Anda di halaman 1dari 7

Gangguan Perilaku pada Anak dengan Epilepsi

Dora Novriska, Retno Sutomo, Amalia Setyat

Abstrak
Pendahuluan. Epilepsi adalah penyakit neurologi yang paling sering mempengaruhi anak. Banyak kasus
epilepsi ditemukan di negara berkembang. Anak dengan epilepsi memiliki resiko gangguan perilaku yang
bisa mempengaruhi kualitas hidupnya. Penelitan mengenai masalah perilaku pada anak dengan epilepsi
sangat jarang di Indonesia.

Tujuan. Untuk membandingkan gangguan perilaku pada anak dengan epilepsi dibandingkan dengan
anak normal dan untuk menilai faktor yang mungkin berhubungan dengan kejadian gangguan perilaku.

Metode. Kami menggunakan penelelitan cross-sectional yang meliput 47 anak dengan epilepsi dan 46
anak tanpa epilepsi, berusia 3-16 tahun. Gangguan perilaku diskrining dengan Strength and Difficulty
Questionnaire (SDQ) versi Indonesia. Informasi tentang interpretasi EEG, pengobatan, onset, dan durasi
epilepsi dicatat dalam rekam medis.

Hasil. Masalah perilaku ditemukan pada 19,1% pada anak dengan epilepsi dan hanya 2.2% pada anak
tanpa epilepsi (PR 8.8; 95% CI 1.16-66.77; p=0.015). perbedaan signifikan ditemukan pada presentase
masalah perilaku dan kelainan emosi. Analisis multvariate dengan regresi logistc menyatakan bahwa
faktor yang berhubungan dengan kelainan perilaku pada anak dengan epilepsi adalah epilepsi yang tdak
terkontrol (PR 13.9; 95%CI 1.45-132.4; P=0.023) dan tampilan EEG fokal (PR 19; 95%CI 1.71-214.43;
P=0.017). Kami juga menemukan bahwa epilepsi yang tdak terkontrol adalah faktor yang berhubungan
dengan emosi (PR 6.7; 95%CI 1.66-26.76; P=0.007) dan masalah perilaku (PR 6.1; 95%CI 1.35 to 27.29;
P=0.019).

Kesimpulan. Epilepsi yang tdak terkontrol dan hasil EEG fokal adalah faktor yang mempegaruhi resiko
peningkatan masalah perilaku pada anak dengan epilepsi. Anak dengan epilepsi sebaiknya menjalani
skrining kelainan perilaku, diikut dengan konfirmasi diagnosis dan tatalaksana.

Anak dengan epilepsi memiliki resiko lebih besar pada gangguan psikiatrik dan perilaku,
sepert penurunan atensi atau gangguan hiperaktf (AD/HD), gangguan perilaku, autism
spectrum disorder (ASD), kelainan yang mempengaruhi dan agresif yang dapat mempengaruhi
kualitas hidupnya. Anak dengan kejang memiliki 4,7 kali resiko yang lebih tnggi pada masalah
perilaku daripada tanpa kejang. Prevalensi dari gangguan perilaku pada anak dengan epilepsi
adalah 54% di Thailand tahun 2007 dan 52,8% di India tahun 2004.
Yang menyebabkan gangguan perilaku pada epilepsi adalah mulifaktorial, termasuk
neurobiologi dan faktor psikososial. Faktor neurobiologi meliput usia saat onset, durasi sakit,
frekuensi dan keparahan kejang, tpe kejang, hingga tpe dan jumlah ant-epilepsi yang
diminum. Faktor psikososial meliput stgma orang yang memiliki epilepsi, stres finansial,
keluarga, dinamika orang tua, hingga karakteristk anak, sepert temperamen dasar dan level
intelegensi.

1
Terdapat beberapa penelitan mengenai gangguan perilaku pada anak-anak epilepsi di
Indonesia. Sebuah penelitan ditemukan bahwa 60% anak epilepsi didiagnosa dengan gangguan
psikiatri dan perilaku, hanya 33% yang memiliki riwayat menerima pelayanan kesehatan mental
sebelum penelitan. Sepert, skrining untuk masalah perilaku yang diikut diagnosis dan terapi
yang dibutuhkan pada anak dengan epilepsi.
Tujuan penelitan ini adalah untuk membandingkan kelainan perilaku pada anak dengan
epilepsi dengan anak normal, dan untuk menilai faktor yang mungkin berhubungan dengan
tngkat kejadian dari kelainan perilaku.

Metode
Kami melakukan penelitan cross sectional pada pasien rawat jalan di poli anak RS dr.
Sardjito, Yogyakarta dari Juni-Juli 2013. Subjek terdiri dari 2 kelompok, pasien dengan dan tanpa
epilepsi. Sampel minimum yang dibutuhkan pada tap kelompok adalah 46 pasien.
Kriteria inklusi untuk kelompok epilepsi adalah anak usia 3-16 tahun yang didiagnosa
epilepsi dan telah diberi terapi di poli saraf anak di RS dr. Sardjito. Kriteria inklusi pada kelompok
non-epilepsi adalah anak usia 3-16 tahun yang tdak memiliki epilepsi, riwayat kejang demam
atau penyakit kronik. Diagnosis epilepsi ditegakkan dari riwayat kejang tanpa profokasi atau
lebih dari 1 kali demam yang ditunjang dengan pemeriksaan EEG. Pada kedua kelompok, orang
tua pasien berkomitmen untuk berpartsipasi pada penelitan dengan menandatangani surat
perjanjian. Kriteria eksklusi pada kedua kelompok adalah anak dengan cacat fisik berat atau
cacat mental (sepert tdak dapat berjalan tanpa alat atau tdak bisa berkomunikasi),
sebelumnya didiagnosa dengan AD/HD, auts, atau penyakit psikiatrik lain, memiliki penyakit
kronik atau tdak hidup bersama orang tuanya. Penelitan ini disetujui oleh Komite Etk
Penelitan Kesehatan FK Universitas Gajah Mada.
Gangguan perilaku dinilai menggunakan skor SDQ versi Indonesia yang telah divalidasi
dan bisa didownload di www.sdqinfo.com . SDQ dibagi menjadi 2 sesi, yaitu 1 sesi diselesaikan
oleh orang tua atau guru pada anak usia 3-10 tahun, 1 sesi diselesaikan sendiri oleh anak pada
usia 11-16 tahun. Kuesioner meliput informasi identtas dan pernyataan tentang perilaku yang
dijawab tdak benar, kadang benar atau benar. Data sekunder, sepert jumlah obat ant-epilepsi
dan interpretasi EEG diambil dari rekam medis. Kelengkapan data telah diperiksa oleh penelit.
Tujuan utama adalah tngkat kejadian gangguan perilaku yang diukur dengan SDQ untuk
kedua kelompok. Variable independen adalah epilepsi, variable dependen adalah gangguan
perilaku berdasarkan skor SDQ. Variable eksternal pada penelitan ini adalah usia, jenis kelamin,
edukasi maternal, usia saat terjadi epilepsi, durasi epilepsi, tpe epilepsi (epilepsi terkontrol dan
tdak terkontrol), jumlah obat ant-epilepsi dan interpretasi EEG. Gangguan perilaku
berdasarkan hasil SDQ meliput total dan skor subset. Skor SDQ meliput 6 subset penilaian,
yaitu : total kesulitan, hiperaktf, masalah perilaku, masalah emosional, masalah dengan teman
sebaya, skor prososial. Gangguan perilaku pada penelitan ini dijelaskan berdasarkan hasil

2
pemeriksaan dengan SDQ meliput skor total dan dipertmbangkan menjadi abnormal untuk
skor kesulitan 17-40 pada anak usia 3-10 tahun dan 20-40 pada anak usia 11-16 tahun. Subset
hiperaktf abnormal jika mendapat skor 7-10 pada semua kelompok. Masalah perilaku abnormal
jika mendapat skor 4-10 untuk anak usia 3-10 tahun, dan 5-10 untuk anak usia 11-16 tahun.
Subset masalah emosional abnormal jika 5-10 pada anak usia 3-10 tahun dan 6-10 pada 11-16
tahun. Perilaku prososial ditetapkan abnormal jika 0-4 untuk semua kelompok usia.
Epilepsi terkontrol didefiniskan sebagai epilepsi aktf tanpa kejang pada 1 tahun pertama
sampai periode penelitan. Usia saat terjadinya epilepsi didefinisikan sebagai usia anak dalam
tahun ketka didiagnosis epilepsi dan diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu <3 tahun dan ≥3
tahun. Jumlah obat ant-epilepsi didefinisikan sebagai obat ant-epilepsi yang digunakan pasien
di waktu sekarang dan diklasifikasikan menjadi monoterapi dan politerapi. Interpretasi EEG
didapatkan dari rekam medis dalam form hasil pemeriksaan EEG dan diklasifikasikan menjadi
fokal dan non-fokal.
Usia anak diklasifikasikan menjadi 3-10 tahun dan 11-16 tahun. Latar belakang edukasi
maternal didefinisikan sebagai tngkat edukasi formal yang lengkap oleh ibu dan diklasifikasikan
sebagai latar oendidikan rendah (SD-SMP) dan latar pendidikan tnggi (SMA-Perguruan Tinggi).
Kami melakukan analisis bivariat menggunakan Chi-Square untuk membandingkan skor
SDQ antara kelompok epilepsi dan non-epilepsi, sepert membandingkan skor SDQ dan masing-
masing variabel pada kelompok epilepsi. Regresi logistk digunakan untuk memulai faktor yang
paling signifikan berhubungan dengan tngkat kejadian dari masalah perilaku pada anak dengan
epilepsi. Statstka yang signifikan telah dikonfirmasi nilai p<0,05 dan interval kepercayaan 95%.
Data dianalisis denggan SPSS versi 17.

Hasil
Karakteristk dasar dari anak dapat dilihat pada table 1. Gangguan perilaku ditemukan
pada 19,1% dari anak dengan epilepsi tetapi hanya 2,2% pada anak tanpa epilepsi. Tingkat
kejadian dari total kesulitan, gangguan emosional dan masalah perilaku juga lebih tnggi secara
signifikan pada anak dengan epilepsi daripada kelompok non-epilepsi (Tabel 2). Namun, tdak
ada beda signifikan pada subset hiperaktf, masalah pada teman sebaya, skor prososial antara
kedua kelompok.
Tabel 1. Karakteristk dasar subjek pada kelompok epilepsy dan non-epilepsi

3
Tabel 2. Klasifikasi skor perilaku antara kelompok epilepsy dan non-epilepsi

Table 3 menunjukkan bahwa rasio prevalensi factor yang berkaitan dengan gangguan
perilaku pada anak dengan epilepsi yang kami dapatkan dari analisis bivariat.

Tabel 3. Rasio prevalensi faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku pada anak dengan
epilepsi

4
Setelah melakukan analisis multvariat dengan regresi logistk, kami menemukan bahwa
factor yang berhubungan secara signifikan pada gangguan perilaku pada anak dengan epilepsy
adalah epilepsi yang tdak terkontrol (PR 13,9; 95%CI 1,45-132,42; p=0,023) dan EEG fokal (PR
19; 95%CI 1,71-214,43; p=0,017). Pada anak dengan epilepsy tdak terkontrol, frekuensi masalah
tngkah laku 6,1 kali lebih tnggi daripada epilepsy yang terkontrol (PR 6,1; 95%CI 1,35-27,29;
p=0,019). Kami juga menemukan bahwa anak dengan epilepsy tdak terkontrol 6,7 kali lebih
tnggi prevalensi gangguan emosionalnya daripada epilepsy yang terkontrol (95%CI 1,66-26,76;
p=0,007)

Diskusi
Kami menemukan bahwa masalah perilaku lebih sering pada anak dengan epilepsi
daripada anak tanpa epilepsi (19,1% vs 2,2%). Analisis multvariat menggunakan regresi logistc
mengungkapkan bahwa faktor yang berhubungan dengan gangguan perilaku pada anak dengan
epilepsi yang tdak terkontrol dan EEG fokal. Kami juga menemukan bahwa epilepsi tdak
terkontrol berhubungan dengan faktor emosional dan masalah perilaku.
Keterbatasan pada penelitan kami, kami tdak menggunakan informasi multpel untuk
mengisi SDQ, dimana dapat dilengkapi oleh orang tua dan guru. Informasi multpel dapat
mendapatkan sensitvitas SDQ yang lebih baikuntuk mendeteksi gangguan perilaku pada anak
daripada informasi tunggal (orang tua atau guru). Penggunaan informasi multple
memperlihatkan lebih baik sebagai prediktor daripada diselesaikan sendiri oleh anak, sebagai
tambahan, terdapat hubungan yang signifikan antara perburukan kognisis dan masalah perilaku.
Namun, kami tdak menguur IQ untuk menganalisis faktor kognisi pada penelitan kami.
Perburukan kognisi lebih banyak pada anak dengan epilepsi daripada anak normal, penurunan
kemampuan kognitf bisa manifestasi dari masalah perilaku karena kemampuan kognisi mungkin
mempengaruhi perilaku adaptasi pembelajaran (perilaku yang sesuai usia dibutuhkan anak
untuk bisa hidup mandiri pada situasi baru). Penurunan kognisis juga diterapkan pada anak
dengan epilepsi. Selanjutnya, sifat yang mendasari penyakit otak yang isa berkembang menjadi
epilepsi karena penurunan kognisi dan masalah perilaku pada anak dengan epilepsi.
Oleh karena penelitan kami adalah cross-sectional, kami tdak dapat menduga
hubungan antara epilepsi dan gangguan perilaku. Penyakit psiiatrik pada anak dengan epilepsi
dianggap dipacu oleh faktor psikososial karena kurangnya afaptasi pada penyakit kronik,
termasuk adanya stgma. Selain itu, pada penelitan ini kami juga menemukan bajwa epilepsi
dan penyakit psikiatrik adalah fenomena yang terjadi bersamaan daripada faktor kausal.
Penelitan dilaporkan bahwa 1 dari 3 anak dengan onset baru epilepsi terlihat masalah perilaku
yang paling nyata sampai onset dari kejang.
Penelitan lain menggunakan instrument sama menemukan proporsi yang lebih besar
pada subjek yang mempunyai gangguan dengan 56,3% untuk kategori dari total skor perilaku,
50% untuk gangguan emosional, 34,4% pada masalah perilaku, 40,6% untuk gangguan

5
hiperaktf dan 65,6% pada masalah dengan teman sebaya. Perbedaan dari hasil kami karena
perbedaan keadaan sosio-demografi, termasuk populasi target, sampai kriteria inklusi dan
eksklusi. Subjek penelitan dirawat inap, pasien anak dengan penyakit lebih kompleks daripada
pasien rawat jalan telah ditunjuk oleh center epilepsi di Norway. Selain itu, anak dengan
retardasi mental dan penyakit tumbuh-kembang tdak dieksklusi pada penelitan kami. Tanabe,
et al menemukan bahwa anak epilepsi memiliki skor lebih tnggi pada total kesulitan, gangguan
hiperaktf, masalah teman sebaya dengan skor 23, 7%; 32,9% dan 15,8% jika dibandingkan
dengan anak non-epilepsi.
McDermott et al mengevaluasi 121 anak epilepsi pada tahun 1995 menggunakan
Behavior Problem Index (BPI). Mereka menemukan bahwa anak epilepsi memiliki presentase
lebih tnggi pada gangguan dibawah ini jika dibandingkan dengan anak non-epilepsi : gangguan
perilaku (31,4% vs 8,5%, gangguan hiperaktf (28,1% vs 4,9%), masalah teman sebaya (14,9% vs
4,1%), dan gangguan kecemasan (24% vs 7,5%). Kariuki et al mengevaluasi 108 anak epilepsi
pada tahun 2010 menggunakan Child Behavior Questionnaire for Parents (CBQFP). Mereka
menemukan bahwa anak epilepsi memiliki presentase lebih tnggi secara signifikan pada
gangguan perilaku dibandingkan dengan control (49% vs 26%; p<0,001). Datta et al melaporkan
bahwa 53,8% dari gangguan perilaku terjadi pada 132 anak dengan epilepsi menggunakan Child
Behavior Checklist (CBCL). Languju et al (2012) melaporkan bahwa lebih dari 84 anak epilepsi,
ganggguan perilaku, masalah perilaku, gangguan emosional dan gangguan hiperaktf terjadi
46,4%; 27,3%, 11,9% dan 20,2% pada anak, menggunakan skala Rutter A2.
Kami menemukan bahwa epilepsi yang tdak terkontrol dan EEG fokal adalah faktor yang
berhubungan signifikan dengan skor total kesulitan abnormal. Jenis kelamin, usia anak, durasi
epilepsi, usia saat onset, latar belakang edukasi maternal, dan jumlah obat ant-epilepsi tdak
berhubungan secra signifikan terhadap tngkat kejadian gangguan perilaku pada anak epilepsi.
Hasil ini serupa dengan Kariuki et al, dimana termasuk epilepsi aktf atau tdak terkontrol yang
berhubungan dengan gangguan perilaku (OR 7,89; 95%CI 1,23-50,06; p-0,029). Prevalensi lebih
tnggi pada gangguan perilaku pada anak epilepsi dengan EEG fokal pada penelitan kami juga
diobservasi oleh Tanabe et al. pada penelitan sebelumnya, anak laki-laki, kejang tdak
terkontrol, focus pada regior frontal atau temporal pada EEG, sepert politerapi tampak lebih
tnggi prevalensinya pada ADHD. Namun, penelitan kami tdak mengkonfirmasi hasil ini.
Presentase dari gangguan hiperaktf pada penelitan kami adalah 6,5% dan tdak berbeda secara
signifikan dari kelompok non-epilepsi. Bauer et al melaporkan bahwa 40,6% pada anak memiliki
gangguan hiperaktf. Namun, sepert pada penelitan ini, mereka tdak ditemukan faktor yang
signifikan berhubungan dengan gangguan hiperaktf. McDermott melaporkan bahwa 28,1%
anak dengan epilepsi memiliki pengalaman hiperaktf dan kemiskinan meningkatkan resiko
hiperaktf sebanyak 5,7 kali.
Kami menemukan bahwa 29,8% dari anak dengan epilepsi memiliki gangguan emosional
dan berhubungan secara signifikan pada epilepsi tdak terkontrol (PR 6,7; 95%CI 1,66-26,76;

6
p=0,007). Faktor psikologi sepert ketakutan terjadinya kejang tdak dapat diprediksi dan
dikontrol untuk menerima stgma, kecemasan pada anak dengan epilepsi. Frekuensi kejang,
durasi epilepsi, usia remaja, dan politerapi ditemukan beresiko terhadap gangguan emosional,
kecemasan pada epilepsi. Namun, pada penelitan kami, epilepsi tdak terkontrol merupakan
faktor satu-satunya yang berhubungan dengan masalah emosional.
Penelitan kami mendukung penelitan sebelumnya tentang masalah perilaku yang diilai
dengan SDQ pada anak dengan epilepsi. Karena anak dengan epilepsi memiliki resiko masalah
perilaku, skrining untuk mengkonfirmasi diagnosis dan terapi sebaiknya dilakukan pada semua
anak dengan epilepsi. Penelitan lebih lanjut tentang masalah perilaku pada anak Indonesia
dengan epilepsi dan resiko lain dibutuhkan.
Kesimpulannya, masalah perilaku lebih sering terjadi pada anak dengan epilepsi
daripada anak normal, terutama gangguan perilaku dan emosional. Epilepsi tdak terkontrol dan
EEG fokal memperlihatkan faktor yang berhubungan secara signifikan pada masalah perilaku
pada anak dengan epilepsi

Anda mungkin juga menyukai