Anda di halaman 1dari 21

Buy Original Book Please

UTAMI MUNANDAR
Kreativitas dan Keberbakatan
Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat

© 2002 Gramedia

3
Identifilzasi dan Pengukuran Bakat dan
Kreativitas
SASARAN

Setelah mempelajari bab ini, Anda diharapkan mampu:

1. Mengemukakan alasan pentingnya untuk menemukenali bakat kreatif.


2. Menjelaskan berbagai jenis alat untuk mengukur bakat kreatif.
3. Menguraikan alat identifikasi berdasarkan enam bidang bakat (U.S.O.E.).
4. Membedakan macam-macam tes kreativitas dari luar negeri.
5. Membedakan alat ukur kreativitas yang dikonstruksi dan diadaptasi untuk Indonesia.
• yang dapat digunakan oleh psikolog dan nonpsikolog.
• yang mengukur ranah kognitif dan afektif.
• yang menggunakan konten verbal atau figural.
6. Mengenal alat-alat lain untuk identifikasi keberbakatan di Indonesia.
7. Memahami tiga tingkat dalam konsep keberbakatan.
8. Mengenal alat/cara lain untuk identifikasi keberbakatan di Indonesia.

3.1 PENGANTAR

Pada Bab 2 dibahas ciri-ciri pribadi kreacif dan cara-cara menilai kemampuan dan produk
1
kreatif. Bab 3 mulai dengan mengemukakan alasan untuk mengukur kreativitas, dilanjutkan
dengan berbagai jenis alat identifikasi bakat dan kemampuan kreatif baik yang berasal dari
luar negeri maupun yang diadaptasi dan yang khusus dikonstruksi untuk penggunaan di
Indonesia. Alat tersebut ada yang hanya dapat digunakan oleh psikolog dan ada pula yang
dapat dipakai oleh mereka yang bukan psikolog, misalnya pakat pendidikan, guru, atau
konselor; hal ini penting mengingat jumlal psikolog di Indonesia masih kurang dan belum
menyebar. Di samping itu ada alat untuk mengukur ranah kognitif (berpikir kreatif, dan
ranah afektif (sikap) kreativitas, dan ada tes kreativitas yang menggunakan konten verbal atau
figural. Diperkenalkan pula alat untuk mengidentifikasi enam bidang bakat (termasuk bakat
kreatif, sesuai dengan definisi U.S.O.E. Bab ini diakhiri dengan ringkasan dan rujukan .

3.2 ALASAN UNTUK MENEMUKENALI BAKAT KREATIF

Dari berbagai alasan yang dikemukakan untuk mengukur bakat kreatif, lima alasan tampak
paling penting yaitu untuk tujuan pengayaan (enrichment), remedial, bimbingan kejuruan,
penilaian program pendidikan, dan mengkaji perkembangan kreativitas pada berbagai tahap
kehidupan (Dacey, 1989).

3.2.1 Pengayaan

Tujuan utama tes kreativitas adalah untuk mengidentifikasi bakat kreatif anak. Karena
kreativitas begitu bermakna dalam hidup, masyarakat terutama orangtua dan guru ingin
memberikan pengalaman pengayaan kepada mereka yang berbakat kreatif. Namun,
penggunaan tes kreativitas masih sering diperdebatkan, seperti juga konsep keberbakatan.

Secara historis, keberbakatan diartikan sebagai mempunyai inteligensi (IQ) yang tinggi, dan
tes inteligensi tradisional merupakan ciri utama untuk mengidentifikasi anak berbakat
intelektual. Anak berbakat intelektual diizinkan meloncat kelas, atau masuk kelas khusus
(advanced placement class) yang menuntut mereka harus bekerja lebih banyak dan lebih
keras. Namun, belum tentu bahwa hal ini menghasilkan kinerja yang luar biasa dari siswa.

Lewis Terman telah melakukan studi longitudinal (dari tahun 1925 sampai 1959) terhadap
1528 anak dan remaja dengan IQ 140 atau lebih. Mereka disebut genius. Terman
menemukan bahwa meskipun siswa-siswi ini mencapai prestasi lebih tinggi dari rata-rata
siswa, tetapi hanya sedikit sekali di antara mereka yang menjadi termasyhur karena kualitas
dan kinerjanya. Gejala ini dapat disebut sindrom siswa balk: dalam upaya untuk berhasil di
sekolah dan dalam hidup, agaknya mereka kurang memiliki atau kehilangan imajinasi
petualangan yang diperlukan untuk mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi.

Masalah lain adalah bahwa dengan hanya mengutamakan inteligensi, talenta khusus kurang
diperhatikan. Sekarang program anak berbakat mulai lebih banyak mengikutsertakan yang
bertalenta dalam bidang khusus, seperti menari, melukis, dan musik. Talenta seperti itu jugs
perlu diidentifikasi secara cermat.

Kesamaan antara inteligensi dan talenta khusus adalah apa yang disebut precocity (keadaan
cepat menjadi matang). Anak yang precocious adalah seseorang yang mampu melakukan hal-
hal yang biasanya dilakukan oleh mereka yang lebih tinggi usianya. Keuntungan ini dapat atau
2
tidak dapat dipertahankan selama jangka hidup, tetapi bagaimanapun, precocity belum tentu
berarti mampu mencapai produktivitas yang orisinal. Kapasitas terakhir ini disebut
prodigiousness. Child prodigy adalah seseorang yang prestasinya begitu luar biasa dan langka
sehingga menakjubkan. Sebagai contoh adalah Mozart yang sebagai kanak-kanak sudah
mampu menggubah simfoni, yang sampai sekarang masih sering dimainkan oleh orkes.

Anak yang prodigious tanpa kecuali pasti kreatif, sementara ahli matematika yang precocious
belum tentu kreatif. Sebaliknya anak yang prodigious belum tentu IQ-nya sangat tinggi.

Sejumlah pakar pendidikan menyarankan agar kemampuan kreatif tinggi menjadi salah satu
kriteria untuk seleksi anak yang dapat mengikuti program anak berbakat. Di Indonesia
identifikasi anak berbakat sudah menggunakan tes kreativitas di samping tes inteligensi dan
tes prestasi belajar.

3.2.2 Remediasi

Alasan kedua untuk melakukan pengukuran (assessment) adalah untuk menemukenali


mereka yang kemampuan kreatifnya sangat rendah. Karena bermacam-macam sebab, anak-
anak berbakat ini sangat miskin dalam imajinasi. Padahal imajinasi penting untuk pemecahan
masalah. Oleh karena itu anak-anak tersebut memerlukan bantuan dalam bidang ini, seperti
halnya seseorang memerlukan bantuan dalam matematika atau membaca.

Yang tidak menguntungkan adalah bahwa program remedial dalam kreativitas masih sangat
langka, bahkan di Indonesia rasanya belum ada. Salah satu sebab adalah karena kita kurang
mengetahui bagaimana melakukan hal ini. Kemungkinan sebab lain adalah bahwa banyak
orang melihat kreativitas sebagai bakat pembawaan, dan tidak sebagai suatu kapasitas yang
dapat dipelajari dan dilatih.

3.2.3 Bimbingan Kejuruan

Penggunaan tes kreativitas untuk membantu siswa memilih jurusan pendidikan dan karier
masih pada tahap awal. Meskipun demikian, informasi mengenai kemampuan ini berguna
dalam menyarankan siswa mengikuti pendidikan dan kejuruan yang menuntut kemampuan
kreatif.

3.2.4 Evaluasi Pendidikan

Pendidik sering mengalami kesulitan untuk memutuskan apakah sekolah akan menggunakan
program pengembangan kreativitas. Mereka khawatir hal itu dapat menyebabkan
menurunnya prestasi belajar siswa. Sesungguhnya faktor-faktor lainlah bertanggung jawab
untuk menurunnya rata-rata prestasi siswa, yaitu terlalu banyak menonton televisi, kurangnya
pengawasan atas pekerjaan rumah, dan peningkatan jumlah siswa yang kemampuannya
rendah.

Sayangnya, kurangnya evaluasi hasil pendidikan menyulitkan untuk menentukan apakah


programnya efektif. Jelas bahwa diperlukan evaluasi pendidikan secara menyeluruh dan
berkelanjutan.
3
3.2.5 Pola Perkembangan Kreativitas

Pakar psikologi tertarik untuk mengetahui pola perkembangan kreativitas karena dua alasan:
pertama, mereka ingin mengetahui bagaimana pertumbuhan dan penurunan kreativitas pada
macammacam tipe orang; dan kedua, mereka ingin mengetahui apakah ada masa puncak
kala mana kreativitas sebaiknya dilatih.

Penelitian semacam ini menghadapi masalah khusus: untuk membandingkan kelompok usia
(atau kelompok suku, jenis kelarnin dan lain-lainnya) perlu menggunakan tes yang sama atau
sebanding. Namun, hanya sedikit tes yang cocok untuk semua umur.

3.2.6 Tujuan Penggunaan Tes Kreativitas

Ada tiga penggunaan utama untuk tes kreativitas, yaitu untuk mengidentifikasi siswa berbakat
kreatif, untuk tujuan penelitian, dan untuk tujuan konseling (Davis, 1992).

3.2.6.1 Identifileasi Anak Berbakat Kreatif

Sekarang tes kreativitas sering digunakan untuk mengidentifikasi siswa berbakat kreatif untuk
program anak berbakat intelektual. Kebanyakan program anak berbakat berasaskan bahwa
siswa kreatif perlu diidentifikasi dan kreativitas perlu diajarkan.

Dalam seleksi siswa kreatif untuk mendapat tingkat kepercayaan yang tinggi, sebaiknya
menggunakan dua sumber (kriteria) untuk mengukur kreativitas. Misalnya, di samping tes
kreativitas juga diminta penilaian guru mengenai tingkat kreativitas anak; jika anak mencapai
skor tinggi pada kedua kriteria tersebut, kita dapat yakin bahwa anak itu betul-betul kreatif.
Kita dapat juga menggunakan dua tes kreativitas yang berbeda, misalnya inventori ke-
pribadian dan tes berpikir divergen. Tidak ada tes kreativitas atau penilaian guru yang begitu
dapat diandalkan dan sahihnya sehingga kita bisa menggunakan satu ukuran kreativitas saja
yang mampu memberikan taksiran yang cermat dan dapat dipercaya tentang potensi kreatif
seseorang.

3.2.6.2 Penelitian

Penggunaan kedua dari tes kreativitas adalah untuk penelitian. Penelitian membantu kita
memahami perkembangan kreativitas. Tes kreativitas dalam penelitian dapat digunakan
dengan dua cara. Pertama, untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif dan membandingkan
mereka dengan orang-orang biasa. Kedua, tes kreativitas dalam penelitian dapat digunakan
untuk menilai dampak pelatihan kreativitas terhadap kekreatifan peserta.

3.2.6.3 Konseling

Tes kreativitas dapat juga digunakan dalam bimbingan dan konseling siswa. Konselor atau
psikolog sekolah di sekolah dasar dan menengah memerlukan informasi mengenai seorang
siswa yang dikirim karena sikapnya yang apatis, tidak kooperatif, berprestasi kurang, atau
karena masalah lain. Mungkin saja siswa itu sebetulnya kreatif, tetapi tidak tahan akan
4
pekerjaan rutin yang baginya membosankan, sikap guru yang otoriter dan kurang
memberikan kebebasan dalam
ungkapan diri.

Tes kreativitas dapat membantu konselor, guru, orangtua, dan siswa sendiri untuk mengenali
dan memahami bakat kreatif siswa yang terpendam. Informasi ini memungkinkan guru untuk
merancang kegiatan yang menantang dan menarik bagi siswa kreatif.

3.3 JENIS ALAT UNTUK MENGUKUR BAKAT KREATIF

Potensi kreatif dapat diukur melalui beberapa pendekatan, yaitu pengukuran langsung;
pengukuran tidak langsung, dengan mengukur unsur-unsur yang menandai ciri tersebut;
pengukuran ciri kepribadian yang berkaitan erat dengan ciri tersebut; dan beberapa jenis
ukuran yang bukan tes. Pendekatan kelima adalah dengan menilai produk kreatif nyata,
sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 2.

3.3.1 Tes yang Mengukur Kreativitas secara Langsung

Sejumlah tes kreativitas telah disusun dan digunakan, antara lain tes terkenal dari Torrance
yang digunakan untuk mengukur pemikiran kreatif (Torrance Test of Creative Thinking:
TTCT) yang mempunyai bentuk verbal dan bentuk figural. Yang terakhir ada yang sudah
diadaptasi untuk Indonesia, yaitu Tes Lingkaran (Circles Test) dari Torrance. Tes ini
pertama kali digunakan di Indonesia dalam penelitian Utami Munandar (1977) untuk
disertasinya "Creativity and Education", dengan tujuan membandingkan ukuran kreativitas
verbal dengan ukuran kreativitas figural. Kemudian pada tahun 1988, Jurusan Psikologi
Pendidikan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan penelitian standardisasi Tes
Lingkaran dan tes ini selanjutnya disebut Tes Kreativitas Figural. Pada tes ini ditentukan nilai
baku untuk usia 10 sampai dengan 18 tahun.

Tahun 1977 diperkenalkan tes kreativitas pertama yang khusus dikonstruksi untuk
Indonesia, yaitu Tes Kreativitas Verbal oleh Utami Munandar, berdasarkan Model Struktur
Intelek dari Guilford. Tes ini akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab 3.6.

3.3.2 Tes yang Mengukur Unsur-Unsur Kreativitas

Kreativitas merupakan suatu konstruk yang multidimensi, terdiri dari berbagai dimensi, yaitu
dimensi kognitif (berpikir kreatif), dimensi afektif (sikap dan kepribadian), dan dimensi
psikomotor (keterampilan kreatif). Masing-masing dimensi meliputi berbagai kategori,
misalnya dimensi kognitif dari kreativitas—berpikir divergen—mencakup antara lain
kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas dalam berpikir, kemampuan untuk memperinci
(elaborasi), dan lain-lain. Untuk masing-masing unsur dikonstruksi tes tersendiri, misalnya
untuk orisinalitas.

Beberapa contoh tes yang mengukur orisinalitas adalah: Tes Menulis Cerita, Tes Penggunaan
Batu Bata yang meminta subjek untuk memikirkan berbagai macam penggunaan yang tidak
lazim untuk batu bata, Tes Purdue yang biasanya digunakan di kawasan industri, juga
meminta subjek untuk memberi macam-macam gagasan untuk penggunaan benda-benda
5
yang berkaitan dengan industri.

3.3.3 Tes yang Mengukur Ciri Kepribadian Kreatif

Dari berbagai hasil penelitian ditemukan paling sedikit 50 ciri kepribadian yang berkaitan
dengan kreativitas. Dari ciri-ciri tersebut disusun skala yang dapat mengukur sejauh mana
seseorang memiliki ciri-ciri tersebut. Beberapa tes mengukur ciri-ciri khusus, antara lain
adalah:

• Tes Mengajukan Pertanyaan, yang merupakan bagian dari Tes Torrance untuk
Berpikir Kreatif.
• Tes Risk Taking, digunakan untuk menunjukkan dampak pengambilan risiko
terhadap kreativitas.
• Tes Figure Preference dari Barron-Welsh yang menunjukkan preferensi untuk
ketidakaturan sebagai salah satu ciri kepribadian kreatif.
• Tes Sex Role Identity untuk mengukur sejauh mana seseorang mengidentifikasikan
diri
• dengan peran jenis kelaminnya. Alat yang sudah digunakan di Indonesia adalah Bem
Sex Role Inventory.

3.3.4 Pengukuran Bakat Kreatif secara Non-Tes

Dalam upaya mengatasi keterbatasan tes tertulis untuk mengukur kreativitas dirancang
beberapa pendekatan alternatif.

• Daftar Periksa (Checklist) dan Kuesioner


Alat ini disusun berdasarkan penelitian tentang karakteristik khusus yang dimiliki
pribadi kreatif.

• Daftar Pengalaman
Teknik ini menilai apa yang telah dilakukan seseorang di masa lalu. Beberapa studi
menemukan korelasi yang tinggi antara "laporan diri" dan prestasi kreatif di masa
depan. Format yang paling sederhana adalah meminta seseorang menulis autobiografi
singkat, yang kemudian dinilai untuk kuantitas dan kualitas perilaku kreatif.

Metode yang lebih formal adalah The State of Past Creative Activities yang dikembangkan
oleh Bell (dikutip Dacey, 1989). Instruksinya: "Daftarlah kegiatan kreatif yang telah Anda
lakukan selama 1-3 tahun terakhir. Ini dapat meliputi kegiatan seni, sastra, atau ilmiah.
Silakan memperinci kegiatan atau produk yang Anda hasilkan, termasuk pameran untuk
umum dari produk tersebut." Setiap kegiatan dinilai berdasarkan seperangkat kriteria.
Kemudian individu dinilai secara keseluruhan berdasarkan perangkat kriteria tersebut.

3.3.5 Pengamatan Langsung terhadap Kinerja Kreatif

Mengamati bagaimana orang bertindak dalam situasi tertentu nampaknya merupakan teknik
yang paling absah, tetapi makan waktu dan dapat pula bersifat subjektif. Mengenai teknik ini
6
telah dibahas pada Bab 2 sehubungan dengan produk kreatif.

3.4 ALAT IDENTIFIKASI BERDASARKAN ENAM BIDANG BAKAT

Sesuai dengan definisi U.S.O.E., bakat kreatif merupakan salah satu dari enam bidang
keberbakatan. Sebelum lebih khusus membahas tentang cara-cara identifikasi dan ukuran
kreativitas yang menjadi fokus perhatian penulisan buku ini, ada 'baiknya jika diperoleh
gambaran tentang bagaimana kita dapat menemukenali bidangbidang bakat lainnya.

Definisi Marland tentang keberbakatan sebagaimana telah dikemukakan pada Bab 1


membedakan enam bidang keberbakatan, yaitu:

• Bakat intelektual umum


• Bakat akademik khusus
• Bakat kreatif-produktif
• Bakat kepemimpinan
• Bakat seni visual dan pertunjukan
• Bakat psikomotor

3.4.1 Identifikasi Kemampuan Intelektual Umum

Untuk mengidentifikasi kemampuan intelektual umum biasanya ditentukan taraf inteligensi


atau IQ (Intelligence Quotient). Ada dua macam tes inteligensi, yaitu tes inteligensi individual
dan tes inteligensi kelompok.

Tes inteligensi individual misalnya tes Stanford Binet dan tes Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC), yang keduanya sudah lama digunakan di Indonesia. Tes inteligensi
individual merupakan cara yang lebih cermat untuk menemukenali kemampuan intelektual
umum anak, karena diberikan secara perorangan sehingga memungkinkan mengobservasi
anak ketika dites. Apakah menurut pengamatan kita anak sudah berprestasi secara optimal
sewaktu diuji, ataukah ada kesan bahwa ia kurang dapat memusatkan perhatian, mungkin ada
masalah pribadi, atau mungkin sebetulnya ia tidak mau dites, atau ada gangguan dari
lingkungan (suara-suara keras)? Hal-hal seperti ini akan mempengaruhi kinerjanya terhadap
tes. Namun tes inteligensi individual membutuhkan banyak waktu untuk pengetesannya, dan
biaya pengetesan termasuk cukup mahal.

Tes inteligensi kelompok lebih efisien, baik dalam ukuran waktu dan biaya. Keterbatasannya
adalah bahwa tes inteligensi kelompok tidak memungkinkan kontak dan pengamatan anak
selama diuji, sehingga sulit diketahui apakah hasil tes inteligensi kelompok sudah optimal,
dalam arti betul-betul menggambarkan kemampuan intelektual anak. Tes inteligensi
kelompok yang banyak digunakan di Indonesia adalah tes Progressive Matrices dari Raven,
Culture Fair Intelligence Test (CFIT), dan Tes Inteligensi Kolektif Indonesia (TIKI). Yang
terakhir khusus dikembangkan untuk Indonesia oleh Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran dan Free University of Amsterdam, Belanda.

Tes inteligensi kelompok biasanya digunakan pada tahap pertama, yaitu tahap penjaringan
(screening) dengan tujuan dapat menjaring dengan waktu singkat siswa yang memenuhi syarat
7
untuk mengikuti tahap berikutnya yaitu tahap penyaringan (tahap seleksi). Pada tahap kedua
ini digunakan tes inteligensi individual dengan tujuan mengambil keputusan tentang siswa
mana yang dapat dikategorikan sebagai berbakat intelektual dan dapat mengikuti program
pendidikan keberbakatan.

Dalam proyek Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tentang pelayanan pendidikan


siswa berbakat (yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan),
Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan merencanakan program
pendidikan khusus untuk siswa berbakat intelektual pada tahun 1982/1983 dan mulai
diterapkan tahun 1983 di beberapa SMP dan SMA di daerah perkotaan (Jakarta) dan
pedesaan (Cianjur), dalam bidang sains dan matematika.

Identifikasi siswa berbakat berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap penjaringan dan tahap
penyaringan. Pada tahap penjaringan diberi tes Progressive Matrices dan tes Prestasi Belajar
Baku (Standardized Achievement Test). Semua siswa yang mencapai skor inteligensi di atas
rata-rata boleh meneruskan mengikuti tahap penyaringan; tes yang diberikan pada tahap ini
adalah Tes Kreativitas Verbal (TKV) dan Tes Inteligensi Kolektif Indonesia (TIKI). Yang
terakhir, meskipun diberikan kepada kelompok tetapi dinilai cukup cermat dan andal,
karena tes ini meliputi sebelas subtes yang masing-masing mengukur bidang kemampuan
intelektual yang berbeda, sehingga memberikan profil yang lebih berdiferensiasi tentang
bakat intelektual siswa, dibandingkan tes Progressive Matrices yang hanya terdiri dari satu
ripe tes.

3.4.2 Identifikasi Bakat Akademik Khusus

Cara lain untuk mengidentifikasi anak berbakat intelektual adalah dengan melihat prestasi
akademis, bersama-sama dengan pengukuran IQ. Sudah lama diketahui bahwa mereka yang
tinggi pada tes inteligensi biasanya juga tinggi pada tes prestasi belajar. Jika tes inteligensi
bertujuan mengukur kapasitas untuk berprestasi baik di sekolah, tes prestasi akademis
bertujuan mengukur pembelajaran dalam arti pengetahuan tentang fakta dan prinsip, dan
dapat ditambahkan kemampuan untuk menerapkannya dalam situasi kompleks dan yang
menyerupai hidup.

Prestasi belajar dapat diukur sehubungan dengan kinerja pada mata ajaran di sekolah dalam
kelas tertentu, dalam hal ini tes dapat dibuat oleh guru sendiri, atau dapat diukur sehubungan
dengan apa yang diharapkan dipelajari oleh siswa dari tingkat kelas tertentu di seluruh negeri
(secara nasional); dalam hal ini diberi tes prestasi belajar baku. Di sini prestasi akademis siswa
di suatu tempat dapat dibandingkan dengan kinerja siswa lain dari populasi umum yang
membuat tes itu. Untuk identifikasi siswa berbakat sebaiknya digunakan tes yang telah baku
untuk mata ajaran (subjek) akademis. Sebagaimana telah disinggung, dalam proyek
identifikasi siswa berbakat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga digunakan tes
belajar baku untuk semua SMP dan SMU, yang disusun oleh BP3K.

Tes yang termasuk baru dan akhir-akhir ini banyak digunakan untuk seleksi mahasiswa yang
ingin masuk di perguruan tinggi, jenjang S-1 (Sarjana) atau jenjang S-2 (Magister) adalah Tes
Potensi Akademik (TPA). Tes ini terdiri dari berbagai subtes, dan memberikan petunjuk
sejauh mana peserta tes memenuhi syarat untuk mengikuti pendidikan terrier.
8
3.4.3 Identifikasi Bakat Kepemimpinan

Kemampuan untuk memimpin tidak hanya mencakup kemampuan intelektual, tetapi juga
peubah kepribadian lainnya. Berdasarkan tinjauan teori dan hasil riset, pada umumnya
ditemukan faktor berikut yang paling erat kaitannya dengan kepemimpinan (Stogdill,
dikutip Kathena, 1992):

• Kapasitas
• Prestasi
• Tanggung jawab
• Peran serta
• Status
• Situasi

Daftar ini menunjukkan kompleksitas dalam menemukenali bakat kepemimpinan. Tidak


ada satu tes psikologis yang dapat mengidentifikasi bakat kepemimpinan; upaya untuk
melakukan hal ini baru pada tahap penjajakan. Namun, sangatlah jelas bahwa pengembangan
alat tes untuk menemukenali kemampuan memimpin sungguh dibutuhkan. Keenam kategori
karakteristik kepemimpinan yang disarankan oleh Stogdill (1974) nampaknya cukup
komprehensif untuk mengembangkan prosedur identifikasi yang dapat digunakan di sekolah.

3.4.4 Identifikasi Bakat Beni Visual dan Pertunjukan

Menemukenali bakat dalam bidang seni visual dan pertunjukan tidak mudah. Masalahnya
adalah bahwa beragamnya kategori talenta dan belum adanya alat yang canggih untuk
mengukur bermacam-macam bidang talenta tersebut.

Baik teori maupun hasil penelitian menekankan bahwa pada umumnya orang yang bertalenta
dalam seni visual dan pertunjukan pada umumnya juga memiliki tingkat inteligensi dan
kreativitas yang cukup tinggi, di samping kemampuan dan keterampilan khusus dalam bidang
seni. Oleh karena itu setiap pendekatan untuk menemukenali talenta dalam bidang seni
visual dan pertunjukan harus mengikutsertakan peubah tersebut. Tes inteligensi dan tes
kreativitas dapat secara umum digunakan untuk semua bidang talenta (Kathena, 1982). Sejak
tahun 1995, Institut Kesenian Jakarta mengikutsertakan tes inteligensi dan tes kreativitas, di
samping tes keterampilan/pengetahuan khusus tentang bidang seni yang dilamar.

Jika alat psikometris yang sesuai belum ada, identifikasi bakat dalam bidang seni visual dan
pertunjukan bergantung pada metode observasi, yang dinilai oleh ahli-ahli dalam bidang seni
tersebut. Dalam seleksi ini diharapkan ahli-ahli tersebut tidak hanya menilai kemampuan
reproduktif, tetapi juga kemampuan inovatif, dengan kecenderungan untuk dapat
melepaskan diri dari bentuk seni yang konvensional tradisional semata-mata.

3.4.5 Identifikasi Bakat Psilzomotor

Kemampuan psikomotor diperlukan dalam kebanyakan kegiatan manusia dan dapat diamati

9
jika seseorang belajar melakukan kegiatan olahraga dan atletik, menangani macam-macam
peralat- an mesin, atau jika is memainkan alat musik atau main drama. Derajat diperlukannya
keterampilan psikomotor dalam berbagai kegiatan tersebut berbeda.

Untuk mengidentifikasi tingkat kemampuan psikomotor, sebaiknya dilakukan penjaringan


terlebih dahulu untuk menentukan tingkat kemampuan intelektual, kemampuan yang khusus
berkaitan dengan bidang talenta, kemampuan berpikir kreatif jika kemampuan psikomotor
tersebut memerlukan inovasi (misalnya untuk dapat merancang perabot baru, atau bagi
musikus untuk dapat melakukan improvisasi), dan tingkat perkembangan keseluruhan badan
atau bagian badan yang berhubungan dengan kemampuan yang dicari, misalnya, kekuatan,
kecepatan, koordinasi, kelenturan, dan lain-lain. Tes inteligensi WISC di samping bagian
Verbal (yang menghasilkan IQ Verbal) mempunyai bagian Performance yang mengukur IQ
Performance dengan subtes yang dapat memberikan informasi bermanfaat mengenai
koordinasi visual motoris, organisasi visual, dan organisasi persepsi.

3.4.6 Identifikasi Bakat Kreatif

Kreativitas merupakan bentuk bakat yang majemuk, oleh karena itu penyusunan ukuran-
ukuran untuk mengidentifikasi bakat kreatif harus dimulai dengan definisi kerja dari konsep
tersebut. Psikolog yang terkemuka dalam bidang pengukuran kreativitas adalah J.P. Guilford
dan E.P. Torrance. Pada umumnya alat tes mereka mengutamakan kemampuan berpikir
seperti kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi, namun pendekatan mereka
berbeda. Torrance (1974) mengukur kemampuan melalui penampilan beberapa tugas
majemuk yang dirancang untuk memicu ungkapan beberapa kemampuan pada saat yang
sama, sedangkan Guilford (1967) mengukur berpikir divergen dengan menggunakan format
tes yang pada umumnya menuntut subjek untuk berespons terhadap banyak stimulus
(rangsangan), yang masing-masing mengukur komponen khusus dari struktur intelek.

Sehubungan dengan konsep kreativitas sebagai kemampuan untuk membentuk asosiasi,


perangkat yang terkenal adalah alat dari Mednick dan Mednick (1967) yang menuntut
penyusunan tiga stimulus untuk menghasilkan satu asosiasi yang jauh dan orisinal (The
Remote Associates Test) yang terdiri atas 32 set tiga kata, yang masing-masing mempunyai
kaitan yang lemah (jauh) dengan pikiran kebanyakan orang. Subjek diminta untuk
menemukan kata keempat yang ada kaitannya dengan masing-masing dari tiga kata pertama.
Hanya ada satu jawaban yang tepat, hal mana menimbulkan kritik bahwa tes kreativitasnya
seharusnya memungkinkan berbagai alternatif jawaban terhadap suatu masalah (berpikir di-
vergen). Namun, ternyata tes ini berhasil untuk mengidentifikasi secara cepat, sederhana dan
tepat, mereka yang mempunyai bakat kreatif tinggi.

Sebagai tambahan, ada alat tes yang mengidentifikasi pribadi kreatif melalui:

• biografi atau persepsi kreatif


• alat yang mengukur sikap dan motivasi
• alat yang mengukur konsep din kreatif
• alat ukur kecenderungan konformitas-nonkonformitas
• alat yang mengukur fungsi belahan otak kiri dan kanan
• alat yang mengukur berpikir kreatif dalam tindakan dan gerakan.
10
Inventori kepribadian digunakan untuk mempelajari kepribadian kreatif, tetapi bukan
terutama untuk mengukur kreativitas. Beberapa pendekatan yang efektif untuk
mengidentifikasi karakteristik individu yang kreatif antara lain melalui wawancara sejarah
hidup dan penilaian ciri kepribadian.

Hanya sedikit instrumen yang mengukur prestasi kreatif, di antaranya Daftar Periksa
(Checklist) atau petunjuk dan prestasi kreatif dari kehidupan nyata. Identifikasi talenta kreatif
dilakukan melalui beberapa cara yang meliputi ukuran kemampuan berpikir kreatif,
orisinalitas, imagery kreatif, dan persepsi diri kreatif.

3.5 BEBERAPA TES KREATIVITAS DARI LUAR NEGERI

3.5.1 Tes Kemampuan Berpikir Divergen (Guilford)

Model Guilford tentang Struktur Intelek mencakup tiga dimensi (matra), yaitu matra operasi
(proses) dengan lima kategori operasi mental, matra content dengan empat kategori, dan
matra produk dengan enam kategori. Yang terutama berkaitan dengan kreativitas adalah
"berpikir divergen" sebagai operasi mental yang menuntut penggunaan kemampuan berpikir
lancar, lentur, orisinal, dan terperinci (elaborasi).

Macam-macam tes berpikir kreatif dari Guilford yang mengukur kemampuan berpikir
divergen terutama digunakan untuk populasi remaja dan orang dewasa, meskipun ada juga
yang untuk anakanak kelas 4 sampai 6 SD. Tes kreativitas yang disusun untuk anakanak
terdiri dari 10 subtes, yaitu: Nama untuk cerita, Apa yang dapat dilakukan, Arti yang sama,
Menulis kalimat, Macam-macam orang, Membuat sesuatu, Kelompok berbeda, Membuat
objek, Huruf Tersembunyi, dan Menambah dekorasi. Lima subtes pertama adalah verbal,
yang lainnya nonverbal. Tes berpikir divergen dari Guilford mempunyai batas waktu,
berdasarkan pertimbangan bahwa penentuan waktu adalah penting untuk pengetesan yang
cermat. Mengenai model Struktur Intelek akan dibahas lebih lanjut pada Bab 8.

3.5.2 Tes Torrance mengenai Kemampuan Berpikir Kreatif

Tes Torrance dimaksudkan untuk memicu ungkapan secara simultan dari beberapa operasi
mental kreatif yang terutama mengukur kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi.
Definisi Torrance tentang kreativitas yang telah dibahas dalam Bab 1 melandasi penyusunan
tesnya.

Tes Torrance tentang Berpikir Kreatif terdiri dari bentuk verbal dan bentuk figural,
keduanya berkaitan dengan proses kreatif dan meliputi jenis berpikir yang berbeda-beda. Tes
tersebut disusun sedemikian untuk membuat aktivitasnya menarik dan menantang untuk
siswa mulai dari pendidikan prasekolah sampai tamat sekolah menengah. Tes Torrance
dapat diberikan secara individual maupun dalam kelompok. Bentuk verbal terdiri dari tujuh
subtes: Mengajukan pertanyaan, Menerka sebab, Menerka akibat, Memperbaiki produk,
Penggunaan tidak lazim, Pertanyaan tidak lazim, dan Aktivitas yang diandaikan. Bentuk
figural terdiri dari tiga subtes: Tes bentuk, Gambar yang tidak lengkap, dan Tes Lingkaran.
Tes verbal diskor untuk kelancaran, kelenturan, dan orisinalitas, sementara tes figural
11
ditambah dengan skor untuk elaborasi. Tes Torrance juga diberi batas waktu atas dasar
pertimbangan bahwa sampai derajat tertentu harus ada press (pendorong, tekanan) untuk
memicu fungsi mental kreatif dengan tetap memberikan dorongan untuk merangsang
berpikir kreatif.

3.5.3 Tes Berpikir Kreatif-Produksi Menggambar

Tes kreativitas yang termasuk baru adalah yang dikonstruksi oleh Jellen dan Urban (1985)
yang disebut Test for Creative Thinking-Drawing Production (TCT-DP). Tes ini berbeda
dari tes Guilford dan Torrance karena skornya tidak berdasarkan kelangkaan secara statistis,
tetapi berdasarkan apa yang disebut image production. Responden diminta untuk
menyelesaikan gambaran yang tidak lengkap (rangsangan figural), dan penilaiannya
mencakup sembilan dimensi, yaitu melengkapi, melanjutkan, unsur baru, hubungan yang
dibuat dengan garis, hubungan yang berkaitan dengan tema, melintasi batas (dua kriteria),
perspektif, dan humor. TCT-DP disusun berdasarkan teori tentang sifat berpikir kreatif, dan
prosedur penyekoran berdasarkan teori ini, dan tidak semata-mata berdasarkan perhitungan
statistis.

TCT-DP sudah digunakan di Indonesia tetapi baru pada taraf uji-coba. Pada tahun 1987
Jellen dan Urban rrtelakukan penelitian penjajakan menggunakan TCT-DP dengan sampel
anak dari delapan negara, termasuk Indonesia. Administrasi tes di Indonesia dilakukan oleh
penulis terhadap siswa sekolah dasar di Jakarta yang termasuk cukup bermutu. Ternyata dari
penelitian Jellen-Urban anak Indonesia mencapai skor kreativitas yang paling rendah
dibandingkan dengan negara-negara lain, di antaranya Filipina, India, dan Afrika Selatan.
Semua tes dikirim ke peneliti dan diskor oleh mereka sendiri untuk menjamin objektivitas
dalam penilaian. Pertanyaan yang timbul adalah hal-hal apa yang menyebabkan anak-anak
Indonesia kurang berhasil dalam kinerja kreatif?

TCT-DP dengan rangsangan figural diharapkan "adil-budaya" (culture-fair), dalam arti bahwa
pengaruh budaya diupayakan minimal. Meskipun menggunakan stimulus figural, tes ini tidak
ada hubungan dengan kemampuan menggambar (kita semua tahu bahwa anak-anak
Indonesia sangat pandai menggambar dan telah memenangkan berbagai lomba menggambar
internasional), tetapi lebih dengan kemampuan mencetuskan gagasan dan aspek-aspek dari
berpikir kreatif yang telah dikemukakan. Hasil penelitian ini menimbulkan pertanyaan sejauh
mana pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan, keluarga, sekolah, dan masyarakat, terhadap
perkembangan kreativitas anak? Sejauh mana sistem pendidikan formal di Indonesia lebih
memprioritaskan perkembangan kecerdasan daripada perkembangan kreativitas peserta
didik?

3.5.4 Berpikir Kreatif dengan Bunyi dan Kata

Ukuran talenta kreatif lainnya berhubungan dengan orisinalitas dan imajinasi, tamsil atau
imagery, dan analogi, yaitu Thinking Creatively with Sounds and Words (Torrance, Kathena,
dan Cunning-ton, 1973). Tes ini terdiri dari dua ukuran orisinalitas verbal. Salah satunya
adalah tes Sounds and Images yang menampilkan rangsangan dalam bentuk suara bunyi yang
berkisar dari sederhana sampai rumit. Suara-suara ini merangsang intelek manusia bersilang
tindak (interact) dengan emosi untuk memunculkan respons yang imajinatif.
12
3.5.5 Inventory Kathena-Torrance mengenai Persepsi Kreatif

Cara yang berdayaguna untuk menemukenali bakat kreatif adalah melalui pengamatan diri
seseorang, dalam bentuk daftar periksa, kuesioner, dan inventori. Salah satu inventori yang
efektif untuk identifikasi talenta kreatif adalah Kathena-Torrance Creative Perception
Inventory, yang terdiri dari dua alat ukur: What kind of person are you? dan Something
about myself. Mat ini terutama dirancang untuk remaja dan orang dewasa yang berbakat
kreatif, tetapi telah pula digunakan untuk anak umur 10 dan 11 tahun.

Alat ukur pertama, What kind of person are you?, adalah berdasarkan pertimbangan bahwa
seseorang mempunyai Diri Aku psikologis dengan cara-cara perilaku kreatif dan tidak kreatif.
Dengan alat ini diperoleh indeks dari motivasi seseorang untuk berfungsi dengan cara-cara
yang kreatif. Mat kedua, Something about myself, adalah berdasarkan pertimbangan bahwa
kreativitas tercermin dari karakteristik kepribadian seseorang, dalam cara-cara berpikirnya,
dan dalam produk-produk yang muncul sebagai hasil dari dorongan kreatif mereka. Untuk
kedua alat tersebut tidak ada batas waktu, tetapi pada umumnya masing-masing memerlukan
5-15 menit untuk diisi.

Pendekatan yang bermanfaat untuk menjaring siswa berbakat adalah dengan memperoleh
keterangan tentang tingkat siswa dalam:

• kemampuan umum (sedapat mungkin baik verbal maupun nonverbal)


• kemampuan berpikir kreatif
• prestasi belajar
• keterangan khusus sehubungan dengan bidang talenta di mana siswa diharapkan
menunjukkan keunggulannya, dan apabila tidak ada alat ukur yang tersedia untuk ini,
dapat digunakan kuesioner untuk membantu perolehan data.

3.6 ALAT UKUR BAKAT DAN KREATIVITAS DI INDONESIA

Tes untuk mengukur kreativitas, sebagaimana telah dikemukakan meliputi aptitude traits,
atau ciri kognitif dari kreativitas dan non-aptitude traits atau ciri afektif dari kreativitas. Tes
kreativitas pertama yang dikonstruksi di Indonesia pada tahun 1977 adalah Tes Kreativitas
Verbal (mengukur kemampuan berpikir divergen) dan Skala Sikap Kreatif, keduanya
dikonstruksi oleh Utami Munandar dalam penulisan disertasinya "Creativity and Education".

3.6.1 Tes Kreativitas Verbal

Konstruksi tes kreativitas verbal berlandaskan pada model Struktur Intelek dari Guilford
sebagai kerangka teoretis. Tes ini terdiri dari enam subtes yang semuanya mengukur dimensi
operasi berpikir divergen, dengan dimensi konten verbal, tetapi masing-masing berbeda
dalam dimensi Produk. Setiap subtes mengukur aspek yang berbeda dari berpikir kreatif.
"Kreativitas" atau "berpikir kreatif" secara operasional dirumuskan sebagai "suatu proses yang
tercermin dari kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam berpikir" (Utami Munandar,
1977).

13
Keenam subtes dari Tes Kreativitas Verbal adalah Permulaan kata, Menyusun kata,
Membentuk kalimat tiga kata, Sifat-sifat yang sama, Macam-macam penggunaan, dan Apa
akibatnya.

(1) Permulaan Kata

Pada subtes ini subjek harus memikirkan sebanyak mungkin kata yang mulai dengan susunan
huruf tertentu sebagai rangsang. Tes ini mengukur "kelancaran dengan kata", yaitu
kemampuan untuk menemukan kata yang memenuhi persyaratan struktural tertentu.
Contoh: Sa

(2) Menyusun Kata

Pada subtes ini subjek harus menyusun sebanyak mungkin kata dengan menggunakan huruf-
huruf dari satu kata yang diberikan sebagai stimulus (dalam kepustakaan tes ini juga disebut
Anagram). Seperti tes Permulaan Kata, tes ini mengukur "kelancaran kata", tetapi tes ini juga
menuntut kemampuan dalam reorganisasi persepsi. Contoh: Proklamasi

(3) Membentuk Kalimat Tiga Kata

Pada subtes ini subjek harus menyusun kalimat yang terdiri dari tiga kata, huruf pertama
untuk setiap kata diberikan sebagai rangsang, akan tetapi urutan dalam penggunaan ketiga
huruf tersebut boleh berbeda-beda, menurut kehendak subjek. Contoh: A -l - g.

(4) Sifat-sifat yang Sama

Pada subtes ini, subjek harus menemukan sebanyak mungkin objek yang semuanya memiliki
dua sifat yang ditentukan. Tes ini merupakan ukuran dari "kelancaran dalam memberikan
gagasan", yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan yang memenuhi persyaratan tertentu
dalam waktu yang terbatas. Contoh: Merah dan cair.

(5) Macam-macam Penggunaan

Pada subtes ini subjek harus memikirkan sebanyak mungkin penggunaan yang tidak lazim
(tidak biasa) dari benda sehari-hari. Tes ini merupakan ukuran dari "kelenturan dalam
berpikir", karena dalam tes ini subjek harus dapat melepaskan din dari kebiasaan melihat
benda sebagai alat untuk melakukan hal tertentu saja. Kecuali mengukur kelenturan dalam
berpikir, tes ini juga mengukur orisinalitas dalam berpikir. Orisinalitas ditentukan secara
statistis, dengan melihat kelangkaan jawaban itu diberikan. Contoh: pencil.

(6) Apa Akibatnya

Pada subtes ini subjek harus memikirkan segala sesuatu yang mungkin terjadi dari suatu
kejadian hipotetis yang telah ditentukan sebagai stimulus. Kejadian atau peristiwa itu
sebetulnya tidak mungkin terjadi di Indonesia, akan tetapi dalwri hal ini subjek harus
mengumpamakan, andaikata hal itu terjadi di sini, apa saja akibatnya? Tes ini merupakan
ukuran dari kelancaran dalam memberikan gagasan digabung dengan "elaborasi", diartikan
14
sebagai kemampuan untuk dapat mengembangkan suatu gagasan, memperincinya, dengan
mempertimbangkan macam-macam implikasi. Contoh: Apa akibatnya jika manusia dapat
terbang seperti burung?

Tahun 1986 dilakukan penelitian Standardisasi Tes Kreativitas Verbal oleh Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Bagian Psikologi Pendidikan, yang menghasilkan nilai baku
untuk umur 1018 tahun, dan pengukuran Creativity Quotient (CQ) berdasarkan konversi
jumlah nilai baku (Utami Munandar, dkk., 1986).

3.6.2 Tes Kreativitas Figural (TKF)

Tes kreativitas yang merupakan adaptasi dari Circle Test dari Torrance, pertama digunakan
di Indonesia pada tahun 1976 (Utami Munandar, 1977), kemudian tahun 1988 dilakukan
penelitian Standardisasi Tes Kreativitas Fugural (untuk umur 10-18 tahun) oleh Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia, Bagian Psikologi Pendidikan (Utami Munandar, dkk.,1988).

Manfaat penelitian ini adalah memberikan perspektif yang lebih luas dari pengukuran
kemampuan berpikir kreatif. Di samping tes kreativitas dengan konten verbal (TKV) juga
diperlukan tes kreativitas dengan konten figural. TKF memungkinkan penyelesaian dalam
waktu singkat—hanya memerlukan waktu 10 menit untuk menyelesaikan tes—dan dapat
diberikan dalam kelompok. Material tes sangat sederhana, sehingga tidak mahal.

Seperti TKV, TKF mengukur aspek kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi dari
kemampuan berpikir kreatif. Nilai tambah dari TKF adalah bahwa di samping aspek-aspek
tersebut di atas, TKF juga memungkinkan mendapat ukuran dari kreativitas sebagai
kemampuan untuk membuat kombinasi antar unsur-unsur yang diberikan, yaitu dengan
memberikan skor untuk "Bonus Orisinalitas" jika subjek mampu menggabung dua lingkaran
atau lebih menjadi satu objek. Makin banyak lingkaran yang dapat digabung, makin tinggi
nilai (skor) yang diperoleh.

3.6.3 Skala Sikap Kreatif

Berdasarkan pertimbangan bahwa perilaku kreatif tidak hanya memerlukan kemampuan


berpikir kreatif (kognitif), tetapi juga sikap kreatif (afektif), pada tahun 1976 penulis
menyusun Skala Sikap Kreatif yang terdiri dari 32 butir pernyataan, di antaranya delapan
butir diadaptasi dari Creative Attitude Survey yang disusun oleh Schaefer (Utami Munandar,
1977).

"Sikap kreatif" dioperasionalisasi dalam dimensi sebagai berikut:

• keterbukaan terhadap pengalaman baru


• kelenturan dalam sikap
• kebebasan dalam ungkapan diri
• menghargai fantasi
• minat terhadap kegiatan kreatif
• kepercayaan terhadap gagasan-gagasan sendiri
• kemandirian dalam memberikan pertimbangan
15
Skala ini disusun untuk siswa SD dan SMP dan memerlukan 1015 menit untuk diisi, setiap
pernyataan dijawab dengan "ya" atau "tidak".

3.6.4 Skala Penilaian Anak Berbakat oleh Guru

Di samping tes kreativitas yang memerlukan keahlian psikolog dalam penafsirannya,


diperlukan alat identifikasi kreativitas yang dapat digunakan oleh guru. Untuk tujuan ini telah
diadaptasi untuk Indonesia, Skala Penilaian Anak Berbakat yang disusun oleh Renzulli, dkk.
(1971), terdiri atas empat subskala, tiga di antaranya sesuai dengan definisi Renzulli tentang
keberbakatan, yaitu ciri kemampuan intelektual umum, kreativitas, dan pengikatan diri
terhadap tugas (motivasi). Subskala ciri kepemimpinan tidak diadaptasi. Skala ini dimuat
dalam buku Pemanduan Anak Berbakat (Utami Munandar, 1982) dan yang dikemukakan
sekarang hanya subskala untuk kreativitas, yang meliputi ciri-ciri:

1. rasa ingin tahu yang luas dan mendalam


2. sering mengajukan pertanyaan yang baik
3. memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah
4. bebas dalam menyatakan pendapat
5. mempunyai rasa keindahan yang dalam
6. menonjol dalam salah satu bidang seni
7. mampu melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang
8. mempunyai rasa humor yang luas
9. mempunyai daya imajinasi
10. orisinal dalam ungkapan gagasan dan dalam pemecahan masalah.

Untuk setiap pernyataan ada lima kemungkinan jawaban:

• jarang atau tidak pernah mengamati ciri tersebut pada anak


• kadang-kadang/pernah mengamati ciri tersebut pada anak
• sering mengamati ciri tersebut pada anak
• hampir selalu mengamati ciri tersebut pada anak
• tidak tahu atau ragu-ragu mengamati ciri tersebut pada anak.

3.7 ALAT UNTUK IDENTIFIKASI KEBERBAKATAN DI INDONESIA

Skala pemanduan anak berbakat oleh guru disusun dan digunakan dalam Proyek Pendidikan
Anak Berbakat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, BP3K, 1982). Mengenai tiga
subskala ternyata sulit bagi guru untuk mengisinya dan memerlukan banyak waktu. Untuk
mengatasi masalah ini disusun alat sederhana untuk identifikasi siswa berbakat, yaitu satu
format Pencalonan Siswa Berbakat oleh guru untuk penggunaan di sekolah dasar—meliputi
10 ciri keberbakatan—dan satu untuk penggunaan di sekolah menengahmeliputi 14 ciri
keberbakatan. Pada alat ini dimensi kreativitas terpisah, tetapi digabung dengan dimensi lain
dari keberbakatan.
Di samping format penilaian Siswa Berbakat oleh guru yang dikembangkan oleh Proyek
Pendidikan Anak Berbakat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lydia Freyani Akbar-
Hawadi pada tahun 1993 dalam rangka penulisan disertasinya juga telah mengembangkan
16
format yang disusunnya sendiri, yaitu Skala Nominasi Anak Berbakat oleh teman sebaya,
Skala Nominasi oleh diri sendiri, dan Skala Pengikatan Diri terhadap Tugas, yang diisi oleh
siswa.

Tujuan dari penelitiannya adalah untuk menemukan Skala identifikasi keberbakatan siswa
sekolah dasar yang dapat digunakan oleh orang bukan psikolog, serta melihat ketepatan
peramalan dari tiga skala tersebut dalam membedakan kelompok anak berbakat dengan
kelompok anak yang tidak diidentifikasi sebagai berbakat.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketiga skala itu masingmasing mempunyai


hubungan yang bermakna dengan peubah keberbakatan. Nilai rata-rata pada ketiga skala
identifikasi Anak Berbakat tersebut secara bermakna lebih tinggi pada kelompok Anak
Berbakat daripada pada kelompok anak yang tidak digolongkan sebagai berbakat.

Khusus mengenai identifikasi keberbakatan pada mereka yang dalam kedudukan kurang
menguntungkan, antara lain anak cacat yang berbakat, akan dibahas pada Bab 11.

3.8 PENDEKATAN ALTERNATIF UNTUK MENEMUKENALI BAKAT

3.8.1 Tiga Tingkat Konsepsi Bakat

Mengingat keragaman falsafah, kebijakan, dan kondisi pendidikan di berbagai negara dan
kebudayaan, Braggett (1996) menandaskan bahwa tidak perlu mencari satu model identifikasi
keberbakatan yang cocok untuk semua negara dan kebudayaan. Ia menunjuk pada satu
model umum yang membedakan tiga tingkat konsep keberbakatan. Hal ini memungkinkan
untuk mempertimbangkan

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3


Keberbakatan Pelatihan Talenta:
Pembawaan Coaching Tingkat tertinggi
Kapasitas Pengajaran (Keunggulan)
Kemampuan atau Keterampilan Kinerja
Aptitud Kerja Keras

Gambar 3.1 Tiga dimensi keberbakatan


(Sumber E. Braggett. 1996)

perbedaan budaya dalam konsep dan identifikasi keberbakatar serta membantu


menemukenali prosedur yang akan digunakan . dalam identifikasi tersebut.

Pada Gambar 3.1 kita lihat tiga tingkat konsep keberbakatan,


yaitu:

• Tingkat 1 adalah kemampuan atau potensi pembawaan (aptitude) yang merupakan


17
komponen penting, tetapi tidak menjamin kinerja unggul.
• Tingkat 2 menunjukkan bahwa bakat pembawaan perlu dipupuk, dilatih, dan
dikembangkan agar dapat terwujud, dan untuk itu diperlukan kerja keras.
• Tingkat 3 adalah bakat yang sudah nyata: talenta dan kinerja tingkat tinggi dan luarbiasa.

Tingkat 1
Pengetesan untuk:
Keberbakatan menjaring siswa dengan
Pembawaan mengidentifikasi berdasarkan
Kapasitas • inteligensi umum
Kemampuan atau • kemampuan khusus
Aptitude • aptitud, dsb.

Gatnbar 3.2 Kemampuan dan aptitud pembawaan


(Sumber E. Braggett. 1996)

3.8.2 Model Reaktif dan Proaktif dalam Identifikasi Keberbakatan

Dalam menemukenali keberbakatan, Bragget membedakan dua model, yang sangat reaktif
dan yang proaktif. Pada model reaktif, siswa berbakat diidentifikasi dan diseleksi berdasarkan
tes psikologis dan tes prestasi, lalu guru menyelenggarakan program keberbakatan bagi
mereka, lihat Gambar 3.3.

Kedua
Pertama
Identifikasi bakat siswa Berdasarkan identifikasi guru
untuk guru dengan memberikan program
menggunakan tes. keberbakatan.

Gambar 3.3 Model Reaktif (Somber. E. Braggett. 1996)

Pada model proaktif disediakan program pembelajaran berdiferensiasi yang diikuti oleh
semua siswa; kemudian dilihat siswasiswa mana yang memiliki respon terhadap program yang
bersangkutan dengan perilaku yang berbakat, lihat Gambar 3.4.

Pertama Kedua

Berikan Guru menemukan bakat siswa


program/kurikulum berdasarkan respon mereka
berdiferensiasi pada terhadap program.
siswa.

Gambar 3.4 Model Proaktif (Somber: E. Braggett. 1996)

18
Dengan cara ini kita tidak perlu mencari siswa berbakat, dengan menyediakan kurikulum
berdiferensiasi yang sesuai untuk bermacam-macam jenis kemampuan, talenta, dan minat,
semua siswa, termasuk mereka dengan kemampuan luarbiasa, dapat dilayani kebutuhan
pendidikannya. Kurikulum reguler dapat diajarkan dengan dimodifikasi sedemikian sehingga
siswa berbakat dapat ditemukenali dalam kelas biasa dengan melihat kinerja yang mereka
tampilkan. Dengan demikian kita tidak perlu bergantung pada alatalat identifikasi yang
konvensional, yang saat ini masih langka dan belum menyebar ke seluruh Indonesia.

3.9 RINGKA SAN

• Ada lima alasan dasar pertimbangan untuk menemukenali atau mengukur bakat
kreatif anak (Dacey, 1989), yaitu untuk tujuan pengayaan, remedial, bimbingan
kejuruan, evaluasi pendidikan, dan untuk mengkaji kreativitas pada berbagai tahap
kehidupan. Davis (1992) melihat tiga kegunaan utama untuk tes kreativitas, yaitu
untuk tujuan identifikasi bakat kreatif, penelitian, dan untuk bimbingan dan
konseling.
• Kita harus membedakan antara pengertianprecocious yang berarti lebih cepat matang,
tetapi belum tentu mewujudkan karya yang unggul, dari pengertian prodigious yang
berarti menghasilkan sesuatu yang luar biasa dan langka, produktivitas yang orisinal.
• Kreativitas atau bakat kreatif dapat diukur secara langsung dan tidak langsung, dan
dapat menggunakan metode tes atau nontes. Ada pula alat untuk mengukur ciri-ciri
kepribadian kreatif, dan dapat dilakukan pengamatan langsung terhadap kinerja
kreatif.
• Sesuai dengan definisi U.S.O.E. yang membedakan enam jenis bakat, dikembangkan
alat identifikasi untuk masing-masing bidang tersebut.
• Untuk mengukur kemampuan intelektual umum, tes individual lebih cermat, tetapi
lebih banyak makan waktu dan biaya. Yang sudah digunakan di Indonesia adalah tes
Stanford-Binet dan Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC). Tes inteligensi
kelompok lebih efisien dalam ukuran waktu dan biaya, keterbatasannya adalah tidak
diketahuinya apakah prestasi anak sudah optimal. Di Indonesia, tes kelompok yang
sudah banyak digunakan adalah tes Progressive Matrices, Culture-Fair Intelligence
Test, dan Tes Inteligensi Kolektif Indonesia; yang terakhir khusus dikonstruksi untuk
Indonesia.
• Tes Potensi Akademik yang khusus dirancang untuk Indonesia dapat digunakan
untuk menemukenali bakat akademik, misalnya sejauh mana seseorang mampu
mengikuti pendidikan tersier.
• Tes untuk mengukur bakat kepemimpinan diperlukan tetapi belum banyak alat yang
tersedia untuk itu. Demikian pula tes untuk menemukenali bakat dalam salah satu
bidang seni, atau bidang psikomotorik, kecuali yang dipakai oleh pakar-pakar dalam
bidang seni tersebut. Namun, keberbakatan dalam bidang seni juga memerlukan
tingkat inteligensi dan kreativitas yang di atas rata-rata. Menyadari hal ini, Institut
Kesenian Jakarta sejak 1995 menyeleksi calon mahasiswa IKJ berdasarkan tes
inteligensi dan tes kreativitas.
• Beberapa tes dari luar negeri yang mengukur kreativitas adalah tes Guilford yang
mengukur kemampuan berpikir divergen, tes Torrance juga untuk mengukur
berpikir kreatif. Tes yang lebih baru adalah Tes Berpikir Kreatif-Produksi
19
Menggambar dari Jellen dan Urban (1985). Di camping itu, untuk menilai ciri-ciri
afektif dari kreativitas ada inventori Kathena-Torrance mengenai persepsi sejauh
mana diri sendiri itu kreatif.
• Tes pertama yang khusus dikonstruksi untuk Indonesia adalah Tes Kreativitas Verbal
(Utami Munandar, 1977). Tes ini disusun berdasarkan model Struktur Intelek dari
Guilford, mengukur kelancaran, kelenturan, orisinalitas, dan elaborasi dalam
berpikir. Tahun 1986 dilakukan standardisasi TKV oleh Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia, Bagian Psikologi Pendidikan, yang menghasilkan nilai baku
untuk umur 10 sampai dengan 18 tahun, dan pengukuran kuosien kreativitas
(Creativity Quotient = CQ). Tahun 1996 disusun Tes Kreativitas Verbal baru oleh
Utami Munandar, Reni Akbar, dan Hamdan (TKV-URH) dengan desain yang sama
seperti TKV pertama (TKV-UM).
• Tes Kreativitas Figural diadaptasi dari Torrance Circles Test, dan pada tahun 1988
distandardisasi untuk umur 10-18 tahun oleh Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, Bagian Psikologi Pendidikan.
• TKF kecuali mengukur aspek kreativitas tersebut di muka, juga mengukur kreativitas
sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi antara unsur-unsur yang diberikan.
• Skala Sikap Kreatif yang juga khusus dikonstruksi untuk Indonesia pada tahun 1977
mengukur dimensi afektif dari kreativitas, meliputi tujuh dimensi. Skala ini disusun
untuk siswa SD dan SMP (Utami Munandar, 1977). Skala Sikap Kreatif untuk siswa
SMA disusun oleh Evita Singgih pada tahun 1990.
• Skala Penilaian Siswa Berbakat oleh guru disusun oleh Renzulli, dick, terdiri atas
empat subskala untuk menilai kemampuan belajar, motivasi, kreativitas, dan
kepemimpinan. Skala ini di. adaptasi untuk Indonesia, kecuali subskala
kepemimpinan.
• Karena makan waktu dan guru mengalami kesulitan untut menggunakan adaptasi
Skala Renzulli, maka disusun Alat Idea tifikasi Sederhana dengan format untuk
sekolah dasar dar menengah. Alat ini mencakup ciri-ciri kemampuan belajar motivasi
dan kreativitas. (Departemen Pendidikan dan Kebu dayaan, BP3K, 1982).
• Skala Nominasi Keberbakatan yang dapat digunakan oleh guru teman sebaya dan diri
sendiri, dikembangkan oleh Lydia Akbar-Hawadi (1993) untuk siswa sekolah dasar.
• Pendekatan alternatif untuk mengidentifikasi bakat adalah de ngan memberikan
program pembelajaran berdiferensiasi.

RUJUKAN

Akbar-Hawadi, L.F. 1993. "Identifikasi Anak Berbakat Intelektual Menuru Konsepsi


Renzulli Berdasarkan Nominasi oleh Guru, Teman Sebay dan Diri Sendiri". Disertasi
doktor. Jakarta: Program Pascasarjan Universitas Indonesia.
Bragget, E. 1996. "Issues in the Identification and Assesment of Gifte Students" dalam U.
Munandar dan C. Semiawan (ed.), Optimizin Excellence in Human Resource
Development. Jakarta: UI Press.
Dacey, J.S. 1989. Fundamentals of Creative Thinking. Lexington, MA: Lexingto Books.
Davis, G.A. 1992. Creativity is Forever. USA: Kendall/Hunt Publ. Co. Guilford, J.P. 1967.
The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw Hill.
Jellen, H. & Urban, K. 1985. Test for Creative Thinking-Drawing Productio) Universitat
Hannover.
20
Khatena, J. 1992. Gifted: Challenge and Response for Education. Itasca, Illinoi Peacock
Publ. Inc.
Mednick, S.A. dan M.T. Mednick. 1967. Remote Asssociates Test: Examine, Manual.
Boston: Houghton Mifflin.
Munandar, S.C. Utami. 1977. Creativity and Education: A Study of h Relationships Between
Meaures of Creative Thinking and A Number Educational Variables in Indonesian
Primary and Junior Secondary Schooi Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudiyaan.
Munandar, S.C. Utami. 1982. Pemanduan Anak Berbakat: Suatu Studi Penjajakan. Jakarta:
Rajawali.
Munandar, S.C. Utami, dkk. 1986. Standarisasi Tes Kreativitas Verbal. Jakarta: Jurusan
Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Munandar, S.C. Utami, dkk. 1988. Standarisasi Tes Kreativitas Figural. Jakarta: Jurusan
Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Stogdill, R.M. 1974. Handbook of Leadership: A Survey of Theory and Research. New
York: Free Press.
Torrance, E.P. 1974. Torrance Test of Creative Thinking: Norms and Technical Manual.
Bensenville, II.: Scholastic Testing Service.
Torrance, E.P., J. Kathena, dan B.F. Cunnington. 1973. Thinking Creatively with Sounds
and Words. Bensenville, II.: Scholastic Testing Service.

21

Anda mungkin juga menyukai