Anda di halaman 1dari 41

RESPONSI

LEPTOSPIROSIS

Oleh:
Henry Wijaya 160070201011044
Arsya Al Ayubi 160070201011015
Venusya A/P Ganesh 160070201011093
Lailatul Evinanta 160070201011100

Pembimbing:
dr. Dewi Indiastari , Sp.PD

LABORATORIUM/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................ 2


BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 5
1.3 Tujuan .......................................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 6
2.1 Definisi ........................................................................................ 6
2.2 Epidemologi ................................................................................. 6
2.3 Etiologi ......................................................................................... 8
2.4 Penularan ..................................................................................... 8
2.5 Patofisiologi .................................................................................. 9
2.6 Manifestasi klinis…………………………….………………………...11
2.7 Diagnosis…..................................……………………………………15
2.8 Pemeriksaan penunjang………………………………………………16
2.9 Diagnosis banding……………………………………………………..18
2.10 Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi ……………………..18
2.11 Penatalaksanaan ……………………………………………………..21
2.12 Prognosis ………………………………………………………………22
2.13 Pencegahan ……………………………………………………………22
BAB 3 LAPORAN KASUS ..................................................................... 23
BAB 4 PEMBAHASAN .......................................................................... 37
BAB 5 KESIMPULAN ............................................................................ 40
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….41
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai
penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus.
Leptospira adalah penyakit infeksi akut yang dapat menginfeksi hewan
maupun manusia sebagai hospesnya. Leptospira bisa terdapat pada
binatang piaraan maupun binatang liar seperti anjing, babi, lembu, kuda,
kucing, marmut dan binatang pengerat lainnya seperti tupa, musang,
kelelawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut,
leptospira hidup di dalam ginjal atau air kemihnya. Tikus dan binatang
pengerat lainnya merupakan vektor utama atau hospes primer dari L.
interrogans penyebab leptospirosis pada manusia. Penyakit ini
ditransmisikan melalui urin dari hewan yang terinfeksi atau kontak dengan
tempat yang terkena urin hewan yang terinfeksi tersebut. Manusia dapat
terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air atau tanah yang sudah telah
mengandung urin atau terkontaminasi urin dari hewan terinfeksi. Leptospira
dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Selain kontak dengan
air dan tanah yang terkontaminasi, manusia juga dapat terinfeksi jika
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh hewan
tersebut. Leptospirosis biasanya tidak ditularkan dari manusia ke manusia
(Sumarmo, 2008).
Leptospira interrogans merupakan family dari Spirochaetaceae,
yang mana bakteri patogen ini berbentuk spiral dan ramping. Saat ini
terdapat lebih dari 200 serotipe dan 23 serogrup yang sudah teridentifikasi
dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia. Internasional Leptospirosis
Society menyatakan Indonesia sebagai Negara dengan dengan insidens
leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di
Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, D.I Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu, Riau,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat.
Kejadian Luar Biasa tercatat terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002),
Bekasi (2002), dan Semarang (2003). Pada kejadian banjir besar di Jakarta
tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20
kematian. Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
bersifat emerging disease, terutama di wilayah Asia Tenggara (South-East
Asia region). Kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, menjadi wilayah endemis untuk leptospirosis, terutama pada
daerah-daerah yang sering mengalami banjir (Bharti, 2003).
Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan
sampai dengan gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan,
leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri
kepala serta mialgia oleh sebab itu diagnosis pada leptospirosis ringan
seringkali terlewatkan karena mirip dengan gejala penyakit infeksi lainnya
seperti influenza, meningitis, hepatitis, demam dengue. Dalam bentuk
parah (disebut sebagai Weil’s syndrome), leptospirosis secara khas
menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan diatesis hemoragika.
Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit
ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji
laboratorium (Adler B, 2010).
Leptospirosis merupakan masalah yang serius namun masih dapat
diatasi dengan penenganan yang tepat. Hal ini masih sulit untuk dilakukan
namun dengan perkembangan teknik penegakkan diagnosis dan
kewaspadaan serta pengetahuan yang tepat maka dignosis leptospirosis
dapat ditegakkan dengan tepat dan cepat (Adler B, 2010).
Rumusan Masalah
1. Apakah Definisi, epidemologi dan etiologi dari leptospirosis ?
2. Bagaimana patofisiologi dan gejala klinis dari leptospirosis ?
3. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit leptospirosis ?
4. Bagaimana tatalaksana penyakit leptospirosis ?

Tujuan masalah
1. Mengetahui definisi, epidemologi dan etiologi dari leptospirosis
2. Mengetahui patofisiologi dan gejala klinis dari leptospirosis
3. Mengetahui cara mendiagnosis penyakit leptospirosis
4. Mengetahui tatalaksana penyakit leptospirosis
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang


manusia maupun hewan yang disebabkan mikroorganisme leptospira
patogen tanpa memandang bentuk spesifik serotipenya dan digolongkan
sebagai zoonosis. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud
fever, slime fever, swamp fever, flood fever autumnal fever, infektious
jaundice, field fever, cane cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-
day fever, rice field fever, stuttgard disease, swinherd’s disease, trench
fever, demam kemih tikus atau jika dalam keadaan berat dikenal dengan
weil disease yang ditandai dengan icterus, perdarahan, anemia, azotemia,
gangguan kesadaran, dan demam terus menerus dengan gambaran klinis
bervariasi berupa gangguan renal, hepar, dan disfungsi vascular. Penyakit
ini pertama sekali ditemukan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan
penyakit yang disertai ikterus ini dengan penyakit lain yang juga
menyebabkan ikterus (Sumarmo, 2008).

2.2 Epidemiologi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar luas
diseluruh dunia, disemua benua kecuali antartika, namun angka kejadian
tertinggi yaitu di daerah tropis seperti Asia tenggara dan Amerika Latin.
Penyakit ini bersifat musiman, didaerah beriklim sedang masa puncak
insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup kuman leptospira,
sedangkan didaerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan
(Hadinegoro, 2007).
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150
kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi
di Hawai. Pada tahun 1999, lebih dari 500.000 kasus dilaporkan dari Cina,
dengan nilai case fatality rates dari 0,9 sampai 7,9%. Di Brazil, lebih dari
28.000 kasus dilaporkan pada tahun yang sama. (Sudoyo, 2010)
Indonesia merupakan Negara dengan insidens leptospirosis tinggi.
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia untuk mortalitas akibat
leptospirosis menurut International Lepatospirosis Society. Infeksi ini
tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan
Nusa Tenggara Barat dengan insidens meningkat bersamaan dengan
banjir. (Sudoyo, 2009).

Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat,


Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera
Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada
Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100
kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi
akibat terpapar oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh
urin hewan yang terinfeksi.(Sumarmo,2008)
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa
mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan
hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih
tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus.
Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan,
penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh
tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku
juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai,
seperti berenang atau rafting(Zein,2006).
2.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan Leptospira interrogan dari genus
Leptospira dan family treponemataceae, suatu mikroorganisme spirocheta.
Kuman leptospira berbentuk spiral, tipis, dengan panjang 5-15 μm dan lebar
0,1 – 0,2 mm. Salah satu ujung organisme sering membengkak,
membentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan
adanya flagella. Spirochete ini demikian halus sehingga dalam mikroskop
lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil.
Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi
leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan
leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap (darkfield microscope).
Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh
dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat
kultur yang positif. Dengan medium Fletcher’s dapat tumbuh dengan baik
sebagai obligat aerob (Speelman, 2005).
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies :
L.interrogans yang pathogen dan L.biflexa yang non pathogen/saprofit.
L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogroup dan kemudian serovarian
dengan jenis tersering yang menyerang manusia adalah
L.icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L.canicola dengan
reservoiranjing, dan L.pomona dengan reservoir babi dan sapi (Sudoyo,
2009)

2.4 Penularan
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung.
Penularan langsung dapat terjadi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain
yang mengandung kuman leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu; dari
hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan; dan dari manusia
ke manusia meskipun jarang Penularan tidak langsung terjadi melalui
kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur
yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi leptospira. Infeksi
tersebut terjadi jika terdapat luka / erosi pada kulit atau selaput lendir.
Terpapar lama pada genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang
utuh juga dapat menularkan leptospira.
Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan
hidup berbulan-bulan , maka air memegang peranan penting sebagai alat
transmisi.(Hadinegoro, 2007)

2.5 Patofisiologi
Infeksi dimulai apabila terjadi kontak kulit atau selaput lendir manusia
yang luka dengan air, tanah, atau lumpur yang tercemar air kemih binatang
yang terinfeksi leptospira. Minum air yang terkontaminasi juga dapat
menyebabkan masuknya leptospira. Leptospira yang masuk menyebar ke
organ dan jaringan tubuh melalui darah. Setelah itu terjadi multiplikasi
sehingga leptospira dapat terdeteksi dalam darah dan cairan serebrospinal.
Leptospira dapat mencederai dinding pembuluh darah kecil.
Vaskulitis menyebabkan kebocoran plasma serta ekstravasasi sel,
termasuk perdarahan dapat muncul. Vaskulitis merupakan dasar dari
berbagai manifestasi klinis leptospirosis. Leptospira terutama menyerang
ginjal dan hati, tetapi organ lain dapat terkena juga. Kerusakan yang
diakibatkan toksin terjadi pada lapisan endotel kapiler. Kelainan spesifik
organ yang dapat terjadi antara lain :
a. Ginjal : interstisial nefritis dengan infiltrasi selmononuklear
merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa
gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis
akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal,
hemolysis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan
menimbulkan kerusakan ginjal.
b. Hati : hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi
sel limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestasis. Pada
kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar.
Biasanya organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
c. Jantung : kelainan epikardium, endocardium, miokardium. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa intersisial edema dengan
infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrophil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada
miokardium dan endocarditis.
d. Otot rangka : pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan
berupa local nekrotis, vaskuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot
yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira.
Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.
e. Mata : leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibody yang
terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.
f. Pembuluh darah: terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering
ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan
alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.
g. Susunan saraf pusat : leptospira mudah masuk ke dalam cairan
serebrospinal (CSS) dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis.
Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada
saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya meningitis
diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan
meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arachnoid.
Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling
sering disebabkan oleh L.canicola.
h. Weil Disease : adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
icterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan
kesadaran dan demam tipe kontinua. Penyakit weil ini biasanya
terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis. Penyebab weil
disease adalah serotype icterohaemorragica pernah juga dilaporkan
oleh serotype copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis bervariasi
berupa gangguan renal, hepatic atau disfungsi vascular.
Sistem imun humoral dan seluler akan bekerja sehingga kuman akan
dieliminasi dari tubuh, kecuali pada ginjal, mata, dan otak. Pada ketiga
organ ini, leptospira dapat bertahan selama beberapa minggu atau bulan.
Pada ginjal, terutama tubulus, akan terbentuk koloni ada dinding lumen
yang menghasilkan endotoksin dan masuk ke urin. Pada mata, leptospira
tinggal di humor akueous menyebabkan uveitis kronik/rekuren (Sudoyo,
2009).

2.6 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Gambaran klinis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Manifestasi Klinis pada Leptospirosis
Sering : demam, menggigil, sakit kepala,
meningismus, anoreksia, mialgia,
conjunctival suffusion, mual muntah,
nyeri abdomen, ikterus, hepatomegali,
ruam kulit, fotofobi
Jarang : pneumonitis, hemaptoe, delirium,
perdarahan, diare, edema, splenomegali,
artralgia, gagal ginjal, peroferal neuritis,
pankreatitis, parotitis, epididimitis,
hematemesis, asites, miokarditis

Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas ( bifasik ) yaitu fase


leptospiremia/septikemia dan fase imun.

Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)


Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah
dan css, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha,
betis dan pingang disertai nyeri tekan pada otot tersebut. Mialgia dapat di
ikuti dengan hiperestesi kulit, demam tinggi yang disertai mengigil, juga
didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada
sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan
keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4
dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan fotophobia. Pada kulit dapat
dijumpai rash yang berbentuk macular, makulopapular atau urtikaria.
Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati.
Fase ini berlangsung 4-7 hari.
Jika cepat di tangani pasien akan membaik, suhu akan kembali
normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali
normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit yang lebih berat
demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3 hari,
setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase
imun ( Sumarmo, 2008)

Fase Imun (minggu ke-2)


Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab antibodi dapat
terdeteksi dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat diisolasi dari urin,
namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan serebrospinalis.
Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap
infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih.
Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala
pada fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama
beberapa hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala
penyakit bertahan sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase
yang ke-2 ini tidak begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77%
pasien dilaporkan mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat
dikonrol dengan preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan
tanda awal dari meningitis.
Anicteric disesase ( meningitis aseptik ) merupakan gejala klinik
paling utama yang menandai fase imun anicteric Gejala dan keluhan
meningeal ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan
cerebrospinalis yang pleiositosis ditemukan pada sebagian besar pasien.
Gejala meningeal umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat
pula menetap sampai beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak
dialami oleh kasus anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa
Icteris disease atau yang disebut dengan Weil Disease timbul pada
minggu kedua setelah infeksi terjadi, merupakan keadaan di mana
leptospira dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah warna
kekuningan timbul. Pada fase ini terjadi hipovolemia dan penurunan perfusi
ke ginjal sehingga terjadi akut tubular nekrosis yang ditandai dengan
adanya oligouria dan lama kelamaan menjadi anuria. Apabila telah terjadi
anuria maka prognosis menjadi jelek. Gangguan ginjal ini menimbulkan
anoreksia, mual, pusing, yang berkembang menjadi kejang stupor dan
koma pada kasus yang berat. Gejala lain yang ditemukan adalah nyeri perut
disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada 30 % kasus ),
hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis ditemukan pada
2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase lanjut dari
penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis dan khorioretinitis ( komplikasi lambat
yang dapat menetap selama beberapa tahun ) dapat muncul pada minggu
ketiga namun dapat pula muncul beberapa bulan setelah awal penyakit.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia
subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan
aquaeous. Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria,
hematuria, proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi
paru ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak
kemerahan dan nyeri otot juga dapat ditemukan.

Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)


Demam dan nyeri otot masih bisa dijumpai yang kemudian
berangsur-angsur hilang. (Zain, 2006)
2.7 Diagnosis
Pada umumnya diagnosis awal leptospirosis sulit, karena pasien
biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia,
influenza, sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan
diatetesis hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis.
Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien,
pakah termasuk kelompok risiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam
yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot,
mata merah/fotofobia, mual atau muntah. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegaly dan lain-lain. Pada
pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal atau
sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang
meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria dan thorax. Bila organ
hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase.
BUN, ureum dan kreatinin juga bias meninggi bila terjadi komplikasi pada
ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus. Diagnose pasti dengan
isolasi leptospira dari cairan tubuh dan serologi.
Kultur : dengan mengambil specimen dari darah atau CCS segera pada
awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil
specimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotic. Kultur urin
diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada specimen yang
terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan.
Serologi : jenis uji serologi dapat dilihat pada Tabel 2. Pemeriksaan untuk
mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan
Plymerase Chain Reaction (PCR), silver stain atau fluroscent antibody
stain, dan mikroskop lapangan gelap (Sudoyo, 2009).
Tabel 2. Jenis Uji Serologi pada Leptospirosis
Macroscopic Slide
Microscopic Agglutination
Agglutination Test
test (MAT)
(MSAT)
Uji carik celup: Enzyme linked
imunosorbant assay
(ELISA)
>Lepto Dipstick Microcapsule
agglutination test
>Lepto Tek Lateral Flow Patoc-slide agglutination
test (PSAT)
Aglutinasi lateks kering Sensitized erythrocyte
(Lepto Tek Dry-Dot) lysis test (SEL)
Indirect fluorescent antibody Counter immune
test (IFAT) electrophoresis (CIE)
Indirect haemagglutination
test (IHA)
Uji aglutinasi lateks
Complement fixation test
(CFT)

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Vinets tahun 2012, beberapa pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis dan tingkat keterlibatan
organ pada infeksi leptospirosis, diantaranya adalah:

1. Pemeriksaan darah lengkap


Pada pemeriksaan DL dapat ditemukan leukositosis dengan shift to the left
serta peningkatan laju endap darah (LED). Adanya perdarahan pada paru
atau organ lain dapat memberikan gambaran anemia. Trombositopenia
adalah satu pemeriksaan yang umum ditemukan pada infeksi trombosit,
walaupun adanya trombositopenia tidak berarti terjadi koagulasi
intravaskular diseminata. Pada pasien dengan penyakit Weil’s dengan
keterlibatan ginjal dapat ditemukan peningkatan kadar ureum serta
kreatinin darah. Kadar bilirubin juga dapat meningkat sebagai akibat
obstruksi pada level intrahepatik. Kadar alkalin fosfatase juga dapat
meningkat hingga 10 kali lipat.
2. Urinalisis
Pada urinalisis dapat ditemukan proteinuria. Pada pemeriksaan
mikroskopis dapat ditemukan leukosit, eritrosit, serta sedimen hyaline
maupun sedimen granular.
3. Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks dilakukan untuk melihat keterlibatan paru pada penyakit
Weil’s. Ultrasonografi (USG) abdomen juga dapat dilakukan untuk melihat
adanya kolesistitis.
4. Pemeriksaan serologis
Antibodi antileptospira dapat dideteksi dengan menggunakan tes aglutinasi
mikroskopik (MAT) meskipun ketersediaannya saat ini masih terbatas.
Selain MAT, pemeriksaan serologis lain seperti ELISA IgM atau SAT juga
dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
5. Mikroskop lapang gelap
Ditemukannya spiroketa dengan mikroskop lapang gelap dapat membantu
penegakan
diagnosa leptospirosis.

Meskipun pemeriksaan penunjang dapat membantu penegakan


diagnosis leptospirosis, diagnosis definitif leptospirosis dilakukan dengan
penemuan organisme dalam isolasi kultur dalam medium semisolid (misal;
medium EMJH Fletcher) ataupun dengan pemeriksaan lapang gelap, tes
serologis, dan deteksi DNA spesifik dengan PCR (Setiawan, 2008).
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding leptospirosis akut tergantung pada fase dalam
perjalanan penyakitnya. Pada fase akut ketika gejala yang dominan adalah
demam dan mialgia, diagnosis banding leptospirosis antara lain seperti
influenza, malaria, infeksi virus seperti dengue atau chikungunya. Pada fase
berat, penyakit Weil’s diagnosis banding dapat berkembang menjadi
malaria, demam tifoid atau hepatitis viral dengan berbagai macam
keterlibatan organ (Sudoyo, 2009).

2.10 Komplikasi dan Penatalaksanaan Komplikasi


Menurut Vinets tahun 2012, terdapat beberapa komplikasi dari
leptospirosis, diantaranya adalah gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal
hepar akut (72% dari kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus),
gangguan kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25%
dari kasus).
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita leptospirosis adalah:
1.Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria dapat timbul 4-
10 hari setelah gejala leptospirosis terlihat. Terjadinya gagal ginjal akut
pada penderita leptospirosis melalui 3 mekanisme:
a. Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira
Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai
efek langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen menuju
kapiler peritubuler kemudian menuju jaringan interstitium, tubulus, dan
lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi
atau efek endotoksin leptospira.
b. Reaksi imunologi
Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya kompleks imun dalam
sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron dence bodies
dalam glomerulus, membuktikan adanya proses immune-complex
glomerulonephritis dan terjadi tubulo interstitial nefritis.
c. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain
→ iskemia ginjal
Hipovolemia dan hipotensi sebagai akibat adanya:
-Intake cairan yang kurang
-Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
-Pelepasan kinin, histamin, serotonin, prostaglandin, semua ini akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
kebocoran albumin dan cairan intravaskuler.
-Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel menyebabkan permeabilitas
sel dan vaskuler meningkat.
-Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan
menyebabkan vasokonstriksi.
-Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan
viskositas darah meningkat. Iskemia ginjal, glomerulonefritis, tubulo
interstitial nefritis, dan invasi kuman menyebabkan terjadinya nekrosis →
gagal ginjal akut.

2.Gagal hepar akut


Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel Kupfer
disertai kolestasis. Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal
yang akan menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar
bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis
intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin, proliferasi sel Kupfer
sehingga terjadi kolestatik intra hepatik.

3. Gangguan respirasi dan perdarahan paru


Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang bervariasi,
diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai dengan Adult
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan Severe Pulmonary
Haemorrhage Syndrome (SPHS). Paru dapat mengalami perdarahan
dimana patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Perdarahan paru
terjadi diduga karena masuknya endotoksin secara langsung sehingga
menyebabkan kerusakan kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi
pada pleura, alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti septum paru,
perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear. Pada
pemeriksaan histologi ditemukan adanya kongesti pada septum paru,
oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat fibrin. Perdarahan paru
dapat menimbulkan kematian pada penderita leptospirosis.

4.Gangguan kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan
sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner.
Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa
keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongestif yang
fatal. Selama fase septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk
enzim atau antigen karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan
permeabilitas endotel dan memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler.

5. Pankreatitis akut
Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang ditemui pada
pasien leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena adanya nekrosis dari
sel-sel pankreasakibat infeksi bakteri leptospira (acute necrotizing
pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut pada leptospirosis bisa
disebabkan karena komplikasi dari gagalnya organ-organ tubuh yang lain
(multiple organ failure), syok septik, dan anemia berat (severe anemia).
2.11 Penatalaksanaan
Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan
mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal
sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya
dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien.
Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisa
temporer.
Pemberian antibiotic harus dimulai secepat mungkin, biasanya
pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotic
pilihan dapat dilihat pada Tabel 3. Untuk kasus leptospirosis berat,
pemberian intravena penisilin G, amoksisilin, ampisilin atau eritromisisn
dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan
antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun
sefalosporin.
Tabel 3. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Leptospirosis Doksisiklin 2x100 mg
ringan Ampisilin 4x500-750 mg
Amoksisilin 4x500 mg
Leptospirosis Penisilin G 1,5 juta unit/6 jam (IV)
sedang/berat Ampisilin 1 gram/6 jam (IV
Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200mg/minggu

Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama,


namun perlu diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di
darah (fase leptospiraemia). Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi
Jarisch-Herxherimer 4 sampai 6 jam setelah pemberian intravena, yang
menunjukkan adanya aktivitas anti leptospira. Tindakan suportif diberikan
sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia
berat sebaiknya dilakukan dialysis (Sudoyo, 2009).

2.12 Prognosis
Prognosis leptospirosis ditentukan dengan adanya keterlibatan
kerusakan organ, misalnya gagal ginjal dan perdarahan pulmonal.
Penyakit Weil’s memiliki
tingkat mortalitas hingga 40%. Prognosis lebih buruk ditemukan pada
penderita dengan usia lanjut, kadar kreatinin yang meningkat, oliguria dan
trombositopenia. Leptospirosis umumnya tidak menimbulkan sequelae
yang permanen, namun apabila terjadi gagal ginjal maka diperlukan
monitor ketat untuk menilai fungsi ginjal setelah fase akut terlewati (TK,
2005).

2.13 Pencegahan
Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit.
Banyaknya hospes perantara dan jenis serotype sulit untuk dihapuskan.
Bagi mereka yang mempunyai resiko tinggi untuk tertular leptospirosis
harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat
melindunginya dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi
dengan kemih binatang reservoir. Pemberian doksisiklin 200mg perminggu
dikatakan bermanfaat untuk mengurangi serangan leptospirosis bagi
mereka yang mempunyai resiko tinggi dan terpapar dalam waktu singkat.
Penelitian terhadap tentara Amerika di hutan Panama selama 3 minggu,
ternyata dapat mengurangi serangan leptospirosis dari 4,2% menjadi 0,2%,
dan efikasi pencegahan 95% (Adler B, 2010).
Vaksinasi terhadap hewan-hewan reservoir sudah lama
direkomendasikan, tetapi vaksinasi terhadap manusia belum berhasil
dilakukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Vinets, 2012)..
BAB 3
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. MT
No Rekam Medis : 11360365
Umur : 61 Tahun
Tanggal lahir : 02-04-1956
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Plakpak RT18/RW5 Besuk Agung,
Probolinggo
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Status : Menikah
Suku : Jawa
Agama : Islam

3.2 ANAMNESIS
Heteroanamnesis dengan anggota keluarga pasien (istri) tanggal 29 September 2017

Keluhan utama:
Penurunan kesadaran

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien merupakan rujukan dari RSUD Waluyo Jati Kraksaan. Pasien
dibawa oleh keluarganya dengan keluhan tidak sadarkan diri sejak pagi hari
sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien dikeluhkan kejang selama 2 menit dan
kemudian tidak sadarkan diri setelah kejang. Sebelumnya (4 hari yang lalu) pasien
telah dikeluhkan mulai tidak jelas saat berbicara dan cenderung tidak dapat
mengerti tentang apa yang sedang diperbicarakan. Lemas sebagian badan (-), bicara
pelo (-)
Pasien juga dikeluhkan badannya panas sejak 7 hari yang lalu, dengan onset
yang bertahap. Pasien mengatakan bahwa pola demam adalah tidak jelas, panas
dirasakan di seluruh tubuhnya. Suhu demam tidak diukur oleh pasien. Pasien juga
merasakan menggigil dan berkeringat saat demam. Badan pasien juga tampak lemas
dan nyeri kedua kaki saat demam.
Pasien tampak kuning sejak 4 hari yang lalu. Kuning tampak di daerah mata
dan di daerah wajah. Tidak ada gatal-gatal pada pasien, tinja tidak berwarna
dempul, dan air kencing tidak seperti warna teh.
Pasien BAK 5x/hari dengan volume rata-rata tiap BAK adalah 50cc. BAB
1x setiap 2 hari

Riwayat penyakit dahulu


Riwayat keluhan seperti ini sebelumnya (-), riwayat hipertensi dan diabetes
disangkal.

Riwayat pengobatan
Pasien mendapatkan terapi sebagai berikut di RSUD Jati Waluyu Kraksaan :
 O2 masker NRBM 10 lpm
 Inf Asering 500cc loading
 Inf NacL 500cc/24 jam
 Inj. Ceftriaxon 2x1 gr
 Inj Omepazole 2x1 gr
 Inj Diazepam 1 amp IV pelan k/p
 NE pump 0.05-2mcg/kgBB/menit
 Pasang Kateter urin

Riwayat penyakit keluarga


Tidak didapatkan riwayat sakit yang serupa pada keluarga
Riwayat sosial
Pasien bekerja sebagai seorang petani, dan tidak pernah memakai alas kaki jika
sedang bertani. menikah dengan seorang istri dan memiliki 2 orang anak.
Riwayat teman kerja dengan keluhan serupa (-)

Riwayat Pribadi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat.
Hobi : Pasien tidak memiliki hobi khusus.
Olah raga : Pasien tidak rutin berolahraga.
Kebiasaan makan : Nasi dengan lauk pauk dan sayuran 3x sehari.
Merokok :-
Minum alkohol : Pasien tidak pernah minum alkohol
Hubungan seks : Hubungan seksual diluar pernikahan disangkal

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status pasien saat di IGD RSSA tanggal 27 September 2016
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : GCS : 334
Tensi : 90/60 mmHg
Nadi : 106 bpm
Pernafasan : 24 tpm
Suhuaxilla : 38,2°C
SpO2 : 97% dengan NRBM 10 lpm

Kepala dan Leher


Inspeksi: Bentuk kepala, sikatrik, Bentuk kepala normocephal, sikatrik (-),
pembengkakan pembengkakan KGB nyeri tekan (-), tiroid
Palpasi: Kelenjar limfe, pembengkakan, di tengah trakea, tidak ada deviasi, pulsasi
nyeri tekan, tiroid, trakea, pulsasi vena vena dalam batas normal.
Auskultasi: Bruit Bruit (-)
JVP R+2 cm H2O, 30o
Kaku kuduk (-)
Toraks
Pulmo
Inspeksi: simetri, gerakan, respirasi, I : Dinamis D = S
irama, payudara, tumor P : Stem fremitus tidak dapat diperiksa
Palpasi: stem/taktil fremitus P:S S
Perkusi: resonansi S S
Auskultasi: suara nafas, rales, ronkhi, S S
wheezing, bronkofoni A : V V Rh - - Wh - -
V V - - - -
V V - - - -

Jantung
Inspeksi: iktus I : Iktus tidak terlihat
Palpasi: iktus, thrill P : Iktus teraba di ICS V lateral MCL (S)
Perkusi: batas kiri, batas kanan, pinggang P : RHM ~ SL (D)
jantung LHM ~ iktus
Auskultasi: denyut jantung (frekuensi, A : S1, S2 single, murmur (-), gallop (-)
irama) S1, S2, S3, S4, gallop, murmur,
efection click, rub
Abdomen
Inspeksi: kontur, striae, sikatrik, vena, Flat, soefl, BU (+) dalam batas normal,
caput medusae, hernia epigastric pain (-), Liver span 14 cm,
Palpasi: nyeri, defans/rigiditas, massa, Traube’s space tympani, limpa tidak
hernia, hati, limpa, ginjal teraba
Perkusi: resonansi, shifting dullness, Spasme otot perut (+)
undulasi
Perkusi: peristaltik usus, bruit, rub
Punggung
Inspeksi: postur, mobilitas, skoliosis, Dalam batas normal
kifosis, lordosis
Palpasi: nyeri, gybus, tumor
Ekstremitas
Inspeksi: gerak sendi, pembengkakan, Edema ekstremitas tangan/tungkai (-),
merah, deformitas, simetri, edema, sianosis, pucat (-), akral hangat (-), CRT 4 detik
pucat, ulkus, varises, kuku Nyeri otot gastrocnemius (+)
Palpasi: panas, nyeri, massa, edema, denyut
nadi perifer

3.4 PEMERIKSAAN TAMBAHAN / PENUNJANG

3.4.1 Pemeriksaan CXR Tanggal 30-09-2017


Posisi PA, simetris, KV cukup, inspirasi cukup
Soft tissue: normal
Trakhea: terletak di tengah
Hemidiaphragma D dan S dome shaped
Sudut costophrenicus D dan S lancip
Jantung letak normal, CTR 59%
Paru dalam batas normal
Kesimpulan: Cor dan pulmo dalam batas normal

3.4.2 Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 28/09/2017 PUKUL 00.56


Lab Nilai NilaiRujukan
Hematologi
Hemoglobin 9.40 gr/dl 13,4-17,7
Eritrosit 3.380.000 sel / µL 4,0 - 5,5.106
Leukosit 32.240 sel / µL 4,3-10,3.103
Hematokrit 25.90% 40-47
Trombosit 102.000 sel / µL 142-424.103
MCV 80.60 fl 80-93
MCH 27.80 pg 27-31
MCHC 36,30 g/Dl 32-36
HitungJenis:
Eosinophil 0,1 % 0-4
Basophil 0,2 % 0-1
Neutrophil 91.4 % 51-67
Limfosit 3.5 % 25-33
Monosit 4.8 % 2-5
Kimia Klinik
Faal hati
Bilirubin total 13.10 mg/dl <1.0
Bilirubin direk 11.28 mg/dl < 0.25
Bilirubin indirek 1.82 mg/dl <0.75
AST / SGOT 188 U/L 0-40
ALT / SGPT 67 U/L 0-41
Albumin 2.09 g/dL 3.5 – 5.5
Metabolisme karbohidrat
Gula darah sewaktu 82 mg/dL <200
Faal Ginjal
Ureum 337.80 mg/dL 16.6 – 48.5
Kreatinin 13.20 mg/dL < 1.2
Immunoserologi
HbsAg Reaktif
Anti – HCV Negatif
Elektrolit
Natrium 130 mmol/L 136-145
Kalium 3,03 mmol/L 3.5-5.0
Klorida 103 mmol/L 98-106

Lab Nilai NilaiRujukan


Urinalisis
Kekeruhan Keruh
Warna Kuning
pH 6.0 4.5-8.0
Berat jenis 1.010 1.005-1.030
Glukosa Negatif Negatif
Protein 2+ Negatif
Keton Negatif Negatif
Bilirubin 2+ Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit 3+ Negatif
Darah 2+ Negatif
10x
Epitel + LPK ≤1
Silinder Negatif LPK
40x
Eritrosit 8-10 LPB ≤3
Eumorfik -%
Dismofrfik -%
Leukosit > 100 LPB ≤5
Kristal - LPB
Bakteri +++ x 103/ml ≤23 x 103/ml
Lain-lain

3.4.3 Pemeriksaan Elektrokardiografi Tanggal 28/09/2017 PUKUL 04.00

Irama : Irama sinus


Rate : 85 bpm
Frontal axis : Normal
Horizontal axis : Normal
PR interval : 0.2 s
QRS complex : 0.10 s
QT interval : 0.38 s
Kesimpulan : Irama sinus dengan frekuensi 85 bpm
3.4.3 Problem Oriented Medical Report (POMR)

CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu


Male/61yo/w26 1. Decreased of 1.1 Septic Kultur darah Pasang NGT PMo :
Anamnesis Consciousnes encephalopathy Subjective
a. Penurunan kesadaran 1.2 Uremic Kultur urin Rehidrasi IVFD NS GCS
secara bertahap pagi encephalopathy 2000cc, lanjut TTV
hari SMRS, 1.3 Hypoxic maintenance U/ Output
b. Sulit diajak berbicara encephalopathy 20tpm Bilirubin
sejak 4 hari yang lalu 1.4 Urosepsis Ur/Cr
c. Kuning sejak 4 hari IVFD D5%10 tpm Urinalisis
yang lalu
d. Badan panas sejak 7 HD Cito PEdu :
hari yang lalu Penyakit
e. BAK 5x/hari dengan Terapi
volume total 250cc Prognosis
(Kemungkinan
Pemeriksaan fisik perburukkan
Ku : Tampak sakit berat kondisi)
GCS : 334

a. TD : 90/60 mmHg (on


Drip NE)
b. Nadi : 106 x/menit,
lemah
c. RR : 24x/menit
d. Tax : 38.2oC

Akral dingin
CRT > 2 detik

Laboratorium
Leukosit : 32.240
GDS : 82
Ur/Cr : 337,80/13,20

Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu
Male/61yo/w26 2. Shock condition 2.1 Septic shock Urin dark field O2 NRBM 10 Lpm PMo :
Anamnesis 2.1.1 Weil disease microscope Subjective
a. Badan panas sejak 7 2.1.2Urosepsis ketika pasien Rehidrasi IVFD NS GCS
hari yang lalu sudah masuk 2000cc, lanjut TTV
b. BAK 5x/hari dengan ruangan maintenance U/ Output
volume total 250cc 20tpm Ur/Cr
c. Pasien bekerja Serologi Urinalisis
sebagai seorang petani (MAT) IVFD D5%10 tpm
PEdu :
Pemeriksaan fisik Kultur darah Drip NE 0.05- Penyakit
Ku : Tampak sakit berat 2mcg/kg/menit bila Terapi
GCS : 334 Kultur urin MAP < 70 Prognosis
(Kemungkinan
a. TD : 90/60 mmHg (on perburukkan
Drip NE) kondisi)
b. Nadi : 106 x/menit,
lemah
c. RR : 24x/menit
d. Tax : 38.2oC

K/L
Sklera ikterik (+)
Akral dingin
CRT > 2 detik
Laboratorium
Leukosit : 32.240
Ur/Cr : 337,80 / 13,20
GDS : 82

Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB

CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu


Male/61yo/w26 3.Fever + 3.1 Weil’s disease Urin dark field O2 NRBM 10 Lpm Subjektif
Anamnesis Leukositosis + 3.2 Septic MODS microscope TTV
a. Penurunan kesadaran Trombositopenia 3.2.1. Urosepsis ketika pasien Rehidrasi IVFD NS Darah lengkap
secara bertahap pagi + Azotemia + 3.3. Sirosis Hepatis sudah masuk 2000cc, lanjut Bilirubin
hari SMRS, Hiperbilirubinemia ruangan maintenance Ur/Cr
b. Sulit diajak berbicara + Ikterus + 20tpm
sejak 4 hari yang lalu Increased Serologi Pedu :
c. Kuning sejak 4 hari transaminase (MAT) IV : Penyakit
yang lalu a. Inj Ceftriaxone Terapi
d. Badan panas sejak 7 2 x 1 gr IV Prognosis
hari yang lalu b. Infus
e. BAK 5x/hari dengan Ciprofloxacin 2 x
volume total 250cc 200mg IV
f. Pasien bekerja
sebagai seorang petani

Pemeriksaan fisik
KU : Tampak sakit berat
GCS : 334

a. TD : 90/60 mmHg
(on Drip NE)
b. Nadi : 106 x/menit,
lemah
c. RR : 24x/menit
d. Tax : 38.2-C

Conjungtiva anemis (+) ,


Sklera icterus (+)

Nyeri di otot
gastronecmius (+)

Laboratorium
Leukosit : 32.240
Trombosit : 102.000
Ur/Cr : 337,80/13,20
Bilirubin T/D/I :
13.10/11.28/2.09

Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB

CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu


Male/61yo/w26 4. AKI St III 4.1 Volume Mencari Rehidrasi IVFD NS Subjektif
Anamnesis depletion penyebab 2000cc, lanjut TTV
BAK 5x/hari dengan sepsis (Kultur maintenance Urine output
volume 150cc darah, urin, 20tpm Kreatinin
sputum, tes
Pemeriksaan fisik diagnostik Pedu :
untuk Penyakit
Laboratorium lepstospira) Terapi
Uruem : 337,80 Prognosis
Creatinin : 13,20 mg/dL
BUN/Cr : 11,7

CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu


Male/61yo/w26 5. Anemia 5.1 Def Fe SI, TIBC, - Subjektif
Anamnesis Hypochromic 5.2 Chronic Blood Saturasi TTV
Micrositer loss Transferin
Pemeriksaan fisik 5.3 Weil disease PEdu :
Nadi : 106 x/menit, Penyakit
lemah Terapi
RR : 24x/menit Prognosis

Conjungtiva anemis (+)

Laboratorium
Hb : 9.40
MCV/MCH : 76.70 /
27.80
CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu
Male/61yo/w26 6. 6.1 Weil disease Urin dark field Menunggu Subjektif
Anamnesis Hyperbilirubinemia 6.2 Infeksi hepar microscope konfirmasi TTV
a. Kuning sejak 4 hari mainly direct 6.2.1 Hepatitis A ketika pasien diagnosis Bilirubin
yang lalu 6.3 Gallbladder sudah masuk
b. Badan panas sejak 7 disease ruangan Pedu :
hari yang lalu Penyakit
Serologi Terapi
Pemeriksaan fisik (MAT) prognosis
Sklera ikterik (+)
Nyeri gastronecmius (+) IgM Anti HAV,

Laboratorium USG
Leukosit : 32.240 abdomen
Ur/Cr : 337,80/13,20
Bilirubin T/D/I :
13.10/11.28/2.09
SGOT/SGPT: 188/67

Urinalisis
Bilirubin +2

CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo


Male/61yo/w26 7. 7.1 Liver failure PT/ApTT Mengobati Albumin
Anamnesis Hipoalbuminemia 7.2 Hypercatabolic penyakit diagnosis
7.3 Low intake
Pemeriksaan fisik Transfusi albumin
20% dalam 100 ml
Laboratorium hingga kadar
Albumin : 2.09 mg/dl albumin 2,5 gr/dl
CUE AND CLUE PL IDx PDx PTx PMo, PEdu
Male/61yo/w26 8. Leukosituria 8. UTI - IV : Subjektif
Anamnesis a. Ceftriaxone 2 x 1 TTV
Panas sejak 7 hari yang gr UOP
lalu b. Ciprofloxacin 2 x Urinalisis
200mg
Pemeriksaan fisik

Laboratorium
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB
Subjective-Objective-Assessment-Planning

Nama Penderita : Tn. M No RM : 11360365


Tgl/ Subjective Objective (O) Assessment (A)
(S)
Jam
GS&VS Head to toe Lab & Dx Tx
examination Penunjang
lain
28.09 S= KU : Tampak K/L: - 1. DOC USG - Bed rest
.2017 Kesadar-an sakit sedang Konjungtiva 1.1 Septic abdomen, - O2 10 lp
membaik anemis (+) encephalopathy Kultur darah, - Diet cair
06.00 GCS : 456 Sklera ikterik (+) 1.2 Uremic Kultur urin, NGT
Pembesaran encephalopathy Drug - IVFD NS
TTV : KGB (-) 1.3 Hypoxic sensitivity - Drip NE
TD: 90/53 encephalopathy test, Serologi 2mcg/kg/m
mmHg Thorax: 1.4 Urosepsis (MAT), Urine - Inj Ceftri
HR: 90x/menit C/ Ictus tidak darkfield IV
RR: 20x/menit terlihat, teraba di 2. Shock condition microscope, - Inj Cipro
Tax: 36.8oC ICS V MCL S 2.1 Septic shock Hepatitis A 200mg IV
SpO2: 98% 2.1.1. Weil serology, -Pro HD C
NRBM 10 lpm S1S2 tunggal disease PT/ApTT, SI, panggilan
m(-) g(-) 2.1.2 Urosepsis TIBC,
Saturasi
P/ Suara nafas 3. Transferin
V/V, Rh -/-, Wh - Fever+Leukositosis
/- +Trombositopenia+
Azotemia+Hiperbilir
Abdomen : ubinemia+Ikterus
Flat, Soefl, Bu(+) 3.1. Weil disease
Normal 3.2. Septic MODS
Liver, Limpa : 3.2.1. Urosepsis
Dbn
Nyeri tekan (-) 4. AKI st III
4.1 Volume
Extremitas : depletion
Edema -/- 4.2 dt Sepsis
Akral hangat +/+
5. Anemia HM
5.1 Fe deficiency
5.2 Chronic blood
loss

6.
Hyperbilirubinemia
mainly direct
6.1 Weil disease
6.2 Infeksi Hepar
6.2.1 Hepatitis A
6.3 Gall bladder
diseae

7.
Hypoalbuminemia
7.1 Liver failure

1
7.2 Hypercatabolic
state
6.3 Low intake

8. Leukositosis
8.1 UTI

Nama Penderita : Tn. M No RM : 11360365


Tgl/ Subjective Objective (O) Assessment (A) Planning (P)
Jam (S)
GS&VS Head to toe Lab & Dx
examination Penunjang
lain
29.09 S = Bicara KU : Tampak K/L: GDS : 40 mg/dl 1. DOC USG - Bed rest
.2017 tidka sakit sedang Konjungtiva 1.1 Septic abdomen, - O2 10 lp
nyambung anemis (+) encephalopathy Kultur darah, - Diet cair
06.00 GCS : 456 Sklera ikterik (+) 1.2 Uremic Kultur urin, NGT
Pembesaran encephalopathy Drug - IVFD NS
TTV : KGB (-) 1.3 Hypoxic sensitivity - Drip NE
TD: 89/51 encephalopathy test, Serologi mcg/kgBB
mmHg Thorax: 1.4 Urosepsis (MAT), Urine >= 65 mm
HR: 89x/menit C/ Ictus tidak darkfield - Bolus D4
RR: 24x/menit terlihat, teraba di 2. Shock condition microscope, bila GDS
Tax: 36.7oC ICS V MCL S 2.1 Septic shock Hepatitis A - Infus D1
SpO2: 98% 2.1.1. Weil serology, - Inj Ceftri
NRBM 10 lpm S1S2 tunggal disease PT/ApTT, SI, - Inj Cipro
m(-) g(-) 2.1.2 Urosepsis TIBC, mg
Saturasi
P/ Suara nafas 3. Transferin
V/V, Rh -/-, Wh - Fever+Leukositosis
/- +Trombositopenia+
Azotemia+Hiperbilir
Abdomen : ubinemia+Ikterus
Flat, Soefl, 3.1. Weil disease
Bu(+) Normal 3.2. Septic MODS
3.2.1. Urosepsis

2
Liver, Limpa :
Dbn 4. AKI st III
Nyeri tekan (-) 4.1 Volume
depletion
Extremitas : 4.2 dt Sepsis
Edema -/-
Akral hangat +/+ 5. Anemia NN
5.1 Blood loss
5.2 Weil disease

6.
Hyperbilirubinemia
mainly direct
6.1 Weil disease
6.2 Infeksi Hepar
6.2.1 Hepatitis A
6.3 Gall bladder
diseae

7.
Hypoalbuminemia
7.1 Liver failure
7.2 Hypercatabolic
state
6.3 Low intake

8. Leukositosis
8.1 UTI

3
BAB 4
PEMBAHASAN

Kasus Teori
Anamnesis A. Orang yang rentan terkena infeksi ini adalah petani, peternak, pekerja tambang,
a. Penurunan kesadaran secara bertahap pagi pekerja rumah potong hewan, penebang kayu, dan dokter hewan.
hari SMRS,
b. Sulit diajak berbicara sejak 4 hari yang B. Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak kulit dengan genangan air,
lalu sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin
c. Kuning sejak 4 hari yang lalu binatang yang terinfeksi leptospira
d. Badan panas sejak 7 hari yang lalu,
menggigil, lemas dan nyeri kaki C. Kerusakan organ terberat pada infeksi leptospira terjadi pada organ hati dan
e. BAK 5x/hari dengan volume total 250cc ginjal, tetapi organ lain juga dapat diserang
f. Pasien bekerja sebagai seorang petani, dan
tidak pernah memakai alas kaki jika bertani D. Perjalanan penyakit leptospirosis dibagi menjadi 2, yaitu fase leptospiremia dan
fase imun. Pada fase leptospiremia pasien akan mengalami gejala awal sakit kepala,
Pemeriksaan fisik nyeri di otot terutama di paha, betis. Demam dengan menggigil, mual, muntah,
a. TD : 90/60 mmHg dan pada 25% kasus dapat terjadi penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan fisik
b. Nadi : 106 x/menit, lemah didapatkan conjungtival suffusion, rash maculopapular atau urtikaria, splenomegali,
c. RR : 24x/menit hepatomegali, limfadenopati. Pada fase imun demam akan meningkat kembali, suhu
-
d. Tax : 38.2 C dapat mencapai 40oC, rasa sakit hampir seluruh tubuh. Terdapat manifestasi
perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan ginjal dan hati.

4
Status generalis
KU : Tampak sakit berat E. Weil Disease: adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan icterus, biasanya
GCS : 334 disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan demam tipe
Conjungtiva anemis (+) , Sklera ikterik (+) kontinua
Nyeri di otot gastronecmius (+)
Abdomen : Liver span 14 cm
F. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa dijumpai leukositosis, normal atau
sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi.
Laboratorium
Didapatkan Anemia. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituri. Bila organ hati
Leukosit : 32.240
terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan
Trombosit : 102.000
kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia
Ur/Cr : 337,80/13,20
terdapat pada 50% kasus. Diagnose pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh
Bilirubin T/D/I : 13.10/11.28/2.09
dan serologi.
Urinalisis :
Protein : 2+
Bakteri : +++
Darah : +2
Leukosit : 3+
Leukosit 40x : >100 LPB

Penegakan diagnosis Pada kasus dimana skor kriteria faine adalah 20-25, maka perlu dilakukan
Penegakan diagnosis menggunakan faine pemeriksaan selanjutnya untuk mengkonfirmasi diagnosis
criteria, dimana didapatkan skor 22, possible

5
leptospirosis dan tindakan selanjutnya adalah
pemeriksaan serologi untuk
Terapi : Tabel 3. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Indikasi Regimen Dosis
Di IGD pasien ini diberikan terapi berupa Doksisiklin 2x100 mg
: Leptospirosis ringan Ampisilin 4x500-750 mg
Pada pasien ini diberikan terapi berupa : Amoksisilin 4x500 mg
a. Injeksi Ceftriaxone 2 x 1 gr IV Leptospirosis Penisilin G 1,5 juta unit/6 jam (IV)
b. Infus Ciprofloxacin 2 x 200mg IV sedang/berat Ampisilin 1 gram/6 jam (IV)
Mengingat kemungkinan adanya Amoksisilin 1 gram/6 jam (IV)
kemungkinan urosepsis Seftriakson 1 gram/24 jam (IV)
Doksisiklin 100mg/12 jam (IV)
Sefotaksim 1 grma/6 jam (IV)
Kemoprofilaksis Doksisiklin 200mg/minggu

6
BAB 5
KESIMPULAN

Leptospirosis merupakan infeksi yang disebabkan patogen spirochaeta,


genus leptospira. Insiden penyakit ini cukup tinggi terutama di negara tropis seperti
Indonesia. Gejala klinis dari leptospira sangatlah bermacam – macam dan sangat
sering disalah diagnose dengan infeksi virus. Gambaran klinisnya berubah – ubah
sesuai dengan stagenya serta tingkat keparahannya. Maka dari itu penggunaan
kriteria diagnose yang tepat dapat membantu dalam menegakkan diagnose
leptospira dengan tepat sehingga dapat memberikan terapi dengan tepat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Adler, B., De La Peña Moctezuma, A., 2010. Leptospira and leptospirosis. Vet.
Microbiol.140, 287–296
Bharti AR, Nally JE, et al. (2003). Leptospirosis: a zoonotic disease of global
importance. The Lancet Inf Dis. 3(12):757-71.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, SImadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
Vinetz JM. Leptospirosis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principle of Internal Medicine. 1.
18 ed. New York: McGraw Hill; 2012. p.1392 - 6.
World Health Organization (Regional Office for South-East Asia). Leptospirosis
situation in the WHO South-East Asia Region [internet]. 2017. Available
from:
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/topics/Communicable_
Diseases_Surveillance_and_response_SEA-CD-216.pdf
Departemen Kesehatan. 2003. Pedoman Tatalaksana kasus dan pemeriksaan
laboratorium leptospirosis di rumah sakit, Leptospira. Hlm 8-15. Jakarta
Dit Jen PPM & PL RSPI Prof. DR. Sulianti Saroso. 2003. Pedoman Tatalaksana
Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen
Kesehatan RI : Jakarta.
Hadinegoro. S. R. et.al. 2007. Leptospirosis Ikterik, manisfestasi berat infkesi
Leptospira. Diagnosa dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning.
FK.UI. 4: 78-86.
Setiawan M. 2008. Microscopic Agglutination Test (MAT) Untuk Diagnosis
Leptospirosis pada Manusia. Majalah Kedokteran FK UKI. 26:1-8
Sumarmo, Herry, Sri Rejeki, etal. 2008. Leptospirosis. Buku Ajar Infeksi dan
Pediatri Tropis edisi kedua hal. 364-369. Ikatan dokter Anak Indonesia.
Speelman, Peter. 2005. “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal Medicine,
16th ed, vol I. McGraw Hill. 16: 988-991.
Terpstra JW. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveilance
and Control. WHO. 1: 5-14
Zein Umar. 2006. “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 4.
FKUI. 4:1845 - 1848.

Anda mungkin juga menyukai