Anda di halaman 1dari 28

ANESTESI SPINAL PADA OPERASI RAWAT JALAN

PENDAHULUAN

Pembedahan rawat jalan dimulai sejak abad ke 19 oleh James Nicoll

seorang ahli bedah di Glassgow yang melakukan hampir 9000 operasi rawat jalan

pada anak pada tahun 1903. Sementara anestesi spinal pertama kali tercatat

dilakukan oleh Essex Wynter tahun 1891, diikuti 6 bulan setelahnya oleh Heinrich

Quincke. Augustus Karl Gustav Bier, seorang ahli bedah asal Jerman

menggunakan kokain intratekal pada enam pasien yang menjalani pembedahan

ekstremitas bawah tahun 1898. Dudley Tait dan Guido Caglieri melakukan

anestesi spinal pertama kali di San Fransisco, Amerika Serikat pada tahun 1899,

penelitian mereka menggunakan kadaver, hewan coba, dan pasien untuk

menentukan keuntungan pungsi lumbal dalam pengobatan sifilis. Theodore

Tuffier, seorang ahli bedah Perancis, merupakan mentor Tait, meneliti anestesi

spinal di tahun 1909. Tuffier kemudian mempopulerkan anestesi spinal di Eropa.

Arthur Barker ditahun 1907, menerangkan tentang perlunya sterilitas, dan

mudahnya teknik median dibanding paramedian, hal ini semakin mempopulerkan

anestesi spinal dan mengobservasi kurangnya kejadian penurunan tekanan darah

setelah injeksi. Komplikasi postdural puncture headache (PDPH), diteliti oleh

Bier, percobaan ini kemudian dilanjutkan oleh dr. Otto Hildebrandt, karena Bier

tidak dapat melanjutkan akibat menderita PDPH, setelah injeksi kokain ke dalam

ruang spinal, Bier melakukan percobaan pada Hildebrandt, tusukan jarum pada

1
ekstremitas bawah, disulut rokok, insisi pada paha, avulsi pada rambut pubis,

torsio pada testis, Hildebrandt melaporkan sangat minimal sampai tidak ada nyeri

selama percobaan, tapi setelahnya, dia menderita mual dan muntah, PDPH, rasa

keram dan panas pada kedua kaki. Bier mengungkapkan, PDPH terjadi akibat

berkurangnya CSF dan mengusulkan penggunaan jarum ukuran kecil akan

mencegah terjadinya nyeri kepala. Herbert Greene menyadari berkurangnya CSF

adalah masalah besar dalam anestesi spinal, dan mengembangkan jarum spinal

26G dengan ujung halus lumen lebih kecil, jarum Green sangat popular sampai

diperkenalkannya jarum Whitacre.1 Saat ini penggunaan jarum yang lebih halus ≥

25G, dengan ujung bulat atau sehalus ujung pensil (Sprotte, Whitacre, Pencan)

mengurangi insiden terjadinya PDPH, dan nyeri kepala jika terjadi umumnya

ringan dan dapat sembuh sendiri. Hal ini, menyebabkan pemilihan anestesi spinal

pada pasien rawat jalan tidak perlu dihindari.2

Pada awalnya pembedahan rawat jalan untuk pasien dengan kesehatan

yang baik, tipe pembedahan terbatas untuk prosedur yang sederhana dan durasi

yang singkat. Sekarang ini, pasien yang mempunyai kondisi-kondisi medis

penting atau mempunyai faktor yang meningkatkan resiko kesulitan dari segi

anestesinya seperti kegemukan, perokok, dipertimbangkan untuk pembedahan

rawat jalan. Pasien dengan komplikasi penyakit seperti penyakit gula, penyakit

jantung, atau hipertensi tidak terkontrol juga dipertimbangkan. Angka

pembedahan rawat jalan di Amerika Serikat meningkat sejak 20 tahun yang lalu.3

Di Amerika Serikat sampai 90 % prosedur pembedahan dilakukan sebagai rawat

2
jalan.4,5 Di Amerika Utara pada tahun 1990an pembedahan rawat jalan yang

dilkakukan 60 – 70 % dari seluruh pembedahan6

Banyak teknik anestesi telah digunakan pada operasi minor pasien rawat

jalan, mulai dari lokal anestesi, lokal anestesi dengan monitoring anestesi care

(MAC), total intravena anestesi (TIVA), dan anestesi inhalasi, yang kesemuanya

berhasil untuk operasi anal, hernia, operasi ortopedi minor.7 Prosedur

pembedahan mayor rawat jalan (rekonstruksi lutut dan bahu,vaginal histerektomi

dengan bantuan laparoskopi, fundoplikasi gaster, splenektomi dan adrenalektomi )

dilakukan dibanyak senter. Bahkan pulmonary lobektomi, prostatektomi, karotis

endarterektomi, dan prosedur kraniektomi minor dilakukan dengan prosedur rawat

jalan. Kemajuan utamanya dalam teknik anestesi termasuk penggunaan obat –

obat anestesi kerja singkat dan peningkatan penggunaan teknik regional anestesi.

Dengan ini diharapkan bahwa jumlah, macam, dan kompleksitas dari pembedahan

dilakukan dengan rawat jalan akan terus meningkat.8

KEUNTUNGAN ANESTESI SPINAL PADA PEMBEDAHAN RAWAT

JALAN

Pasien tetap sadar penuh, lebih nyaman, keberhasilan lebih tinggi

dibanding perifer nerve blok, insiden mual muntah pasca bedah juga rendah bila

dibandingkan anestesi umum. Pada kasus pasien menjalani total hip replacement

(THR) anestesi spinal telah menunjukkan berkurangnya angka terjadinya DVT,

penyakit tromboembolik, dan perdarahan. secara teknik anestesi neuroaksial blok

3
pun lebih mudah dkerjakan, dengan penggunaan agen anestesi lokal yang sesuai

maka, anestesi spinal onsetnya cepat dan pulih dari pengaruh obat pun lebih cepat.

Saat ini, sangat banyak pasien meminta tetap sadar selama prosedur

pembedahan berlangsung. Dan tingginya keberhasilan anestesi spinal memberikan

kepuasan pada pasien baik intra operasi dan analgesia pasca bedah tanpa

penggunaan agen hipnotik sedatif.7 Apabila dibandingkan dengan pembedahan

rawat inap keuntungan dari melakukan operasi yang sama pada rawat jalan secara

teori adalah : 8,910

1. Menurunkan biaya dokter

2. Meningkatkan ketersediaan tempat tidur untuk pasien yang memerlukan

opname

3. Mencegah infeksi nosokomial

4. Mencegah kekacauan keluarga dengan opname.

5. Kemampuan untuk merehabilitasi segera setelah pembedahan rawat jalan,

segera dapat bekerja kembali dengan pasien cepat kembali keaktifitas

hariannya

6. Berkurangnya komplikasi pembedahan dan anestesi serta mengurangi

ketidakmampuan fisik dan mental

7. Memberikan penghematan biaya yang lebih

4
PEMILIHAN ANESTESI SPINAL PADA PEMBEDAHAN RAWAT

JALAN

Dengan tersedianya agen anestetik umum kerja singkat seperti propofol,

sevofluran, desfluran, yang semuanya secara klinis pemulihannya lebih cepat.

Agen anestesi lokal ditambahkan agen sedatif kerja singkat juga dapat menjadi

pilihan untuk pasien rawat jalan. Waktu keluar dari kamar operasi lebih cepat

pada pasien yang dianestesi lokal suplementasi sedasi dibandingkan spinal dan

anestesi umum untuk herniorafi (spinal bupivacaine 9 – 11 mg dengan fentanyl),11

dan pembedahan anorektal (spinal lidokain 30 mg dengan fentanyl).12 Suatu

penelitian acak menemukan tidak ada perbedaan waktu keluar dari kamar operasi

antara pasien yang menjalani anestesi spinal lidokain 50 mg dibandingkan dengan

propofol-fentanyl-isofluran anestesi umum dengan laryngeal mask airway.13

Pemilihan pasien adalah kunci keberhasilan pembedahan rawat jalan.

Pemilihan bukan sekedar memilih pasien dengan kondisi yang dapat ditangani

dengan rawat jalan tetapi juga melibatkan pasien – pasien yang tidak cocok

dengan alasan medis dan sosial.14

Kriteria ekslusi untuk pemilihan pasien yang akan menjalani pembedahan

rawat jalan adalah 14 :

1. Medis

a. ASA IV dan ASA III yang tidak layak

b. Obese : BMI > 35

5
c. Kelainan bawaan seperti hernia skrotalis yang besar, pembedahan

intratorasik, intraabdominal dan intra kranial yang besar.

d. Prosedur yang memerlukan waktu lebih dari 1 jam

e. Pembedahan yang diperkirakan mempunyai kehilangan cairan atau

darah yang besar.

2. Pasien.

a. Pasien tidak setuju dengan konsep pembedahan rawat jalan.

b. Secara psikologi tidak stabil.

c. Jika pasien tinggal jauh dari rumah sakit.

3. Sosial

a. Tidak ada keluarga atau teman yang berkompeten untuk menemani

atau membawa pasien kerumahnya setelah operasi.

b. Memelihara atau menemaninya dirumah untuk 24- 48 jam selanjutnya.

Kriteria eksklusi yang masih kontroversial yaitu 14:

a. Morbid obesitas

b. Significant sleep apnea

c. Fragile diabetes

d. COPD

e. Severe asma

f. Significant epilepsy

g. Pasien yang mudah terjadi malignat hipertermia.

h. Penyalahgunaan alkohol.

6
Status fisik mempunyai peranan penting dalam pemilihan pasien. Sebagian

besar pasien seharusnya kelompok ASA I dan ASA II . Tetapi pasien ASA III

dengan keadaan medis stabil selama 3 bulan dapat diterima dengan kesepakatan

ahli bedah dan anestesi.15 Perkiraan lama operasi juga merupakan satu faktor

penting dari pemilihan pasien. Federation of Ambulatory Surgery Association

(FASA) berkesimpulan bahwa insiden komplikasi berhubungan dengan lama

operasi dan anestesi. Pada operasi kurang dari 1 jam angka komplikasi adalah 1

dari 55 pasien.14

Prosedur pembedahan yang biasanya menggunakan anestesi spinal untuk kasus


rawat jalan 10:

1. Gynaecology
a. Dilatasi dan kuretase
b. Terminasi vaginal kehamilan
c. Kolposkopi
d. Ligasi tuba/tubektomi

2. Urologi
a. Cystoskopi
b. Sirkumsisi
c. Vasektomi
d. Reseksi kandung kemih transurethral

3. Ortopedi
a. Arthroskopi lutut
b. Pengangkatan ganglion ektremitas bawah
c. Pengangkatan alat metal ekstremitas bawah

7
4. Bedah umum
a. Hernia
b. Varicose vena scrotalis
c. Endoskopi rectal
d. Hemoroidektomi
e. Dilatasi fissure ani.

EVALUASI PRE ANESTESI

Seorang pasien resiko rendah, asimptomatik tidak membutuhkan

serangkaian tes skrining kecuali jika riwayat medis atau pemeriksaan fisik

mendukung. Pada dewasa diatas 40 tahun pemeriksaan EKG juga dibutuhkan.

Pada pasien yang lebih tua, foto dada, kadar glukosa darah sangat

direkomendasikan.14

Tabel 1 Pemeriksaan pra bedah untuk pasien yang akan menjalani operasi rawat-
jalan.15
Urinalisis Semua pasien

EKG Pasien berusia di atas 60 tahun atau ada


indikasi klinik

Hitung darah Jika dicurigai anemia


lengkap

Kreatinin dan Pasien yang sedang mendapat diuretik


elektrolit atau mungkin mengidap penyakit ginjal

Glukosa Semua pasien diabetes


darah

Tes sabit Semua pasien kulit hitam yang tidak


mengetahui status sabit mereka

Tes Bilamana ada kemungkinan hamil


kehamilan

8
Skrining sebelum operasi akan mengidentifikasi masalah – masalah medis

pasien dan memberikan diagnosa yang tepat dan langkah- langkah terapi,

mengajarkan pasien mengenai keperluan yang harus diikuti sebelum pembedahan,

seperti berpantang dari makanan dan minuman dan memakai pakaian yang tepat,

mengajarkan pasien mengenai kebutuhan transportasi setelah prosedur,

identifikasi pasien yang bergantung persoalan perawatan setelah prosedur, nasehat

kepada pasien tentang cara perawatan pasca bedah yang baik, serta memiliki alat

komunikasi sehingga setiap saat dapat menghubungi dokternya dan dokter harus

segera merespon.5

Evaluasi yang tepat dan optimalisasi penyakit mengurangi penundaan dan

pembatalan, identifikasi komplikasi yang dapat dihindari dan akhirnya

memperbaiki hasil.5

Larangan Terhadap Makanan dan Cairan Sebelum Operasi Berjalan16

1. Untuk mengurangi resiko pneumonitis dan gangguan saluran nafas yang

akan menimbulkan aspirasi, pasien secara rutin dianjurkan untuk tidak

mengkonsumsi makanan padat paling sedikit 6 sampai 8 jam sebelum

operasi. Memperpanjang puasa dapat menjadi gangguan.

2. Pedoman praktis yang dipublikasikan oleh American Society of

Anesthesiologists menganjurkan makanan ringan yaitu 6 jam prabedah untuk

tindakan elektif. Pedoman tersebut mendukung adanya puasa yang bertujuan

untuk membersihkan cairan selama 2 jam.

9
a. Kopi adalah zat yang tidak transparan tetapi bebas dari bahan-bahan dari

partikel. Dan diterima sebagai cairan yang bersih (ingesti sebelum operasi

dapat menyediakan coffeine yang dapat menghilangkan sakit kepala)

b. Pasien dapat minum obat mereka diatas 2 jam sebelum operasi.

PREMEDIKASI

Tujuan premedikasi pada pembedahan rawat jalan adalah : menghilangkan

kecemasan, sedasi, vagolitik, analgesia, pencegahan pneumonia aspirasi, dan mual

muntah pasca bedah.14 Midazolam adalah benzodiazepine yang paling sering

digunakan pra bedah. Dapat digunakan secara intravena dan oral. Pada orang

dewasa, midazolam digunakan untuk mengontrol kecemasan pra bedah, juga

dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan obat lain selama prosedur dengan

sedasi intravena5

Sedasi pra bedah tidak dibutuhkan untuk setiap pasien. Untuk pasien yang

ditemui paling tidak 24 jam sebelum jadwal operasi dan kelihatan butuh obat

penghilang cemas atau cemas yang tidak hilang dengan dihibur, diazepam 2- 5 mg

oral diberikan pada malam sebelum operasi dan jam 06:00 pagi pada hari operasi.5

Untuk pasien ditemui untuk pertama kali di ruang preoperatif yang kelihatannya

membutuhkan obat, midazolam 0,03 mg/kgBB diberikan secara IV atau pasien

dibawa masuk keruang operasi dengan propofol 0,7 mg/kg diberikan secara IV

juga terbukti hasilnya cukup baik.17

10
Untuk mengontrol resiko aspirasi pada pasien dengan resiko lebih tinggi

untuk aspirasi seperti wanita hamil, pasien morbid obes, dapat digunakan H2

reseptor antagonis seperti cimetidin dan ranitidine, omeprazol , sodium sitrat, atau

metoclopramide.18

TEKNIK ANESTESI SPINAL RAWAT JALAN

Jarum yang dengan ujung setipis pensil (pencil-points) berhubungan

dengan redahnya insidens PDPH dibanding dengan jarum (cutting tips). Secara

umum, jarum yang halus memang mengurangi kejadian PDPH. Tapi, hubungan

antara lumen jarum (gauge) dan kejadian PDPH tidak lah sejalan. Jarum yang

sangat halus bisa menyebabkan kita lebih sulit dan angka kegagalannya juga

besar. Banyak ahli menyatakan jarum ≥ 25G, kejadian PDPH berkurang.19 Pittoni

dkk, membandingkan antara jarum spinal 22G dan 25G sprotte pada 234 pasien

yang menjalani operasi elektif artroskopi lutut rawat jalan. Insiden PDPH 0,9% (1

dari 117 pasien) untuk kelompok yang menggunakan jarum spinal 22G, dan

insiden PDPH 0% pada kelompok yang menggunakan jarum spinal 25G.7

Dosis rendah anestetik lokal dengan adjuvant fentanyl menghasilkan blok

kerja singkat dan kualitas blok yang baik. Disarankan injeksi dengan cepat pada

posisi duduk, dengan penyebaran kearah sefalad dengan tujuan blok nya cukup

tinggi. Injeksi lambat, terutama dengan volume kecil larutan hiperbarik umumnya

menghasilkan blok yang rendah dan tidak adekuat. Orientasi jarum pun harus

searah dengan ketinggian dermatom daerah operasi yang akan di blok.19

11
Dua teknik dosis rendah khusus unilateral dan selektif spinal anestesia

telah dilakukan, meskipun keduanya saling melengkapi. Dalam beberapa

penelitian teknik spinal anestesia dosis rendah hanya mengurangi dosis anestesi

tanpa ada usaha khusus membatasi penyebaran spinal. Istilah unilateral spinal

anestesia sering digunakan untuk menunjukkan satu sisi blok dengan tidak adanya

blok sensorik dan motorik pada sisi yang tidak dioperasi. Dosis rendah, volume

kecil, aliran rendah penting didalam induksi dari unilateral spinal anestesia. Posisi

dari pasien (lateral dekubitus) dengan barisitas dari lokal anestesi adalah faktor

penentu utama distribusi akhir blok spinal. Mempertahankan posisi lateral

dekubitus selama 10 menit menghasilkan unilateral blok pada 87 – 100% pasien

ketika menggunakan dosis rendah bupivakain (3-4 mg), selama dengan teknik

injeksi yang tepat dengan aliran lambat (0,4 ml/menit) dengan bevel jarum

diarahkan langsung kearah saraf yang terlibat. Untuk unilateral blok, pengurangan

dosis dari obat kerja lama seperti bupivakain atau ropivakain cocok, sedangkan

penggunaan obat kerja singkat hiperbarik seperti lidokain tidak dianjurkan karena

tingginya resiko transient neurological symptoms (TNSs). Pada selektif spinal

anestesi, menggunakan dosis kecil obat intratekal, sehingga hanya serabut saraf

yang mengsuplai daerah khusus dan hanya modalitas yang dibutuhkan untuk

dianestesi yang terpengaruh. Selektif spinal anestesi dapat berupa bilateral atau

unilateral tergantung pada tipe prosedur bedah. Selektif sensorik bilateral blok

untuk bedah ano-rektal telah dicapai dengan menjaga pasien dalam posisi duduk

selama 10 menit setelah injeksi lambat bupivakain hiperbarik 4-5 mg.20

12
Beberapa adjuvant yang umum dipakai seperti, fentanyl, meperidine,

clonidine, epinefrin. Penambahan fentanyl menghasilkan densitas blok sensoris

dan motoris adekuat, dan juga meningkatkan durasi blok. Selain itu, penambahan

fentanyl memberikan efek analgesia pasca bedah sampai 4 jam setelah semua

tanda blok motoris hilang. Penambahan fentanyl juga menurunkan dosis anestetik

lokal sehingga insidensi efek samping anestetik juga akan berkurang.20

Meperidine memberikan efek analgesia pasca bedah yang lebih lama . efek

samping termasuk mual dan muntah, hipotensi, pruritus dan retensi urine pernah

dilaporkan, blok motorik seringkali sangat kurang bahkan tidak ada. Depresi

napas sangat mungkin terjadi dengan meperidine neuroaxial. Beberapa alasan ini

akhirnya banyak ahli tidak merekomendasikan penggunaan meperidine dan opioid

kerja panjang diberikan untuk pasien rawat jalan.20

Clonidine juga sering diberikan sebagai adjuvant anestesi spinal,

kombinasi bupivakain 6 mg dan clonidine 0,15 atau 0,30 mcg untuk operasi

hernia. Semua pasien kelompok bupivacaine adjuvant clonidine merasa puas

dengan anestesi spinal, dibandingkan dengan pada kelompok bupivacaine,

meskipun MAP lebih rendah pada kelompok yang menerima clonidine, tidak

satupun mendapatkan terapi, efek blok berlangsung sekitar 360 menit. Pemberian

clonidine dengan dosis besar akan meningkatkan waktu pemulihan, tekanan darah

turun, dan efek sedasi.21

Epinefrin intratekal yang ditambahkan pada anestetik lokal juga

memperpanjang blok, juga waktu pemulihan, penambahan epinefrin 200 mcg

13
pada bupivacaine 7,5 mg meningkatkan toleransi terhadap nyeri tourniket sekitar

30 menit, tapi memperpanjang waktu keluar dari kamar operasi sampai 48 menit.7

KOMPLIKASI 19,22

1. Kegagalan anestesi spinal

Anestesi spinal diklasifikasikan gagal bila operasi pembedahan tidak

dapat dilakukan tanpa penambahan anestesi umum atau regional blok. Spinal

anestesi yang gagal, merupakan komplikasi paling memalukan bagi ahli

anestesi dan juga bagi pasien. Karena bila dibandingkan dengan teknik

anestesi regional yang lain anestesi spinal jauh lebih mudah dengan melihat

aliran CSF saat insersi jarum spinal yang tepat. Meskipun demikian, tetap ada

potensi untuk gagal. Pada suatu penelitian didapatkan tingkat kegagalan

anestesi spinal bisa mencapai 3 sampai 17%. Insersi jarum spinal mungkin

sulit bila ada kelainan anatomi, obesitas, kerjasama pasien rendah, atau adanya

pengalaman pasien nyeri saat tindakan. Untuk menghindari gagalnya spinal

anestesi, maka dianjurkan untuk memilih pasien yang tepat, waktu, dan

tentunya juga tak lepas dari skill ahli anestesi sendiri. Penilaian klinik dan

juga kooperasi dari pasien sangat penting untuk mencegah komplikasi dari

multiple insersi jarum spinal.

14
2. Komplikasi hemodinamik

Efek samping kardiovasculer sering terjadi selama anestesi spinal,

Hipotensi adalah yang paling sering. Dilaporkan insiden anestesi spinal dari

0% samapi 5% pada pasien tidak hamil. Wanita hamil lebih gampang terjadi

hipotensi insidennya bisa meningkat sampai 90%. Hipotensi akibat spinal

dikategorikan bila tekanan darah sistolik turun kurang dari 85-90 mmHg atau

penurunan lebih 25 – 30% dari tekanan darah preanestesi. Hipotensi terjadi

karena blok simpatetik preganglionik. Sistemik vaskuler resisten menurun

menyebabkan tonus simpatis dari sirkulasi arteri. Beberapa penjelasan yang

lain yaitu :

1) Depresi langsung pada sirkulasi akibat anestetik local

2) Insufisiensi adrenal relative

3) Paralisis otot skeletal

4) Blok vasomotor medulla ascendens

5) Insufisiensi repirasi mekanik.

Pada pasien hamil hipotensi dapat terjadi akbiat uterus gravid menyebabkan

kompressi aortocaval, faktor resiko yang lain pada orangtua bila ketinggian blok

melebihi atau sama dengan Th5, dan pasien yang menjalani kombinasi spinal dan

epidural anestesi.

Bradikardi dapat terjadi karena hilangnya input simpatetik pada jantung,

vagal refleks, menurunnya preload kardiak selama anestesi spinal. Usia muda dan

pasien dengan blok lebih dari Th6 sangat mungkin terjadi bradikardi. Denyut

jantung sebaiknya dijaga tidak kurang dari 60 x/menit dan perlu diperhatikan pula

15
bila pasien mendapatkan terapi beta adrenergic bloker juga menjadi faktor resiko

terjadinya bradikardi. Menurunya aliran balik vena ke jantung juga menurunkan

tegangan pada jantung kanan sehingga menyebabkan berkurang denyut jantung

(Bainbridge refleks), juga kadang suatu refleks Bezold-Jarish dapat terjadi

walaupun jarang tapi bisa menyebabkan bradikardi yang hebat sampai asistole.

Mekanisme penyebab yang lain termasuk sedasi yang berlebihan, disfungsi

autonomik, blok jantung, reaksi vasovagal, atau juga sidrom jantung atletik.

Penanganan dan pencegahan hipovolemia relatif dapat diberikan

preloading atau coloading kristaloid atau koloid. Obat simpatomimetik untuk

pencegahan dan terapi hipotensi yaitu efedrin (kombinasi alfa dan beta, dengan

predominan efek beta adrenergic) dan etilefrine (kombinasi alfa dan efek beta).

Methoxamine dan fenilefrin (alfa adrenergic agonis murni) Stimulasi jantung

untuk terapi bradikardi dapat diberikan atropine. Mual dan muntah selama

prosedur spinal anestesi berhubungan dengan hipotensi, karenanya terapi pada

hipotensi tidak memerlukan terapi spesifik pada terjadinya mual dan muntah. Pada

pasien wanita blok spinal lebih dari Th6 dapat menjadi resiko terjadinya mual

muntah selama prosedur anestesi spinal. Dilaporkan bahwa insiden hipotensi

berkurang sampai 2,5 % bila menggunakan agen bupivacaine 5 mg kombinasi

fentanyl 10 mcg. Karena itu dianjurkan kombinasi ini dapat diberikan pada

anestesi spinal rawat jalan terutama bila ada penyakit kardiovaskuler.

Cardiac arrest pada anestesi spinal dilaporkan insidensnya antara 2,5 –

6,4 per 10.000 pasien yang menjalani anestesi spinal. Cardiac arrest mungkin

16
terjadi akibat perdarahan yang signifikan atau penempatan semen selama

operasi ortopedi.

3. Retensi urine

Retensi urine dapat terjadi akibat beberapa faktor termasuk trauma

pembedahan pada nervus pelvis atau pada vesica urinaria, overdistensi dari

vesica urinaria akibat pemberian cairan berlebihan, edema sekitar bladder

neck, nyeri atau cemas yang menginduksi spasme spinkter internus. Setelah

pemberian anestesi spinal dengan bupivacaine, refleks miksi dapat kembali

cepat, karena dalam waktu 7 sampai 8 jam setelah injeksi spinal kontraksi otot

detrusor kembali normal. Resiko retensi urine sangat rendah pada pasien yang

menggunakan bupivacaine < 7 mg, umur dibawah 70 tahun, tidak ada riwayar

sulit miksi, dan bukan menjalani operasi hernia, rectal, atau urologi.

4. Transient neurologik symptoms (TNS)

Radiculopati, rusaknya akar saraf dapat terjadi selama identifikasi atau

insersi jarum spinal, parsethesia dengan atau tanpa kelemahan, meskipun

banyak pasien yang sembuh dengan sendiri tapi ada pasien yang menderita

permanen. Walaupun komplikasi neurologik dapat terjadi setelah anestesi

spinal, tapi ada beberapa yang membutuhkan waktu satu hari sampai beberapa

minggu untuk penyembuhan. Bila terjadi disfungsi neurologic harus segera di

deteksi dan dilakukan intervensi agar pemulihan sempurna kelainan

neurologic dapat dicapai. Untuk itu diperlukan data tentang teknik anestesi

17
spinal, level dari insersi jarum spinal, tipe jarum, dan larutan anestetik lokal.

Untuk mencegah terjadinya trauma pada nervus teknik yang akurat dan

pengetahuan anatomi sangat penting.

Backache, nyeri punggung juga sangat sering dikeluhkan dengan

insidensi sekitar 20%, insidensi ini angkanya sama pada anestesi umum

maupun regional anestesi, hal ini berhubungan dengan durasi operasi yang

memanjang, untuk mencegah nyeri punggung, relaksasi pada otot punggung

atau penempatan bantal yang tipis pada punggung dibawah area lumbar

merupakan metode yang efektif dan murah. Jika nyeri punggung tidak

biasanya, maka harus disingkirkan adanya infeksi atau hematoma, tindakan

aseptik selama tindakan anestesi spinal harus dilakukan untuk mencegah

infeksi. Bila ada tanda kompressi dari spinal seperti nyeri punggung hebat,

progresi dari kelemahan sampai disfungsi bladder, sebaiknya segera dilakukan

evaluasi radiologis karena hematoma spinal dengan gejala neurologik harus

diterapi dalam 6-8 jam untuk mencegah cedera neurologik permenanen.

Transient neurologik simptoms (TNS) didefenisikan sebagai nyeri

punggung dan atau kurangnya sensasi secara bilateral pada kaki atau daerah

bokong setelah pulih dari pengaruh spinal anestesi yang dimulai dalam 24

setelah pembedahan. Nyeri biasanya moderat, dan pemberian NSAID cukup

membantu, kadang perlu diberikan opioid pada beberapa kasus, TNS nyerinya

dapat memburuk sampai melebihi dari nyeri insisinya. Faktor utama terjadinya

TNS adalah penggunaan lignocaine pada dosis > 40 mg dengan insidensnya

mencapai 10-40 %. Konsentrasi dan barisitas menunjukkan faktor yang

18
rendah, dibanding dosis. Dilaporkan pula penggunaan bupivacaine insidens

nya sangat rendah antara 0 – 1%.

5. Post dural puncture headache (PDPH)

PDPH adalah nyeri kepala yang biasa terjadi bifrontal dan occipital, dapat

memberat pada saat pasien berdiri atau mengedan, berkurang bila berbaring.

Mual muntah juga gejala yang kadang menyertai. Nyeri kepala dialami

beberapa jam atau hari setelah anestesi spinal. Nyeri kepala ini kadang disertai

pula gangguan pendengaran secara sekunder ini termasuk ketulian bilateral

atau unilateral. Traksi pada nervus abducens juga dapat menyebabkan

gangguan penglihatan, diplopia adalah gejala yang sering muncul. Etiologi

PDPH akibat berkurangnya CSF setelah pungsi pada dura, yang umumnya

dapat menutup sendiri, tapi bila tidak, maka cairan CSF dapat keluar melalui

dura yang bocor tersebut. Secara anatomi densitas duramater terdiri dari

jaringan penyambung dari kolagen dan fiber elastik yang berjalan longitudinal

terutama lapisan superfisial. Studi klinis menemukan jarum spinal sebaiknya

di orientasikan perpendiculer dari pada paralel karena akan semakin banyak

dura yang robek saat insersi terutama bila memakai jarum cutting.

Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan PDPH dan sebaiknya ahli

anestesi perhatikan. Jika mendapatkan pasien yang berisiko maka teknik

anestesi yang tepat dilakukam seperti mencegah multi insersi, jarum spinal

yang digunakan sebaiknya yang halus, sayangnya jarum spinal lebih halus

29G relatif lebih sulit, dan lebih mahal, sebaiknya seorang ahli anestesi

19
memakai jarum yang familiar digunakan, jarum spinal 27 G, pencil point lebih

mudah dan dapat lebih optimal dalam insersi jarum. Whitacare 27G (0,41mm)

telah direkomendasikan untuk digunakan.

Tabel 2 Faktor- faktor resiko PDPH


Ukuran Jarum
Umur
Jumlah insersi
Design bevel
Kehamilan
Orientasi Bevel
Sebelumnya menderita PDPH
Sudut pendekatan spinal
Larutan anestesi lokal
Dikutip dari : Tarkkila P. Complications associated with spinal anesthesia. In : Finucane BT. Editor. Complication of
regional anesthesia 2nd edition. Springer sciences 2007;149-61.

Terapi PDPH ditujukan untuk mengurangi gejala, seperti

memposisikan pasien istirahat dalam posisi supine horizontal. Bagaimanapun,

terapi profilaksis dengan membaringkan pasien supine selama 24 jam setelah

anestesi spinal, tidak berefek pada insidensi dan durasi PDPH, hal ini hanya

menunda onset terjadinya PDPH setelah pasien dapat bangun. Terapi cairan

di anjurkan dengan pemberian ekstra hidrasi untuk membantu produksi CSF

walau nyeri kepala belum tentu berkurang. Pemberian analgesia narkotik dan

NSAID sering digunakan untuk mengobati gejala nyeri kepala, Caffein

disarankan juga untuk membatu vasokonstriksi pembuluh darah otak yang

telah vasodilatasi. Dosis caffeine sodium benzoate adalah 500 mg intravena

dapat diulang 2 jam setelahnya. Bolus atau infus epidural dengan normal salin

dapat membantu mnegurangi kecepatan CSF yang bocor. Hal ini dapat

20
membantu penyebuhan secara natural. Bolus 30-60 mL diberikan 6 jam

sebagai 4 dosis terbagi. Alternatifnya, infus continyu diberikan dengan rata

1000 mL dalam 24 jam. Koloid juga dapat digunakan, namun efeknya tidak

lah berbeda dengan kristaloid. Epidural Blood Patch (EBP ) dapat dilakukan

dengan tingkat keberhasilan tinggi dimana darah pasien di injeksikan masuk

ke ruang epidural dekat dengan pungsi spinal untuk menutup lubang tempat

CSF merembes.

6. Pruritus

Umumnya berhubungan dengan opiod intratekal yang digunakan

sebagai kombinasi anestesi lokal. Fentanyl adalah opioid yang paling sering

digunakan di kombinasikan dengan anestetik lokal dosisi rendah. Bila pun

terjadi pruritus umumnya ringan dan tidak membutuhkan terapi. Beberapa

kasus gatal gatal sering menjadi masalah sehingga membutuhkan pengobatan,

5HT3 antagonist ondansetron telah menunjukkan efek penurunan gejala

signifikan.

Strategi penanganan nyeri pasca anestesi

Kontrol nyeri pasca operasi yang optimal harus efektif dan aman ,
menghasilkan efek samping yang minimal, memudahkan pemulihan dan mudah
ditangani oleh pasien dirumah. Teknik anestesi harus memungkinkan aktifitas
normal dan analgesik tambahan seharusnya diberikan untuk melindungi beberapa
aktifitas yang nyeri. Analgesia pertolongan harus diberikan jika analgesik yang
diberikan tidak efektif.2

21
Penilaian Nyeri dan dokumentasi.

Intensitas nyeri harus dinilai dan dinilai kembali sesering mungkin dan
didokumentasikan pada grafik disisi tempat tidur. Fasilitas rawat jalan harus
menentukan maksimum score nyeri yang dapat diterima dan melatih personil
untuk secepat mungkin mengobati nyeri jika melewati batas yang ditentukan.
Menjaga tingkat nyeri pada < 3 pada 10 poin dari visual analog score (VAS) telah
berfungsi dengan memuaskan sejak tahun 1991 untuk pembedahan rawat jalan.
Intensitas nyeri dinilai paling tidak setiap jam. Adalah penting untuk menilai
nyeri dan efikasi dari analgesi pada waktu istirahat dan selama aktifitas.8

Penanganan nyeri di Post Anaesthesia Care Unit ( PACU )

Kontrol nyeri pasca operasi seharusnya dimulai selama operasi dengan menambah
anestesi umum dengan opioid kerja singkat, NSAID, atau regional anestesi.
Beberapa regianal blok dapat dilakukan secara sederhana dan cepat pada pasien
bedah rawat jalan 8

Pilihan Analgesik setelah keluar dari Kamar Operasi

Obat analgesik oral adalah penting untuk kelanjutan kontrol nyeri di rumah, dan
mendorong pasien memakai analgesik secara preemptif dan teratur, dimulai
sebelum efek dari lokal anestesi hilang. Untuk nyeri ringan cukup dengan
analgesik sederhana seperti paracetamol . Pasien dengan nyeri ringan sampai
sedang pada bedah rawat jalan menggunakan kombinasi NSAID dengan opioid
lemah sebagai tambahan untuk regional atau lokal anestesi. Opioid kuat umumnya
dihindari karena efek sampingnya termasuk resiko depresi pernafasan.
Parasetamol adalah analgesik yang paling umum digunakan diseluruh dunia
karena efektif, murah dan aman. Sering dikombinasi dengan obat lain seperti
opioid lemah dan NSAID sebagai bagian dari pendekatan balans analgesia.

NSAID sekarang menjadi dasar kebanyakan regimen analgesik


pembedahan rawat jalan . NSAID efektif sebagai obat analgesik tunggal pada

22
sebagian besar kasus nyeri ringan sampai sedang. Apabila dikombinasi dengan
opioid , dapat meningkatkan kualitas analgesi dari opioid dan sering mengurangi
kebutuhan opioid kira-kira 25 %. NSAID sering digunakan untuk mengobati nyeri
ringan sampai sedang dan sebagai satu komponen dari regimen multimodal untuk
nyeri sedang sampai berat.2

Kriteria keluar

Ahli anestesi berpengalaman pada anestesi rawat jalan dapat menggunakan


pengetahuan dan pengalamannya untuk memutuskan kapan seorang pasien telah
cukup pulih untuk keluar. Tetapi jika dokter mendelegasikan proses itu, maka
perlu dibuat sistem skoring klinis untuk dijadikan panduan. Menggunakan Post
Anesthesia Discharge Scoring System ( PADS), sebagian besar pasien dapat
keluar dalam 2 jam setelah pembedahan. PADS skoring sistem dikembangkan
oleh Chung dkk. di rumah sakit Toronto, dimana telah digunakan secara luas
untuk menentukan kapan pasien dapat dipulangkan kerumah dengan aman.

Tabel 2 . panduan untuk aman pulang setelah pembedahan rawat jalan.8,17

23
Tabel 3. Postanaesthesia Discharge Scoring System (PADS) 17

FOLLOW UP

Keluhan pasien dicatat setelah operasi dan pada saat pulang pasien
diberitahukan agar segera menelpon, dan petugas akan menelpon sampai satu
minggu dan menanyakan dan mencatat kondisi dan keluhan pasien terutama efek
samping PDPH, TNS dan tidak kalah pentingnya adalah tingkat kepuasan pasien.

24
RINGKASAN

Dimasa lalu pembedahan rawat jalan umumnya untuk pasien dengan

kesehatan yang baik dan tipe pembedahan terbatas untuk prosedur yang

sederhana dan durasi yang singkat. Dengan kemajuan terutama dalam teknik

anestesi termasuk penggunaan obat – obat anestesi kerja singkat dan peningkatan

penggunaan teknik regional anestesi menyebabkan peningkatan jumlah, macam,

dan kompleksitas dari pembedahan dilakukan dengan rawat jalan. Untuk anestesi

spinal penggunaan dosis rendah sangat aman, praktis, cost efektif dan popular

dengan pasien. Dengan dosis rendah dapat meningkatkan akses pembedahan pada

kasus rawat jalan sehingga memuaskan operator dan pasien. Pencatatan informasi

tentang pasien sangat penting, karna dapat digunakan untuk follow up terjadinya

komplikasi PDPH, TNF dan tingkat kepuasan pasien, PDPH umumnya terjadi

pada usia muda dan kehamilan, sehingga dianjurkan menggunakan jarum spinal

yang halus. Keharusan miksi pada pasien tidaklah selalu dianjurkan pada saat

selesai prosedur pembedahan. Perjanjian Follow up setelah pasien keluar rumah

sakit sangat penting dan bersifat absolut.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel V. Spinal anesthesia. The New York school of regional anesthesia. 2009;

3119.

2. Bogetz MS. Outpatient surgery. In : Stoelting RK, Miller RD, editors. Basics

of anesthesia. Churchill Livingstone. Philadelphia 2007;538-49.

3. Borkowski R G. Ambulatory anesthesia : preventing perioperative and

postoperative complications. Cleveland clinic j med 2006 ; 73 : 57 – 61.

4. Brennan L J. Modern day-case anaesthesia for children. British journal of

anaesthesia 1999 ; 83 : 91 – 103.

5. Licthor J L, Kalghatgi SV.Outpatient anesthesia. In : Longnecker DE, Brown

DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology . The McGraw-Hill

Companies, Inc 2008 : 1608 – 1621.

6. Narula N. Mini topic review : anaesthesia for day case surgery. Available at :

www.library.nhs.uk/Theatres/ViewResource.aspx?resID=277694

7. Cottrell D, Broadman L. Spinal and epidural anesthesia for ambulatory

surgery. In : Wong CA. editor. Spinal epidural anesthesia. McGraw-Hill

Companies 2007;237-45.

8. Rawal N. Analgesia for day case surgery. British J Anaesth 2001; 87:73-8.

9. Wig J. The current status of day care surgery. Indian journal of anaesthesia

2005; 49 (6) : 459-466.

26
10. Langton JA, Gale TCE. Day – case anaesthesia. In : Aitkenhead AR, Smith G,

Rowbotham DJ. Textbook of anaesthesia. Churchill livingstone Elsevier

2007 ;5 : 533 – 539.

11. Song D, Greilich NB, White PF. Recovery profiles and costs of anesthesia fot

outpatient unilateral inguinal herniorrapghy. Anesth Analg 2000;91:876.

12. Li S, Coloma M, White PF. Comparison of the costs and recovery profiles of

three anesthetic techniques for ambulatory anorectal surgery.Anesthesilogy

2000;93:1225.

13. Wong J, Marshall S, Chung F. spinal anesthesia improves early recovery

profiles of patients undergoing ambulatory knee arthroscopy. Can J Anaesth

2001;43:369.

14. Wig J. The current status of day care surgery. Indian J Anaesth 2005; 49 (6) :

459-466.

15. Wilson IH. Day surgery. In: Nicholls AJ, Wilson IH.Perioperative medicine:

managing surgical patients with medical problems. Oxford university press

2000

16. Lichtor JL: anesthesia for ambulatory surgery. In : Brash PG, Cullen FB,

Stoelting RK. Editors. Clinical Anesthesia. Philadelphia, Lippincott Williams

& Wilkins 2006;1229-45.

17. Ansell GL, Montgomery JE. Outcome of ASA III patients undergoing day

case surgery. British J Anaesth 2004 ; 92 : 71- 4.

18. Chakravorty N, Jain RK, Chakravorty D. Spinal anaesthesia in the ambulatory

setting. Indian J Anaesth 2003;47(3):167-73

27
19. Watson B, Allen J, Smith I. Techniques. In : Spinal anaesthesia in day surgery

a practical guide. British Association of Day Surgery. Colman print. Norwich

2004.

20. Gupta SD, Malhotra D. Is spinal anaesthesia useful in day surgery ?. JK

science 2008; 10 :58- 61.

21. Dobrydnjov I, Axelsson K, Thorn SE. Clonidine combined with small-dose

bupivacaine during spinal anesthesia for inguinal herniorraphy: A randomized

double-blinded study. Anesth Analg 2003;96:1496.

22. Tarkkila P. Complications associated with spinal anesthesia. In : Finucane BT.

Editor. Complication of regional anesthesia 2nd edition. Springer sciences

2007;149-61.

28

Anda mungkin juga menyukai