Apoptosis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 2

Apoptosis, Harakiri Sel Tubuh

MESKI terdengar aneh, ada satu fakta bahwa kesehatan dan umur manusia berhubungan erat
dengan proses bunuh diri sel-sel tubuh. Wah, kok bisa ya? Memang demikianlah, setiap hari
dalam tubuh manusia terjadi bunuh diri massal sel-sel. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, 70
miliar sel per hari.
Peristiwa yang dinamai apoptosis ini diamati untuk pertama kalinya oleh Andrew Wyllie, awal
tahun 1970-an. Pada tahun 1972, bersama John Kerr dan Alistair Currie, Wyllie memublikasikan
temuannya dalam suatu kertas kerja. Apoptosis berasal dari bahasa Yunani, berarti “rontok”.
Harakiri massal ini memang mirip dedaunan yang berguguran dari pohonnya. Pertanyaannya
sekarang, jika miliaran sel tubuh mati setiap hari, mengapa kita tetap hidup? Kenapa pula sel-sel
tubuh kita melakukan harakiri alias tindakah bunuh diri? Apakah peristiwa itu dapat dicegah?

Sejak masih embrio

Sebenarnya, harakiri massal sudah berlangsung sejak awal masa embrio manusia. Peristiwanya
terus berlanjut di sepanjang usia kita. Akan halnya kematian miliaran sel yang terjadi bukan
dalam fase perkembangan embrio, memang seperti kematian sia-sia. Namun, jika peristiwa itu
terjadi dalam fase perkembangan embrio, barang kali masih bisa dipahami. Sebab, dalam fase ini
terjadi konstruksi dan rekonstruksi bagian-bagian tubuh. Artinya, ada semacam “proses editing”,
bagian-bagian yang tidak diperlukan harus mati dan dilepaskan.

Misalnya saja, bagian tangan. Ketika baru terbentuk, calon tangan itu terlihat seperti sekop.
Untuk membentuk jari-jarinya, harus ada sel-sel pada jaringan di antara jari-jemari itu yang mati
dan dilepaskan. Analoginya, kecebong yang memiliki ekor akan mengalami kematian sel pada
bagian ekornya sehingga ia dapat tumbuh menjadi katak tanpa ekor. Apoptosis semacam itu
memungkinkan organ tubuh membentuk serta mereka-reka model dirinya dan mengaturnya
kembali.

Namun, pada peristiwa di luar fase perkembangan embrio, apoptosis lebih bertujuan menjaga
keseimbangan populasi sel pada tubuh orang sehat. Kematian sel, yang kemudian digantikan
oleh sel baru, dapat pula dikatakan sebagai peremajaan sel yang membuat kita tetap sehat, bugar,
dan panjang umur. Keseimbangan antara produksi sel baru dan kematian sel lama pun dapat
terus dipertahankan. Akan tetapi, sampai pada usia tertentu, kemampuan pergantian sel itu akan
menurun drastis. Lalu, terjadilah berbagai permasalahan lanjut usia (geriatrik) hingga berujung
pada kematian.

Dalam fenomena harakiri sel-sel, meskipun sel-sel berada dalam keadaan sehat, mereka telah
mengaktifkan suatu progam kematian otomatis. Proses ini dinamakan sebagai kematian sel
terprogram. Namun, senyatanya, sifat program kematian itu masih misterius, sekalipun semakin
banyak pakar biologi yang mencoba membuka tabirnya.

Pada dasarnya, semua sel tubuh memang diprogram untuk membunuh dirinya secara spontan,
kecuali jika ada sel-sel lain yang melarangnya. Dengan begitu, agar sebuah sel tetap hidup, ia
harus berkomunikasi terus- menerus dengan sel-sel lain. Mekanisme sederhana ini menunjukkan,
sebuah sel hanya bisa hidup di tempat yang memerlukannya. Apabila suatu sel tidak
mendapatkan sinyal “lampu merah” untuk bunuh diri, bunuh dirilah dia. Satu-satunya
pengecualian yang ditemukan adalah pada sel telur yang sudah dibuahi. Sel yang disebut
blastomer ini ternyata dapat hidup dan membelah diri tanpa adanya sinyal dari sel-sel lain.

Meski begitu, ketiadaan sinyal yang melarang sebuah sel untuk bunuh diri bukan satu-satunya
cara untuk memicu kematian terprogram dalam sel. Sejumlah obat disinyalir dapat memicu
program kematian itu. Salah satunya, staurosporin. Obat ini dapat memicu program kematian
pada semua tipe sel. Jika sebelumnya sudah mendapatkan obat penghambat kemampuan untuk
membuat protein baru, sel lebih mudah mati bila mendapatkan staurosporin. Penemuan ini
memperlihatkan, semua sel tubuh bukan saja sudah memiliki program bunuh diri secara built in,
melainkan juga dapat menghasilkan semua protein yang diperlukan untuk melaksanakan bunuh
diri itu.

Oknum-oknum sel

Untuk menguak fakta lain tentang harakiri sel, sebuah tim riset dari University College London,
Inggris, melakukan penelitian terhadap sel otak yang bekerja seperti isolator. Sel yang
dinamakan oligodendrosit ini membungkus sel saraf seperti cellotape mengisolasi kawat listrik.
Kalau oligodendrosit dipisahkan dari serabut saraf mata, dan kemudian diinkubasikan dalam
media perbenihan yang mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan bagi kehidupannya, sel
itu akan mati dalam waktu satu atau dua hari. Kematian itu memperlihatkan ciri-ciri kematian sel
terprogram.

Jika bersama oligodendrosit juga diinkubasikan sel-sel lain dari saraf mata, oligodendrosit itu
tetap bertahan hidup. Sel ini dapat hidup dalam media perbenihan jika ke dalam media juga
ditambahkan molekul protein pemberi sinyal yang khas. Yang jelas, molekul ini dihasilkan sel-
sel saraf mata normal untuk melarang sel pembungkusnya bunuh diri.

Mengomentari percobaan ini, banyak pakar beranggapan, oligodendrosit bunuh diri karena
mengalami cedera ketika dipisahkan dari sel serabut saraf. Penyebab lainnya, mungkin suasana
media perbenihan tidak sama dengan suasana tempat asal sel tersebut hidup. Jika oligodendrosit
hidup normal di sekitar sel saraf, mungkin sel pembungkus tidak membutuhkan sinyal yang
melarangnya bunuh diri.

Untuk menjawab keraguan, sejumlah peneliti melakukan penelitian lagi terhadap oligodendrosit
yang hidup normal berdampingan dengan sel saraf mata di dalam jaringan sehat. Hasilnya,
separuh oligodendrosit yang diproduksi setiap harinya, dalam proses perkembangan normal, juga
mengalami kematian. Meskipun para pakar sudah mengakui bahwa separuh atau lebih sel-sel
saraf yang dihasilkan dalam otak akan mati selama proses perkembangan normal, nyatanya
oligodendrosit tetap “bersikeras”, melakukan bunuh diri.

Tubuh kita memang sama sekali tidak bersifat statis. Sebaliknya, secara dinamis sel-sel tubuh
akan terus berganti. Sel-sel lama akan digantikan oleh yang baru. Namun, pergantian ini harus
terus memerhatikan keseimbangan jumlah sel dalam suatu jaringan atau organ tubuh. Jika
keseimbangan terganggu, misalnya jumlah sel yang terbentuk tidak dibatasi fenomena harakiri,
mungkin saja pada organ tubuh itu terbentuk “oknum-oknum sel” berupa jaringan kanker atau
tumor, yang berpotensi besar memperpendek usia.

Anda mungkin juga menyukai