Anda di halaman 1dari 15

KAMI (JIN) MENDENGARKAN AL-QUR’AN YANG

MENAKJUBKAN

 PENDAHULUAN
Secara etimologis kata Al-Jin berasal dari kata Jannah artinya bersembunyi. Dinamaial-
Jin karena tersembunyi dari pandangan manusia. Kata lain yang berasal dari
kata jannahadalah junnah, artinya perisai, dinamai demikian karena menyembunyikan kepala
prajurit yang memakainya; jannah artinya sorga atau taman, dinamai demikian karena taman
tersembunyi oleh pohon-pohon yang rindang; janin artinya jabang bayi, dinamai demikian karena
tersembunyi di dalam perut ibu (Al-Jazairy, tt, hal. 211)
Kata Iblis menurut sebagian ahli bahasa berasal dari kata ablasa artinya putus asa. Dinamai
iblis karena dia putus asa dari rahmat atau kasih sayang Allah SWT (Sayid Sabiq, 1986, hal. 219).
Kata Syaitan berasal dari kata Syatana artinya menjauh. Dinamai syaitan karena jauhnya dari
kebenaran. (Shabuni, 1977, hal.17)
Secara terminologis, Jin adalah sebangsa makhluk ghaib (makhluk rohani) yang diciptakan oleh
Allah SWT dari api, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
"Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." (QS. al-Hijr, 15:
27).
Bangsa Jin juga mukhalaf (diperintahkan untuk mengerjakan syari'at agama) sebagaimana
halnya manusia:
"Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari golongan kamu
sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap
pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri kami sendiri",
kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa
mereka adalah orang-orang yang kafir." (QS. al-An'am, 6: 130).
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
(QS. adz-Dzariat, 51: 56).
Bangsa Jin itu ada yang patuh dan ada yang durhaka kepada Allah SWT, sebagaimana
dinyatakan oleh Allah:
"Dan sesungguhnya di antara kami (bangsa Jin) ada yang shaleh ada pula yang tidak demikian
halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda." (QS. al-Jin, 72: 11).
"Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada yang menyimpang dari kebenaran.
Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun yang
menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api bagi neraka jahanam." (al-Jin, 72: 14-
15).
Tatkala Allah SWT memerintahkan kepada bangsa Jin untuk sujud kepada Adam bersama dengan
para Malaikat, salah satu dari mereka menentang. Yang menentang itulah yang dikenal dengan Iblis,
sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT:
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam,"
maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-
orang yang kafir." (QS. al-Baqarah, 2: 34).
Iblis itulah nenek moyang seluruh Syaitan, yang seluruhnya selalu durhaka kepada Allah SWT
dan bertekad untuk menggoda umat manusia (anak cucu Adam) mengikuti langkah mereka
menentang perintah Allah SWT.
Ringkasnya Jin adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari api, mukallaf seperti
manusia, di antara mereka ada yang patuh dan ada yang durhaka. Yang durhaka pertama kali adalah
Iblis, anak cucunya disebut syaitan.
 Secara terminologis, Jin adalah sebangsa makhluk ghaib (makhluk rohani) yang
diciptakan oleh Allah SWT dari api, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
"Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas." (QS.
al-Hijr, 15: 27).
 Bangsa Jin juga mukhalaf (diperintahkan untuk mengerjakan syari'at agama)
sebagaimana halnya manusia:
"Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayatKu dan memberi
peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini? Mereka berkata: "Kami
menjadi saksi atas diri kami sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka
menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang
kafir."(QS. al-An'am, 6: 130).
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku." (QS. adz-Dzariat, 51: 56).
 Bangsa Jin itu ada yang patuh dan ada yang durhaka kepada Allah SWT,
sebagaimana dinyatakan oleh Allah:

"Dan sesungguhnya di antara kami (bangsa Jin) ada yang shaleh ada pula yang tidak
demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda." (QS. al-Jin, 72: 11).
"Dan sesungguhnya di antara kami ada yang taat dan ada yang menyimpang dari
kebenaran. Barangsiapa yang taat, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan
yang lurus. Adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api
bagi neraka jahanam." (al-Jin, 72: 14-15).
 Tatkala Allah SWT memerintahkan kepada bangsa Jin untuk sujud kepada Adam
bersama dengan para Malaikat, salah satu dari mereka menentang. Yang menentang
itulah yang dikenal dengan Iblis, sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT:
"Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir." (QS. al-Baqarah, 2: 34).
 Iblis itulah nenek moyang seluruh Syaitan, yang seluruhnya selalu durhaka kepada
Allah SWT dan bertekad untuk menggoda umat manusia (anak cucu Adam) mengikuti
langkah mereka menentang perintah Allah SWT.
 Ringkasnya Jin adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari api, mukallaf
seperti manusia, di antara mereka ada yang patuh dan ada yang durhaka. Yang durhaka
pertama kali adalah Iblis, anak cucunya disebut syaitan.

 TAFSIR SURAT AL-JIN


(Surat 72: 28 ayat, diturunkan di Makkah, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX hal.149)
Surat al-Jin, yang diturunkan di Makkah juga, adalah surat 72 dalam susunan al-
Qur'an. Dia mengandung 28 ayat.
Di dalam al-Qur'an telah bertemu uraian tentang al-Jin itu pada 22 tempat, dan di
ayat yang lain disebut juga jinnat dengan arti yang sama. Di dalam surat 51, Surat adz-
Dzariat ayat 56 diterangkan dengan jelas:
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku." (QS. adz-Dzariat, 51: 56).
Dengan sebab yang demikian, tidaklah diragukan lagi bahwa percaya akan adanya jin
sebagai makhluk, di samping manusia adalah termasuk bahagian dari Iman. Diterangkan
pula di dalam al-Qur'an bahwa manusai bersama jin yang tidak melaksanakan Allah SWT
dengan baik akan dilemparkan ke dalam neraka jahanam. Di dalam surat 55, ar-Rahman
ayat 15; al-Hijr, 15: 27 diterangkan bahwa jin itu terjadi daripada nyala api. Di dalam
surat 18, al-Kahfi, ayat 50 dijelaskan pula bahwa Iblis yang kerap disebutkan sebagai
pembangkang kepada Nabi Adam itu adalah dari keturunan jin juga. Dan Iblis pun
mengakui ketika dia menyombong bahwa dia lebih mulia dari manusia, bahwa dia terjadi
dari api, sedang manusia terjadi dari tanah.
Dari Hasan al-Bishri berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:
"Dijadikan Malikat daripa Nur (cahaya), dijadikan Iblis daripada nyala api, dijadikan
Adam dari apa yang telah disebut kepada kamu. Di waktu-waktu mendesak,
menggelagaklah periuk memuntahkan isinya, dan tabiatnya mengkhianatinya apabila
datang waktunya. (Riwayat Muslim dari Aisyah)
Artinya, karena Iblis itu berasal dari api, ketika diperintah untuk bersama-sama
dengan malaikat bersujud kepada Adam, kembalilah dia kepada tabiatnya yang asli.
Sebab kesalihan dan kepatuhan bukanlah asal kejadiannya, dia pun kembali kepada
tabiat aslinya. Sama juga dengan kucing yang dilatih memegang lampu ketika Raja
mengadakan jamuan makan malam. Seketika seekor tikus melompat tidak berapa jauh
dari tempat itu, si kucing kembali ke tabiat asalnya. Dia lupa akan lampu yang dia
pegang, bahkan secepat kilat dia melompat mengejar tikus itu.
Surat 72 ini khusus dinamai Surat al-Jin karena dari ayat 1 sampai kepada ayat 19
adalah cerita yang berhubungan dengan Jin belaka. Boleh dikatakan sebagai uraian dari
ayat yang tersebut dalam surat adz-Dzariat ayat 56 yang telah kita salinkan di permulaan
pendahuluan ini, yaitu bahwasannya Nabi Muhammad saw itu diutus bukan semata-mata
kepada jenis manusia saja, melainkan kepada manusia dan jin Demikian pula yang
disebutkan pada surat 6 al-An'am ayat 130).
Dengan ayat-ayat ini, kita akan mendapat penjelasan bahwa jin itu adalah makhluk
Allah belaka yang tidak mempunyai keistimewaan sehingga mengetahui akan yang ghaib,
atau yang akan terjadi sebagaimana disangka-sangka orang. Malahan di dalam Surat 34
Saba', ayat 14, dijelaskan bahwa Jin itu diperintah oleh Nabi Sulaiman untuk
mengerjakan pembangunan Masjidil Aqsha atau Rumah Ibadat yang mulia itu. Mereka
pun turut bekerja dengan patuhnya. Tiba-tiba Nabi Sulaiman meninggal dunia sedang
duduk di atas kursinya bertelekan kepada tongkatnya. Tidak seorang pun para pekerja,
baik manusia ataupun jin tahu beliau telah meninggal. Sebab itu orang bekerja keras
meneruskan pembangunan itu sampai selesai. Setelah selesai pekerjaan-pekerjaan yang
penting, tiba-tiba terjatuhlah jenazah yang mulia itu dari tempat duduknya. sebab
tongkat tempat beliau bertelekan telah patah, dimakan oleh anai-anai (rayap) yang
menjalar dari tanah. Di situ, di ujung ayat dijelaskan, kalau memang jin itu mengetahui
akan yang ghaib, baik tanggal matinya Nabi Sulaiman, atau yang duduk itu bukan
Sulaiman yang hidup lagi, melainkan jenazah Nabi Sulaiman, tidaklah mereka akan
menderita siksaan begitu lama, yaitu siksaan kerja keras tidak berhenti-henti karena
melaksanakan perintahnya. Demikian pula manusia seperti halnya Jin, tidaklah mereka
mengetahui akan yang ghaib melainkan mereka saat itu tidak mengetahui akan kematian
Rajanya, Nabi Sulaiman. Allah SWT berfirman:
"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,
melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)" (QS. Al-An'am, 6: 59).

 CERITA KAUM JIN


Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu
Abbas ra. (yang maknanya saja kita nukilkan di sini), bahwa pada suatu hari Rasulullah
saw. diiringkan oleh beberapa orang sahabat beliau pergi bersama-sama menuju pasaran
'Ukadz. Kononnya pada waktu itu dalam kalangan syaitan-syaitan timbul hiruk-pikuk
tidak berketentuan, karena perhubungan dari langit terputus, sehingga berita dari langit
tidak ada lagi yang menetes turun ke muka bumi. Bahkan melayanglah apa yang sekarang
kita namai meteor, yaitu batu pecahan bintang yang cepat sekali melayang di udara. Yang
menurut keterangan dari Allah SWT dalam wahyu, meteor itu adalah semacam panah
Tuhan yang dipanahkan kepada syaitan-syaitan atau jin yang mencoba memasang telinga
hendak mendengar berita-berita langit. Maka di saat Rasulullah Saw. itu pergi menuju
pasar 'Ukadz , yaitu pasaran tahunan tempat orang-orang jahiliyah berjual beli dan
berlomba syair, tertutup samasekali berita langit itu, bahkan batu meteor melayang di
udara, tandanya ada syaitan kena panah.
Lalu terjadilah keributan dalam kalangan jin-jin mempertanyakan apa sebab jadi
begini. Maka yang terkemuka di antara mereka menyuruh anak buahnya menyelediki ke
seluruh permukaan bumi, ke timur dan ke barat untuk menyelidiki apa sebab terjadi
demikian.
Tersebutlah bahwa di antara yang disuruh itu sampailah ke lembah Tihamah. Di satu
perkebunan korma bertemulah mereka dengan rombongan Rasulullah Saw. yang hendak
menuju pasar 'Ukadz itu. Didapati Rasulullah sedang melakukan shalat subuh diikuti
oleh sahabat-sahabatnya. Beliau membaca al-Qur'an dengan jahar. Lalu mereka
dengarkan dengan tekun.
Sesudah mereka dengarkan, kembalilah mereka kepada tempatnya berkumpul dengan
kawan-kawannya tadi, lalu dia berkata: "Kami telah mendengar al-Qur'an, sungguh
mena'jubkan sekali kandungannya. Dia memberi petunjuk kepada jalan yang bijaksana,
jalan yang cerdik dan benar. Karena telah percaya akan isi al-Qur'an itu dan mulai
sekarang kami tidak mau lagi mempersekutukan Tuhan kami dengan yang lain sesuatu
jua pun."
Inilah beberapa riwayat Bukhari dan Ibnu Abbas itu asal-usul turun ayat. Ada lagi dua
tiga hadis yang lain yang hampir sama maknanya dengan hadis ini. Muslim pun
meriwayatkan juga dengan susun kata yang lain.

 TAFSIR: AYAT 1-7


 KAMI MENDENGAR AL-QUR’AN YANG MENAKJUBKAN
Allah SWT. berfirman:
[(1). Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya:
sekumpulan jin telah mendengarkan (Al Qur'an), lalu mereka berkata: "Sesungguhnya
kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan; (2). (yang) memberi petunjuk
kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan
mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami; (3). dan bahwasanya Maha Tinggi
kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak; (4). Dan bahwasanya:
orang yang kurang akal daripada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang
melampaui batas terhadap Allah; (5). dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia
dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah; (6). Dan
bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan
kesalahan; (7). Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan
kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan
seorang (rasul) pun,” (QS. A-Jin,72: 1-2).
TAFSIR:
Allah SWT berfirman
(QS. al-Jin, 72: 1).

"Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah


mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya
kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,"
"Katakanlah!" (pangkal ayat 1). Yaitu perintah Tuhan kepada Rasulullah saw.
supaya hal ini beliau sampaikan kepada manusia. Ini adalah permulaan wahyu: "Telah
diwahyukan kepadaku, bahwasannya telah mendengar sekumpulan dari
Jin," yaitu bahwa sekumpulan dari jin telah mendengar bunyi al-Qur'an seketika
Rasulullah melakukan shalat subuh bersama sahabat-sahabat beliau dengan suara jahar
itu, lalu didengarkan baik-baik oleh jin itu; "Lalu mereka berkata: "Sesungguhnya
kami telah mendengar al-Qur'an yang mena'jubkan itu." (ujung ayat 1).
(QS. al-Jin, 72:2).
"(yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan
kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami."
Lalu al-Jin itu meneruskan lagi bagaimana kesan yang tinggal dalam diri mereka
mendengar bunyi al-Qur'an: "Memberi petunjuk kepada jalan yang
bijaksana."(pangkal ayat 2). Inilah kesan pertama yang tinggal dalam diri mereka
setelah al-Qur'an dibaca Nabi. Mula-mula mereka ta'jub, merasa heran tercengang-
cengang mendengar ayat itu dibaca. Sebabnya ialah karena isi kandungan teramat
bijaksana sekali, sehigga tidak ada jalan buat membantah dan menolak, kalau hati benar-
benar bersih; "Maka kami pun berimanlah kepadanya." Setelah mengakui bahwa
isi al-Qur'an itu penuh dengan petunjuk kepada kebijaksanaan, tidak dapat tidak
mestilah timbul Iman atau Kepercayaan akan kebenaran isinya. Maka oleh sebab telah
mengaku beriman kepada al-Qur'an dengan sendirinya timbullah akibat dari iman itu,
yaitu: "Dan sekali-kali tidaklah kami akan mempersekutukan sesuatu pun
dengan Tuhan kami."(ujung ayat 2).
Dari ayat ini, dan berdasar kepada Hadis Ibnu Abbas ra. ini, ahli tafsir al-Mawardi
mengambil kesan; bahwa Jin beriman setelah mendengar al-Qur'an. Ar-Razi mengambil
kesan bahwa Jin pun faham rupanya akan bahasa manusia. Dan kesan lain lagi ialah
bahwa jin yang beriman melakukan da'wah pula kepada sejenisnya yang belum beriman.
Dan didapat pula kesan, setelah dipersambung- kan dengan ayat yang telah kita
salinkan di pendahuluan yang mengatakan bahwa Iblis adalah bangsa jin dan yang dalam
surat ar-Rahman, bahwa jin terjadi daripada nyala api, bahwa di antara jin dan Iblis, dan
kadang-kadang disebut juga 'ifrit, semuanya itu adalah makhluk ciptaan Allah dari jenis
yang satu, tetapi ada yang kafir sebagaimana telah kita lihat pada kisah iblis tidak mau
sujud kepada Adam ketika diperintah oleh Tuhan, dan ada pula yang Islam sebagaimana
yang kita lihat dengan jelas dalam ayat ini. Cuma dalam pemakaian bahasa sehari-hari
saja telah kita biasakan menyebut bahwa Iblis seluruhnya adalah kafir dan jin ada yang
Islam.
Dalam ayat pertama ini pun dapat kita memahamkan bahwa Nabi Muhammad saw.
sendiri tidaklah bertemu berhadapan dengan jin yang menyatakan diri beriman setelah
mendengar Nabi Muhammad membaca al-Qur'an dengan jahar di kala shalat subuh itu.
Bahkan ayat membayangkan bahwa Nabi sendiri pun tidak tahu-menahu. Baru beliau
tahu setelah wahyu ini datang memberitahukan.
Kemudian bertemu lagi sebuah hadis yang dirawikan oleh Muslim dalam shahihnya;
Dia berkata: "Telah mengatakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna, telah
menyatakan kepada kami Abdul A'laa, telah menyatakan kepada kami Daud yaitu Abnu
Abi Hindin, diterimanya dari Amir. Amir ini berkata: "Aku tanyakan kepada 'Alqamah:
"Adakah Ibnu Mas'ud turut menyaksikan bersama Rasulullah seketika terjadi malam
kedatangan jin itu?" Alqamah pun menjawab: "Aku pun telah menanyakan kepada Ibnu
Mas'ud, adakah dia turut bersama Rasulullah di malam kedatangan jin itu?"
Abdullah bin Mas'ud menjawab: "Tidak!" Tetapi yang kejadian ialah bahwa pada suatu
malam pergi bersama Rasulullah. Lalu kami kehilangan beliau, sampai kami cari-cari
beliau ke balik-balik bukit dan ke lembah-lembah, namun tidak juga bertemu. Sampai
ada di antara kami yang bertanya: "Lenyap!" Kemana?! Apa beliau telah dibunuh orang?
Pendeknya pada malam yang semalam itu kami merasakan sangat risau. Setelah datang
waktu subuh barulah beliau muncul dari jurusan Bukit Hira'. Lalu kami bertanya:
"Engkau tiba-tiba hilang dari kami, ya Rasulullah! Ke mana saja engkau? Sehingga
semalam ini kami dalam kesusahan semua!" Lalu beliau menjawab:
“Sesungguhnya telah datang kepadaku utusan dari jin, maka aku temui mereka dan
kubacakan (Al-Qur’an) kepada mereka.”
Di hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Mas'ud dikatakan bahwa Rasulullah
sampai menjumpai jin-jin itu. Imam Hadis yang terkenal al-Baihaqi mengatakan bahwa
di antara kedua Hadis itu tidak berlawanan, melainkan keduanya itu sama-sama
kejadian. Pada pertemuan yang dirawikan Bukhari dari Ibnu Abbas, dan yang jadi dasar
dari ayat 1 surat al-Jin ini Nabi tidak sampai bertemu, hanya diberitahukan oleh Tuhan.
Tetapi pada hadis Ibnu Mas'ud yang dirawikan oleh Muslim dijelaskan bahw Nabi sampai
bertemu dengan mereka dan Nabi ajarkan al-Qur'an. Di Hadis dan riwayat lain yang
dibawakan oleh Ibnu Ishaq dan tertulis dalam Sirat Ibnu Hisyam, ketika Nabi kembali
dan melakukan da'wah kepada Kaum Tsaqiif di Thaif, di tengah-tengah jalan akan pulang
ke Makkah datang tujuh jin menemui beliau dan menyatakan Iman akan al-Qur'an.
Dalam sebuah Hadis yang dirawikan oleh Tirmidzi tersebut bahwa pada suatu hari
Rasulullah saw. membacakan Surat ar-Rahman di hadapan sahabat-sahabat beliau.
Semua terdiam dan tafakur mendengar ayat-ayat yang mempesona itu, apatah lagi
sesampai pada ayat yang selalu berulang-ulang:
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. (QS. Ar-Rahhman,
55: 47).
Melihat mereka duduk termenung tafakkur memasukkan pengertian isi ayat itu ke
dalam jiwa mereka, bersabdalah Nabi saw: "Jin lebih mendalam sambutan mereka
daripada kamu seketika ayat-ayat ini aku baca. Setiap aku sampai kepada ayat, "fabi aiyyi
aalaa rabbikumma tukadzdzibaan". (Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?”]. Jin-jin itu telah menyambut dengan ucapan: "Tidak aka satu pun
nikmat Engkau yang kami dustakan, ya Tuhan. Bagi Engkaulah segala puji-pujian."
Firman Allah Ta’ala:
““Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan
Al Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata:
"Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". (QS. Al-Ahqaf, 46: 29).
Yakni dengarkanlah bacaan ini dengan penuh perhatian, ini menggambarkan etika
dan sopan santun mereka kepada apa yang didengarnya. Al-Hafiz Imam Baihaqi
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Iamam Abut Tayyib Sahl ibnu Muhammad
ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Muhammad ibnu Abudullah
Ad-Daqqaq, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim Al-Busyanji,
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar AdDimasyqi, telah menceritakan
kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Zuhair ibnu Mhammad Al-Munkadir, dari Jabir
ibnu Abdullah ra. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. membaca surat Ar-Rahman
hingga selesai, kemudian beliau bersabda:
“Mengapa aku lihat kalian diam, sungguh jin lebih baik daripada kalian dalam hal
jawabannya, karena tidak sekali-kali aku bacakan keapda mereka ayat ini, yaitu firman-
Nya, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?” Melainkan mereka
menjawab, “Tiadalah sesuatu pun dari tanda kebesaran atau nikmat-Mu yang kami
dustakan, wahai Tuhan kami, segalah puji bagi Engkau.”
Firman-Nya:
“Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga. Maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”. (QS. Ar-Rahhman, 55: 47).
Allah SWT. telah menganugerahkan kepada dua jenis makhluk-Nya pahala dua surga
bagi mereka yang berbuat baik dari kalangan keduanya. Dan jin telah menjawab ayat ini
dengan ungkapan rasa syukur yang lebih kuat dari manusia. Mereka mengatakan, “Tiada
sesuatu pun dari tanda-tanda kebesaran dan nikmat-Mu yang kami dustakan, wahai
Tuhan kami, bagi-Mu segala puji.”
Dan Allah tidak sekali-kali menjanjikan pahala bagi mereka yang kemudian tidak
mereka terima. Sesungguhnya apabila Allah membalas jin yang kafir dengan neraka
sebagai keadilan dari-Nya, maka terlebih lagi bila Dia membalas jin yang mukmin dengan
surga sebagai karunianya.
Riwayat Termidzi ini memperkuat riwayat Ibnu Mas'ud dan riwayat Ibnu Ishaq,
bahwa pernah Nabi saw. berhadapan dengan jin-jin itu. Betapa tidak! Bukankah beliau
pun diutus kepada jin di samping kepada manusia? Niscaya suda seyogyanya beliau pun
bertemu dengan mereka. Dan itulah kelebihan beliau, sehingga dapat bertemu dengan
makhluk yang tidak akan dapat ditemui oleh manusia-manusia biasa. Kejaidan ini sama
halnya dengan kelebihan beliau saat Allah SWT meng-'Isra' Mi'rajkan ke langit, beliau
dapat melihat isi neraka dan surga, penduduk pada lapisan-lapisan langit lainnya. Inilah
yang disebut hukum 'Khas' (Khusus)
Tetapi, pada manusia-manusia biasa akan berlaku hukum 'am' (umum) yakni mereka
tidak bisa melihat makhluk ghaib yang bernama Jin dan sebangsanya. Allah berfimran
dalam surat 7 Al-A'raf ayat 27: "..Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat
kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka." (QS. al-A'raf, 7: 27).
(QS. al-Jin, 72: 3).
"dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristeri dan tidak
(pula) beranak."
Dalam suku kata pertama, dengan segala kesungguhan jin itu menyatakan pengakuan
atas Kemaha Tinggian Ilahi, setelah itu diakuinya pula Kebesaran-Nya, "Kebesaran
Tuhan Kami". Mereka pun telah sampai ke dalam inti kepercayaan dengan lanjutan
pengakuan mereka, "Tidaklah Dia mengambil istri dan tidak pula beranak." (ujung ayat
3).
Itulah pengakuan Tauhid sejati, yang telah sampai kepada puncaknya; bahwa Allah itu
berdiri sendirinya. Maha tinggi; tiada yang menyamai-Nya dalam ketinggian-Nya.
"Kebesearan Tuhan Kami," mutlak kebesaran itu, sehingga, "Tidaklah Dia mengambil
isteri dan tidak pula beranak."
Sudah mesti, menurut akal yang sehat bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Mulia,
Maha Agung dan mempunyai Kebesaran Yang Mutlak tidak beristeri. Karena beristeri
adalah sifat dan alam kekurangan yang ada pada makhluk yang bernyawa. Allah
mengadakan sifat alam "Berjantan-bertina" dengan syahwat faraj atau sex, untuk
menyambung turunan. Karena kalau seseorang meninggal dunia, Allah mentakdirkan
anaknya akan meneruskan kehidupan. Untuk beranak dia mesti beristri. Maka amat
janggalah fikiran kalau sampai kepada kesimpulan bahwa Allah Yang Maha Agung itu
memerlukan isteri, karena isteri akan memberinya anak. Tuhan tidaklah dapat
diserupakan dengan raja-raja penguasa dunia, yang cemas kalau dia tidak meninggalkan
putera mahkota yang akan menyambut kekuasaan kalau datang masanya dia
meninggalkan dunia.
(QS. al-Jin, 72: 4).
"Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan
(perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah."
Lalu jin-jin yang telah Islam itu mengakui terus-terang bahwa dalam kelangan jin-jin
itu sendiri ada yang bebal, berfikir kacau balau; "Dan bahwasannya orang-orang yang
bebal (kurang akal) di antara kami." (pangkal ayat 4). Yaitu yang berpikir kacau balau,
yang jiwanya tidak bersih, yang pendapat akalnya tidak teratur, "Mengatakan terhadap
Allah kata-kata yang tidak karuan." (ujung ayat 4).
Sebagai puncak kedustaan seperti yang dijelaskan di ayat sebelumnya. Yaitu
mengatakan bahwa Allah beristeri dan kemudian itu Allah beranak. Misalnya dalam
kalangan manusia pemeluk Kristen ada yang memandang Siti Maryam Ibu Isa Almasih
atau Yesus Kristus adalah isteri Tuhan, sebab dia melahirkan "Putera" Tuhan, yaitu Isa
Almasih atau Yesus Kristus. Dalam ayat cerita jin ini, kepercayaan demikian timbul dari
jin yang safih, yang berarti bebal (kurang akal) yaitu berpikir tidak jernih, atau menutup
pintu buat berpikir. Padahal semuanya itu adalah tidak masuk akal, kalau kita hendak
mendalami siapa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa, atau Allah Subhanahu
wa Ta'ala.

(QS. al-Jin, 72: 5).


"dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan
mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah."
Di ayat ini mereka menjelaskan diri mereka dengan “Kami” . Yaitu kami yang telah
mengakui kebenaran Rasul, kami yang telah mendengar bacaan Nabi akan al-Qur'an di
kala shalat subuh itu, atau kami yang telah menemui Nbai di malam gulita sehingga Ibnu
Mas'ud dan sahabat-sahabat yang lain kehilangan hampir semalam suntuk, atau kami
yang bertemu tujuh jin banyaknya di perjalanan pulang beliau dri Thaif. Mereka
mengatakan berat persangkaan kami" Kami mengira…" atau artinya yang lebih jelas lagi:
"Tidak berdetak di dhati kami, atau tidaklah mungkin kejadian: "Bahwasannya sekali-kali
tidaklah akan mengatakan manusia dan jin terhadap Allah kata-kata yang dusta." (ujung
ayat 5). Kata-kata yang tidak dapat dibertanggung-jawabkan. Karena Iman yang sejati
tidaklah mungkin dicampur-adukkan dengan dusta.
(QS. al-Jin, 72: 6).
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan.”
Yakni kamu dahulu berpandangan bahwa diri kami lebih utama daripada manusia
karena mereka sering meminta perlindungan kepada kami, bila mereka berada di sebuah
lembah atau suatu tempat yang mengerikan seperti di hutan dan tempat-tempta angker.
Sebagaimana sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab masa Jahiliyah mereka; mereka
meminta perlindungan kepada pemimpin jin di tempat mereka beristirahat agar mereka
tidak diganggu olehnya. Perihalnya sama dengan seseorang dari mereka bila memasuki
kota musuh mereka dibawah jaminan perlindungan orang besar yang berpengaruh di
kota tersebut. Ketika jin melihat bahwa manusia itu selalu meminta perlindungan kepada
mereka karena takut kepada mereka, maka justru jin-jin itu main membuatnya menjadi
lebih takut, lebih ngeri, dan lebih kecut hatinya. Dimaksudkan agar manusia itu tetap
takut kepada mereka dan lebih banyak meminta perlindungan kepada mereka,
sebagaimana yang dikatakan Qatadah sehubungan dengan firman-Nya:
“maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin, 72: 6).
Yakni makin menambah manusia berdosa, dan jin pun sebaliknya makin bertambah
berani kepada manusia.
As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim sehubungan dengan
firman:“maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin, 72: 6).
Artinya, jin makin bertambah berani kepada manusia. As-Saddi mengatakan bahwa
dahulu bila seseorang melakukan perjalanan bersama keluarganya, dan di suatu tempat
ia turun istirahat, maka ia mengatakan, “Aku berlindung kepada pemimpin jin lembah ini
agar aku jangan diganggu atau hartaku atau anakku atau ternakku.” Qatadah mengatakan
bahwa apabila dia meminta perlindungan kepada jin selain dari Allah, maka jin makin
menambah gangguan kepada dia, dan membuatnya semakin takut.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id alias Yahya
ibnu Sa’id bin al-Qathan, telah menceritakan kepada kami Wahb ibnu Jarir, telah
menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Az-Zubair ibnul
Kharit, dari Ikrimah yang mengatakan baha dahulu jin takut kepada manusia,
sebagaimana sekarang manusia takut kepada jin, atau bahkan lebih parah dari itu. Dan
tersebutlah bahwa pada mulanya apabila manusia turun istirahat di suatu tempat, maka
jin yang menghuni tempat itu bubar melarikan diri. Tetapi pemimpin manusia
mengatakan, “Kita meminta perlindungan kepada pimpinan jin penghuni lembah ini.”
Maka jin berkata, “Kita lihat manusia takut kepada kita, sebagaimana kita juga takut
kepada mereka.” Akhirnya jin mendekati manusia dan menimpakan kepada mereka
perasaan takut dihatinya, hingga kesurupan dan penyakit gila.
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi
mereka dosa dan kesalahan.”
Al-Aufitelah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (QS. Al-Jin, 72: 6).
Rahaqan artinya dosa dan kesalahan.
Demikianlah, surat ini seluruhnya mengakui bahwa jin itu memang ada! Dari sejak
zaman jahiliyah lagi, orang sudah percaya adanya jin. Orang Arab jahiliyah ada
kepecayaan bahwa di lekuk-lekuk tempat yang seram, di bukit, di gunung, di lembah ada
jin-jin penguasa. Maka kalau mereka berjalan kemana-mana, mereka lebih dahulu
memberi hormat kepada "penjaga" atau "penguasa" tempat itu.
Kepercayaan ini pun merata rupanya di mana-mana. Pada suku-suku bangsa kita di
Indonesia, Melayu dan Jawa juga ada kepercayaan akan jin-jin itu. Berbagai namanya
pada istilah kita; Dewa, dewi, peri, mambang, begu, hantu, orang sibunian, dan lain-lain
sebagainya. Bangsa kita pun memuja dan memanggil mereka meminta hindarkan dari
bala. Setiap tahun melayan di laut utara Pula Jawa menghantarkan sajen (sajian) kepala
kerbau ke tangah-tengah laut untuk menghormati jin penguasa laut. Demikian pula di
Pantai Timur Semenanjung Tanah Melayu (Kelantan, Terengganu). Mantera dukun-
dukun di kampung bermacam-macam pula. Bahkan sampai sekarang di Sumatera Timur
masih tertinggal kebiasaan 'menepung tawan' yang bermaksud memuja jin supaya jangan
mengganggu kepada orang yang ditepung tawan itu.
Inilah yang dijelaskan oleh jin sendiri, pengkuan mereka kepada Allah, lalu
disampaikan Allah berupa wahyu kepada Nabi kita Muhammad saw. dan disuruh Nabi
kita menyampaikan kepada kita, di awal ayat 1 dengan kalimat "Qul", "Katakanlah!
Artinya sampaikanlah kepada ummatmu, bahwa banyak laki-laki di antara manusia
memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan jin-jin dan di bigak, nan di bigau,
dan sebagainya itu; akibatnya bagaimana?
Tegas sekali rankaian pangkal ayat dengan ujung ayat. Ada manusia yang mencari
perlindungan kepada jin, padahal tempat kita berlindung yang sejati ialah Allah. Bahkan
kita disuruh berlindung kepada Allah daripada pengaruh syaitan yang dirajam. Sekarang
si manusia itu berlaku terbalik; kepada jin atau syaitan mereka meminta perlindungan
dari bahaya. Apa jadinya? Karena jin itu jelas sama-sama makhluk dengan dia, dan jin itu
tidak mempunyai kuasa apa-apa, lantara dia yang dipuja oleh si manusia tadi, maka
tidaklah kena alamat yang dituju. Maka menyombonglah jin dan syaitan, berlantas angan
kepada manusia yang melindukan didrinya itu. Sebab tahu baha si manusia tidak tahu
akan harga dirinya. Selanjutnya bukanlah manusia tadi menjadi tenang, bahkan menjadi
bertambah kacau. Sebab bergantung kepada akar lapuk.
Memang ada jin yang kafir dan ada jin yang Islam. Meminta perlindungan kepada jin
yang kafir yang "pemimpin besarnya" ialah Iblis, sudah terang melanggar larangan Allah
sendiri:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu),
karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka
menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala." (QS. Faathir, 35: 6).
Kalau syaitan Iblis telah memusuhi kita, adakah pantas kita melindungkan diri
kepadanya? Artinya melindungkan diri kepada musuh sendiri? Niscaya jalan yang
seseatlah yang akan di anjurkan.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa kita boleh memperlindungkan diri atau
dengan kata yang lebih halus "meminta tolong", dan kata yang lebih halus lagi
"mengambil jin jadi khadam", itu pun tiada layak.
Di dalam al-Qur'an Tuhan menjelaskan bahwa Tuhan memuliakan Anak Adam,
mengangkatnya tinggi di darat dan di laut, dan memberinya rezeki dengan yang baik-
baik, dan melebihkan Anak Adam dari kebanyakan isi alam ini. Dan Tuhan menyatakan
bahwa yang Tuhan jadikan khalifah di muka bumi adalah insa (manusia), bukan jin,
bahka bukan malaikat.
Oleh sebab itu adalah amat janggal kalau manusia yang melindungkan diri kepada jin.
Tentu saja kacau-balaulah manusia karena berkalang ketumpuan, yang lebih tinggi
martabatnya merendahkan diri kepada yang lebih rendah. Tanda bukti lagi atas
kemuliaan manusia ialah bahwa Nabi Muhammad seorang manusia diutus kepada
manusia dan jin.
Di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, jin sendiri yang memberi ingat bahwa ada
laki-laki dari kalangan manusia memperlindungkan diri kepada laki-laki dari kalangan
jin, akibatnya ialah kacau balaulah fikiran. Maksud Allah menaikkan derajat kita
mendekati Tuhan, menjadi orang yang bertaqwa sehingga lebih mulai di sisi Tuhan,
bahka disuruh agar berdoa memohon kepada Tuhan, bukan saja menjadi orang yang
bertakwa bahkan menjadi Imam pula dari orang yang bertakwa bukan menjadi khadam
jin dan syaitan.
Mujahid menafsirkan sebagaimana terjemahan kita; yaitu karena manusia pergi
memperlidungkan diri kepada jin, maka si jin itu menjadi sombong.
Tetapi Qatadah, Abul 'Aliyah, Rabi' dan Ibnu Zaid menafsirkan: "Oleh karena manusia
telah pergi memperlindungkan dirinya kepada jin, dia pun diperbodoh oleh jin itu,
sehingga kian lama fikirannya kian kacau, dan kian lama fikirannya kian takut kepada
jin." Padahal Allah menentukan tempat takut hanyalah Allah.
Sadi bin Jubair menafsirkan, bahwa lantaran si manusia itu memperlindungkan diri
kepada jin, maka bertambah lama bertambah condonglah si manusia tadi kepada kafir.
Al-Qurthubui menegaskan: "Tidak tersembunyi lagi bahwa pergi memperlindungkan
diri kepada jin, bukan kepada Allah adalah syirik dan kufur."
Ada orang-orang "berdukun" yang katanya memelihara jin Islam. Jin itu katanya bisa
disuruh-suruh. Malahan bisa disuruh mengambil mutiara ke dasar laut. Kalau dicari
benar-benar fakta atau kenyataan dari berita ini, tidaklah bertemu pangkalnya yang
benar dapat dipertanggung-jawaban.
Tidak juga mustahil bahwa ada jin itu disuruh Tuhan berkhidmat kepada manusia,
tetapi itu hanya kemungkinan saja. Yang terang beralasan, baik dari al-Qur'an atau dari
Hadis-hadis Nabi ialah bahwa malaikat bisa disuruh Tuhan mengawal manusia, karena
teguh imanya. (Lihat surat 41, Fushshilat ayat 30).
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan
gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu."
Bersabda Nabi saw:
"Daripada Abu Hurairah ra. daripada Nabi saw. berkata dia: "Berkata Nabi saw.:
"Apabila imam telah mengatakan "Sami'allahu liman hamidah" (Allah mendengar
barangsiapa yang memuji-Nya), hendaklah dia menyambut dengan ucapan: "Allahmma
rabbana lakal hamdu" (Ya Tuhanku! untuk Engkaulah sekalian puji). Maka barangsiapa
yang bersamaan kata-katanya itu dengan kata-kata malaikat, niscaya akan diampuni
mana ynag telah terdahulu dari dosanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadist-hadist semacam ini banyak; Hadis malaikat bersama orang yang mengejar shaf
pertama, malaikat bersama orang yang menyusun saf baik-baik. Hadist bahwa malaikat
menyampaikan kepada Nabi saw, tiap-tiap shalawat dan salam yang diucapkan umatnya
kepada Nabi saw. dan lain-lain sebagainya.
(QS. al-Jin, 72: 7).
“Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-
orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul)
pun.” (QS. Al-Jin, 72: 7).
Yakni Allah tidak akan mengutus seorang rasul pun sesudah masa itu. Demikianlah
menurut apa yang dikatakan oleh Al-Kalabi dari Ibnu Jarir. 

 TAFSIR: AYAT 8-10


 LANGIT DIPENUHI PENJAGAAN
Allah SWT. berfirman:
[(8). dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami
mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, (9). dan sesungguhnya
kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-
beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu
akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). (10). Dan sesungguhnya kami
tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang
yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (QS Al-Jin, 72: 8-20).
Allah SWT. menceritakan tentang keadaan jin ketika Dia mengutus Rasul-Nya Nabi Muhammad
saw. dan menurunkan kepadanya Al-Qur’an. Dan tersebutlah bahwa diantara pemeliharaan
(penjagaan) Allah kepada Al-Qur’an ialah Dia memenuhi langit dengan penjagaan yang ketat di
semua penjuru dan kawasannya, dan semua setan diusir dari tempat-tempat pengingtaiannya, yang
sebelumnya mereka selalu menduduki pos-posnya di langit. Agar setan-setan itu tidak mencuri-curi
dengar dari Al-Qur’an, yang akibatnya mereka akan meyampaikannya kepada para tukang tenung
yang menjeadi teman-teman mereka, sehingga perkara Al-Qur’an menjadi samar (mutasyabihat)
dan campur aduk dengan yang lainnya, dengan cara mentakwil-takwil sesat serta tidak diketahui
mana yang benar. Ini merupakan belas kasihan Allah SWT kepada makhluk-makhluk-Nya, dan
sebagai pemeliharaan-Nya terhadap kitab-Nya yang mulia. Karena itulah maka jin mengatakan,
sebagaimana yang diceritakan dalam firman-Nya:
“[(8). dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami
mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, (9). dan sesungguhnya
kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-
beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu
akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). (QS Al-Jin, 72: 8-9).
Yaitu barang siapa di antara kami yang berani mencoba mencuri-curi dengan sekarang, niscaya
ia akan menjumpai panah berapi yang mengintainya yang tidak akan luput dan tidak akan meleset
darinya, bahkan pasti akan mengganyangnya dan membinasakannya.
(10). Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah
keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki
kebaikan bagi mereka.” (QS Al-Jin, 72: 8-10).
Yakni kami tidak mengetahui peristiwa apa yang terjadi dilangit, apakah keburukan yang
dikehendaki bagi penduduk bumi, ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka?
Sebelum itu memang pernah juga terjadi pelemparan bintang-bintang yang menyala-nyala
(meteor), tetapi tidak banyak terjadi, melainkan hanya sesekali saja dan jarang terjadi, seperti yang
disebutkan di dalam hadits Al-Abbas, yang menceritakan bahwa kami sedang duduk bersama
Rasulullah saw., tiba-tiba ada bintang yang dilemparkan (di langit) sehingga bintang itu menyala
terang. Maka Rasulullah saw. bertanya, “Bagaimanakah pendapat kalian tentang peristiwa ini?”
Kami menjawab, “Kami beranggapan bahwa ada seorang yang besar dilahirkan, atau ada orang besar
meninggal dunia.” Maka Rasulullah saw. menjawab, “Bukan demikian, tetapi apabila Allah
memutuskan suatu urusan di langit,” hingga akhir hadits. Dalam surat Saba, 34: 23, Allah Ta’ala
berfirman:
“Sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata: "Apakah yang
telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "(Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang
Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. Saba, 34: 23).
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya sehubungan dengan tafsir ayat ini menyebutkan, telah
menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah
menceritakan kepada kami Amr, ia pernah mendengar Ikrimah mengatakan bahwa Ikrimah pernah
mendengar Abu Hurairah ra. mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila Allah memutuskan suatu urusan di langit, maka para malaikat bergetar mengepak-
ngepakkan sayapnya karena ketakitan terhadap firman-Nya, (dari sayap mereka keluar bunyi)
seperti rantai (yang dijatuhkan) di tas batu licin. Dan apabila ketakutan telah dihilangkan dari hati
mereka, maka (sebagian dari) mereka bertanya (kepada sebagian yang lain), “Apakah yang
difirmankan oleh Tuhan kalian?” Maka mereka (yang ditanya) menjawab kepada penanya,
“(Perkataan ) yang benar, dan Dialah Yang Mahatinggilagi Mahabesar.”
Lalu pembicaraan itu dicuri dengar oleh setan-setan yang mencuri-curi dengan berita darilangit.
Setan-setan itu sebagian berada diatas sebagian yang lainnya. Sufyan (perawi memperagakan hal itu
dengan membuka semua jari tangannya dan menyusunnya. Lalu setan itu mendengarkan
pembicaraan tersebut, maka ia menyampaikannya kepada temannya yang ada dibawahnya, lalu si
penerima berita menyampaikannya lagi kepada temannya yang ada di bawahnya. Demikianlah
seterusnya hingga sampai pada setan yang paling bawah, lalu berita tersebut disampaikannya
kepada penyihir dan tukang tenung. Dan barangkali setan yang ada di paling atas keb uru tertembak
oleh bintang yang menyala nyala sebelum ia sempat menyampaikannya kepada setan yang ada
dibawahnya. Barangkali pula setan itu sempat menyampaikannya sebelum terkena lemparan
bintang menyala, maka ia mencampuri berita itu dengan seratus kedustaan darinya. Dan setan itu
berkata, “Bukankah telah disampaikan kepada kita bahwa hari anu akan terjadi anu dan anu,” dan
secara kebetulan bersesuaian dengan kalimat yang didengar dari langit.” Hadis ini diriwayatkan
secara tunggal oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim melalui jalur ini. Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui hadis Sufyan ibnu Uyaynah dengan
sanad yang sama. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Hadis lain, Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja’far
dan Abdur Razzaq. Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma’mar, telah
menceritakan kepada kami Az-Zuhri, dari Ali ibnul Husain, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan
bahwa Rasulullah Saw, duduk bersama sejumlah orang sahabatnya, yang menurut Abdur Razzaq
dari kalangan Ansar. Lalu ada binang meteor yang terlempar mengeluarkan sinar yang terang. Maka
Nabi Saw. bertanya, “Apakah yang akan kalian katakan bila melihat bintang seperti itu di masa
Jahiliah?” Kami menjawab, “Kami ktakan bahwa akan dilahirkan seorang yang besar atau akan mati
seorang yang besar.”
Saya bertanya kepada Az-Zuhri,” Apakah di masa Jahiliah pun langit itu sudah dijaga dengan
bintang-bintang tersebut?” Az-Zuhri menjawab, “Ya, tetapi di masa Nabi Saw. lebih diperketat.”
Rasulullah Saw. bersabda :
“Sesungguhnya bingang-binang itu dilemparkan bukan karena matinya seseorang atau lahirnya
seseorang, tetapi manakala Tuhan kita menetapkan suatu urusan (perintah), maka bertasbihlah para
malaikat pemikul ‘Arasy, kemudian bertasbih pula penduduk langit (para malaikat) yang ada di
bawah mereka, sehingga tasbih sampai kepada penduduk langit yang terdekat. Kemudian penduduk
langit yang ada di bawah para malaikat pemikul ‘Arasy, bertanya, dan mereka mengatakan kepada
para malaikat pemikul ‘Arasy, “Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kalian?” Lalu malaikat
pemikul ‘Arasy menceritakannya kepada mereka, selanjutnya para malaikat penerima berita itu
menyampaikannya kepada penduduk langit yang ada di bawah mereka, sehingga b erita itu sampai
kepada para malaikat yang ada di langit yang terdekat ini. Dan jin mencuri dengan berita itu, lalu
mereka dilempari (dengan bingtang tersebut). Maka apa yang disampaikan olleh para jin itu dengan
apa adanya adalah benar, tetapi para jin itu selalu mencampuradukkannya dengan tambahan-
tambahan dari mereka sendiri.”
Hadis lain, Ibnu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf dan
Ahmad ibnu Mansur ibnu Sayyar Ar-Ramadi, sedangkan teks hadis dari Muhammad ibnu Auf.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Na’im ibnu Hammad, telah menceritakan
kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Abdur Rahman menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu
Muslim, dari Abdur Rahman ibnu Yazid ibnu Jabir, dari Abdullah ibnu Abu Zakaria, dari Raja ibnu
Haiwah, dari An-Nawwas ibnu Sam’an r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda :
“Apabila Allah Swt. hendak memutuskan suatu perintah, maka Allah berfirman
mengutarakannya; dan apabila Allah berfirman, maka semua langit bergetar atau berguncang keras
karena takut kepada Allah Swt. Dan apabila penduduk langit mendengar firman itu, maka mereka
pingsan dan b ersujud kepada Allah. Dan mula-mula malaikat yang mengangkat kepalanya adalah
Jib ril a.s Lalu Allah berfirman kepada Jibril mengutarakan perintah yang dikehendaki-Nya. Lalu
Jibril a.s. turun menjumpai para malaikat; setiap kali ia melewati suatu langit, maka para
penduduknya menanyainya, “Hai Jibril, apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan kita?” Maka
Jibril a.s. menjawab, “Kebenaran belaka, dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” Dan mereka
mengucapkan hal yang sama seperti apa yang disampaikan oleh Jibril. Lalu Jibril dalam membawa
wahyu itu sampai ke tempat yang diperintahkan oleh Allah, baik di langit atau di bumi.”
Peristiwa penjagaan langit dengan penjagaan ketat itulah yang menggerakkan jin untuk mencari
penyebabnya. Lalu mereka menyebar ke arah timur dan arah barat belahan bumi untuk mencari
berita penyebabnya. Akhirnya mereka menjumpai Rasulullah Saw. sedang membaca Al-Qur’an
dengan para sahabatnya dalam salat. Maka mereka mengeahui bahwa karena orang inilah langit
dijaga ketat, lalu b erimanlah kepadanya jin yang mau beriman, dan jin yang lainnya tetap pada
kedurhakaan dan kekafirannya, Hal ini disebutkan di dalam hadis Ibnu Abbas pada gtafsir surat Al-
Ahqaf, tepatnya pada firman-Nya :
Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-
Qur’an. (Al-Ahqaf:29), hingga akhir ayat.
Dan memang tidak diragukan lagi bahwa ketika peristiwa itu terjadi, yaitu banyaknya bintang
yang menyala di langit dan selalu siap untuk dilemparkan di kalangan manusia dan jin; mereka
kaget dan merasa takut dengan peristiwa tersebut. Mereka mengira bahwa alam ini akan hancur,
sebagaimana yang dikatakan oleh As-Saddi berikut ini. Bahwa sebelumnya langit tidak dijaga,
melainkan bila di b umi terdapa seorang nabi atau agama Allah akan memperoleh kemenangan.
Tersebutlah pula bahwa setan-setan sebelum Nabi Muhammad Saw. diutus mempunyai pos-posnya
tersendiri di langit yang terdekat untuk mendengar-dengarkan berita dari langit menyangkut
peristiwa yang akan terjadi di bumi. Dan setelah Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. sebagai
rasul, setan-setan itu dilempari dengan panah-panah berapi di suatu malam maka kagetlah
penduduk Taif dengan peristiwa tersebut. Mereka mengatakan, “Penduduk langit telah
binasa.”Mereka mengatakan demikian karena melihat hebatnya api yang menyala di langit dan
bintang-bintang meteor di malam itu simpang siur di langit menjadikan langit terang benderang.
Maka mereka memerdekakan budak-budaknya dan melepaskan ternak mereka, lalu Abdu Yalil
ibnu Amr ibnu Umair berkata kepada mereka, “Celakalah kalian, hai orang-orang Taif, tahanlah
hargta benda kalian. Dan lihatlah dengan baik olehmu tempat-tempat bintang-bintang itu. Jika
bintang-bintang itu masih tetap pada tempatnya masing-masing berarti penduduk langit tidak
binasa. Sesungguhnya kejadian ini tiada lain karena Ibnu Abu Kabsyah, yakni Nabi Muhammad
Saw. Dan jika kalian lihat bintang-bintang tersebut tidak lagi berada di tempatnya masing-masing,
berarti penduduk langit telah binasa.” Maka mereka memandang langit dengan pandangan teliti,
dan ternyata mereka melihat bintang-bintang itu masih ada ditempatnya, akhirnya mereka menahan
harta mereka dan tidak dilepaskan lagi.
Setan-setan terkejut dengan peristiwa tersebut di malam itu, maka mereka menghadap kepada
iblis pemimpin mereka dan menceritakan kepada mereka, “Dadatangkanlah kepadaku dari tiap-tiap
kawasan bumi segenggam tanah, aku akan menciumnya,” Lalu iblis menciumnya dan berkata, “Ini
gara-gara temah kalian yang ada di makkah.” Maka iblis mengirimkan tujuh jin dari Nasibin, dan
mereka datang ke Mekah, maka mereka menunjupai Nabi Allah sedang berdiri mengerjakan
salatnya di Majidil Haram dalam keadaan membaca Al-Qur’an. Mereka makin mendekatinya karena
ingin mendengarkan bacaan Al-Qur’an, dan hampir saja bagian yang menonjol dari tenggorokan
mereka menyentuh Nabi saw. Kemudian mereka masuk Islam, maka Allah SWT. menurunkan
wahyu-wahyu-Nya kepada Nabi-Nya yang menceritakan perihal mereka.

 TAFSIR: AYAT 11-17


Allah SWT. berfirman:
“Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang
tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda. Dan sesungguhnya kami
mengetahui, bahwa kami sekali-kali tidak akan dapat melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di
muka bumi dan sekali-kali tidak (pula) dapat melepaskan diri (daripada) Nya dengan lari. Dan
sesungguhnya kami tatkala mendengar petunjuk (Al Qur'an), kami beriman kepadanya. Barang
siapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut
pula) akan penambahan dosa dan kesalahan. Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang
yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barang siapa yang taat,
maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus. Adapun orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi kayu api neraka Jahanam". Dan bahwasanya:
jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka
padanya. Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya
ke dalam adzab yang amat berat.” (QS. Al-Jin, 72: 11-17).

 TAFSIR: AYAT 19
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan
ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya.” (QS. Al-Jin,72: 19).
Bahwa ketika jin melihat Nabi saw. sedang mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, maka
mereka ikut rukuk dan sujud bersama Nabi Saw. Mereka sangat kagum dengan ketaatan para
sahabat kepada beliau Nabi Muhammad saw.

Anda mungkin juga menyukai