LEPTOSPIROSIS
Oleh:
Henry Wijaya 160070201011044
Arsya Al Ayubi 160070201011015
Venusya A/P Ganesh 160070201011093
Lailatul Evinanta 160070201011100
Pembimbing:
dr. Dewi Indiastari , Sp.PD
Tujuan masalah
1. Mengetahui definisi, epidemologi dan etiologi dari leptospirosis
2. Mengetahui patofisiologi dan gejala klinis dari leptospirosis
3. Mengetahui cara mendiagnosis penyakit leptospirosis
4. Mengetahui tatalaksana penyakit leptospirosis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar luas
diseluruh dunia, disemua benua kecuali antartika, namun angka kejadian
tertinggi yaitu di daerah tropis seperti Asia tenggara dan Amerika Latin.
Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak
insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira,
sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan
(Hadinegoro, 2007).
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150
kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi
di Hawai. Pada tahun 1999, lebih dari 500.000 kasus dilaporkan dari Cina,
dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%. Di Brazil, lebih dari
28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama. (Sudoyo, 2010)
Indonesia merupakan Negara dengan insidens leptospirosis tinggi.
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia untuk mortalitas akibat
leptospirosis menurut International Lepatospirosis Society. Infeksi ini
tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan
Nusa Tenggara Barat dengan insidens meningkat bersamaan dengan
banjir. (Sudoyo, 2009).
2.4 Penularan
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain
yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari
hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia
ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui
kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur
yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi
tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir.
Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang
utuh juga dapat menularkan leptospira.
Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan
hidup berbulan-bulan , maka air memegang peranan penting sebagai alat
transmisi.(Hadinegoro, 2007)
2.5 Patofisiologi
Infeksi dimulai apabila terjadi kontak kulit atau selaput lendir manusia
yang luka dengan air, tanah, atau lumpur yang tercemar air kemih binatang
yang terinfeksi leptospira. Minum air yang terkontaminasi juga dapat
menyebabkan masuknya leptospira. Leptospira yang masuk menyebar ke
organ dan jaringan tubuh melalui darah. Setelah itu terjadi multiplikasi
sehingga leptospira dapat terdeteksi dalam darah dan cairan serebrospinal.
Leptospira dapat mencederai dinding pembuluh darah kecil.
Vaskulitis menyebabkan kebocoran plasma serta ekstravasasi sel,
termasuk perdarahan dapat muncul. Vaskulitis merupakan dasar dari
berbagai manifestasi klinis leptospirosis. Leptospira terutama menyerang
ginjal dan hati, tetapi organ lain dapat terkena juga. Kerusakan yang
diakibatkan toksin terjadi pada lapisan endotel kapiler. Kelainan spesifik
organ yang dapat terjadi antara lain :
a. Ginjal : interstisial nefritis dengan infiltrasi selmononuklear
merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa
gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis
akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolysis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan
menimbulkan kerusakan ginjal.
b. Hati : hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi
sel limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestasis. Pada
kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar.
Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
c. Jantung : kelainan epikardium, endocardium, miokardium. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa intersisial edema dengan
infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrophil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endocarditis.
d. Otot rangka : pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan
berupa local nekrotis, vaskuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot
yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira.
Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
e. Mata : leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang
terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.
f. Pembuluh darah: terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering
ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan
alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
g. Susunan saraf pusat : leptospira mudah masuk ke dalam cairan
serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis.
Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada
saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan
meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arachnoid.
Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling
sering disebabkan oleh L.canicola.
h. Weil Disease : adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
icterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan
kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya
terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil
disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan
oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi
berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.
Sistem imun humoral dan seluler akan bekerja sehingga kuman akan
dieliminasi dari tubuh, kecuali pada ginjal, mata, dan otak. Pada ketiga
organ ini, leptospira dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan.
Pada ginjal, terutama tubulus, akan terbentuk koloni ada dinding lumen
yang menghasilkan endotoksin dan masuk ke urin. Pada mata, leptospira
tinggal di humor akueous menyebabkan uveitis kronik/rekuren (Sudoyo,
2009).
4.Gangguan kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan
sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner.
Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa
keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongestif yang
fatal. Selama fase septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk
enzim atau antigen karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan
permeabilitas endotel dan memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler.
5. Pankreatitis akut
Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang ditemui pada
pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena adanya nekrosis dari
sel-sel pankreasakibat infeksi bakteri leptospira (acute necrotizing
pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut pada leptospirosis bisa
disebabkan karena komplikasi dari gagalnya organ-organ tubuh yang lain
(multiple organ failure), syok septik, dan anemia berat (severe anemia).
2.11 Penatalaksanaan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan
mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal
sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya
dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa
temporer.
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya
pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotic
pilihan dapat dilihat pada Tabel 3. Untuk kasus leptospirosis berat,
pemberian intravena penisilin G, amoksisilin, ampisilin atau eritromisisn
dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan
antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun
sefalosporin.
Tabel 3. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis Doksisiklin 2x100 mg
ringan Ampisilin 4x500-750 mg
Amoksisilin 4x500 mg
Leptospirosis Penisilin G 1,5 juta unit/6 jam (IV)
sedang/berat Ampisilin 1 gram/6 jam (IV
Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200mg/minggu
2.12 Prognosis
Prognosis leptospirosis ditentukan dengan adanya keterlibatan
kerusakan organ, misalnya gagal ginjal dan perdarahan pulmonal.
Penyakit Weil’s memiliki
tingkat mortalitas hingga 40%. Prognosis lebih buruk ditemukan pada
penderita dengan usia lanjut, kadar kreatinin yang meningkat, oliguria dan
trombositopenia. Leptospirosis umumnya tidak menimbulkan sequelae
yang permanen, namun apabila terjadi gagal ginjal maka diperlukan
monitor ketat untuk menilai fungsi ginjal setelah fase akut terlewati (TK,
2005).
2.13 Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit.
Banyaknya hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan.
Bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis
harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi
dengan kemih binatang reservoir. Pemberian doksisiklin 200mg perminggu
dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi
mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.
Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Panama selama 3 minggu,
ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4,2% menjadi 0,2%,
dan efikasi pencegahan 95% (Adler B, 2010).
Vaksinasi terhadap hewan-hewan reservoir sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil
dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Vinets, 2012)..
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Heteroanamnesis dengan anggota keluarga pasien (istri) tanggal 29 September 2017
Keluhan utama:
Penurunan kesadaran
Riwayat pengobatan
Pasien mendapatkan terapi sebagai berikut di RSUD Jati Waluyu Kraksaan :
O2 masker NRBM 10 lpm
Inf Asering 500cc loading
Inf NacL 500cc/24 jam
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Omepazole 2x1 gr
Inj Diazepam 1 amp IV pelan k/p
NE pump 0.05-2mcg/kgBB/menit
Pasang Kateter urin
Riwayat Pribadi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat.
Hobi : Pasien tidak memiliki hobi khusus.
Olah raga : Pasien tidak rutin berolahraga.
Kebiasaan makan : Nasi dengan lauk pauk dan sayuran 3x sehari.
Merokok :-
Minum alkohol : Pasien tidak pernah minum alkohol
Hubungan seks : Hubungan seksual diluar pernikahan disangkal
Jantung
Inspeksi: iktus I : Iktus tidak terlihat
Palpasi: iktus, thrill P : Iktus teraba di ICS V lateral MCL (S)
Perkusi: batas kiri, batas kanan, pinggang P : RHM ~ SL (D)
jantung LHM ~ iktus
Auskultasi: denyut jantung (frekuensi, A : S1, S2 single, murmur (-), gallop (-)
irama) S1, S2, S3, S4, gallop, murmur,
efection click, rub
Abdomen
Inspeksi: kontur, striae, sikatrik, vena, Flat, soefl, BU (+) dalam batas normal,
caput medusae, hernia epigastric pain (-), Liver span 14 cm,
Palpasi: nyeri, defans/rigiditas, massa, Traube’s space tympani, limpa tidak
hernia, hati, limpa, ginjal teraba
Perkusi: resonansi, shifting dullness, Spasme otot perut (+)
undulasi
Perkusi: peristaltik usus, bruit, rub
Punggung
Inspeksi: postur, mobilitas, skoliosis, Dalam batas normal
kifosis, lordosis
Palpasi: nyeri, gybus, tumor
Ekstremitas
Inspeksi: gerak sendi, pembengkakan, Edema ekstremitas tangan/tungkai (-),
merah, deformitas, simetri, edema, sianosis, pucat (-), akral hangat (-), CRT 4 detik
pucat, ulkus, varises, kuku Nyeri otot gastrocnemius (+)
Palpasi: panas, nyeri, massa, edema, denyut
nadi perifer
Akral dingin
CRT > 2 detik
Laboratorium
Leukosit : 32.240
GDS : 82
Ur/Cr : 337,80/13,20
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu
Male/61yo/w26 2. Shock condition 2.1 Septic shock Urin dark field O2 NRBM 10 Lpm PMo :
Anamnesis 2.1.1 Weil disease microscope Subjective
a. Badan panas sejak 7 2.1.2Urosepsis ketika pasien Rehidrasi IVFD NS GCS
hari yang lalu sudah masuk 2000cc, lanjut TTV
b. BAK 5x/hari dengan ruangan maintenance U/ Output
volume total 250cc 20tpm Ur/Cr
c. Pasien bekerja Serologi Urinalisis
sebagai seorang petani (MAT) IVFD D5%10 tpm
PEdu :
Pemeriksaan fisik Kultur darah Drip NE 0.05- Penyakit
Ku : Tampak sakit berat 2mcg/kg/menit bila Terapi
GCS : 334 Kultur urin MAP < 70 Prognosis
(Kemungkinan
a. TD : 90/60 mmHg (on perburukkan
Drip NE) kondisi)
b. Nadi : 106 x/menit,
lemah
c. RR : 24x/menit
d. Tax : 38.2oC
K/L
Sklera ikterik (+)
Akral dingin
CRT > 2 detik
Laboratorium
Leukosit : 32.240
Ur/Cr : 337,80 / 13,20
GDS : 82
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
Pemeriksaan fisik
KU : Tampak sakit berat
GCS : 334
a. TD : 90/60 mmHg
(on Drip NE)
b. Nadi : 106 x/menit,
lemah
c. RR : 24x/menit
d. Tax : 38.2-C
Nyeri di otot
gastronecmius (+)
Laboratorium
Leukosit : 32.240
Trombosit : 102.000
Ur/Cr : 337,80/13,20
Bilirubin T/D/I :
13.10/11.28/2.09
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
Laboratorium
Hb : 9.40
MCV/MCH : 76.70 /
27.80
CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu
Male/61yo/w26 6. 6.1 Weil disease Urin dark field Menunggu Subjektif
Anamnesis Hyperbilirubinemia 6.2 Infeksi hepar microscope konfirmasi TTV
a. Kuning sejak 4 hari mainly direct 6.2.1 Hepatitis A ketika pasien diagnosis Bilirubin
yang lalu 6.3 Gallbladder sudah masuk
b. Badan panas sejak 7 disease ruangan Pedu :
hari yang lalu Penyakit
Serologi Terapi
Pemeriksaan fisik (MAT) prognosis
Sklera ikterik (+)
Nyeri gastronecmius (+) IgM Anti HAV,
Laboratorium USG
Leukosit : 32.240 abdomen
Ur/Cr : 337,80/13,20
Bilirubin T/D/I :
13.10/11.28/2.09
SGOT/SGPT: 188/67
Urinalisis
Bilirubin +2
Laboratorium
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
Subjective-Objective-Assessment-Planning
6.
Hyperbilirubinemia
mainly direct
6.1 Weil disease
6.2 Infeksi Hepar
6.2.1 Hepatitis A
6.3 Gall bladder
diseae
7.
Hypoalbuminemia
7.1 Liver failure
1
7.2 Hypercatabolic
state
6.3 Low intake
8. Leukositosis
8.1 UTI
2
Liver, Limpa :
Dbn 4. AKI st III
Nyeri tekan (-) 4.1 Volume
depletion
Extremitas : 4.2 dt Sepsis
Edema -/-
Akral hangat +/+ 5. Anemia NN
5.1 Blood loss
5.2 Weil disease
6.
Hyperbilirubinemia
mainly direct
6.1 Weil disease
6.2 Infeksi Hepar
6.2.1 Hepatitis A
6.3 Gall bladder
diseae
7.
Hypoalbuminemia
7.1 Liver failure
7.2 Hypercatabolic
state
6.3 Low intake
8. Leukositosis
8.1 UTI
3
BAB 4
PEMBAHASAN
Kasus Teori
Anamnesis A. Orang yang rentan terkena infeksi ini adalah petani, peternak, pekerja tambang,
a. Penurunan kesadaran secara bertahap pagi pekerja rumah potong hewan, penebang kayu, dan dokter hewan.
hari SMRS,
b. Sulit diajak berbicara sejak 4 hari yang B. Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak kulit dengan genangan air,
lalu sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin
c. Kuning sejak 4 hari yang lalu binatang yang terinfeksi leptospira
d. Badan panas sejak 7 hari yang lalu,
menggigil, lemas dan nyeri kaki C. Kerusakan organ terberat pada infeksi leptospira terjadi pada organ hati dan
e. BAK 5x/hari dengan volume total 250cc ginjal, tetapi organ lain juga dapat diserang
f. Pasien bekerja sebagai seorang petani, dan
tidak pernah memakai alas kaki jika bertani D. Perjalanan penyakit leptospirosis dibagi menjadi 2, yaitu fase leptospiremia dan
fase imun. Pada fase leptospiremia pasien akan mengalami gejala awal sakit kepala,
Pemeriksaan fisik nyeri di otot terutama di paha, betis. Demam dengan menggigil, mual, muntah,
a. TD : 90/60 mmHg dan pada 25% kasus dapat terjadi penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik
b. Nadi : 106 x/menit, lemah didapatkan conjungtival suffusion, rash maculopapular atau urtikaria, splenomegali,
c. RR : 24x/menit hepatomegali, limfadenopati. Pada fase imun demam akan meningkat kembali, suhu
-
d. Tax : 38.2 C dapat mencapai 40oC, rasa sakit hampir seluruh tubuh. Terdapat manifestasi
perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan ginjal dan hati.
4
Status generalis
KU : Tampak sakit berat E. Weil Disease: adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya
GCS : 334 disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
Conjungtiva anemis (+) , Sklera ikterik (+) kontinua
Nyeri di otot gastronecmius (+)
Abdomen : Liver span 14 cm
F. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal atau
sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi.
Laboratorium
Didapatkan Anemia. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituri. Bila organ hati
Leukosit : 32.240
terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan
Trombosit : 102.000
kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia
Ur/Cr : 337,80/13,20
terdapat pada 50% kasus. Diagnose pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh
Bilirubin T/D/I : 13.10/11.28/2.09
dan serologi.
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
Penegakan diagnosis Pada kasus dimana skor kriteria faine adalah 20-25, maka perlu dilakukan
Penegakan diagnosis menggunakan faine pemeriksaan selanjutnya untuk mengkonfirmasi diagnosis
criteria, dimana didapatkan skor 22, possible
5
leptospirosis dan tindakan selanjutnya adalah
pemeriksaan serologi untuk
Terapi : Tabel 3. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Di IGD pasien ini diberikan terapi berupa Doksisiklin 2x100 mg
: Leptospirosis ringan Ampisilin 4x500-750 mg
Pada pasien ini diberikan terapi berupa : Amoksisilin 4x500 mg
a. Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr IV Leptospirosis Penisilin G 1,5 juta unit/6 jam (IV)
b. Infus Ciprofloxacin 2 x 200mg IV sedang/berat Ampisilin 1 gram/6 jam (IV)
Mengingat kemungkinan adanya Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)
kemungkinan urosepsis Seftriakson 1 gram/24 jam (IV)
Doksisiklin 100mg/12 jam (IV)
Sefotaksim 1 grma/6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200mg/minggu
6
BAB 5
KESIMPULAN
7
DAFTAR PUSTAKA
Adler, B., De La Peña Moctezuma, A., 2010. Leptospira and leptospirosis. Vet.
Microbiol.140, 287–296
Bharti AR, Nally JE, et al. (2003). Leptospirosis: a zoonotic disease of global
importance. The Lancet Inf Dis. 3(12):757-71.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, SImadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Vinetz JM. Leptospirosis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 1.
18 ed. New York: McGraw Hill; 2012. p.1392 - 6.
World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). Leptospirosis
situation in the WHO South-East Asia Region [internet]. 2017. Available
from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable_
Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-216.pdf
Departemen Kesehatan. 2003. Pedoman Tatalaksana kasus dan pemeriksaan
laboratorium leptospirosis di rumah sakit, Leptospira. Hlm 8-15. Jakarta
Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. 2003. Pedoman Tatalaksana
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan RI : Jakarta.
Hadinegoro. S. R. et.al. 2007. Leptospirosis Ikterik, manisfestasi berat infkesi
Leptospira. Diagnosa dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning.
FK.UI. 4: 78-86.
Setiawan M. 2008. Microscopic Agglutination Test (MAT) Untuk Diagnosis
Leptospirosis pada Manusia. Majalah Kedokteran FK UKI. 26:1-8
Sumarmo, Herry, Sri Rejeki, etal. 2008. Leptospirosis. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis edisi kedua hal. 364-369. Ikatan dokter Anak Indonesia.
Speelman, Peter. 2005. “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal Medicine,
16th ed, vol I. McGraw Hill. 16: 988-991.
Terpstra JW. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveilance
and Control. WHO. 1: 5-14
Zein Umar. 2006. “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 4.
FKUI. 4:1845 - 1848.