyeri tekan tragus
negatif dan tidak didapatkan sekret yang keluar dari lubang telinga kiri
maupun kanan.
10. Leher
Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening.
11. Thoraks
Dinding dada mengembang secara simetris. Tidak didapatkan retraksi
dinding dada.
12. Pulmo
Inspeksi : dinding dada mengembang secara simetris. Tidak
didapatkan retraksi dinding dada
Palpasi : fremitus taktil teraba simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : terdengar suara dasar vesikuler pada lapang paru. Tidak
terdengar wheezing dan ronkhi pada lapang paru.

13. Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC IV linea midclavicularis sinistra,
tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : terdengar bunyi jantung I & II, intensitas normal, reguler
dan tidak didapatkan bunyi jantung tambahan
14. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada, tidak ada spasme
Auskultasi : terdengar bising usus dalam batas normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba,
tidak teraba adanya massa abdomen, turgor kulit kembali dengan cepat
15. Ekstremitas
Akral dingin - - Edema - -
- - - -
Arteri dorsalis pedis teraba kuat
CRT < 2 detik
16. Pemeriksaan Neuruologis
 Reflek Fisiologis
- Reflek bicep +2 / +2 - Reflek patella +2 / +2
- Reflek tricep +2 / +2 - Reflek achilles +2 / +2
 Reflek patologis
- Tidak ditemukan adanya reflek Babinsky
- Tidak ditemukan adanya reflek Chadock
- Tidak ditemukan adanya reflek Schufner
 Meningeal sign
- Tidak ditemukan adanya kaku kuduk
- Tidak ditemukan adanya tanda Brudzinski I
- Tidak ditemukan adanya tanda Brudzinski II
- Tidak ditemukan adanya tanda Kernig

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil laboratorium Darah (16 desember 2016)
Hematologi rutin
Hb 12.8 g/dL
Hct 42 %
AL 14.3 ribu/μL
AT 337 ribu/μL
AE 5.22 juta/μL
Indeks eritrosit
MCV 80.4 /μm
MCH 24.5 pg ↓
MCHC 30.5 g/dL ↓
RDW 15.0 % ↓
MPV 9.6 fl
PDW 16 % ↓
Hitung jenis
Eosinofil 0.60 %
Basofil 0.10 %
Neutrofil 64.8 %
Limfosit 32.30 % ↓
Monosit 2.20 %
Elektrolit
Natrium darah 145 mmol/L
Kalium darah 6.3 mmol/L
Kalsium Ion 1.17 mmol/L ↓

E. RESUME
Anamnesis:Satu hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh BAB cair
>10 kali sehari, sebayak ±¼ gelas belimbing setiap kali BAB. BAB berwarna
kuning, cairan lebih banyak daripada ampas, tidak ada lendir maupun darah,
tidak berbau amis. Orang tua pasien juga mengatakan pasien demam dan
membaik dengan pemberian obat turun panas, demam tidak pernah tinggi. Saat
di IGD RSDM, pasien tampak rawel, BAB 1 kali di pempes air lebih banyak
dibanding ampas, volum sekitar ¼ gelas belimbing, warna kuning, tidak ada
lendir maupun darah, ber bau amis (-), pasien masih demam, pasien masih
minum susu dan makan sedikt ,tidak muntah, batuk (-), pilek(-), BAK (+)
banyak sekitar ½ gelas belimbing warna kuning, BAK darah (-)

Pemeriksaan fisik: anak tampak lemah dan rewel, kesadaran komposmentis


(GCS E4V5M6), Suhu 37.6 oC per aksiler. Mata pasien cekung dengan air
mata berkurang. Mukosa mulut basah, turgor kulit kembali cepat, arteri dorsalis
pedis teraba kuat dan CRT <2 detik.

F. DIAGNOSIS BANDING
1. Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang ec virus dd bakteri
2. Gizi kurang, severe underweight, severe stunded

G. DIAGNOSIS KERJA
1. Diare akut dengan dehidrasi ringan sedang ec virus dd bakteri
2. Gizi kurang, severe underweight, severe stunded
H. PENATALAKSANAAN
Terapi
1. Rawat bangsal gastroenterologi anak
2. Diet ASI/ASB on demand
3. IVFD Asering 200cc/kgBB/hari ~ 66 cc/jam
4. Zinc 1x20mg
5. Oralit 70 cc jika diare dan 35 cc jika muntah
6. Paracetamol syr 3 x 1 cth
Plan
Cek DL2, elektrolit, feses rutin
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diare Akut
1. Definisi
Diare cair akut merupakan diare yang terjadi secara akut dan
berlangsung kurang dari 14 hari (bahkan kebanyakan kurang dari 7 hari),
dengan pengeluaran tinja yang lunak / cair. Mungkin disertai muntah dan
panas. Diare cair akut menyebabkan dehidrasi, dan bila masukan makanan
kurang dapat mengakibatkan kurang gizi. Kematian yang terjadi disebabkan
karena dehidrasi. Penyebab terpenting diare pada anak-anak adalah
Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium, Vibrio cholera,
Salmonella, E. coli, rotavirus (Behrman, 2009).
2. Epidemiologi
Kuman penyebab diare menyebar masuk melalui mulut antara lain
makanan dan minuman yang tercemar tinja atau yang kontak langsung
dengan tinja penderita.
Terdapat beberapa perilaku khusus meningkatkan resiko terjadinya
diare yaitu tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama
kehidupan, menggunakan botol susu yang tercemar, menyimpan makanan
masak pada suhu kamar dalam waktu cukup lama, menggunakan air
minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari tinja, tidak mencuci
tangan setelah buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum
memasak makanan, tidak membuang tinja secara benar (Ardhani, 2008).
Faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap diare antara lain tidak
memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak,
imunodefisiensi / imunosupressif.
Umur Kebanyakan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan,
insiden paling banyak pada umur 6 – 10 bulan (pada masa pemberian
makanan pendamping).
Variasi musiman pola musim diare dapat terjadi melalui letak
geografi. Pada daerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi
pada musim panas sedangkan diare karena virus (rotavirus) puncaknya pada
musimdingin. Pada daerah tropik diare rotavirus terjadi sepanjang tahun,
frekuensi meningkat pada musim kemarau sedangkan puncak diare karena
bakteri adalah pada musim hujan.
Kebanyakan infeksi usus bersifat asimtomatik / tanpa gejala dan
proporsi ini meningkat di atas umur 2 tahun karena pembentukan imunitas
aktif.
3. Etiologi
a. Faktor infeksi
Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare, meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E. coli,
Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, dsb), infeksi
virus (Enterovirus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dll), infeksi parasit
(E. hystolytica, G.lamblia, T. hominis) dan jamur (C. albicans).
Infeksi parenteral yaitu infeksi di luar sistem pencernaan yang
dapat menimbulkan diare seperti otitis media akut, tonsilitis,
bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. (Behrman, 2009).
b. Faktor Malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat yaitu disakarida (intoleransi laktosa,
maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan
galaktosa). Intoleransi laktosa merupakan penyebab diare yang terpenting
pada bayi dan anak. Di samping itu dapat pula terjadi malabsorbsi lemak
dan protein.
c. Faktor Makanan
Diare dapat terjadi karena mengkonsumsi makanan basi, beracun
dan alergi terhadap jenis makanan tertentu.
d. Faktor Psikologis
Diare dapat terjadi karena faktor psikologis (rasa takut dan cemas).
Gambar 1. Bagan Penyebab penyakit diare

Gejala Klinis Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera

Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Lembek Cair

Lendir darah - Sering Kadang - + -

Bau - - Busuk + - Amis khas


Warna Kuning- Merah- kehiajauan Tak berwana Merah-hijau Seperti air
hijau hiaju cucian beras
Leukosit - + + - - -

Lain lain Anoreksia Kejang Sepsis Meteorismus Inf sistemik -


Gambar 2. Mikroorganisme penyebab diare
4. Patofisiologi
Terdapat beberapa mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare
yaitu:
a. Gangguan osmotik
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat sehingga
terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen usus. Isi rongga
usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbul diare (Poorwo, 2003).
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus
dan selanjutnya timbul diare karena peningkatan isi lumen usus.
c. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya dapat timbuldiare (Poorwo, 2003).
5. Diagnosis
Pada diare cair akut dapat ditemukan gejala dan tanda-tanda sebagai berikut:
a. BAB lebih cair/encer dari biasanya, frekuensi lebih dari 3kali sehari
b. Apabila disertai darah disebut disentri (diare akut invasif)
c. Dapat disertai dengan muntah, nyeri perut dan panas
d. Pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama, yaitu kesadaran,
rasa haus, turgor kulit abdomen. Perhatikan juga tanda tambahan, yaitu
ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata cekung atau tidak, ada atau
tidak adanya air mata, kering atau tidaknya mukosa mulut, bibir dan
lidah. Jangan lupa menimbang berat badan.

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria sebagai berikut:


a. Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5% berat badan)
 Tidak ditemukan tanda utama dan tanda tambahan
 Keadaan umum baik, sadar
 Tanda vital dalam batas normal
 Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada,
mukosa mulut dan bibir basah
 Turgor abdomen baik, bising usus normal
 Akral hangat
 Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi
lain (tidak mau minum, muntah terus-menerus, diare frekuen)
(Ardhani, 2008).
b. Dehidrasi sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
 Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dua atau lebih tanda
tambahan
 Keadaan umum gelisah atau cengeng
 Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata
kurang, mucosa mulut dan bibir sedikit kering
 Turgor kurang
 Akral hangat
 Pasien harus rawat inap(Ardhani, 2008).
c. Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10% berat badan)
 Apabila didapatkan dua tanda utama ditambah dengan dua atau
lebih tanda tambahan
 Keadaan umum lemah, letargi atau koma
 Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada,
mucosa mulut dan bibir sangat kering
 Anak malas minum atau tidak bisa minum
 Turgor kulit buruk
 Akral dingin
 Pasien harus rawat inap (Ardhani, 2008).
Diare akut karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam,
tenesmus, hematoschezia, nyeri perut dan atau kejang perut. Akibat paling
fatal dari diare yang berlangsung lama tanpa rehidrasi yang adekuat adalah
kematian akibat dehidrasi yang menimbulkan renjatan hipovolemik atau
gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang berlanjut. Seseorang
yang kekurangan cairan akan merasa haus, berat badan berkurang, mata
cekung, lidah kering, tulang pipi tampak lebih menonjol, turgor kulit
menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan oleh
deplesi air yang isotonik. (Behrman, 2009).
Karena kehilangan bikarbonat (HCO3) maka perbandingannya dengan
asam karbonat berkurang mengakibatkan penurunan pH darah yang
merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi pernapasan meningkat dan
lebih dalam (pernapasan Kussmaul).
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat
berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit),
tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka
pucat, akral dingin dan kadang-kadang sianosis. Karena kekurangan kalium
pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun
sampai timbul oliguria/anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatsi akan
timbul penyulit nekrosis tubulus ginjal akut yang berarti suatu keadaan
gagal ginjal akut.
6. Tatalaksana
Apabila derajat dehidrasi yang terjadi akibat diare sudah di tentukan, baru
kemudian menentukan tatalaksana yang akan diterapkan secara konsisten..
Terdapat lima lintas tatalaksana diare, yaitu:
 Rehidrasi
 Dukungan nutrisi
 Supplement zinc
 Antibiotik selektif
 Edukasi orang tua
a. Diare cair akut tanpa dehidrasi
Penanganan lini pertama pada diare cair akut tanpa dehidrasi antara lain
sebagai berikut:
1) Memberikan kepada anak lebih banyak cairan daripada biasanya
untuk mencegah dehidrasi. Dapat kita gunakan cairan rumah tangga
yang dianjurkan, seperti oralit, makanan cair (seperti sup dan air tajin)
dan bila tidak ada air matang, kita dapat menggunakan larutan oralit
untuk anak. Pemberian larutan diberikan terus semau naak hingga
diare berhenti. Volume cairan untuk usia kurang dari 1tahun : 50-
100cc, untuk usia 1-5 tahun mendapat 100-200cc, untuk usia lebih
dari 5 tahun dapat diberikan semaunya.
2) Pemberian tablet Zinc
Pemberian tablet zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut
meskipun anak telah sembuh dari diare. Dosis zinc untuk anak
bervariasi, untuk anak usia dibawah 6 bulan sebesar 10mg (1/2 tablet)
perhari, sedangkan untuk usia diatas 6 bulan sebesar 20 mg perhari.
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anak telah
sembuh dari diare.
3) Memberikan anak makanan untuk mencegah kekurangan gizi
4) Membawa anak kepada petugas kesehatan bila anak tidak membaik
dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut buang air besar cair lebih
sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau
minum sedikit, demam, dan tinja berdarah.
5) Anak harus diberi oralit di rumah Formula oralit baru yang berasal
dari WHO dengan komposisi sebagai berikut:
 Natrium : 75 mmol/L
 Klorida : 65 mmol/L
 Glukosa, anhydrous : 75 mmol/L
 Kalium :20 mmol/L
 Sitrat :10 mmol/L
 Total osmolaritas :245 mmol/L
Ketentuan pemberian oralit formula baru :
Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 200 ml air matang,
berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar dengan
ketentuan untuk anak usia kurang dari 1 tahun berikan 50-100 ml
setiap kali buang air besar, sedangkan untuk anak berumur lebih dari 1
tahun berikan 100-200 ml tiap kali buang air besar.
b. Diare cair akut dengan dehidrasi ringan-sedang
Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75cc/kgBB dalam 3 jam
pertama dilanjutkan pemberian kehilangan cairan yang sedang
berlangsung sesuai umur seperti diatas setiap kali buang air besar.
c. Diare Cair akut dengan Dehidrasi Berat
Anak-anak dengan tanda-tanda dehidrasi berat dapat meninggal
dengan cepat karena syok hipovolemik, sehingga mereka harus
mendapatkan penanganan dengan cepat.
Rehidrasi sebagai prioritas utama terapi.Ada beberapa hal yang
penting diperhatikan agar dapat memberikan rehidrasi yang cepat dan
akurat, yaitu:
1) Menentukan cara pemberian cairan
Penggantian cairan melalui intravena merupakan pengobatan pilihan
untuk dehidrasi berat, karena cara tersebut merupakan jalan tercepat
untuk memulihkan volume darah yang turun. Rehidrasi IV penting
terutama apabila ada tanda-tanda syok hipovolemik (nadi sangat
cepat dan lemah atau tidak teraba, kaki tangan dingin dan basah,
keadaan sangat lemas atau tidak sadar). Cara lain pemberian cairan
pengganti hanya boleh bila rehidrasi IV tidak memungkinkan atau
tidak dapat ditemukan disekitarnya dalam waktu 30 menit.
2) Jenis cairan yang hendak digunakan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran meskipun jumlah kaliumnya rendah
bila dibandingkan dengan kadar kalium tinja. Bila RL tidak tersedia
dapat diberikan NaCl isotonik (0,9%) yang sebaiknya ditambahkan
dengan 1 ampul Nabik 7,5% 50 ml pada setiap satu liter NaCl
isotonik. Pada keadaan diare akut awal yang ringan dapat diberikan
cairan oralit untuk mencegah dehidrasi dengan segala akibatnya.
3) Jumlah cairan yang hendak diberikan.
Pada prinsipnya jumlah cairan pengganti yang hendak
diberikan harus sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan.
Jika memungkinkan, penderita sebaiknya ditimbang sehingga
kebutuhan cairannya dapat diukur dengan tepat. Kehilangan cairan
pada dehidrasi berat setara dengan 10% berat badan (100 ml/kg).
Bayi harus diberi cairan 30 ml/kg BB pada 1 jam pertama,
diikuti 70ml/kg BB 5 jam berikutnya, jadi seluruhnya 100 ml/kgBB
selama 6 jam. Anak yang lebih besar dan dewasa harus diberi 30
ml/kgBB pada 30 menit pertama, diikuti 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam
berikutnya sehingga seluruhnya 100 ml/kgBB selama 3 jam. Sangat
berguna memberi tanda pada botol, untuk menunjukan jumlah cairan
yang harus diberikan setiap jam bagi setiap penderita.
Sesudah 30 ml/kg cairan pertama diberikan , nadi radialis
yang kuat dapat teraba. Bila masih lemah dan cepat, infuse 30 ml/kg
harus diberikan lagi dalam waktu yang sama. Meskipun begitu hal ini
jarang dibutuhkan. Larutan oralit dalam jumlah kecil harus juga
diberikan melalui mulut (sekitar 5ml/kg BB per jam) segera setelah
penderita dapat minum, untuk memberi tambahan kalium dan basa.
Hal ini biasa dilakukan setelah 3-4 jam untuk bayi dan 1-2 jam untuk
penderita yang lebih besar.
4) Jalan masuk atau cara pemberian cairan
Rute pemberian cairan meliputi oral dan intravena. Larutan
oralit dengan komposisi berkisar 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g
NaBik dan 1,5 g KCl stiap liternya diberikan per oral pada diare
ringan sebagai upaya pertama dan juga setelah rehidrasi inisial untuk
mempertahankan hidrasi.
Tata kerja terarah untuk mengidentifkasi penyebab infeksi.
Untuk mengetahui penyebab infeksi biasanya dihubungkan dengan
dengan keadaan klinis diare tetapi penyebab pasti dapat diketahui melalui
pemeriksaan biakan tinja disertai dengan pemeriksaan urine lengkap dan
tinja lengkap (Hasan, 2007).
Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diperjelas
melalui pemeriksaan darah lengkap, analisa gas darah, elektrolit, ureum,
kreatinin dan BJ plasma.
Bila ada demam tinggi dan dicurigai adanya infeksi sistemik
pemeriksaan biakan empedu, Widal, preparat malaria serta serologi
Helicobacter jejuni sangat dianjurkan. Pemeriksaan khusus seperti serologi
amuba, jamur dan Rotavirus biasanya menyusul setelah melihat hasil
pemeriksaan penyaring (Hasan, 2007).
Secara klinis diare karena infeksi akut digolongkan sebagai berikut:
 Koleriform, diare dengan tinja terutama terdiri atas cairan saja.
 Disentriform, diare dengan tinja bercampur lendir kental dan
kadang-kadang darah.
Memberikan terapi simtomatik
Terapi simtomatik harus benar-benar dipertimbangkan kerugian dan
keuntungannya. Antimotilitas usus seperti Loperamid akan memperburuk
diare yang diakibatkan oleh bakteri entero-invasif karena memperpanjang
waktu kontak bakteri dengan epitel usus yang seyogyanya cepat dieliminasi.
(Pusponegoro, 2004).
Memberikan terapi definitif.
Terapi kausal dapat diberikan pada infeksi:
a. Kolera-eltor : Tetrasiklin atau Kotrimoksasol atau Kloramfenikol.
b. V. parahaemolyticus,E. coli, tidak memerluka terapi spesifik
c. A. aureus : Kloramfenikol
d. Salmonellosis: Ampisilin atau Kotrimoksasol atau golongan Quinolon
seperti Siprofloksasin
e. Shigellosis : Ampisilin atau Kloramfenikol
f. Helicobacter : Eritromisin
g. Amebiasis : Metronidazol atau Trinidazol atau Secnidazol
h. Giardiasis : Quinacrine atau Chloroquineitiform atau Metronidazol
i. Balantidiasis : Tetrasiklin
j. Candidiasis : Mycostatin
k. Virus : simtomatik dan support (Hasan, 2007)

BAB III
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan keluhan BAB cair pada seorang pasien bayi laki-
laki usia 6 bulan, yang dibawa orang tuanya ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan
frekuensi sebanyak >10 kali sehari sejak satu hari SMRS. Berdasarkan anamnesis,
pasien tersebut mengalami diare akut, dimana pasien BAB lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari satu
minggu (Riskesdas 2007). Pada pasien diare, perlu ditanyakan hal-hal sebagai
berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak
lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa,
berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan
minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang
menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Pada pasien ini ditemukan
bahwa sejak satu hari, pasien buang air besar dengan tinja berkonsistensi cair
tidak ada ampas, tidak ada lendir maupun darah, sebanyak ± ¼ gelas belimbing
setiap BAB, warna kuning, tidak seperti air cucian beras, tidak berbau amis dan
tidak disertai lendir dan darah. Pasien juga tidak mengeluhkan adanya mual dan
muntah, saat itu pasien masih dapat meminum Asi dengan baik.
Saat di IGD RSDM dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan umum
pasien sadar, menangis, rewel, masih bergerak aktif, mata cekung, dengan BAK
terakhir saat di IGD.
Dari hasil anamnesis dan pemerikaan fisik pasien dimungkinkan mengalami
diare akut dengan dehidrasi ringan – sedang, dikaterigokian sebagai derajat
dehidrasi ringan sedang apabila didapatkan keadaan umum gelisah atau cengeng,
ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata berkurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kerin, turgor kurang dan akral masih hangat.
Saat ini pasien berusia 6 bulan dengan berat badan 4,0 kg dan tinggi badan
57 cm. pada antropometri didapatkan gizi kurang, underweight, severe stunded.
Permasalahan terkait gizi pasien adalah pasien sampai saat ini hanya minum ASI
dan ASB. Dengan produksi ASI ibu yang sedikit, sehingga pasien lebih sering
mengkonsumsi ASB. Tetapi menurut ibu pasien sehari-hari jarang minum ASI
maupun ASB. Pasien lebih sering minum air putih atau teh yang dimasukkan ke
dalam botol minum..
Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen pada diare
antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama
kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh
tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi
yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara
penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada
penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain :
gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya
motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik
(Soebagyo dan Santoso, 2009). Faktor risiko diare yang ditemukan pada psien
berupa: tidak mendapatkan ASI ekslusif dan gizi kurang.. Keterbatasan pemberian
ASI dan pemberian air putih dan teh yang dimasukan kedalam botol ini perlu
menjadi perhatian, karena kurangnya higienitas bahan dan peralatan yang
digunakan bisa menjadi media masuknya kuman ke dalam saluran cerna.
Pemberian ASI ekslusif pada awal masa bayi dapat menurunkan risiko terjadinya
diare pada 6 bulan awal kehidupan (OR 0.37, 95 % CI 0.15 to 0.88) (Hanieh et al.,
2015).
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tersebut pasien didiagnosis dengan: diare akut dehidrasi sedang.
Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi
semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun
sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. Cairan, 2. Seng, 3. Nutrisi, 4. Antibiotik,
5. Nasihat kepada orang tua. Pasien ini ditatalaksana dengan mondok bangsal
gastroenterologi anak untuk dilakukan monitoring
Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini diberikan sesuai dengan terapi
dehidrasi ringan sedang, yaitu: Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75ml/kgBB
dalam 3 jam pertama yaitu 75ml x 7.5kg= 564.5 ml oralit, dilanjutkan untuk
mengganti kehilangan cairan setiap diare cair sebanyak 5-10ml/kgBB yaitu 10ml
x 7.5 kg = 75 ml tiap buang air besar. Namun karena pasien sulit untuk minum
peroral akibat rewel, maka diberikan rehidrasi parenteral (intravena) dengan
menggunakan IVFD Asering (200ml/kg/hari) = 200ml x 7.5 kg= 1500 ml / hari ≈
66 ml/jam selama 24 jam.
Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng
pada anak berusia >6 bulan dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 –
14 hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari
(Soebagyo dan Santoso, 2009). Suplementasi seng telah terbukti mampu
memperingan durasi dan keparahan diare serta kemungkinan infeksi selanjutnya
selama 2-3 bulan berikutnya (Khan dan Sellen, 2011).
ASI merupakan nutrisi yang digunakan sebagai terapi pada pasien ini. Bayi
yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi
yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap 3
jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara
rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin
diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul
kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi (Soebagyo dan
Santoso, 2009). Pasien ini mendapatkan terapi diet Air Susu Ibu (ASI) dan Air
Susu Buatan (ASB).
Antibiotik diberikan jika ada indikasi saja, misalnya disentri (diare
berdarah) atau kolera. Pemberian antibiotik tidak rasional akan mengganggu
keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan
Clostridium defficile akan tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan
(IDAI, 2009). Pasien pada kasus ini tidak mendapatkan terapi antibiotik.
Pemberian obat pada pasien ini berupa terapi simtomatis diberikan antipiretik
dengan pilihan parasetamol 10-15mg/ kgBB/ kali apabila demam.
Nasihat kepada orang tua penting diberikan dalam penatalaksanaan diare.
Pemberian minum melalui botol lebih meningkatkan penyebaran penyakit
dibandingkan dengan pemberian ASI ekslusif. Pendidikan terhadap orang tua
yang rendah mengenai bagaimana menjaga higienitas pemberian asupan pada bayi
mempengaruhi kejadian diare (Scott et al., 2010).
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Hidrosefalus. Dalam : Harsono,


Editor. Buku Ajar Neurologi Klinik. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press; 2005. Hal. 209-16.
2. Bergman R, Afifi A. Hydrocephalus. In : Functional Neuroanatomy text and
atlas. 2Ed. New York: McGraw-Hill; 2005. p 380-4.
3. Varma R, Williams SD. Wessel HB. Neurology. In : Zitelli BJ, Davis HW,
Editor. Atlas of Pediatric Physical Diagnosis. 5th Ed. New York : Blackwell
Science; 2000. p 562-86.
4. Rubin, E. Hydrocephalus. In : Essential Pathology. 3rd Ed. Philadelphia:
Lippincott Williams dan Wilkins; 2001. p 728-9
5. Darsono dan Himpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia dengan UGM.2005.
Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: UGM Press..
6. Chapman S, Nakielny R. Large Head In Infancy. In :Aids to Radiological
Differential Diagnosis. 4thEd. Pennyslvania: Elsevier Inc.; 2003. p 421-5.
7. Hafid A. 2008. Pedoman Dignosis Dan Terapi Bag/SMF Ilmu Bedah Saraf.
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
8. Bajamal H, Prijambodo B. 2010.Hidrosefalus dalam Buku Ajar Ilmu Bedah de
jong. Jakarta.EGC. p 932
9. Abdullah M (2006). Perdarahan Saluran Cerna Bagian Bawah dan Perdarahan
Samar. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta: Bagian
Penyakit Dalam FKUI, pp: 295.
10. Ardhani punky, 2008, Art of Theraphy: Ilmu Penyakit Anak, Pustaka
Cendekia Press: Jogjakarta
11. Dib N, Oberti F, Cales P (2006). Current management of complications of
portal hypertension: variceal bleeding and ascites. CMA Media Inc.pp: 1433-
43.
12. Hasan Rusepno et all, 2007, Ilmu Kesehatan Anak 1: cetakan ke 11,
Infomedika: Jakarta.
13. Hassan R, Alatas H (2007). Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 2. Jakarta:
14. Price SA, Wilson LM (2007). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit 6th Edition. Jakarta: EGC, pp: 1332-1333.
15. Poorwo sumarso et all, 2003, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi &
Penyakit Tropis, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
16. Pusponegoro hardiyono et all, 2004, Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak: edisi I, Ikatan Dokter Anak Indonesia.
17. Liberato dan Mullholand. 2014. Zinc supplementation in young children:
A review of the literature focusing on diarrhoea prevention and treatment
http://www.clinicalnutritionjournal.com/article/S0261-5614(14)00206-
4/abstract
18. Naeem S dan Perveen S. 2014. Role of Bottle Feedind and Parental
Education in Children Diarrhea. Research Journal Vol. 5 Issue 2 Updated 14-
01-2016
19. Zander R. 2009. Fluid Management Second expanded edition. Bibliomed
– Medizinische Verlagsgesellschaft mbH, Melsungen.
20. Cortés DO, Bonor AR, Vincent JL. 2014. Isotonic crystalloid solutions: a
structured review of the literature. Br. J. Anest.

Anda mungkin juga menyukai