Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PERILAKU ORGANISASIONAL

BUDAYA ORGANISASI
Dosen Pengampu: Ninik Probosari, SE, M.Si.
Kelas EM-C

Kelompok 11
Disusun oleh :
Rizqi Nur Faisal 141150127
Tahta Islam A.K 141150128
Haka Ainun 141150140
Wisang Wicaksono 141150145
Tony Pranoto S 141150167

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah
Budaya Organisasi ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan semua pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik materi maupun pikirannya,terkhusus kepada Ibu Ninik Probosari, S.E, M.Si yang telah
memberikan kami arahan untuk menyelesaikan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada orang tua yang selalu memberikan dukungan dan doa, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca.

Yogyakarta, November 2017

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Budaya sebuah organisasi memegang peranan yang cukup penting dalam organisasi
tersebut karena budaya yang baik akan dapat memberikan kenyamanan yang kemudian
menunjang peningkatan kinerja anggotanya. Sebaliknya, budaya organisasi yang kurang baik
atau yang kurang sesuai dengan pribadi anggotanya akan memicu penurunan kinerja setiap
anggota.
Dewasa ini banyak perusahaan yang mengubah budayanya agar dapat menunjang
kemajuan perusahaan tersebut. Hal ini semakin membuktikan bahwa budaya suatu organisasi
dapat sedemikian mempengaruhi sebuah organisasi. Keberlangsungan suatu organisasipun
sedikit-banyak terpengaruh oleh budaya organisasi. Sebagai contoh, budaya nepotisme di
suatu organisasi atau perusahaan sudah tentu akan mengantarkan organisasi atau perusahaan
tersebut ke gerbang kehancuran. Bagaimana tidak, dengan merekrut orang-orang yang hanya
satu ras saja atau satu keluarga dalam perusahaan tersebut tanpa merujuk pada prestasi,
kredibilitas, kemampuan serta kesetiaan pada perusahaan sudah pasti akan menurunkan
kualitas suatu perusahaan yang lama kelamaan akan tersingkir oleh perusahaan lain yang lebih
merekrut karyawan dengan kualitas yang baik tanpa melihat ras, agama atau warna kulit.
Namun, dalam hal menciptakan serta menumbuhkan sebuah budaya organisasi tidak hanya
bertitik tumpu pada kenyamanan anggota saja. Ada banyak faktor-faktor lain yang harus
diperhatikan. Diperlukan pemikiran yang matang untuk dapat menciptakan dan menumbuh-
kembangkan budaya yang akan dapat berdampak baik perusahaan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini diantaranya ialah:
1. Apa devinisi budaya organisasi?
2. Apakah organisasi memiliki budaya yang seragam?
3. Apa saja fungsi budaya organisasi?
4. Bagaimana budaya organisasi menciptakan iklim yang etis?
5. Bagaimana cara menciptakan dan mempertahankan budaya?
6. Bagaimana menciptakan budaya organisasi yang beretika?
7. Bagaimanakah spiritualitas budaya organisasi?

C. TUJUAN

Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca
mengenai budaya organisasi pada suatu perusahaan yang mana didalamnya berisi mengenai
pengertian, manfaat, cara menciptakan dan mempertahankan budaya organisasi yang baik.
BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI BUDAYA ORGANISASI


Budaya organisasi mengacu pada suatu system berbagi arti yang dilakukan oleh para
anggota yang membedakan organisasi satu dengan yang lainya. Karakteristik utama yang
dapat menangkap intisari dari budaya organsasi adalah sebagai berikut :
 Inovasi dan pengambilan resiko. Tingkat para pekerja didorong untuk menjadi inovatif
dan mengambil resiko.
 Memperhatikan detail. Tingkat para pekerja diharapkan untuk menunjukan presisi,
analisis, dan memperhatikan detail.
 Orientasi pada hasil. Tingkat manajemen menitiberatkan pada perolehan atau hasil dan
bukan pada teknik dan proses yang dgunakan untuk mencapainya.
 Orientasi pada orang. Tingkat pengambilan keputusan oleh manajemen dengan
mempertimbangkan efek dari hasil terhadap orang-orang didalam organisasi.
 Orientasi pada tim. Tingkat aktivitas kerja diorganisir dalam tim dari pada individu
 Keagresifan. Tingkat orang-orang akan menjadi agresif dan kompetitif, bukanya santai.
 Stabilitas. Tingkat aktivitas organisasional menekankan pada mempertahankan status quo
yang kontras dengan pertumbuhan.

Tiap-tiap karakter ini terjadi pada sebuah kontinum dari rendah ke tinggi. Menilai
organisasi pada mereka, kemudian, memberikan panduan gambaran dari budayanya dan
dasar untuk berbagi pemahaman kepada para anggota mengenai organisasi, bagaimana segala
sesuatunya dilakukan didalamnya, dan cara mereka seharusnya berprilaku.

Beberapa riset telah mengkonseptualisasikan budaya kedalam 4 tipe yang berbeda yang
berdasarkan pada nilai-nilai yang bersaing, yaitu klan yang kolaboratif dan kohesif adhocracy
yang inovatif dan dapat menyesuaikan diri, hirarki yang terkendali dan konsisten, serta
kompetitif dan konsumen yang terfokus pada pasar. Suatu tinjauan dari 94 kajian menemukan
bahwa tingkah laku pekerjaan terutama positif dalam budaya yang didasarkan pada klan,
inovasi khususnya kuat dalam budaya pasar, dan kinerja keuangan yang terutama bagus
dalam budaya pasar. Meskipun kerangka nilai yang bersaing menerima beberapa dukungan,
para penulis tinjauan menyatakan bahwa kerja yang lebih bagus teoritis diperlukan untuk
memastikan bahwa hal ini konsisten dengan nilai budaya actual yang ditemukan dalam
organisasi.

A. Budaya Merupakan Istilah Yang Bersifat Deskriptif.


Budaya organisasi memperlihatkan bagaimana para pekerja dalam memandang
karakteristik dari budaya organisasi, bukan apakah mereka menyukainya. Inilah yang
merupakan istilah yang bersifat deskriptif. Riset pada budaya organisasi telah berupaya
untuk mengukur bagaimana para pekerja memandang organisasi mereka : apakah akan
mendorong kerja tim?, apakah memberikan imbalan atas inovasi ?, apakah akan
melumpuhkan inisiatif?. Secara berlawanan, kepuasan pekerjaan berupaya untuk
mengukur bagaimana para pekerja merasakan mengenai ekspektasi organisasi,
memberikan imbalan atas praktik, dan sebagainya. Meskipun dua stilah memiliki
karakteristik yang tumpang tindih, ingatlah bahwa budaya organisasi bersifat deskriptif,
sedangkan kepuasan pekerjaan bersifat evaluative.
B. Apakah Organisasi Memiliki Budaya Yang Seragam ?
Budaya organisasi mempresentasikan persepsi dari para anggota organisasi yang
sama. Oleh karenanya, kita akan mengharapkan para individu dengan latar belakang yang
berbeda atau pada level dalam organisasi yang berbeda untuk menggambarkan budayanya
dalam istilah yang sama.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa tidak terdapat sub kultur. Sebagian besar
organisasi yang besar memiliki sebuah budaya yang dominan dan subkultur yang sangat
banyak jumlahnya. Budaya dominan mengekspektasikan nilai luhur yang diberikan oleh
mayoritas anggotanya dan hal itu memberikan organisasi kepribadianya yang berbeda.
Subkultur cenderung berkembang dalam organsasi yang besar untuk mencerminkan
permasalahan yang umum atau pengalaman yang dihadapi oleh para anggota dalam
departermen atau lokasi yang sama. Departermen pembelian dapat memiliki subkultur
yang meliputi nilai luhur dari budaya yang dominan ditambah nilai tambahan yang unik
dari para anggota dari departermen tersebut.
Jika organisai terdiri atas subkultur yang sangat banyak jumlahnya, maka budaya
organisasi sebagai variable yang independen akan menjadi kurang ampuh secara
signifikan. Ini merupakan aspek budaya “yang berbagi arti” yang membuatnya menjadi
perangkat yang ampuh untuk membimbing dan membentuk perilaku.
Budaya yang kuat versus lemah
Untuk membedakan antara budaya yang kuat dengan yang lemah yaitu, jika
sebagian besar para pekerja (dalam menanggapi survei manajemen) memiliki opini yang
sama mengenai misi dan nilai organisasi, maka budaya tersebut kuat, jika opini sangat
besar variasinya, maka budaya tersebut lemah.
Dalam suatu budaya yang kuat, nilai luhur organisasi akan dianut secara intensif
dan disebarkan secara luas. Semakin banyak anggota yang menerima nilai luhur dan
semakin besar komitmen mereka, maka akan semakin kuat budaya dan semakin besar
pengaruhnya terhadap perilaku anggota. Hal ini karena tingkat yang tinggi atas nilai dan
dibagikan dan intenstas yang dapat mencptakan iklim pengendalian perilaku yang tinggi.
Budaya yang kuat akan menurunkan tingkat perputaran pekerja karena hal ini
memperlihatkan adanya perjanjian yang tinggi mengenai apa yang direpresentasikan oleh
organisasi. Kebulatan suara bertujuan untuk membangun kekompakan, loyalitas, dan
komitmen organisasi. Kualitas ini, pada giliranya, akan mengurangi kecenderungan para
pekerja untuk mengundurkan diri. Salah satu kajian menemukan bahwa semakin banyak
pekerja yang menyetujui orientasi konsumen dalam sebuah organisasi jasa, maka akan
semakin tinggi profitabilitas dari unit bisnis. Kajian lainya menemukan bahwa ketika para
manajer tim dan para anggota tim tidak setuju mengenai persepsi dan dukungan
organisasional, maka terdapat semakin banyak suasana hati yang negative diantara para
anggota tim, serta kinerja dari tim akan semakin rendah. Efek-efek yang negative ini
terutama kuat ketika manajer meyakini bahwa organisasi memberikan lebih banyak
dukungan daripada yang dipikirkan oleh pekerja.
Budaya versus formalitas
Formalisasi yang tinggi akan menciptakan prediktabilitas, ketertiban dan
konsistensi suatu budaya yang kuat akan mencapai tujuan akhir yang sama tanpa
kebutuhan akan dokumentasi secara tertulis. Oleh karenanya kita harus memandang
formalisasi dan budaya sebagai dua jalan yang berbeda menuju pada tujuan yang sama.
Semakin kuat budaya organisasi, maka akan semakin berkurang kebutuhan
manajemen berkaitan dengan mengembangkan aturan dan regulasi formal dalam
membimbing perilaku pekerja. Panduan-panduan ini akan diinternalisasikan dalam para
pekerja ketika mereka menerima budaya organisasi.
C. Fungsi Budaya
 Budaya memiliki peran untuk mendefinisikan batasan : hal ini menciptakan
perbedaan antara salah satu organisasi dengan yang lainya.
 Menyampaikan suatu perasaan akan identitas bagi para anggota organisasi.
 Budaya akan memfasilitasi komitmen pada segala sesuatu yang lebih besar daripada
kepentingan diri sendiri.
 Mendorong stabilitas dari system sosial.
 Merupakan pengambilan perasaan dan mekanisme pengendalian yang membimbing
dalam bentuk tingkah laku dan perilaku dari para pekerja.
D. Budaya Menciptakan Iklim
Iklim organisasioanal mengacu pada berbagai persepsi yang dimiliki para anggota
organisasi mengenai organisasi dari lingkungan kerja mereka. Aspek budaya ini seperti
semangat tim pada level organisasional. Ketika setiap orang memiliki perasaan umum
yang sama mengenai apa yang terpenting atau seberapa baik bekerjanya suatu hal, maka
efek dari tingkahlaku ini akan menjadi semakin besar daripada jumlah dari bagian
individu.
Puluhan dimensi iklim telah dipelajari, meliputi inovasi, kreatifitas, komunikasi,
kehangatan, dan dukungan, keterlibatan, keselamatan, keadilan, keanekaragaman, serta
layanan konsumen. Iklim dapat berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan perilaku.
E. Dimensi Budaya Yang Etis
Iklim kerja yang beretika (ethical work climate [EWC]), atau konsep yang terbesar
mengenai perilaku yang benar dan salah didalam tempat kerja, yang berkembang sebagai
bagian dari iklim organisasional. Iklim yang beretika mencerminkan nilai dari organisasi
yang sebenarnya dalam membentuk pengambilan keputusan yang etis bagi para
anggotanya.
Para peneliti telah mengembangkan teori iklim yang beretika (etichal climate
theory (ECT]) dan indeks iklim yang beretika (the technical index [ECI]) untuk
mengategorikan dan mengukur dimensi dari buda organisasi yang beretika. Pada 9
kategori iklim yang telah didefinisikan, 5 ditemukan menjadi sangat umum dalam
organisasi, yaitu instrumental, kepedulian, independensi, hokum dank ode, serta aturan.
Masing-masing menjelaskan pola pikir yang umum, ekspektasi, serta nilai dari para
manajer dan para pekerja dalam hubunganya dalam organisasi mereka.
Iklim etis independensi bergantung pada gagasan modal pribadi dari masing-
masing individu untuk menentukan prilaku ditempat kerjanya. Iklim hukum dan kode
mensyaratkan bagi para manajer dan pekerja untuk menggunakan moral yang
terstandarisasi secara eksternal yang melingkupi seperti misalnya kode etik professional
bagi norma. Sedangkan iklim aturan cenderung untuk mengoprasionalkan dengan
ekspektasi yang terstandarisasi secara internal dari, barangkali, sebuah kebijakan secara
manual dari organisasional. Organisasi seringkali berlangsung melalui kategori yang
berbeda sejalan dengan perpindahan mereka melalui siklus hidup bisnis mereka.
Iklim organisasi etis secara kuat mempengaruhi cara para anggota individunya
dalam melaksanakan bagaimana mereka berprilaku, sedemikian rupa sehingga para
peneliti dapat memprediksikan hasil organisasional dari kategori iklimnya.
Hasil kajian-kajian mengenai iklim etis dan tempat kerja menyebutkan bahwa
beberapa kategori iklim mungkin ditemukan dalam organisasi-organisasi tertentu.
Industry-industri dengan standar yang menuntut seperti misalnya rekayasa teknik,
akuntansi, dan hokum cenderung untuk memiliki iklim aturan atau hokum dan kode.
Industry-industri yang berkembang pada kekompetitivan seperti misalnya perdagangan
finansial seringkali memiliki iklim etis instrumental. Industry dengan misi kebijakan
cenderung untuk memiliki iklim kepedulian, bahkan jika mereka mencari keuntungan
sebagaimana dalam perusahaan peduli lingkungan.
Riset sedang menelusuri mengapa organisasi-organisasi cenderung untuk jatuh ke
dalam kategori iklim tertentu oleh industry, terutama organisasi-organisasi yang berhasil.
Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa iklim instrumental selalu buruk atau bahwa iklim
kepedulian selalu baik.
F. Budaya Dan Inovasi
Sebagian besar perusahaan yang inovatif seringkali ditandai dengan keterbukaan
mereka, tidak konvensional, kolaboratif, berbasis visi, budaya mempercepat. Perusahaan
yang perintis seringkali memiliki budaya yang inovatif karena mereka biasanya kecil,
gesit, dan menitiberatkan pada pemecahan permasalahan agar dapat bertahan hidup dan
berkembang.
G. Budaya Sebagai Suatu Asset
Budaya organisasi dapat menyediakan lingkungan positif yang beretika dan
membantu perkembangan inovasi. Budaya dapat juga secara signifikan memberikan
kontribusi pada dasar dari organisasi dalam banyak cara.
H. Budaya Sebagai Sebuah Kewajiban
Budaya dapat mendorong komitmen organisasional dan meningkatkan konsistensi
perilaku pekerja, serta memberikan manfaat bagi organisasi. Budaya juga berharga bagi
para pekerja, karena menguraikan bagaimana hal-hal dilakukan dan mana yang penting.
Namun, kita tidak boleh mengabaikan aspek budaya yang disfungsional secara potensial,
terutama budaya yang kuat, terhadap efektivitas organisasi.
a. Institusionalisasi, ketika suatu perusahaan mengalami institusionalisasi dan menjadi
dilembagakan, hal ini dinilai untuk diri sendiri dan bukan dari barang atau jasa yang
diproduksi mengambil hidup sendiri, terpisah dari para pendirinya atau para
anggotanya. Organisasi yang dilembagakan seringkali tidak keluar dari bisnis bahkan
jika tujuan semua tidak lagi relevan. Mode perilaku yang dapat diterima menjadi
sebagian besar jelas bagi para anggotanya, meskipun hal ini tidak seluruhnya
negative, hal ini berarti bahwa perilaku dan tingkahlaku yang seharusnya
dipertanyakan dan dianalisis menjadi diterima begitu saja, yang dapat melumpuhkan
inovasi dan mempertahankan budaya organisasi akan berahir dengan sendirinya.
b. Hambatan bagi perubahan. Budaya merupakan sebuah kewajiban ketika nilai yang
berkaitan tidak sesuai dengan mereka yang menunjukan efektivitas organisasi. Hal
ini sangat memungkinkan ketika lingkungan organisasi menjalani perubahan yang
cepat, serta budayanya yang telah mengakar tidak lagi tepat. Konsistensi perilaku,
suatu asset dalam lingkungan yang stabil, kemudian akan membebani organisasi dan
menyulitkan untuk memberikan tanggapan terhadap perubahan.
c. Hambatan pada keanekaragaman. Merekrut para pekerja yang baru berbeda dari
mayoritas dalam ras, umur, gender, kecacatan, atau karakteristik lainya yang
menciptakan sebuah paradox. Manajemen ingin mendemonstrasikan dukungan bagi
perubahan dari para pekerja yang akan dibawa ketempat kerja, tetapi para pendatang
baru yang berharap untuk menyesuaikan harus menerima inti nilai budaya dari
organisasi. Oleh karena perilaku yang beraneka ragam dan kekuatan yang unik
cenderung untuk berkurang bagaimana orang-orang berupaya untuk berasimilasi,
maka budaya yang kuat dapat menjadi kewajiban ketika mereka secara efektif
menghilangkan keuntungan-keuntungan ini. Sebuah budaya yang kuat memberikan
prasangka, mendukung bias, atau menjadi tindak sensitive terhadap orang yang
berbeda dapat merusak kebijakan formal korporat yang beraneka ragam.
d. Hambatan pada akuisisi dan merger. Secara historis, ketika manajemen melihat
pada keputusan akuisisi atau merger, factor utamanya adalah keunggulan financial
dan sinergi produk. Pada tahun belakangan ini, kempatibilitas budaya telah menjadi
perhatian utama. Semua hal adalah sama, apakah akuisisi benar-benar bekerja
berhubungan dengan beberapa baik penyesuaian dari dua budaya organisasi tersebut.

2. MENCIPTAKAN DAN MEMPERTAHANKAN BUDAYA ORGANISASI


A. Proses Terbentuknya Budaya Organisasi
Kebiasaan tradisi dan cara umum organisasi saat ini dalam melakukan sesuatu hal
sebagian besar sehubungan dengan apakah hal ini dilakukan sebelumnya dan seberpa
berhasilkah dahulu dalam melakukannya. Penciptaan budaya terjadi dalam tiga cara
pertama pendiri merekrut dan mempertahankan hanya pekerja yang berpendapat dan
merasakan hal yang sama . Kedua mereka menanamkan dan menyosialisasikan cara
mereka dalam berpikir dan merasakan. Terahir perilaku dari para pendiri sendiri
mendorong para pekerja untuk mengidentifikasi dengan mereka dengan
menginternalisasikan keyakinan nilai dan asumsi mereka.
Proses terbentuknya budaya dalam organisasi (gagasan-gagasan atau jalan keluar
yang kemudian tertanam dalam suatu budaya dalam organisasi) berasal dari filosofi
pendiri organisasi. . Hal ini sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam proses
penerimaan karyawan baru. Calon karyawan baru akan disaring berdasarkan kesesuaian
nilai dan perilakunya dengan budaya organisasi. Bagaimana cara karyawan baru
bersosialisasi akan bergantung kepada tingkat keberhasilan yang diraih karyawan dalam
menyesuaikan nilai-nilai yang dianutnya dengan nilai-nilai yang ada didalam organisasi.
B. Mempertahankan Suatu Budaya
Ketika suatu budaya telah berada pada posisinya maka praktik di dalam organisasi
mempertahankannya dengan memberikan kepada pekerja suatu rangkaian pengalaman
yang sama.
1) Pemilihan untuk menentukan kriteria yang dianggap paling tepat untuk menjadi
anggota organisasi. Ini merupakan kekuatan dalam mempertahankan budaya
organisasi. Tujuan utama dari proses pemilihan adalah menemukan &
mempekerjakan individu yg memiliki pengetahuan, kepandaian & kemampuan untuk
berprestasi dalam pekerjaan di dalam organisasi. Dalam proses seleksi ini, ketika
terdapat banyak calon yang memenuhi criteria, maka pengambil keputusan akan
menentukan siapakah yang nantinya akan dipekerjakan berdasarkan pertimbangan
tentang sejauh mana calon-calon tersebut akan cocok dengan organisasinya. Selain
itu, proses seleksi ini juga member informasi kepada para pelamar mengenai
organisasi itu, dan jika mereka merasakan adanya konflik antara nilai mereka dengan
nilai organisasi tersebut, maka mereka dapat mengundurkan diri dari pencalonannya.
Sehingga, proses seleksi tersebut, menyaring individu yang mungkin akan
menyerang atau mengacaukan nilai-nilai intinya.
2) Manajemen puncak menunjukkan pada perilaku & tindakan dari manajemen
puncak akan berpengaruh terhadap budaya organisasi. Para pegawai memperhatikan
perilaku manajemen dimana kejadian-kejadian yang diamati oleh para pegawai
dalam kurun waktu tertentu dapat menetapkan norma-norma yang kemudian meresap
ke bawah melalui organisasi. Adanya sosok Leadership sebagai panutan dalam
bertindak merupakan cara untuk mempertahankan Budaya Organisasi yang telah ada.
3) Proses sosialisasi merupakan langkah yang tepat untuk mempertahankan budaya
organisasi, terutama sosialisasi yang ditujukan bagi anggota baru untuk
menyesuaikan diri dengan budayanya. Seluruh anggota organisasi seharusnya
mengetahui & memahami mengenai terbentuknya budaya organisasi, pentingnya
bagi kemajuan organisasi, termasuk bagi pengembangan dirinya. Sebuah organisasi
akan selalu mensosialisasi setiap pegawai selama kariernya. Namun sosialisasi yang
paling eksplisit ialah ketika organisasi mencoba membentuk orang luar/orang baru
untuk menjadi seorang pegawai “yang berkedudukan baik”. Dalam proses tersebut,
mereka diberitahu mengenai bagaimana hal tersebut dilakukan disini. Proses
sosialisasi ada 3 tahap, yaitu :
a) Tahap Sebelum Kedatangan
Tahap ini merupakan proses pembelajaran yang dilakukan sebelum anggota baru
bergabung dengan organisasi itu. Tiap individu tiba dengan seperangkat nilai,
sikap, dan harapan yang mencakup kerja yang harus di lakukan. Misalnya, dalam
banyak pekerjaan, terutama kerja profesional, anggota baru akan menjalankan
tingkat sosialisasi awal luar biasa melalui pelatihan di tempat kerja dan
pengajaran di sekolah. Maksud utama sekolah bisnis adalah mensosialisasikan
mahasiswa bisnis ke sikap dan perilaku yang diinginkan oleh perusahaaan bisnis.
b) Tahap Pertemuan
Merupakan proses sosialisasi dimana anggota baru melihat apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam organisasi dan penyimpangan-penyimpangan
yang mungkin terjadi. Artinya, jika harapan anggota dan kenyataannya berbeda,
maka anggota baru tersebut harus menjalani sosialisasi yang akan
melepaskannya dari asumsi sebelumnya dan mengganti asumsi itu dengan
asumsi lain yang dianggap lebih mencerminkan organisasi. Jika harapan dan
kenyataan tidak sama, maka anggota baru akan kecewa dan mengundurkan diri.
Untuk mengurangi terjadinya hal ini maka proses seleksi harus dilakukan dengan
baik.
c) Tahap Metamorfosis
Tahap ini adalah ketika anggota baru menyesuaikan diri dengan pekerjaan,
kelompok kerja, dan organisasi. Semakin manajemen mengandalkan program
sosialisasi yang formal, kolektif, tetap, berurutan, dan menekankan keterbukaan,
makin besar kemungkinan bahwa perbedaan dan perspektif pendatang baru itu
akan ditanggalkan dan digantikan oleh perilaku yang terbakukan dan dapat
diramalkan. Metamorfosis yang berhasil seharusnya mempunyai dampak positif
pada produktivitas karyawan baru itu danko mitmen pada organisasi, serta
mampu mengurangi kecenderungannya untuk keluar dari organisasi itu.
Beberapa pilihan Sosialisasi saat masuk kerja
“Sosialisasi” mengacu pada mengajarkan kebudayaan perusahaan dan filsafat
mengenai bagaimana melakukan usaha. Setelah memasuki pekerjaan baru atau
organisasi baru,semua pegawai mula mula perlu “mempelajari segalanya”. Melalui
sosialisasi, pegawai akan belajar bagaimana segalanya dilakukan di dalam
lingkungan yang baru termasuk hal- hal yang tidak dapat mereka temukan tertulis di
dalam pedoman kebijaksanaan dan prosedur.
Beberapa pilihan sosialisasi saat masuk kerja antara lain :
 Formal vs Informal
Sosialisasi formal menempatkan karyawan-karyawan baru untuk langsung
terlibat didalam pekerjaan mereka. Contohnya, selama program orientasi dan
pelatihan tertentu.
 Individu vs Kolektif
Karyawan-karyawan baru dapat mendapatkan sosialisasi secara individu atau
dapat dikelompokkan bersama dan diproses melalui serangkaian pengalaman
yang serupa, sebagaimana yang berlangsung di pusat pelatihan militer.
 Jadwal yang Sudah Ditentukan (Tetap) vs Jadwal Variabel
Jadwal kapan pegawai baru mendapatkan sosialisasi dapat berupa jadwal yang
sudah ditentukan atau berupa jadwal yang variabel.
 Berurutan vs. Random
Sosialisasi berurutan ditandai oleh pemakaian model- model peran yang melatih
dan mendorong pendatang baru. Misalnya, program magang. Dalam sosialisasi
random, model-model peran sengaja dihilangkan. Karyawan baru dibiarkan
menyelesaikan sendiri contoh-contoh kasus yang dihadapi.
 Pelantikan vs. Pelepasan
Sosialisasi dengan adanya pengakuan akan mutu dan kualifikasi pendatang baru
merupakan bagian penting dari keberhasilan pekerjaan, sehingga mutu dan
kualifikasi tersebut ditetapkan dan didukung.
C. Cara Karyawan Mempelajari Budaya
a. Cerita
Cerita-cerita organisasi umumnya mengandung penggambaran peristiwa yang
signifikan, yang mencakup hal-hal seperti para pendiri organisasi itu, pelanggaran
peraturan, tanggapan terhadap kesalahan-kesalahan masa lalu, dll.
b. Ritual / Upacara
Ritual-ritual perusahaan adalah serangkaian kegiatan berulang yang
mengungkapkan dan meneguhkan nilai-nilai organisasi, sasaran-sasaran apa yang
paling penting dan orang-orang mana yang penting.
c. Simbol-simbol material
Tata letak fasilitas organisasi, cara karyawan berpakaian, jenis mobil yang
disediakan bagi eksekutif puncak, dan ketersediaan pesawat milik perusahaan
merupakan contoh simbol-simbol materi. Simbol-simbol materi itu mengatakan
kepada para karyawan siapa yang penting, tingkat kesamaan yang dikehendaki
oleh pimpinan puncak, dan berbagai jenis perilaku (misalnya menanggung risiko,
bersikap konservatif, otoriter, partisipatif, individualistis, dll) yang diharapkan
dan layak.
d. Bahasa
Bahasa merupakan salah satu media terpenting di dalam mentransformasikan
nilai. Dalam suatu organisasi atau perusahaan, tiap bidang atau divisi memiliki
bahasa atau jargon yang khas, yang kadang-kadang hanya dipahami oleh kalangan
itu sendiri. Hal ini penting karena untuk dapat diterima di suatu lingkungan dan
menjadi bagian dari lingkungan, salah satu syaratnya adalah memahami bahasa
yang berlaku di lingkungan itu.

3. MENCIPTAKAN BUDAYA ORGANISASI YANG BERETIKA


Budaya organisasi sangat cenderung membentuk standar etika yang tinggi di antara
para anggotanya yang tinggi dalam toleransi risikonya, tingkat keagresifan yang rendah
hingga moderat, dan menitikberatkan pada sarana demikian pula hasil. Tipe budaya ini
memerlukan perspektif dalam jangka panjang dan menyeimbangkan hak dari para
pemangku kepentingan yang banyak, meliputi para pekerja, para pemegang saham, dan
komunitas. Para manajer didorong untuk mengambil risiko dan berinovasi, mematahkan
semangat dari keterlibatan dalam kompetisi yang tak terkendali, dan dibimbing untuk
memperhatikan bukan hanya apakah tujuan yang akan dicapai melainkan juga
bagaimana tujuan akan dicapai.
Jika suatu budaya kuat dan mendukung standar etika yang tinggi, maka akan
memiliki pengaruh yang sangat ampuh dan positif terhadap perilaku pekerja. Marcus
Beynes, seorang analis/ilmuwan computer pada lembaga Keamanan Nasional Amerika
serikat, memuji komitmen organisasi untuk menyeimbangkan antara pekerjaan dengan
kehidupan dan keanekaragaman dari kemampuannya untuk mempertahankan budaya
yang positif, beretika dalam pertaruhan yang tinggi, tekanan lingkungan yang tinggi.
Contoh-contoh dari organisasi yang telah gagal dalam menetapkan kode etik
perilaku yang tepat dapat ditemukan dalam media hampir setiap hari. Beberapa secara
aktif menipu para konsumen atau para kliennya. Hal yang lainnya menghasilkan produk
yang membahayakan para konsumen atau lingkungan, atau mereka mengganggu atau
mendiskriminasikan terhadap kelompok tertentu dari para pekerja. Hal yang lainnya lebih
cerdik dan menyembunyikan atau gagal dalam melaporkan kesalahan. Konsekuensi-
konsekuensi yang negatif dari suatu budaya atas perilaku tidak etis yang sitematis dapat
menjadi parah dan meliputi pemboikotan konsumen, denda, perkara hukum, dan regulasi
pemerintah dari praktik yang dilakukan oleh organisasi.
Beberapa prinsip agar manajer dapat menciptakan suatu budaya yang lebih beretika :
 Menjadi panutan yang terlihat. Para pekerja akan melihat tindakan dari para
manajemen puncak sebagai patokan atas perilaku yang layak. Kirimkan sebuah pesan
yang positif.
 Mengkomunikasikan ekspetasi yang beretika. Meminimalkan ketidakjelasan
dengan membagi kode etik organisasional yang menyatakan prinsip dasar organisasi
dan aturan etika yang mana para pekerja harus mematuhinya.
 Menyediakan pelatihan yang beretika. Mengadakan seminar, lokakarya, serta
program pelatihan untuk menegakkan standar etika organisasi, menjelaskan apakah
praktik praktik yang diperbolehkan, dan membahas mengenai dilema dilema etis.
 Pemberian imbalan atas tindakan beretika yang tampak dan memberikan
hukuman atas tindakan yang tidak beretika. Menilai para manajer mengenai
bagaimana keputusan mereka yang diukur atas kode etik organisasi. Meninjau sarana
demikian pula dengan tujuan akhir. Memberikan imbalan yang tampak bagi mereka
yang bertindak etis dan memberikan hukuman yang mencolok bagi mereka yang
bertindak secara tidak etis.
 Menyediakan mekanisme perlindungan. Menyediakan mekanisme secara formal
sehingga para pekerja pekerja dapat membahas dilema dilema etis dan melaporkan
perilaku yang tidak etis tanpa ketakutan atau teguran. Hal ini meliputi para penasihat
yang beretika, ombudspeople, atau para pejabat yang beretika.

Pengerjaan dalam menetapkan iklim beretika yang positif harus dimulai pada posisi
atas dari organisasi. Sebuah kajian atas 195 manajer memperlihatkan bahwa ketika
manajemen puncak ,menekankan pada nilai etis yang kuat, maka para supervisor lebih
cenderung untuk mempraktikkan kepemimipinan yang beretika. Tingkah laku beretika
yang positif akan berpindah turun kepada jalur para pekerja, yang menunjukkan level
perilaku yang menyimpang lebih rendah dan level kerja sama serta bantuan yang lebih
tinggi. Suatu kajian yang melibatkan para auditor menemukan bahwa tekanan yang
dipandang dari pemimpin organisasional akan bersikap tidak etis sehubungan dengan
meningkatnya intensitas untuk terlibat dalam praktik praktik yang tidak beretika. Tipe
budaya organisasi yang dengan jelas salah dapat secara negatif memengaruhi perilaku
beretika dari para pekerja. Terakhir, para pekerja yang memiliki nilai yang beretika yang
sama dengan mereka dari departemen mereka cenderung untuk dipromosikan, sehingga
kita dapat berfikir bahwa budaya yang beretika akan mengalir dari dasar mengalir keatas
pula.

A. Menciptakan Budaya Organisasi yang Positif


Pada awalnya, menciptakan suatu budaya yang positif akan terdengar naif tanpa
harapan atau seperti konspirasi gaya Dilbert. Satu hal yang membuat kita yakin akan
kecenderungan ini adalah untuk bertahan, tetapi, tanda tanda bahwa praktik
manajemen dan riset perilaku organisasi akan bertemu di suatu titik.
Suatu budaya organisasi yang positif menekankan pada membangun kekuatan
pekerja, memberikan imbalan yang lebih sering daripada memberikan hukuman, serta
menekankan pada vitalitas dan pertumbuhan dari individu. Mari mempertimbangkan
tiap tiap dari area tersebut.
a. Membangun kekuatan pekerja. Meskipun budaya organisasi yang positif tidak
mengabaikan permasalahan, hal ini menekankan untuk memperlihatkan kepada
para pekerja bagaimana mereka dapat mengapitalisasikan kekuatan mereka.
Tidakkah lebih baik berada dalam budaya organisasi yang membantu anda
menemukan kekuatan anda dan mempelajari bagaimana memperbanyak kekuatan
tersebut?

Larry Hammond, CEO dari Auglaize Provico, sebuah agribisnis yang


bertempat di ohio, menggunakan pendekatan ini pada waktu yang anda tidak
perkirakan: selama masa masa kesuraman perusahaannya. Di tengah tengah
perjuangan finansial terburuk perusahaan, ketika harus memberhentikan satu
perempat dari tenaga kerjanya, Hammond memutuskan untuk berusaha
melakukan pendekatan yang berbeda. Daripada melakukan apa yang salah, dia
mengambil keuntungan dari apa yang benar. Dengan bantuan dari konsultan
Gallup Barry Conchie, Hammond menitikberatkan pada penemuan dan
menggunakan kekuatan dari pekerja untuk membantu perusahaan memutar
haluannya sendiri. “ Anda betanya kepada Larry (Hammond) apakah
perbedaannya, dan dia akan mengatakan bahwa itulah para individu yang
menggunakan talenta alamiah mereka,” kata Conchie.

b. Membangun imbalan yang lebih sering daripada memberikan hukuman


Meskipun sebagian besar organisasi secara memadai menitikberatkan pada
pemberian imbalan secara besar organisasi secara ekstrinsik seperti misalnya gaji
dan promosi, mereka sering kali lupa dengan kekuatan dari pemberian yang
sederhana (dan murah) seperti misalnya pujian. Bagian dari pencipataan suatu
budaya organisasi yang positif akan “melihat para pekerja untuk melakukan
segala sesuatu yang benar. Banyak manajer yang menahan pujian karena mereka
takut para pekerja akan lulus dengan mudah atau mereka berpendapat bahwa
pujian tersebut tidak berharga. Para pekerja umumnya tidak meminta pujian, serta
para para manajer tidak menyadari biaya dari kegagalan untuk memberikannya.
Pertimbangkan El’zbieta Gorska-Kolodziejczyk, seorang manajer pabrik pada
pabrik internasional paper di Kwidzyn, Polandia. Para pekerja bekerja dalam
sebuah basemen tanpa jendela yang suram. Para pegawai menjadi kira kira
sepertiga dari level awalnya, sedangkan bagian produksi tiga tiga kali lipatnya.
Tantangan tantangan ini telah dilakukan oleh tiga manajer sebelumnya.
Oleh karena itu, ketika Gorska-Kolodziejczyk mengambil alih, meskipun dia
memiliki banyak gagasan mengenai mentransformasikan organisasi, pada posisi
atas adalah penghargaan dan pujian. Dia pada awalnya menemukan kesulitan
untuk memberikan pujian kepada mereka yang tidak terbiasa mendapatkannya,
terutama para pria. Dari waktu ke waktu, dia menemukan bahwa mereka
menghargainya dan bahkan membalas pujian tersebut. Pada suatu hari supervisor
departemen menariknya kesudut untuk memberitahukan kepadanya bahwa dia
melakukan pekerjaan yang baik. “Hal ini yang saya ingat dengan benar,” katanya.
c. Menekankan pada vitalitas dan pertumbuhan. Tidak ada organisasi yang akan
memperoleh hasil terbaik dari para pekerja yang melihat mereka sendiri hanyalah
sebagai roda pada mesin. Suatu budaya positif akan menghargai perbedaan di
antara pekerjaan dengan karier. Ini mendukung bukan hanya apa yang pekerja
berikan kontribusi bagi efektivitas organisasional tetapi juga bagaimana
organisasi dapat membuat para bekerja menjadi lebih efektif-secara pribadi dan
secara professional. Para perusahaan unggulan menghargai nilai yang membantu
orang untuk bertumbuh. Safelite AutoGlass, pemenang penghargaan optima pada
tahun 20121 dari Workforce Management atas keunggulan kompetitif,
memberikan atribut pada keberhasilannya dalam bagian inisiatif pengembangan
talenta dari rencana orang yang sebagai prioritas pertamanya (People first plan).
Meskipun mungkin memerlukan lebih banyak kreativitas untuk mendorong
pertumbuhan dari pekerja dalam beberapa tipe industry, pertimbangan dalam
industry makanan. Pada Masterfoods di Belgia, Phillippe Lescornez memimpin
sebuah tim yang terdiri atas oejerha termasuk Didier bryanaert, orang yang
bekerja di Lucembourg, hampir 150 mil jaraknya. Bryanaert i dinilai sebagai
seorang promotor penjualan yang baik yang memenuhi ekspetasi ketika Lescornez
memutuskan bahan pekerjaan Bryanaert akan dipandang lebih penting jika dia
sedikit terlihat hanya sebagai promotor penjualan lainnya dan akan lebih sebagai
seorang ahli dalam fitur unik dari pasar Luxemburg. Jadi Lescornez bertanya pada
Bryanaert mengenai informasi yang dia dapat bagikan dengan kantor pusat. Dia
berharap bahwa dengan meningkatnya profil dari Bryanaert di Brussels, dia dapat
menciptakan padanya rasa kepemilikan atas penjualan jarak jauhnya. Apa yang
baik dari Bryanaert adalah tentu saja juga baik bagi Lescornez, orang yang
memperoleh pujian karena membantu Bryanaert untuk bertumbuh dan
berkembang.
d. Batasan dari budaya yang positif. Apakah suatu budaya yang positif dapat
menyelesaikan semuanya? Meskipun banyak perusahaan telah merangkul semua
aspek dari budaya organisasi yang positif, hal ini merupakan suatu gagasan yang
cukup baru bagi kita untuk menjadi bimbang mengenai bagaimana dan kapan akan
bekerja dengan sangat baik.
Tidak semua nilai dalam budaya nasional menjadi positif sebanyak budaya
di AS, dan bahkan dalam budaya di AS, tentu saja terdapat batasan mengenai
seberapa jauh perusahaan di AS seharusnya berjalan. Batasan perlu untuk
ditekankan oleh industry. Sebagai contoh, Admiral, perusahaan asuransi di
inggris, telah mendirikan budaya yang menyenangkan dalam pusat panggilannya
(call centre) untuk mengorganisasi penulis syair, foosball, conker (permainan
Inggris yang melibatkan kacang kenari), dan hari berpakaian kostum, sedangkan
perusahaan lainnya dalam industry asuransi telah mempertahankan budaya yang
lebih serius. Kapan pengerjaan akan budaya positif mulai terlihat sebagai paksaan
atu bahkan Orwellian? Terdapat manfaat untuk menetapkan suatu budaya yang
positif, tetapi sebuah organisasi juga perlu untuk menjadi objektif dan tidak
mengejar titik selain dari efektivitas.

4. SPIRITUALITAS DAN BUDAYA ORGANISASI


Spiritualitas di tempat kerja adalah menyadari bahwa orang-orang memiliki kehidupan
batin yang memlihara dan dipupuk oleh pekerjaan yang bermanfaat dalam konteks komunitas.
Organisasi-organisasi yang mempromosikan budaya spiritual akan memahami bahwa orang-
orang berupaya untuk menemukan arti dan tujuan dalam pekerjaan mereka serta keinginan
untuk berkoneksi dengan manusia lainnya sebagai bagian dari komunitas. Banyak topik yang
kita bahas-yang berkisar dari desain pekerjaan (mendesain kerja yang bermanfaat bagi para
pekerja) hingga kepemimpinan yang transformasional (praktik kepemimpinan yang
menekankan pada urutan tujuan yang lebih tinggi dari tujuan yang sulit dipahami diri sendiri)
cukup sesuai pada konsep dari spiritualitas organisasional. Ketika suatu perusahaan
menekankan pada konsep dari spiritualitas organisasional. Ketika suatu perusahaan
menekankan komitmennya untuk membayarkan kepada para pemasok yang berada pada dunia
ketiga dengan harga yang wajar (di atas pasar) atas kopi mereka untuk memfasilitasi
pengembangan komunitas-seperti yang dilakukan oleh Starbucks-sebagaimana yang
dilakukan oleh Interstate Batteries-akan mendorong budaya yang lebih spiritual.
Alasan-alasan terhadap Meningkatnya Ketertarikan pada Spiritualitas :
1) Spiritualitas dapat mengimbangi tekanan dan stres dari kecepatan gejolak dalam
kehidupan. Gaya hidup yang modern-keluarga dengan orangtua tunggal, mobilitas
geografis, keadaan sementara dari pekerjaan, teknologi baru yang menciptakan jarak di
antara orang-orang, menekankan pada kurangnya komunitas yang dirasakan oleh banyak
orang dan meningkatkan kebutuhan akan keterlibatan dan koneksi.
2) Agama yang diformalisasikan kadang tidak sesuai dengan beberapa orang, dan mereka
berlanjut untuk mecari jangkar untuk mengganti kurangnya keyakinan dan mengisi
bertumbuhnya perasaan akan kekosongan.
3) Tuntutan pekerjaan telah membuat tempat kerja menjadi dominan dalam kehidupan banyak
orang, namun mereka terus-menerus mempertanyakan arti dari pekerjaan.
4) Orang ingin memadukan nilai kehidupan pribadinya dengan kehidupan profesionalnya.
5) Peningkatan jumlah orang yang menemukan bahwa pengejaran terhadap harta yang berupa
materi membuat mereka merasa tidak terpenuhi.
A. Karakteristik dari Suatu Organisasi yang Spiritual
Konsep dari spiritualitas di tempat kerja yang ditarik dari pembahasan kita
sebelumnya mengenai nilai, etika, motivasi dan kepemimpinan. Apakah yang
membedakan organisasi yang spiritual dari tandingan mereka yang bukan spiritual?
Meskipun riset masih berupa pendahuluan, beberapa karakteristik kultural cenderung
menjadi bukti dalam organisasi yang spiritual.
 Kebajikan. nilai dalam organisasi yang spiritual memperlihatkan kebaikan kepada orang
lain dan mempromosikan kebahagiaan bagi para pekerja dan para pemegang saham bagi
organisasional lainnya.
 Kesadaran akan tujuan yang kuat. Organisasi yang spiritual membangun budaya
mereka di sekitar tujuan yang berarti. meskipun keuntungan penting, hal tersebut
bukanlah nilai utama dari organisasi.
 Kepercayaan dan penghormatan. Organisasi yang spiritual dicirikan dengan rasa saling
percaya, kejujuran, dan keterbuakaan. para pekerja diperlakukan dengan penghargaan diri
dan nilai, yang konsisten dengan harag adiri dari tiap-tiap individu.
 Sifat berpandangan terbuka. Organisasi yang spiritual akan menilai pemikiran yang
fleksibel dan kreativitas di antara pekerjanya.
B. Mencapai Organisasi yang Spiritual
Banyak organisasi telah meningkat ketertarikannya akan spiritualitas tetapi
memiliki kesulitan dalam menempatkan prinsip-prinsipnya kedalam praktik
pelaksanaannya. Beberapa tipe dari pelaksanaan dapat memfasilitasi suatu tempat kerja
yang spiritual, termasuk mereka yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dengan
kehidupan. Para pemipin dapat mendemonstrasikan nilai, tingkah laku, dan perilaku yang
memicu motivasi secara intrinsik dan perasaan untuk dipanggil melalui tempat kerja.
Dalam mendorong para pekerja untuk mempertimbangkan bagaimana pekerjaan
mereka memberikan kersadaran mengenai tujan melalui membangun komunitas juga dapat
membantu mencapai spiritualitas di tempat kerja; sering kali hal ini dilakukan melialui
bimbingan kelompok dan pengembangan organisasional. Sejumlah perusahaan yang
bertumbuh, termasuk Taco Bell dan Sturdisteel, menawarkan pada para pekerja layanan
bimbingan dari pendeta korporat. Banyak pendeta yang dipekerjakan oleh agensi-agensi,
seperti misalnya Marketplace Chapplains USA, sedangkan beberapa korporasi seperti R.J.
Reynolds Tobacco dan Tyson Foods memperkerjakan pendeta secara langsung. Kehadiran
para pendeta korporat di tempat kerja, orang yang biasanya ditahbiskan sebagai pendeta
Kristen, tentu saja kontroversial, meskipun peranan mereka bukan untuk meningkatkan
spiritualitas, tetapi untuk membantu sumber daya manusia berperan sebagai para pekerja
yang telah memilih keyakinan Kristen.
C. Kritik atas Spiritualitas
Kritikan atas gerakan spiritualitas di tempat kerja menitikberatkan pada tiga
permasalahan. pertama mempertanyakan tentang fondasi ilmiah. Apakah sebenarnya yang
dimaksud dengan spiritualitas di tempat kerja? Apakah hanya sebuah ungkapan dalam
manajemen yang baru? Kedua, apakah organisasi yang spiritual tersebut sah? Secara
spesifik, apakah organisasi memiliki hak untuk memaksakan nilai spiritualitas terhadap
para pekerjanya? Ketiga adalah mempertanyakan mengenai ekonomi: apakah spiritualitas
dan keuntungan tersebut sesuai?
Pertama, terdapat sedikit riset secara komparatif mengenai spiritualitas di tempat
kerja. Kita tidak mengetahui apakah konsep tersebut akan bertahan atau tidak. apakah
karakteristik kultural yang baru saja kita identifikasi benar-benar memisahkan organisasi
yang spiritual? Spiritualitas telah didefinisikan secara luas dalam beberapa sumber yang
pelaksanaannya dari rotasi pekerjaan hingga menarik kembali korporat pada pusat meditasi
yang telah diidentifikasikan sebagai spiritual, pertanyaan yang perlu dijawab sebelum
konsep memperoleh kredibilitas sepenuhnya.
Pada poin yang kedua, sebuah penekanan akan spiritualitas dapat secara jelas
membuat beberapa para pekerja menjadi tidak nyaman. Kritikan-kritikan telah menyatakan
bahwa lembaga yang sekuler, terutama perusahaan bisnis, tidak memiliki bisnis yang
memaksakan nilai spiritual pada pekerjanya. Kritikan-kritikan ini tidak diragukan lagi
keabsahannya ketika spiritualitas didefinisikan sebagai yang membawa agama dan Tuhan
ke tempat kerja. Namun, tampaknya kurang mengena ketika tujuan dibatasi untuk
membantu pekerja menemukan arti dan tujuan dalam kehidupan kerja mereka.
Terakhir, spiritualitas dan keuntungan merupakan sasaran yang sesuai tentu saja
relevan bagi para manajer dan para investor dalam bisnis. Buktinya, meskipun terbatas,
mengindikasikan hal tersebut. Dalam salah satu kajian, organisasi-organisasi yang
menyediakan peluang untuk pengembangan spiritual bagi para pekerja mereka telah
melebihi kemampuan organisasi yang tidak melakukannya. Kajian-kajian lainnya
melaporkan bahwa spiritualitas dalam organisasi yang secra positif terkait dengan
kreativitas, kepuasan pekerja, keterlibatan pekerjaan, dan komitmen organisasional.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Budaya organisasi merupakan suatu system berbagi arti yang dilakukan oleh para anggota
yang membedakan organisasi satu dengan yang lainya. Proses penciptaan organisasi terjadi dalam
3 cara : pertama, pendiri merekrut dan mempertahankan hanya pekerja yang berpendapat dan
merasakan hal yang sama . Kedua mereka menanamkan dan menyosialisasikan cara mereka dalam
berpikir dan merasakan. Terakhir perilaku dari para pendiri sendiri mendorong para pekerja untuk
mengidentifikasi mereka dengan menginternalisasikan keyakinan nilai dan asumsi mereka.

Budaya organisasi sangat cenderung membentuk standar etika yang tinggi di antara para
anggotanya yang tinggi dalam toleransi risikonya, tingkat keagresifan yang rendah hingga
moderat, dan menitikberatkan pada sarana demikian pula hasil. Jika suatu budaya kuat dan
mendukung standar etika yang tinggi, maka akan memiliki pengaruh yang sangat ampuh dan
positif terhadap perilaku pekerja.
Daftar Pustaka

Robbins, Stephen P. 2015. Perilaku Organisasi – Organizational Behavior. Buku 1. Edisi 16.
Salemba Empat : Jakarta

http://jhonmiduk8.blogspot.co.id/2015/08/makalah-budaya-organisasi_55.html

http://andhy-brenjenk.blogspot.co.id/2011/05/makalah-budaya-organisasi-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai