Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah
dan Rasul-Nya. Kemudian mereka tak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta dan jiwa
mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Hujurat [49]:14-15).
Ayat di atas menjelaskan, banyak orang Arab yang mengklaim dirinya sebagai orang beriman
(Mukmin), lalu Al-Quran menjawab: janganlah buru-buru menyebut diri sebagai Mukmin.
Katakanlah bahwa kamu baru Muslim karena iman belum masuk ke dalam hati kamu. Kalau
kamu sudah menaati Allah dan Rasul-Nya barulah kamu boleh menyatakan diri kamu sebagai
seorang Mukmin.
Banyak di antara kita menganggap bahwa menjadi Muslim saja sudah cukup. Tapi kita lupa
Muslim yang mana yang dikehendaki Allah SWT ?.
Dalam Syu’abul Iman (1763), Imam Baihaqi RA meriwayatkan: “Dari Ali bin Abi Thalib RA,
Rasulullah SAW bersabda: “Akan datang pada manusia suatu zaman di kala itu Islam tak tinggal
kecuali namanya. Al-Quran tak tinggal kecuali tulisannya. Masjid-masjidnya bagus tapi kosong
dari petunjuk. Ulama-ulamanya termasuk manusia paling buruk yang berada di bumi karena dari
mereka timbul beberapa fitnah dan (fitnah itu) akan kembali pada mereka.”
Hadis ini jika kita lihat situasi saat ini sangat berkesesuaian. Ruh keislaman telah meluntur
bahkan hilang. Begitu pun Al-Quran, ruhnya itu sudah tak ada lagi. Dan makhluk paling buruk di
bawah kolong langit adalah orang yang menyebut dirinya paling mengerti agama tapi dari
mereka keluar fitnah/ujian dan kepada mereka ujian akan kembali. Mereka dibutakan uang/harta
mereka sendiri.
Al-Quran menyebutkan bahwa keislaman seseorang itu bertahap-tahap. Mulai dari Islamnya
orang-orang Arab yang imannya belum masuk ke dalam hati mereka. Mereka menyatakan diri
sebagai orang beriman tapi nyatanya mereka tak menaati Allah dan Rasul-Nya.
Tidak melakukan amal-amal yang diajarkan Nabi Muhammad. Al-Quran menyatakan kepada
mereka untuk menyebut diri sebagai Muslim saja. Inilah yang disebut dalam hadis di atas: tidak
tersisa dari Islam itu kecuali namanya. Islam yang kehilangan ruh ajaran keislamannya.
Banyak di antara kita menganggap kalau seseorang sudah tercatat sebagai Muslim maka amal
ibadah kita yang akan diterima Allah. Ungkapan ini berlandaskan pada ayat “Sesungguhnya
agama yang diterima di sisi Allah itu hanyalah Islam.”
Tapi kita lupa tentang Islam mana yang diterima Allah SWT.
Apakah Islamnya orang-orang Arab yang imannya belum masuk ke dalam hati mereka itu amal
ibadahnya akan diterima Allah SWT? Al-Quran menjawab, “Tidak!”
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah (aslim)!” Ibrahim menjawab: “Aku
tunduk (aslamtu) patuh kepada Tuhan semesta alam.” (QS Al-Baqarah [02]: 131)
Walaupun Ibrahim sudah masuk Islam, bahkan disebutkan dalam Al-Quran sebagai Muslim yang
paling awal, tetapi setelah menjalani seluruh tugas itu Allah masih berfirman ‘berislamlah’ atau
‘berserahlah kamu.’ Nabi Ibrahim menjawab, aku berislam, aku tunduk dan patuh kepada Allah
penguasa seluruh alam semesta. Ayat selanjutnya menyatakan:
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
(Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. Al-Baqarah [02]: 132)
Keturunan Nabi Ibrahim itu semua Muslim tetapi Allah masih menyuruh agar mereka berislam
dan janganlah meninggal kecuali dalam keadaan Islam. Islam apa yang dimaksud Nabi Ibrahim
dan Nabi Ya’qub? Islam apa yang dipesankan para Nabi kepada para keturunannya yang sudah
Islam? Tentu bukan Islamnya orang Arab yang imannya belum masuk ke hati mereka.
Islam itu adalah Islam yang dipraktikan Nabi Ibrahim. Islam yang pasrah sepenuhnya pada
ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Itulah Islam yang diterima Allah. Kepasrahan total pada-Nya.
Sesungguhnya agama yang diterima Allah adalah agama yang didasarkan pada kepasrahan
sepenuhnya pada Allah.***
Para pembaca yang semoga dimuliakan oleh Allah Ta’ala. Pada suatu hari, Jibril ‘alaihis salam
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berambut hitam dan
berpakaian putih, tidak tampak pada beliau bekas melakukan perjalanan jauh dan tidak ada
sahabat pun yang mengenal malaikat Jibril dalam bentuk manusia seperti ini. Kemudian dia
mendekati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menyandarkan lututnya pada lutut Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kedua tangannya berada pada paha Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian Jibril ‘alaihis salam memanggil ‘Ya Muhammad’ -sebagaimana
orang-orang Arab badui memanggil beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan menanyakan
beberapa perkara. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan apa itu Iman,
Islam dan Ihsan. Ketiga perkara ini sendiri adalah Ad Diin yaitu agama Islam itu sendiri. (HR.
Muslim no. 102)
Hadits di atas dikenal dengan hadits Jibril dan induknya hadits. Dari hadits tersebut, para ulama
mengatakan bahwa Islam memiliki tiga tingkatan, yaitu: (1) Islam, (2) Iman dan (3) Ihsan;
masing-masing tingkatan ini memiliki rukun. Berikut ini adalah penjelasan secara singkat
mengenai ketiga tingkatan tersebut.
Dalam hadits Jibril, dikatakan bahwa Islam adalah (1) mengakui bahwa ‘Tidak ada sesembahan
yang benar untuk disembah kecuali Allah dan mengakui Muhammad adalah utusan-Nya, (2)
menegakkan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) menunaikan puasa Ramadhan, dan (5) berhaji ke
Baitullah bagi yang mampu. Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa islam
memiliki lima rukun.
Yang pertama, seorang muslim harus bersyahadat dengan lisan dan meyakini syahadat tersebut
dalam hatinya. Dan perlu diperhatikan bahwa makna kalimat syahadat ‘laa ilaha illallah’ yang
benar adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Jika seseorang
sudah mengucapkan dan meyakini demikian, maka tidak pantas baginya untuk menjadikan para
Nabi, malaikat, para wali dan orang-orang sholih sebagai sesembahan semisal menjadikan
mereka sebagai perantara dalam berdo’a. Karena apa saja yang disembah selain Allah adalah
sesembahan yang bathil. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Yang demikian itu, adalah
karena sesungguhnya Allah, Dialah sesembahan yang benar dan sesungguhnya apa saja yang
mereka seru selain Allah, itulah yang bathil.” (QS. Al Hajj [22] : 62).
Sebagai catatan penting, syahadat tidaklah cukup dengan diam (diucapkan dalam hati), namun
harus diucapkan dan diumumkan (ditampakkan) pada orang lain kecuali jika ada alasan yang
syar’i sehingga seseorang tidak bisa menampakkan syahadatnya.
Dalam hadits Jibril ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabungkan antara syahadat ‘laa
ilaha illallah’ dengan syahadat ‘anna muhammadar rasulullah’ [Nabi Muhammad adalah utusan
Allah] dalam satu rukun. Kenapa demikian? Karena ibadah tidaklah sempurna kecuali dengan
dua hal : (1) ikhlas kepada Allah semata : hal ini terdapat dalam syahadat ‘laa ilaha illallah’; dan
(2) mutaba’ah (mengikuti) Rasul : hal ini terdapat dalam syahadat ‘anna muhammadar
rasulullah’.
Selain dengan bersyahadat, keislaman seseorang bisa sempurna dengan melaksanakan empat
rukun yang lainnya –di mana penjelasan hal ini dapat dilihat dalam berbagai kitab fiqh-.
Namun, perlu diperhatikan bahwa walaupun kelima hal ini disebut rukun, bukan berarti jika
salah satu dari rukun Islam ini tidak ditunaikan maka tidak disebut muslim lagi. Karena kadar
wajib dalam rukun Islam adalah dengan bersyahadat dan mengerjakan shalat yang diwajibkan
(shalat lima waktu). Jika seorang muslim tidak melaksanakan kedua rukun Islam ini, maka pada
saat ini baru tidak disebut sebagai muslim.
Iman secara bahasa berarti pembenaran (tashdiq). Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanyakan oleh Jibril ‘alaihis salam mengenai iman, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Iman adalah (1) engkau beriman kepada Allah, (2) kepada malaikat-Nya, (3) kepada
kitab-kitab-Nya, (4) kepada rasul-rasul-Nya, (5) kepada hari akhir dan (6) beriman kepada takdir
yang baik dan buruk.” Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa iman
memiliki enam rukun. Apabila salah satu rukun ini tidak dipenuhi maka tidak disebut orang
beriman.
Namun, dalam rukun Iman di dalamnya ada kadar (batasan) wajib di mana keislaman seseorang
tidaklah sah (baca : bisa kafir) kecuali dengan memenuhinya.
Batasan wajib dalam beriman kepada Allah adalah meyakini bahwa Allah adalah Rabb alam
semesta, Allah adalah pencipta dan pengatur alam semesta; Allah-lah yang berhak ditujukan
ibadah dan bukan selain-Nya; dan Allah memiliki nama dan sifat yang sempurna yang tidak
boleh seseorang mensifati-Nya dengan makhluk-Nya, tidak boleh nama dan sifat tersebut ditolak
keseluruhan atau pun sebagiannya setelah datang penjelasan mengenai hal ini.
Batasan wajib dalam beriman kepada malaikat adalah mengimani bahwa Allah memiliki
makhluk yang disebut malaikat yang memiliki tugas tertentu, di antaranya adalah ada yang
bertugas menyampaikan wahyu kepada para Nabi.
Batasan wajib dalam beriman kepada kitab-kitab Allah adalah meyakini bahwa Allah telah
menurunkan kitab kepada para rasul yang dikehendaki-Nya; kitab tersebut adalah kalam-Nya
(firman-Nya); dan di antara kitab-kitab tersebut adalah Al Qur’an dan juga merupakan kalam-
Nya (firman-Nya).
Batasan wajib dalam beriman kepada para rasul adalah meyakini dengan yakin (tanpa ragu-ragu)
bahwa Allah mengutus rasul kepada hamba-Nya; dan rasul terakhir adalah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa salam, seseorang harus beriman kepadanya dan mengikuti petunjuknya.
Batasan wajib dalam beriman kepada hari akhir adalah meyakini bahwa Allah menjadikan suatu
hari di mana manusia akan dihisab (diperhitungkan); mereka akan kembali, akan dibangkitkan
dari kubur-kubur mereka, akan bertemu Rabb mereka dan setiap orang akan dibalas; di mana
orang yang berbuat baik akan dibalas dengan surga sedangkan orang yang kufur akan
dimasukkan dalam neraka.
Batasan wajib dan beriman kepada takdir yang baik dan buruk adalah meyakini bahwa Allah
telah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi dan Allah telah mencatatnya di Lauhul
Mahfuzh; meyakini pula bahwa apa yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi; dan meyakini bahwa segala sesuatu telah diciptakan-Nya
termasuk perbuatan hamba.
Setiap muslim harus memiliki kadar keimanan yang wajib ini. Jika tidak memenuhi kadar
keimanan yang wajib ini, maka dia tidak disebut seorang muslim.
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah
pengertian ihsan dan rukunnya.
Dalam pengertian ihsan ini terdapat dua tingkatan. Tingkatan pertama disebut tingkatan
musyahadah yaitu seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu
ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini adalah bukan melihat zat Allah, namun melihat
sifat-sifat-Nya. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap
sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada sifat-sifat-Nya.
Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat Ihsan.
Tingkatan kedua disebut dengan tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu
memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin Allah melihatnya. Dan tingkatan inilah yang banyak
dilakukan oleh banyak orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah
memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya.
Dalam tingkatan ihsan ini ada juga kadar wajib yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang
akan membuat keislamannya menjadi sah. Kadar yang wajib di sini adalah seseorang harus
memperbagus amalannya dengan mengikhlaskannya kepada Allah dan harus mencocoki amalan
tersebut dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kadar yang disunnahkan
(dianjurkan) adalah seseorang beramal pada tingkatan muroqobah atau musyahadah
sebagaimana dijelaskan di atas.
Pelajaran Penting
Sesuatu yang perlu diperhatikan mengenai definisi Islam, Iman dan Ihsan. Jika Islam itu
disebutkan secara bersendirian, yang dimaksudkan adalah seluruh ajaran agama ini baik
keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Contoh ini terdapat pada firman Allah (yang
artinya),”Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imron [3]
: 19). Namun, jika Islam disebutkan bergandengan dengan keimanan (i’tiqod) -sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Jibril ini-, maka yang dimaksudkan dengan Islam di sini adalah amal
lahiriyah. Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah (yang artinya),”Orang-orang Arab
Badui itu berkata: “Kami telah beriman“. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah
‘kami telah berislam (tunduk)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. (QS. Al Hujuraat
[49] : 14)
Begitu juga dengan iman. Jika iman itu disebutkan secara sendirian, maka yang dimaksudkan
adalah agama Islam secara kesuluruhan. Namun, jika iman disebut bergandengan dengan Islam
(amalan lahiriyah) -sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril ini-, maka yang dimaksudkan
dengan iman di sini adalah mencakup amal bathin. Hal ini dapat dicontohkan pada firman Allah
(yang artinya),”Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh”
(QS. An Nisa’ : 57). Maka yang dimaksudkan dengan orang yang beriman di sini adalah orang
yang melakukan amalan bathin.
Sedangkan ihsan adalah memperbaiki amalan lahir maupun bathin. Gabungan dari ketiganya
disebut dengan Ad Diin yaitu agama Islam itu sendiri.
Sumber Rujukan : (1) Syarhul ‘Arbain An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin; (2) Syarhul ‘Arbain An Nawawiyyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh; (3) Ma’arijul Qobul
II, Al Hafizh Al Hakami
Dalam agama Islam ada istilah Muslim, Mukmin, Mukhsin, Mukhlis dan Muttaqin. lima istilah
tersebut ibaratkan jenjang untuk naik pangkat atau mulia dihadapan Allah Swt. kalau ingin mulia
atau menjadi orang yang bertaqwa dihadapan Allah Swt (Yang tertinggi). tentu harus melalui
tahapan-tahapan seperti diatas. Satu dengan yang lainnya tidak bisa dilangkau. Sebab antara
muslim, mukmin, mukhsin dan mukhlis tidak bisa dilangkahi tanpa harus melalui proses dari
awal (muslim). Lalu bagaimana keterkaitan muslim, mukmin, mukhsin, mukhlis dan muttaqin
tersebut?
1. Muslim.
Muslim, akar katanya,Islam/salima artinya damai, selamat, sejahtera, adalah orang baru
menyerahkan diri saja kepada Allah. Muslim adalah Orang yang beragama Islam. Menunjukkan
orang yang menyerah diri/tunduk kepada Allah swt. Seorang manusia yang telah menerima dan
mengikrarakan Islam sebagai agamanya dengan mengucapkan kalimah syahadah. Artinya, orang
ini percaya sudah menerima segala kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang telah digariskan oleh
Islam.
َّ َُربَّنَا َواجْ َع ْلنَا ُم ْس ِل َمي ِْن لَكَ َو ِم ْن ذ ُ ِر َّيتِنَا أ ُ َّمةً ُم ْس ِل َمةً لَكَ َوأ َ ِرنَا َمنَا ِس َكنَا َوتُبْ َعلَ ْينَا ِإنَّكَ أَ ْنتَ التَّ َّواب
الر ِحي ُم
“Wahai Tuhan kami! Jadikanlah kami berdua: Orang-orang Islam (yang berserah diri) kepadaMu
dan jadikanlah daripada keturunan kami: Umat Islam (yang berserah diri) kepadamu dan
tunjukkanlah kepada kami syariat dan cara-cara ibadat kami dan terimalah taubat kami,
sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima taubat, lagi Maha Mengasihani.” (QS. al-Baqarah :
128)
2. Mukmin.
Mukmin akar kata Iman artinya percaya , Amanah artinya orang dapat diberi kepercayaan,
adalah orang mengatakan keimanan dengan lidah , diyakini dengan hati dan dikerjakan dengan
perbuatan ( mengamalkan rukun Iman 6). Mukmin adalah orang Islam yang beriman. Firman
Allah swt :
ت أُولَئِكَ ُه ْم َخي ُْر ْالبَ ِريَّ ِة َّ إِ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َو َع ِملُوا ال
ِ صا ِل َحا
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal soleh, mereka itulah sebaik-baik
makhluk.” (QS. al-Bayyinah : 7)
Seorang Muslim tidaklah cukup dengan pengakuan itu saja, tetapi harus diiringi dengan
amal/perbuatan/tindakan yang diperintahkan oleh agamanya. Dengan melaksanakan hal itu, dia
meningkat menjadi seorang Mukmin.
3. Mukhsin.
Muksin berasal dari kata , Ikhsan artinya : baik. Muhsin adalah Orang Mukmin yang mencapai
tahap Ihsan sebagai yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. didalam sebuag hadith yang
panjang. Seorang Mukmin haruslah mengerjakan perbuatan kebajikan yang disebut ihsan. Ihsan
itu meliputi segala perbuatan yang baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Dari
seorang Mukmin meningkat lagi menjadi seorang Muhsin.
ما اإلحسان قال أن تعبد هللا كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك
Apa itu Ihsan, Dia menjawab : "Kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatnya, dan jika
kamu tidak melihatnya, ketahuilah bahawa Dia (Allah) melihat kamu." (HR. Bukhari)
Muksin berasal dari kata , Ikhsan artinya : baik. adalah orang tingkatan Muslim + Mukmin,
artinya orang tersebut tidak beriman saja , tapi sebagaimana Hadits Nabi SAW, yaitu : “Dia
beribadah kepada Allah seakan akan melihat-Nya, tapi apabila dia tidak melihat-Nya,
sesungguhnya Allah melihat dia.”
4. Mukhlis.
Mukhlis adalah seorang Muhsin mengerjakan ihsan itu semata-mata karena berbakti kepada
Tuhan, bukan karena mengharapkan pujian, sanjungan, pangkat dan lain-lain; akan tetapi
sungguh-sungguh ikhlas, saat itu manusia meningkat menjadi seorang Mukhlis. Mukhlish asal
dari Ikhlas. adalah orang beribadah kepada Allah, hanya mengaharapkan ridho-Nya, contoh
seperti orang besedekah dengan tangan kanannya, maka tangan kirinyapun tidak.
5. Muttaqin.
Muttaqin akar kata taqwa : takut , secara istilah adalah : adalah orang melaksanakan perintah
Allah secara sempurna, dan menjauhkan larangan Allah Swt. Muttaqin adalah Orang Mukmin
yang bertaqwa. Firman Allah swt :
َص ََلةَ َو ِم َّما َرزَ ْقنَا ُه ْم يُ ْن ِفقُون ِ الَّذِينَ يُؤْ ِمنُونَ بِ ْال َغ ْي. َْب فِي ِه ُهدًى ِل ْل ُمتَّقِين
َّ ب َويُ ِقي ُمونَ ال َ ذَلِكَ ْال ِكتَابُ ََل َري.
“Kitab Al-Quran ini, tidak ada sebarang syak padanya (tentang datangnya dari Allah dan tentang
sempurnanya); ia pula menjadi petunjuk bagi orang-orang yang (hendak) bertakwa; Iaitu orang-
orang yang beriman kepada perkara-perkara yang ghaib dan mendirikan (mengerjakan)
sembahyang serta membelanjakan (mendermakan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.” (QS. al-Baqarah : 2-3)
Dari penjelasan di atas jelas antara muslim dengan mukmin mempunyai keterkaitan. Begitu juga
dengan mukmin dengan mukhsin, selanjutnya mukhsin dengan mukhlis dan demikian juga
mukhlis dengan muttaqin. Kalau kita ibaratkan seperti sekolah yang mempunyai jenjang
pendidikan. Muslim merupakan tingkatan terendah, sedangkan tingkatan tertinggi adalah
muttaqin. Untuk menjadi orang yang bertaqwa tentunya harus terlebih dahulu menjadi orang
Islam (muslim), selanjutnya naik kelas lagi menjadi orang yang beriman (mukmin). Setelah
menjadi orang yang beriman maka naik lagi menjadi orang yang baik (mukhsin). Sukses menjadi
orang yang baik, maka naik lagi menjadi orang yang ikhlas (mukhlis). Setelah sampai kepada
tingkatan orang ikhlas maka barulah menjadi orang yang bertaqwa (muttaqin) sebagai tingkatan
yang tertinggi.
ِ شدِي ُد ا ْل ِعقَا
} )25( ب َ َّ َّصةً َوا ْعلَ ُموا أَن
َ َّللا َّ {واتَّقُوا فِتْنَةً َل ت ُ ِصيبَنَّ الَّ ِذينَ َظلَ ُموا ِم ْن ُك ْم َخا
َ
Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa
Allah amat keras siksaan-Nya.
Allah Swt. memperingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar waspada
terhadap fitnah. Yang dimaksud dengan fitnah ialah cobaan dan bencana.
Apabila ia datang menimpa, maka pengaruhnya meluas dan menimpa semua
orang secara umum, tidak hanya orang-orang durhaka dan orang yang
melakukan dosa saja, melainkan bencana dan siksaan itu mencakup
kesemuanya; tidak ada yang dapat menolaknya, tidak ada pula yang dapat
melenyapkannya. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad; dia
mengatakan, telah menceritakan kepadaِkamiِAbuِSa’idِmaulaِBaniِHasyim,ِ
telahِmenceritakanِkepadaِkamiِSyaddadِibnuِSa’id,ِtelahِmenceritakanِ
kepada kami Gailan ibnu Jarir, dari Mutarrif yang mengatakan bahwa ia
pernah bertanya kepada Az-Zubair,ِ“WahaiِAbuِAbdullah,ِapakahِyangِ
mendorong kamu datang? Kamu telah menyia-nyiakan khalifah yang telah
terbunuh,ِlaluِsekarangِkamuِdatangِuntukِmenuntutِdarahnya.”ِAz-Zubair
menjawab,ِ“KamiِdahuluِdiِmasaِRasulullahِSaw..ِAbuِBakar,ِUmar,ِdanِ
Usinan r.a. biasa membaca firman-Nya yang mengatakan:Dan peliharalah diri
kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja
di antara kalian. (Al-Anfal: 25) Kami tidak menduga bahwa kami adalah orang-
orangِyangِdimaksud,”ِhinggaِfitnahِituِterjadiِdiِkalanganِkitaِsepertiِyangِ
kita alami sekarang.
Hal ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur, bersumber dari Az-Zubair
ibnul Awwam.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna firman-Nya: Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. (Al-Anfal: 25) Khitab
ayat ini secara khusus ditujukan kepada sahabat-sahabat Nabi Saw.
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan pula dari Ibnu Abbas dalam riwayat yang
lainnya sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa Allah memerintahkan
kepada orang-orang mukmin, janganlah mereka menyetujui perkara yang
mungkar yang terjadi di hadapan mereka, maka akibatnya Allah akan
menimpakan siksaan secara umum kepada mereka. Tafsir ini terbilang sangat
baik.
Hal yang sama dikatakan oleh Ad-Dahhak dan Yazid ibnu Abu Habib serta
lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
IbnuِMas’udِpernahِmengatakan,ِ“Tiadaِseorangِpunِdiِantara kalian
melainkan akan tertimpa fitnah. Sesungguhnya Allah Swt. telah berfirman:
Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi
kalian). (At-Taghabun: 15) Maka barang siapa yang memohon perlindungan
di antara kalian, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah yang
menyesatkan.”ِRiwayatِIbnuِJarir.
Pendapat yang mengatakan bahwa fitnah ini secara umum menimpa para
sahabat dan lainnya, sekalipun khitab ini ditujukan kepada mereka; pendapat
inilah yang benar. Hal ini didukung oleh hadis-hadis yang memperingatkan
agar bersikap waspada terhadap fitnah-fitnah. Karena itulah kami akan
menjelaskan masalah ini dalam suatu pembahasan terpisah seperti halnya
yang banyak dilakukan oleh para imam, mereka secara khusus menulis kitab-
kitab mengenainya. Di antara yang terpenting untuk disebutkan secara
khusus dalam hal ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Di dalam sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang dicurigai predikatnya,
tidak ada seorang pun di antara pemilik kitab sittah yang
mengetengahkannya.
ع ْب ِدَ َّللا ب ِْن َ ع َْن،أ َ ْخبَ َرنِي ع َْم ُرو ْبنُ أ َ ِبي ع َْم ٍرو- يَ ْعنِي ا ْبنَ َج ْعفَ ٍر- س َما ِعي ُل
ِ َّ ع ْب ِد ْ َح َّدثَنَا ِإ،يُّ ش ِم ُ َح َّدثَنَا
ِ سلَ ْي َمانُ ا ْل َها
ْ
َّ لَتَأ ُم ُرن،ِسي بِيَ ِده ْ َ
ِ ” َوالَّذِي نَف:َسلَّ َم قال َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َّللا
ِ َّ سو َل َ
ُ ان؛ أنَّ َر َ
ِ ع َْن ُحذيفة ب ِْن ا ْليَ َم،ش َه ِل َ
ْ الرحْ َم ِن ْاْل َّ
َ
”يب ل ُك ْمُ ست َ ِج َ ّ
ْ َعنه ف ََل ي ُ ْ َ
ُ ث َّم لتَد،ِعل ْي ُك ْم ِعقابا ِم ْن ِعن ِده َ َ
َ َّللاُ أ ْن يَ ْبعَث
َّ َّشكَن َ َ ْ ْ ْ َ
ِ أ ْو ليُو، َولتَن َه ُونَّ ع َِن ال ُمنك َِر،وف ِ بِا ْل َم ْع ُر
ImamِAhmadِtelahِmeriwayatkannyaِpulaِdariِAbuِSa’idِdariِIsmail ibnu
Ja’far,ِdanِiaِmengatakan:
ImamِAhmad’mengatakan:ِtelahِmenceritakanِkepadaِkamiِAbdullahِibnuِ
Numair, telah menceritakan kepada kami Zurr ibnu Habib Al-Juhanni Abur
Raqqad yang mengatakan bahwa ia berangkat bersama maulanya ke rumah
Huzaifah. saatِituِiaِsedangِmengatakan,ِ“Sesungguhnyaِdahuluِdiِmasaِ
Rasulullah Saw. ada seorang lelaki yang mengucapkan suatu kalimat, lalu ia
menjadi orang munafik. Dan sesungguhnya saya telah mendengar kalimat itu
dari seseorang di antara kalian lebih empat kali dalam suatu majelis.
Sesungguhnya kalian benar-benar mengerjakan amar ma’ruf dan nahi
munkar, dan kalian benar-benar saling menganjurkan kepada kebaikan, atau
Allah akan menimpakan kepada kalian semua suatu azab, atau Dia akan
menguasakan kalian kepada orang-orang yang jahat di antara kalian,
kemudian orang-orang pilihan kalian berdoa, tetapi doa mereka tidak
diperkenankan.”
telahِmenceritakanِkepadaِkamiِYahyaِibnuِSa’id,ِdariِZakaria;ِtelahِ
menceritakan kepada kami Amir r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah
mendengar An-Nu’manِibnuِBasyirِr.a.ِberkhotbah,ِantaraِlainِiaِmengatakanِ
seraya mengisyaratkan kepada telinganya dengan kedua jari telunjuknya
(yang maksudnya dia telah mendengar ucapannya itu dari Nabi Saw.):
Perumpamaan orang yang menegakkan batasan-batasan Allah dan arang
yang melanggarnya serta orang yang berdiplomasi terhadapnya sama
dengan suatu kaum yang menaiki sebuah kapal laut. Sebagian ‘dari mereka
ada yang menempati bagian bawah dari kapal itu, yaitu bagian yang paling
tidak enak dan buruk; sedangkan sebagian yang lain menempati bagian atas
(geladak)nya. Orang-orang yang menempati bagian bawah kapal itu apabila
mengambil air minum harus melalui orang-orang yang bertempat di atas
mereka, sehingga mengganggunya. Akhirnya orang-orang yang tinggal di
bagian bawah kapal itu mengatakan, “Seandainya saja kita membuat lubang
untuk mengambil bagian kita hingga dapat mengambil air dan tidak
mengganggu orang-orang yang ada di atas kita.” Jika orang-orang yang
berada di atas membiarkan mereka untuk melakukan niatnya itu, niscaya
mereka semuanya binasa (karena kapal akan tenggelam). Dan jika orang-
orang yang berada di atas mau saling bantu dengan orang-orang yang ada di
bawah mereka, niscaya mereka semuanya selamat.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid tanpa Imam Muslim.
Imam Bukhari meriwayatkannya di dalamِBabِ“Syirkah”ِdanِBabِ“Syahadat”ِ
(Persaksian).ِImamِTurmuziِmeriwayatkannyaِdiِdalamِBabِ“Fitan”ِmelaluiِ
berbagai jalur, dari Sulaiman ibnu Mahran Al-A’masy,ِdariِAmirِibnuِSyurahilِ
Asy-Sya’biِdenganِlafazِyangِsama.
صلَّى
َ َّللا
ِ َّ سو ُل ُ قَا َل َر:َ ع َْن أَبِي ِه قَال،ير ٍ ع َِن ا ْل ُم ْنذ ِِر ْب ِن َج ِر،ق ْ ِ ع َْن أَبِي إ، ٌ أ َ ْخبَ َرنَا ش َِريك،ٍَح َّدثَنَا َح َّجاج ْبنُ ُم َح َّمد
َ س َحا
-ب ٍ َّللاُ بِ ِعقَا َ إِ َّل، َيه ْم َر ُج ٌل أَع َُّز ِم ْن ُه ْم َوأ َ ْمنَ ُع َل يُغَيِّ ُرون
َّ ع َّم ُه ُم ِ ِ َوف،اصي ِ َ “ َما ِم ْن قَ ْو ٍم يَ ْع َملُونَ بِا ْل َمع:سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو
َ َُّللا
َّ
.”اب َ ْ َ أ:أ َ ْو
ُ صابَ ُه ُم ال ِعق َ
Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Musaddad, dari Abul Ahwas, dari Abu
Ishaq dengan sanad yang sama.
َّللا
ِ َّ سو َلُ أَنَّ َر، ع َْن أ َ ِبي ِه،ير ٍ َّللا ب ِْن َج ِرِ َّ عبَيد ُ ق يُ َح ّد
ُ ع َْن،ِث َ س َحا ْ س ِمعْتُ أَبَا ِإَ ُش ْعبَة ُ َح َّدثَنَا،َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد ْبنُ َج ْعفَ ٍر
َ ِإ َّل،ُ لَ ْم يُغَ ِيّ ُروه،ُ ُه ْم أع َّز َوأ َ ْكث َ ُر ِم َّم ْن يَ ْع َملُه،اصي
ع َّم ُه ُم ِ ِ “ َما ِم ْن قَ ْو ٍم يُ ْع َمل ف:َسلَّ َم قَال
ِ َيه ْم ِبا ْل َمع َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ
”بٍ َّللاُ ِب ِعقَا
َّ
KemudianِImamِAhmadِmeriwayatkannyaِpulaِdariِWaki’ِdariِIsrail.ِJugaِdariِ
AbdurِRazzaqِdariِMa’mar,ِdariِAswad,ِdariِSyarikِdanِYunus;ِsemuanyaِ
dari Abu Ishaq As-Subai’iِdenganِsanadِyangِsama.ِIbnuِMajahِtelahِ
meriwayatkannyaِdariِAliِibnuِMuhammad,ِdariِWakj’, dengan sanad yang
sama.