HALAMAN JUDUL
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Merdeka.com - Siswi SMP Swasta di Surabaya, Jawa Timur jadi mucikari. Ini Fenomena
baru di jagad prostitusi. Kondisi yang begitu miris dan mencengangkan dalam dunia
pendidikan. Bagaimana tidak, seorang anak baru gede (ABG) yang mestinya belajar di
sekolah, justru bergelut dengan dunia hitam: bisnis human trafficking.
NA ditangkap di Hotel Fortuna Jalan Darmokali Surabaya oleh anggota Subnit VC Unit
Jatanum Polrestabes Surabaya pada Sabtu lalu (8/6).
Dari hasil penyelidikan polisi, NA dan para 'ayam-ayamnya', berasal dari keluarga broken.
Bahkan mereka juga sudah tidak perawan. Setahun lalu, NA sendiri pernah dijual oleh dua
perempuan ke pria penikmat bocah ingusan. Perempuan yang tega menjajakan NA ke pria
hidung belang itu adalah AL (19) dan CI (21), yang kini sudah berhasil ditangkap oleh pihak
kepolisian.
Sementara tujuh anak buahnya, sebelum dibandrol ke pria hidung belang, juga kerap
melakukan hubungan intim dengan mantan pacarnya. Bahkan, satu di antaranya pernah
diperkosa ayah tirinya.
Menurut Ketua Pusat Informasi dan Humas Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Bagus
Ani Putra, kasus NA ini jauh lebih miris dari kasus si Ratu Mucikari, Keyko alias Yunita
yang tertangkap tahun lalu (2012).
Dalam mengelola bisnisnya haramnya secara on-line, Keyko masih dibantu oleh beberapa
mucikari lainnya yang tersebar di beberapa kota di Tanah Air. Anak buah Keyko berasal dari
kalangan mahasiswa, pegawai kantoran hingga model.
Sementara, NA bekerja secara mandiri, dan mengetahui seluk beluk dunianya saat AL dan CI
mengenalkan dunia prostitusi kepada NA setahun lalu. Dan kini, NA memahami dunia
prostitusi. Soal jumlah anak buahnya, 'ayam-ayam NA memang tidak sebanyak milik Keyko,
tapi soal kelicinan dan kecerdasannya, NA tak kalah dengan Keyko.
Bisa dibayangkan, NA yang masih berusia 15 tahun itu, paham betul bisnis yang digelutinya,
mulai bagaimana mencari pelanggan, berapa tarif yang harus dipasang untuk ABG yang
ditawarkan, bahkan bagaimana cara menghindari aparat kepolisian yang mengincarnya.
Buktinya, seorang penyidik sempat mengaku sempat kepergok sekali saat hendak menangkap
NA.
"Memang kasus NA ini cukup miris. Di tengah gencar-gencarnya pemerintah memberantas
kemaksiatan, kita justru dihadapkan pada masalah remaja yang menjadi mucikari," kata
Bagus menyayangkan.
Menurut Dosen Psikologi Unair Surabaya ini, ada dua kategori yang mempengaruhi
perkembangan kaum remaja. Yang pertama adalah, sifat berontak dalam diri si anak apabila
melihat situasi yang tidak diinginkan di sekelilingnya.
"Kategori yang pertama ini, membuat si remaja itu menjauh dari lingkungan sosialnya dan
menjauh dari lingkungan keluarganya. Misalnya, seperti NA ini, karena dari keluarga broken,
dia menjadi marah dan menjahuhi keluarga. Sementara keluarga merupakan awal dari
pendidikan seorang anak sebelum memasuki dunia sekolah formal," katanya.
Masalah yang kedua adalah, lanjut dia, rasa ingin tahu yang besar dari seorang anak yang
mulai tumbuh kembang untuk mengenal lebih jauh lingkungan sekitarnya, bisa menjadi
pemicu segala persoalan. Misalnya masalah seksual. "Rasa seksualistis yang didukung oleh
sifat hedonistik dan materialistik. Kondisi dan situasi sosial akan menjadi stimulan bagi
tindakan remaja untuk menjadi liar, menjadi remaja yang keluar dari situasi normal, seperti
yang terjadi pada NA," papar dia.
Latar belakang NA dan para anak buahnya, menurut Bagus sangat kasuistik, yang bisa
memunculkan tindakan-tindakan layaknya orang dewasa. "Masalah yang dialami NA dan
anak buahnya itu, bisa jadi menjadi pelampiasan, menjadi pelarian atas masalah-masalah
yang dialami. Masalah di lingkungan keluarga dan sosial di masyarakat sekeliling dia."
Namun, apakah alibi dari NA dan teman-temannya itu benar? "Traumatik yang menjadi alibi
dari mereka (NA Cs) harus diselidiki dengan sangat hati-hati oleh penyidik dari kepolisian.
Sebab, alasan ini menjadi tidak logis. Jika mereka beralasan trauma masa lalunya, seharusnya
mereka justru menjauh dari masalah itu, bukan malah mendekat. Nah ada apa ini? Inilah yang
harus benar-benar disikapi dengan sangat hati-hati petugas," ungkapnya sembari mengumbar
tanya besar.
Lantas siapa yang harus bertanggung jawab dalam masalah ini? Bagus menegaskan, upaya
pemerintah, dalam hal ini Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, yang begitu gencar
memerangi kasus human trafficking, tidak bisa berdiri sendiri. Lingkungan sosial, keluarga
dan pendidikan formal harus ikut membangun moralitas anak.
"Lingkungan, keluarga, sosial, termasuk sekolah, tidak bisa hanya menanamkan knowledge
dalam diri anak, tapi juga menanamkan nilai-nilai moral. Khususnya orang tua harus bisa
menjadi model, menjadi contoh yang baik dan patut ditiru oleh anaknya. Broken home, justru
akan membuat seorang anak lari menjauh dari keluarga dan lingkungan sosialnya. Dia akan
menjadi liar dan tidak terkontrol. Ironisnya, terjadi seperti NA, menjadi mucikari," tandas dia.
[hhw]
Sumber: https://www.merdeka.com/peristiwa/siswi-smp-jadi-mucikari-jauh-lebih-miris-dari-
kasus-keyko.html
ANALISIS ARTIKEL
Dewasa ini masyarakat kita merupakan masyarakat modern yang serba kompleks.
Kondisi seperti ini merupakan produk dari kemajuan teknologi dan urbanisasi, yang telah
memunculkan banyak masalah sosial. Pergaulan bebas dalam studi masalah sosial dapat
dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Hal ini terjadi karena terdapat penyimpangan
perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku.
Perilaku menyimpang dapat dianggap sebagai sumber masalah karena dapat mengganggu
ketenteraman masyarakat. Tanpa disadari masalah-masalah sosial tersebut ternyata telah
melanda kaum remaja kita.
Remaja adalah generasi yang paling berpengaruh dalam mewujudkan cita-cita suatu
bangsa, generasi penerus bangsa dan generasi yang diharapkan oleh suatu bangsa untuk
merubah keadaan bangsanya menjadi bangsa yang lebih baik. Keadaan remaja Indonesia saat
ini sangat memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi sebagian remaja saat ini
yang cenderung lebih bebas dan kurang memperhatikan nilai moral yang terkandung dalam
setiap perbuatan yang mereka lakukan.
Dalam hal ini, kita tentunya tidak dapat menyalahkan NA sepenuhnya yang notabene
masih remaja. Kita perlu meninjau latar belakang keluarga dan lingkungan tempat dia
tumbuh dan berkembang. Kebanyakan permasalahan sosial seperti kasus prostitusi yang
menimpa para remaja umumnya terjadi karena mereka merasa terlantar dan terabaikan di
dalam lingkup keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Lingkungan sangat berperan penting
terhadap perkembangan perilaku anak. Apalagi usia SMP adalah usia yang masih rentan dan
labil dalam pencarian jati diri mereka. Mereka akan dengan mudah mencari jalan pintas tanpa
berpikir panjang jauh ke depan.
Permasalahan sosial seperti yang terjadi pada NA ini termasuk kenakalan remaja
berupa pergaulan bebas. Adapun kata “bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas
norma yang ada. Masalah pergaulan bebas yang sering kali kita dengar meliputi perilaku
yang tidak terkendali, seperti sex bebas dan penggunaan narkoba yang berujung kepada
penyakit seperti HIV dan AIDS ataupun kematian. Dalam pembahasan kali ini yang
dimaksud pergaulan bebas lebih menekankan pada perilaku sex bebas di kalangan Remaja
terlebih mengenai kasus NA yang menjadi mucikari bagi teman-temannya ini.
Kenakalan remaja atau dalam hal ini pergaulan bebas pada anak remaja terjadi karena
tidak berfungsinya sistem sosial di lingkungan masyarakat dan ketidak harmonisan hubungan
anak dengan orang tua. Hubungan orang tua dan anak sangat di-pengaruhi oleh persepsi anak
terhadap sistem pengasuhan dan interpretasinya terhadap motivasi dan hukuman dari orang
tua. Oleh karena itu keluarga memiliki fungsi dan peran yang penting dalam pengasuhan dan
pembinaan terhadap perilaku anak.
Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini berperan untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan
anak sehingga terbentuk kepribadian. Anak-anak harus mendapat sosialisasi oleh orang
tuanya tentang nilai-nilai apa yang dibolehkan dan tidak boleh, apa yang baik dan tidak baik,
apa yang pantas dan tidak pantas dan sebagainya. Namun di era globalisasi ini, karena
kesibukan orang tua terkadang mereka lalai dalam memberikan sosialisasi kepada anaknya.
Bahkan mereka cenderung menyerahkan pada lembaga yang lain seperti sekolah. Sementara
anak hanya dalam waktu terbatas berada di sekolah, selebihnya mereka cenderung mencari
dari lingkungannya bahkan dari media massa.
Fungsi Perlindungan
Fungsi perlindungan dalam arti bahwa keluarga berfungsi untuk melindungi seluruh anggota
keluarga dari berbagai bahaya yang dapat mengancam kelangsungan hidup dan keberadaan
suatu keluarga. Seluruh anggota keluarga hendaknya bekerjasama untuk saling melindungi
satu sama lain yang pada akhirnya dapat menimbulkan rasa nyaman dan tentram di dalam diri
masing-masing anggota keluarga tersebut.
Fungsi Afeksi
Fungsi afeksi dalam arti bahwa ke-luarga berkewajiban untuk memberikan rasa kasih sayang
kepada tiap-tiap anggota keluar-ga yang ada di dalamnya, agar mereka dapat merasakan
hidup sebagaimana mestinya. Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan kasih
sayang atau rasa dicintai. Dalam keluarga yang harmonis akan terjadi komunikasi yang
dialogis antara anggota keluarganya. Sehingga masing-masing anggota berkesempatan untuk
sekedar berkeluh kesah tentang apa yang dirasakan, tentang apa yang dilakukan dalam sehari.
Sehingga masing-masing anggota keluarga merasa diperhatikan, dihargai dan dicintai.
Apabila tidak ada komunikasi dalam keluarga atau terjadi budaya bisu dalam keluarga maka
anak cenderung akan mencari fungsi afeksi di luar keluarganya.
Fungsi Rekreasi
Karena berkurangnya kuantitas dan kualitas pertemuan dalam keluarga, maka keluarga bukan
lagi menjadi tempat rekreasi bagi anggotanya. Dimana keluarga menjadi tempat bertemu,
bercengkrama, berbagi pe-kerjaan, masalah maupun afeksi untuk me-ringankan beban fisik
dan psikologis.
Menurut teori Herbert Spencer bahwa suatu masyarakat harus dipandang secara analogi
dengan suatu organisme yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Baik masyarakat atau organisme adalah hidup sehingga keduanya hidup dan
berkembang.
b. Dalam masyarakat maupun organisme, fenomena pertambahan dan ukuran
mengindikasi bertambahnya kompleksitas dan differensiasi.
c. Adanya differensiasi progresif dalam struktur masyarakat maupun organisme akan
selalu disertai differensiasi fungsi.
d. Dalam masyarakat maupun organisme, bagian-bagian dari keseluruhan saling
berkaitan secara interpedency, sehingga perubahan pada suatu bagian akan
mempengaruhi bagian-bagian lainnya.
e. Dalam masyarakat maupun organisme, setiap bagian keseluruhan juga merupakan
masyarakat mikro atau organisme didalam maupun dari padanya.
f. Baik dalam masyarakat maupun organisme, kehidupan keseluruhan dapat
dihancurkan, namun bagian-bagiannya akan tetap hidup, paling tidak untuk sementara
waktu.
Kaitan dari teori ini terhadap pergaulan bebas remaja adalah bahwa remaja merupakan
anggota dari suatu keluarga sehingga ketika di dalam keluarga tersebut para orang tua tidak
melaksanakan fungsi dan peran mereka maka akan berdampak pada pembentukan
kepribadian anak-anak mereka. Proses sosialisasi yang tidak sempurna yang dilakukan oleh
orang tua akan mengakibatkan hal yang tidak baik dalam pembentukan kepribadian pada
anak. Dalam hal ini, kesulitan mengadakan hubungan yang serasi antara orang tua dan anak
remaja pasti akan ada. Hubungan atau komunikasi yang tidak berjalan dengan baik itu akan
menimbulkan suatu perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak mulai dari hal yang terkecil
seperti membantah orang tua mereka karena mereka merasa tidak ada perhatian dari orang
tua mereka.
Pola asuh otoriter yang diterapkan oleh orang tua juga dapat menghasilkan remaja yang
patuh atau menentang terhadap orang tuanya tersebut. Pola asuh yang serba otoriter akan
menciptakan keadaan remaja yang menjadi pemberontak karena orang tua mereka yang
tergolong kalangan konservatif yang tidak begitu memperhitungkan pembaharuan zaman.
Hal ini pun akan memperngaruhi kepribadian anak, karena melalui proses pengasuhan serta
pemberian teladan diharapkan akan berpengaruh pada perkembangan anak yang di dalamnya
meliputi moral, loyalitas dan sosialisasi anak.
Untuk mencegah semakin maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja dan untuk
mewujudkan keluarga yang harmonis sangat diperlukan penanaman norma, nilai-nilai dan
budaya. Sedangkan keluarga adalah tempat yang utama dimana seorang anak melakukan
proses sosialisasi tentang norma dan nilai. Dalam keluarga pula seorang anak seharusnya
merasa nyaman, merasa dilindungi dan dicintai. Untuk dapat membentuk keluarga yang
harmonis maka sebuah keluarga harus mampu memberikan fungsi sosialisasi dan afeksi yang
selama ini telah banyak dilupakan oleh sebagian besar keluarga modern. Untuk itulah
diperlukan upaya-upaya yang dapat memperbaiki fungsi- fungsi yang ada dalam keluarga.
Namun, saat ini untuk menekan jumlah pelaku pergaulan bebas terutama di kalangan remaja
bukan hanya dengan membentengi diri mereka dengan unsur agama yang kuat. Selain itu
juga perlu dibentengi dengan pendampingan orang tua dan selektif dalam memilih teman
sebaya. Karena ada kecenderungan remaja lebih terbuka kepada teman sebayanya daripada
dengan orang tua sendiri.
Daftar Pustaka :
Dwiningrum, S. I. A. 2012. Ilmu sosial & budaya dasar: Pendekatan problem solving dan
analisis kasus. Yogyakarta: UNY Press.
Nunung Sri Rochaniningsih. 2014. Dampak Pergeseran Peran dan Fungsi Keluarga pada
Perilaku Menyimpang Remaja. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi.
Volume 2, Nomor 1.