1.1 SEKILAS TENTANG BAHAN AHAN BAKAR PADA PEMBANGKIT LISTRIK 1.1.1 Batubara .
Pengertian umumnya adalah Batu bara atau batubara adalah salah satu bahan bakar
fosil. batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik yaitu
sisa-sisa sisa sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses pembatubaraan. Unsur-
unsur utamanya terdiri dari karbon karbon, hidrogen dan oksigen. . Batu bara juga
adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat sifat sifat fisika dan kimia yang
kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Berdasarkan tingkat proses
pembentukannya yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya
dibagi dalam lima kelas: antrasit, bituminus, sub-bituminus, bituminus, lignit dan
gambut.
•
Antrasit adalah kelas as batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86%-98% 98% unsur karbon (C) dengan kadar air
kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68% 68%-86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8%-10% 8% dari
beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh karenanya menjadi
sumber panas yang kurang efisien dibandingkan dengan bituminus.
Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air
35% 35%75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah.
Kelas batubara yang banyak dipakai sebagai bahan bakar adalah kelas Sub Bituminus
dan Bituminus. Batubara yang digunakan di PLTU Paiton selama ini semuanya masuk
kedalam kategori kelas Sub Bituminus.
Fuel Handling
1
Batubara adalah bahan bakar padat yang mengandung abu, oleh karena itu pemanfaatan
batubara akan melibatkan biaya tinggi untuk alat yang diperlukan bagi penanganan
(coal handling) dan pembakaran batubara. Itu semua bertujuan untuk mengeliminir
debu dan abu.
1.1.2 Bahan Bakar Minyak Minyak mentah merupakan campuran yang amat kompleks yang
tersusun da dari berbagai senyawa hidrokarbon. Di dalam kilang minyak, minyak
mentah akan mengalami sejumlah proses yang akan memurnikan rnikan dan mengubah
struktur serta komposisinya sehingga diperoleh produk yang bermanfaat. Distilasi
atau penyulingan adalah suatu suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan
perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan,
campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali
kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik k didih lebih ren rendah
akan menguap lebih dulu. Dari proses distilasi pada kilang minyak ini akan
dihasilkan produk-produk produk utama berupa : • • • • • • LPG (Liquified Petroleum
Gas Minyak bensin (gasoline) Minyak tanah (kerosene) Minyak diesel Minyak residu
(residual fuel) Kokas (coke) dan aspal
Fuel Handling
2
Gambar 1.2 Produk dari pengolahan minyak
1. High Speed Diesel (HSD) High speed diesel atau minyak solar merupakan hasil dari
distilasi fraksi minyak bumi. dihasilkan dari distilasi fraksional minyak mentah
antara 200 ° C dan 350 ° C pada tekanan atmosfer Jenis bahan bakar ini banyak
digunakan pada kendaraan bermotor di jalan hingga kapal laut yang membutuhkan daya
yang besar. Berbeda dengan minyak bensin, mesin yang menggunakan minyak solar tidak
memerlukan pengapian untuk membakarnya. membakarnya. Mesin diesel akan memampatkan
udara diruang bakar yang akan menaikkan suhu dan tekanan (rasio kompresi 14:1-18:1
1 yang umum di diesel saat ini). ini) Karakteristik dari minyak solar adalah
kekentalan akan meningkat dengan cepat seiring menurunnya temperatur dari bahan
bakar tersebut, minyak inyak solar akan menjadi gel padat pada suhu -190C atau
-150C. Minyak solar menghasilkan emisi gas buang yang lebih rendah dari pada minyak
bensin dan menghasilkan nilai ekonomis bahan bakar yang lebih tinggi dikarenakan
dikarenakan minyak solar memiliki kandungan energi yang lebih besar per liternya
dari pada minyak bensin.
2. Residual Oil (RO) Residu minyak bumi merupakan produk samping kilang kilang
minyak yang murah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Pada pengilangan minyak
mentah diumpankan ke dalam kolom distilasi atmosferik, sehingga menghasilkan
beberapa fraksi minyak dengan rentang titik didih yang berbeda. Fraksi ringan
dimanfaatkan untuk bahan bakar, sementara fraksi berat (aliran bottom) yang berupa
residu, biasanya dijual dengan harga yang sangat murah. Komposisi residu
dipengaruhi oleh jenis minyak dan jenis proses pemurnian (refinery) yang digunakan.
Jumlah dan sifat residu yang dihasilkan dari tiap minyak mentah akan berbeda..
Fuel Handling
3
Berdasarkan strukturnya, senyawa hidrokarbon dalam minyak bumi terbagi atas empat
kategori utama, yaitu parafinik, naphtenik, aromatik dan olefin. Ikatan parafin
dominan terdapat dalam gasoline dan kerosene (mixed-base petroleum) sedangkan
ikatan naftenik dominan terdapat dalam gas oil dan lubricating oil. Sementara itu
residu sendiri mengandung komponen naftenik, aromatik, dan hidrokarbon tak jenuh.
1.2 SEKILAS TENTANG MATERIAL HANDLING EQUIPMENT Peralatan Penanganan Material atau
material handling equipment adalah semua peralatan yang berhubungan langsung dengan
perpindahan, penyimpanan, pengendalikan engendalikan, perlindungan bahan, barang
dan produk selama proses berlangsung, distribusi, konsumsi dan pembuangan.
Penanganan enanganan material dalam jumlah yang tepat dari material yang sesuai,
dalam kondisi yang baik, pada ada tempat yang cocok, pada waktu yang tepat, pada
posisi yang benar, dalam urutan yang sesuai, dengan biaya yang murah dan
menggunakan metode yang benar. Beberapa tujuan dari material handling equipment
adalah : • • • • • • Menjaga atau mengembangkan kualitas produk, mengurangi
kerusakan dan memberikan perlindungan terhdap material. Meningkatkan keamanan dan
mengembangkan kondisi kerja Meningkatkan eningkatkan produktivitas Meningkatkan
tingkat penggunaan fasilitas Mengurangi bobot mati Sebagai ebagai pengawasan
persediaan Peralatan Penanganan enanganan Material adalah peralatan mekanik yang
terlibat dalam sistem secara keseluruhan. Peralatan penanganan material umumnya
dipisahkan ke dalam empat kategori utama: penyimpanan dan perlakuan, , sistem
rekayasa, truk industri, dan bulk material l handling.
Fuel Handling
4
Gambar 1. 1.3 Storage & Handling Equipment
Engineered systems Sistem istem rekayasa adalah sistem penanganan material yang
direkayasa sesuai dengan kebutuhan dari industri tersebut. Peralatan yang termasuk
adalah conveyor, handling r robot, AS/RS, AGV dan sistem penanganan material
otomatis lainnya. Sistem rekayasa merupakan kombinasi dari beberapa peralatan yang
terintegrasi dalam d satu sistem.
Fuel Handling
5
Gambar 1.5 Industrial truck
Bulk material handling Bulk material handling adalah bidang teknik yang menangani
desain peralatan yang digunakan untuk pengangkutan bahan dalam bentuk curah. Hal
ini juga dapat berhubungan dengan penanganan limbah campuran. Bulk sistem
penanganan material biasanya terdiri dari belt conveyor, stackers, reclaimers,
bucket lift, shiploaders, unloaders dan hopper & diverters dikombinasikan dengan
fasilitas penyimpanan seperti tempat penyimpanan coalyard atau stock pile dan silo.
Tujuan dari fasilitas penanganan material curah umumnya untuk mengangkut material
dari suatu s sumber ke tujuan akhir dimana material itu akan digunakan. digunakan
Bulk material handling dapat ditemukan di lokasi tambang, pelabuhan (untuk memuat
atau membongkar material curah) ) dan fasilitas pengolahan (seperti besi dan baja,
pembangkit listrik lis berbahan bakar batubara).
Conveyor Sistem conveyor adalah bagian dari material handling equipment yang
memindahkan bahan dari satu lokasi ke lokasi lain yang paling sering digunakan.
digunakan Conveyor sangat berguna untuk pengangkutan bahan berat atau besar.
Conveyor memungkinkan sistem transportasi cepat dan
Fuel Handling
6
efisien untuk berbagai bahan, yang membuatnya membuat sangat banyak digunakan dalam
penanganan material dan industri kemasan. Terdapat banyak b jenis dari conveyor
system yang tersedia, dan digunakan sesuai dengan berbagai kebutuhan industri yang
berbeda.
Pada buku ini akan dijelaskan penanganan batubara, debu dan abu serta penanganan
bahan bakar minyak yang berlaku pada PT Pembangkitan Jawa Bali. Penanganan batubara
dimulai pada saat batubara yang telah dipesan datang dilokasi pembongkaran yang
ditentukan sebelumnya hingga batubara digunakan pada proses produksi dan d
dihasilkan ihasilkan produk samping berupa debu dan abu. Pada buku ini juga akan
dijelaskan penanganan bahan bakar minyak.
Fuel Handling
7
BAB II COAL HANDLING SYSTEM
Secara umum penanganan batubara melalui tahapan berikut ini. Setelah batubara
unloading dari sistem pengiriman yang digunakan dengan menggunakan ship unloader,
batubara akan ditimbun pada stock pile melalui serangkaian belt conveyor dan
selanjutnya akan dicurahkan melalui telescopic chute atau bucket wheel / stacker
reclaimer. Dengan bantuan alat berat seperti bulldozer batubara ditata saat
penimbunan. Ketika akan digunakan batubara akan diarahkan oleh bulldozer ke
reclaimer hopper atau bucket wheel akan mengeruk batubara untuk selanjutnya
ditransfer dengan menggunakan belt conveyor ke silo penampungan pada furnace.
Selanjutnya batubara akan dihancurkan pada mill/pulveriser sebelum digunakan
sebagai bahan bakar furnace. Penjelasan mengenai peralatan coal handling system
akan dijelaskan lebih lanjut pada sub bab berikutnya.
Fuel Handling
8
Secara umum instalasi penanganan bahan bakar batubara dapat dibagi menjadi beberapa
bagian utama yaitu : 1. Sarana pembongkaran batubara 2. Sarana penimbunan dan
pengerukan batubara 3. Sarana pemindahan batubara 4. Sarana penampungan sementara
batubara sebelum dibakar Masing-masing masing bagian ini memiliki peranan yang
saling berkaitan dan akan saling mempengaruhi satu sama lain apabila terganggu.
2.1 INSTALASI PEMBONGKARAN BATUBARA Untuk memenuhi kebutuhan batubara untuk proses
produksi, maka pengiriman batubara ke lokasi PLTU dilakukan dengan tiga cara
yaitu : a. Melalui angkutan laut : Tongkang, Kapal laut b. Melalui angkutan darat :
Kereta api c. Langsung melalui rangkaian conveyor, cara ini dilakukan apabila
lokasi PLTU dekat dengan lokasi sumber batubara. Untuk memenuhi kebutuhan batubara
dalam jumlah besar, maka pengiriman dengan kapal laut merupakan pilihan utama.
Meskipun demikian pengiriman batubara dapat dilakukan dengan kombinasi dari cara-
cara tersebut.
Gambar 2.2 Kapal tongkang batubara dan ship unloader di pelabuhan di UP Paiton 1
dan 2
Untuk batubara yang dikirim melalui laut instalasi pembongkaran terdiri dari
dermaga yang dilengkapi dengan ship unloader. Bucket berfungsi untuk mengeruk
batubara dari lambung kap kapal, hopper akan menampung sementara batubara dari
penangkap/bucket. Dari hopper batubara
Fuel Handling
9
digetarkan oleh vibrating feeder dan akan diteruskan ke belt conveyor. Vibrating
feeder berguna agar batubara dari hopper tidak menyumbat dan dapat berjalan dengan
lancar, konstan dan merata tidak menumpuk saat menuju belt conveyor. Melalui belt
conveyor batubara akan d dipindahkan ke lokasi penimbunan atau ke silo.
Gambar 2.3 Bucket, hopper dan vibrating feeder pada ship unloader di UP Paiton 1
dan 2
Bagian-bagian pada ship unloader 1. Gantry system: Sistem penggerak Ship unloader
ke arah depan dan belakang sepanjang rel. Dilengkapai 2 rail claim untuk mengunci
posisi Ship unloader. Dikontrol oleh GMFC (Gantry Motor Field Control) 2. Trolley
system: utara Sistem penggerak bucket ke arah kanan dan kiri (arah utara-selatan)
3. Close home position system: Sistem untuk mengatur membuka/ menutupnya bucket. 4.
Boom system: Sistem untuk mengatur posisi kemiringan boom (konstruksi tempat
bergantungnya bucket & kabin operator). 5. Hold home position system: Sistem
penggerak bucket dalam arah vertikal (ke atas & bawah). Apabila kapal tersebut
dilengkapi dengan perlengkapan pembongkaran batubara (continous ship unloader) maka
coal jetty crane hanya berfungsi sebagai peralatan cadangan.
2.1.2 Pembongkaran Batubara Melalui Darat Selain melalui laut, batubara juga
didistribusikan melalui jalur darat dengan menggunakan kereta api ataupun dengan
menggunakan truk. PT. PJB tidak menggunakan pengangkutan batubara
Fuel Handling
Untuk batubara yang dikirim menggunakan kereta api, instalasi pembongkaran terdiri
dari stasiun pembongkaran yang memiliki fasilitas antara lain : Hopper sebagai
tempat penampungan batubara sementara. Tonggak pengait berfungsi untuk membuka
pintu-pintu pintu pintu gerbong, diletakkan diujung deretan hopper. Peralatan
penimbang batubara yang ada dalam gerbong. Terdapat dua tipe ti yaitu tipe mekanik
dan tipe electromagnet.
2.1.3 Pemeriksaan Batubara Pada tahap ini juga dilakukan pemeriksaa pemeriksaan
terhadap batubara yang datang untuk selanjunya dilakukan analisa laboratorium.
Gambar 2.5 Tempat pengambilan sampel pada hopper ship unloader di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling
11
Pemeriksaan batubara ini meliputi : 1. Pemeriksaan kuantitas batubara (supervision
of weighing) dengan menggunakan conveyor belt weigher/belt scale pada fasilitas
penimbangan batubara di pelabuhan untuk setiap pengiriman. 2. Apabila conveyor belt
weigher di pelabuhan bongkar belum atau tidak dapat digunakan, maka pemeriksaan
kuantitas dilakukan di pelabuhan bongkar dengan draught survey kapal pengangkut
dengan catatan kapal yang bersangkutan harus dilengkapi dengan ship’s particular
dan hydrostatic curves. 3. Pemeriksaan kualitas batubara meliputi : a. Mengambil
contoh (sampling) sesuai dengan metode ASTM D 2234 b. Preparasi batubara dengan
metode ASTM D 2013 2013, yaitu menyiapkan batubara untuk analisa lanjutan,
sekaligus menghitung kadar air batubara (air dried loss). c. Melaksanakan sizing
ASTM D 4749 d. Melakukan analisa sampel batubara Total moisture ASTM D 3302 Air
dryed moisture ASTM D 3302 Ash content ASTM D 3174
Volatile matter ASTM D 3175 Fixed carbon ASTM D 3172 Total sulphur ASTM D 4239/D
3177 Calorific value ASTM D 5865 Hardgrove grandibility index ASTM D 409 4.
Melakukan analisa atas composite sample yang diambil dari setiap 250.000 ton pada
lokasi penambangan terdiri dari pekerjaan : Ultimate analysis Ash analysis
Fusibility temperatures Hardgrove grandibility index Relative density
Fuel Handling
12
2.2 INSTALASI PENIMBUNAN DAN PENGERUKAN BATUBARA Batubara yang telah melalui proses
pembongkaran dengan menggunakan ship unloader dapat dipindahkan dari lokasi
pembongkaran langsung ke silo untuk langsung diproses untuk digunakan atau disimpan
di lokasi penimbunan atau stock pile/coal yard. Instalasi pemindahan batubara akan
dibahas pada sub bab selanjutnya. Penimbunan dilakukan terkait dengan ketersediaan
minimum batubara yang telah ditetapk ditetapkan agar produksi listrik tetap
berjalan lancar tidak terganggu dengan kurangnya bahan bakar. Lokasi penimbunan
biasanya berupa lahan terbuka yang cukup luas, terbagi menjadi dua yaitu timbunan
untuk batubara high rank dan low rank. Batubara ditimbun dengan penampang berbentuk
trapesium dengan ketinggian maksimum sekitar 12 meter. Ketika batubara akan
digunakan sebagai bahan bakar maka akan dilakukan pengerukan batubara dari stock
pile/coal yard untuk kemudian ditransfer dengan instalasi instalasi pemindahan
batubara. Berdasarkan peralatan yang digunakan, instalasi penimbunan dan pengerukan
batubara dibagi menjadi dua metode, yaitu : 1. Telescopic chute, bulldozer,
reclaimer hopper 2. Bucket Wheel
Fuel Handling
13
yang memiliki sudut kemiringan (inclined) sehingga dapat mencapai ketinggian yang
sudah ditentukan.
Pada bagian ujung belt conveyor ini dipasang telescopic chute, konstruksi dari
telescopic chute merupakan chute yang memiliki saluran berbentuk silinder
teleskopik yang akan mencurahkan batubara dari atas ke bawah, peralatan ini
berfungsi untuk mengurangi terbentuknya debu akibat dari pencurahan batubara dari
ketinggian. Diujung silinder teleskopik ini dipasang sensor sen seperti limit
switch, apabila sensor mengenai timbunan batubara maka akan memicu motor listrik
bergerak memutar kawat sling sehingga telescopic chute akan bergerak seperti
menggulung keatas.
Fuel Handling
14
Setelah telescopic chute mencurahkan batubara maka dibutuhkan bulldozer untuk
meratakan dan menyebarkan batubara ini menjadi sebuah timbunan yang bentuknya sudah
ditetapkan. Selain itu bulldozer digunakan untuk mengarahkan batubara masuk ke
reclaimer hopper pada saat pengerukan batubara yang akan digunakan sebagai bahan
bakar pada furnace. Pada unit pembangkitan Paiton, terdapat 6 buah bulldozer yang
bekerja secara bersama-sama. sama. Sebagai contoh pada PLTU Paiton Pai terdapat
beberapa jenis bulldozer yaitu : • • • Dua unit bulldozer merk Caterpillar
kapasitas 16 Ton Dua unit bulldozer merk Dresser kapasitas 16 Ton Dua unit
bulldozer merk Dresser kapasitas 8 Ton
hopper
Vibrating feeder
Fuel Handling
15
menimbun batubara juga dapat dipakai untuk pengerukan batubara. Terdiri dari roda
pengeruk dan saluran pencurah yang dipasang pada suatu lengan yang cukup panjang.
Bucket wheel/stacker reclaimer eclaimer dapat berjalan diatas rel yang dipasang di
se sepanjang area penimbunan. Selain itu bucket wheel/stacker reclaimer juga dapat
berputar sampai lebih dari 200o dan roda pengeruk serta roda pencurah dapat
digerakkan naik-turun. naik
pemeliharaan. 2. Dapat melakukan pengerukan secara vertikal 3. Tidak ada waktu yang
terbuang untuk manuver
Fuel Handling
2.2.3 Gangguan dan Pemeliharaan Timbunan Pemanasan dengan sendirinya dari batubara
akibat dari oksidasi dengan oksigen adalah gejala yang umum dan sudah menjadi
konsekuensinya. konsekuensinya. Pembakaran spontan sering terjadi pada tumpukan
yang besar walaupun tindakan pencegahan telah dilakukan. Oleh karena itu pemadatan
dan perataan diseluruh areal penimbunan perlu sekali diperhatikan. Bila kepadatan
batubara dalam timbunan menurun maka aka bahaya kebakaran akan timbul. Dalam
keadaan seperti ini timbunan perlu dipadatkan kembali. Kerusakan permukaan akibat
erosi angin juga akan menimbulkan panas setempat dan penyalaan sendiri. Kelembaban
dan kandungan air akan mempengaruhi derajat oksidasi dan pembakaran. Pengalaman
telah menunjukan bahwa resiko terbesar kerusakan penyimpanan batubara terjadi pada
bulan-bulan bulan dari waktu penimbunan. Bila pemanasan tidak terjadi pada periode
ini pada umumnya timbunan akan aman dari api, tetapi pengawasan yang yan terus-
menerus menerus harus tetap dilakukan. Pemeriksaan harus meliputi : 1) 2) Mengenali
daerah yang panas. Daerah batubara yang berkurang atau diambil.
17
Fuel Handling
3) 4) 5)
Bentuk timbunan yang jelek dan rusak. Permukaan batubara yang tidak rata Erosi
akibat angin dan hujan. Bila dari pengalaman terlihat bahwa timbunan batubara
pernah terbakar maka pengukuran
suhu pada beberapa titik di areal penimbunan harus dilakukan setiap minggu. Tempat
Tempat-tempat yang mempunyai suhu tinggi (lebih panas) dapat diidentifikasi dan
diperlihatkan dengan cer cermat. Ini berarti bahwa timbunan harus dilengkapi dengan
peralatan khusus berupa pipa yang ditanam pada beberapa tempat dimana thermometer
bisa dipasang.
Gambar 2.11 Diagram Alir Coal Handling System di PLTU Paiton Unit 1&2
Fuel Handling
18
batubara akan diproses sebelum dibakar. Peralatan Peralatan-peralatan peralatan
diatas akan dijelaskan pada sub bab berikut.
2.3.1 Belt Conveyor Jenis conveyor yang digunakan pada instalasi pemindahan
batubara adalah tipe belt conveyor. Belt conveyor adalah ban berjalan yang
digunakan untuk mentransfer batubara dari suatu tempat ke tempat lain secara
kontinyu. kontinyu. Merupakan peralatan utama pada sistem coal handling, digunakan
untuk memindahkan batubara dalam jumlah besar, jarak yang jauh dan rate yang
tinggi. Belt conveyor berperan dalam keseluruhan sistem coal handling. Dimulai saat
batubara unloading dari kapal atau kereta api menuju stock pile untuk penimbunan
dan mentranfer batubara dari stock pile menuju silo/bunker pada furnace untuk
digunakan sebagai bahan bakar. Sebagai contoh garis besar rute dari belt conveyor
adalah : Rute 1 : Unloading dari ship hip unloading 1&2 ke stock pile 1&2. Rute 2 :
Loading dari stock pile 2 ke tripper L1&L2. Rute 3 : Loading dari stock pile 1 ke
tripper L1&L2. Rute 4 : Direct unloading dari ship unloading 1&2 ke tripper L1&L2.
Rute 5 : Kombinasi direct unloading ke tripper dan stock pile.
Fuel Handling
19
1. Rangka (Frame) 2. Puli penggerak (Drive pulley) 3. Puli yang digerakkan (Tail
pulley) 4. Puli pengencang (Snub ub pulley) 5. Sabuk (Belt) 6. Rol pembawa
(Carrying roller idler)
8. Rol pemuat (impact idler) 9. Motor penggerak 10. Unit pemuat (Chutes) 11. Unit
pengeluar (Discharge spout) 12. Pembersih sabuk (Belt cleaner) 13. Pengetat sabuk
(Belt take-up) up)
Setiap konstruksi conveyor yang digunakan terdiri dari : 1. Belt Merupakan ban
berjalan yang berfungsi untuk membawa material dan meneruskan gaya. Terbuat dari
karet dengan lebar tertentu.
Belt
Fuel Handling
return idler
4. Impact idler Posisinya persis di bawah chute. Pada bagian luarnya dilapisi
dengan karet dan jarak antara satu sama lain lebih rapat dari carrying idler.
Fungsinya untuk menahan belt agar tidak sobek/rusak akibat batubara yang jatuh dari
atas.
5. Steering idler Merupakan idler yang berfungsi untuk menjaga kelurusan belt agar
tidak bergerak ke
Fuel Handling
7. Fluid coupling Kopling fluida sebagai alat transfer daya dari motor listrik
penggerak ke pulley. Kopling fluida digunakan agar tidak terjadi hentakan saat
motor listrik dinyalakan untuk pertama kali (start up) dan juga dapat menyerap
serta membuang panas.
Fuel Handling
22
Gambar 2.19 Konstruksi Motor, Fluid Coupling, dan Reducer
9. Drive pulley Merupakan pulley yang secara langsung atau tidak langsung terhubung
dengan motor listrik dan dikopling dengan gearbox. Fungsinya untuk memutar belt
menuju ke depan. Posisi drive pulley tidak harus selalu di depan, bisa dipasang
dimana saja yang dianggap memungkinkan. 10. Gravity take up / counter weight dan
Take up pulley Counter weight merupakan erupakan bandul yang terhubung dengan take
up pulley yang berfungsi untuk memberi/menjaga ketegangan belt.
11. Bend pulley Pulley yang berfungsi untuk m menopang belt pada gravity take-up.
Biasanya memiliki dimensi yang lebih besar dari snub pulley.
Fuel Handling
23
12. Head pulley Pulley terakhir yang berada pada ujung depan conveyor. Tidak semua
head pulley dapat dipakai sebagai drive pulley. head pulley yang tidak dapat
dihubungkan dengan drive pulley tidak dapat disebut sebagai drive pulley. 13. Snub
pulley Pulley yang digunakan untuk memperbesar luas bidang kontak antara pulley
dengan belt, agar tidak terjadi slip antara permukaan belt dan pulley. Biasanya
Snub pulley terletak di dekat drive pulley dan tail ail pulley. 14. Tail pulley
Berada di sisi belakang conveyor. Berfungsi untuk memutar kembali Belt Conveyor
menuju ke arah drive pulley. Tail pulley dilengkapi dengan belt cleaner yang
berfungsi untuk mencegah batubara agar tidak masuk ke tail pulley. pada conveyor
jenis light duty, tail puley juga sering dijadikan sebagai take up pulley. 15.
Scrapper (pembersih) Merupakan perangkat yang berfungsi membersihkan material yang
menempel pada belt.
16. Rubber skirt (skirtboard) Merupakan peralatan yang berfungsi mencegah agar
material tidak tumpah keluar dari belt pada saat muat.
Fuel Handling
24
17. V-Plough scrapper Berfungsi untuk membersihkan material yang tertumpah pada
arah balik belt sebelum Gravity take-up pulley, agar tidak ada material atau
batubara yang masuk ke Gravity takeup.
18. Rem berfungsi untuk mencegah conveyor bergerak saat motor dimatikan. Terdapat
dua jenis rem pada conveyor yaitu : o Electromagnet Brake, prinsip kerja rem ini
adalah dengan menekan sepatu rem melawan pegas dengan menggunakan elektromagnet.
Arus listrik yang
o Thrustor Brake, prinsip kerja rem ini adalah ketika motor penggerak berhenti maka
sepatu rem akan menekan secara perlahan karena gaya hidrolik yang melawan gaya
pegas akan berkurang.
Fuel Handling
Pengaman pada Belt Conveyor 1. Pull cord switch Switch pengaman yang dipasang pada
sisi kanan & kiri konveyor yang dilengkapi dengan tali. Bila tali ditarik maka
konveyor akan stop.
Kabel Pull cord switch
Fuel Handling
Belt missalignment
4. Chute plug detector Pendeteksi adanya penyumbatan pada chute conveyor. Berupa
sensor nuclear yang memberikan input pada sistem PLC PLC.
Fuel Handling
27
5. Belt tension switch Pendeteksi eksi bertambah panjangnya belt conveyor, berupa
switch yang dipasang di bawah counter weight/gravity take-up take conveyor. Juga
untuk uk mendeteksi putusnya konveyor.
6. Backstop Berfungsi agar belt conveyor tidak berjalan mundur saat motor
dimatikan. Biasanya terdapat pada belt conveyor yang memiliki sudut kemiringan
tertentu.
7. Interlock Merupakan peralatan pengaman yang akan mematikan seluruh motor listrik
pada belt conveyor pada rute yang berkaitan apabila terdapat satu motor listrik
yang mati atau trip.
Fuel Handling
28
2.3.2 Transfer House
Transfer house adalah tempat perpindahan batubara dari jalur konveyor satu ke
konveyor berikutnya. Hal ini dilakukan terkait dengan rute konveyor yang telah
ditentukan sebelumnya. Dalam suatu sistem coal handling terdapat lebih dari satu
transfer house. Di Digunakan untuk menempatkan peralatan-peralatan peralatan antara
lain: 1. Diverter gate Pemilih arah aliran batu bara yang dikehendaki yaitu arah
kanan atau kiri.
2. Splitter Pemilih aliran batubara bara ke satu arah atau ke dua arah dengan flow
pada masing masing-masing arah dapat diatur.
Fuel Handling
29
3. Transfer chute Berfungsi sebagai pengarah batubara saat batubara ditransfer dari
satu konveyor ke konveyor lainnya.
Transfer Transfer chute chute
Fuel Handling
30
5. Dust suppression Peralatan untuk mengatasi debu batu bara yang timbul dari pada
saat batubara ditransferkan dari satu jalur conveyor ke jalur conveyor berikutnya.
Metode yang dilakukan adalah dengan penyemprotkan cairan berupa air atau bahan
kimia pengikat debu. Penyemprotan dilakukan dengan tekanan tertentu dan debit
cairan tertentu.
Dust suppresion
2.3.3 Tripper Setelah batubara ditransportasikan oleh belt conveyor, batubara akan
ditampung sementara pada silo yang berjumlah lebih dari satu. Tripper terletak
diatas silo penampungan batubara, alat ini akan mengarahkan batubara dari belt
conveyor ini kedalam silo yang dikehendaki. Tripper akan bergerak sepanjang rel
untuk berpindah tempat saat akan mengisi batubara dari satu silo ke silo lainnya.
Fuel Handling
2.3.5 Dust Collector & Silo Ventilation Sistem penanganan debu pada saat dilakukan
pengisian silo. Silo ventilation menyedot debu dari silo, sedangkan Dust Collector
menyedot debu dari dalam ruangan tripper. Masingmasing unit mempunyai satu paket
sistem ini.
Gambar 2.40 Peralatan dust collector & silo ventilation di UP Paiton 1 dan 2
Hopper akan menampung debu yang terkumpul, dari hopper debu ini akan
ditransportasikan oleh screw conveyor kembali kedalam silo.
Fuel Handling
32
Slide gate
Screw conveyor
2.4 COAL HANDLING SEBELUM EBELUM BATUBARA DIBAKAR PADA FURNACE Batubara yang telah
ditampung pada silo akan melewati beberapa proses sebelum dibakar oleh karena itu
pada lokasi pemakaian dilengkapi dengan berbagai peralatan seperti : 1. Coal feeder
2. Mill / Pulverizer
2.4.1 Coal Feeder Coal feeder yang berfungsi untuk mengalirkan batubara yang
berasal dari suatu silo ke dalam mill/pulverizer Coal feeder ini mempunyai
kecepatan yang rendah dengan jarak penghantaran yang relatif pendek. Kecepatannya
dapat diatur sesuai dengan aliran batubara yang dibutuhkan.
Fuel Handling
Coal feeder akan membawa batubara masuk kedalam pulverizer, didalam pulverizer
batubara akan dihaluskan serta diberikan udara panas hingga suhu tertentu sebelum
dibakar didalam furnace pada boiler. Pada sistem atau proses pulverizing atau
proses penumbukkan dari batu bara terdiri dari tiga proses utama yakni : a. Proses
feeding atau pemberian makan Proses feeding atau pemberian makan akan mengontrol
laju bahan bakar yang masuk tergantung dari kebutuhan boiler dan kebutuhan primary
air untuk pengeringan, dan kemudian batubara bara yang telah di tumbuk bersama-sama
bersama dengan primary air akan mengalir menuju burner. c. Proses drying atau
pengeringan Karena batubara memiliki jenis dan tipe ti serta kandungan moisture
yang berbeda berbeda-beda dan disini batubara low rank juga bisa digunakan maka
dryers atau pengering adalah sebagai unit terintegrasi dengan sistem pulverizing.
Udara panas dari air preheater atau kita sebut dengan primary air akan masuk ke
dalam pulverizer pada temperatur sekitar 350 0 C yang dialirkan oleh primary air
fan atau blower udara primary. d. Proses grinding atau penumbukkan. Proses grinding
adalah proses penumbukkan, proses erosi dan proses penghancuran atau kombinasi dari
ketiga proses ini. Pulverizer kecepatannya yakni : 1. Pulverizer dengan speed
rendah atau di bawah 75 rpm yang disebut dengan ball tube mill. 2. Pulverizer
kecepatan menengah yakni 75 sampai dengan 225 rpm yang di sebut sebagai ball and
race mill and bowl mill. yang ada saat ini di bagi berdasarkan
Fuel Handling
34
3. Pulverizer kecepatan tinggi di atas 225 rpm yang di sebut sebagai impact atau
hammer mill.
Batubara yang keluar dari Pulverizer diharapkan memiliki temperatur 55°C 55°C–
65°C, hal ini dilakukan dengan mengatur pembukaan hot air damper pada mill.
Batubara yang telah diproses selanjutnya akan disalurkan ke boiler oiler (proses
pembakaran) secara pneumatic dengan bantuan udara
Fuel Handling
35
primer dari primary air fan. Setiap Unit PLTU disediakan 5 pulverizer dan pada
boiler. Setiap pemakaian batu bara di tiap-tiap pulverizer ulverizer akan dicatat
melalui totalizer yang terdapat pada panel operasi pulverizer di lokal panel.
Batubara atau material lain (kayu, batu, dll) yang tidak bisa digerus akan
dikeluarkan dari pulverizer sebagai pyrites. Pyrites akan ditampung pada pyrites
hopper untuk kemudian disalurkan ke submerged scraper conveyor (SSC SSC) dan
bercampur dengan bottom ash masuk ke penampungan (Silo) selanjutnya dibuang dengan
menggunakan Dump Truck ke ash disposal. (apabila apabila banyak batu bara yang
terbuang kurangi feeder rate, sampai normal operasi)
Fuel Handling
36
2.5.1 Persiapan Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan pada seluruh peralatan sistem
seperti belt conveyor beserta Idler dan Roller-nya, chute, sistem proteksi dan
sebagainya. Selain itu juga mengaktifkan peralatan-peralatan peralatan yang ada
dalam sistem seperti Belt weigher, magnetic tic separator dan sebagainya. Demikian
pula halnya dengan semua breaker power supply di central control room (CCR) baik
untuk motor-motor motor penggerak conveyor maupun supply tegangan untuk peralatan
lain harus diletakkan pada posisi stand by. Pada beberapa PLTU ditiap breaker di
CCR terdapat beberapa pilihan posisi seperti posisi Remote atau Local . Letakkan
posisi switch pada mode operasi yang dikehendaki.
2.5.2 Pemilihan Rute Conveyor Setelah persiapan selesai maka dilakukan pemilihan
rute conveyor yang dikehendaki. Bila ingin memindahkan batubara dari instalasi
pembongkaran ke Stock Area, maka pilihlah rangkaian conveyor dengan rute menuju
stock area. Bila ingin mengisi langsung ke bunker, pilihlah rangkaian conveyor
dengan rute menuju bunker. Pemilihan ihan rute dapat dilakukan dari panel kontrol
yang dilengkapi dengan mimik diagram dari instalasi penanganan batubara. Disamping
itu juga dapat dipilih lintasan conveyor yang akan dipakai karena biasanya setiap
lintasan terdiri dari dua jalur conveyor.
2.5.3 Start Up Setelah rute conveyor dipilih maka rangkaian conveyor dapat di
start. Cara menjalankan ada dua macam yaitu, secara manual dan secara otomatis.
Bila di start secara otomatis maka rangkaian conveyor akan start mulai dari
conveyor yang paling hilir berurutan sampai yang paling hulu. Misal rute yang
dipilih terdiri dari 5 rangkaian conveyor dengan nomor conveyor mulai dari hulu
adalah T1 – T3 – T5 – T7 – T9, maka program start akan secara otomatis dimulai dari
conveyor nomer 9 kemudian an No. 7, No. 5, No. 3, No. 1. Pada unit pembangkitan
Paiton 1 dan 2 t terdapat 18 jalur konveyor mulai dari hulu pada ship unloader
sampai di hilir sebelum tripper, antara lain A1, A2, B1, B2, C1, C2, D1, D2, E1,
E2, F1, F2, J1,J2, K1, K2, L1&L2. Conveyor tersebut ersebut akan start berurutan
secara otomatis. Conveyor berikutnya akan mulai start apabila conveyor sebelumnya
telah mencapai 80% dari kecepatan normalnya. Apabila dijalankan secara manual maka
tiap tiap-tiap conveyor dapat di start secara manual satu persatu dengan urutan
yang sama seperti urutan start otomatis yaitu mulai dari conveyor paling hilir.
Fuel Handling
37
2.5.4 Menormalkan Setelah semua conveyor berjalan normal, conveyor dapat mulai
dibebani secara bertahap hingga mencapai kapasitas normalnya. normalnya
2.5.5 Persiapan Stop Sebelum stop beban pada conveyor akan dikurangi secara
bertahap. Rangkaian conveyor tetap dijalankan beberapa saat sampai semua conveyor
sudah bebas dari batubara. Tahap ini dinamakan tahap pembersihan.
2.5.6 Stop Setelah semua conveyor bersih, signal stop dapat diberikan baik secara
otomatis ataupun manual. Bila di-stop secara otomatis maka segera setelah signal
stop diberikan conveyor akan berhenti satu persatu mulai dari bagian paling hulu
sampai bagian paling hilir secara otomatis. Bila rangkaian conveyor adalah seperti
contoh diatas maka conveyor akan stop maka conveyor akan mulai di-stop mulai dari
conveyor No. : 1 – 3 – 5 – 7 – 9 secara berurutan. Bila distop secara manual maka
rangkaian conveyor dapat di-stop satu persatu dengan urutan rutan yang sama. Setiap
conveyor juga dapat di-stop dari local dengan menggunakan kabel Emergency Trip Wire
yang ada disisi conveyor sepanjang lintasan conveyor.
2.6 KONTROL DAN INDIKASI BAHAYA Instalasi pengangkut batubara dapat dioperasikan
dari ruang kontrol maupun dari masingmasing masing lokasi yang berdekatan dengan
masing-masing masing masing bagian dari instalasi. Dalam sistem ini rangkaian
conveyor akan berjalan secara berurutan satu terhadap lainnya. Sistem Siste
conveyor ini juga dilengkapi dengan sistem proteksi yang akan men-trip men
rangkaian conveyor kearah hulu bila salahsatu conveyor mengalami gangguan (trip).
Ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah terjadinya timbunan batubara. Untuk
mengontrol sistem secara secara keseluruhan, disediakan sebuah panel pengontrolan
yang dilengkapi dengan mimik diagram, lampu-lampu lampu lampu alarm serta indikator
bagi komponen komponen-komponen utama dari instalasi sehingga memungkinkan untuk
mengontrol rute aliran batubara. Setiap peralatan dari instalasi talasi yang
dikontrol dari papan mimik ditunjukkan oleh panel pemantau yang mempunyai sebuah
switch, sebuah amperemeter, dan tiga lampu. Nama dari lampu dan artinya bila lampu
tersebut menyala sebagai berikut : 1. Lampu “out of sequence” menyala, jika ada
peralatan peralatan tidak masuk dalam urutan pengoperasian.
Fuel Handling
Tanda bahaya start conveyor. Untuk alasan keamanan personil tidak boleh bekerja
pada instalasi jika instalasi akan di distart. Operator lokal pada instalasi
penanganan batubara melapor kepada operator ruang kontrol ji jika instalasi siap
untuk di-start dan operator lokal tersebut harus yakin bahwa tidak ada lagi orang
yang bekerja pada instalasi. Sebagai tatacara yang lazim maka peringatan aba-aba
aba aba selalu diberikan sesaat sebelum rangkaian conveyor akan didi start.
Peringatan ini harus terdengar ke seluruh pelosok lokasi instalasi penanganan
batubara. Pada beberapa instalasi dipasang tombol untuk membunyikan bel keseluruh
lokasi yang relevan untuk memberi peringatan pada personil bahwa instalasi segera
akan dijalanka dijalankan. Pengujian lampu mimik secara periodik harus dilakukan
untuk mengetahui bahwa semua lampu dalam keadaan baik. Untuk menjamin bahwa tidak
ada lampu yang putus, suatu sirkuit pengujian dipasang sehingga pengujian dapat
dilakukan secara teratur dan setiap lampu lampu yang putus harus segera ditangani.
2. 7 MAINTENANCE PADA COAL HANDLING SYSTEM S Terdapat dua jenis perawatan yang
dilakukan di coal handling system, yakni preventive maintenance dan corrective
maintenance. Preventive maintenance merupakan perawatan rutin yang dilakukan secara
berkala pada suatu waktu tertentu yang telah ditetapkan. Preventive maintenance
memberikan sejumlah keuntungan karena banyak masalah yang dapat dideteksi sedini
mungkin.
Fuel Handling
39
Penanganan masalah-masalah masalah yang timbul timbul pada stadium dini lebih mudah
dilakukan, menghemat waktu, biaya dan operasi menjadi lebih efisien yang akhirnya
akan meningkatkan produtivitas. Pada coal handling system perawatan rutin mencakup
seluruh peralatan yang terkait dengan penanganan batubara, yaitu : 1. Perawatan
harian atau rutin atau berkala yang jadwalnya disusun sedemikian rupa sehingga
semua unit mendapat giliran dan porsi pemeliharaan yang sama. 2. Perbaikan yang
dilakukan sedini mungkin. Perbaikan ini umumnya berupa reparasi atau penggantian
bagian-bagian bagian kecil dari peralatan. 3. Perbaikan besar jika ada kerusakan
yang disebabkan oleh faktor-faktor faktor faktor eksternal, misalnya overloading,
penggantian sukucadang yang sudah waktunya, dan lain-lain. lain Sebagai langkah
pencegahan kerusakan belt conveyor maka pada ada awal operasi saat running test dan
setiap interval waktu operasi diperlukan pengecekan peralatan terhadap : 1. Kondisi
sambungan karena belt merupakan peralatan paling vital, kasus sambungan putus
mendadak umumnya berawal dari kerusakan-kerusakan kerusakan kecil yang ng cenderung
diabaikan. 2. Kondisi belt yang diawasi adalah belt tracking, menjaga belt berjalan
lurus dengan memperhatikan keadaan belt yang dan bagian-bagian yang berputar. 3.
Kondisi karet pulley lagging dengan memeriksa tebal karet lagging, kedalaman ulir
da dan mengamati daerah yang mulai aus. 4. Kondisi idler semua diperiksa secara
rutin untuk mengetahui adanya idler macet dan idler aus. Idler macet karena adanya
kotoran yang terjebak didalam bearing, jika dibiarkan dinding idler akan terkikis
dan menampakkan ujung-ujung ujung ujung tajam yang dapat menggores permukaan belt
apabila dibiarkan karet belt akan menjadi panas dan terbakar karena adanya gesekan
antara belt dengan roller. 5. Kondisi alat pembersih (scrapper) harus selalu
menempel dan menekan nekan belt pada sisi kembali. 6. Kondisi transfer point dengan
memperhatikan curahan dan penyebaran material. 7. Kondisi peralatan pengaman
conveyor harus dalam kondisi baik. Berikut ini merupakan contoh preventive
maintenance yang dilakukan pada ship unloader yaitu peralatan trolley drive system.
• • • • Periksa brake thrustor Periksa disk brake Periksa Gear box level oil
Pemeriksaan Lube oil pump
40
Fuel Handling
• • • •
Periksa secara visual pada gearbox Grease gear coupling Periksa kekencangan baut
clamp Periksa sambungan rel
Fuel Handling
41
BAB III ASH HANDLING SYSTEM
Abu merupakan limbah yang cukup banyak di PLTU sebagai produk proses pembakaran
dalam ketel. Abu ini tidak diperkenankan dibuang ke atmosfer melalui cerobong
karena dapat mencemari lingkungan. ngan. Oleh karena itu abu harus ditangkap dan
dipisahkan dari gas hasil pembakaran sehingga gas yang keluar kecerobong tidak lagi
mengandung abu yang akan mencemari lingkungan. Fly ash dan bottom ash adalah
terminology umum untuk abu ter terbang yang ringan dan abu berat yang dihasilkan
dari pembakaran batubara. batubara
Secara umum fly ash dapat langsung dimanfaatkan untuk : 1. Pabrik semen sebagai
substitusi batuan trass dengan memasukkannya pada cement mill menggunakan udara
tekan (pneumatic system). 2. Dapat dimanfaatkan menjadi campuran asphalt (ready
mix), campuran beton (concerete) dan dicetak menjadi paving block/batak
block/batako. Dari suatu penelitian empirik untuk campuran batako, komposisi yang
baik adalah sbb : Kapur Pasir Fly ash Semen : 40% : 40% : 10% : 10%
42
Fuel Handling
Pada pusat pembangkit dengan kapasitas membutuhkan
200 ton/jam batubara. Bila kadar abu kira-kira kira 12-15% 15% maka setiap boiler
akan
menghasilkan abu 24-30 30 ton/jam dan total 2300-2880 2300 2880 ton/24 jam untuk
empat boiler yang seluruhnya beroperasi penuh. Antara 15-20 15 % dari abu ini
berbentuk clinker (kerak yang keras) yang dikumpulkan dibawah furnace. 80-85 85 %
terbawa oleh gas bekas dan dikumpulkan di hopperhopper economizer, air heater, grit
collector dan electric precipitator. Sebagian besar debu terkumpul di electric
precipitator.
BOILER S T A C K
HOPPER
HOPPER
ID FAN
BOTTOM ASH
CYCLONE
SEPARATOR
BAG
FILTER
Jaraknya ± 600 M
VACUUM BLOWER
INTERMIDIATE
DUMP TRUCK
FLY ASH TRUCK
Gambar 3.2 Diagram Alir Ash Handling System Pada Unit Pembangkitan Paiton 1 dan 2
Fuel Handling
43
3.1 INSTALASI PENANGANAN BOTTOM ASH Abu yang dihasilkan di furnace yang memiliki
dimensi dan bobot yang besar akan jatuh ke bagian bawah furnace karena beratnya
sendiri. Terdapat berbagai macam peralatan untuk penanganan bottom ash yaitu : 1.
Submerged scraper conveyor (SSC) 2. Clinker grinder 3. Belt conveyor 4. Bottom ash
silo 5. Transportasi pembuangan 6. Siklus air
3.1.1 Submerged Scraper Conveyor (SSC) Sistem penanganan bottom ash dengan metode
ini merupakan sistem yang digunakan pada PT. PJB UP Paiton. Sistem ini menggunakan
flight conveyor sebagai pengangkut bottom ash secara terus-menerus (kontinyu).. .
Hal ini dilakukan karena temperatur bottom ash yang tinggi. Di Submerged scraper
conveyor ini pula akan ditampung material hasil dari pyrite reject mill.
SSC memiliki dua ua kompartemen yang terpisah. terpisah Ruang pertama (basah),
mengandung 3-6 3 feet air, menerima abu padat yang jatuh dari tungku dan dengan
flight conveyor yang terdapat di ruang ini abu akan diteruskan ke ruang kedua. kedu
Ruang kedua adalah sisi miring dewatering dewat , pada ruang ini air yang masih
terbawa akan jatuh dengan sendirinya. sendirinya Umumnya, kecepatan maksimum
scraper conveyor sekitar 20 feet per menit.
Fuel Handling
44
Gambar 3.4 3. Ilustrasi Konfigurasi SSC
3.1.2 Clinker Grinder Diujung sisi miring SSC, , bottom ash ini akan ditransfer
melalui transfer chute untuk diteruskan ke diverter gate, dari sini bottom ash
diarahkan ke dua saluran, , saluran pertama terdapat clinker-glinder/crusher untuk
bottom ash yang berdimensi besar dan saluran kedua langsung menuju belt conveyor
untuk bottom ash yang berdimensi kecil. Diverter gate ini juga dilengkapi satu
saluran emergency ketika crusher trip/stop.
Gambar 3.5 Alur Penanganan Bottom Ash Setelah SSC di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling
45
Gambar 3.6 3. Ash Crusher / Clinker Grinder
3.1.3
Belt Conveyor Setelah dari clinker-glinder abu akan diteruskan oleh belt conveyor
ke bottom ash silo untuk
Gambar 3.7 Belt Conveyor Pada Instalasi Penanganan Bottom Ash di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling
46
3.1.4 Bottom Ash Silo Setelah ditransfer dengan belt conveyor, bottom ash akan di
tampung sementara sebelum diangkut ke ash disposal area untuk ditimbun ditimbun.
3.1.5 Dump Truck Bottom ash yang telah ditampung pada silo/hopper akan diangkut
oleh dump truck terbuka ke ash disposal. Karena kondisi bottom ash yang basah maka
tidak memerlukan pengangkutan dengan kendaraan dalam keadaan tertutup.
Fuel Handling
47
3.1.6 Siklus Air Penanganan bottom ash memerlukan air yang digunakan di hampir
keseluruhan proses. Siklus air dapat dilihat pada diagram dibawah ini.
Gambar 3.10 Siklus Air Pada Bottom Ash Handling System di UP Paiton 1 dan 2
yang digunakan untuk proses ini yaitu Slurry pump untuk SSC, Terdapat tiga pasang
pompa utama y Pyrite sluice pump untuk pyrite reject hopper, Resirculation pump
untuk sirkulasi air dari surge tank.
Sluice pump
Slurry pump
Resirculation pump
Gambar 3.11 Instalasi Air Pada Bottom Ash Handling System di UP Paiton 1 dan 2
Fuel Handling
48
3.2 INSTALASI PENANGANAN FLY ASH
Dari skema instalasi diatas dapat dilihat bahwa fly ash yang ditangkap oleh
electrostatic precipitator akan ditampung pada hopper yang untuk selanjutnya
ditransferkan menuju fly ash silo dengan menggunakan vacuum blower. Sebelum
memasuki silo, fly ash akan melewati dua buah air separator yang akan memisahkan
udara dengan abu. Fly ash handling system menggunakan berbagai peralatan yang
saling berkaitan satu sama lain., Peralatan tersebut adalah : 1. Electrostatic
precipitator 2. Electrostatic precipitator hopper 3. Vacuum blower a. Primary air
separator b. Secondary air separator 4. Fly ash silo 5. Transportasi pengangkutan
fly ash
Fuel Handling
49
3.2.1 Electrostatic Precipitator
Fuel Handling
50
Gambar 3.15 Peralatan Yang Terdapat Di Electrostatic Precipitator
Fuel Handling
51
.
Collecting electrode
Discharge electrode
Rapping ini menyebabkan partikel abu jatuh kedalam Hopper yang terletak dibawah
elektroda. Tegangan DC diputus ada saat Rapping.
Fuel Handling
52
Rapper collector electrode
3.2.2 Electrostatic Precipitator Hopper Fly ash yang menempel pada collecting
electrode dan discharge electrode akan digetarkan oleh rapper sehingga akan
berjatuhan dan ditampung pada hopper yang terdapat dibagian bawah electrostatic
precipitator.
Fuel Handling
53
Untuk menunjang transfer fly ash maka di bagian bawah electrostatic precipitator
hopper terdapat beberapa peralatan yaitu : 1. Slide gate valve Berfungsi untuk
membuka dan menutup katub pada bagian hopper. 2. Vacuum breakage valve Berfungsi
untuk mengurangi kevakuman dari saluran transfer fly ash apabila vacuum blower
memberikan kevakuman berlebihan. 3. Ash intake valve Berfungsi untuk mengatur
masuknya fly ash apabila kevakuman dari saluran dirasa sudah cukup.
Gambar 3.20 Peralatan Transfer Fly Ash pada Bagian Bawah Electrostatic Precipitator
Hopper
Fuel Handling
54
3.2.3 Vacuum Blower Vacuum blower berfungsi untuk menyedot debu dari electrostatic
precipitator hopper ke fly ash silo. Sebelum ditampung pada fly ash silo, abu
terbang akan melewati primary dan secondary air separator untuk memisahkan abu
dengan udara yang ikut terbawa ketika disedot oleh vacuum blower.
a. Primary air separator Proses penangkapan abu pada primary air separator
dilakukan dengan mengalirkan udara melintasi penangkap abu. Dalam penangkap abu,
udara akan dipusarkan sehingga partikelpartikel partikel abu akan jatuh dan
berkumpul di penampungan penamp sementara udara terus mengalir. Dengan cara ini
udara akan an terpisah dari abu. Pada proses ini abu yang dapat ditangkap sebesar
70%.
Fuel Handling
3.2.4 Fly Ash Silo Abu akan ditampung sementara pada silo sebelum ditransportasikan
menggunakan truck tertutup untuk dimanfaatkan lebih lanjut.
Fuel Handling
2. Abu ditransfer ke silo penampung abu dari seluruh unit dengan menggunakan udara
bertekanan untuk selanjutnya ditransportasikan dengan truck. Peralatan yang
digunakan saat unloading fly ash adalah : 1. Fluidizing air blower Fludizing air
blower berfungsi untuk mencegah fly ash menggumpal pada saat proses unloading.
Fuel Handling
57
2. Telescopic chute Alat ini digunakan untuk saluran saat mentransfer abu dari fly
ash silo kedalam tangki truk.
3.3 MILL REJECT / PYRITE SYSTEM Pyrite (mill reject) dari Pulverizer akan disaring
oleh Mill Reject Grid. Yang tidak dapat lolos (berukuran berukuran besar) akan
ditampung di Mill Rejects Hopper. Dari Mill Rejects Hopper, pyrite akan masuk ke
Hydro-Ejector Ejector (Hyjector) untuk dikeluarkan menuju ke Submerged Scraper
Conveyer. Mill Rejects Hopper dilengkapi dengan level switch untuk mengetahui kond
kondisi ketinggian pyrite (isi atau kosong) dan flow switch untuk mengetahui
tersumbat / tidaknya pipa penyaluran pyrite ke Mill Rejects Hopper. Hyjector ini
dilengkapi dengan Hyjector Supply Pump untuk memasok air bertekanan tekanan tinggi.
Sistem ini akan berhenti apabila Hyjector Supply Pump tiba-tiba trip. Pit Ejector
Pump digunakan untuk mengeluarkan air dari Mill Rejects Pit ke Submerged Scraper
Conveyor.
Fuel Handling
58
Gambar 3.29 Mill Reject / Pyrite Hopper di UP Paiton 1 dan 2
3.4 ECONOMIZER-HOPPER HOPPER ASH Abu economizer biasanya memiliki temperatur lebih
dari 300oC, , dan sering berprofil kasar. Kadang-kadang kadang berisi bahan mudah
terbakar. abu ini dapat memiliki karakteristik karakteristik fisik seperti abu yang
menempel pada dinding furnace. Abu ditampung hopper berisi air di bawah bagian
economizer boiler, biasanya a tegak lurus 90 derajat dengan aliran gas pembakaran.
Abu economizer harus diangkut secara terus menerus, hal ini dilakukan agar abu
keluar dari lingkungan panas hopper dan mencegah pembakaran lebih lanjut dari
karbon mungkin masih terk terkandung. Dari hopper, abu economizer akan ditransfer
menggunakan blower untuk ditampung di fly ash silo.
Fuel Handling
59
Gambar 3.31 Blower untuk Mentransferkan Economizer Ash di UP Paiton 1 dan 2
3.5 TEMPAT PENIMBUNAN ABU (ASH DISPOSAL AREA) Penimbunan abu dan debu dilakukan
dengan komposisi dari bawah keatas adalah fly ash, bottom ash dan tanah. Lapisan
paling atas adalah tanah agar lokasi penimbunan dapat ditanami tumbuhan. Lokasi
penimbunan abu harus memenuhi beberapa criteria tertentu. Karena itu bila abu akan
dibuang pada lokasi pembuangan buatan maka tempat penimbunan abu harus direncanakan
dengan engan baik. Disekitar tempat penimbunan abu harus tersedia fasilitas saluran
pembuangan air yang cukup memadai. Tempat penimbunan abu biasanya berupa danau
(lagoon) baik yang buatan maupun yang terbentuk secara alamiah. Kapasitas
penampungan biasanya cukup cukup untuk masa sampai sekitar 10 tahun atau lebih.
Untuk abu yang ditangani dengan sistem kering setelah sampai dilokasi penimbunan
sebaiknya diratakan dan dipadatkan (compacted). Untuk abu yang ditangani dengan
sistem basah yang diangkut dengan pipa, model tempat penimbunan abu dapat terlihat
pada gambar 2.30 Setelah lokasi penimbunan abu dan debu sudah penuh dan tidak
digunakan lagi, pemeriksaan harus dilakukan untuk menjamin bahwa areal tersebut
sudah dalam keadaan aman.
Fuel Handling
60
Gambar 3.32 2 Ash Disposal Area di UP Paiton 1 dan 2
3.6 KONTROL PADA INSTALASI PENANGANAN ABU Instalasi penanganan batubara juga
dilengkapi dengan ruang kontrol utama. Dalam ruang kontrol tersebut terdapat mimik
diagram lengkap dengan indikator, lampu penunjuk arah serta alarm. Melalui mimik k
diagram pada panel pengontrol utama operator dapat mengoperasikan dan mengontrol
sistem instalasi abu dan debu dengan mudah. Dari panel pengontrol operator dapat
memilih rute perjalanan abu dan debu mulai dari hopper-hopper sampai ke lokasi
pembuangan tergantung tergantung pada tipe instalasi yang dipakai, namun secara
umum instalasi pembuangan abu dan debu biasanya terdiri dari dua jalur, dimana satu
jalur beroperasi sedangkan jalur lainnya stand by. Apabila terjadi gangguan pada
jalur yang beroperasi maka rute pembuangan mbuangan abu dan debu dapat dipindahkan
ke jalur yang stand by sehingga tidak menggangu proses pembuangan abu dan debu.
3.7 PROSEDUR OPERASI 1. Lakukan pre-start check secara cermat ketika mengaktifkan
sistem udara penghembus, operasi dust conditioner, mengaktifkan bunker debu, set up
precipitator untuk penangkap debu. 2. Melakukan sistem rutin greasing dan pelumasan
3. Melakukan test sistem alarm termasuk probe alarm level hopper precipitator 4.
Membuat lembar check list untuk operasi precipitator 5. Pertahankan unit dalam
kondisi bersih, tumpahan-tumpahan tumpahan tumpahan abu secara berkala harus
dibersihkan dan dibuang.
Fuel Handling
61
6. Lengkapi lokasi instalasi dengan hose air yang cukup. Debu bila dibiarkan dalm
udara terbuka akan terhambur kemana-mana. kemana mana. Cara paling baik adalah
menyemprot dengan denga air yang kemudian dibersihkan.
3.8 MAINTENANCE PADA ASH HANDLING SYSTEM Terdapat dua jenis perawatan yang
dilakukan di ash handling system, yakni preventive maintenance dan corrective
maintenance. Preventive maintenance merupakan perawatan rutin yang dilakukan secara
berkala pada suatu waktu tertentu yang telah ditetapkan. Pada ash handling system
perawatan rutin mencakup seluruh peralatan yang terkait dengan penanganan abu untuk
bottom ash dan fly ash. Berikut ini merupakan akan contoh preventive maintenance
yang dilakukan pada peralatan bottom ash yaitu submerged scrapper conveyor di UP
Paiton 1 dan 2. • • • • • Periksa kondisi dinding hopper Periksa kondisi seal-
trough Periksa kondisi operasi valve (spray hopper) Periksa kondisi glass hopper
Periksa material bottom ash hopper
Pada peralatan fly ash yaitu vacuum blower perawatan yang dilakukan adalah : • • •
• • • • • Periksa level oli Periksa kekencangan v-belt Periksa kondisi flexible
joint, kekencangan baut Periksa kondisi filter Periksa kelainan suara dan
temperatur secara visual Periksa kondisi operasi enable valve Periksa kondisi
operasi check valve Periksa kondisi operasi silencer
Fuel Handling
62
BAB IV DUST HANDLING SYSTEM
Debu merupakan partikel-partikel partikel kecil dari dari batubara yang belum
digunakan sebagai bahan bakar. Debu terbentuk di area transfer batubara, yaitu pada
saat batubara keluar dari head pulley pada belt conveyor ke media penanganan lain
seperti silo atau di transfer ke belt conveyor rute lainnya. Batubara akan menarik
udara di sekitarnya. Dengan kecepatan yang cukup, aliran udara dapat melepaskan
ikatan partikel-partikel partikel dari aliran batubara sehingga beberapa partikel
menjadi halus. Partikel halus inilah yang menjadi debu dan mengalir bersama
batubara, , atau dapat menyebar keluar dari penutup conveyor. Kondisi yang
menentukan apakah partikel halus tersebut akan berterbangan tergantung kepada
beberapa faktor yaitu: kecepatan udara, ukuran partikel dan daya ikat dari
batubara. Penanganan debu dipisahkan dipisahkan dari penanganan abu karena
perbedaan jenis materi, penanganan serta peralatan yang digunakan. Menurut
peralatan yang digunakan penanganan debu dibagi menjadi tiga : 1. Dust collector
pada Silo 2. Dust suppression pada Belt Conveyor 3. Vacuum truck
4.1 DUST COLLECTOR PADA SILO Dust collector dipasang diatas silo batubara,
bertujuan untuk menyedot debu yang dihasilkan oleh belt conveyor mengisi batubara
kedalam silo. Debu dihasilkan saat batubara saling bertumbukan ataupun
bersingungan, baik dengan batubara ataupun dengan dengan dinding dan lantai silo.
silo memiliki ketinggian belasan meter sehingga debu yang dihasilkan pun cukup
banyak dan membutuhkan penanganan agar tidak mengganggu lingkungan kerja. sistem
pengumpul debu terdiri dari blower, dust filter, filter-cleaning cleaning system.
Debu batubara yang ditangkap oleh dust collector akan dimasukkan kembali ke hopper
atau silo batubara.
Fuel Handling
63
Gambar 4.1 Instalasi pada Dust Collector
4.2 DUST SUPPRESSION PADA BELT CONVEYOR Sistem Dust Suppression terdiri dari Spray
& Fog Suppression, yaitu sistem pengembunan menggunakan media air atau bahan kimia
lainnya untuk meningkatkan daya ikat antar partikel batubara di transfer house.
Tujuannya adalah untuk menangkap partikel debu agar menjadi berat
Fuel Handling
64
dan jatuh kembali ke aliran batubara. batubara Dust Suppression ini terdapat di
seluruh transfer house mulai dari hopper pada jetty crane.
Dust suppresion
4.3 VACUM TRUCK Vacum truck digunakan untuk menyedot debu yang jatuh di tanah pada
area-area sekitar pembangkit listrik. Hal ini dikarenakan tidak seluruh debu bisa
diatasi dengan dua metode diatas. Vacuum Truck akan berkeliling lokasi pembangkit
pada tiap selang waktu tertentu. tertentu. Diperlukan pula pekerja untuk
mengumpulkan debu terlebih dahulu sebelum disedot oleh vacuum truck.
Fuel Handling
65
BAB V FUEL OIL HANDLING SYSTEM
Jenis bahan bakar selain batubara yang banyak digunakan di PT. PJB adalah Bahan
Bakar Minyak (BBM). BBM merupakan bahan bahan bakar yang berbentuk cair dengan
standar tertentu, yang digunakan untuk proses produksi listrik, listrik dibagi
menjadi dua macam yaitu, High Speed Diesel (HSD) oil dan Marine Fuel Oil atau
Residual Oil. Seperti halnya batubara, pengelolaan bahan bakar juga meliputi
beberapa aspek seperti : 1. Pembongkaran bahan bakar minyak 2. Penyimpanan dan
suplai bahan bakar minyak Dalam bab ini akan di jelaskan penanganan untuk setiap
jenis bahan bakar minyak.
5.1 HIGH SPEED DIESEL (HSD) OIL / SOLAR 5.1.1 Pembongkaran HSD Oil • Pembongkaran
HSD oil melalui Transportasi Laut Pembongkaran HSD melalui Air dilakukan di karena
beberapa eberapa PLTU berbahan bakar minya minyak berlokasi baik di pantai atau
sungai yang dapat dilayari (navigable river). Pembongkaran HSD berupa Dermaga
(Jetty) dimana tanker akan merapat untuk membongkar minyak. Pada dermaga dilengkapi
dengan pipa fleksibel yang disambungkan ke saluran pompa pengeluaran muatan tanker
(tanker's cargo discharge pump).
Fuel Handling
66
Kemudian dian tanker mengeluarkan muatan melalui jaringan pipa dermaga ke storage
tank untuk disimpan. Sebelum mulai untuk mengeluarkan isi tanker, prosedur tertentu
yang harus diikuti adalah : a. Check bahwa tangki penyimpanan (storage tank) punya
cukup ruangan untuk menerima sejumlah HSD oil tanpa meluap (overflowing). b. Atur
dan set semua katup (ullages) pada semua tangki ki penampung dan cat catat
temperatur HSD oil sehingga jumlah HSD oil didalam tangki ki pada saat start dapat
dihitung. Pengukuran kekosongan (ullages) diambil lagi sesudah pengisian. Volume
HSD oil dihitung dari perbedaan ullage ini. Catatan : Ullage adalah dalah jarak
yang diukur antara titik referensi yang ada di ujung atas tan tangki (top of the
tank) dan permukaan atas dari minyak. Kadang-kadang diketahui sebagai pengukuran
kekosongan (measurement of emptiness). Karena jarak dari tanda referensi (reference
mark) pada ujung atas tangki tan ki ke dasar bawah adalah tetap dan diketahui. maka
kedalaman minyak dapat dihitung sebagai perbedaan antara tinggi ini dan ullage.
Dari tabel yang dibuat ketika tangki gki dikalibrasi sesaat setelah konstruksi,
volume minyak yang ada dalam tangki dapat dibaca pada setiap pengukuran ullage.
Berat minyak diperoleh dengan mengalikan volume pada temperatur ambient dengan
specific gravity (juga pada temperatur ambient). Hasilnya adalah dalam kg. •
Pembongkaran HSD oil melalui Darat Apabila BBM dikirim lewat rel, maka tanker rel
yang dapat membawa minyak sampai 75 ton dibawa kelapangan (site) oleh kereta api
dan dilangsir/disimpangkan (shunted) dari jalur utama. Pada jalur pembongkaran ada
sejumlah pipa stan (stand pipe) yang berukuran besar yang dihubungkan ke tanker.
tan Station pompa pembongkaran mengeluarkan minyak kedalam tangki penyimpanan
(storage tank). Untuk Unt memperoleh berat minyak yang diserahkan, disera dapat
diambil ullage dari storage tank sebagaimana tersebut rsebut diatas atau tanker
dapat diukur untuk memperoleh jumlah h volume minyak jika fasilitas tersedia
timplet Platform dapat digunakan sebagaimana jembatan timbang (weight bridge).
Untuk BBM yang dikirim lewat jalan raya, tanker jalan raya memuat sampai 22 ton.
Tanker berhenti dekat pada sambungan/hubungan pengisian (filling connections).
Hose/slang flexible menghubungkan tanker kepada titik pengisian. Tanker jalan j
raya
Fuel Handling
67
biasanya dilengkapi dengan pompa untuk memompakan minyak langsung ke tan tangki
penyimpanan (storage tank) station. Untuk menaksir/memperkirakan volume d dari
minyak maka tanker membawa tongkat pengukur (dip stick) yang diberi ukuran.
Jembatan timbang dapat digunakan jika tersedia dilapangan (site).
Jaringan Pipa Langsung dari Penyulingan Minyak (Refinery) HSD oil yang
dikirimkan/diserahkan lewat Jaringan pipa dipompakan langsung ke tangki penyimpanan
di station dari tempat penyulingan minyak (refinery) atau depot minyak. Pemompaan
bisa secara terus menerus (continous) atau secara berselang (intermitent).
5.1.2 Penyimpanan dan Suplai HSD Oil Pembangkitan listrik dengan turbin uap hanya
menggunakan HSD oil untuk tujuan penyalaan awal batubara gerusan (pulverized fuel)
dan minyak residu, sehingga kapasitas penyimpanan (main storage tank) tidak terlalu
besar. Sedangkan pada pembangkitan listrik dengan turbin gas, HSD oil merupakan
bahan bakar utama selain gas alam sehingga kapasitas main storage tank cukup besar.
Semua storage tank harus dikalibrasi untuk penentuan isi m minyak dengan pengukuran
ullage. Storage tank juga dilengkapi dengan pengukur gauge untuk menunjukkan jumlah
minyak didalam tangki. ki. Dengan melihat pengukur (gauges) ini, operator dapat
mencegah meluapnya isi tangki.
Fuel Handling
68
Gambar 5.3 5. HSD oil service tank di UP Gresik
Contoh Instalasi bahan bakar solar dapat dapa dilihat pada gambar dibawah ini.
Fuel Handling
69
Secara umum tahapan penanganan HSD oil pada unit pembangkitan listrik adalah : 1.
Dimulai dari unloading arm pada berbagai instalasi pembongkaran, HSD oil akan
disimpan pada main storage tank. Bila melewati laut maka kapal akan memompakan HSD
untuk di tampung pada main storage tank. 2. Selanjutnya HSD oil akan disalurkan
menuju day tank/service tank dengan mengguna menggunakan pompa. Di unit
pembangkitan Gresik pompa yang digunakan untuk mentransfer HSD oil adalah jenis
gear pump. Pada HSD oil day tank ini HSD oil akan disaring terlebih dahulu oleh
filter sebelum disalurkan ke peralatan-peralatan peralatan peralatan yang
memerlukan bahan bakar solar.
3. Bahan bakar yang akan digunakan pada burner di boiler akan diukur laju alirannya
dengan flowmeter ketika di pompa dari HSD oil day tank.
Fuel Handling
70
Tekanan bahan bakar akan dibatasi dengan menggunakan control valve.
Setelah dari control valve bahan bakar disalurkan ke tripping valve yang hanya
berfungsi pada saat burner trip dan terakhir HSD oil akan dibakar pada burner.
5.2
5.2.1 Pembongkaran Residual Oil Pembongkaran Residual Oil melalui Laut Pembongkaran
Residual Oil melalui air dilakukan karena beberapa eberapa PLTU berbahan bakar
minyak k berlokasi baik di pantai atau sungai yang dapat dilayari (navigable
river). Pembongkaran Residual Oil berupa Dermaga (Jetty) dimana tanker akan merapat
untuk membongkar residual oil. Pada dermaga dilengkapi dengan pipa fleksibel yang
disambungkan ke saluran pompa pengeluaran muatan tanker (tanker's cargo discharge
pump). Karena residual oil adalah jenis minyak dengan grade berat (heavy grade)
maka ia memerlukan suatu pemanasan anasan untuk menjaga atau mempertahankan
temperatur minyak diatas titik tuang (power point). Sementara untuk minyak yang
masih didalam tanker kebutuhan panas disuplai oleh ta tanker itu sendiri. Jaringan
pipa pada lapangan station dilengkapi dengan trace pemanas dan tangki penyimpanan
(storage tank) yang dipanaskan menggunakan lilitan pipa uap atau air panas (steam
or hot water coils).
Fuel Handling
71
Gambar 5.9 Peralatan Residual Oil Unloading melalui Laut di UP Gresik
Kemudian dian tanker mengeluarkan muatan melalui jaringan pipa dermaga ke tangki
penyimpanan station. •
Pembongkaran Residual Oil melalui Darat Apabila BBM dikirim lewat rel, maka tanker
rel yang dapat membawa residual oil sampai 75 ton dibawa kelapangan (site) oleh
kereta api dan dilangsir/disimpangkan (shunted) dari jalur utama. Pada jalur
pembongkaran ada sejumlah pipa stan (stand pipe) yang berukuran besar yang
dihubungkan ke tanker. Uap dapat dipasok di dari auxiliary steam ke rail tanker
jika minyak memerlukan pemanasan. Station pompa pembongkaran mengeluarkan minyak
kedalam tangki penyimpanan (storage tank). Unt Untuk memperoleh berat minyak yang
diserahkan, hkan, dapat diambil ullage dari storage tank sebagaimana te tersebut
diatas atau tanker dapat diukur untuk memperoleh jumlah volume minyak jika
fasilitas tersedia timplet Platform dapat digunakan sebagaimana jembatan jem
timbang (weight bridge). Untuk BBM yang dikirim lewat jalan raya, tanker jalan raya
memuat sampai 22 ton. Tanker berhenti dekat pada sambungan/hubungan pengisian
(filling connections). Hose/slang flexible menghubungkan tanker kepada titik
pengisian. Tanker j jalan raya biasanya dilengkapi dengan pompa untuk memompakan
minyak langsung ke tangki tan penyimpanan (storage tank) station. Untuk
menaksir/memperkirakan volume dari minyak maka tanker membawa tongkat pengukur (dip
stick) yang diberi ukuran. Jembatan timbang dapat digunakan jika tersedia
dilapangan (site).
Fuel Handling
72
Gambar 5.10 Peralatan Unloading HSD Melalui Darat •
5.2.2 Penyimpanan dan Suplai Residual Oil PLTU yang menggunakan residual oil
sebagai bahan bakar utama memiliki tangki dengan kapasitas kira-kira kira cukup
untuk dua minggu operasi.
Fuel Handling
73
Residual oil memiliki sifat yang berbeda dari high speed diesel sehingga
penanganannya akan berbeda. Minyak residu memerlukan pemanasan agar bisa di
transfer.
Menuju burner Filter Flowmeter Heater filter Pompa Service tank Filter Pompa Heater
Auxiliary steam
Filter filter Heater Main storage tank pompa Flowmeter Service tank
Filter
Pompa
Heater
Fuel Handling
74
Gambar 5.13 5.1 Filter di UP Gresik
4. Pada flowmeter akan terbaca laju aliran dari minyak residu yang ditransfer.
Fuel Handling
75
Proses ketiga adalah mentransfer minyak residu ke burner pada furnace, urutan
perlakuan untuk proses ini adalah : 1. Dari residual oil service tank akan disaring
dengan menggunakan filter.
Gambar. 5.16 Filter Up Gresik 2. Setelah memasuki filter, minyak residu akan
dipompakan dengan screw pump untuk memasuki heater.
Gambar 5.17 Pompa di UP Gresik 3. Pada heater minyak residu akan dipanaskan sampai
temperatur 85oC. Pemanasan menggunakan auxiliary steam.
Fuel Handling
76
Gambar 5.18 Heater di UP Gresik 4. Minyak residu akan memasuki flowmeter untuk
menghitung laju alirannya.
Gambar 5.19 Flowmeter di UP Gresik 5. Tekanan minyak residu akan dibatasi oleh
control valve, sebelum memasuki burner valve rack terdapat tripping valve yang
digunakan ketika burner trip.
Gambar 5.20 Control Valve di UP Gresik 6. Minyak residu dibakar pada burner.
Fuel Handling
77