Anda di halaman 1dari 19

CHAPTER 4

THE ROLE OF A CONCEPTUAL FRAMEWORK

Proses perjalanan penyusunan Conceptual Framework dimulai pada tahun 1980 dan
awal tahun 1990 di USA, Canada, UK dan Australia. Namun pada tahun 1989, proses
perkembangan conceptual framework mengalami hambatan dari berbagai faktor, seperti
kesulitan dalam pembentukan fundamental issues yang berkaitan dengan measurement dan
juga adanya intervensi politik, sehingga prosesnya berjalan dengan lambat. Tetapi pada
tahun 2002, terdapat kemajuan yang pesat di dalam proses perkembangan conceptual
framework dikarenakan adanya IASB/FASB Convergence Program, dimana dalam program
tersebut dibutuhkan sebuah framework yang kuat untuk memandu para pembuat accounting
standards dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga pada tahun 2004, IASB dan FASB
mulai untuk membentuk sebuah conceptual framework yang lengkap dan konsisten.

Conceptual Framework of Accounting bertujuan untuk membuat sebuah teori


akuntansi yang lengkap, konsisten, dan terstruktur. Berikut ini adalah struktur dari
Conceptual Framework yang diilustrasikan dalam gambar dibawah ini :

1
Conceptual Framework itu sendiri didefinisikan oleh FASB sebagai berikut :

“... a coherent system of interrelated objectives & fundamentals that is expected to lead to
consistent standards and that prescribes the nature, function and limits of financial
accounting and reporting”. Kata ‘coherent system’ dan ‘consistent’ mencerminkan bahwa
FASB membuat framework yang teoritis dan non-arbitary, serta kata ‘prescribes’
menunjukkan pendekatan normatif dalam penyusunannya.

Namun meskipun IASB dan FASB telah berusaha untuk menyusun conceptual
framework tersebut, tidak semua akuntan memiliki pendapat yang sama terhadap kehadiran
conceptual framework ini. Beberapa akuntan berpendapat bahwa membuat general theory
melalui sebuah conceptual framework tidak diperlukan. Mereka beralasan bahwa mereka
dapat tetap bertahan didalam pelaksanaan profesi akuntan tanpa sebuah teori yang secara
formal terstruktur.

Pernyataan tersebut memang benar adanya, namun muncul beberapa masalah terkait
praktik didalam akuntansi karena tidak adanya general theory of accounting yang
terstruktur. Salah satunya adalah, praktik akuntansi dinilai sangat permissive dan tidak
konsisten. Tiap-tiap entitas diperbolehkan untuk memilih metode akuntansinya sendiri.
Misalnya, perusahaan A menggunakan metode Straight Line Method dalam menghitung
depresiasi aset perusahaannya, sedangkan perusahaan lain dapat saja menggunakan metode
depresiasi lain seperti Double Declining Method.

Maka dari itu, conceptual framework membawa beberapa manfaat dan peran penting
didalam akuntansi, diantaranya yaitu :

1. Financial reporting requirements dapat lebih konsisten dan logis, oleh karena berasal
dari sebuah konsep yang jelas, konsisten, dan terstruktur. Misalnya, kini seluruh
entitas diharuskan menggunakan fair value dalam penilaian aset-nya, tidak lagi
memakai historical cost aset tersebut.

2. Adanya regulations yang dijelaskan didalam conceptual framework memaksa pihak-


pihak yang bertanggungjawab harus membuat laporan yang sesuai dengan framework.

2
3. Pihak-pihak yang menyusun financial report dapat lebih bertanggung jawab terhadap
apa yang dibuatnya, karena seluruh requirements dalam membuat financial report
telah tertera jelas didalam framework.

4. Meminimalisir resiko dari over-regulation.

5. Baik preparers maupun auditors dapat lebih memahami financial reporting


requirements yang mereka buat atau periksa.

6. Pengaturan financial reporting requirements dapat lebih economical, karena tiap


issues yang muncul tidak perlu diperdebatkan kembali dari berbagai sudut pandang.

OBJECTIVES OF CONCEPTUAL FRAMEWORK

Tujuan dari conceptual framework adalah untuk memberikan pedoman dalam


penyusunan dan penyajian laporan keuangan bertujuan umum (general purposes financial
statements).
Lebih lanjut lagi, IASB dan FASB menjelaskan tujuan utama financial reporting
adalah untuk menyediakan informasi keuangan yang berguna kepada users, baik itu investor
maupun creditor. Informasi tersebut akan dipilih berdasarkan dasar kegunaannya dalam
proses pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan melaporkan
informasi yang berisi :

1. Berguna dalam pengambilan keputusan ekonomi.

2. Berguna dalam menilai prospek arus kas.

3. Berisi tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut dan
perubahan yang ada di dalamnya.

Dalam menyediakan laporan keuangan yang berguna, seorang akuntan harus memilih
informasi mana yang akan disajikan. Oleh sebab itu, penting untuk membangun kerangka
kualitatif untuk membuat informasi menjadi berguna. SFAC dan IASB menjelaskan
mengenai qualitative characteristics. Berikut adalah kerangka dari qualitative
characteristics dalam akuntansi :

3
IASB’s framework lalu dikembangkan lebih lanjut mengikuti jejak FASB. Pada
periode 1987-2000, FASB membuat seven concept statement yang mencakup topik-topik
berikut:

1. Tujuan dari pelaporan keuangan oleh perusahaan bisnis dan organisasi non-profit.

2. Karakteristik kualitatif informasi akuntansi yang berguna.

3. Unsur-unsur laporan keuangan.

4. Kriteria dalam pengakuan dan pengukuran unsur-unsur.

5. Penggunaan arus kas dan menyajikan informasi nilai dalam pengukuran akuntansi.

Kerangka tersebut menjelaskan konsep dasar dari laporan keuangan yang disusun. Hal
tersebut dijadikan sebagai pedoman IASB dalam membangun standar akuntansi dan sebagai
panduan dalam menyelesaikan masalah akuntansi yang tidak dijelaskan secara langsung
oleh IAS atau IFRS. IASB menyatakan bahwa kerangka tersebut:
 Mendefinisikan tujuan dari laporan keuangan.
 Mengidentifikasi karakter kualitatif yang membuat informasi dari laporan keuangan
berguna.
 Mengidentifikasi elemen dasar dari laporan keuangan dan konsep untuk pengakuan
dan pengukuran dari laporan keuangan.

4
Di dalam IAS 8 mensyaratkan bahwa manajemen harus menggunakan kerangka
tersebut dalam mengembangkan dan menerapkan aturan akuntansi agar menghasilkan
informasi yang :
 Relevan dalam pembuatan keputusan ekonomi yang dibutuhkan oleh users.
 Reliable.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah untuk
memberikan informasi yang:
1. Bermanfaat dalam membuat keputusan kredit dan investasi oleh pihak yang ingin
memahahi kegiatan ekonomi dan bisnis perusahaan.
2. Membantu kreditor dan investor yang ada atau potensial, serta users lain dalam
menentukan jumlah, waktu dan ketidakpastian cash flow di masa yang akan datang.
3. Mengenai sumber-sumber ekonomi, tuntutan terhadap sumber ekonomi, dan
perubahan di dalamnya.

DEVELOPING A CONCEPTUAL FRAMEWORK

Dalam pengembangannya, conceptual framework dipengaruhi beberapa isu, yakni:

Principles-Based and Rule-Based Standard Setting

IASB sendiri bertujuan untuk menciptakan standar yang bersifat principles-based


yang akan mengacu pada conceptual framework untuk lebih lanjut. Maka, konten yang
terdapat di dalam conceptual framework akan bersifat ide standar yang menjadi penyokong
pengembangan standar dan membantu user untuk menginterpretasikan standar tersebut.

Namun, IASB sendiri memiliki beberapa peraturan yang cenderung bersifat rule-
based, dan ini bertentangan dengan tujuan awalnya. Salah satunya adalah IAS 39 (Financial
Instruments: Recognition and Measurement). Menurut Christopher Nobes, pakar akuntansi
dari University of London, akan lebih baik jika reasons standard menjadi rules-based
karena mereka tidak menjadi tidak konsisten dengan conceptual frameworks of standard
setters. Perubahan ini sendiri tentu akan membawa benefit lebih banyak, karena dapat
memperjelas komunikasi mengenai peraturan dan meningkatkan ketelitian tanpa perlu

5
peraturan yang lebih detail lagi (karena sudah tercantum di standar). Lebih lanjut lagi,
Nobes mengidentifikasi enam contoh peraturan yang lebih bersifat rules-based, yakni
mengenai lease accounting, employee benefits, financial assets, government grants,
subsidiaries dan equity accounting.

Hal diatas adalah salah satu contoh perdebatan antara rules-based dan principles-
based. Jika dilihat dari segi kelebihan dan kekurangannya, keuntungan rules-based antara
lain dapat meningkatkan komparabilitas dan verifiabilitas untuk auditor dan regulators.
Selain itu, rules-based juga mampu mengurangi kesempatan terjadinya earning
management; walau mereka memperbolehkan specific restructuring of transaction selama
masih dalam koridor peraturan.

Namun, walau memiliki kelebihan-kelebihan seperti yang disebutkan diatas, sebuah


studi yang dilakukan oleh Securities and Exchange Commission (SEC) pada 2002 (atas
perintah Sarbanes-Oxley Act) merekomendasikan penggunaan principles-based, namun
standar tersebut wajib memiliki karakteristik:

a. Didasarkan pada conceptual framework yang sudah berkembang dan diaplikasikan


secara konsisten.

b. Mencantumkan dengan jelas objective of standard.

c. Menyediakan detail yang cukup dan struktur yang bisa dioperasikan dan bisa
diaplikasikan secara konsisten.

d. Meminimalisir penggunaan pengecualian dari standar.

e. Menghindari penggunaan percentage of tests (bright lines) yang membolehkan


financial engineering untuk mencapai technical compliance dengan menghindarkan
maksud dari standar itu sendiri.

f. Indonesia sendiri mengadopsi principal-based, dengan acuan besar adalah IFRS dan
membuat rules-based yang lebih detail di PSAK. Adopsi ini baru dilakukan di tahun
2012, ketika terjadi perubahan acuan peraturan dari GAAP ke IFRS.

6
Information for Decision Making and The Decision-Theory Approach

Sudah umum diketahui bahwa data akuntansi digunakan untuk proses decision making
atau untuk tujuan evaluasi di entitas tertentu. Hal ini diawali dengan fungsi data akuntansi
sebagai fungsi stewardship Di masa kini, manajer bertanggung jawab terhadap
equityholders perusahaan. Informasi bagaimana manajer tidak melaksanakan tanggung
jawab stewardshipnya dapat digunakan sebagai bahan evaluasi performa manajer dan
perusahaan itu sendiri.

Information for decision making secara tidak langsung mencakup lebih luas dari
informasi mengenai stewardship. Pertama, karena pengguna dari financial information luas
dan mencakup seluruh menyedia sumber daya. Kedua, informasi akuntansi dilihat sebagi
input data untuk prediksi model bagi users. Maka, kita harus memastikan data apakah yang
benar-benar dibutuhkan untuk memprediksi performa masa depan dan posisinya. Ketiga,
ketika stewardship berfokus pada kejadian di masa lalu untuk melihat apa saja yang sudah
dicapai, prediksi berpatokan pada masa depan. Informasi akuntansi untuk pihak eksternal
memang berdasarkan kejadian di masa lalu, namun masa depan tidak dapat diabaikan begitu
saja ketika masa depan secara tegas dijadikan objective of accounting.

Sedangkan, decision-theory sangat bermanfaat untuk mengecek apakah akuntansi


mencapai tujuannya atau tidak. Jika individual systems dapat menyediakan informasi yang
berguna, maka teori yang mendasari sistem tersebut dapat dikategorikan efektif, atau valid.

Overall
Accounting THE DECISION THEORY PROCESS
Theory

Individual Prediction Model Decision Model of


Accounting System of User User

Secara keseluruhan, dapat dipahami mengapa pengembangan conceptual framework


di level nasional menjadi sangat sulit. Godfrey berpendapat bahwa dalam

7
pengembangannya, conceptual framework harus lebih menitikberatkan pada rasionalisasi
penggunaan masa kini dibanding reafirmasi framework di aspek hukum, sosial dan ekonomi
dalam fungsi akuntansi. Selain itu, conceptual framework masa kini juga agar mencari lebih
dalam dalam mengembangan constitution-based framework untuk akuntansi dibanding
fokus pada konsep pondasi hal-hal sehari-hari. Karena, hal-hal tersebut akan lebih sulit
dibuat ketika terjadi perbedaan antarnegara.

Jones dan Wolnizer memberi saran agar conceptual framework harus memiliki peran
yang penting dalam mengemukakan persetujuannya dalam scope, objectives, qualitative,
dan measurement characteristics dari akuntansi yang terpengaruh dengan standard setting.
Walau demikian, mereka juga berargumen mengenai konvergensi dengan IASB framework,
bahwa hal ini akan menurukan inisiasi dan inovasi dalam pengembangan conceptual
framework itu sendiri, karena negara tidak lagi bekerja secara independen.

International Developments: The IASB and FASB Conceptual Framework

Pada Oktober 2004, FASB dan IASB bekerja sama untuk mengembangkan conceptual
framework. FASB menyatakan bahwa project tersebut akan melakukan:

a. Fokus pada perubahan dalam environment sejak orginal frameworks pertama kali
diisukan, demikian juga terhadap kelalaian di original frameworks, dengan tujuan
untuk dapat menciptakan framework yang berkembang, utuh, dan dapat mencakup
frameworks yang telah ada secara efektif dan efisien

b. Memberikan prioritas untuk menujukan dan mendiskusikan tiap isu di setiap fase yang
memiliki kemungkinan menguntungkan Boards dalam jangka pendek; yakni cross-
cutting issues yang memberi dampak tertentu dalam project mereka, baik untuk
standar baru maupun standar yang sudah direvisi. Sekaligus, tahap dari project
tersebut akan dilakukan secara simultan dan Boards akan mengharapkan keuntungan
dari terlaksananya project tersebut

c. Mulanya, mempertimbangkan konsep yang dapat diaplikasikan di private sector


business entities. Selanjutnya, Boards akan bergabung dalam mempertimbangkan
aplikasi dari konsep tersebut ke private sector not-for-profit organizations.
Representatif dari public sector standard-setting Boards akan memonitor projects

8
tersebut, dan di kasus-kasus tertentu akan mempertimbangkan dampak potensial dari
diskusi private sector untuk public entities.

IASB/FASB CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECT

Fase Topik

A Objective and Qualitative Characteristics

B Elements and Recognition

C Measurement

D Reporting Entity

E Presentation and Disclosure, including Financial Reporting Boundaries


(Inactive)

F Framework Purpose and Status in GAAP Hierarchy (Inactive)

G Applicability to the Not-for-Profit Sector (Inactive)

H Remaining Issues (Inactive)

Entity vs Proprietorship Perspective

Board merekomendasikan financial report harus dibuat dari perspektif entitas


dibanding perspektif dari pemilik. Hal ini disetujui banyak pihak karena pemilik dan entitas
secara tegas merupakan dua pihak yang berbeda. Pihak lain menyatakan keberatan karena
menganggap Board tidak menyediakan informasi yang cukup untuk membenarkan
rekomendasi tersebut (seperti dalam peraturan proprietorship dan parent company
perspectives). Maka, perspektif mengenai entitas sudah tercantum di Fase D, sedangkan
alternative lain mengenai pemilik masih didiskusikan.

Primary User Group

9
Board menujukan primary user group untuk tujuan umum financial reporting adalah
untuk penyedia modal masa kini dan potensial. Penyedia modal mencakup equity investors,
lenders, dan penyedia jasa kredit lain. Namun, ada juga pihak yang mengkhawatirkan
bahwa beragamnya jenis primary group dapat kelewat menyederhanakan hubungan antara
entitas dan individual users. Responden lain mengkhawatirkan fokus dari primary user
group dan efeknya terhadap pihak lain, seperti saat amal dan corporate governance
monitoring group.

Decision Usefulness and Stewardship

Berdasarkan Boards, tujuan dari financial reporting harus “cukup luas untuk
mencakup semua keputusan yang dibuat oleh equity investors, lenders, dan kreditor lain
dengan kapasitas mereka sebagai capital providers, termasuk keputusan alokasi sumber
daya dan keputusan yang dibuat untuk menjaga dan mempertinggi nilai investasi mereka”.
Pendapat ini disetujui banyak pihak, namun juga mendapat sanggahan dari pihak-pihak lain
karena dikhawatirkan tujuan dari stewardship tidak cukup ditekankan, ketika fungsi
financial statements untuk menyediakan info bagi pengguna dan dapat memprediksi masa
depan terlalu ditekankan. Menurut Whittington, fungsi stewardship terlalu dikesampingkan.
Padahal di negara-negara Eropa, stewardship adalah kunci dari corporate governance dan
peraturan perusahaan.

Qualitative Characteristics

IASB Framework mencantukam empat prinsip qualitative characteristics, yakni


understability, relevance, reliability, dan comparability. Sedangkan dalam Exposure Draft
dicantumkan bahwa qualitative characteristics yang membuat informasi menjadi berguna
adalah relevance, faithful representation, comparability, verifiability, timeliness, dan
understability, dan pervasive constraints dari financial reporting adalah materiality dan
cost. Selain itu, qualitative characteristics juga dibedakan menjadi fundamental (relevance,
faithful representation) atau enhancing (comparability, verifiability, timeliness, dan
understability) tergantung bagaimana mereka memberi dampak terhadap laporan keuangan.

Banyak pihak yang menyetujui hal ini, namun banyak juga yang menyarankan agar
understability dan verifiability lebih ditinggikan porsinya, demikian juga untuk substance

10
over form, true and fair view, dan transparency. ED menolak konsep pruedence karena
tidak konsisten dengan konsep neutrality. Whittington sendiri sangsi terhadap penghapusan
pruedence karena pentingnya pruedence dalam menahan management opportunism,

IASB dan FASB harus membuat progress dalam conceptual framework karena hal ini
fundamental dalam mengembangkan standar dan menjadi penyokong dalam upaya
konvergensi peraturan. Selain itu, Boards juga perlu membuat pengukuran untuk konsensus
dan mendukung objectives of financial reporting dan qualitative characteristics of financial
information dapat mengeluarkan framework chapters yang dapat diketrima di konstituen.

A CRITIQUE OF CONCEPTUAL FRAMEWORK PROJECTS

Conceptual framework yang telah ada ternyata menuai kritik dari berbagai negara,
Kritik-kritik tersebut memiliki analisis yang menjelaskan alasan mereka mengeluarkan
kritik. Pertama, conceptual framework harus menggunakan pendekatan yang scientific,
sehingga validasi framework harus dapat dijelaskan secara logis dan empiris. Selanjutnya,
pendekatan secara profesional yang berfokus untuk menyarankan tindakan terbaik dengan
melakukan tindakan yang profesional.

Sebenarnya, tujuan pembuatan conceptual frameworks adalah untuk menjawab segala


pertanyaan-pertanyaan mengenai standar akuntansi, sehingga menghindari terulangnya
argumen mengenai hal yang sama. Selain itu, conceptual frameworks juga memberikan
arahan dan keputusan bagi akuntan praktisi dalam menjelaskan informasi yang relevan
untuk pembuatan keputusan ekonomi. Untuk itu, persetujuan yang telah dibuat mengenai
standar akuntansi seharusnya dapat meminimalisasi ketidakkonsekuenan dan ketidaksamaan
yang muncul dari penilaian-penilaian yang berbeda.

Dopuch dan Sunder berpendapat bahwa conceptual framework yang dikeluarkan oleh
FASB tidak cukup membantu dalam menyelesaikan isu kontemporer pada measurement dan
disclosure. Menurut mereka, terdapat tiga isu yang masih ambigu:

1. Definisi liabilities masih terlalu umum sehingga sulit untuk menentukan posisi
deferred taxes.

11
2. Conceptual framework mendukung dua prinsip akuntansi yang bertolak belakang
yaitu full cost dan successful efforts. Pada prinsip successful efforts, perusahaan
diperbolehkan untuk mengkapitalisasi hanya beban-beban yang berkaitan dengan
penemuan lokasi tambang minyak dan gas alam yang berhasil, jika terjadi penemuan
lokasi tambang yang tidak terdapat minyak dan gas alam, maka beban tersebut
dikurangi langsung terhadap pendapatan pada periode tersebut. Sedangkan, untuk full
cost, semua beban yang berkaitan dengan penemuan lokasi tambang minyak dan gas
alam baru (tanpa memperhatikan hasilnya) boleh dikapitalisasi.
3. Tidak menyelesaikan masalah estimasi.

Ontological and Epistemological Assumptions

Tujuan dari pembentukan conceptual framework adalah untuk menghasilkan laporan


keuangan yang objektif dan tidak bias. Maksud dari tidak bias atau netral adalah kualitas
informasi yang menghindari penggunanya mengarahkan pada kesimpulan yang memberikan
keamanan pada kebutuhan atau keinginan tertentu. Solomon menjelaskan kebebasan dari
bias sebagai financial map making, dimana suatu peta yang baik adalah peta yang dapat
menunjukkan seluruh fakta yang ada.

Namun, Feyerabend sebagai seorang filsuf ilmu berpendapat bahwa kejujuran ilmiah
tidak lah absolut, kejujuran ilmiah hanya mengarah pada pernyataan tentang kenyataan yang
dibangun, yaitu pernyataan yang diberikan hanya ketika bukti sesuai dengan penjelasan dan
persetujuan mengenai metodologi ilmiah. Hal ini dapat membuat teori yang menjadi dasar
suatu framework dipertanyakan, apakah teori tersebut netral, independen, dan bebas dari
bias. Sehingga, dapat diimplikasikan, jika realita tidak ada dalam praktik akuntansi, maka
suatu conceptual framework tidak dapat memberikan objektivitas yang menyeluruh dalam
mengukur realita ekonomi. Jika dihubungkan dengan conceptual framework yang ada
ternyata benar adanya, bahwa conceptual framework tidak pernah secara resmi diuji
kebenarannya berdasarkan bukti logis dan empiris karena isi dari conceptual framework itu
sendiri merupakan opini dari badan atau individual yang berkuasa. Hal ini mengarahkan
projek conceptual framework pada pendekatan hypothetico-deductive. Pendekatan ini
mempengaruhi asumsi epistemologi dan asumsi metodologi mengenai pengujian kebenaran
serta tindakan yang paling sering dilakukan oleh peneliti akuntansi.

12
Circularity of Reasoning

Dalam sudut pandang yang dangkal terhadap conceptual framework mengindikasikan


bahwa paling tidak akuntan mengikuti satu jalur ilmiah, yaitu menarik kesimpulan dari
prinsip dan praktik yang disamaratakan. Namun, banyak pula negara yang conceptual
framework-nya ditandai dengan adanya internal circularity, maksudnya satu kualitasnya,
bergantung pada kualitas aspek yang lain. Namun, tidak dituliskan diperlukannya kondisi
tertentu untuk mencapai berbagai kualitas tersebut. Sehingga tidak terdapat arahan yang
spesifik mengenai cara pencapaian kondisi yang seharusnya.

Bermacam-macam kerangka konseptual yang dimiliki negara ditandai oleh adanya


internal circularity. Contohnya adalah pada information qualities pada laporan keuangan
yang bergantung pada kriteria quality lainnya. FASB framework mencoba untuk membuka
atau menjastifikasi circularity tersebut dengan merujuk pada keinginan dari seorang akuntan
yang memiliki banyak pengetahuan untuk menginterpretasikan laporan keuangan tersebut.

An Unscientific Disipline

Stamp (1981):

“Until we are sure in our minds about the nature of accounting, it is fruitless for the
profession to invest large resources in developing a conceptual framework to support
accounting standards”

Stamp meyakini bahwa akuntansi lebih berpihak kepada hukum daripada physical
science karena profesi akuntansi dan hukum berhubungan dengan konflik yang terjadi
diantara kelompok pengguna ilmu tersebut dengan kepentingan dan tujuan yang bermacam-
macam. Menurutnya, hukum merupakan normative discipline yang penuh dengan konsep
nilai sarat, dan akuntansi berhadapan dengan kondisi pasar tidak sempurna dan bersifat
subjektif sesuai dengan proses pembuatan keputusan. Sedangkan yang dimaksud physical
science adalah positive discipline, hal yang dapat dideskripsikan dan memiliki karakteristik
bebas dari nilai konsep.

13
Positive accounting adalah penjelasan atau penalaran untuk menunjukkan secara
ilmiah kebenaran pernyataan atau fenomena akuntansi seperti apa adanya sesuai fakta.
Teori ini bertujuan menjelaskan meramalkan, dan memberi jawaban atas praktik akuntansi.
Di samping itu, teori ini juga meramalkan berbagai fenomena akuntansi dan
menggambarkan bagaimana interaksi antar-variabel akuntansi dalam dunia nyata. Validitas
teori akuntansi positif dinilai atas dasar kesesuaian teori dengan fakta atau apa yang
nyatanya terjadi (what it is). Sedangkan normative accounting adalah penjelasan atau
penalaran untuk menjustifikasi kelayakan suatu perlakuan akuntansi paling sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan, sehingga lebih menjelaskan praktik-praktik akuntansi yang
seharusnya berlaku (it should be).

Pendekatan positive accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai sains.


Sedangkan pendekatan normative accounting menghasilkan taksonomi akuntansi sebagai
art. Hingga saat ini, positive accounting theory masih dalam proses yang dapat dijadikan
dasar dalam proses pembentukan akuntansi menjadi sains.

Positive Research

Tujuan utama dari dibuatnya conceptual framework adalah untuk menyediakan


informasi keuangan yang dapat membantu pengguna menentukan economic decision.
Namun, sekarang riset pasar meragukan kemampuan data akuntasi yang dipublikasikan
untuk mempengaruhi harga saham. Beberapa teknik akuntansi digunakan untuk
memanipulasi keadaan pasar. Tujuan dari conceptual framework adalah untuk meyakinkan
pengguna laporan keuangan dapat mendapatkan informasi yang berguna untuk proses
pengambilan keputusan.

The Conceptual Framework as A Policy Document

Sebuah cara yang dapat digunakan untuk melihat conceptual framework menjadi
scientific adalah dengan mempertimbangkannya menjadi sebuah policy model. Ijiri
membedakan normative dan policy model. Normative model dibuat berdasarkan asumsi
pasti mengenai tujuan yang akan dicapai. Meskipun normative model memiliki implikasi,
namun tetap berbeda dengan policy judgement yang melibatkan komitmen terhadap

14
tujuannya. Ijiri juga mengungkapkan bahwa dalam akuntansi, teori dan policy bercampur
menjadi satu, tidak seperti ilmu pengetahuan lainnya.

Menurut Tinker, terdapat cara lain untuk mengesahkan tingkat teoritikal yaitu dengan
pendekatan deskriptif. Deskriptive theories adalah usaha untuk menemukan hubungan yang
sebenarnya terjadi. Panalaran Induktif biasanya disebut dengan teori deskriptif. Pendekatan
deskriptif memiliki implikasi untuk menentukan apakan conceptual framework merupakan
refleksi dari nilai professional.

Buckley memiliki policy model melalui pendekatan konstitusional, dimana prinsip-


prinsip yang berlaku berasal dari kebenaran, sama seperti cara FASB menentukan
conceptual framework. Pendekatan konstitusional sesuai dengan pernyataan bahwa
akuntansi bergantung pada kepercayaan di kejadian yang sebenarnya.

Chamber mengungkapkan:

“all we have as fundamental or basic is a set of proposition that are more or less
arbitrary established, or which are plain dogmas. There is no body of ideas or knowledge
by reference to which we can judge whether or not the proposition are preferable to others,
we must simply accept them.”

Kirk berpendapat bahwa standard yang dibuat berdasarkan consensus adalah bagian
dari memeprcayai standar yang merupakan ketentuan dan terbentuk karena persetujuan.
Beliau mengembangkan bahwa sebuah conceptual framework disajikan untuk kepentingan
publik karena merupakan pendekatan konseptual. Sedangkan standard yang dibuat
berdasarkan consensus tidak digunakan untuk kepentingan publik, karena merupakan
pendekatan politik. Hal ini menjadi masalah karena kepentingan publik diwakili oleh
pengguna dengan kebutuhan yang bertentangan. Sedangkan menurut pendapat Miller,
standard yang dibuat menurut consensus hanya akan menghasilkan ketidakkonsistenan.

Professional Values and Self-Preservation

Professional value merupakan tindakan yang berlandaskan idealisme dan lebih


mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, sedangkan self
preservation adalah kebalikannya. Efek dari adanya professional values ada terciptanya

15
nilai sosial yang dapat membuat kelompok professional bertanggung jawab dan
menyediakan segala kepentingan komunitas.

Gerboth berpendapat:

“of necessity, accountants makes many judgments. And when they do, their decision
may differ from those that other accountants would make. But that does not make the
decision arbitrary. Accountant’s freedom is not freedom to decide as they please. Their
personal responsibility for the decision forces a diligent search for the best obtainable
approximation of accounting truth, and that responsibility leaves no room for arbitraries.”

Conceptual frameworks tidak bekerja di dalam ruang sosial dimana terdapat urusan
manusia yang sangat kompleks. Judgement sebagian besar ada karena terdapat professional
value. Greenwood menganggap ini merupakan nilai dari resinalitas dimana terdapat
komitmen pada objektivitas. Dia juga menambahkan itulah yang menyebabkan tidak adanya
hal teoritikal atau teknis yang dianggap tidak tertandingi hanya karena hal tersebut pernah
diterima dan dilakukan.

Demski merupakan orang yang paling tidak setuju dengan adanya normative
accounting standards, karena beliau menemukan bukti matematis dimana tidak ada standar.

Konsep tersebut sesuai dengan pendekatan konstitusional dari Buckley yang


menunjukkan adanya monopol-seeking behavior dari seorang professional. Hal ini
dibuktikan dengan semakin meningkatnya kompleksitas standard konsep yang ada dan
menyebabkan publik bergantung pada akuntan dan auditor untuk menyiapkan dan
menginterpretasikan isi laporan keuangan.

“viewing conceptual framework project as constituting a strategic manoeuvre to


assist in socially constructing the appearance of a coherent differentiated knowledge base
for accounting standard, thus legitising standards and the power, authority, and self
regulation of the accounting profession, may help in explaining why conceptual framework
projects are continually undertaken by the profession.”

16
CONCEPTUAL FRAMEWORK FOR AUDITING STANDARD

Teori umum komprehensif dari pengauditan pertama kali diperkenalkan oleh Mautz
dan Sharaf pada tahun 1961. Mautz dan Sharaf melihat bahwa mengaudit bukan sebagai
sub-divisi dari akuntansi, tapi sebagai ilmu yang berdiri sendiri juga sikap logis yang
disiplin. Hal ini mengarahkan mereka pada kesimpulan bahwa auditor tidak secara natural
terbatasi dalam hal memferifikasi atau mengecek informasi akuntansi. Mautz dan Sharaf
juga mempertanyakan kompatibilitas dari pelayanan auditing dan consulting, dan
merekomendasikan pemisahan untuk kedua tipe pelayanan ini dengan tujuan untuk menjaga
independensi dari auditor.

Mautz dan Sharaf mengembangkan lebih jauh teori audit melalui A Statement of Basic
Auditing Concept (ASOBAC) yang dikeluarkan oleh American Accounting Association.
ASOBAC berfokus pada process mengumpulkan dan mengevaluasi data dan bukti-bukti.
Namun pada tahun 1980, fokus debat secara teoritis berfokus pada struktur dan cara
perhitungani dalam hal mengumpulkan bukti dan proses evaluasi. Knecehel menjelaskan ini
sebagai pertumbuhan pesat pada praktik audit, peningkatan teknologi, dan kebutuhan untuk
mengurangi biaya pada audit proses.

Pada tahun 1990, Knechel menghadapi hambatan tan tantangan baru bagi proses
formulasi audit, hambatan ini mencakup tekanan dari klien pada auditor untuk mengurangi
biaya dan memberikan nilai yang lebih. Hal ini membuat praktik audit menjadi lebih
bergantung pada memeriksa sistem kontrol klien dan juga mencari dan mengumpulkan bukti
dari financial statement yang dibuat sendiri oleh sistem tersebut, dibandingkan dengan
direct testing pada transaksi dan account balance. Hal ini mengurangi substantive test dan
sample sizes, yang dapat membuat adanya resiko bisnis audit.

Resiko bisnis audit adalah suatu bentuk audit yang mempertimbangkan resiko klien
sebagai bagian dari proses audit evidence (1970). Audit risk model meminta auditor untuk
memperhatikan resiko dari opini audit yang tidak sepantasnya sebagai fungsi dari inherent
risk, resiko dimana sistem kontrol dari klien tidak dapat mencegah dan mendeteksi
kesalahan tersebut, dan resiko dimana prosedur audit pun tidak dapat mendeteksi kesalahan
tersebut.

17
‘Internal control – integrated framework’ by the Committee of Sponsoring
Organization (COSO), dikeluarkan pada tahun 1992. Report ini membuat auditor menjadi
lebih sadar dan peduli terhadap hubungan antara internal control dan pengadaan audit itu
sendiri. Klien dengan internal control yang baik dianggap lebih memiliki resiko yang
rendah untuk terjadi fraud dan error, dan hal ini mendukung dalam kemungkinan untuk
mengurangi sumber data, biaya audit, dan harga pengauditan untuk klien tersebut.

Asal mula terbentuknya ‘internal control – integrated framework’ diprakarsai oleh


komisi yang dibentuk oleh sektor swasta. Sektor swasta ini membentuk ‘National
Commission on Fraudulent Financial Reporting’ atau dikenal juga dengan ‘The Treadway
Commission’ di tahun 1985. Komisi ini disponsori oleh 5 professional association, yaitu:
AICPA, AAA, FEI, IIA, IMA. Tujuan komisi ini adalah melakukan riset mengenai fraud
dalam pelaporan keuangan (fraudulent on financial reporting) dan membuat rekomendasi
yang terkait dengannya untuk perusahaan publik, auditor independen, SEC, dan institusi
pendidikan.

Walaupun disponsori oleh 5 professional association, tapi pada dasarnya komisi ini
bersifat independen dan pihak yang duduk di dalamnya berasal dari beragam kalangan:
industri, akuntan publik, Bursa Efek, dan investor. Nama ‘Treadway’ sendiri berasal dari
nama ketua pertamanya yaitu James C. Treadway, Jr.

Komisi ini mengeluarkan report pertamanya pada tahun 1987. Isi dari report tersebut
merekomendasikan dibuatnya report komprehensif tentang pengendalian internal
(integrated guidance on internal control), lalu dibentuklah COSO, yang kemudian
bekerjasama dengan Coopers & Lybrand untuk membuat report tersebut.

Coopers & Lybrand mengeluarkan report itu pada 1992, dengan perubahan minor
pada 1994, dengan judul ‘Internal Control – Integrated Framework’. Report ini berisi
definisi umum internal control dan membuat framework untuk melakukan penilaian
(assessment) dan perbaikan (improvement) atas internal control. Report ini memiliki
kegunaan salah satunya adalah untuk mengevaluasi FCPA compliance di suatu perusahaan.

18
Resiko bisnis audit menekankan pada ancaman untuk model bisnis klien dari
kompleksitas lingkungan bisnis dan resiko bisnis yang mengarahkan pada resiko audit.
Perubahan kunci konseptual yang bisnis audit resiko tunjukkan ke auditor adalah perlunya
untuk memikirkan hubungan kausal dari model bisnis klien dan operasi ke rekening
keuangan, dan bukan untuk berpikir dalam hal kesalahan akuntansi terlebih dahulu.

Resiko auditing berarti auditor menerima tingkat ketidakpastian tertentu dalam


pelaksanaan audit. Auditor harus menyadari bahwa ada ketidakpastian mengenai kualitas
bahan bukti, keefektifan pengendalian internal klien dan ketidak pastian apakah laporan
keuangan memang telah disajikan secara wajar setelah di audit (Richard W.H, Michael F.
Peters & Jamei H. Pratt, 1999).

Berdasarkan sumber lainnya, Risiko audit adalah risiko dimana auditor menyimpulkan
bahwa laporan keuangan dinyatakan dengan wajar dan oleh karenanya dapat dikenakan
pendapat wajar tanpa pengecualian, namun pada kenyataannya laporan tersebut disajikan
salah secara material. Audit tidak dapat diharapkan untuk mengungkapkan semua kesalahan
laporan keuangan yang material. Audit terbatas pada pemilihan sampel, dan kesalahan yang
disembunyikan dengan sangat rapi sulit ditemukan. Karenanya ada risiko bahwa audit tidak
akan mengungkapkan kesalahan yang materil dalam laporan keuangan.

Jenis Resiko Audit, yaitu :

1. Resiko Bawaan (Inherent Risk), yaitu kerentanan suatu saldo akun atau golongan
transaksi terhadap suatu salah saji yang material. Biasanya resiko ini telah ada dari
awal dikarenakan sifat bisnis dari entitas yang bersangkutan.

2. Resiko Pengendalian (Control Risk), merupakan resiko yang baru akan muncul dan
terdeteksi pada saat pemeriksaan internal control. Entitas yang rentan akan fraud
biasanya internal controlnya lemah.

3. Resiko Deteksi (Detection Risk), adalah resiko yang muncul karena auditor tidak
mampu menemukan kesalahan dikarenakan kurang menggunakan tehnik atau
prosedur

19

Anda mungkin juga menyukai