Disusun Oleh:
Renno Firaldy 105070100111092
Pembimbing:
Dr. dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An.
PPDS Pembimbing:
dr. M. Rizqan Khalidi
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1 Manajemen Cairan pada Kegawatan Abdomen.........................22
4.2 Terapi Cairan Pre Operatif.........................................................22
4.3 Terapi Cairan Intraoperatif..........................................................23
BAB 5 PENUTUP
Kesimpulan......................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dokter muda
dan tenaga medis mengenai penatalaksanaan perioperatif dan komplikasi
pada pasien ileus obstruktif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.2 Perbedaan ileus obstruktif pada usus halus dan usus besar
(Faradila, 2009).
2.1.5 Diagnosis
Anamnesis pada obstruksi letak tinggi biasanya ditemukan riwayat
penyebabnya misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah
dioperasi, neoplasma, inflamasi saluran cerna, atau hernia. Gejala umum
berupa nyeri perut kolik, mual muntah, distensi abdomen, perut terasa
kembung, adanya perubahan pola BAB maupun gangguan flatus, dan
pada tahap lanjut BAB tidak bisa sama sekali (Jackson dan Raiji, 2011).
Penderita tampak gelisah dan kesakitan sewaktu kolik dan setelah satu
dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi. Pada ileus obstruksi
usus halus biasanya nyeri di sekitar umbilikus, sedangkan pada usus
besar nyeri ada di area suprapubik. Muntah jika ileus obstruksi usus halus
berwarna hijau dan onset lebih cepat, sedangkan pada usus besar
onsetnya lebih lama (Sjamsuhidajat dan Jong, 2007).
Pada pemeriksaan fisik, dapat dilihat adanya pembesaran perut
abnormal seperti pembesaran lokal karena peristaltik kuat sehingga
tampak kontur usus pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada
obstruksi letak rendah (di sekum dan kolon proksimal) karena bagian ini
mudah membesar. Gejala lain yaitu tanda syok (hipotensi dan takikardi),
oliguria, dan tanda dehidrasi (turgor menurun, mukosa kering). Pada
auskultasi saat kolik, hiperperistaltis terdengar jelas sebagai bunyi keras
bernada tinggi (metallic sound) (Brunicardi, 2005). Jika penyakit telah
berjalan beberapa hari, peristaltik bisa menurun atau bahkan menghilang.
Palpasi dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tekan, defans
muskuler, dan pembesaran atau massa abnormal. Periksa pula
kemungkinan terjadi hernia. Pemeriksaan colok dubur juga bisa dilakukan
untuk menilai besarnya obstruksi. Jika ampulla rekti kolaps maka
obstruksi yang ada total (Zinner dan Ashley, 2007).
Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan hasil spesifik
karena awalnya biasanya normal, tapi dapat membantu memandu
resusitasi. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum, ureum kreatinin,
dan urinalisis harus dilakukan untuk menilai status hidrasi dan
menyingkirkan sepsis. Pada urinalisis, berat jenis bisa meningkat dan ada
ketonuria yang menunjukkan dehidrasi serta asidosis metabolik. Leukosit
biasanya normal atau sedikit meningkat, dan jika sudah tinggi
kemungkinan sudah ada sepsis atau peritonitis. Gangguan elektrolit juga
sering terjadi (Zinner dan Ashley, 2007). Pada obstruksi di mana ada
gangguan vaskuler, perlu juga dicek serum laktat sebagai indikator
iskemia. Pengambilan sampel darah harus dilakukan untuk kepentingan
transfusi jika diperlukan dengan adanya pembedahan (Hughes, 2005).
Diagnosis pasti biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan
radiologis, yaitu foto polos abdomen posisi tegak, terlentang, dan lateral
decubitus, yang menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil
yang mengalami dilatasi dengan air fluid level (step ladder sign) serta
gambaran herring bone sign (tampak seperti tulang ikan). Pada obstruksi
usus besar tampak gambaran dilatasi kolon, dengan dekompresi usus
halus jika katup ileosekal kompeten, dan air fluid level yang panjang.
Posisi berbaring perlu untuk melihat distribusi gas, sedangkan posisi
tegak untuk melihat batas udara dan feses serta letak obstruksi. Pada
posisi lateral dekubitus dapat ditemukan udara bebas di atas hepar jika
ada perforasi. Pemberian kontras dapat menunjukkan letak obstruksi jika
dalam foto polos tidak ditemukan, tetapi kontraindikasi jika ada perforasi
dan peritonitis. Pada ileus obstruktif letak rendah perlu dilakukan
rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan barium in loop) untuk mencari
penyebabnya. CT Scan, USG, dan MRI dapat lebih akurat dalam
mendiagnosis ileus obstruktif jika dalam foto polos tidak ditemukan
kelainan, tetapi murah, mudah, dan amannya foto polos membuat
pemeriksaan lain kurang dipilih (Hughes, 2005).
Gambar 2.3 Gambaran Radiologis Ileus Obstruktif pada Usus Besar
(kiri) dan pada Usus Kecil (kanan)
2.1.6 Diagnosis Banding
Ileus obstruktif memiliki gejala seperti beberapa penyakit saluran cerna
lain seperti mual, muntah, dan nyeri abdomen. Bedanya, pada ileus
paralitik nyeri lebih ringan, konstan dan difus, bising usus tidak terdengar
sejak awal, dan distensi lebih ringan. Penyakit lain seperti gastroenteritis
akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga dapat menyerupai
penyakit ini (Sutton, 2003).
2.1.7 Tatalaksana
Target penatalaksanaan utama adalah dekompresi pada bagian
yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi
hampir selalu diperlukan. Tindakan konservatif bisa dilakukan jika
obstruksinya parsial (kecuali saat ada gangguan perfusi) atau
penyebabnya diduga adalah adhesi dinding usus, yaitu dengan resusitasi
cairan, puasa, pemasangan nasogastric tube, analgesik, dan antiemetik.
Setelah dekompresi, tujuan selanjutnya adalah menghilangkan penyebab
obstruksi (Hughes, 2005). Berikut adalah langkah-langkah tatalaksana
ileus obstruktif.
1. Pre Operasi
Nasogastric tube harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi
dan mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan untuk
mengistirahatkan pencernaan, dilakukan resusitasi cairan dan koreksi
gangguan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum. Kateter harus dipasang
untuk mengobservasi produksi urin. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
mencegah pertumbuhan berlebih kuman dan translokasinya melewati dinding
usus (Jackson dan Raiji, 2011).
2. Operasi
Operasi dilakukan jika rehidrasi tercapai dan organ-organ vital berfungsi baik.
Pembedahan segera harus dilakukan tanpa menunggu optimalnya kondisi
pasien jika ada peritonitis dan sepsis. Pembedahan dilakukan juga jika tidak
ada perbaikan dengan pengobatan konservatif. Operasi yang paling banyak
dipilih adalah dengan laparotomi, meskipun juga bisa dilakukan dengan operasi
terbuka. Operasi yang dilakukan biasanya adalah reseksi dan anastomosis
serta pemasangan stoma. Stent intraluminal juga bisa dipasang agar tidak
terjadi perlekatan pasca operasi (Hughes, 2005).
3. Pasca Operasi
Tatalaksana pasca operasi sangat penting terutama dalam hal manajemen cairan
dan elektrolit untuk mencegah komplikasi seperti gagal ginjal, serta memberi
asupan nutrisi yang tepat karena usus pasien masih dalam keadaan paralitik.
Pasien harus dirawat di unit perawatan intensif dengan pengawasan keadaan
pasien (tanda vital, tanda dehidrasi, nyeri, elektrolit, dan keluhan) secara ketat.
Ini dapat membantu mendiagnosis komplikasi pasca operasi. NGT harus
terpasang hingga aspirat lambung minimal, dan setelahnya cairan enteral bisa
diberikan bertahap hingga dapat tercapai diet normal (Jackson dan Raiji, 2011).
2.1.8 Komplikasi
Komplikasi pada ileus obstruktif bisa terjadi sebelum maupun sesudah
operasi. Pada saat sebelum operasi, dapat terjadi perforasi karena
dilatasi berlebihan dan terjadi peritonitis hingga sepsis (Sjamsuhidajat dan
Jong, 2003). Iskemia karena terganggunya perfusi usus dapat
menyebabkan nekrosis yang pada akhirnya dapat menimbulkan sepsis
juga karena adanya translokasi bakteri. Gangguan cairan dan elektrolit
dapat menimbulkan gangguan sirkulasi dan kerusakan ginjal akut
(Saunders, 2007). Setelah operasi, komplikasi yang dapat terjadi adalah
perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, syok (sepsis, hipovolemik),
gangguan saluran cerna (mual, muntah, ileus paralitik), infeksi, obstruksi
karena adhesi, dan perforasi usus.
2.1.9 Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif dipengaruhi banyak faktor seperti usia, etiologi,
dan posisi serta lama obstruksi. Pasien yang berumur sangat muda atau
sangat tua memiliki angka mortalitas yang cukup tinggi berdasar
beberapa penelitian. Posisi dan etiologi obstruksi yang ada di usus besar
memiliki mortalitas yang lebih tinggi daripada obstruksi pada usus halus.
Timbulnya komplikasi juga meningkatkan angka mortalitas (Sjamsuhidajat
dan Jong, 2003). Mortalitas jika operasi ditunda lebih dari 36 jam adalah
25%, lebih besar dibanding jika operasi dilakukan di bawah 36 jam, yaitu
8%. Prognosis pada keganasan tetap paling buruk karena biasanya
pasien ini sudah mengalami metastasis (Saunders, 2007).
2.2 Manajemen Cairan Perioperatif
Manajemen cairan perioperatif meliputi penggantian defisit cairan
sebelum operasi, kebutuhan maintenance, dan perdarahan. Asupan oral
terganggu pada ileus menyebabkan defisit cairan dan elektrolit karena
terus adanya sekresi gastrointestinal, produksi urin, keringat, dan
insensible water loss kulit dan paru.
2.2.1 Kebutuhan maintenance normal
Kebutuhan maintenance adalah kebutuhan cairan pada orang normal
sehari-hari. Perhitungannya menggunakan metode Holliday-Segar, yaitu sebagai
berikut.
Kebutuhan penggantian
Derajat Trauma
cairan
Minimal (seperti herniorrhaphy) 0–2 mL/kg
Gambar 2.5 Cairan yang hilang secara distribusi ke ruang ketiga dan evaporasi
(Morgan, 2012)
2.3 Manajemen Komplikasi Ileus Obstruktif
2.3.1 Sepsis
Infeksi merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan merupakan
penyebab morbiditas baik sebelum maupun sesudah operasi pada pasien
ileus obstruktif (Kujath et al., 2010). Iskemia usus menyebabkan
peningkatan permeabilitas sehingga terjadi translokasi bakteri yang
berlanjut menjadi sepsis. Perforasi akibat distensi usus berlebihan juga
dapat menyebabkan infeksi, peritonitis, dan sepsis (Levine dan Aust,
1992).
Sepsis adalah keadaan di mana terjadi infeksi sistemik yang disebabkan
adanya kuman patogen dalam darah. Sepsis didiagnosis dengan
terpenuhinya kriteria SIRS (systemic inflammatory response syndrome)
dan ditambah dengan adanya sumber infeksi. Kriteria SIRS ada 4,
dengan diagnosis SIRS ditegakkan jika dua atau lebih kriteria itu
terpenuhi. Kriterianya meliputi suhu (<38ᵒC atau <36ᵒC), denyut nadi (>90
kali/menit), laju napas (>20 kali per menit) atau PaCO2 <32 mmHg, dan
leukosit (>12.000/mm3, <4.000/mm3, atau >10% sel muda). Sepsis berat
adalah keadaan dimana sepsis sudah menimbulkan disfungsi organ. Jika
organ yang terkena berjumlah dua atau lebih maka disebut MODS
(multiple organ dysfunction syndrome). Syok septik adalah keadaan di
mana ada keadaan sepsis berat disertai tanda syok seperti hipotensi dan
takikardi yang refrakter terhadap resusitasi cairan (Angus dan van der
Poll, 2013).
Tatalaksana sepsis pada pasien ileus obstruktif sama dengan tatalaksana
sepsis pada umumnya. Tujuan utamanya adalah melakukan resusitasi
dan mengurangi efek dari infeksi tak terkontrol. Pada kecurigaan adanya
sepsis, dalam 3 jam pertama harus diukur kadar laktat, cek kultur darah,
berikan antibiotik spektrum luas, berikan oksigen, nilai status volume
(pasang kateter urin) dan beri kristaloid intravena 30 cc/kgBB jika ada
hipotensi atau laktat ≥ 4 mmol/L. Dalam 6 jam setelah presentasi, berikan
vasopresor jika hipotensi tak merespon resusitasi cairan hingga MAP ≥65
mmHg dan nilai status volume dan perfusi, serta ukur kembali laktat jika
laktat di pengukuran awal meningkat. Berikan antibiotik spesifik jika hasil
kultur datang. Pasien juga harus dipindahkan ke ICU dan diawasi dengan
ketat (Angus dan van der Poll, 2013).
2.3.2 Gangguan elektrolit
Pada pasien ileus obstruktif, gangguan elektrolit bisa terjadi sebelum dan
sesudah operasi karena gangguan vaskularisasi yang menyebabkan
muntah sehingga air dan elektrolit keluar dari tubuh. Iskemia dan edema
mukosa juga menyebabkan peningkatan permeabilitas sehingga cairan
keluar dan absorbsi juga terganggu. Sekresi gastrointestinal yang
mengandung elektrolit pada keadaan normal direabsorbsi lagi sebagian,
tetapi pada keadaan ini tidak. Hal ini diperberat dengan tidak adanya
asupan elektrolit yang memadai karena puasa sebelum operasi
(Farquharson et al., 2014).
Kebanyakan gangguan elektrolit yang terjadi pada pasien ileus obstruktif
adalah hipokalemia. Hipokalemia adalah keadaan di mana kadar kalium
serum di bawah 3.5 mmol/L. Hal ini terjadi karena kehilangan kalium
berlebihan dari muntah. Hipokalemia ditandai dengan kelemahan otot,
palpitasi, lemas, sesak, dan konstipasi. Hipokalemia juga menyebabkan
paralisis usus, sehingga jika tidak ditangani akan memperparah obstruksi.
Setelah operasi hipokalemia juga dapat terjadi jika ada sekresi berlebih
dari urin. Penanganannya adalah dengan pemberian suplemen oral atau
drip KCl intravena. Kadar kalium ≥ 2.5mmol/L dapat ditangani dengan KCl
10-20 mEq/jam dengan maksimal 200 mEq/hari. Jika kadar kalium<2
mmol/L berikan drip cepat dengan dosis hingga 40 mEq/jam (Yang dan
Pan, 2014).
Hiponatremia, yaitu kadar serum natrium di bawah 135 mmol/L, juga
dapat terjadi. Gejalanya meliputi mual, muntah, pusing, kejang, dan
penurunan kesadaran. Hiponatremia parah dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebri. Pada ileus obstruktif
hal ini disebabkan oleh kebocoran cairan dari pembuluh darah karena
menurunnya volume darah dalam sirkulasi. Hal ini menyebabkan aktivasi
baroreseptor dan pelepasan vasopressin. Di sini tidak boleh dilakukan
pemberian cairan hipotonik karena bisa memperburuk hiponatremia.
Setelah operasi, hiponatremia terjadi karena SIADH yang disebabkan
oleh pemberian obat, prosedur operasi, dan nyeri. Hiponatremia pada
ileus obstruktif jenisnya adalah hipotonik karena berkurangnya volume
sirkulasi. Tatalaksananya adalah dengan infus NaCl 3% 150 cc selama 20
menit jika penurunan melebihi 10 mmol/L dari kadar normal, dan cek lagi
setelah 4 jam (Biswas dan Davies, 2007).
BAB III
LAPORAN KASUS
3.8.2 Monitoring
Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu
setiap 15 menit.
Awasi pemberian cairan dan obat-obatan
Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca
anestesi
Berkoordinasi dengan TS Anestesi apabila nadi ≤ 50x/menit (diberi
Sulfas Atropin 0.5 mg), TD ≤ 80/50 mmHg (diberi RL/NS 500 cc/ 30
menit), RR ≤ 10 x/menit, produksi urin ≤ 0,5 cc/kgBB/jam
Cek DL, SE, dan albumin post operasi
Pindah ruangan jika skor Aldrete > 8 dan tidak ada nilai 0
Additional Fluid
Degree of Tissue Trauma
Requirement
Minimal (eg, herniorrhaphy) 0–2 mL/kg
Gambar 4.2 Kehilangan cairan secara distribusi ke ruang ketiga dan evaporasi
(Morgan, 2012)
Operasi ini termasuk operasi besar sehingga menggunakan konstanta 4
cc/kg. Jadi O4 pasien adalah 4 cc x 40 kg = 160 cc, sehingga selama
operasi pasien mendapat cairan 240 cc/jam (M+O4 = 80cc+160cc = 240
cc) selama 2 jam. Karena anestesi berlangsung 2 jam dan operasi
berlangsung 1 jam, maka kebutuhan cairan selama operasi adalah
sebagai berikut.
Input cairan durante operasi: RL 500 cc, NS 500 cc, dan PRC 250 cc.
Pada pasien ini kebutuhan cairan pengganti puasa sudah
diberikan saat preoperatif. Selama pembedahan, kebutuhan cairan total
adalah 1220 cc. Pada pasien ini, diberikan input cairan total 1250 cc.
Karena pasien mendapatkan input cairan yang lebih banyak dari
kebutuhan, maka produksi urin pasien sebanyak 200 cc apabila
dikonversikan kurang lebih 2 cc/kgBB/jam.
Angus DC, van der Poll T. 2013. Severe Sepsis and Septic Shock. N Engl J Med;
369: 840-85
Arya RC, Wander G, Gupta P. 2011. Blood component therapy: Which, when and
how much. Journal of Anaesthesiology, Clinical Pharmacology, 27(2),
278–284.
Guyton A.C., Hall J.E. 2005. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC
Hahn, et.al. 2007. Perioperative Fluid Therapy. Informa Health Care: New York.
Helton WS, Fisichella PM. 2004. Intestinal Obstruction. Dalam: ACS Surgery:
Principles and Practices. WebMD Inc, 4: 5-10
Hughes E. 2005. Caring for the patient with an intestinal obstruction. Nursing
Standard. 19, 47, 56-64
Khan AN, et al. 2009. Small bowel Obstruction. England: North Manchester Penine
Kujath P et al. 2010. Complicated skin, skin structure and soft tissue infections - are
we threatened by multi-resistant pathogens?. European Journal of Medical
Research, 15:544-553
Levine, B.A., and Aust, J.B. 1992. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar
Bedah Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa:
Andrianto, P., dan I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC,
Saunders MD. 2007. Acute colonic pseudo-obstruction. Best Pract. Res, Clin.
Gastroenterol; 21(4): 671- 87
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: EGC. Hal: 623