Oleh:
Chief of Ward:
dr. Selfie
Supervisor:
dr. Ginova Nainggolan, SpPD-KGH
Makalah ini telah diperiksa dan disetujui oleh Chief of Ward dan Supervisor Lantai 7
Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, sebagai salah satu tugas ilmiah
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam.
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa tugas makalah laporan kasus ini saya
susun tanpa tindakan plagiarisme, sesuai peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika pada kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan bersedia menerima sanksi dari Universitas Indonesia yang diberikan kepada
saya.
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................................... 1
LEMBAR PERSETUJUAN..........................................................................................................2
LEMBAR PERNYATAAN ANTI PLAGIARISME...................................................................3
DAFTAR ISI...................................................................................................................................4
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR..............................................................................................5
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 6
BAB II. ILUSTRASI KASUS ..................................................................................................... 8
BAB III. DISKUSI KASUS ........................................................................................................ 11
3.1. LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK ..................................................................... 11
3.2. NEFRITIS LUPUS ....................................................................................................... 12
3.2.1 DIAGNOSIS .......................................................................................................... 14
3.2.2. GAMBARAN HISTOPATOLOGI ..................................................................... 15
3.2.3. MANIFESTASI KLINIS ...................................................................................... 16
3.2.4. TATA LAKSANA ................................................................................................. 17
3.2.5 TATA LAKSANA UMUM PADA NEFRITIS LUPUS .................................... 21
3.3. NEFRITIS LUPUS REFRAKTER ............................................................................. 22
BAB IV. KESIMPULAN ............................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 29
4
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil laboratorium dan riwayat terapi Nefritis Lupus pasien selama rawat jalan dan
rawat inap.........................................................................................................................10
Tabel 2. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan SLICC (Systemic Lupus
International Collaborating Clinics)...............................................................................11
Tabel 3. Klasifikasi Nefritis Lupus (NL) berdasarkan gambaran histopatologi............................15
Tabel 4. Manifestasi klinis Nefritis Lupus.....................................................................................17
Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis Nefritis Lupus jangka panjang.................27
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Patofisiologi Nefritis Lupus........................................................................................13
Gambar 2. Rekomendasi terapi Nefritis Lupus refrakter...............................................................26
5
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau yang lebih dikenal dengan Systemic Lupus
Erythematosus atau SLE merupakan penyakit inflamasi autoimun yang kompleks dan kronis
dengan etiologi yang belum diketahui, dengan manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan
prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini ditandai oleh adanya autoantibodi terhadap inti sel
yang dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh. LES terutama menyerang wanita usia
reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Peristiwa imunologi yang memicu
timbuNLya manifestasi klinis LES belum diketahui secara pasti. Faktor genetik, imunologik dan
hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES. Lebih dari 100 macam
antibodi dilaporkan telah ditemukan pada serum pasien LES. Berbagai sitokin pro- dan anti-
inflamasi seperti TGF-B, IL-10, BAFF, IL-6, IFN-a, IFN,g, IL-17, dan IL-23 memainkan peran
patogenik yang penting. Pemahaman terhadap imunopatogenesis SLE merupakan hal yang sangat
penting agar klinisi yang terlibat dapat memberikan terapi yang sesuai.1,2
Nefritis Lupus (NL) merupakan salah satu komplikasi SLE yang melibatkan organ ginjal.
NL merupakan komplikasi SLE yang cukup sering ditemukan dan dapat dibuktikan melalui
pemeriksaan biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi
ginjal yang nyata, walaupun pada awal SLE kelainan ginjal hanya didapatkan pada 25-50% kasus.
Insidens dan prevalensi SLE lebih tinggi pada wanita, namun pria dengan SLE memiliki insidens
yanag sama dengan wanita untuk mengalami NL. Perjalanan klinis NL sangat bervariasi dan hasil
pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kecepatan menegakkan diagnosis,
kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat mulai pengobatan, dan jenis
regimen yang dipakai.1
Komplikasi ginjal pada LES dianggap merupakan hal yang cukup serius karena dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien LES. Pada saat ini harapan hidup selama 15 tahun
penderita SLE dengan keterlibatan ginjal berkisar 80%. Hal ini telah mengalami perbaikan
dibandingkan pada tahun 1960, di mana harapan hidup 5 tahun penderita NL hanya berkisar 50%.
Dari beberapa studi yang pernah dilakukan didapatkan rerata angka harapan hidup pasien LES
6
dengan keterlibatan ginjal dan yang telah mengalami kerusakan ginjal ireversibel menurun hingga
mencapai 15,1 tahun dan 23,7 tahun, dibandingkan dengan populasi umum.3
Walaupun saat ini telah dijumpai berbagai kemajuan yang berarti dalam memberikan
terapi, akan tetapi insidensi terjadinya progresifitas gagal ginjal masih cukup tinggi, dikarenakan
masih sulitnya mengidentifikasi penderita LES dengan keterlibatan ginjal secara klinik karena
seringkali komplikasi NL terjadi secara tidak disadari, sementara gejala dini seringkali tidak
terdeteksi. Paradigma tatalaksana NL terkini umumnya diberikan setelah didapatkan hasil
pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal. Pilihan regimen pengobatan didasarkan pada
gambaran histopatologi. Prinsip dasar pengobatan ditujukan untuk menekan reaksi inflamasi LES,
memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya mempertahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah
buruk. Efek samping obat yang timbul juga harus diperhatikan karena pengobatan NL memerlukan
waktu yang relatif lama.1
Berdasarkan rekomendasi terbaru dari European League Against Rheumatism (EULAR)
dan European Renal Association – European Dialysis and Transplant Association (ERA-EDTA),
tata laksana NL seharusnya ditujukan untuk mencapai complete renal response (CRR) yang
didefinisikan sebagai Urine Protein Loss (Protein Urin Kuantitatif – PUK) < 0,5 g/24 jam atau
setidaknya nilai Glomerular Filtration Rate (GFR) mendekati nilai normal. Hal ini didasarkan
pada bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa pasien NL tipe proliferatif (tipe IV) atau
membranosa (tipe V) yang berhasil mencapai CRR memperlihatkan risiko jangka panjang untuk
berkembang menjadi end-stage renal disease yang lebih rendah.(PDF 5,6) Sementara itu, Partial
Renal Response (PRR) didefinisikan sebagai penurunan PUK > 50% dan nilai GFR yang normal
atau mendekati normal dalam 6-12 bulan setelah fase induksi atau inisiasi.3
Meskipun telah ada target terapi yang cukup jelas, proporsi pasien yang gagal mencapai
target tersebut ternyata masih cukup besar. Hal ini menggambarkan masih adanya tantangan yang
cukup besar di dunia kedokteran, yang memerlukan adanya suatu pendekatan tim multidisiplin
yang baik. Laporan kasus ini dibuat untuk menyampaikan suatu kasus NL yang secara teoritis
diduga resisten atau refrakter terhadap steroid.
7
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Seorang perempuan usia 38 tahun, masuk rawat inap Ilmu Penyakit Dalam dengan keluhan
bengkak seluruh tubuh sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Bengkak terutama
pada tangan dan kaki. Keluhan nyeri dada kiri, kuning, dan perut terus membesar tidak ada. BAK
tidak ada keluhan. Asupan cairan dan makanan dalam batas normal. Pasien dilakukan pemeriksaan
laboratorium dan ditemukan hipoalbuminemia (1.8 mg/dL) lalu direncanakan untuk mendapat
tranfusi albumin.
Pasien sebelumnya sudah diketahui menderita SLE dengan keterlibatan mukokutan, ginjal,
dan hematologi sejak 2 tahun SMRS. Saat itu pasien mengeluhkan rambut mudah rontok, kulit
terasa perih, dan kemerahan di wajah bila terkena sinar matahari. Pasien juga mengeluhkan ngilu
di daerah persendian dan nyeri bila ditekan. Terdapat riwayat tranfusi darah merah dengan hasil
coomb’s test positif. Pasien kemudian berobat ke poli penyakit dalam RSCM.
Dari pemeriksaan didapatkan hasil Protein Urin Kuantitatif (PUK) yang meningkat, yaitu
2446 mg/24 jam. Pasien diterapi dengan methylprednisolon (MP) 2x16 mg dan direncanakan
untuk biopsi ginjal. Dari biopsi ginjal didapatkan hasil glomerulonefritis proliferatif difus. Pasien
kontrol rutin ke divisi alergi-imunologi dan divisi ginjal-hipertensi setiap 2 minggu sekali untuk
pemantauan terapi dan mengambil obat. Selama kontrol poli, pasien mengalami perbaikan dan
sudah mulai diturunkan perlahan dosis MP nya, namun pasien sempat putus obat 1 bulan, dan hasil
pemeriksaan PUK kembali meningkat, sehingga pasien diberikan tambahan obat Mycophenolate
mofetil (MMF) 2x1 gram, dan ditingkatkan dosis MP nya menjadi 16-16-12 mg. Pasien kemudian
dinyatakan resistensi steroid (MP) dikarenakan PUK tidak perbaikan atau responsif setelah
pengobatan selama 2 tahun.
Pasien juga dinyatakan TB (tuberculosis) paru sejak 2 bulan SMRS dengan riwayat efusi
pleura, telah dilakukan punksi cairan pleura, dan saat ini (saat pasien masuk rawat inap) sedang
dalam terapi TB fase intensif. Terapi dengan MMF dihentikan selama pengobatan TB paru.
Hipertensi dan Diabetes Melitus disangkal, serta tidak ada riwayat sakit seperti ini di
keluarga pasien.
8
Saat perawatan, dilakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan kesadaran compos mentis
dengan tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 90x/menit, suhu 36.4oC, pernafasan 22x/menit, saturasi
O2 99% room air, Indeks massa tubuh 24.14 kg/m2. Pada pemeriksaan mata didapatkan
konjungtiva pucat, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, pemeriksaan jantung, paru,
dan abdomen dalam batas normal, terdapat pitting edema di ekstremitas inferior bilateral.
Selama perawatan pasien mendapat terapi MP 3x16 mg, MMF 2x1 gram, serta valsartan
1x80 mg. Pasien selanjutnya diizinkan pulang dengan kondisi perbaikan, dan direncanakan rawat
jalan untuk pemberikan siklofosfamid 500 mg tiap 2 minggu selama 3 bulan.
9
Tabel 1. Hasil laboratorium dan riwayat terapi Nefritis Lupus pasien selama rawat jalan dan rawat inap
10
BAB III
DISKUSI KASUS
Tabel 2. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan SLICC (Systemic Lupus International
Collaborating Clinics)
Kriteria Klinis Kriteria Imunologis
Lupus kutaneus akut ANA
Lupus kutaneus kronis Anti ds-DNA
Ulkus oral atau nasal Anti-Sm
Alopesia tanpa jaringan parut Antibodi antifosfolipid
Artritis Kadar komplemen (C3, C4, CH50) rendah
Serositis Tes Coomb’s positif (tidak diperhitungkan pada anemia
hemolitik)
11
Keterlibatan Ginjal
Keterlibatan neurologis
Anemia hemolitik
Leukopenia
Trombositopenia
Saat masuk perawatan pasien sudah tidak menunjukkan klinis LES yang jelas yang sesuai
dengan kriteria SLICC. Namun pasien sebelumnya telah tegak diagnosis LES dengan keterlibatan
mukokutan, ginjal, dan hematologi sejak 2 tahun SMRS, dengan keluhan awal rambut mudah
rontok, kulit terasa perih, dan kemerahan di wajah bila terkena sinar matahari, ngilu di daerah
persendian, serta terdapat riwayat tranfusi darah merah dengan hasil coomb’s test positif.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan Pemeriksaan ANA menunjukkan hasil yang positif, anti
ds-DNA normal (25,4 IU/mL), C3 rendah (61,8 mg/dL), dan C4 normal (19,8 mg/dL),
kemungkinan disebabkan pasien telah dalam pengobatan kortikosteroid dan MMF.
12
sering disertai fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan mengaktifkan
komplemen, namun tidak terjadi influks sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh
membrana basalis glomerulus dari sirkulasi. sehingga jejas hanya terbatas pada sel-sel epitel
glomerulus. Secara histopatologi memberikan gambaran nefropati membranosa, dan secara klinis
hanya didapatkan proteinuria.1
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik dari antigen dan
antibodi: kompleks imun yang besar atau antigen yang anionik, yang tidak dapat melewati sawar
dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik, akan diendapkan dalam mesangium dan
subendotel. Banyaknya deposit imun ini akan menentukan apakah pada pasien akan berkembang
gejala penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala yang lebih berat
(proliferatif fokal atau difus). Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya kompleks imun
dihubungkan dengan muatan antibodi dan daerah tempat berikatan dengan antigen. Antibodi dapat
berikatan dengan antigen pada berbagai temapt di dinding kapiler sehingga menimbulkan
manifestasi histologis dan klinis yang berbeda.1
13
3.2.1 DIAGNOSIS
Adanya hematuri, proteinuria atau sedimen urin yang patologik pada pemeriksaan urinalisa
dapat menunjukkan adanya NL. Diagnosis klinis NL ditegakkan bila pada pasien SLE didapatkan
proteinuria (PUK) > 500 mg/24 jam dengan/atau hematuri (> 8 eritrosit /LPB) dengan/atau
penurunan fungsi ginjal hingga mencapai 30%. Proteinuriaa umumnya diperiksa dengan cara
mengukur jumlah protein secara kuantitatif dengan mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain
yang lebih praktis dan sekarang mulai banyak dilakukan ialah dengan mengukur protein dengan
kreatinin pada sampel urin sewaktu. Pemeriksaan ini lebih mudah dikerjakan, dan terutama
dilakukan untuk menilai ada atau tidaknya perbaikan dari segi jumlah protein urin setelah
dilakukan pengobatan.1,5
Beberapa tes serologik yang dapat diperiksa pada pasien NL adalah:
a. Tes Antinuclear Antibody (ANA). Tes ini sangat sensitif namun kurang spesifik untuk SLE.
ANA juga dapat ditemukan pada pasien dengan artritis rematoid, skleroderma, sindrom
Syogren, polimiositism dan infeksi HIV. Titer ANA kurang memiliki korelasi yang baik
dengan adanya kelainan ginjal pada SLE.
b. Tes anti double-stranded DNA (anti ds DNA). Tes ini lebih spesifik dibandingkan ANA
namun kurang sensitif untuk mendeteksi adanya SLE. Tes ini dapat positif pada kira-kira
75% pasien SLE aktif yang belum diobati. Tes ini dilakukan dengan menggunakan tehnik
ELISA (Enzyme-linked immunosorbent assay immunosorbent assay). Anti ds DNA
memiliki korelasi cukup baik dengan adanya kelainan ginjal pada SLE.
c. Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear seperi anti-Sm dan anti-nRNP. Antibodi
anti-Sm sangat spesifik untuk SLE. Beberapa penelirian menunjukkan bahwa antibodi-
anti-Sm memiliki hubungan dengan peningkatan insidens penyakit ginjal dan susunan
sarag pusat serta menunjukkan prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada
35% pasien SLE, juga pada penyakit-penyakit reumatologik terutama jaringan ikat.
d. Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada NL tipe
proliferatif. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah berada di bawah normal sebelum gejala
lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.
Defisiensi komplemen lain seperti C1r, C1s, C2, C3a, C5a, dan C8 juga didapatkan pada
14
SLE. Kadar komplemen total kemungkinan tetap berada di bawah normal meskipun
penyakit dalam keadaan inaktif.
Pada pasien ini didapatkan peningkatan PUK > 500 mg/24 jam, ditambah dengan sudah
tegaknya diagnostik dari SLE dan hasil biopsi ginjal yang menunjukkan adanya glomerulonefritis
proliferatif difus, sehingga pada pasien ini dapat dinyatakan sebagai NL.
Tabel 3. Klasifikasi Nefritis Lupus (NL) berdasarkan gambaran histopatologi (ISN/RPS 2003) 6
Klas I Nefritis Lupus mesangial minimal
Glomerulus normal pada pemeriksaan MC, namun didapatkan deposit imun mesangial
melalui pemeriksaan IF
Klas II Nefritis Lupus mesangial proliferatif
Hiperselularitas mesangial dalam berbagai tingkat atau didapatkan ekspansi matriks
mesangial pada MC, disertai deposit imun mesangial
Sedikit deposit subepitel atau subendotel yang terisolasi yang dapat dilihat dengan IF atau
ME, tapi tidak terlihat dengan MC
Klas III Nefritis Lupus fokal
Fokal aktif atau inaktif, GN endo atau ekstra kapiler segmental atau global, meliputi <
50% dari seluruh glomeruli, tipikal dengan deposit imun subendotel fokal, dengan atau
tanpa perubahan mesangial
III (A) Lesi aktif: Nefritis Lupus proliferatif fokal
III (A)/C Lesi aktif dan kronis: Nefritis Lupus proliferatif fokal dan sklerosis
III (C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars) glomerular: Nefritis Lupus fokal
sklerosis
Klas IV Nefritis Lupus difus
Difus aktif atau inaktif, GN endo atau ekstrakapiler segmental atau global, meliputi >
50% dari seluruh glomeruli, tipikal dengan deposit imun subendotel difus, dengan atau
tanpa perubahan mesangial. Klas ini dibagi dalam Nefritis Lupus segmental difus (IV-S)
di mana > 50% glomeruli memiliki lesi segmental, dan Nefritis Lupus global difus (IV-
G) di mana > 50% glomeruli mempunyai lesi global. Segmental: bila lesi glomerulus
meliputi < 50% glomerula tuft
IV-S(A) Lesi aktif: Nefritis Lupus proliferatif segmental difus
15
IV-G(A) Lesi aktif: Nefritis Lupus proliferatif global difus
IV-S(A/C) Lesi aktif dan kronis: Nefritis Lupus proliferatif dan sklerosis segmental difus
IV-G(A/C) Lesi aktif dan kronis: Nefritis Lupus proliferatif dan sklerosis global difus
IV-S(C) Lesi inaktif kronis dengan jaringan parut (scars): Nefritis Lupus sklerosis segmental
difus
IV-G(C) Lesi inaktif kronis degan jaringan parut (scars): Nefritis Lupus sklerosis global difus
Klas V Nefritis Lupus membranosa
Deposit imun subepitel global atau segmental atau sequelae moefologi pada pemeriksaan
MC, IF, dan ME, dengan atau tanpa perubahan mesangial
NL klas V dapat terjadi dengan kombinasi dengan klas III atau IV
NL klas V dapat menunjukkan sklerosis lanjut
Pada beberapa keadaan diperlukan biopsi ulang pada pasien NL. Biopsi ulang
direkomendasikan bila terdapat:1
a. Sindrom nefrotik yang menetap, meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat
b. Sedimen urin aktif yang menetap (eritrosit, kristal eritrosit) meskipun telah diberikan
pengobatan yang adekuat, atau muncul kembali sedimen urin aktif setelah terjadi remisi
c. Hasil pemeriksaan serologi tetap aktif meskipun telah diberikan terapi induksi yang adekuat
d. Kreatinin serum yang meningkat
Pada laporan kasus, pasien sudah dilakukan biopsi ginjal dimana dari gambaran
histopatologi biopsi ginjal menunjukkan adanya glomerulonefritis proliferatif difus yang sesuai
dengan NL klas IVG (A/C). Hal ini sesuai dengan klasifikasi NL yang dibuat oleh ISN/RPS, dan
menjadi tegak diagnostik NL yang didukung oleh gambaran klinis pasien.
16
Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat seiring perjalanan
penyakitnya. Beberapa prediktor yang ditemukan pada saat pasien diketahui menderita NL
dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal, antara lain ras kulit hitam dan hispanik, hematokrit
< 26%, kreatinin serum > 2,4 mg/dL, kadar C3 < 76 mg/dL, adanya serebritis, dan NL klas IV.5
Pada laporan kasus ini, pasien seorang perempuan usia 38 tahun yang sudah didiagnosis
SLE sejak 2 tahun SMRS, masuk rawat inap dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak 2
minggu SMRS terutama pada ekstremitas bawah (pitting edema). Pemeriksaan fisik didapatkan
hipertensi, namun dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hipoalbuminemia. Urin lengkap
menunjukkan eritrosit 20-25/lpb, albumin 2+ dan Hb 2+ yang menandakan adanya proteinuriaa
dan hematuria, serta didapatkan adanya peningkatan PUK > 3 gr/24 jam, di mana hal ini sesuai
dengan temuan laboratorik dari NL. Pada pasien ini belum terjadi penurunan fungsi ginjal (Cr 1,1
mg/dL), namun hal ini bisa dikarenakan pengobatan yang sudah dilakukan secara dini sehingga
dapat mengontrol fungsi ginjal secara laboratorik. Meskipun demikian, tetap dibutuhkan evaluasi
secara berkala meliputi pemeriksaan fungsi ginjal serial.
17
buruk. Perlu pula diperhatikan efek samping obat yang timbul karena pengobatan NL memerlukan
waktu yang relatif lama.
Bila pasien tidak bersedia di biopsi atau belum memungkinkan untuk dibiopsi oleh karena
keadaan umumnya, atau tidak ada fasilitas untuk biopsi maka diperlukan suatu penilaian dari
gejala klinis, untuk menenutkan kemungkinan kelianan histopatologinya. Beberapa gejala klinis
yang dinilai adalah sebagai berikut:1
1. jumlah proteinuriaa
2. adanya hematuria
3. adanya sindrom nefrotik
4. gangguan fungsi ginjal
2. NL Klas II
Jika tidak disertai oleh proteinuriaa yang bermakna (> 1 g/24 jam) dan sedimen tidak aktif,
maka tidak diperlukan pengobatan yang spesifik.1
Jika disertai dengan proteinuriaa yang bermakna, titer anti-ds-DNA yang tinggi dan hematuri,
diberikan prednison dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg/hari selama 6-12 minggu. Kemudian dosis
diturunkan perlahan-lahan (5-10 mg) tiap 1-3 minggu dan dilakukan penyesuaian dosis untuk
menekan aktivitas lupus.1,5
18
Pulse Glukokortikoid
Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury, Rapidly Progressive
Glomerulonephritis, dan kelainan ekstra renal yang berat), dapat diberikan MP pulse dose
sebanyak 500-1000 mg IV/hari untuk menginduksi efek anti-inflamasi yang cepat. Setelah
3 hari pemberian, dilanjutkan dengan pemberian prednison dengan dosis 0.5-1.0 mg/hari.
Prednison dapat diberikan bersamaan dengan obat-obat imunosupresan lainnya.
Siklofosfamid
Siklofosfamid dapat diberikan dengan dosis 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan.
Diberikan bersama prednison dengan dosis 0,5 mg/kg/hari, yang kemudian diturunkan
perlahan-lahan sampai dosis 0,25 mg/kg/hari terutama untuk mengontrol gejala ekstra
renal
Azatioprin
Diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari, dikombinasikan dengan prednison 0,5 mg/kg/hari.
Dosis prednison kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai 0,25 mg/kg/hari. Untuk
terapi induksi, azatioprin dapat diberikan selama 6 bulan.
Rituximab
Merupakan suatu anti CD-20 yang bekerja pada limfosit B. Digunakan untuk menginduksi
remisi pada pasien NL yang berat, yang tidak memberikan respons dengan pemberian
siklofosfamid atau MMF. Meskipun hasil beberapa penelitian tidak menunjukkan
perbedaan bermakna, tetapi masih dimungkinkan pemberian rituximab pada pasien yang
resisten, mencegah flare, dan mengurangi jumlah atau dosis immunosupresan lain.
19
Regimen yang terdiri dari tacrolimus + MMF atau azitioprin + steroid disebut
imunosupresan multitarget.
Obat lain
Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi adalah:
Imunoglobulin
Siklosporin
Leflunomid
Antibodi monoklonal
Inhibitor komplemen
Pemakaian obat-obatan ini terbatas dan hasil pengobatan masih belum jelas.
b. Terapi Pemeliharaan
Tujuan terapi pemeliharaan adalah untuk mencegah relaps dan menekan aktivitas penyakit,
mencegah progresifisitas ke arah penyakit ginjal kronis, dan mencegah efek samping
pengobatan yang lama. Kortikosteroid merupakan komponen utama dalam terapi
pemeliharaan NL dan tidak ada studi klinis yang tidak menggunakan steroid dalam terapi
pemeliharaan. Dosis kortikosteroid dipertahankan seminimal mungkin, dimana dengan dosis
tersebut aktivitas lupus tetap terkontrol.5
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 0,75 gram IV setiap 3 bulan sampai 2 tahun. Saat ini
pemakaian siklofosfamid > 3-6 bulan sebaiknya dihindari karena efek siklofosfamid seperti
alopesia, sistitis hemoragika, kanker kandung kencing, kerusakan gonad, dan menopause yang
lebih awal.1
Terapi pemeliharaan lainnya yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:1
MMF, dosis diberikan sebanyak 1-2 gram sehari, sekurang-kurangnya selama 2
tahun
Azatioprin, diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari sekurang-kurangnya selama 2
tahun.
Siklosporin, diberikan dengan dosis 2-2,5 mg/kg/hari, selama 2 tahun
20
Rituximab, sebagai terapi aditif pada pengunaan dengan MMF atay siklofosfamid
iv
Abatacept, suatu modulator selektif sel T
Belimumab, suatu antibodi monoklonal yang mengikat stimulator limfosit B
soluble
ACTH, merupakan pilihan terapi yang potensial terutama ada NL klas V.
Untuk mengurangi efek samping siklofosfamid yang mungkin terjadi pada pemberian
untuk waktu yang lama, beberapa penelitian menganjurkan pemberian Azatioprin atau MMF
setelah induksi dengan siklofosfamid.5
4. NL Klas V
Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran NL klas V dengan klas III atau Klas
IV, maka terapi diberikan sesuai untuk terapi NL klas III dan IV.
Pada NL Klas V diberikan prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari selama 6-12 minggu.
Prednison kemudian diturunkan menjadi 10-15 mg/hari selama 1-2 tahun. Beberapa penelirian
mengkombinasikan prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin atau MMF.
Pengobatan optimal untuk NL Klas V belum jelas. Perjalanan klinis dan prognosisnya pun sangat
bervariasi, meskipun dari beberapa penelitian penggunaan MMF untuk terapi induksi dan
pemeliharaan sudah banyak dilaporkan.1
5. NL Klas VI
Pengobatan lebih ditujukan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan
fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat
fosfat, dan vitamin D.5
21
Mengontrol faktor risiko seperti dislipidemi dan hipertensi dengan target tekanan darah <
130/80 mmHg, kontrol gula darah dengan target HbA1C < 7%. Dapat pula diberikan
vitamin D.
Mengontrol efek samping obat, seperti terjadinya sindrom antifosfolipid, yaitu dengan
pemberian aspirin.
Monitoring respon pengobatan dapat dilihat dari berkurangnya gejala ekstra renal,
berkurangnyya aktivitas sedimen urin, berkurangnya proteinuria, membaiknya kadar C3,
C4 dan anti-ds DNA.
22
response (PRR) didefinisikan sebagai penurunan > 50% proteinuriaa dan nilai GFR yang normal
atau mendekati normal. Kondisi-kondisi ini harus dicapai setidaknya dalam 6 bulan dan sebaiknya
tidak melebihi 12 bulan sejak dimulainya terapi inisiasi atau induksi. Kebutuhan penggantian
terapi lini pertama (CYP atau MMF) direkomendasikan bagi pasien yang tidak menunjukkan
adanya perbaikan dalam 3-4 bulan sejak dimulainya terapi, atau pasien yang tidak mencapai PRR
dalam 6-12 bulan atau CRR dalam 2 tahun. Hal ini menjadi penting diperhatikan karena adanya
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pasien NL tipe proliferatif (klas IV) atau membranosa (klas
V) yang berhasil mencapai CRR memperlihatkan risiko yang lebih rendah untuk berkembang
menjadi end-stage renal disease (ESRD) dibandingkan pasien yang tidak.9 Adanya flare pada
kasus NL yang diindikasikan oleh adanya peningkatan proteinuriaa, kreatinin serum, dan sedimen
aktif pada urin atau penurunan creatinine clearance (CCT) juga dapat menjadi pertimbangan
dibutuhkannya terapi imunosupresi yang lebih agresif karena risiko berkembang menjadi ESRD
yang lebih tinggi.3,7,10
Saat pasien masuk rawat inap, pasien sedang dalam terapi steroid (MP) dosis 2x16 mg
sesuai dengan guideline NL klas IV yaitu prednison 1 mg/kgBB/hari atau sesuai dengan
methylprednisolon 64 mg. Pasien juga sudah diberikan MMF dengan dosis 2x1 g yang disesuaikan
dengan guideline EULAR dan ERA-EDTA untuk NL klas IVG. Yang menjadi permasalahan
adalah pasien telah dinyatakan SLE sejak 2 tahun SMRS. Didapatkan data protein urin kuantitatif
(PUK) dalam 24 jam yang pertama kali diketahui adalah 14.126 mg/24 jam yang berdasarkan data
rekam medis pasien menjadi dasar dimulainya pemberian steroid methylprednisolon (MP) 2x16
mg. Pasien tegak diagnosis NL klas IV berdasarkan hasil biopsi ginjal dan sudah mulai
mendapatkan terapi MMF sejak 4 bulan sebelum tegak diagnosis, bersamaan dengan tetap
diberikannya steroid MN. Sepanjang perjalan terapi, kondisi PUK pasien mengalami peningkatan
dan penurunan, namun tidak pernah mencapai penurunan > 50% dalam 6 bulan sesuai dengan
definisi PRR yang dikeluarkan oleh EULAR dan ERA-EDTA dan menjadi dasar ditegakkannya
diagnosis NL refrakter. Pemberian MMF sempat dihentikan dikarenakan terdapat fokus infeksi
yaitu TB paru, dan setelah mendapat OAT 2 bulan, pasien kembali diberikan MMF 2x1g. Untuk
tatalaksana farmakologi lainnya, pasien ini juga memiliki hipertensi yang sudah diberikan
golongan ARB (valsartan), sesuai dengan guideline, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
23
proteinuriaa sekaligus mengontrol tekanan darah pasien. Pasien juga diberikan pola diet asupan
dengan jumlah protein 45g/hari (0.7 g X 65 kg/hari).
Tidak tercapainya target remisi pada NL dapat menjadi pertimbangan untuk beralih pada
agen terapi alternatif lainnya. Sebagai contoh, apabila pasien telah mendapat terapi lini pertama
MMF dan tidak terlihat adanya remisi, terapi dapat dialihkan menjadi CYP, dan begitu juga
sebaliknya.7 Pilihan terapi lain berikut ini juga dapat dipertimbangkan sebagai terapi alternatif
pada kasus-kasus NL refrakter.
1. Inhibitor Kalsineurin
Siklosporin (Cyclosporine atau CsA) merupakan suatu prodrug yang apabila telah berikatan
dengan reseptor cyclophyllin di sitoplasma kemudian akan berikatan dengan calcineurin, dan
mempengaruhi produksi IL-2, dimana akan mempengaruhi aktivasi sel-T yang berikutnya
akan mempengaruhi produksi sitokin. Terapi ini juga akan menyebabkan terhentinya siklus
sel pada fase G0-G1 yang dapat mengakibatkan terganggunya proliferasi sel-T. Selain itu obat
ini juga dapat menstabilkan rangka aktin dari podosit yang berdampak pada berkurangnya
proteinuriaa. Berdasarkan studi-studi yang ada, obat ini terbukti cukup berhasil dipergunakan
sebagai terapi alternatif pada NL refrakter. Sebuah studi yang melibatkan 18 pasien dengan
NL tipe proliferatif menunjukkan pemberian CsA dengan dosis 5 mg/kg/hari menggantikan
terapi lini pertama NL memperlihatkan adanya perbaikan proteinuriaa serta fungsi ginjal dan
mampu menurunkan dosis kortikosteroid yang sedang digunakan. Sementara itu studi lain
yang membandingkan antara pemberian CYP dengan CsA sebagai terapi induksi
memperlihatkan efektivitas kedua obat yang kurang lebih sama.3,7
2. Leflunomide
Obat yang saat ini sering digunakan sebagai terapi modifikasi penyakit pada artritis rematoid
ini menunjukkan efektivitas yang cukup baik pada NL refrakter yang tidak toleran pada terapi
standar lini pertama. Sebuah studi yang melibatkan 19 pasien NL dimana 12 di antaranya
refrakter terhadap CYP kemudian diberikan leflunomide dosis awal (loading dose) yaitu 100
mg/hari selama 3 hari diikuti dengan dosis 20 mg/hari selama rerata 52 minggu menunjukkan
bahwa 17 dari pasien-pasien NL tersebut memperlihatkan adanya CRR pada 5 pasien, dan
PRR pada 8 pasien.7,11
24
3. Imunoglobulin IV
Suatu studi RCT menunjukkan bahwa pemberian Imunoglobulin intravena dengan dosis 400
mg/kg setiap bulan selama 18 bulan menunjukkan hasil yang kurang lebih sama efektifnya
dengan pemberian CYP pulse dose (dosis 1 gram/m2 setiap 2 bulan selama 6 bulan dilanjutkan
setiap 4 bulan selama 1 tahun) sebagai terapi pemeliharaan pada pasien dengan NL tipe
proliferatif yang refrakter terhadap lini pertama.3,7
4. Terapi Sel-B
Berbagai agen biologis yang diharapkan dapat digunakan sebagai terapi alternatif pada NL
refrakter saat ini telah banyak diteliti. Salah satu agen ini adalah terapi sel-B langsung (B-cell
directed thrapies). Sel B dianggap sebagai fokus penting dalam patogenesis terjadinya NL.
Sel ini dapat memproduksi autoantibodi patogen yang bertugas sebagai antigen presenting
cells terhadap sel-T yang bersifat autoreaktif, mengakibatkan terstimulasinya aktivasi sel-T
yang kemudian akan memproduksi berbagai sitokin inflamasi antara lain IL-6 dan TNF-ɑ.
Agen biologi ini antara lain bekerja dengan mendeplesi sel-B, menghambat aktivasi sel-B, dan
mengganggu kelangsungan hidup sel-B dan sel plasma. Agen yang bekerja dengan
mendeplesi sel-B antara lain adalah Rituximab yang merupakan antibodi monoklonal
perpaduan tikus-manusia yang bekerja langsung dalam menyerang molekul permukaan CD20
pada sel-B.7
25
NL Proliferatif (Klas III/IV) NL Membranosa (Klas V)
RESISTEN RESISTEN
Ganti CYP +
Ganti MMF +
kortikosteroid Ganti CYP + Tambahkan/ganti
kortikosteroid
atau kortikosteroid menjadi CsA
atau
Tambahkan/ganti
Ganti menjadi CsA
menjadi CsA
RESISTEN RESISTEN
26
Terdapat banyak faktor yang dapat menentukan prognosis dari NL. Faktor risiko individual
umumnya sangat heterogen dan sangat bervariasi, serta dapat mempengaruhi dampak keseluruhan
yang dapat ditimbulkan. Adanya kondisi klinis lain yang menyertai seperti adanya sindrom
nefrotik, azotemia, ditemukkan antibodi antifosfolipid, indeksi aktivitas lupus yang tinggi, adanya
gambaran perubahan histopatologi kronis, NL klas III, klas IV, ataupun kombinasi klas IV/V
mengindikasikan prognosis NL yang lebih buruk berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan.
Studi Euro-Lupus yang melibatkan follow up jangka panjang menunjukkan bahwa respon awal
terapi yang didefinisikan sebagai tercapainya penurunan kreatinin serum < 1 gram/24 jam dalam
6 bulan merupakan prediktor survival jangka panjang yang baik. Angka kesintasan selama 10
tahun ditemukan lebih baik pada pasien yang mencapai CRR (95%) atau PRR (76%) dibandingkan
dengan pasien yang tidak mencapai baik CRR maupun PRR (45%). Hasil lain menunjukkan bahwa
kegagalan mencapai CRR dalam 6 bulan dapat dikaitkan dengan terjadinya ESRD jangka
panjang.7
27
BAB IV
KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa penegakkan diagnosis dari
Nefritis Lupus refrakter serta tatalaksananya tidaklah mudah. Dibutuhkan kerjasama yang baik
antara tim multidisiplin dan dibutuhkan kerjasama yang baik antara dokter dengan pasien beserta
keluarga agar tatalaksana tercapai atau penyakitnya terkendali dan terpantau. Untuk tatalaksana
NL refrakter juga dibutuhkan dari segi non farmakologis disamping farmakologis. Dengan adanya
laporan kasus ini, diharapkan tim medis dapat lebih terbuka terhadap tingginya kemungkinan
terjadinya NL refrakter, sehingga tatalaksana yang diberikan dapat lebih terarah.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Dharmeizar, Bawazir LA. Diagnosis dan Penatalaksanaan Nefritis Lupus. In: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publishing; 2015. p. 3380–5.
4. Petri M, Orbai AM, Alarcón GS, et al. Derivation and validation of the Systemic Lupus
International Collaborating Clinics classification criteria for systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheumatol. 2012;64(8):2677.
6. Weening JJ, D’Agati VD, Schwartz MM, Seshan S V., Alpers CE, Appel GB, et al. The
classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. Kidney Int.
2004;65(2):521–30.
8. Liang MH, Schur PH, Fortin P, St.Clair EW, Balow JE, Costenbader K, et al. The
American college of rheumatology response criteria for proliferative and membranous
renal disease in systemic lupus erythematosus clinical trials. Arthritis Rheum [Internet].
2006;54(2):421–32. Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/art.21625
9. Touma Z, Urowitz MB, Ibanez D, Gladman DD. Time to Recovery from Proteinuria in
Patients with Lupus Nephritis Receiving Standard Treatment. J Rheumatol.
29
2014;41(4):688–97.
10. Chen YE, Korbert SM, Katz RS, Schwartz MM, Lewis EJ, Roberts JL, et al. Value of a
complete or partial remission in severe lupus nephritis. Clin J Am Soc Nephrol.
2008;3(1):46–53.
11. Tam L, Li E, Wong C, Lam C, Li W, Szeto C. Safety and efficacy of leflunomide in the
treatment of lupus nephritis refractory or intolerant to traditional immunosuppressive
therapy: an open label trial. Ann Rheumatol Dis. 2006;65(3).
30