Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Sistem Referensi Geospasial di Indonesia

Diposting oleh user BIG

Usaha untuk melakukan pendefinisian datum geodetic atau sistem referensi geospasial sebagai acuan
dalam kegiatan survey dan pemetaan mau[un penyelenggaraan IG, telah dilakukan bahkan sejak masa
pendudukan Belanda. Penentuan posisi dengan metoda triangulasi dimulai pada tahun 1862 yaitu jaring
utama triangulasi di P.Jawa, dan selesai pada tahun 1880. Terdiri dari 114 titik, ditempatkan di puncak-
puncak gunung, dengan tiga basis.

Sistem koordinat triangulasi Jawa dihitung mengacu kepada elipsoid Bessel 1841, dengan lintang dan
azimuth ditentukan titik triangulasi di Genoek, dan untuk hitungan bujur, Batavia (sekarang Jakarta)
sebagai meridian nol. Selanjutnya pada tahun 1883 jaring utama triangulasi Jawa diperluas ke P.
Sumatera, sedemikian rupa hingga triangulasi Sumatera membentuk satu sistem dengan triangulasi
Jawa. Pada periode tahun 1912-1918 jaring utama triangulasi Jawa diperluas ke Bali dan Lombok. Pada
tahun 1911 pengukuran jaring utama triangulasi di Celebes (sekarang Sulawesi) dimulai. Sistem
koordinat adalah Bessel 1841 ellipsoid, dengan lintang dan azimuth ditentukan di titik triangulasi di
G..Moncong Lowe dan dalam penentuan bujur, Makasar sebagai meridian nol.

Keterbatasan teknologi saat itu, yaitu pengukuran dilakukan dengan alat optis, penyatuan sistem datum
geodesi tidak dimungkinkan.Sehingga jaring utama triangulasi Jawa-Sumatera-Bali-Lombok tidak satu
sistem dengan jaring utama Sulawesi dan masing – masing mempunyai ketelitian berbeda. Begitu pula
jaring utama triangulasi di Kalimantan yang dilaksanakan oleh perusahaan eksplorasi minyak-bumi, tidak
satu sistem. Ketelitian relatif yang dicapai dari jaring utama triangulasi tersebut sekitar 1 : 100.000.

Pada awal tahun 1970-an penentuan posisi dilakukan dengan memanfaatkan teknologi TRANSIT Navy
Navigation Satellite System atau lebih dikenal dengan satelit Doppler, pertama kali bertujuan untuk
keperluan pemetaan rupabumi pulau Sumatera. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan kerangka acuan
geodesi yang baru, maka Indonesia (dalam hal ini Bakosurtanal sebelum menjadi BIG) menetapkan
suatu ellipsoid referensi yang mempunyai parameter sama dengan parameter elipsoid GRS-67 (Geodetic
Reference System 1967), yang diberi nama SNI (Sferiod Nasional Indonesia). Untuk menentukan
orientasi SNI dalam ruang, ditetapkan suatu datum relatif, yaitu dengan titik eksentris (stasiun Doppler)
BP-A (1884) di Padang sebagai titik datum SNI.

Dengan menetapkan SNI bersinggungan dengan sistem NWL9D (sumbu koordinat kedua elipsoid
didefinisikan paralel) di titik datum, maka koordinat BP-A Ecc pada sistem SNI diatas dikonversi ke
koordinat kartesian (3-D) dengan memakai parameter SNI, sehingga dapat ditentukan pergeseran pusat
sistem INS terhadap pusat sistem NWL9D dan pergeseran pusat sistem NWL9D terhadap pusat sistem
INS. Selanjutnya pergeseran pusat kedua sistem tersebut satu sama lain, perdefinisi, ditetapkan berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia, bertujuan untuk penetapan datum tunggal geodesi di Indonesia, dan
diberi nama Indonesian Datum 1974 atau Datum Indonesia 1974.

Pada realisasinya jaring kontrol geodesi yang titik-titiknya ditentukan dengan memanfaatkan satelit
doppler sudah dalam satu sistem, akan tetapi belum homogin dalam hal ketelitian, disebabkan metoda
pengukuran (penentuan posisi absolut, translokasi) dan metoda hitungan (‘multistation mode, short arc
mode’) yang dipakai berbeda. Walaupun demikian koordinat titik-titik pada jaring kontrol geodesi tersebut,
secara teknis cukup memenuhi untuk keperluan pemetaan rupabumi pada skala 1 : 50.000.
Seiring dengan perkembangan teknologi GPS, maka pada tahun 1996 Bakosurtanal mendefinisikan
datum baru untuk keperluan survei dan pemetaan menggantikan ID74, yang disebut dengan Datum
Geodesi Nasional 1995 atau disingkat dengan DGN 95.

Gambar 1. Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang dipakai untuk mendefinisikan DGN 1995

DGN95 merupakan sistem referensi geospasial yang bersifat statis, dimana perubahan nilai koordinat
terhadap waktu sebagai akibat dari pergerakan lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi, tidak
diperhitungkan. Perubahan nilai koordinat terhadap waktu perlu diperhitungkan dalam mendefinisikan
suatu sistem referensi geospasial untuk wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan wilayah Indonesia terletak
diantara pertemuan beberapa lempeng tektonik yang sangat dinamis dan aktif, diantaranya lempeng
Euroasia, Australia, Pacific dan Philipine. Wilayah Indonesia yang terletak pada pertemuan beberapa
lempeng inilah yang menyebabkan seluruh objek-objek geospasial yang ada diatasnya termasuk titik-titik
kontrol geodesi yang membentuk Jaring Kontrol Geodesi Nasional, juga bergerak akibat pergerakan
lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi.

Teknologi penentuan posisi berbasis satelit, seperti GPS (Global Positioning System) dan GNSS (Global
Navigation Satellite System), saat ini telah berkembang dengan pesat sehingga memungkinkan untuk
digunakan dalam penyelenggaraan kerangka referensi geodetik nasional yang terintegrasi dengan sistem
referensi global, serta mampu memberikan ketelitian yang memadai untuk memantau pergerakan
lempeng tektonik dan deformasi kerak bumi yang berpengaruh terhadap nilai-nilai koordinat.

Pada 17 Oktober 2013, diluncurkannya Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013 (SRGI 2013). SRGI
adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi Nasional (DGN) yang
lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan
sistem koordinat global. SRGI mempertimbangkan perubahan koordinat berdasarkan fungsi waktu,
karena adanya dinamika bumi. Secara spesifik, SRGI 2013 adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi
(X, Y,Z) yang geosentrik. Implementasi praktis di permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat Geodetik
lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat, dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat
planimetrik (toposentrik).
Gambar 2. Jaring Kontrol Geodesi yang dipakai untuk mendefinisikan SRGI 2013

Secara praktis, perbedaan yang mendasar antara SRGI 2013 dengan DGN 1995 bisa dilihat dalam tabel
dibawah ini.
Dengan disahkannya sistem referensi geospasial baru, berarti sistem referensi geospasial lama sudah
tidak berlaku lagi.

Sumber:

 Naskah akademik Datum Geodesi Nasional 1995


 Naskah akademik Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013

Anda mungkin juga menyukai