Anda di halaman 1dari 14

ISSN 0125-1790 (print) ISSN 2540-945x (online)

ISSN 0125Indonesia
Majalah Geografi - 1790 (print), ISSN
Vol. 31, 2540-945X
No. (online)
2, September 2017 (8 - 21)
Majalah Geografi Indonesia Vol. 31,web:
DOI: https://doi.org/10.22146/mgi.25493, No.1,https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Maret 2017 (1 - 11)
© 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia (IGI)
© 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia.

Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad ke-16 - 17


dan Dampaknya pada Pertumbuhan Kota

Hafid Setiadi1, Hadi Sabari Yunus2, dan Bambang Purwanto3


1
Departemen Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Indonesia
2
Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia
3
Fakultas Ilmu Budaya, Univeristas Gadjah Mada, Yogyakarta Indonesia
Email koresponden: hafid.setiadi@ui.ac.id

Diterima : Juni 2017 ; Direvisi : Juli 2017; Dipubikasikan: September 2017


© 2017 Fakultas Geografi UGM dan Ikatan Geograf Indonesia.

Abstrak Studi ini membahas keterkaitan antara tradisi kekuasaan, produksi ruang, dan pertumbuhan kota. Tujuan utama
penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam pola dan proses spasial produksi ruang kekuasaan dan implikasinya
pada pertumbuhan kota. Lingkup penelitian mencakup situasi geopolitik di Pulau Jawa selama abad ke-16 hingga ke-17 ketika
Kesultanan Mataram memegang dominasi kekuasaan berlandaskan tradisi sawah. Metode analisis yang diterapkan mengacu
pada pemikiran hermeneutika yang mengedepankan metode pembacaan teks. Data penelitian berasal dari sumber-sumber
sekunder terutama hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan dalam bentuk artikel, buku, peta maupun makalah seminar.
Hasil analisis memperlihatkan bahwa selama rentang waktu tersebut pola dan proses spasial produksi ruang kekuasaan
didominasi oleh netralisasi dan pembentukan wilayah pinggiran sebagai konsekuensi dari absolutisme kekuasaan raja. Modus
produksi ini menyebabkan terjadinya likuidasi politik terhadap kota-kota tertentu yang ditandai oleh perubahan identitas kota,
terutama di wilayah pesisir.

Kata kunci: Produksi Ruang Kekuasaan, Kesultanan Mataram, Tradisi Sawah, Identitas Kota, Pertumbuhan Kota

Abstract This study discusses the relations between the tradition of power, the production of space, and city growth. This study
primarily aimed to comprehend the spatial pattern and process of the production of authority space and its implications for city
growth. It covers the geopolitical situation in Java during the 16th and 17th centuries when the Mataram Sultanate ran a dominant
power based on ricefield tradition. The analysis method applied in this study referred to hermeneutical thinking, which foregrounds
a text reading method. The research data was obtained from secondary resources, especially published research in the forms of
articles, books, maps, and seminar papers. The analysis results showed that the spatial pattern and process of authority space
production within these centuries were dominated by neutralization and the formation of peripheries, i.e., the consequence of the
king’s absolute power. This production mode resulted in the political liquidation of certain cities and, thereby, changed the identity
of the said cities, especially those located in coastal areas.

Key words: Production of Authority Space, Mataram Sultanate, Ricefield Tradition, City Identity, City Growth

PENDAHULUAN Salah satu tema utama dalam Neo-Marxian adalah


Sejak tahun 1980-an, kajian geografi diramaikan produksi ruang yang dilandasi oleh pemikiran Henry
oleh aliran baru yang dikenal sebagai aliran Neo- Lafebvre. Menurut Lefebvre (1991), produksi ruang
Marxian (Ritzer and Goodmann, 2003). Berbeda sangat terkait dengan berbagai praktek yang dilakukan
dengan gagasan awal Marxisme yang memandang oleh manusia serta bagaimana praktek-praktek tersebut
manusia sebagai makhluk pekerja, aliran Neo- berinteraksi dengan unsur-unsur ruang baik yang dapat
Marxian lebih memandang manusia sebagai makhluk dideteksi oleh indera maupun yang terkonsepsi dalam
budaya yang berpikir (Adian, 2006). Cara pandang pikiran manusia. Produksi ruang juga terkait dengan
ini mendorong kelahiran aliran geografi humanistik subjektivitas dan persaingan kekuasaan (Johnston
yang berkembang di bawah tradisi pemikiran kritis dkk., 2000). Proses-proses keruangan dipahami sebagai
(Johnston, 1983; Blomley, 2006). Kemunculan aliran wujud dari dialektika antara sistem politik, ekonomi,
baru ini merupakan salah satu momentum penting dan sosial (Smith and O’Keefe, 1980; Cox, 2005). Soja
dalam perkembangan disiplin geografi yang menandai (1980) menyebut proses ini sebagai socio-spatial dialetic
semakin besarnya perhatian terhadap peranan unsur yang dapat menyebabkan perubahan struktur keruangan
subjektivitas dan konstruksi sosial dalam membentuk secara radikal sebagai cermin dari perubahan-perubahan
gejala keruangan (Buttimer, 2003). Ruang tidak lagi fundamental situasi sosial politik masyarakat. Perubahan
dipahami sebagai sebuah wujud fisik; melainkan sebagai fundamental tersebut merupakan implikasi dari adanya
representasi dari kesadaran, pengetahuan, dan perasaan pola-pola dominasi dan resistensi di tengah masyarakat
manusia (Tuan, 1977; Cavalaro, 2001; Milun, 2007). (Johnston dkk., 2000).
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Dalam kajian geografi politik, salah satu implikasi pada fakta historis bahwa pada masa itu kekuasaan
penting dari perkembangan di atas adalah munculnya politik dan ekonomi di Pulau Jawa telah beralih dari
geopolitik kritis yang meyakini gejala-gejala geopolitik Kesultanan Demak yang berbasis perdagangan maritim
sebagai konsekuensi dari berbagai praktek keruangan ke Kesultanan Mataram yang berbasis persawahan
dan jejaring kekuasaan dalam suatu struktur sosial (Lombard, 2005b; Mulyana, 2003). Perbedaan basis
politik tertentu (Agnew, 1998; O’Tuathail and Dalby, kekuasaan menunjukkan perbedaan sistem nilai,
1998). Ruang kekuasaan pun dipahami sebagai wujud pandangan, kepentingan, serta cara dalam menciptakan
kesadaran manusia dalam suatu konstruksi politik yang dan mengelola wilayah kekuasaannya. Salah satu produk
dinamis serta berperan penting dalam membentuk dari perbedaan itu adalah kemunculan dan keruntuhan
identitas politik, budaya dan sosial. Berbagai gejala kota. Dalam hal ini, kota berkedudukan sebagai simbol
keruangan yang terkait dengan kekuasaan dipandang sekaligus titik konsolidasi kekuasaan politik yang
sebagai sebagai wujud eksistensi dan identitas kekuatan tidak tumbuh di sembarang tempat (Evers and Korff,
politik tertentu yang sarat dengan makna. Tema-tema 2002; Gilbert dan Gugler, 2007). Pertumbuhan kota
yang terkait dengan produksi ruang seperti pemaknaan, senantiasa terkait dengan pembentukan negara (Field,
komodifikasi, pencitraan, dan simbolisasi lokasi 1999). Kota merupakan bagian dari sebuah lingkungan
semakin mengemuka (Mammadouh, 1998). lebih luas di mana kekuatan-kekuatan politik saling
Sebagai bagian dari geografi kritis, studi ini bersaing demi memperkokoh eksistensinya. Ulasan
menelaah mengenai produksi ruang kekuasaan di di atas menunjukkan bahwa gejala pertumbuhan kota
Pulau Jawa abad ke-16 hingga abad ke-17. Merujuk mengandung dimensi geopolitik yang sangat kental
pada Soja (2000), produksi ruang kekuasaan dapat (Dikshit, 1982; Agnew, 2001). Oleh sebab itu, studi
dipahami sebagai teritorialitas. Berlandaskan pada ini bertujuan untuk menelaah gagasan serta praktek
pendapat Deleuze dan Guattari, Soja menjelaskan kekuasaan tertentu yang terkait dengan penguasaan dan
teritorialisasi sebagai restrukturisasi identitas pengendalian teritorial di balik pembentukan kota.
teritorial yang dipengaruhi oleh hubungan antara
ruang, pengetahuan, dan kekuasaan. Restrukturisasi METODE PENELITIAN
identitas dapat berupa “deteritorialisasi” atau
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
“reteritorialisasi”. Jika deteritorialisasi memperlihatkan
yang merujuk pada pemikiran geografi interpretatif.
gejala pelemahan ikatan antara identitas dan teritori,
Hoggart dkk. (2000) menyatakan geografi interpretatif
maka reteritorialisasi justru memperlihatkan gejala
senantiasa berupaya mencari dan menemukan makna
penguatan. Restrukturisasi identitas juga terkait dengan
dari suatu fenomena tertentu. Data yang digunakan
konsepsi ulang (re-conception) terhadap teritori baik
adalah data kualitatif berupa teks dan peta yang
dengan cara perombakan batas, pemberian penafsiran
dikumpulkan melalui studi literatur terhadap karya-
baru, atau pun penyematan simbol-simbol baru. Soja
karya ilmiah yang telah dipublikasikan seperti buku,
(2000) juga berkeyakinan bahwa deteritorialisasi dan
laporan penelitian, dan makalah seminar. Terkait
reteritorialisasi merupakan dua proses teritorial yang
dengan keperluan klarifikasi dan validasi, penelitian
saling terkait, bahkan dapat terjadi pada saat yang
ini menerapkan teknik triangulasi terhadap data atau
bersamaan.
informasi yang diperoleh dari beberapa sumber. Unit
Pandangan Soja (2000) dapat dikombinasikan analisis yang digunakan mencakup unit analisis non-
dengan pendapat Taylor (1993) tentang geopolitical spasial yaitu aktor kekuasaan dan unit analisisi spasial
code dan geopolitical order untuk menjelaskan produksi yaitu kota. Aktor kekuasaan dipandang sebagai subjek
ruang kekuasaan. Kode geopolitik (geopolitical yang aktif melakukan praktek-praktek politik didasari
code) mencerminkan konsep ruang yang dianut oleh oleh kesadaran, harapan, motif, serta kepentingan
suatu kekuasaan berdasarkan sistem nilai tertentu. yang khas. Adapun mengenai kota, penelitian ini
Konsep ini merepresentasikan subjektivitas penguasa memahaminya sebagai produk sekaligus simbol suatu
dalam teritorialisasi. Kode geopolitik mempengaruhi kekuasaan yang bekerja menurut tradisi tertentu dalam
pemaknaan, penafsiran, dan perlakuan penguasa suatu sistem regional.
terhadap tempat-tempat tertentu. Sementata itu,
Penelaahan dilakukan berdasatkan suatu
tatanan geopolitik (geopolitical order) mencerminkan
pemikiran bahwa produksi ruang kekuasaan
jaringan spasial suatu kekuasaan yang terangkai antar-
merupakan hasil tindakan para penguasa berdasarkan
tempat. Tatanan geopolitik merupakan produk dari
pemaknaan dan imajinasi spasialnya. Kemunculan serta
pemberlakukan kode geopolitik tertentu oleh rezim
keruntuhan kota-kota merupakan jejak dari tindakan
kekuasaan. Peralihan kekuasaan dari satu rezim ke
tersebut yang tercermin melalui perubahan identitas
rezim yang lain akan diikuti oleh pergantian kode
kota demi membangun eksistensi suatu kekuasaan.
geopolitik dan berujung pada perubahan tatanan
Pemikiran ini memposisikan kota sebagai sebuah teks.
geopolitik.
Berdasarkan pemikiran tersebut, langkah berikutnya
Penetapan situasi Pulau Jawa pada abad ke-16 adalah memperdalam pemahaman dengan menerapkan
hingga ke-17 sebagai cakupan utama studi ini didasarkan metode penafisran berdasarkan prinsip hermeneutika

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |9
memposisikan kota sebagai sebuah teks. Berdasarkan pemikiran tersebut, langkah berikutnya
adalah memperdalam pemahaman dengan menerapkan metode penafisran berdasarkan prinsip
hermeneutika yang memposisikan peneliti sebagai penafsir teks. Sebagaimana dijelaskan oleh
Ricoeur (2008), teks Hafidadalah tindakan
Setiadi, dkk/Majalah manusia
Geografi yang
Indonesia, Vol. meninggalkan
31, No. 2, September 2017 : 8 -jejak,
21 sehingga terbuka
ditafsirkan. Kegiatan penafsiran dilakukan dalam dua tahap yang masing-masing tahap
yang memposisikan peneliti sebagai penafsir teks. kekuasaan sebagai pelaku tindakan, (2) produksi ruang
menggambarkan pembentukan teks dan proses dialogis antara penafisr dan teks (Gambar 1).
Sebagaimana dijelaskan oleh Ricoeur (2008), teks kekuasaan sebagai wujud tindakan, (3) kota sebagai
Tahapan tersebutmanusia
adalah tindakan mencakup empat unsurjejak,
yang meninggalkan utamajejak yaitu (1) pemegang
tindakan, kekuasaan
dan (4) peneliti sebagaiHasil
sebagai penafsir. pelaku
tindakan,
sehingga (2) produksi
terbuka ruang Kegiatan
ditafsirkan. kekuasaan sebagai wujud
penafsiran pemahaman tindakan, (3) kotaterhadap
dan penafsiran jejak
sebagaiteks tindakan,
selanjutya
dan (4) peneliti
dilakukan dalam duasebagai penafsir.
tahap yang Hasiltahap
masing-masing pemahamandiberi makna dan penafsiran
spasial untuk terhadap teks selanjutya
menunjukkan bahwa
menggambarkan
diberi pembentukan
makna spasial untukteks dan proses dialogis
menunjukkan bahwaproduksi
produksi ruang kekuasaan
ruang menimbulkan
kekuasaan jejak berupajejak
menimbulkan
antara penafisr dan teks (Gambar 1). Tahapan tersebut pola spasial pertumbuhan kota.
berupa pola spasial pertumbuhan kota.
mencakup empat unsur utama yaitu (1) pemegang

Tahap 1
Tahap 2

Kekuasaan bertradisi sawah Teks Pra-pemahaman =


kerangka teoritis

Pelaku : Tindakan: Jejak tindakan : Penafsir:


Pemegang Produksi Kota Peneliti
kekuasaan ruang

Pembentukan teks
Penafsiran sebagai proses dialogis antara penafsir dan teks

Gambar 1. Tahap Penafsiran

HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau Jawa baik dari segi ekonomi, budaya, maupun
Tradisi Sawah Sebagai Basis Geopolitik Pulau Jawa politik (van Setten van der Meer, 1979; Lombard, 2005c;
Abad XVI - XVII Santoso, 2008).
Pulau Jawa sering dihubungkan dengan sebuah Dalam hal budidaya padi, pada masa lalu
tempat bernama Yavadvipa (Coedés, 2010). Istilah penduduk Pulau Jawa juga mengenal adanya tradisi
Yava merujuk pada biji-bijian yang menyerupai ladang berpindah (huma) selain tradisi sawah. Jika
padi. Adapun dvipa dapat berarti “pulau”. Jadi Pulau tradisi sawah berasosiasi dengan orang Jawa (Wong
Jawa dapat diartikan sebagai pulau padi atau pulau Jowo), maka tradisi ladang berasosiasi dengan orang
penghasil beras. Selain Yavadvipa, nama Jawa juga Sunda (urang Sunda). Secara fisiografi, batas spasial
sering dikaitkan dengan istilah jewawut. Raffles (1817) antara kedua tradisi tersebut adalah Lembah Ci Tanduy.
dalam buku History of Java, memberikan catatan kaki Sebelah barat lembah ini terdapat wilayah dataran
yang menjelaskan jewawut sebagai tanaman rumput tinggi dengan puncak-puncak gunung yang sangat
berspecies panicum italicum. Hasil utama tanaman rapat, tertutup hutan lebat, dan bercurah hujan tinggi.
ini adalah biji-bijian yang dapat diolah sebagai bahan Sebelah timurnya terdapat wilayah dengan puncak-
makanan. Nama-nama di atas mengindikasikan bahwa puncak vulkanik yang saling terpisah, lembah-lembah
Pulau Jawa adalah wilayah yang kaya akan sumber sungai besar, dan curah hujan relative lebih sedikit.
makanan yang selalu dikaitkan dengan padi. Kondisi fisiografi di sebelah timur Lembah Ci Tanduy
Sebenarnya padi bukanlah tanaman endemik lebih sesuai bagi kegiatan persawahan daripada sebelah
Pulau Jawa (Bellwood, 2000). Oleh sebab itu, bagi Pulau barat. Oleh sebab itu, tradisi sawah sebenarnya lebih
Jawa budidaya padi juga dapat dikatakan sebagai tradisi merujuk pada wilayah bagian tengah hingga ujung
asing. Sawah-sawah pertama di Pulau Jawa dibuka di timur Pulau Jawa yang dikenal sebagai Tanah Jawa
Dataran Kedu dan Lembah Brantas (Geerzt, 1983). (Gambar 2). Geertz (1983) menyebut wilayah ini
Namun pada akhirnya tradisi sawah pun menjadi sebagai “Indonesia Dalam”. Adapun bagian barat Pulau
cultural core bagi kehidupan penduduk di Pulau Jawa. Jawa yang kental dengan tradisi ladang lebih dikenal
Tradisi sawah turut menentukan corak kehidupan di sebagai Tanah Pasundan.

10| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21


Gambar 2. Wilayah kultural sebagai basis tradisi kekuaaan

Berbeda dengan para peladang, masyarakat sawah pegunungan tengah dan dari situ mereka memperluas
adalah masyarakat yang hidup menetap, membentuk wilayah sampai ke seluruh pulau, tapi barulah menjelang
permukiman-permukiman besar, mengembangkan 1300 muncul dinasti Majapahit yang berhasil bertahan
ikatan sosial, serta memelihara kolektifitas. Tempat- di tengah sambil menjaga hubungan dengan daerah
tempat yang cocok untuk menanam padi dipandang persawahan dan pelabuhan yang ramai di tengah
sebagai tempat strategis untuk menyemai suatu (Furnival, 2009:8).
masyarakat yang terorganisasi (Ricklefs, 2005). Dalam Tradisi sawah merupakan basis geopolitik penting
kaitan tersebut, Sumardjo (2007) menyatakan bahwa bagi Kerajaan Hindu Majapahit ketika mencapai masa
konsep ruang dalam budaya sawah terwujud sebagai kejayaannya di abad ke-13. Penguasaan Majapahit atas
“kesatuan besar yang dikendalikan oleh satu pusat wilayah subur di Lembah Madiun dan Lembah Brantas
utama”. Menurutnya, fungsi utama “pusat” adalah merupakan faktor penentu bagi kekuatan perdagangan
untuk mengatur dan mengendalikan organisasi sosial maritimnya yang mencakup sebagian besar kawasan Asia
dan sumberdaya yang sangat besar. Tenggara (Rahardjo, 2011; Mulyana, 2005; Lombard,
Masuknya tradisi India di Pulau Jawa yang 2005b). Pola serupa dilanjutkan oleh penguasa Islam
diperkirakan sejak abad ke-5 mempertegas peran pada masa Kesultanan Demak yang berkuasa di Pulau
penting pusat. Ajaran Hindu-Budha yang terkandung Jawa pada abad ke-15. Reputasi Demak sebagai pewaris
dalam tradisi India turut memperkenalkan konsep kejayaan maritim Majapahit juga ditentukan oleh
tentang “gunung suci”. Konsep ini terkait dengan penguasaannya atas wilayah produsen beras di Pengging-
keyakinan akan kedudukan Gunung Meru di India Pajang dan Dataran Kedu (de Graff dan Pigeuad,
sebagai poros utama yang menghubungkan dunia dewa 2003). Berbasis pada perdagangan beras, Kesultanan
dan dunia manusia (Heine-Geldern, 1942). Puncak Demak menjadi aktor utama di balik “kebangkitan
gunung menjadi simbol eksistensi kesucian dewa di politik daerah pantai” di Pulau Jawa (Lombard, 2005b).
tengah kehidupan manusia. Melalui poros tersebut, Kejayaan maritim tersebut berakhir pada abad ke-16
kesucian dewa dapat diraih dan diturunkan kepada seiring dengan runtuhnya Kesultanan Demak. Penguasa
figur-figur tertentu, sehingga melahirkan gagasan baru yang berkedudukan di Pajang tampaknya tidak
“raja sebagai titisan dewa” (Moertono, 1985; Sumardjo, tertarik untuk mengembangkan perdagangan maritim.
2007; Santoso, 2008). Pada masyarakat sawah di Pulau Kesultanan Pajang memutar orientasi kekuasaan di
Jawa, gagasan ini mempertegas pentingnya sentralisasi Pulau Jawa untuk kembali sepenuhnya ke pedalaman
kekuasaan (van Setten van der Meer, 1979; Lombard, (Ricklefs, 2005). Akhirnya menjelang abad ke-17
2005b). Gagasan juga ini memberi andil besar bagi Kesultanan Mataram menghentikan sama sekali politik
berlangsungnya mekanisme penggabungan wilayah perdagangan maritim dan menggantinya dengan politik
di Pulau Jawa melalui konsep kerajaan yang berbasis persawahan (Reid, 1993; Burhanudin, 2012).
pada sistem kekuasaan terpusat (Lombard, 2005b). Dalam politik agraris Kesultanan Mataram,
Berkenaan dengan itu, peneliti asal Belanda, J.S. desa-desa ditempatkan sebagai sumber pembiayaan
Furnival (2009) menyatakan: pemerintahan melalui sistem lungguh dengan
Di Jawa kita melihat dinasti susul menyusul naik cara “membagi desa-desa di antara para penguasa”
ke puncak kekuasaan mulai dari daerah persawahan (Moertono, 1985). Sistem ini mengendalikan tingkat
di timur kemudian bergerak ke barat ke daerah produksi padi dan mengatur jumlah uang yang akan

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |11
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

disetor ke kas kerajaan (Lombard, 2005c). Sebagai Rahardjo (2007) menjelaskan kecenderungan ini
sumber kekayaan kerajaan, para petani dan keluarganya dengan istilah yang berbeda. Jika Geertz menggunakan
dipandang sebagai “makanan negara” (Moertono, istilah “kecenderungan introversif ”, maka Rahardjo
1985). Mereka tersebar di desa-desa dan ditempatkan menggunakan istilah “sentripetal”. Keduanya
pada hirarki terbawah. Jumlah mereka dijadikan menggambarkan bahwa tradisi sawah memiliki
sebagai dasar untuk memperhitungkan besaran pajak kecenderungan untuk lebih mementingkan hubungan
yang akan disetorkan oleh setiap desa ke kas kerajaan. ke dalam dari pada ke luar.
Melalui system lungguh, Kesultanan Mataram telah Eksistensi dan peran penting pusat menegaskan
mengembalikan modal kekuasaan di Pulau Jawa pada karakter mancapat sebagai suatu tatanan kerja
penguasaan tanah dan penduduk setelah sebelumnya masyarakat sawah. Dalam tatanan tersebut terdapat
pada masa Kesultanan Demak sempat beralih ke struktur sosial hirarkis yang dikendalikan oleh suatu
kekuasaan berbasis kekayaan uang yang diperoleh dari otoritas tertentu (Wittfogel, 1957; Braudel, 1979). Setiap
jaringan perdagangan maritim. upaya untuk meningkatkan produksi selalu menuntut
otoritas terpusat yang semakin kuat (van Setten van
Konsep Ruang Tradisi Sawah der Meer, 1979). Setiap pelaksanaan tugas bukan hanya
dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi diri, tetapi
Kalangan masyarakat sawah Pulau Jawa mengenal
juga untuk menciptakan manfaat bagi kepentingan
adanya konsep mancapat yang merupakan unsur pokok
bersama. Meminjam istilah yang disampaikan oleh
bagi mentalitas masyarakat sawah Pulau Jawa (Lombard,
Mulder (2001), tatanan mancapat mencerminkan
2005b). Melalui hasil kajiannya yang dipublikasikan
totalitas kehendak yang dibangun berdasarkan semangat
ada tahun 1917, F.D.E van Ossenbruggen berpendapat
kerukunan. Setiap elemen melaksanakan tugas dan
bahwa arti suku kata pat dalam kata mancapat adalah
kewajiban sesuai dengan hirarkinya masing-masing
satuan ruang, sedangkan suku kata manca merujuk pada
tanpa menimbulkan gangguan pada keseluruhan
kelima titik yang membentuk ruang tersebut (Santoso,
tatanan. Jakob Sumardjo (2002) dan Nigel Mulder
2008). Mancapat dengan demikian dapat disebut sebagai
(2001) mendeskripsikannya sebagai berikut:
konsep kesatuan lima (Sumardjo, 2002). Kesatuan lima
merujuk pada eksistensi empat mata angin ditambah Masyarakat sawah adalah masyarakat kerja.
titik kelima yang terletak tepat di tengah (Lombard, Setiap orang mempunyai tempatnya yang tepat dalam
2005c; Santoso, 2008). Secara keseluruhan, konsep kelompoknya. Etika kerajinan, etika profesi, dan etika
mancapat atau kesatuan lima mengandung prinsip dan kerjasama (solidaritas) menjadi dasar moralitas ruang.
pola dasar produksi ruang kekuasaan di dalam tradisi Hirarki ruang menjadi penting. Dan setiap ruang
sawah. memiliki nilainya sendiri. .... Masyarakat ini sangat
mementingkan sifat komunalnya (dependen-kolektif),
Bagi masyarakat sawah di Pulau Jawa, konsep
solidaritas yang kuat, produktif, dan lokalitas yang kuat
mancapat merupakan wujud pemberlakuan hukum
(Sumardjo, 2002:23-24)
dan tatanan alam semesta pada kehidupan manusia.
Jadi, tatanan yang berlaku pada kehidupan manusia Gagasan mengenai kesederajatan...sama sekali
merupakan replika dari tatanan alam semesta (Heine- asing...bahkan mengganggu. Hingga batas di mana
Geldern, 1942; Mulder, 2001; Santoso, 2008). Dalam orang tidak sederajat secara moral, hingga batas itu pula
Macapat terdapat satu kekuasaan absolut yang menjadi ada hirarki yang menjadi tulang punggung organisasi
titik pertemuan keempat elemen lainnya. Titik absolut sosial....hirarki organisasi yang jelas menjamin
itu adalah pusat. Sebagai titik pertemuan, pusat berperan ketertiban, hirarki yang kondusif untuk menghindari
penting untuk memadupadankan berbagai varian yang konflik terbuka dan mempertahankan keseimbangan...
muncul dalam kehidupan. Pusat adalah wujud sintesis Ketidaksedarajatan moral muncul secara alamiah
dari segala unsur kehidupan guna menciptakan energi (Mulder, 2001:99)
bagi keseluruhan sistem kehidupan (Lombard, 2005b). Bagi masyarakat sawah, petani identik dengan
Konsep mancapat menekankan perilaku aktif sawahnya (Sumardjo, 2002). Menghimpun para
dari suatu pusat. Pusat adalah pemegang, pelaksana, petani berarti menghimpun petak-petak sawah yang
dan sekaligus pemelihara kekuasaan (Lombard, 2005c). terbentang luas pada beberapa desa. Meskipun
Pusat akan menarik elemen-elemen luar untuk masuk setiap petani memiliki sawah, namun keberhasilan
ke dalam lingkaran pengaruhnya. Jadi konsep mancapat pengusahaannya ditentukan oleh kebersamaan,
tidak mengenal adanya elemen luar. Konsep ini keharmonisan, serta keseimbangan sosial para petani
memahami bahwa “semua ruang adalah ruang dalam” dalam suatu kesatuan besar (Sumardjo, 2007). Ukuran
(Sumardjo, 2002). Setiap elemen luar selalu diupayakan dari kesatuan tersebut akan terus membesar seiring
untuk ditarik ke dalam. Selain harus menunjukkan dengan upaya peningkatan produksi. Teritori pun
loyalitasnya kepada pusat, setiap elemen luar tersebut akan semakin meluas. Masyarakat tipe ini menuntut
dituntut untuk menjalankan fungsinya sesuai dengan kehidupan ekonomi dan politik yang stabil (Rahardjo,
kedudukannya dalam hirarki. Geertz (1983b) dan 2007). Organisasi keruangan para petani pun dicirikan
oleh ikatan sosial yang kuat dan luas hingga melampaui

12| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

batas-batas kekerabatan dalam suatu tatanan hirarkis-


mengalami penguatan bersamaan dengan kembalinya
konsentris. Ikatan sosial jauh lebih penting dari pada
primordialisme tradisi sawah. Peleburan antara ajaran
ketegasan batas teritorial. Islam, warisan Hindu-Jawa, dan tradisi sawah akhinya
Tatanan konsentris-hirarkis (Gambar 3) yang melahirkan konsep manunggaling kawula gusti. Pada
masa ini penataan kekuasaan politik berjalan bersama-
berlaku pada tradisi sawah tidak dapat dilepaskan dari
konsep manunggaling kawula gusti yang bermakna sama dengan apa yang disebut oleh Burhanudin (2012)
“kemanunggalan antara hamba dan Tuhan” (Mulder, sebagai “upaya penerjemahan Islam ke dalam inti
budaya Jawa”. Para penguasa berupaya mensintesiskan
2001; Sunyoto, 2012), atau “manusia di dalam Tuhan”
Islam dengan budaya Jawa dan merangkulnya ke dalam
(Zoetmulder, 2000), atau “kesatuan yang sesungguhnya
dengan Tuhan” (Moertono, 1974). pusat kekuasaan (Reid, 1993). Melalui sintesis tersebut,
Konsep ini
konsep kekuasaan Islam yang diusung oleh Kesultanan
berakar dari gagasan “raja sebagai titisan dewa” yang
menempatkan raja sebagai agen utama keselarasan Mataram “harus dapat menyesuaikan diri dengan
dan kesejajaran antara dunia dewa (makrokosmos) konsep raja sebagai poros dunia” (Lombard, 2005b).
dan dunia manusia (mikrokosmos). Meskipun konsep Kesempurnaan dan kesucian raja dengan demikian
ini dilandasi oleh asumsi kesamaan derajat manusiamenjadi kode geopolitik terpenting dalam pola
di hadapan Tuhan (Sunyoto, 2012), namun manusia- kekuasaan di Pulau Jawa abad ke-17 di bawah Kesultanan
manusia tertentu dapat “bergerak naik” hingga tingkat
Mataram. Raja memegang kendali penuh atas semua
tertinggi selama mereka mampu mempertajam aspek kehidupan sehingga melahirkan absolutisme
kemampuan batin, memperdalam intuisi, dan kekuasaan. Absolutisme tersebut menjadikan istana
menemukan kesejatian eksistensi dirinya sebagai raja atau kraton menjadi titik sentral bagi seluruh aspek
hamba Tuhan (Mulder, 2001). Ketika sudah berada kehidupan. Istana menjalankan dua fungsi sekaligus,
pada tingkat tertinggi pun, seorang hamba Tuhan juga
yaitu fungsi sakral dan fungsi profan. Jika fungsi sakral
harus “bergerak turun” untuk memberikan bimbingan,merujuk pada kesempurnaan, kesucian, kemuliaan,
perlindungan, serta kasih sayang kepada mereka yang
kewibawaan, kesaktian serta keunggulan batin sang raja,
berada di tingkat bawah (Moertono, 1974). maka fungsi profannya lebih terkait dengan perannya
sebagai penghubung antara raja dan para pejabat,
bangsawan, serta penguasa daerah yang berkedudukan
Makrokosmos di luar istana (Santoso, 2008). Kedudukan istana
sebagai “pusat tunggal yang dominan” pun mencapai
tingkat yang paling sempurna. Istana tidak dapat
didirikan pada sembarang lokasi karena lokasi istana
Mikrokosmos harus merepresentasikan kesempurnaan dan kesucian
kekuasaan raja. Berdasarkan hal tersebut, pengkultusan
terhadap figur raja harus didukung oleh pengkultusan
terhadap lokasi istananya. Pengkultusan ganda ini
menjadi landasan penting bagi berlangsungnya proses
dan pola produksi ruang kekuasaan.
Pengkultusan ganda tersebut tidak dapat
dilepaskan dari apa yang disebut oleh Wessing (2008)
sebagai proses pendewaan terhadap tanaman padi.
Tanaman padi tidak hanya dipandang sebagai sumber
Pinggiran Pinggiran makanan pokok, melainkan juga sebagai lambang
kemuliaan dan kesuburan alam. Eksistensi Dewi
Pusat Sri sebagai lambang kesuburan dalam kehidupan
masyarakat sawah di Pulau Jawa menunjukkan adanya
kesetaraan derajat kemuliaan antara kesuburan tanah
dan kesuburan wanita (Ricklefs, et al, 2013). Tanah
subur dipandang memiliki tingkat kesucian yang
tinggi seperti kesuburan rahim wanita. Padi itu sendiri
dipandang sebagai benih kehidupan yang akan disemai
Gambar 3. Tatanan Ruang Konsentris-Hirarkis dan ditanam di dalam rahim. Dalam perspektif
mbar 3. Tatanan RuangMasyarakat
Konsentris-Hirarkis
Sawah Masyarakat Sawah di atas dapat dimaknai “di
geopolitik, kepercayaan
mana padi dapat ditanam, di tempat itu pula kekuasaan
Seiring dengan menguatnya pengaruh ajaran dapat berkembang”. Penghormatan, pemujaan, serta
ngan menguatnya pengaruh
Islam, gagasan ajaran
“raja sebagai titisan Islam, gagasan
dewa” akhirnya “rajaterhadap
pemuliaan sebagai titisansubur
tanah-tanah dewa” merupakan
berubah menjadi “raja sebagai Wakil Allah SWT”. bagian penting bagi keberlanjutan kehidupan.
menjadi “raja sebagaiKesultanan
Dalam kekuasaan WakilMataramAllah SWT”.
gagasan tersebut Dalam kekuasaan Kesultanan
tersebut mengalami penguatan bersamaan dengan kembalinya primordialisme
leburan antara ajaran Islam, warisan Hindu-Jawa, dan tradisi https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
sawah akhinya |13
p manunggaling kawula gusti. Pada masa ini penataan kekuasaan politik
sama dengan apa yang disebut oleh Burhanudin (2012) sebagai “upaya
m ke dalam inti budaya Jawa”. Para penguasa berupaya mensintesiskan Islam
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Proses dan Pola Produksi Ruang Kekuasaan di religius sejak berabad-abad sebelumnya sebagai “tempat
Bawah Tradisi Sawah suci yang ideal bagi kekuasan”. Kemunculan tersebut
Pada abad ke-16 pusat kekuasaan politik di Pulau bukan hanya meletakkan kembali nilai geopolitik
Jawa telah berpindah dari pesisir utara (Demak) ke wilayah pedalaman pada tataran tertinggi, tetapi juga
suatu dataran subur di antara Gunung Sumbing dan menjustifikasi proses pemutlakkan raja dan istananya
Gunung Lawu di mana terdapat Dataran Kedu dan sebagai pusat tunggal. Kesempurnaan figur raja pun
Lembah Bengawan Solo. Lombard (2005a) menyebut berpadu dengan kesucian tanah subur di Dataran Kedu.
wilayah ini sebagai “jantung” Pulau Jawa (Gambar 4), Dataran inilah yang berperan sebagai pusat dari segala
yaitu tempat tertanamnya kebudayaan Jawa yang paling proses produksi ruang kekuasaan di Pulau Jawa pada
murni dan paling halus. Jauh sebelum kemunculan abad ke-16 hingga abad ke-17.
Kesultanan Mataram, Dataran Kedu juga pernah Ciri utama dari produksi ruang kekuasaan tersebut
menjadi pusat kekuasaan Dinasti Syailendra pada abad adalah menegakkan kembali kekuasaan terpusat yang
ke-8 yang beraliran Budha Mahayana. Syailendra itu menjadi ciri khas tradisi sawah seraya mengedepankan
sendiri berarti “raja gunung” (Cœdès, 2010). Dinasti politik anti-pesisir. Ciri ini ditandai oleh keputusan
ini meninggalkan karya monumental berupa Candi penguasa Mataram untuk meletakkan istananya
Borobudur. di balik Gunung Merapi sehingga membelakangi
pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa. Penguasa
Mataram memilih untuk menghadapkan istananya
ke Samudera Hindia yang sepi dan berombak ganas
dibandingkan ke arah perairan utara yang tenang dan
ramai di Laut Jawa. Ciri anti-pesisir ini dipertegas
oleh klaim penguasa Mataram bahwa mereka bukan
pedagang seperti raja-raja Jawa lainnya (Burhanudin,
2012), terutama raja-raja Banten dan Surabaya (Vlekke,
2008). Raja Mataram yang bernama Sultan Agung pun
memutuskan hubungan dengan dunia perdagangan
yang berkembang di pesisir (Reid, 1993; Burhanudin,
2012). Vlekke (2008) mendeskripsikan politik anti-
pesisir tersebut sebagai berikut:
Kotagede
Kotagede Bagaimanapun keadaannya, kita bisa dengan
pasti menyimpulkan bahwa pada pergantian abad ke-
16 menuju abad ke-17, pusat kekuasaan politik Jawa
telah beralih sekali lagi ke pedalaman. Konsekuensinya
0 25
Kilometer

Gambar 4. DataranKedu
Kedu sebagai Jantung Pulau Pulau
Jawa Jawa
bagi daerah-daerah pantai adalah bencana. Penguasa-
Gambar 4. Dataran sebagai Jantung penguasa di pedalaman itu dan para bangsawan terus
Tidak jauh dari Candi Borobudur, terdapat Candi Hindu Prambanan. Santoso hidup
(2008)mengikuti tradisi kuno dan tidak ada tempat bagi
menilai Candi Prambanan Tidak jauh
lebih dari Candi Borobudur,
memperlihatkan terdapat
keaslian budaya Candi
Jawa dari pada
paraCandi
saudagar di dunia kesatriaan itu (Vlekke, 2008:117).
Borobudur. Menurutnya, Candi Prambanan menandai peleburan antara budaya Jawa dan tradisi
Hindu Prambanan. Santoso (2008) menilai Candi
India. Candi ini merupakan replika dari struktur makrokosmos yang selalu dikaitkan dengan Politik anti-pesisir ini mencerminkan imajinasi
Prambanan
eksistensi Gunung lebih
Meru di India memperlihatkan
sebagai pusat dunia. Nilai kesakralankeaslian Prambanan
budaya terletak pada penguasa Mataram yang meyakini pesisir
spasial
representasinya Jawa dari“rumah”
sebagai pada Candi
para dewa Borobudur.
yang mengatur Menurutnya, Candi
kehidupan dunia (Jordan, 2009).
sebagai wilayah tercemar yang penuh dengan konflik
Keberadaan Candi Prambanan juga sering ditafsirkan sebagai “pembenaran atas penguasaan
Prambanan menandai peleburan antara budaya
tanah untuk membangun suatu sistem kekuasaan” (Santoso, 2008). Ditinjau dari perspektif
Jawa dan dan ketidakstabilan (Lombard, 2005b). Pesisir dan
tradisi India.
geopolitik, penafisran tersebut Candi ini merupakan
mempertegas identitas Dataran replika
Kedudarisebagai
struktur
tempat ideal bagi
perdagangan maritim dipandang sebagai elemen
berkembangnya makrokosmos
suatu kekuasaan yang
besar. selalu dikaitkan dengan eksistensi
luar yang mengancam kemantapan dan kesucian
Gunung Meru di India sebagai pusat dunia. Nilai
Kemunculan pusat kekuasaan Kesultanan Mataran di jantung Pulau Jawakekuasaan. dengan Nilai kemuliaan dan kesucian pesisir jauh
demkian bukankesakralan Prambanan
suatu kebetulan. terletak
Pusat kekuasaan Islam pada representasinya
ini muncul lebihtelah
pada suatu tempat yang rendah dari pada pedalaman. Begitu pula dengan
sebagai
terlegitimasi secara “rumah” para
kultural-religius sejakdewa yang mengatur
berabad-abad sebelumnya kehidupan
sebagai “tempat suci yang
nilai ke”jawa”annya. Oleh sebab itu, ketika pedalaman
ideal bagi kekuasan”. Kemunculan
dunia (Jordan, tersebut
2009). bukan hanya Candi
Keberadaan meletakkan kembali nilai geopolitik
Prambanan
wilayah pedalaman pada tataran tertinggi, tetapi juga menjustifikasi proses pemutlakkandiposisikan raja dan sebagai pusat, maka pesisir dipandang
jugapusat
istananya sebagai sering
tunggal.ditafsirkan
Kesempurnaan sebagai
figur raja“pembenaran
pun berpadu dengan ataskesucian
sebagai
tanah mancanegara atau daerah luar yang secara
subur di Dataranpenguasaan
Kedu. Dataran tanah
inilah untuk membangun
yang berperan sebagai pusat suatu sistem
dari segala proseskonseptual
produksi sama dengan pinggiran. Kategorisasi ini
ruang kekuasaan di Pulau Jawa
kekuasaan” pada abad 2008).
(Santoso, ke-16 hingga abad ke-17.
Ditinjau dari perspektif merupakan anti-tesis terhadap praktek kekuasaan
geopolitik,
Ciri utama penafisran
dari produksi ruang tersebut
kekuasaanmempertegastersebut adalahidentitas
menegakkan Kesultanan
kembali Demak dua abad sebelumnya. Sesuai
Dataran
kekuasaan terpusat yangKedu sebagai
menjadi tempat
ciri khas tradisiideal
sawah bagi berkembangnya
seraya mengedepankan politikdengananti- kategori itu berkembang pula anggapan bahwa
pesisir. Ciri inisuatu
ditandai oleh keputusan
kekuasaan besar.penguasa Mataram untuk meletakkan istananya di balik
pesisir – terutama kota-kota pelabuhan yang memiliki
Kemunculan pusat kekuasaan Kesultanan kemandirian ekonomi – merupakan elemen yang
Mataran di jantung Pulau Jawa dengan demkian bukan mudah melepaskan diri. Anggapan ini berarti bahwa di
suatu kebetulan. Pusat kekuasaan Islam ini muncul pada pesisir tidak boleh ada dominasi kekuatan sentrifugal;
suatu tempat yang telah terlegitimasi secara kultural- sebagaimana diisyaratkan di bawah ini:

14| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Di dalam negara agraris, gerak atau perubahan Berdasarkan pemaknaan pesisir sebagai “wilayah
hanya mungkin dari pusat ke pinggiran .... Dan gerak tercemar yang harus dinetralkan”, maka produksi
tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh para pegawai ruang kekuasaan di Pulau Jawa pada abad ke-16 hingga
yang merupakan pancaran kekuasaan raja sekaligus ke-17 didominasi oleh netralisasi pinggiran (Gambar
menjamin hubungan antara kraton dan daerah-daerah 5). Selain melalui penaklukan pesisir, produksi
bawahannya (Lombard, 2005b: 143). ruang kekuasaan juga dilakukan melalui mekanisme
Bergerak dalam pusat lingkaran kekuasaan, penggabungan wilayah-wilayah subur ke dalam suatu
para abdi raja berperan memancarkan kekuasaan raja tatanan ruang konsentris yang secara keseluruhan
sampai ke daerah-daerah kekuasaan yang terjauh. berada di bawah kendali istana. Sejalan dengan konsep
Mereka adalah miniatur sang penguasa. Sebagai mancapat, segenap mekanisme tersebut ditujukan
“pancaran” raja, mereka harus menjamin keselarasan di untuk memastikan agar setiap elemen mengakui dan
bagian dunia (mikrokosmos) yang telah dipercayakan setia kepada kedigdayaan pusat. Untuk itu ikatan sosial
kepadanya. Namun dalam batasan ruang gerak yang yang terbangun secara hirarkis-konsentris jauh lebih
dipercayakan kepadanya, para abdi raja juga memiliki penting dari pada batas teritorial. Ikatan tersebut
suatu kekuasaan yang hampir mutlak. Mereka hidup membentuk suatu poros yang bukan saja berfungsi
dari kekuasaannya sebagaimana raja hidup dari sebagai garis kendali, tetapi juga sebagai garis kontak
kerajaannya (Lombard, 2005b: 72). untuk kepentingan komunikasi (Santoso, 2008)
sehingga dapat menjamin terbentuknya ketertiban
yang ideal (Mulder, 2001).

Gambar 5. Proses dan Pola Spasial Produksi Ruang Kekuasaan di Pulau Jawa Abad XVI - XVII

Selama periode abad ke-16 hingga abad ke-17, Kesultanan Mataram memperlihatkan bahwa upaya
sistem dan ideologi Kesultanan Mataram menjadi pola untuk mendirikan struktur kekuasaan yang mantap
dominan di Pulau Jawa yang mana kesempurnaan, tidak dapat hanya bertumpu pada kekuatan senjata
kesucian, dan kemutlakkan kekuasaan raja menjadi kode dan penaklukan penguasa local; tanpa tidak disertai
geopolitik terpenting. Berdasarkan kode geopolitik pemulihan suatu tatanan agraris yang mapan seperti
itu, raja dan istananya diposisikan sebagai “pusat yang digambarkan di bawah ini:
dunia”. Pola ini melandasi proses pemulihan tatanan Di tengah-tengah adalah kraton di mana terdapat
geopolitik bercorak hirarkis-konsentris di Pulau Jawa kediaman raja dengan struktur “pemerintahan dalam”.
sesuai dengan promordialisme tradisi sawah yang telah Di sekitarnya terdapat ibukota atau nagara tempat
diperkaya oleh tradisi India dan Islam. Sebagaimana kedudukan “pemerintah luar” dan para bangsawan. Di
akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya, sekitar ibukota terdapat lingkaran nagaragung berupa
netralisasi pinggiran dan pembukaan sawah mewarnai tanah-tanah lungguh yang dipercayakan kepada para
upaya pembentukan tatanan geopolitik ini. Para pangeran…sebagai sumber pajak bagi kraton. Lingkaran
penguasa Mataram mempunyai andil besar dalam terluar dan terakhir adalah mancanagara atau “daerah
pembukaan Tanah Pasundan bagian timur sebagai luar” yang letaknya jauh dari pusat kekuasaan di mana
bagian dari upaya men”dalam”kan elemen luar. Merujuk raja mengangkat para bupati yang langsung tunduk
pada Lombard (2005b), produksi ruang kekuasaan pada kekuasaan kraton (Lombard, 2005b: 99).

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |15
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Pertumbuhan Kota Sebagai Implikasi Teritorialisasi bercorak agraris. Beberapa kota di pesisir seperti Pati,
dalam Produksi Ruang Kekuasaan Kudus, dan Grobogan juga segera mengakui kedudukan
Produksi ruang kekuasaan oleh Kesultanan Sultan Mataram sebagai penguasa Pulau Jawa (de Graff
Mataram selama abad ke-16 hingga ke-17 menimbulkan dan Pigeaud, 2003).
teritorialisasi hingga ke seluruh pulau, kecuali ujung Dalam kondisi di bawah politik anti-pesisir,
barat Pulau Jawa. Produksi ruang kekuasaan tersebut identitas kota-kota tersebut sebagai “pembangkit
ditandai oleh penaklukan dan penguasaan beberapa gerakan ke luar” diubah menjadi “pemberi keuntungan
kota penting di Pulau Jawa. Kota-kota di pesisir utara bagi pusat”. Eksistensi mereka tidak lagi identik dengan
mulai dari Demak hingga Surabaya dan Pasuruan aktivitas pelabuhan. Kota-kota pelabuhan ditempatkan
berhasil direngkuh ke dalam kekuasaan Mataram. sebagai titik-titik terluar dan terjauh dari pusat
Begitu pula dengan kota-kota di pedalaman di bagian kekuasaan yang sepenuhnya dikendalikan oleh istana.
tengah hingga timur yang merupakan pusat produksi Mereka adalah simbol kekuasaan dan kepanjangan
padi. Terakhir, kota dan pusat permukiman pada tangan raja di pinggiran. Kedudukan masa lalu kota-
wilayah-wilayah depresi di Tanah Pasundan bagian kota tersebut sebagai “entitas yang menentukan”
timur. kini menurun menjadi “entitas yang ditentukan”.
Sebagian besar kota-kota di atas adalah produk Perdagangan maritim hanya dipandang sebagai sumber
sekaligus simbol dari rezim kekuasaan sebelumnya. hadiah atau pungutan bagi istana (Reid, 1999).
Beberapa di antaranya seperti Surabaya dan Pasuruan Bersamaan dengan hilangnya peran pelabuhan,
dipandang sebagai kompetitor bagi penguasa Mataram hilang pula gaya-gaya sentrifugal yang digerakan
(de Graaf dan Pigeud, 2003). Kompetitor adalah olehnya. Hal ini berimbas pada melemahnya eksistensi
sumber ketidakstabilan yang tidak dapat diterima masjid sebagai pusat yang menyeimbangkan dan
keberadaannya dalam konsep ruang tradisi sawah. Demi meredam gaya sentrifugal tersebut. Daya tawar
memulihkan tatanan geopolitik agraris, Kesultanan masjid di hadapan istana mengalami penurunan
Mataram menyematkan identitas baru pada kota- drastis. Konsep manunggaling kawula gusti juga turut
kota tersebut demi merepesentasikan kekuasaannya. mengurangi peran penting masjid baik sebagai pemberi
Sesuai dengan konsep “dominasi pusat tunggal”, kota- legitimasi kesucian maupun simpul integrasi sosial
kota tersebut diberi identitas sebagai kota pinggiran. bagi kepentingan kekuasaan raja. Para ulama tidak
Pemberian identitas ini menandakan berlangsungnya lagi sepenuhnya memegang kekuasaan religius. Dalam
netralisasi pinggiran. Dalam proses ini, kota-kota Kesultanan Mataram, ulama adalah pegawai kerajaan
mengalami perubahan status dari elemen luar menjadi (Burhanudin, 2012). Kedudukan mereka terbungkus
elemen dalam. Citra, karakter, serta kekuatan yang dalam absolutisme kekuasaan raja.
melekat pada setiap kota dinetralkan oleh Kesultanan Menurunya peran dan kedudukan politik para
Mataram. Satu-satunya citra yang harus ditampilkan ulama berakibat pada menghilangnya identitas beberapa
adalah kewibawan dan kesempurnaan kekuasaan raja. kota pesisir yang pada abad ke-15 dikenal sebagai
Implikasi terberat dari penyematan identitas baru kota suci atau kota dakwah. Kota-kota tersebut selalu
ini dialami oleh kota-kota pesisir seperti Demak, Jepara, diidentikkan dengan eksistensi para ulama terutama
Tuban, Gresik, dan Surabaya yang pada abad sebelumnya Wali Songo di masa itu. Tempat tersebut menjadi tempat
dikenal sebagai pusat perdagangan maritim. Netralisasi Wali Songo bermukim dan memusatkan kegiatan
pinggiran yang dilakukan oleh Kesultanan Mataram dakwahnya. Namun saat ini ulama dan masjidnya tidak
berhasil mengakhiri kebebasan serta kemandirian lagi berperan sebagai penentu eksistensi kota. Seiring
ekonomi kota-kota tersebut (Vlekke, 2008). Meskipun dengan itu, runtuh pula simpul-simpul “jaringan orang
tetap diposisikan sebagai pelabuhan, kedudukan Jepara suci” yang sesungguhnya menjadi akses utama para
sebagai pusat perdagangan maritim menurun karena ulama untuk memasuki lingkaran terdalam kekuasaan
berkurangnya kebebasannya untuk bergerak ke luar politik (Burhanudin, 2012).
(Mulyana, 2003). Kota pelabuhan Gresik juga mengalami Implikasi lebih lanjut dari keruntuhan ini adalah
kemunduran akibat adanya pungutan yang relatif tinggi hancurnya dwi-tunggal antara Demak dan Jepara yang
terhadap keuntungan perdagangan maritim (Schrieke, sesungguhnya mencerminkan kolaborasi antara istana
1957). Identitas Gresik pun berganti menjadi kota pasar (kekuasaan politik/raja), masjid (kekuasaan religius/
guna tempat menampung hasil bumi dari pedalaman ulama), dan pelabuhan (kekuasaan ekonomi/pedagang).
melalui Bengawan Solo (Tjiptoatmodjo, 1983). Surabaya Pelabuhan dan masjid tidak lagi menjadi komponen
dijadikan sebagai “pusat di pinggiran” demi mewakili utama pembentuk identitas kekuasaan. Istana dengan
kepentingan raja di bagian timur Pulau Jawa (Lombard, demikian muncul sebagai satu-satunya pusat. Proses
2005b). Penaklukkan Surabaya pada dekade kedua abad pemutlakkan kekuasaan raja pun berlangsung tanpa
ke-17 menjadi tanda berakhirnya netralisasi pesisir. halangan. Pemutlakkan tersebut sesungguhnya tidak
Meskipun dapat terus bertahan sebagai kota pelabuhan terlepas dari proses penterjemahan ajaran Islam ke
(Rutz, 1987), namun kedudukan geopolitik Surabaya dalam tradisi sawah yang berlaku di Pulau Jawa; yang
tidak mampu menandingi reputasi Mataram yang lebih di dalamnya terdapat lapisan tebal unsur-unsur India.

16| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Penterjemahan itu memunculkan kembali mitos persawahan hingga memasuki Tanah Pasundan yang
“gunung suci” yang kemudian dijadikan sebagai salah berakar pada`tradisi ladang. Pembukaan persawahan
satu alasan untuk memunculkan istana pada dataran ini menyelusup ke wilayah-wilayah depresi yang
subur di sekitar kaki gunung. tersembunyi di antara puncak-puncak gunung di
Demi memulihkan tatanan agraris para penguasa wilayah pegunungan Pasundan hingga akhirnya
Mataram juga memerintahkan pembangunan mencapai Dataran Sumedang (Gambar 6). Selanjutnya,
jaringan irigasi seperti di Kali Winonga dan di Kali proses tersebut meluas ke arah barat hingga mencapai
Bedog (Lombard, 2005b). Pembangunan irigasi ini tepi Ci Manuk. Gerakan ini disebut oleh Lombard
merupakan bagian dari strategi Mataram untuk (2005c) sebagai “pembukaan Tanah Pasundan”. Gerakan
memantapkan kehidupan ekonomi demi menopang ini berhasil menjadikan Sumedang sebagai vasal
struktur kekuasannya khususnya ke arah pedalaman Kesultanan Mataram. Penguasa Sumedang diangkat
(Lombard, 2005c). Modus produksi ini memberikan menjadi “koordinator” kekuasaan Mataram di Tanah
keuntungan bagi kota-kota yang terletak di lembah- Pasundan (Muhsin, 2008). Sumedang kini menjadi titik
lembah sungai besar, seperti Lembah Madiun dan pancar utama bagi kekuasaan Raja Mataram di Tanah
Lembah Brantas. Kota Madiun, Kediri, dan Malang Pasundan. Tanah-tanah di wilayah ini pun berada di
yang pernah berjaya secara politik dan ekonomi sebagai bawah penguasaan Sultan Mataram. Sejalan dengan itu,
basis kekuasaan Hindu di Pulau Jawa pada abad ke-10 muncul beberapa pusat permukiman di sepanjang jalur
hingga ke-11; memperoleh momentum untuk muncul persawahan seperti Dayeuh Luhur, Limbangan, Balubur,
kembali meskipun hanya sebagai kota pinggiran. Selain Ciamis, dan Dayeuh Kolot (Rutz, 1987). Kemunculan
ketiganya, pusat-pusat permukiman juga muncul di pusat-pusat permukiman ini dapat dipahami sebagai
Banyumas, Kedu, Ungaran, Salatiga, Wates, Magetan, bentuk teritorialisasi Kesultanan Mataram agar dapat
Grobogan, Nganjuk, Kertosono, Probolinggo, dan mengendalikan secara sekaligus tanah dan tenaga
Besuki (Rutz, 1987). Penguasa Mataram juga membuka kerja.

Gambar 6. Produksi Ruang Kekuasaan di Tanah Pasundan Melalui Pembukaan Sawah



Tahun 1625 sebagian besar pesisir utara Jawa hingga Pasuruan telah berada di bawah kendali Mataram (Rutz,

1987). Hanya Kesultanan Banten dan Cirebon yang hingga menjangkau tempat-tempat penanaman lada di
relatif bebas dari pengaruh kekuasaan Sultan Mataram. bagian selatan Sumatera.
Sejak jatuhnya kekuasaan Demak, kedua kesultanan Secara keseluruhan, netralisasi dan pembentukan
yang terletak di bagian barat tersebut memperoleh wilayah pinggiran oleh Kesultanan Mataram telah
keuntungan ekonomi tersendiri dan berkembang menciptakan integrasi regional yang lebih mantap
sebagai simpul transportasi laut ke arah Selat Sunda di Pulau Jawa pada abad ke-17, terutama di bagian
dan Selat Malaka. Sejak abad ke-16, Cirebon tetap tengah hingga timur. Kesultanan Mataram berhasil
bertahan sebagai kota persilangan (Lombard, 2005a). memulihkan kembali tatanan geopolitik negara agraris
Keuntungan ekonomi yang diterimanya memungkinkan di Pulau Jawa yang sempat merosot selama abad ke-15
Cirebon untuk membina hubungan dagang hingga ke hingga ke-16 (Lombard, 2005b). Ibukota Kesultanan
pedalaman. Adapun Banten melakukan hal yang sama Mataram beserta istananya muncul sebagai geopolitical

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |17
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

heartland yang baru di Pulau Jawa. Sementara itu, antara pusat kekuasaan di Mataram dengan basis-basis
kota-kota lainnya baik di pesisir maupun di pedalaman produksi pertanian di pedalaman serta kota-kota pasar
dijadikan sebagai “pusat-pusat kecil” atau “pusat di di pantai utara Pulau Jawa.
pinggiran” (Gambar 7). Kota-kota tersebut adalah titik
pancar kekuasaan raja guna menjaga keajegan hubungan

Gambar 7. Kota-kota Beridentitas “Pusat Di Pinggiran” di Pulau Jawa Abad XVI --XVII

Seperti halnya di pusat kekuasaan Mataram, akan memperlemah ikatan antara kekuasaan dan
simbol terpenting yang merepresentasikan pusat-pusat teritorinya. Orientasi politik kota akan beralih dari
kecil adalah istana para penguasa lokal (bupati). Di kepentingan kekuasaan yang lama dan ke yang baru.
pesisir utara, istana para bupati dengan segera mengikis Netralisasi dan pembentukan pinggiran yang
peran penting masjid dan pelabuhan yang pada abad dilakukan oleh Kesultanan Mataram dengan demikian
ke-15 menjadi simbol kebangkitan kota-kota pesisir. dapat dipahami sebagai bagian dari likuidasi politik.
Identitas kota-kota pesisir sebagai kota dakwah, kota Penguasa Mataram merumuskan ulang (re-conception)
suci, dan kota pelabuhan pun menghilang. Sebaliknya, teritori kekuasaannya yang diwariskan dari Kesultanan
keberadaan istana para bupati justru mengembalikan Demak. Dalam proses tersebut, penguasa Mataram
identitas beberapa kota pedalaman – terutama yang mendefinisikan kembali pola keterikatan yang
terletak pada dataran-dataran subur – sebagai pusat dipandang paling ideal antara teritori, tradisi kekuasaan,
kekuasaan politik walaupun pada tataran yang lebih dan kepentingan penguasa. Perumusan ulang ini
rendah dibandingkan masa sebelumnya. berimplikasi pada berubahnya aktualisasi spasial dari
Kemunculan serta keruntuhan yang dialami kekuasaan yang tercermin dari perubahan identitas serta
oleh kota-kota di atas menunjukkan terjadinya proses makna simbolik kota. Ketika lingkungan alam pesisir
likuidasi politik. Proses ini menggambarkan upaya utara yang berupa dataran luas dan perairan tenang
suatu rezim kekuasaan untuk mengkonversi aset-aset tidak lagi dipandang sebagai wilayah ekonomi maritim,
kekuasaan yang dimiliki oleh rezim lainnya. Konversi pada saat itu kota-kota pesisir kehilangan identitasnya
tersebut dapat berlangsung baik secara ideologis sebagai pelabuhan. Demikian pula ketika kesucian
maupun non-ideologis. Likuidasi politik dimaksudkan dan kesempurnaan kekuasaan raja diidentikan dengan
untuk menghapus eksistensi suatu kekuasaan lama puncak-puncak gunung dan dataran subur, identitas
demi membangun kekuasaan baru. beberapa kota suci di pesisir pun turut memudar.
Likuidasi politik atas suatu kota tidak terlepas dari Produksi ruang kekuasaan (Gambar 8) di Pulau
peran pentingnya sebagai simbol kekuasaan. Apapun Jawa selama abad ke-16 hingga abda ke-17 juga
wujudnya, simbol kekuasaan mengandung kekuatan memperlihatkan adanya gejala cultural imposition atau
untuk membentuk, membangun, serta melestarikan pembebanan kebudayaan, terutama di Tanah Pasundan.
eksistensi suatu kekuasaan (Fashri, 2007). Perubahan Dalam hal ini para penguasa Mataram bukan hanya
identitas suatu kota sebagai akibat dari likuidasi politik merubah status Tanah Pasundan dari “elemen luar”
dapat merubah makna simbolik yang terkandung menjadi “elemen dalam”, tetapi juga membawa masuk
oleh kota tersebut sehingga mengguncang eksistensi gagasan-gagasan tradisi sawah ke dalam kehidupan
kekuasaan. Mengingat kota merupakan aktualisasi para peladang di Tanah Pasundan. Tanah Pasundan
spasial dari kekuasaan, perubahan identitas kota juga kini berstatus pinggiran. Sejalan dengan itu muncul

18| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

kota Sumedang dan beberapa kota lainnya di wilayah- dibentuk secara sentrifokal oleh suatu pusat tunggal di
wilayah depresi Tanah Pasundan bagian timur yang pedalaman. Irama serta gerak pertumbuhan kota tidak
merepresentasikan kekuasaan Mataram. Sumedang lagi ditentukan oleh endowment factors yang tersedia di
adalah “Jawa di Tanah Pasundan”. Ditinjau sudut pada`lokasi dan hinterland-nya, tetapi lebih ditentukan
pandang Kesultanan Mataram, hal ini menggambarkan oleh loyalitasnya terhadap pusat. Tujuannya adalah
keberhasilan perluasan tatanan konsentris negara untuk mempertegas eksistensi kekuasaan absolut
agraris. guna menutup kemungkinan terbentuknya pluralisme
Merujuk pada uraian di atas, salah satu gejala kekuasaan yang dapat berakibat pada perpecahan
terpenting dari pertumbuhan kota di Pulau Jawa teritorial. Pinggiran atau mancanegara tidak boleh
selama abad ke-16 hingga ke-17 adalah terlepasnya tumbuh sebagai pusat besar. Pusat dan pinggiran tidak
identitas beberapa kota dari fondasi lamanya yang dapat berganti peran. Kekuasaan absolut pun tidak
menandakan terjadinya gejala deteritorialisasi. Kota- dapat dipindahkan begitu saja dari satu lokasi ke lokasi
kota bukan hanya diganti identasnya, tetapi juga diputus yang lain. Perpindahan pusat hanya mungkin dilakukan
keterikatannya dengan teritori lamanya. Fondasi baru jika didahului oleh perombakan fundamental terhadap
bagi pertumbuhan dan keberlanjutan kota-kota kini tradisi serta identitas kekuasaan.

Gambar 8. Implikasi Produksi Ruang Kekuasaan Terhadap Pertumbuhan Kota


di Pulau Jawa Abad XVI - XVII

KESIMPULAN kota-kota tertentu yang ditandai oleh perubahan


Selama rentang waktu abad ke-16 hingga abad identitas kota. Selain itu, di wilayah pesisir perubahan
ke-17 pola dan proses spasial produksi ruang ditujukan identitas tersebut menyebabkan beberapa kota pesisir
untuk menjamin terbentuknya absolutisme kekuasaan kehilangan peran pentingnya.
raja sesuai dengan konsep ruang tradisi sawah yang
telah diperkaya oleh unsur-unsur India dan Islam. DAFTAR PUSTAKA
Produksi ruang kekuasaan dilakukan melalui netralisasi
dan pembentukan wilayah pinggiran. Modus produksi Adian, D.G. (2006). Percik Pemikiran Kontemporer:
ini menyebabkan terjadinya likuidasi politik terhadap Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:
Jalasutera.

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |19
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Agnew, J. (2001). The New Global Economy: Time- Gilbert, A. & Gugler, J.. (2007). Urbanisasi dan
Space Compression, Geopolitics, and Global Kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Tiara
Uneven Development. Journal of World-Systems Wacana.
Research, 7(2), 133 – 154. Heine-Geldern, R. (1942). Conceptions of State and
Bellwood, P. (2000). Prasejarah Kepulauan Indo- Kingship in Southeast Asia. The Journal of Asian
Malaysia. Terjemahan oleh T.W Kamil. Jakarta: Studies, 2 (1), 15 – 30.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Hoggart, K., Lees, L. & Davies, A. (2002). Researching
Blomley, N. (2006). Uncritical critical geography. Human Geography. London: Arnold Publisher.
Progress in Human Geography, 30, 87 – 94. Johnston, R.J. (1983). Philosophy and Human
Braudel, F. (1979). The Perspective of the World, Geography. London: Edward Arnold.
Civilizations and Capitalism 15-18th Century Johnston, R.J, Gregory, D., Pratt, G. & Watts, M. (2000).
Vol. 3. Paris: Librarie Armand Colin. The Dictionary of Human Geography. Oxford:
Burhanudin, J. (2012). Ulama dan Kekuasaan: Blackwell Publishing.
Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Jordan, R. 2009. Memuji Prambanan. Jakarta: KITLV
Indonesia. Jakarta : Mizan. dan Yayasan Obor Indonesia.
Buttimer, A. (2003). Human Geography as Social Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Terjemahan
Science: Retrospect and Prospect. Erdkunde, 57 ke dalam Bahan Inggris oleh Donald Nicholson-
(4), 263 – 271. Smith. New York: Blackwell Publishing Ltd.
Cavalaro, D. (2004). Teori Kritis dan Teori Budaya. Lombard, D. (2005a). Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian
Yogyakarta: Niagara. Sejarah Terpadu. Jilid 1. Batas-Batas Pembaratan.
Coedés, G. (2010). Asia Tenggara Masa Hindu-Budha. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama & Forum
Seri Terjemahan Arkeologi No.10. Terjemahan Jakarta-Paris.
oleh Partaningrat Arifin. Jakarta: KPG, Ėcole Lombard, D. (2005b). Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian
francaise d’Extréme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Sejarah Terpadu. Jilid 2. Jaringan Asia. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Gramedia Pustaka Utama & Forum Jakarta-
Nasional Paris.
Cox, K.R. (2005). From Marxist Geography to Critical Lombard, D. (2005c). Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian
Geography and Back Again. Department of Sejarah Terpadu. Jilid 3. Warisan Kerajaan-
Geography, The Ohio State University, di akses Kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka
dari http://geog-www.sbs.ohio-state.edu/faculty/ Utama & Forum Jakarta-Paris.
kcox/Cox9.pdf pada 28 Oktober 2005.
Mamadouh, V.D. 1998. Geopolitics in the Nineties: One
de Graaf, H.J & Pigeaud, T.H. (2003). Kerajaan Islam Flag, Many Meanings. GeoJournal, 46, 237 – 253.
Pertama di Jawa. Tinjauan Sejarah Politik Abad
Milun, K. (2007). Pathologies of Modern Space. New
XV dan XVI. Jakarta: PT Utama Pustaka Grafiti.
York and London: Routledge.
Dikshit, R.D. (1982). Political Geography: A
Moertono, S. (1968). State and Statecraft in Old Java, A
Contemporary Perspective. New Delhi: Tata
Study of the Later Mataram Period 16th to 19th
McGraw-Hill Publishing Limited Company.
Century. Monograph Series. New York: Southeast
Evers, H. & Korff, R. (2002). Urbanisasi di Asia Asia Program Department of Asian Studies
Tenggara, Makna dan Kekuasaan dalam Ruang- Cornell University.
Ruang Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Muhsin Z.M. (2008). Penyebaran Islam di Jawa Barat.
Fashri, F. (2007). Penyingkapan Kuasa Simbol, Makalah disampaikan dalam Saresehan Nasional
Apropriasi Reflektif Pemikiran Piere Bourdie. Sejarah Perjuangan Syaikhuna Badruzzaman
Yogyakarta: Juxtapose (1898 – 1972). Jatinangor: Program Studi Ilmu
Fields, G. (1999). City Systems, Urban History, and Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Economic Modernity: Urbanization and the Mulder, N. (2001). Mistisme Jawa, Ideologi di Indonesia.
Transition from Agrarian to Industrial Society. Yogyakarta: LKIS.
Berkeley Planning Journal, 13, 102 – 128.
Mulyana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-
Furnivall, J.S. (2009). Hindia Belanda, Studi tentang Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Ekonomi Majemuk. Jakarta : Freedom Institute. Nusantara. Yogyakarta : LKIS.
Geertz, C. (1983a). Abangan, Santri, Priyayi Dalam O’Tuathail, G. & Dalby, S. (1998). Introduction:
Masyarkat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Rethinking Geopolitics: Toward a Critical
Geertz, C. (1983b). Involusi Pertanian, Proses Geopolitics. dalam O’Tuathail, G. & S. Dalby
Perubahan Ekologi di Indonesia. Terjemahan oleh (Eds). Rethinking Geopolitics. London & New
S. Supomo. Jakarta: Bhratara Karya Akasara. York: Routledge.

20| https://jurnal.ugm.ac.id/mgi
Hafid Setiadi, dkk/Majalah Geografi Indonesia, Vol. 31, No. 2, September 2017 : 8 - 21

Raflles, T.S. (1817). The History of Java. Kuala Lumpur: Sunyoto, A. (2012). Atlas Wali Songo. Jakarta: Pustaka
Oxford University Press. IIMaN, Trans Pustaka, dan LTN PBNU.
Rahardjo, S. (2007). Kemunculan dan Keruntuhan Taylor, J.T. (1993). Political Geography : World
Kota-Kota Pra-Kolonial di Indonesia. Depok: Economy, Nation-State, and Locality, 3rd Edition.
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. New York: Longman Scientific & Technical.
Rahardjo, S. (2011). Peradaban Jawa: Dari Mataram Tjiptoatmodjo, F.A.S. (1983). Kota-kota Pantai di
Kuno Hingga Majapahit Akhir. Depok: Komunitas Sekitar Selat Madura (abad XVII Sampai Medio
Bambu. Abad XIX). Disertasi Doktoral. Yogyakarta:
Reid, A. (1992). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
1450-1680: Tanah di Bawah Angin. Terjemahan Tuan, Y. (1977). Space and Place: The Perspective of
Mochtar Pabotinggi. Jakarta: Yayasan Obor Experience. Minneapolis: University of Minnesota
Indonesia. Press.
Reid, A. (1999). Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan van Setten van der Meer, N.C. (1979). Sawah Cultivation
Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680. in Ancient Java. Canberra : Australian National
Terjemahan R.Z. Leirissa dan P. Soemitro. Jakarta: University Press.
Yayasan Obor Indonesia Vlekke, B.H.M. (2008). Nusantara, Sejarah Indonesia.
Ricklefs, M.C. (1998). The Seen and Unseen World in Jakarta: KPG.
Java, 1726-49: History literature and Islam in the Wessing, R. (2008). Constituing the world in the
Court of Pakubuwana II. Honolulu: Asian Studies Sundanese House. dalam Schefold, R., Nas, P.J.M.,
Association of Australia, Allen & Unwin dan Domenig, G. & Wessing, R. (eds). Indonesian
University of Hawai’i Press. Houses Volume 2 Survey of Vernacular
Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200 Architecture in Western Indonesia. Leiden:
– 2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. KITLV Press.
Ricklefs, M.C., Lockhart, B., Lau, A., Reyes, P. & Aung- Wittfogel, K. (1957). Development Aspects of
Thwin, M. (2013). Sejarah Asia Tenggara, Dari Hydraulic Societies. Irrigation Civilization : A
Masa Prasejarah sampai Kontemporer. Jakarta: Comparative Study. Social Science Monograph.
Komunitas Bambu. Washington DC: Department of Cultural Affairs,
Ricouer, P. (2008). Hermeneutika Ilmu Sosial. Pan American Union.
Terjemahan oleh Muhammad Syukri. Yogyakarta: Zoetmulder. (2000). Manunggaling Kawula Gusti :
Kreasi Wacana. Pantheisme dan Monotheisme dalam Sastra Suluk
Ritzer, G. &  Goodman, D.J. (2003).  Teori Jawa. Jakarta: Gramedia.
Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Rutz, W. 1987. Cities and Towns in Indonesia. Berlin-
Stutgart: Gebruder-Borntraeger
Santoso, J. (2008). Arsitektur Kota-Kota Jawa: Kosmos,
Kultur, dan Kuasa. Jakarta: Centropolis-Magsiter
Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara.
Schrieke, B. (1957). Indonesian Sociological Studies:
Ruler and Realm in Early Java. Bandung: W. van
Hove Ltd ­- The Hague.
Smith, N. & P. O’Keefe. (1980). Geography, Marx and
the Concept of Nature. Antipode, 12, 30 – 39.
Soja, E.W. (1980). The Sociospatial Dialectic. Annals
of the Association of American Geographers, 70,
207 – 255.
Soja, E.W. (2000). Postmetropolis, Critical Studies
of Cities and Regions. Oxford: Blackwell
Publishing.
Sumardjo, J. (2002). Arkeologi Budaya Indonesia.
Yogyakarta: Qalam.
Sumardjo, J. (2007). Paham Kekuasaan Sunda. Pikiran
Rakyat tanggal 17 Nopember 2007 diunduh dari
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/
112007/17/0901.htm

https://jurnal.ugm.ac.id/mgi |21

Anda mungkin juga menyukai