Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Kata anestesi
diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1846 yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien. Anestesi yang
sempurna harus memenuhi 3 syarat (Trias Anestesi), yaitu: Hipnotik (hilang
kesadaran), Analgetik (hilang perasaan sakit), Relaksan (relaksasi otot-otot).1
Anestesi Spinal merupakan tindakan anestesi memasukkan obat anestesi
lokal ke dalam ruang subarakhnoid pada daerah lumbal. Tergantung dosis yang
diberikan, anestesi lokal tersebut dapat menimbulkan efek neurologis mulai dari
hilangnya sensasi panas sampai timbulnya anestesi lengkap pada daerah sekitar
daerah dermatom.
Blok spinal, caudal dan epidural pertama kali digunakan pada prosedur
bedah saat memasuki abad terakhir (lihat pada Bab 1). Blok sentral ini secara luas
digunakan pertama pada 1940 sampai munculnya peningkatan laporan dari
kerusakan neurologi permanen. Publikasi dalam skala luas dalam studi
epidemiologi pada tahun 1950 menunjukkan bahwa komplikasi adalah jarang
ketika blok ini dilakukan secara terlatih dengan perhatian pada tehnik asepsis dan
menggunakan anestesi lokal yang lebih baru dan lebih aman. Penghidupan
kembali pada penggunaan dari blok sentral terjadi dan hari ini, mereka sekali lagi
secara luas menggunakan pada praktek klinik.
Blok spinal, epidural dan caudal juga dikenal dengan anestesi neuroaxial.
Setiap dari blok ini dapat ditampilkan sebagai injeksi tunggal atau dengan kateter
untuk bolus intermiten atau infus kontinyu. Anestesi neuroaxial secara besar
memperluas perlengkapan anestesi untuk memberikan alternatif pada anestesi
general . Dapat juga digunakan secara bersamaan dengan anestesi general atau
untuk analgetik postoperatif dan pada manajemen dari kerusakan nyeri akut dan
kronik
Tehnik neuroaxial telah membuktikan menjadi sangat aman ketika
dikelola dengan baik; bagaimanapun tetap masih ada resiko komplikasi. Reaksi
kurang baik dan komplikasi bervariasi mulai dari nyeri punggung yang terbatas
hingga kelemahan defisit neurologis yang permanen dan bahkan kematian. Karena
itu praktisi harus mengetahui dengan baik anatomi yang terlibat, dan selanjutnya
mengetahui farmakologi dan dosis toksik dari agen yang digunakan, penggunaan
tehnik steril secara rutin dan antisipasi dan mengelola dengan cepat kerusakan
fisiologis.
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris
Resistentiae (LMR). Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis indirek
(lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui locus
minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk
(medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding
belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali
kongenital atau karena sebab yang didapat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal
yang menghasilkan anelgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang
intratekal atau ruang subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-
5, untuk menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan derajat kesuksesan yang
tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan adanya pengetahuan anatomi, efek
fisiologi dari anestesi spinal dan faktor – faktor yang mempengaruhi distribusi
anestesi lokal diruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.
Kontraindikasi absolut anestesi spinal meliputi pasien menolak, infeksi di
daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat, peningkatan tekanan
intrakranial, stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat. Sedangkan
kontraindikasi relatif meliputi pasien tidak kooperatif, sepsis kelainan neuropati
seperti penyakit demielinisasi sistem saraf pusat, lesi pada katup jantung serta
kelainan bentuk anatomi spinal yang berat. Ada juga yang menyebutkan
kontraindikasi kontroversi yang meliputi operasi tulang belakang pada tempat
penusukan, ketidakmampuan komunikasi dengan pasien serta komplikasi operasi
yang meliputi operasi lama dan kehilangan darah yang banyak.
Anestesi spinal dihasilkan oleh injeksi larutan anestesi lokal ke dalam
ruang subaraknoid lumbal. Larutan anestesi lokal dimasukkan ke dalam cairan
serebrospinal lumbal, bekerja pada lapisan superficial dari korda spinalis, tetapi
tempat kerja yang utama adalah serabut preganglionik karena mereka
meninggalkan korda spinal pada rami anterior. Karena serabut sistem saraf
simpatis preganglionik treblokade dengan konsentrasi anestesi lokal yang tidak
memadai untuk mempengaruhi serabut sensoris dan motoris, tingkat denervasi
sistem saraf simpatis selama anestesi spinal meluas kira – kira sekitar dua segmen
spinal sefalad dari tingkat anestesi sensoris. Untuk alasan yang sama, tingkat
anestesi motorik rata – rata dua segmen dibawah anestesi sensorik.
Spinal anestesi mempunyai beberapa keuntungan antara lain, perubahan
metabolik dan respon endokrin akibat stress dapat dihambat, komplikasi terhadap
jantung, otak, paru dapat minimal, relaksasi otot dapat maksimal pada daerah
yang terblok sementara pasien dalam keaad sadar. Selain keuntungan ada juga
kerugian dari cara ini yaitu berupa komplikasi yang meliputi hipotensi, mual dan
muntah, PDPH, nyeri pinggang dan lainnya.

2.2 Anatomi Kolumna Vertebra


2.2.1 ANATOMI KOLUMNA VERTEBRALIS
Tulang belakang terdiri dari tulang vertebral dan disk intervertebralis
fibrocartilaginous (Gambar 16-1). Terdiri dari 7 serviks, 12 toraks, dan 5 lumbar
vertebra (Gambar 16-2). Sakrum merupakan perpaduan dari 5 vertebra sakral, dan
ada dasar kecil rudimeneter ruas coccygeal. Tulang belakang secara keseluruhan
memberikan dukungan struktural untuk tubuh dan perlindungan bagi sumsum
tulang belakang dan saraf, dan memungkinkan tingkat mobilitas spasial di
beberapa bidang. Pada setiap tingkat tulang belakang, pasangan saraf tulang
belakang keluar dari sistem saraf pusat (Gambar 16-2).
Vertebra berbeda dalam bentuk dan ukuran di berbagai tingkatan. Vertebra
servikalis pertama, atlas, tidak memiliki tubuh dan memiliki artikulasi unik
dengan dasar tengkorak dan vertebra kedua. Vertebra kedua, juga disebut axis,
sehingga memiliki permukaan mengartikulasikan atipikal. Semua 12 vertebra
toraks mengartikulasikan dengan tulang rusuk yang sesuai. Vertebra lumbar
memiliki tubuh anterior vertebral berupa silinder besar. Sebuah cincin berongga
didefinisikan anterior oleh tubuh vertebral, lateral oleh pedikel dan proses
transversus, dan posterior oleh lamina dan proses spinosus (Gambar 16-1B dan
C). Lamina meluas antara proses transversus dan proses spinosus dan pedikel
terbentang antara corpus vertebralis dan proses transversus. Ketika ditumpuk
secara vertikal, cincin cekungan menjadi kanal spinalis di mana medula spinalis
dan penutupnya berada di dalamnya. Masing-masing korpus vertebralis
dihubungkan oleh disk intervertebral. Ada empat sendi sinovial kecil di setiap
vertebra, dua mengartikulasikan dengan vertebra di atasnya dan dua dengan
vertebra di bawahnya. Terdapat sendi facet, yang berdekatan dengan proses
transversus (Gambar 16-1C). Pedikel adalah bertakik superior dan inferior, takik
ini membentuk foramen intervertebralis, dari mana saraf spinalis keluar. Vertebra
sakral biasanya bergabung menjadi salah satu tulang besar, sakrum, namun
masing-masing tetap mempertahankan foramen intervertebralis anterior dan
posterior. Lamina dari S5 dan semua atau bagian dari S4 biasanya tidak
bergabung, meninggalkan caudal membuka ke kanal spinalis, yaitu hiatus sakralis
(Gambar 16-3).
Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang cembung anterior
di daerah leher dan lumbal (Gambar 16-2). Unsur ligamen memberikan dukungan
struktural dan bersama-sama dengan otot penndukung membantu menjaga bentuk
yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan disk intervertebralis terhubung dan
didukung oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior (Gambar 16-1A).
Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan ligamentum supraspinata
memberikan tambahan stabilitas. Dengan menggunakan pendekatan garis tengah,
jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan melalui ruang oval antara tulang lamina
dan proses spinosus vertebra yang berdekatan (Gambar 16-4).
2.2.2 MEKANISME AKSI
Lokasi utama dari aksi blokade neuroaxial adalah akar nervus. Anaestesi
lokal disuntikkan dalam LCS (anestesi spinal) atau ruang epidural (anestesi
epidural dan caudal) dan menggenangi akar nervus dalam ruang subarachnoid dan
ruang epidural. Dalam anestesi spinal konsentrasi LCS dari anestesi lokaldianggap
memiliki efek kecil pada medulla spinalis. Suntikan langsung dari anestesi local
pada LCS, memberikan relatif sejumlah kecil kuantitas dan volume dari anestesi
lokal untuk mencapai tingkatan tinggi dari blokade sensorik dan motorik.
Sebaliknya, konsentrasi anestesi lokal yang sama dicapai pada akar nervus hanya
dengan volume dan kuantitas yang tinggi dari anestesi local dengan anestesi
epidural dan caudal. Lebih lanjut, lokasi suntikan untuk anestesi epidural
umumnya harus dekat pada akar nervus yang harus diblok. Blokade dari
transmisi neural pada serat akar nervus posterior menghalangi sensasi somatic dan
visceral sementara itu blokade serat akar nervus anterior mencegah aliran eferen
motorik dan otonom(lihat bab 18)..
2.2.2.1 BLOKADE SOMATIK
Dengan menghalangi transmisi dari stimulus nyeri dan menghilangkan
tonus otot skelet, blokade neuroaxial dapat menghasilkan kondisi operasi yang
baik. Blokade sensorik menghalangi stimulus nyeri somatic dan visceral,
sementara blokade motorik menghasilkan relaksasi otot skelet. Mekanisme aksi
untuk agen anestesi lokal didiskusikan pada bab 14. Efek anestesi lokal pada serat
nervus bervariasi bergantung pada bentuk dari serat nervus, apakah bermielin atau
tidak, dan konsentrasi yang dicapai, serta durasi kontaknya. Tabel 16-1
mengandung sistem klasifikasi umum yang paling umum untuk serat nervus. Akar
nervus spinal mengandung campuran yang bervariasi dari tipe syaraf ini.
Meskipun serat syaraf yang kecil dan bermielin umumnya dikatakan lebih mudah
diblok dibandingkan yang lebih besar dan tidak bermielin, fenomena dari blokade
diferensial muncul lebih kompleks, terutama untuk anestesi neuroaxial.
Umumnya, konsentrasi anestesi lokal menurun dengan peningkatan jarak dari
tingkat lokasi suntikan sesuai dengan gradiasi konsentrasi. Blokade diferensial
secara tipikal menghasilkan blokade blokade simpatis (ditentukan oleh
sensitifitas temperature) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari blok sensorik
(nyeri, rabaan ringan), dan blok sensorik adalah dua segmen lebih tinggi dari
blokade motorik.

2.2.2.2 BLOKADE OTONOM


Penghalangan pada transmisi otonom eferen pada akar nervus spinalis
dapat menghasilkan blokade simpatik dan sebagian parasimpatik (lihat bab 11 dan
12). Aliran simpatik dari medulla spinalis dapat dikatakan sebagai thorakolumbal,
sementara aliran parasimpatik adalah craniosakral. Serat nervus simpatik
preganglioner keluar medulla spinalis dengan nervus spinalis dari tingkat T1 dan
L2 dan mungkin mengalir banyak tingkatan naik ataupun turun rantai simpatik
sebelum bersinaps dengan sel postganglioner pada ganglion simpatikus.
Sebaliknya serat parasimpatik preganglioner keluar dari medulla spinalis dengan
nervus cranialis dan sacralis. Anestesi neuroaxial tidak memblok nervus vagus.
Blok neuroaxial terutama menghasilkan berbagai variasi tingkatan blokade
simpatik dan respon fisiologi, menyebabkan penurunan tonus simpatis dan atau
lawan dari tonus parasimpatis.

Manifestasi Kardiovaskuler
Blok neuroaxial secara tipikal menghasilkan variasi penurunan tekanan darah
yang mungkin disertai dengan penurunan heart rate dan kontraksi jantung. Efek
ini secara umum sesuai dengan tingkat (derajat) dari simpatektomi. Tonus
vasomotor terutama ditentukan oleh serat simpatis yang berasal dari T5 hingga
L1, yang mensyarafi otot polos arteri dan vena. Blokade nervus ini menyebabkan
vasodilatasi, pembuluh darah kapasitansi vena, pool dari darah, dan penurunan
venous return ke jantung; pada sebagian keadaan, vasodilatasi arteri dapat juga
menurunkan resistensi vascular sistemik. Efek dari vasodilatasi arteri dapat
dikurangi vasokonstriksi kompensasi di atas tingkatan blok tersebut. Blok
simpatis tinggi tidak hanya mencegah vasokonstriksi kompensasi tetapi juga
memblokade serat akselerator simpatis jantung yang muncul pada T1 – T4 (lihat
bab 12). Hipotensi mendalam dapat dihasilkan dari vasodilasi dikombinasikan
dengan Bradycardia dan penurunan kontraktilitas. Efek ini berlebihan jika venous
return dikompromikan lebih lanjut oleh posisi head-up atau oleh berat gravid
uterus. Tonus vagal tanpa lawan dapat menjelaskan serangan jantung yang tiba-
tiba kadang-kadang terlihat dengan anestesi spinal (lihat Bab 46).

Tabel 16 -1. Klasifikasi serat nervus.*


Tipe serat Klasifikasi Modalitas Diameter Konduksi
sensoris (mm) (m/sec)
Aα Motorik 12 - 20 70 - 120
Aα Tipe Ia Propioseptif 12 - 20 70 - 120
Aα Tipe Ib Propioseptif 12 - 30 70 - 120
Aβ Tipe II Tekanan 5 - 12 30 - 70
sentuhan
Propioseptif
Aγ Motorik 3-6 15 - 30
(muscle
spindle)
Aδ Tipe III Nyeri 2–5 12 – 30
Suhu dingin
Sentuhan
B Serat otonom < 3 3 – 14
preganglioner
C akar dorsal Tipe IV Nyeri 0,4 – 1,2 0,5 – 2
Suhu hangat
dan dingin
Sentuhan
C simpatis Serat simpatis 0,3 – 1,3 0,7 – 2,3
postganglioner
*Serat syaraf perifer dan tiap neuronnya diklasifikasikan dari A-C sesuai dengan
diameter axonal, pembungkus (bermielin atau tidak), dan kecepatan konduksi.
Serat sensorik juga dikategorikan sebagai I – IV. Tipe C (sensory tipe IV) adalah
serat yang tidak bermielin, sementara tipe serat Aδ sedikit bermielin

Berbagai efek pada kardiovaskular harus segera diantisipasi secara


bertahap untuk meminimalkan derajat dari hipotensi. Pemberian volume dengan
10-20 mL/kg intravena pada pasien sehat akan compensasi sebagian pada venous
pooling. Perubahan letak uterus sebelah kiri pada kehamilan membantu
meminimalkan obstruksi pada venous return(see chapter 42). Meskipun beberapa
upaya, hipotensi mungkin masih terjadi dan harus segera diterapi.Pemberian
cairan dapat ditingkatkan dan autotranfusi akan lebih baik dengan menempatkan
pasien pada head down position. Simtomatik bradikardi harus segera diterapi
dengan atropin dan hipotensi harus dengan vasopressors. Pemberian langsung α
adrenergic agonists (phenylephrine) meningkatkan irama venous dan arteri
konstriksi,venous return dan sistemik vascular resisten keduanya meningkat.
Ephedrin memiliki efek langsung dari β adrenergic yaitu meningkatnya heart rate
dan kontraktilititas dan secara tidak langsung juga memproduksi beberapa
vasokontriksi. Jika hipotensi dan atau persisten bradikardi sudah terjadi lama dan
meskipun telah diintervensi, epineprine (5–10 μg intravenously) harus diberikan
dengan segera.

Manifestasi Pernapasan
Perubahan gejala klinik yang penting dalam fisiologi paru biasanya minimal
dengan blok neuraxial karena diafragma disyarafi oleh nervus prenicus dengan
serabut yang berasal dari C3-C5. Begitu pula dengan thoracic level tinggi, tidal
volume tidak ada perubahan; tetapi ada sedikit penurunan dalam kapasitas vital,
yang dihasilkan dari hilangnya kontribusi otot abdomen untuk ekspirasi. Blok
nervus phrenicus (C3-C5) mungkin tidak terjadi pada total spinal anestesi seperti
apnea yang sering terjadi dengan hemodinamik yang buruk, pendapat bahwa
hipoperfusi batang otak lebih responsible dari blok nervus phrenicus. Konsentrasi
dari anestesi lokal untuk level cervical sensory dilaporkan dibawah blok Aα fiber
nervus phrenicus.
Pasien dengan severe chronic lung disease disertai tambahan otot-otot
pernafasan ( intercostal dan otot abdoment) yang aktif pada inspirasi dan
ekspirasi. Blok syaraf yang tinggi akan mempengaruhi otot-otot tersebut. Sama
dengan batuk yang efektif dan sekresi cairan membutuhkan otot asesoris untuk
ekspirasi. Pada kasus ini blok neuraxial harus digunakan dengan hati-hati pada
pasien respiratory reserve yang terbatas. Efek buruk ini perlu pertimbangan
kembali dibandingkan keuntungan untuk menghindari pemasangan alat
pernapasan dan tekanan positif ventilasi. Prosedur operasi diatas umbilicus,
dengan teknik regional bukan merupakan pilihan yang paling tepat untuk pasien
dengan severe lung disease. Dalam praktek yang lain, pasien ini mungkin lebih
menguntungkan dari efect dari epidural thoracic analgesia pada periode post
operasi. Operasi Thoracic atau upper abdominal adalah berhubungan dengan
menurunnya fungsi diagfrahma post operasi (dari menurunnya aktifitas phrenic
nerve) dan menurunya fungsional residual capacity (FRC),yang menghasilkan
atelektasis dan hypoxia dengan ventilasi/perfusi (V/Q) yang sebanding. Beberapa
kejadian berpendapat bahwa post operasi thoraacic epidural analgesia pada pasian
yang resiko tinggi dapat memperbaiki pulmonary outcome dengan menurunya
insiden pneumonia dan gagal nafas, perbaikan oksigenasi dan menurunnya durasi
dari ventilasi support mekanis.

Manifestasi Gastrointestinal
Alur Sympathetic berasal dari level T5-L1, yang bekerja menurunkan peristaltik,
mempertahankan sphintcter tone, dan berlawanan dengan vagal tone. Neuraxial
blok menyebabkan sympathectomi vagal tone lebih dominan, peristaltik usus
yang aktif memberikan kondisi operasi yang terbaik untuk beberapa operator.
Analgesia epidural post operasi telah memperlihatkan kembalinya dengan cepat
fungsi gastrointestinal.
Aliran darah hepar akan meningkat dengan menurunya MAP dari beberapa teknik
anestesi. Pada operasi intra-abdominal,menurunnya perfusi hepatik lebih
berhubungan pada manipulasi operasi daripada teknik anastesi (lihat bab 34).

Manifestasi Traktus Urinarius


Renal blood flow dipertahankan oleh autoregulasi, dan ada beberapa efek klinik
atas fungsi renal dari blok neuraxial. Neuraxial anestesi pada lumbar dan sacral
level blok antara sympathetic dan parasymphatetic mengatur dari fungsi bladder.
Kehilangan dari kontrol dari autonomic bladder menghaksilkan retensi urin
sampai bloknya selesai. Jika tidak kateter urin dapat diberikan untuk antisipasi
perioperatif, ini harus hati-hati dengan menggunakan obat yang bekerja pendek
dan jumlah lebih kecil untuk prosedur operasi dan membatasi dari jumlah cairan
yang diberikan (jika mungkin). Pasien harus dimonitor pada retensi urin untuk
menghindari distensi bladder karena neuraxial anestesi

Manifestasi Metabolik dan Endokrin


Trauma operasi menghasilkan respon neuroendokrin melalui respon lokal
inflamasi dan aktivasi dari somatic dan nervus afferen viseral. Respon ini juga
meningkatkan hormon adenocorticotropic, cortisol, epinephrine, norepineprine
dan vasopresin yang sama dengan activasi dari renin angiotensi-aldosteron sistem.
Manifestasi klinik intraoperatif dan postoperative, hipertensi,
takikardi,hiperglikemia,katabolisme protein, suppresi imum respon dan
perubahan fungsi ginjal. Blok neuraxial dapat menekan sebagian (selama operasi
invasif mayor) atau keseluruhan dari (selama operasi lower extremitas)respon
stress ini. Dengan mengurangi katekolamin release, neuroaxial blok dapat
menurunkan perioperative aritmia dan kemungkinan berkurangnya iskhemia.
Untuk meminimalkan respon stres neuroendokrin , blok neuraxial harus bekerja
sebelum insisi sampai periode post operasi.

2.2.3 Obat – Obat Anestesi Spinal


1. Bupivakain
Bupivacain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun sebagai
berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide
hydrocloride. Bupivacain adalah derivat butil dari mepivakain yang
kurang lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long
acting. Secara komersial bupivacain tersedia dalam 5 mg/ml. Dengan
kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris
menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan
dan pasca bedah. Pada tahun tahun terakhir, larutan bupivacain baik
isobarik maupun hiperbarik telah banyak digunakan pada blok
subaraknoid untuk operasi abdominal bawah. Pemberian bupivacain
isobarik, biasanya menggunakan konsentrasi 0.5% volume 3-4 ml dan
dosis total 15-20 mg, sedangkan bupivacain hiperbarik diberikan dengan
konsentrasi 0,5%, volume 2-4 ml dan total dosis 15-22,5 mg.
Bupivacain dapat melewati sawar darah uri tetapi hanya dalam jumlah
kecil. Bila diberikan dalam dosis ulangan, tapi filaksis dapat terjadi lebih
ringan bila dibandingkan dengan lidokain. Salah satu sifat yang paling
disukai dari bupivacain selain dari kerjanya panjang adalah sifat blokade
motorisnya yang lemah. Toksissitasnya lebih kurang sama dengan
tetrakain. Bipivacain juga mempunyai lama kerja yang lebih panjangdari
lignokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
mengikat protein. Untuk menghilangkan nyeri pada persalinan, dosis
sebesar 30 mg akan memberikan rasa bebas nyeri selama 2 jam disertai
blokade motoris yang ringan. Analegetik pacsa bedahdapat berlangsung
selama 4 jam atau lebih, sedangkan pemberian dengan teknik anestesi
kaudal akan memberikan efek analgesik selama 8 jam atau lebih. Pada
dosis 0.25 – 0.375% merupakan obat terpilih untuk obstetrik dan analgetik
pasca bedah. Konsentrasi yang lebih tinggi (0,5-0,75%) digunakan untuk
pembedahan. Konsentrasi infiltasi 0,25 – 0,5 % blok saraf tepiu 0,25 –
0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5%. Dosis maksimal pada pemberian
tunggal adalah 175 mg. Dosis rata – rata 3-4 mg/kgBB

2. KLONIDIN
Klodin adalah salah satu contoh dari agonis α2 agonis yang digunakan
untuk obat antihipertensi (penurunan resistensi pembuluh darah sistemik)
dan efek kronotropik negatif. Lebih jauh lagi, klonidin dan obat α2 agonis
lain juga mempunyai efek sedasi. Dalam beberapa penelitian juga
ditemukan efek anestesi dari pemberian secara oral (3-5 μg/kg),
intramuskular (2 μg/kg), intravena (1-3 μg/kg), transdermal (0,1 -0,3 μg
setiap hari), intratekal (75-150 μg/kg) dan epidural (1-2 μg/kg) dari
pemberian klonidin. Secara umum klonidin menurunkan kebutuhan
anestesi dan anelgesi (menurunkan MAC) dan memberikan efek sedasi
dan anxiolisis.
Selama anestesi umum, klonidin dipalporkan juga meningkatkan stabilitas
sirkulasi intraoperatif dengan menurunkan tingkatan katekolamin. Selama
anestesi regional, termasuk peripheral nerve block, klonidin akan
meningkatkan durasi dari blokade. Efek langsungpada medula spinalis
mungkin dibantu oleh reseptor postsinaptik α2 dengan ramus dorsalis.
Keuntungan lain juga mungkin berupa menurunkan terjadinya
postoperative shivering, inhibisi dari kekakuan otot akibat opioid, gejala
withdrawal dan pengobatan dari beberapa sindrom nyeri kronis. Efek
samping berupa bradikardia, hypotensi, sedasi, depresi nafas dan mulut
kering. Klonidin adalah agonis α2- adrenergik parsial selektif yang bekerja
sentral yang bekerja sebagai obat anti hipertensi melalui kemampuannya
untuk menurunkan keluaran sistem saraf simpatis dari sistem saraf pusat.
Obat ini telah terbukti efektif digunakan pada pasien dengan hipertenso
berat atau penyakit renindependen. Dosis dewasa yang biasa digunakan
per oral adalah 0,2-0,3 mg. Ketersediaan klonidin transdermal ditunjukan
untuk pemberian secara mingguan pada pasien bedah yang tidak dapat
diberikan obat per oral.
3. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik
narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan
injeksi IM (intramuskular). Fentanyl digunakan untuk menghilangkan
sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan rasa sakit yang persisten/
menetap. Obat fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap
menggunakan analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja didalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan
rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan olek aksinya didalam
sistem saraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat menyebabkan
ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan
aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika pengobatan dihentikan secara
mendadak, sehingga untuk mencegah efek samping tersebut perlu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap dengan periode tertentu
sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal diblok neuraxial
pusat (CNB) meingkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga
memperpanjang analgesia pascaoeperatif. Durasi biasa pada efek analgesik
adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena sampai 100
mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 μg menghasilkan efek puncak,
dengan dosis yang lebih rendah tidak memiliki efek apapun dan dosis
tinggi meningkatkan kejadian efek samping.
2.2.4 Indikasi dan Kontraindikasi Spinal Anestesi
Indikasi
Blok neuraxial dapat digunakan sendiri atau digabung dengan anestesi
umum untuk beberapa prosedur dibawah leher.Pada beberapa European
center,operasi jantung telah secara rutin dengan anesthesi epidural thoracal
(dengan typical dan light general anaesthesia). Blok neuraxial telah lebih
digunakan untuk abdominal bagian bawah, inguinal,urogenital,rectal dan operasi
extremitas bawah. Operasi daerah Lumbal juga dapat digunakan spinal anesthesi.
Prosedur upper abdominal (eg,cholecystectomy) dapat dilakukan dengan spinal
anestesi atau epidural anestesi, tetapi akan sulit untuk mencapai level sensory
yang adekuat pada pasien, juga untuk mencegah komplikasi blok tinggi. Spinal
anestesi telah digunakan untuk operasi pada neonatus .
Jika neuraxial telah dipertimbangkan,resiko dan keuntungan perlu
didiskusikan dengan pasien, dan informed consent harus didapat. Itu sangat
penting untuk memastikan mental pasien sudah siap,bahwa pilihan anestesi sesuai
dengan tipe operasi dan tidak ada kontraindikasi. Pasien harus mengerti bahwa
mereka akan memiliki sedikit atau kehilangan fungsi motorik sampai blok selesai.
Prosedur operasi yang menyebabkan kehilangan darah yang banyak , menekan
fungsi pernapasan , dan operasi yang panjang sebaiknya di anetesi dengan general
anesthesia daripada dengan blok neuroaxial.

Kontraindikasi
Kontraindikasi yang utama pada neuraxial anesthesi adalah pasien
menolak, bleeding diathesis, severe hipovolemia, peningkatan tekanan
intrakranial, infeksi pada tempat suntikan, severe stenotic valvular heart disease,
ventrikel outflow obstruction.
Kontraindikasi relatif dan kontroversial ada dalam tabel 16-1. Pemeriksaan
pisik dapat memberikan informasi penting seperti adanya surgical scars, skoliosis,
skin lesions,dan apakah prosessus spinosus teraba. Walaupun tanpa screening test
perlu diketahui kesehatan pasien, koagulasi, jumlah trombosit, riwayat penyakit
dan kemungkinan bleeding diathesis. Adanya sepsis dan bakterimia pada anestesi
neuraxial cenderung menyebar secara hematogen dari agen infeksius dalam
epidural atau ruang subarachnoid.

Tabel 16-2 Kontaindikasi blokade neuraxial


Absolut
Infeksi pada tempat suntikan
Pasien menolak
Koagulopati atau bleeding diathesis
Severe hypovolemi
Meningkatnya tekanan intrakranial
Severe aorta stenosis
Severe mitral stenosis
Relativ
Sepsis
Pasien tidak kooperatif
Preexisting neurologi defisit
Demyelinating lesions
Stenotic katub jantung
Severe spinal deformitas
Kontroversial
Prior back surgery at the site of injection
Ketidakmampuan komunikasi dengan pasien
Complikasi operasi
Operasi yang lama
Kehilangan darah yang banyak
Maneuver that compromise respiration

Pasien dengan defisit neurologi preexisting atau penyakit demyelinating


mungkin dilaporkan terjadi perburukan gejala bila dilakukan blok. Ini mungkin
sulit diketahui dengan jelas efek atau komplikasinya dari blok dengan preexisting
disease atau unrelated exacerbation dari preexisting disease, untuk pendapat ini
beberapa ahli bertentangan.
Regional anestesi membutuhkan pasien yang kooperatif, dan ini sulit atau
tidak mungkin untuk pasien dementia, psychosis atau emosional tidak stabil.
Keputusan dibutuhkan secara individual. Pada anak-anak kemungkinan tidak
cocok untuk murni teknik regional.
Teknik Spinal Anestesi
Blok neuraxial hanya dilakukan pada fasilitas dimana semua perlengkapan
dan obat-obat yang dibutuhkan untuk intubasi dan resusutasi secara cepat tersedia.
Regional anestesi diberikan premedikasi yang adekuat. Persiapan pasien dengan
nonparmakologi sangat membantu, pasien harus dalam keadaan anxietas yang
minimal.
Pemberian oksigen melalui face mask atau canul cateter sangat menolong
menghindari hypoxemia,khususnya jika sedasi diberikan. Monitor yang minimal
membutuhkan blood pressure dan pulse oksimetry untuk mengetahui kerja
analgesia dan managemen nyeri. Monitoring untuk anestesi operasi dengan
regional sama dengan untuk general anestesi.
Setelah monitoring terpasang, pasien ditidurkan posisi lateral dekubitus atau
pasien didudukkan. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan
punksi lumbal. Pasien duduk ditepi meja operasi dengan kaki pada kursi,
bersandar ke depan dengan tangan menyilang didepan. Pada posisi dekubitus
lateral pasien tidur terbaring dengan panggul dan lutut difleksikan maksimal.
Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu didaerah antara
vertebra lumbalis. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista
illiaka dengan tulang belakang adalah L4 atau L4-5., tentukan tempat tusukan,
misalnya pada L2-3, L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medula spinalis.
Gambar permukaan anatomi untuk mengidentifikasi tinggi tulang
Sterilkan tempat penusukan dengan povidon iodin dan alkohol. Lakukan
penyuntikan jarum spinal ditempat penusukan pada bidang medial dengan sudut
10 – 30o terhadap bidang horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan
menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, lapisan duramater dan lapisan subaraknoid.
Gambar 2. Potongan sagital tempat tusukan spinal

Cabut stilet, lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar. Suntikan obat
anestetik local yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subarachnoid. Kadang-
kadang untuk memperlama kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor seperti
adrenalin.4

1,5
A. Posisi Pasien
1. Posisi Duduk
Midline anatomi lebih mudah dinilai ketika pasien posisi duduk
dari pada ketika pasien posisi lateral dekubitus. Perbedaan ini lebih jelas
pada pasien yang sangat gemuk / obese. Pasien duduk dengan siku
diletakkan diatas paha atau tepi meja operasi atau dengan memeluk bantal.
Fleksi dari spinal (tulang belakang membusur maksimal) menjadikan area
target yang berdekatan dengan prosesus spinosus dan spinal mendekat ke
permukaan kulit.
Gambar 3. Posisi duduk untuk blok
neuraksial

Gambar 4. Efek fleksi, target area


membuka

2. Posisi Lateral Dekubitus


Beberapa ahli anaestesi lebih suka posisi lateral untuk blok sentral.
Pasien tidur miring dengan lutut fleksi sampai menyentuh perut atau dada
seperti fetal position. Asisten dapat membantu memposisikan pasien.
Gambar 5. Posisi lateral dekubitus untuk blok
3. Posisi Prone neuraksial
Posisi ini mungkin digunakan untuk prosedur anorektal pada
larutan obat anestesi hipobarik, lebih jauh blok ini dilaksanakan pada
posisi yang sama seperti prosedur operasi (jackknife) sehingga pasien tidak
harus bergerak mengikuti blok. Ketika liquor cerebrospinal (LCS) tidak
menetes melalui jarum, penempatan ujung jarum pada subarakhnoid perlu
dikonfirmasi dengan aspirasi LCS.

B. Pendekatan Anatomis
1,4
1. Pendekatan Median
Tulang belakang teraba dan posisi tubuh pasien diperiksa untuk
memastikan bahwa tulang belakang tegak lurus dengan bidang datar.
Tekanan antara prosesus spinosus vertebra atas dan bawah pada level yang
akan di digunakan diraba, menentukan tempat jarum akan disuntikkan.
Setelah persiapan dan dilakukan anestesi lokal, masukkan jarum pada
median/midline. Prosesus spinosus dari tulang belakang ke kulit mengarah
kebawah, untuk itu jarum yang akan dimasukkan mengarah sedikit ke
sefal. Pada jaringan subkutan terasa ada sedikit tahanan pada jarum. Saat
jarum masuk lebih dalam, melalui ligamentum supraspinosum dan
interspinosum akan terasa meningkatnya kerapatan jaringan.

Jika jarum menyentuh tulang pada saat masih dangkal, mungkin


jarum membentur prosesus spinosus bagian bawah. Jika jarum membentur
tulang setelah jarum masuk dalam, biasanya jarum yang di midline
membentur prosesus spinosus bagian atas, atau posisi jarum disebelah
lateral midline dan membentur lamina. Pada kasus yang lain, jarum
bengkok arah jarum belok. Saat jarum menembus ligamentum flavum,
biasanya tahanan akan meningkat secara nyata.

Setelah menembus ligamentum flavum, disini terdapat perbedaan


prosedur anestesi spinal dan epidural. Pada anestesi epidural, setelah
menembus ligamentum flavum tiba-tiba di temui hilangnya tahanan (loss
of resistance), berarti jarum telah masuk ke dalam ruang epidural. Pada
anestesi spinal, jarum selanjutnya menembus ruang epidural dan
menembus membran dura-subarachnoid yang ditandai dengan
mengalirnya LCS keluar melalui jarum.

Gambar 6. Pendekatan midline


1,4
2. Pendekatan Paramedian
Teknik paramedian dipilih bila blok epidural atau spinal sulit
dilakukan, terutama pada pasien yang tidak bisa diposisikan dengan
mudah, misalnya pada pasien dengan artritis berat, kiposkoliosis atau
pernah menjalain operasi tulang belakang sebelumnya.

Tempat masuknya jarum pada pendekatan paramedian ini adalah 2


cm lateral bawah mengarah ke prosesus spinosus atas pada level yang
diinginkan. Karena disebelah lateral, akan menembus ligamentum
interspinosum dan otot paraspinosus, jarum akan melalui tahanan yang
lebih kecil. Jarum mengarah ke midline dengan sudut 10-25o. Identifikasi
dari ligamentum flavum dan masuknya ke ruang epidural dengan
hilangnya tahanan (loss of resistance) sulit dipisahkan dibandingkan
dengan pendekatan median/midline.

Jika menyentuh tulang ketika masih dangkal dengan pendekatan


paramedian, mungkin jarum membentur dengan bagian medial dari lamina
bagian bawah dan arahnya harus dialihkan ke atas dan barangkali
diarahkan sedikit ke lateral. Pada kasus dimana membentur tulang setelah
masuk dalam, biasanya jarum menyentuh bagian lateral dari lamina bagian
bawah dan arah harus dialihkan sedikit ke atas, mengarah ke midline.
Gambar 7. Pendekatan Paramedian

C. Jarum Spinal1

Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti
ujung bambu runcing (jenis Quincke – Babcock atau Greene) dan jenis yang
ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena
jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
Gambar 8. Jenis jarum spinal

2.2.5 .KOMPLIKASI ANESTESI SPINAL

1. Komplikasi Segera

A. Hipotensi

Mekanisme yang mendasari terjadinya hipotensi pada anestesi spinal


terutama akibat blok saraf simpatik preganglionik yang menyebabkan
vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan arteriola tetapi
juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh
darah perifer. Smith dkk menyatakan terjaddinya hipotensi pada anestesi
spinal akibat turunnya venous return karena penumpukan darah pada
pembuluh darah vena. Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus
arteri yang diatur oleh persarafan simpatis. Blok vasokonstriktor arteri
menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus arteri tetapi tidak
semuanya hilang dan masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi
arteri tidak merata bahkan di daerah yang mengalami blok simpatis
sekalipun. Vasodilatasi daerah yang terblok membuat kompensasi
vasokonstriksi daerah yang tidak terblok.

Derajat hipotensi yang relative ringan sebagian besar berasal dari


perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan darah terus turun di
bawah batas kritis dapat menyebabkan gangguan perfusi oksigen ke
jaringan perifer sehingga terjadi hipoksia. Derajat dan insiden hipotensi
pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu umur, jenis
kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat, tingkat hambatan sensorik,
posisi pasien dan manipulasi operasi.

Bila terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, harus segera ditherapi


dengan tujuan untuk mengembalikan oksigenasi jaringan yaitu dengan
meningkatkan curah jantung, meningkatkan tekanan dan aliran perfusi
jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah. Terdapat 4
tindakan utama untuk terapi hipotensi pada anestesi spinal, yaitu posisi
head down/ tredelenberg, pemberian oksigen, pemberian cairan intravena
dan terapi vasopresor.

B. Total Spinal Anestesi

Total spinal anestesi merupakan komplikasi dari spinal anestesi yang


sangat berbahaya karena dapat menyebabkan apneu. Komplikasi ini terjadi
bila blok simpatis sampai cervical sehingga dapat menyebabkan hipotensi
berat, bradikardi, dan terjadi gangguan respirasi. Jika terjadi hipotensi
dalam waktu yang lama akan mengakibatkan hipoperfusi pada pusat
respirasi yang berujung pada terjadinya apneu.

Selain hipotensi berat, gangguan respirasi atau apneu juga dapat terjadi
karena blok nervus frenikus yang mempersarafi otot diafragma sehingga
pasien sulit bernapas dan terjadi apneu.

Faktor yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi ini diantaranya


adalah posisi pasien dan barisitas dari larutan, peningkatan tekanan intra
abdominal yang mendadak, batuk atau pasien mengangkat kaki pada saat
obat dimasukan. Penaganan total spinal anestesi adalah dengan melakukan
ABC resusitasi, intubasi, pemberian oksigen 100% dan terapi seperti pada
penanganan hipotensi.
C. Reaksi Toksik Sistemik

Absorpsi dari obat – obatan anestesi local yang berlebihan dapat


mengakibatkan produksi toxic serum level yang sangat tinggi. Gejala yang
terlihat pada pasien dengan reaksi toksik sistemik adalah sesuai dengan
organ target yang terkena.

Yang sangat ekstrim adalah bila mengenai system saraf pusat, yaitu
dapat terjadi kejang dan penurunan kesadaran. Pada system kardiovaskuler
dapat terjadi hipotensi dan aritmia. Penanganan yang dilakukan berupa
terapi simptomatik dan suportif.

D. Reaksi Alergi

Gejala yang terlihat pada reaksi alergi ini bermacam – macam, dari
hanya sekedar kemerahan pada kulit, urtikaria, mengenai mukosa, mata,
system pencernaan, system pernapasan, system kardiovaskuler sampai
terjadinya syok anafilaktik.

Dalam menangani reaksi alergi ini, dari yang ringan sampai berat obat
pilihan utama yang kita gunakan adalah adrenalin. Setelah itu dapat
diberikan obat anti histamine 1, anti histamine 2, baru kemudian
mengobati sesuai organ target yang terkena.

E. Hipotermia

Yang dirasakan pasien adalah rasa dingin dan badannya akan


menggigil. Penyebab pasti pada menggigil belum diketahui, bisa
diakibatkan suhu ruangan yang dingin, penguapan tubuh yang mengalami
vasodilatasi.

Penanggulangan: pasien diselimuti, suhu ruangan dihangatkan,


oksigenasi, bila belum berhasil dapat diberikan petidin dengan dosis 12,5
mg iv.
2. Komplikasi lanjut

A. Nyeri Kepala

Nyeri kepala yang terjadi pasca anestesi spinal ini mengenai 5 – 10 %


dari pasien. Nyeri kepala ini juga lebih banyak mengenai wanita daripada
pria dan lebih banyak mengenai usia muda. Ukuran jarum juga dapat
mempengaruhi terjadinya nyeri kepala pasca anestesi spinal ini. Penyebab
dari nyeri kepala ini sendiri adalah adanya suatu kebocoran dari LCS dan
iritasi selaput otak. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain adalah
dengan penggunaan jarum ukuran kecil, penyesuaian bevel jarum,
pensterilan dan bebas zat kimia. Pengelolaan untuk nyeri kepala ini adalah
tirah baring 24 – 72 jam, Nacl 25 – 50 ml, cairan oral/ parenteral,
analgetik, blood patch epidural, dan stagen.

B. Sakit Punggung

Saat jarum melewati kulit, jaringan subkutan, dan ligamentum dapat


menyebabkan trauma. Sakit punggung post operasi ini biasanya ringan dan
dapat sembuh dengan sendirinya walaupun bisa berlangsung selama
seminggu. Walaupun terlihat ringan, tapi sakit punggung bisa menandakan
suatu komplikasi yang lebih serius misalnya epidural hematoma dan abses.
Penanganan dari sakit punggung ini adalah dengan pemberian analgetik
anti inflamasi dan tirah baring.

C. Retensi Urine

Blok anastesi local pada radix S2-S4 dapat menurunkan tonus dari
kandung kemih dan menghambat releks berkemih seseorang. Efek retensi
urin ini lebih banyak terjadi pada pasien pria. Penanganannya adalah
dengan memasang kateter. Disfungsi kandung kemih yang persisten dapat
terjadi sebagai manifestasi dari cedera saraf.
D. Meningitis dan Arachnoiditis

Pada anestesi spinal, dapat terjadi infeksi sebagai akibat dari kontaminasi
peralatan yang digunakan, obat yang disuntikan, atau organism yang ada pada
kulit yang kurang dibersihkan. Untungnya, hal ini jarang terjadi. Arachnoiditis
merupakan komplikasi lain yang juga jarang dilaporkan. Ditandai dengan gejala
seperti nyeri dan gejala neurological lainnya. Pada gambaran radiographic
didapatkan gambaran gumpalan di radix saraf. Pencegahan yang paling utama
adalah penggunaan jarum spinal yang disposable. Dengan begitu, kita juga bisa
melaksanakan salah satu unsur dari patients safety.

2.2.5 HERNIA
2.2.5.1 Definisi
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga yang bersangkutan / Locus Minoris
Resistentiae (LMR). Bagian-bagian hernia meliputi pintu hernia, kantong hernia,
leher hernia dan isi hernia.

Sedangkan dikatakan hernia inguinalis lateral apabila hernia tersebut


melalui annulus inguinalis abdominalis (lateralis/internus) dan mengikuti jalannya
spermatid cord di canalis inguinalis serta dapat melalui annulus inguinalis
subcutan (externus) sampai scrotum. Hernia inguinalis disebut juga hernia
scrotalis bila isi hernia sampai ke scrotum.

Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital


dan hernia didapat atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya seperti
diafragma, inguinal, umbilikal, femoral.

Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia reponibel bila isi hernia
dapat keluar masuk. Bila isi kantong hernia tidak dapat dikembalikan ke dalam
rongga disebut hernia ireponibel. Hernia eksterna adalah hernia yang menonjol ke
luar melalui dinding perut, pinggang atau perineum. Hernia interna adalah
tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu lobang dalam rongga perut
seperti Foramen Winslow, resesus rektosekalis atau defek dapatan pada
mesentrium umpamanya setelah anastomosis usus.

Hernia disebut hernia inkarserata atau hernia strangulata bila isinya terjepit
oleh cincin hernia sehingga isi kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke
dalam rongga perut. Akibatnya, terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Secara
klinis hernia inkarserata lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan
gangguan pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai hernia
strangulate.

Hernia yang melalui annulus inguinalis abdominalis (lateral/internus) dan


mengikuti jalannya spermatic cord di canalis inguinalis serta dapat melalui anulus
inguinalis subcutan (externus), sampai scrotum

Hernia yang paling sering terjadi (sekitar 75% dari hernia abdominalis)
adalah hernia inguinalis. Hernia inguinalis dibagi menjadi: hernia inguinalis
indirek (lateralis), di mana isi hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui
locus minoris resistence (annulus inguinalis internus); dan hernia inguinalis direk
(medialis), di mana isi hernia masuk melalui titik yang lemah pada dinding
belakang kanalis inguinalis. Hernia inguinalis lebih banyak terjadi pada pria
daripada wanita, sementara hernia femoralis lebih sering terjadi pada wanita.

Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena


sebab yang didapat. Faktor yang dipandang berperan kausal adalah prosesus
vaginalis yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut, dan kelemahan
otot dinding perut karena usia. Tekanan intra abdomen yang meninggi secara
kronik seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai
hernia inguinalis.
Gambar. Hernia Inguinalis

Hernia juga mudah terjadi pada individu yang kelebihan berat badan,
sering mengangkat benda berat, atau mengedan. Jika kantong hernia inguinalis
lateralis mencapai scrotum maka disebut hernia skrotalis. Hernia ini harus
dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat
dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.
Gambar . Hernia scrotalis yang berasal dari hernia inguinalis
indirek

2.2.5.2 PENYEBAB
Masih menjadi kontroversi mengenai apa yang sesungguhnya menjadi
penyebab timbulnya hernia inguinalis. Disepakati adanya 3 faktor yang
mempengaruhi terjadinya hernia inguinalis yaitu meliputi:

1. Processus vaginalis persistent


Hernia mungkin sudah tampak sejak bayi tapi kebanyakan baru
terdiagnosis sebelum pasien mencapai usia 50 tahun. Sebuah analisis
dari statistik menunjukkan bahwa 20% laki-laki yang masih
mempunyai processus vaginalis hingga saat dewasanya merupakan
predisposisi hernia inguinalis

2. Naiknya tekanan intra abdominal secara berulang


Naiknya tekanan intra abdominal biasa disebabkan karena
batuk atau tertawa terbahak-bahak, partus, prostat hipertrofi,
vesiculolitiasis, carcinoma kolon, sirosis dengan asites, splenomegali
massif merupakan factor resiko terjadinya hernia inguinalis.
Pada asites, keganasan hepar, kegagalan fungsi jantung,
penderita yang menjalani peritoneal dialisa menyebabkan peningkatan
tekanan intra abdominal sehingga membuka kembali processus
vaginalis sehingga terjadi hernia indirect.

3. Lemahnya otot-otot dinding abdomen

2.2.5.3 PEMERIKSAAN HERNIA


Inspeksi Daerah Inguinal dan Femoral

Meskipun hernia dapat didefinisikan sebagai setiap penonjolan


viskus, atau sebagian daripadanya, melalui lubang normal atau abnormal,
90% dari semua hernia ditemukan di daerah inguinal. Biasanya impuls
hernia lebih jelas dilihat daripada diraba.

Pasien disuruh memutar kepalanya ke samping dan batuk atau


mengejan. Lakukan inspeksi daerah inguinal dan femoral untuk melihat
timbulnya benjolan mendadak selama batuk, yang dapat menunjukkan
hernia. Jika terlihat benjolan mendadak, mintalah pasien untuk batuk lagi
dan bandingkan impuls ini dengan impuls pada sisi lainnya. Jika pasien
mengeluh nyeri selama batuk, tentukanlah lokasi nyeri dan periksalah
kembali daerah itu.

Pemeriksaan Hernia Inguinalis

Palpasi hernia inguinal dilakukan dengan meletakan jari pemeriksa


di dalam skrotum di atas testis kiri dan menekan kulit skrotum ke dalam.
Harus ada kulit skrotum yang cukup banyak untuk mencapai cincin
inguinal eksterna. Jari harus diletakkan dengan kuku menghadap ke luar
dan bantal jari ke dalam. Tangan kiri pemeriksa dapat diletakkan pada
pinggul kanan pasien untuk sokongan yang lebih baik.

Telunjuk kanan pemeriksa harus mengikuti korda spermatika di


lateral masuk ke dalam kanalis inguinalis sejajar dengan ligamentum
inguinalis dan digerakkan ke atas ke arah cincin inguinal eksterna, yang
terletak superior dan lateral dari tuberkulum pubikum. Cincin eksterna
dapat diperlebar dan dimasuki oleh jari tangan.

Dengan jari telunjuk ditempatkan pada cincin eksterna atau di


dalam kanalis inguinalis, mintalah pasien untuk memutar kepalanya ke
samping dan batuk atau mengejan. Seandainya ada hernia, akan terasa
impuls tiba-tiba yang menyentuh ujung atau bantal jari penderita. Jika ada
hernia, suruh pasien berbaring terlentang dan perhatikanlah apakah hernia
itu dapat direduksi dengan tekanan yang lembut dan terus-menerus pada
massa itu. Jika pemeriksaan hernia dilakukan dengan perlahan-lahan,
tindakan ini tidak akan menimbulkan nyeri.

Setelah memeriksa sisi kiri, prosedur ini diulangi dengan memakai


jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan. Sebagian pemeriksa lebih
suka memakai jari telunjuk kanan untuk memeriksa sisi kanan pasien, dan
jari telunjuk kiri untuk memeriksa sisi kiri pasien. Cobalah kedua teknik
ini dan lihatlah cara mana yang anda rasakan lebih nyaman.

Jika ada massa skrotum berukuran besar yang tidak tembus cahaya,
suatu hernia inguinal indirek mungkin ada di dalam skrotum. Auskultasi
massa itu dapat dipakai untuk menentukan apakah ada bunyi usus di dalam
skrotum, suatu tanda yang berguna untuk menegakkan diagnosis hernia
inguinal indirek.

Transluminasi Massa Skrotum

Jika anda menemukan massa skrotum, lakukanlah transluminasi.


Di dalam suatu ruang yang gelap, sumber cahaya diletakkan pada sisi
pembesaran skrotum. Struktur vaskuler, tumor, darah, hernia dan testis
normal tidak dapat ditembus sinar. Transmisi cahaya sebagai bayangan
merah menunjukkan rongga yang mengandung cairan serosa, seperti
hidrokel atau spermatokel.

2.2.5.4 PENATALAKSANAAN PADA HERNIA


Pengobatan operatif merupakan satu-satunya pengobatan hernia
inguinalis yang rasional. Tujuan dari operasi adalah reposisi isi hernia,
menutup pintu hernia untuk menghilangkan LMR, dan mencegah residif
dengan memperkuat dinding perut. Prinsip dasar operasi hernia terdiri dari
herniotomy, hernioraphy, dan hernioplasty.

Pada herniotomy dilakukan pembebasan kantong hernia sampai ke


lehernya, kantong dibuka dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan,
kemudian direposisi ke cavum abdomen seperti semula. Kantong hernia
dijahit-ikat setinggi mungkin lalu dipotong. Pada hernioraphy leher hernia
diikat dan digantungkan pada conjoint tendon (pertemuan m. transverses
internus abdominis dan m. obliqus intenus abdominis). Pada hernioplastik
dilakukan tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.

Pada bayi dan anak-anak dengan hernia kongenital lateral yang


faktor penyebab adanya prosesus vaginalis yang tidak menutup sedangkan
anulus inguinalis internus cukup elastis dan dinding belakang kanalis
cukup kuat, hanya dilakukan herniotomi tanpa hernioplastik.

Pada operasi hernia inguinalis, ada 3 prinsip yang harus


diperhatikan, yaitu eksisi kantong hernia, ligasi tinggi kantong hernia, dan
repair dinding kanalis inguinalis.

Tehnik operasi

 Insisi inguinal 2 jari medial SIAS sejajar ligamentum inguinal ke


tuberculum pubicum
 Insisi diperdalam sampai tampak aponeurosis MOE → tampak crus
medial dan lateral yg merupakan annulus eksternus
 Aponeurosis MOE dibuka kecil dengan pisau, dengan bantuan pinset
anatomis dan gunting dibuka lebih lanjut ke cranial sampai annulus
internus dan ke kaudal sampai membuka annulus inguinal eksternus.
 Funiculus dibersihkan, kemudian digantung dengan kain kasa dibawa
ke medial, sehingga tampak kantong peritoneum
 Peritoneum dijepit dengan 2 pinset → dibuka → usus didorong ke
cavum abdomen dengan melebarkan irisan ke proksimal sampai leher
hernia. Kantong sebelah distal dibiarkan
 Leher hernia dijahit dengan kromik → ditanamkan di bawah conjoint
tendon dan digantungkan.
 Selanjutnya dilakukan hernioplasty secara:
Ferguson

Funiculus spermaticus ditaruh disebelah dorsal MOE dan MOI


abdominis MOI dan transverses dijahitkan pada ligamentum inguinale dan
meletakkan funiculus di dorsalnya, kemudian aponeurosis MOE dijahit
kembali, sehingga tidak ada lagi kanalis inguinalis.

Bassini

MOI dan transverus abdominis dijahitkan pada ligamentum inguinal,


funiculus diletakkan disebelah ventral → aponeurosis MOE tidak dijahit,
sehingga kanalis inguinalis tetap ada. Kedua musculus berfungsi
memperkuat dinding belakang canalis sehingga LMR hilang

Halsted

Dilakukan penjahitan MOE, MOI dan m. transverses abdominis,


untuk memperkuat / menghilangkan LMR. Funiculus spermaticus
diletakkan di subkutis.
Tehnik operasi terbaru pada hernia inguinalis adalah menggunakan
mesh, suatu materi prostese yang digunakan untuk memperkuat otot-otot
di region inguinalis sehingga mengurangi timbulnya residif.

Keuntungan pemakaian mesh antara lain:

 Aman, terutama pada pasien dengan penyakit penyerta kronik


 Efektif dan kuat
 Penyembuhan berlangsung lebih cepat
 Nyeri pasca operasi minimal
 Jarang menimbulkan komplikasi
BAB III
LAPORAN KASUS

ANAMNESA PRIBADI
Nama : Bindu Sianturi
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Laki laki
Agama : Kristen
Suku : Batak
BB : 58 kg
No RM : 88 – 10 - 36

ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan utama : Benjolan pada testis kanan
Telaah :
Pasien mengatakan hal ini dialami os Sejak SD (Sekolah dasar). Awalnya
benjolan tersebut kecil. Namun tidak mengganggu dan benjolan bersifat hilang
timbul. Dialami sejak ± 1 minggu ini, benjolan tidak dapat kembali dan
mengganggu aktivitas. Benjolan tidak nyeri dan tidak merah. Nafsu makan pasien
baik, berat badan tidak pernah menurun. BAB dan BAK Dalam Batas Normal.
Pasien tidak merasa mual dan muntah.
Sebelumnya Os sering berobat ke dokter untuk mengobati penyakitnya
dan diberikan obat minum, namun menurut os, tidak ada perubahan yang berarti
dari penyakitnya.

RPT :-
RPO : Tidak jelas
KEAADAAN PRA BEDAH
Status Present
Sensorium : Compos mentis
KU/KP/KG : Sedang /sedang/ sedang
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
Frekuensi nafas : 20 x/i
Temperatur : 36.7oC
Anemis : (-)
Ikterik : (-)
Sianosis : (-)
Dipsnoe : (-)
Oedem : (-)

Status Lokalisata
a. Kepala
Mata : RC (+/+), pupil isokor, konjungtiva palpebra inferior anemis(-/-),
ikterik (-/-)
Hidung : Secret (+)
Telinga : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : SP = vesikuler
ST = (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) Normal
e. Ekstremitas superior : Tidak terdapat kelainan
f. Ekstremitas inferior : Tidak terdapat kelainan
g. Genitalia eksterna : Status lokalis
Regio inguinalis medialis Dextra :

Inspeksi: terdapat benjolan di bawah lig.inguinale, diameter 8 cm x 4 cm,


permukaan rata, warna sesuai warna kulit, tidak kemerahan.

Palpasi: tidak teraba hangat, kenyal, batas atas tidak jelas, tidak dapat
dimasukkan, transluminasi (-), tidak nyeri.

Auskultasi : bising usus (+).

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (tanggal 10 februari 2016)

Hb 16,3 g/dL
Hct 47,7 %
Leukosit 8270 u/L
Trombosit 243.000 u/L
KGD ad random 91 mg/dL
Natrium 143 mmol/L
Kalium 4,10 mmol/L
Klorida 110 mmol/L
SGOT 21 U/L
SGPT 24 U/L
Ureum 14 mg/dL
Creatinin 0,75 mg/dL
Rontgen ( Tanggal 5 Desember 2016) : Tidak tampak kelainan radiologis pada cor
dan pulmo

EKG ( Tanggal 5 Desember 2016) : Sinus ritme 80x/i, Toleransi operasi Low
Risk

CT – SCAN : Tidak dilakukan pemeriksaan

USG : Tidak dilakukan pemeriksaan

KEADAAN PRA BEDAH (FOLLOW UP ANESTESI)


B1 (Breath)
Airway : Clear
Frekuensi pernafasan : 20 x/i
Suara pernafasan : Vesikuler
Suara tambahan : (-)
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi: -/-/-/-

B2 (Blood)
Akral : Hangat/merah/kering
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Frekuensi nadi : 80 x/i
T/V : Cukup
Temperatur : 36.5oC
Konj.palp inferior pucat/hiperemis/ikterik :-/-/-

B3 (Brain)
Sensorium :Compos mentis
RC : +/+
Pupil : Isokor
Reflek fisiologis :+
Reflek patologis :-
Riwayat kejang/ muntah proyektil/ nyeri kepala/ pandangan kabur : -/ -/ -/ -

B4 (Bladder)
Urine :+
Volume : Cukup
Warna : Kuning
Kateter :-

B5 (Bowel)
Abdomen : Soepel
Peristaltic : (+) Normal
Mual/Muntah : +/+
BAB/Flatus : +/+
NGT :-

B6 (Bone)
Fraktur :-
Luka bakar :-
Oedem :-

Diagnosis : HERNIA INGUINALIS MEDIALIS DEXTRA


Status fisik : ASA I
Rencana tindakan : HERNIORAPHY
Rencana anestesi : SPINAL

Anestesi
Persiapan pasien
Pasien puasa sejak pukul 00.00 wib
Pemasangan infus pada dorsum manus sinistra dengan cairan RL
Persiapan alat
 Stetoskop
 Tensimeter
 Meja operasi dan perangkat operasi
 Infus set
 Abocath no 18 G
 Threeway
 Spuit 3cc
 Spuit 5cc

Obat – obat yang dipakai


- Premedikasi :
o Bupivacain 20 mg
- Medikasi :
o Fentanyl 10 mcg
- Sebelum operasi selesai :
o Ketorolac 30 mg
o Ondansetron 4 mg

Urutan pelaksanaan anastesi


- Cairan pre operasi :RL 500 ml
- Prosedur anastesi :
 Pasien dibaringkan di meja operasi dalam posisi supine
 Infuse RL terpasang di lengan kiri
 Pemasangan tensi meter di lengan kanan
 Pemasangan oksimetri di ibu jari kanan pasien
 Pemasangan elektrodapengukuran frekuensi nadi dan frekuensi nafas

Teknik anastesi : Identifikasi L3-4  Desinfeksi dengan Povidon iodin 10% +


alkohol 70%  Insersi spinocain 25 G  CSF (+), Barbotase (+), Injeksi
Bupivacain 20 mg  atur tinggi blok
DURANTE OPERASI
1. Mempertahankan hemodinamik stabil dan monitoring cairan infuse.
2. Memonitoring saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan napas setiap 15 menit.

Jam TD Nadi RR SaO2


(mmHg) (x/menit) (x/menit) (%)
09.30 120/80 80 20 100%
09.45 130/80 82 18 100%
10.00 130/70 86 20 100%
10.00 120/80 84 20 100%
10.15 130/80 80 20 100%
10.30 130/70 88 20 100%
10.45 120/80 80 20 100%

3. Monitoring perdarahan
- Perdarahan
Kassa`basah : 0 x 10 cc = 0 cc
Kassa ½ basah : 4x 5cc = 20 cc
Suction : 80 cc
Handuk :-
Total :100 cc
Infuse RL o/t regio dorsum manus sinistra
Pre operasi : RL 500 ml
Durante operasi : RL 500 ml
Urine output
Durante operasi : 50 cc
EBV : 70 x 58 = 4060 cc
EBL 10% = 406 cc, 20% = 812 cc, 30% =1218 cc
KETERANGAN TAMBAHAN
- Diagnosis pasca bedah : Post Hernioraphy a/i Hernia inguinalis
lateralis medialis dextra.
- Lama anastesi : 09.30 – 10.45 wib
- Lama operasi : 09.25 – 10.50 wib

Instruksi Pasca Bedah :


 Bed rest
 Injeksi Ketorolac 30 mg/ 8 jam
 Injeksi Ondansetron 4 mg/12 jam
 Antibiotik dan terapi lain sesuai TS
 O2 1-2 l/i
 Pantau vital sign per 15 menit selama 2 jam di RR
 Cek Hb post operasi, bila Hb < 7 lapor ke dokter jaga
 TD sistol <90 mmHg atau >160 mmHg, diastole <60 mmHg atau >110
mmHg, HR <60x/i atau HR>120 x/i, RR<10 x/i atau >32x/i, T < 35 oC,
atau > 38 oC, lapor dokter jaga
 Pantau urin output, bila <0,5 cc/kgBB/jam, lapor dokter jaga
 Jangan duduk atau berdiri selama 24 jam setelah operasi.
KESIMPULAN
Anestesi adalah suatu keadaan depresi dari pusat – pusat saraf tertentu
yang bersifat reversibel dimana seluruh perasaan dan kesadaran hilang. Anestesi
terbagi atas tiga teknik yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal.
Anestesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri
dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Anestesi regional memiliki
berbagai macam teknik penggunaan, salah satu teknik yang dapat diandalkan
adalah melalui tulang belakang atau anestesi spinal. Anestesi spinal adalah
pemberiaan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachoid. Anestesi spinal
diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah panggul, tindakan
sekitar rektum dan perineum. Bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi dan
bedah abdomen bawah dan operasi orthopedi ekstremitas inferior.

Anda mungkin juga menyukai