Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigi memiliki peranan penting pada tubuh manusia berfungsi dalam
pengunyahan, estetika, dan berbicara. Namun, gigi akan lepas atau dicabut karena
berbagai alasan. Kehilangan gigi ini bisa dikarenakan oleh trauma, karies, maupun
penyakit periodontal (Jubhari, 2007:27). Kehilangan gigi ini menimbulkan
dampak emosional pada individu misalnya hilangnya rasa percaya diri atau
merasa malu karena penampilan. Selain itu, juga dapat mengakibatkan kurangnya
kemampuan untuk melakukan pengunyahan, berbicara dan mempegaruhi estetika
(McMillan AS,2004)

Data dari WHO tahun 2012 tentang kesehatan mulut menunjukkan bahwa
30% populasi di dunia pada usia 65-74 tahun telah mengalami kehilangan seluruh
gigi (Jubhari, 2007). Persentase kehilangan gigi di Indonesia pada usia 35-44
tahun yaitu sebesar 0,4%, semakin meningkat pada usia 65 tahun ke atas yaitu
sebesar 17,6%. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehilangan gigi merupakan suatu
keadaan yang sering ditemukan dimana saja, dan melihat akibat yang ditimbulkan
maka sudah seharusnya gigi yang hilang tersebut diganti dengan gigi palsu atau
gigi tiruan (Jubhari, 2008:125).

Gigi tiruan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu gigi tiruan cekat dan gigi
tiruan lepasan. Gigi tiruan cekat adalah gigi tiruan yang disementasi, dilekatkan
secara mekanis atau ditahan oleh gigi asli, akar gigi, atau abutment implan gigi
yang memberikan dukungan utama pada gigi tiruan. Gigi tiruan lepasan adalah
gigi tiruan yang menggantikan sebagian atau semua gigi, dapat dilepas dan
dipasang kembali di dalam mulut. Gigi tiruan lepasan dibagi lagi menjadi gigi
tiruan lengkap (GTL) dan gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL). Gigi tiruan
lengkap (GTL) adalah gigi tiruan yang menggantikan seluruh gigi asli dalam
lengkung rahang dan gigi tiruan tersebut dapat dipasang dan dilepaskan dari
rongga mulut. Gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) adalah gigi tiruan yang
menggantikan satu atau beberapa gigi pada lengkung rahang yang kehilangan
sebagian gigi dan gigi tiruan tersebut dapat dipasang dan dilepaskan dari rongga
mulut (Gunadi dkk, 1995).

Pada umumnya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pembuatan gigi


tiruan lebih memilih mengunjungi tukang gigi daripada pergi ke tempat praktek
dokter gigi yang resmi dikarenakan harga yang jauh lebih murah (Sari K,
2013:31). Dalam pembuatan gigi tiruan, tukang gigi tidak memperhatikan
kesehatan jaringan sekitar gigi tiruan dan pembuatannya pun hanya asal-asalan
serta seringkali ditemukan adanya sisa akar yang tidak dicabut pada pemasangan
gigi tiruan tersebut sehingga menimbulkan jaringan gusi yang meradang,
bengkak, oral hygiene yang sangat buruk, sariawan atau denture stomatitis akibat
gigi tiruan yang tidak baik adaptasinya (Hidayati dkk, 2009).

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Definisi Gigi Palsu?

1.2.2 Apa Etiologi Pemakaian Gigi Palsu?

1.2.3 Bagaimana Perawatan Gigi Palsu?

1.2.4 Bagaimana Pencegahan Pemakaian Gigi Palsu?

1.2.5 Bagaimana Dampak Pemakaian Gigi Palsu yang Dibuat Tukang Gigi?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mahasiswa Mampu Mengetahui Definisi Gigi Palsu

1.3.2 Mahasiswa Mampu Mengetahui Etiologi Pemakaian Gigi Palsu

1.3.3 Mahasiwa Mampu Mengetahui Perawatan Gigi Palsu

1.3.4 Mahasiswa Mampu Mengetahui Pencegahan Pemakaian Gigi Palsu

1.3.5 Mahasiswa Mampu Mengetahui Dampak Pemakaian Gigi Palsu yang Dibuat
Tukang Gigi
BAB II
ISI

2.1 Etiologi kehilangan Gigi


Masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia sampai saat ini
merupakan masalah yang ditandai dengan angka prevalensi kerusakan gigi
dan mulut seperti karies gigi dan penyakit periodontal yang masih tetap
tinggi. (Astoeti TE,2008)
Penyakit tersebut dikarenakan kurangnya perhatian terhadap kebersihan
gigi dan mulut. Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh berbagai macam kejadian,
baik gigi tersebut dicabut oleh dokter gigi atau hilang dengan sendirinya akibat
penyakit periodontal atau adanya trauma. (Astoeti TE,2008) Adapun penyebab
terjadinya kehilangan gigi antara lain :
1. Karies
Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin,
dan sementum yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu
karbohidrat yang dapat diragikan. Terdapat empat faktor utama yang berperan
dalam proses terjadinya karies, yaitu host, mikroorganisme, substrat, dan waktu.
Determinan tingginya tingkat Prevalensi dan insiden terjadinya karies pada
populasi dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi dan
kebiasaan menjaga kebersihan mulut. (Narlan S, 1992)
Faktor-faktor tersebut bekerja bersama dan saling mendukung satu sama
lain. Bakteri plak akan memfermentasikan karbohidrat (misalnya sukrosa) dan
menghasilkan asam. Kondisi asam seperti ini sangat disukai oleh Sterptococcus
mutans dan Lactobacillus sp. yang merupakan mikroorganisme penyebab utama
dalam proses terjadinya karies. Streptococcus mutans berperan dalam permulaan
(initition) terjadinya karies gigi dan bakteri ini mampu melekat pada permukaan
gigi dan memproduksi enzim glukuronil transferase. (Narlan S, 1992)
Enzim tersebut menghasilkan glukan yang tidak larut dalam air dan
berperan dalam penimbunan plak dan koloni pada permukaan gigi, di mana plak
merupakan penyebab terjadinya karies maupun radang periodontal dan
kemudian Lactobacillus sp. berperan pada proses perkembangan dan kelanjutan
karies tersebut. Pertama kali akan terlihat white spot pada permukaan email dan
proses ini kemudian berjalan secara perlahan sehingga lesi kecil tersebut
berkembang, dan dengan adanya destruksi bahan organik, maka kerusakan
berlanjut pada dentin disertai kematian odontoblast. Kematian odontoblas pada
gigi menyebabkan gigi mengalami nekrosis sehingga gigi tidak dapat
dipertahankan lagi, adapun perawatan dapat dilakukan tetapi dengan biaya yang
mahal sehingga kebanyakan masyarakat yang berada pada ekonomi menengah ke
bawah lebih memilih mencabut giginya untuk menyelesaikan masalah. (Narlan S,
1992)
2. Penyakit Periodontal
Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi pada jaringan
pendukung gigi yang apabila tidak dirawat akan menyebabkan hilangnya gigi.
Penyakit periodontal didefinisikan sebagai penyakit pada daerah yang
menyanggah gigi yang kehilangan struktur kolagennya, sebagai respon dari
akulumasi bakteri pada jaringan periodontal. Penyakit periodontal banyak
diderita oleh manusia hampir di seluruh dunia dari jumlah populasi dewasa.
Penyakit periodontal pada awalnya berupa gingivitis yang tidak terasa sakit,
karena penyakit periodontal merupakan infeksi kronis yang berjalan lambat yang
dapat terlihat dengan adanya kerusakan pada jaringan pendukung gigi, seperti
gingiva, ligamen periodontal, dan tulang alveolar. (Situmorang N,2008)
Patogenesis penyakit periodontal dimulai dengan adanya gingivitis
akibat adanya perlekatan plak dan bakteri. Berlanjutnya iritasi dan
inflamasi akibat plak, maka perlekatan epitelium akan semakin rusak. Sel epitel
akan berdegenerasi dan memisah sehingga perlekatan ke gigi akan rusak
seluruhnya. Penyakit yang menyerang pada gingiva dan jaringan
pendukung gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan apabila tidak
dilakukan perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi. Salah
satu tanda yang biasanya menunjukkan terjadinya penyakit periodontal
adalah kehilangan gigi akibat dari hilangnya pelekatan pada gigi sehingga gigi
tidak dapat lagi bertahan pada soketnya. Penyakit periodontal meliputi penyakit
inflamasi kronis yang berakibat pada jaringan pendukung periodontal pada gigi
dan terjadinya destruksi tulang. Pada periodontitis kronis hampir semua kasus
yang menyatakan bahwa terdapat destruksi tulang pada jaringan periodontal.
Penyakit periodontal memiliki faktor resiko dominan terhadap manifestasi
penyakit sistemik, penyakit periodontal yang menyebabkan terjadinya destruksi
tulang alveolar mengakibatkan kehilangan perlekatan antara gigi dan jaringan
pendukungnya sehingga gigi akan mengalami derajat kegoyangan hingga
kehilangan gigi. (Situmorang N,2008)

3. Trauma atau Fraktur


Pengertian dari trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik
maupun psikis. Trauma dengan kata lain injury atau wound, dapat diartikan
sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan
fisik dan ditandai dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur jaringan.
Hilangnya kontinuitas pada gigi dapat menyebabkan gigi lambat laut mengalami
nekrosis sehingga potesi untuk kehilangan gigi sangat besar kecuali pada
masyarakat yang memiliki pola piker kesehatan serta biaya yang cukup untuk
merawat gigi. (Achmad H, 2009)
Berbagai macam kondisi yang mengakibatkan terjadinya trauma pada gigi
antara lain kecelakaan lau lintas yang dewasa ini banyak terjadi di jalan raya:
1. Kecelakaan saat berolahraga seperti sepak bola, lomba lari, bereang,
olah raga beladiri, basketball, volleyball dan lain-lain.
2. Tindakan kriminalitas seperti perampokan dengan tindakan kekerasan
dan penganiayaan. Penganiayaan dapat terjadi di luar maupun di dalam
rumah.
3. Perkelahian yang banyak terjadi dewasa ini, baik itu perkelahian antar
siswa atau pelajar perkelahian antar teman.
4. Kecelakaan dalam lingkungan rumah tangga seperti terkena pompa air,
jatuh dari tangga, terbentur meja, lemari dan terpeleset di kamar mandi
dan lain-lain.
5. Kecelakaan akibat bencana alam seperti gempa bumi, banjir, angin
rebut, tanah longsor dan lain-lain.
6. Kecelakaan lalu lintas seperti kecelakaan bermotor, antar mobil dan
kecelakaan pejalan kaki, dan lain-lain. (Achmad H, 2009)

1. Faktor yang Berhubungan dengan Kehilangan Gigi


a. Usia
Secara umum, kesehatan mulut pada orang tua terlihat dengan tingginya
gigi yang hilang, yang selanjutnya mempengaruhi kesehatan secara umum,
kesulitan mengunyah, masalah sosial dan komunikasi. Kehilangan gigi biasanya
disebabkan oleh karies dan penyakit periodontal, tetapi persentase keterlibatan
keduanya tergantung pada usia di mana kehilangan gigi pada usia lanjut
kebanyakan disebabkan oleh penyakit periodontal sedangkan kehilangan gigi
pada usia muda biasanya disebabkan oleh karies selain itu, penyakit periodontal
lebih banyak terjadi pada usia tua dibandingkan dengan usia muda.
Berdasarkan penelitian Benedicto yang telah dilakukan di Brazil bahwa
prevalensi kehilangan seluruh gigi pada dewasa muda sekitar 2,4 % sedangkan
pada dewasa tua yang berumur 65 tahun keatas sekitar 30,6 %, Penyakit
periodontal merupakan masalah kesehatan utama yang menyerang sebagian besar
populasi dewasa di atas usia 35 sampai 40 tahun, di mana penelitian yang
melibatkan 1187 subyek ditemukan bahwa pada usia 40 tahun 90% dewasa
memiliki penyakit periodontal. (Koesoemahardja H, 2008)

b. Jenis Kelamin
Menurut survey k e s e h a t a n nasional di Amerika tahun 1960-1962,
laki-laki memiliki kesehatan mulut yang lebih rendah dibandingkan dengan
perempuan. Survei tersebut diukur berdasarkan adanya kalkulus dan plak.
Perempuan lebih banyak mengalami gigi yang karies, tetapi mengalami gigi yang
goyah yang lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Persentase keterlibatan
kehilangan gigi akibat karies dan penyakit periodontal tergantung pada usia di
mana kehilangan gigi pada usia lanjut kebanyakan disebabkan oleh penyakit
periodontal sedangkan kehilangan gigi pada usia muda biasanya disebabkan oleh
karies. Kehilangan gigi juga dipengaruhi oleh merokok yang berpengaruh
terhadap terjadinya periodontitis dan karies gigi. Laki-laki lebih banyak
mengalami kehilangan gigi daripada perempuan karena laki-laki memiliki
kesehatan mulut yang lebih rendah dan memiliki kebiasakan untuk merokok
dibandingkan dengan perempuan yang diukur berdasarkan adanya kalkulus dan
plak akibat merokok. Kekurangan gizi yang parah biasanya disertai dengan
kebersihan mulut yang rendah dan terjadi kerusakan jaringan periodontal secara
cepat dan kehilangan gigi lebih awal. Frekuensi membersihkan gigi dan mulut
sebagai bentuk perilaku akan mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan gigi
dan mulut yang akan mempengaruhi juga angka karies dan penyakit periodontal.
(Koesoemahardja H, 2008)
Merokok dapat meningkatkan faktor resiko terjadinya penyakit
periodontal dan karies gigi. Beberapa penelitian sebelumnya juga menyebutkan
bahwa orang yang merokok mengalami kehilangan gigi lebih besar daripada
orang yang tidak merokok. (Koesoemahardja H, 2008)
Berbagai jenis rokok juga dapat mempengaruhi resiko terjadinya
kehilangan gigi. Berdasarkan penelitian, jumlah kehilangan gigi lebih banyak
terjadi pada perokok pipa dan cerutu. Merokok dapat menyebabkan terjadinya
kehilangan gigi karena berpengaruh terhadap terjadinya periodontitis dan sebagai
tambahan karies gigi juga berpengaruh untuk meningkatkan resiko terjadinya
kehilangan gigi pada perokok. (kida Kristin, 2007)
c. Tingkat Pendidikan
Faktor pendidikan jelas ikut menentukan dalam persepsi masyarakat
mengenai kesehatan gigi dan mulut maka peningkatan pendidikan adalah suatu
hal yang tidak dapat diabaikan. Rendahnya tingkat pendidikan sehingga
menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya kesehatan
gigi dan mulut. Hasil penelitian membuktikan bahwa anak yang berasal dari
orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki kesehatan gigi dan
mulut yang baik, sebaliknya dibanding anak-anak yang berasal dari orang tua
yang berasal dari pendidikan rendah seperti tamatan Sekolah Dasar akan
memiliki kesehatan gigi dan mulut yang buruk ditandai dengan luasnya
kerusakan pada gigi anak tersebut dikarenakan karies. (Hamrun N,2009)
d. Status Gizi
Penentuan status gizi sangat dipengaruhi oleh asupan makanan yang
masuk ke dalam tubuh anak-anak dengan asupan zat gizi yang cukup akan
memiliki kesehatan umum yang baik karena zat-zat gizi yang diperlukan, seperti
karbohidrat, protein, kalsium, fosfor dan magnesium tercukupi. Masyarakat
dengan status ekonomi menengah ke bawah kadang-kadang tidak mampu
memenuhi kebutuhan asupan gizi tersebut sehingga sangat berpengaruh pada
kondisi kesehatannya. (Hamrun N,2009)
Karbohidrat yang terdapat pada tepung-tepungan dan gula murni besar
pengaruhnya dalam pembentukan karies gigi. Sebaliknya sumber karbohidrat
yang banyak mengandung serat seperti pada buah dan sayur bermanfaat dalam
membersihkan gigi. Kalsium merupakan bahan utama untuk pembentukan dentin
dan email. Asupan kalsium yang kurang pada masa pertumbuhan gigi. Hal
tersebut juga berlaku untuk fosfor. Magnesium berfungsi mencegah kerusakan
gigi dengan cara menahan kalsium di dalam email gigi. Sedangkan flour berperan
dalam proses mineralisasi dan pengerasan email gigi. (Handayani HF, 2003)

Penyakit kerusakan gigi yang mengakibatkan kehilangan pada gigi adalah


penyakit yang multifaktorial meliputi faktor gigi, mikroorganisme, karbohidrat
atau makanan, dan waktu sebagai faktor tambahan. Hingga saat ini banyak
penelitian yang menggambarkan bahwa penyakit kerusakan gigi yang disebabkan
karena karbohidrat yang mudah difermentasi oleh mikroorganisme. Makanan
yang lunak dan lengket dapat berpengaruh langsung terhadap terjadinya penyakit
kerusakan gigi yang menyebabkan pencabutan pada gigi disamping itu juga ada
hubungan antara zat gizi seperti vitamin dan mineral, protein hewani dan protein
nabati, serta karbohidrat yang terkandung di dalam makanan sehari-hari
mempengaruhi terjadinya kerusakan gigi yang berujung pada pencabutan gigi .
(Hamrun N,2009)
e. Faktor Sosial Ekonomi
Salah satu karakteristik dari masyarakat berpenghasilan rendah adalah
banyak yang tidak menyadari bahwa mereka mempunyai masalah dengan gigi-
geligi mereka. Ketika mereka merasakan sakit yang disebabkan oleh masalah gigi
tersebut, banyak yang tidak mempunyai dana untuk pergi mendapatkan
pengobatan yang layak di klinik – klinik gigi. Juga banyak diantara mereka yang
menganggap bahwa pengobatan gigi-geligi tidaklah perlu dilakukan. Pengobatan
dan perawatan kesehatan gigi-geligi bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah
merupakan kebutuhan yang periortasnya masih rendah. Oleh karena itu
pemeriksaan klinis berperan dalam menyeimbangkan antara kebutuhan
masyarakat untuk mendapatkan perawatan terhadap masalah gigi-geligi dan
layanan kesehatan gigi-geligi dan pengobatan terhadap gangguan tersebut. (Beal
JF,1996)
Beberapa penelitian melaporkan bahwa prevalensi kerusakan gigi pada
anak-anak dan remaja yang berasal dari status ekonomi rendah. Status sosial
ekonomi tinggi berisiko rendah terhadap terjadinya kerusakan gigi, tetapi status
ekonomi rendah memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap karie gigi, hal ini
disebabkan anak-anak dan remaja yang berasal dari kalangan ini lebih banyak
memakan makan yang bersifat kariogenik dan kurang mengkonsumsi serat,
rendahnya pengetahuan orang tua dan jarangnya melakukan perawatan ke dokter
gigi. Wycoff menjelaskan bahwa ada hubungan antara keadaan sosial ekonomi
dengan terjadinya kerusakan gigi hingga kehilangan gigi. Faktor yang
mempengaruhi ini adalah pendidikan dan penghasilan yang berhubungan dengan
diet, kebiasaan merawat gigi dan lain-lain. (Beal JF,1996)
Satu diantara empat anak Amerika lahir dalam kemiskinan menderita
kerusakan gigi dua kali lebih banyak di banding teman sebayanya yang hidup
lebih makmur dan bahwa penyakit mereka lebih banyak yang tidak mendapatkan
perawatan. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa meskipun pengurangan
yang berkelanjutan terhadap kerusakan gigi pada gigi permanen diperoleh,
prevalensi kerusakan gigi pada gigi anak-anak dapat meningkat pada kelompok
populasi yang sama yang berpenghasilan rendah. (Handayani HF, 2003)
Prevalensi penyakit dental bervariasi menurut keadaan dan karakteristik
sosial-ekonomi. Sesuai dengan usia, puncak prevalensi dari penderita penyakit
gigi dan mulut yang datang sendiri ke klinik gigi untuk mendapatkan pengobatan
adalah usia produktif 20-50 tahun. Penyakit jaringan keras dan jaringan lunak
dijumpai lebih tinggi di daerah rural dibandingkan dengan daerah urban dan lebih
banyak pada masyarakat yang kurang berpendidikan dibandingkan pada
masyarakat yang berpendidikan. Kesehatan gigi dan mulut di Indonesia, lebih-
lebih pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, situasinya jauh
dari pada memuaskan dan merupakan masalah yang sering diabaikan. (Beal
JF,1996)
Prevalensi yang tinggi dari kehilangan gigi dan mulut akibat kerusakan
gigi pada suatu kelompok masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat tersebut
mempunyai kebutuhan yang besar akan layanan kesehatan gigi dan mulut.
Namun, sulitnya memperoleh layanan tersebut dan rendahnya kualitas layanan
bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, masih tetap terjadi. Dari hasil
penelitian Kristanti (2001) ternyata 69% dari mereka yang memiliki gangguan
kesehatan gigi tidak berusaha untuk mendapatkan pengobatan karena masalah
keuangan. Faktor-faktor lain kecuali masalah keuangan yang juga ikut berperan
adalah terbatasnya layanan kesehatan untuk kalangan masyarakat yang berada
pada ekonomi menengah ke bawah sehingga biaya perawatan dapat di
minimalisir dengan keadaan keuangan masyarakat berpenghasilan rendah. (Africa
CWJ dkk, 2013)
2.2 Definisi Gigi Palsu
Gigi tiruan adalah suatu alat tiruan (protesa, prostesis, restorasi) yang
dibuat untuk menggantikan gigi yang hilang atau jaringan sekitarnya. Gigi tiruan
banyak dipelajari dalam bidang ilmu kedokteran gigi, khususnya dalam bidang
prostodonsia (Haryanto, 1991). Gigi tiruan secara garis besar dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu gigi tiruan penuh dan gigi tiruan sebagian. Gigi tiruan
penuh dibuat pada pasien yang sudah kehilangan seluruh gigi geliginya,
sedangkan gigi tiruan lepasan dibuat bila masih ada sebagian gigi yang tersisa.
Gigi tiruan sebagian dapat dibagi lagi menjadi gigi tiruan lepasan (yang dapat
dilepas pasang sendiri oleh pasien) dan gigi tiruan cekat (yang disemenkan ke gigi
pasien secara permanen) (Haryanto, 1991).

1. Gigi Tiruan Sebagian


a. Gigi Tiruan Sebagian Lepasan atau Partial denture
Gigi palsu lepasan sebagian digunakan menggantikan sebagian gigi
yang hilang sedangkan gigi palsu penuh menggantikan semua gigi yang
hilang baik pada rahang atas ataupun bawah. Gigi tiruan sebagian lepasan
terdiri atas:
 Berdasarkan jaringan pendukung gigi
Berdasarkan Jaringan Pendukung Victor L.S (1975)
mengklasifikasikan gigi tiruan sebagian lepasan berdasarkan
jaringan pendukungnya, yaitu:
 Tooth borne, yaitu gigi tiruan yang hanya mendapat
dukungan dari gigi asli.
 Mucosa borne, yaitu gigi tiruan yang hanya mendapat
dukungan dari jaringan mukosa.
 Tooth and mucosa borne, yaitu gigi tiruan yang
mendapat dukungan dari mukosa dan gigi.

Gambar 1. Dukungan gigi tiruan sebagaian lepasan, paling atas tooth


borne, dibawahnya mucosa borne, dan terakhir tooth and mucosa borne.
 Berdasarkan Waktu Pemasangan
 Convensional denture, gigi tiruan yang dibuat dan
dipasang setelah luka pencabutan sembuh .

 Immediate denture, yaitu gigi tiruan yang dibuat


sebelum pencabutan dan segera dipasang setelah
pencabutan. Immedate denture dapat dibuat pada
satu rahang ataupun rahang atas dan rahang bawah
pada beberapa pasien. Hal ini sebaiknya dibuat
bersamaan untuk memastikan estetika yang optimal
dan hubungan oklusal (Arbee NS, 2004 :123)

 Berdasarkan Bahan Pembuatan (Soelarko,Wachijati, 1980)

 Frame Denture
Adalah gigi tiruan sebagian lepasan yang terdiri dari
kerangka logam tuang dan bagian sadel terdiri dari
akrilik serta elemen gigi tiruan

 Acrylic Denture
Adalah gigi tiruan sebagian lepasan yang basisnya
terdiri dari akrilik serta elemen gigi tiruan

 Vulkanite Denture
Adalah gigi tiruan sebagian lepasan yang terdiri dari
karet yang dikeraskan sebagai basis gigi tiruan serta
elemen gigi tiruan

b. Gigi Tiruan Cekat/Permanen

Gigi tiruan cekat adalah adalah gigi tiruan yang dilekatkan di dalam mulut
dengan semen khusus pada gigi asli yang masih ada (Prajitno, 1991). Gigi
tiruan cekat biasanya juga disebut dengan bridge, yaitu perangkat gigi
yang berfungsi mengganti satu atau lebih gigi yang hilang dan tidak
mudah dilepas atau dikeluarkan dari mulut (Daniel dkk, 2008). Dan terdiri
atas:
1. Mahkota tiruan (Artificial crown/Full crown)
Adalah restorasi yang menggantikan sebagian atau seluruh bagian
jaringan mahkota gigi yang sudah rusak/hilang, dipasang secara
pemanen dengan semen.
Berdasarkan banyaknya jaringan permukaan mahkota gigi atau
jaringan mahkota gigi yang digantikan, maka dibedakan atas:
1. Mahkota tiruan penuh (Full Veneer Crown)
2. Mahkota tiruan sebagian (Partial Veneer Crown)
3. Mahkota tiruan pasak (Dowel/Post and Core Crown)
2. Gigi tiruan jembatan (Bridge work)
Adalah restorasi (gigi tiruan) yang menggantikan kehilangan 1 atau
lebih gigi geligi asli, dilekatkan secara permanen dengan semen serta
didukung sepenuhnya oleh satu atau lebih gigi atau akar gigi atau
implant yang telah dipersiapkan.

2. Gigi Tiruan Lengkap/ Penuh

Merupakan gigi tiruan yang menggantikan seluruh gigi dalam satu


lengkung rahang maupun seluruh rahang di dalam rongga mulut. Pembuatan gigi
tiruan lengkap diharapkan dapat menggantikan fungsi dari gigi asli yang telah
hilang dan jaringan gigi. Keberhasilan dari pembuatan gigi tiruan
lengkaptergantung dari retensi yang dapat menimbulkan efek psikologis dan
dukungan dari jaringan sekitarnya sehingga dapat dipertahankan keadaan
jaringan yang normal. Hal ini mencakup (1) kondisi
mulut edentulous berupa: processus alveolaris, saliva, batas mukosa bergerak dan
tidak bergerak, kompresibilitas jaringan mukosa, bentuk dan gerakan otot-otot
muka serta bentuk dan gerakan lidah, (2) ukuran, warna, bentuk gigi dan gusi
yang cocok, (3) penetapan/pengaturan gigi yang benar, yaitu: posisi dan bentuk
lengkung deretan gigi, posisi individual gigi, dan relasi gigi yang terjadi dalam
satu lengkung dan antara gigi-gigi rahang atas dengan gigi-gigi rahang bawah,
dan sifat dan material yang hampir sama dengan kondisi mulut.
Gigi tiruan lengkap yang baik harus memiliki retensi dan stabilitasasi yang
baik. Retensi adalah ketahanan dari suatu gigi tiruan terhadap daya lepas pada saat
gigi tiruan tersebut dalam keadaan diam. Stabilisasi adalah ketahanan suatu gigi
tiruan terhadap daya lepas pada saat gigi tiruan berfungsi (adanya tekanan
fungsional). Retensi didapat dari gravitasi, adhesi, tekanan atmosfer, dan surface
tension, sedangkan faktor stabilisasi GTL didapat dari pemasangan gigi-gigi
pada processus alveolaris, tekanan yang merata, balanced occlution, relief area,
sliding, over jet dan over bite (Soelarko,Wachijati, 1980).

2.3 Perawatan gigi tiruan


Pemakaian gigi tiruan lepasan yang tidak disertai dengan kebersihan mulut
baik dapat mengakibatkan terjadinya akumulasi plak. Plak yang terbentuk pada
permukaan gigi tiruan lepasan dapat menimbulkan dampak yang signifikan
terhadap kesehatan gigi dan mulut. Dapat menyebabkan peradangan jaringan
lunak mulut, radang gingiva dan kerusakan gigi. Akumulasi plak juga dapat
menyebabkan bau mulut bagi pemakai gigi tiruan. (RF de Souza dkk, 2009)
Perilaku kesehatan (health behavior), adalah halhal yang berkaitan dengan
tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatannya.9 Menurut penelitian Kanli dkk.10 hanya 16,7% lanjut usia pemakai
gigi tiruan yang membersihkan gigi tiruannya dengan benar. Terdapat hubungan
yang signifikan antara kebersihan gigi tiruan yang buruk dengan prevalensi
candidiasis. Selama memakai gigi tiruan, sangat diperlukan pemeliharaan
kebersihan mulut dan gigi tiruan. Oleh karena itu perlu perhatian yang besar dari
pasien untuk memelihara kebersihan mulut serta gigi tiruannya. (Rathe M dkk,
2010)
Cara merawat gigi tiruan :
1. Menyikat gigi tiruan dengan sikat gigi setelah makan
Metode mekanis termasuk menyikat (dengan air, sabun, pasta gigi).
Menurut Jagger (1995) dan Nikawa (1999), menyikat gigi dengan pasta
gigi adalah salah satu metode yang paling umum untuk membersihan gigi
tiruan dan dianggap sederhana, murah dan efektif
2. Merendam gigi tiruan dalam larutan buffer saat malam hari
Menurut Shay (2000) metode kimia yang dilakukan untuk
membersihkan gigi tiruan terutama meliputi perendaman dalam larutan
pembersih gigi tiruan. Metode yang efektif dalam pemeliharaan gigi tiruan
lepasan adalah kombinasi antara penyikatan dan perendaman dengan
bahan pembersih gigi tiruan pada waktu malam hari. (RF de Souza dkk,
2009) Gigi tiruan harus di lepaskan agar mukosa mendapat oksigen cukup
banyak, aliran saliva pada jaringan pendukung gigi tiruan lepasan tidak
terhambat dan untuk mengistirahatkan jaringan mulut selama 6 sampai 8
jam perhari.
Pada umumnya banyak yang tidak mengetahui tentang bahan
pembersih gigi tiruan lepasan. Keberadaan bahan pembersih gigi tiruan
lepasan belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Seperti larutan
peroksida alkalin, bahan ini dapat dipakai untuk membersihkan gigi tiruan
lepasan akrilik maupun kerangka logam. Bahan ini efektif untuk plak dan
stain yang ringan, tetapi sulit untuk membersihkan kalkulus dan stain yang
banyak. Cara menggunakannya gigi tiruan lepasan direndam dalam bahan
peroksida alkalin yang dicampur dengan air selama 6-8 jam. Contoh
lainnya seperti larutan buffer hipoklorit alkalin, larutan asam, larutan
enzim dan desinfektan. Hasil penelitian Jagger, Harrison dan Peracini,
penggunaan alkali hipoklorit baik untuk gigi tiruan resin akrilik, tetapi
pada kerangka logam dapat menyebabkan perubahan warna atau korosi.
(Mc Milan dkk, 2004)
3. Mengontrol gigi tiruan ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali
Setelah penyesuaian gigi tiruan lepasan dan pasien telah
diinstruksikan dalam merawat gigi tiruannya. Mereka juga harus
disarankan untuk perawatan lebih lanjut guna memastikan kesehatan
dalam mempertahankan struktur jaringan yang tersisa. Mengontrol
kembali gigi tiruan lepasan ke dokter gigi normalnya dilakukan 6 bulan
sekali, pada pasien yang rentan karies atau memiliki penyakit periodontal
pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering. Pemeriksaan secara
periodik disarankan untuk mengevaluasi gigi tiruan dan memeriksa
jaringan lunak yang tersisa. ( Carr AB dkk, 2005)

2.4 Pencegahan Kehilangan Gigi


Kehilangan gigi dapat disebabkan oleh kecelakaan, penyakit atau proses
penuaan secara alami. Kehilangan gigi dapat berpengaruh pada senyum dan rasa
percaya diri seseorang. Penderita kehilangan gigi memiliki banyak pilihan
sebelum memperoleh perawatan, karena bidang prostetik sudah maju.
Berdasarkan berbagai faktor kehilangan gigi yang telah disebutkan sebelumnya
sehingga sangat perlu dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. Berikut beberapa
pencegahan yang dapat menyebabkan gigi hilang:

1. Pencegahan kehilangan gigi oleh periodontitis

Periodontitis yang telah terjadi harus segera dirawat agar terhindar dari
kehilangan gigi. Perawatan periodontitis terbagi menjadi tiga fase yaitu:

Fase I : Fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara menghilangkan beberapa
faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa melakukan tindakan bedah periodontal
atau melakukan perawatan restoratif dan prostetik. Berikut ini adalah beberapa
prosedur yang dilakukan pada fase I.

1. Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.

2. Scaling dan root planning.

3. Perawatan karies dan lesi endodontik.

4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over hanging, dan
sebagainya.

Fase II : Fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas anatomikal


seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni oklusi yang
berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan menjadi faktor
predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal. Berikut ini adalah bebertapa
prosedur yang dilakukun pada fase ini:

1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket

2. Penyesuaian oklusi.

3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi yang
hilang.

Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah terjadinya


kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah beberapa prosedur
yang dilakukan pada fase ini:

1. Riwayat medis dan riwayat gigi pasien.

2. Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat scor plak,


ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas gigi.

3. Melekukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal dan


tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali.

2. Pencegahan Kehilangan Gigi oleh Karies

Pencegahan karies gigi diklasifikasikan pelayanannya menjadi 3 pencegahan


yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pelayanan yang diarahkan pada
tahap pre-patogenesis merupakan pelayanan pencegahan primer atau pelayanan
untuk mencegah timbulnya penyakit. Hal ini ditandai dengan upaya meningkatkan
kesehatan (health promotion) dan memberikan perlindungan khusus (spesific
protection) (Harris and Christen, 1995).

Upaya promosi kesehatan meliputi pengajaran tentang cara menyingkirkan


plak yang efektif atau cara menyikat gigi dan menggunakan benang gigi
(flossing). Upaya perlindungan khusus termasuk pelayanan yang diberikan untuk
melindungi host dari serangan penyakit dengan membangun penghalang untuk
melawan mikroorganisme. Aplikasi pit dan fisur siletn merupakan upaya
perlindungan khusus untuk mencegah karies (Herijulianti, Indriani & Artini,
2002).

Pelayanan yang ditujukan pada tahap awal patogenesis merupakan pelayanan


pencegahan sekunder, untuk menghambat atau mencegah penyakit agar tidak
berkembang atau kambuh lagi. Kegiatannya ditujukan pada diagnosa dini dan
pengobatan yang tepat. Sebagai contoh, melakukan penambalan pada lesi karies
yang kecil dapat mencegah kehilangan struktur gigi yang luas (Herijulianti,
Indriani & Artini, 2002).

Terakhir, pelayanan ditujukan terhadap akhir dari patogenesis penyakit yang


dikenal sebagai pencegahan tersier untuk mencegah kehilangan fungsi.
Kegiatannya meliputi pemberian pelayanan untuk membatasi ketidakmampuan
(cacat) dan rehabilitasi. Gigi tiruan dan implan termasuk dalam kategori ini.
Pencegahan karies gigi secara pencegahan primer, sekunder dan tersier, adalah
sebagai berikut:

a. Pencegahan primer

Menurut Alpers (2006) mencegah pembusukan dengan tindakan pencegahan


sebagai berikut :

1) Memilih makanan dengan cermat, makanan yang mengandung karbohidrat


juga berfenmentasi termasuk gula dan tepung kemudian akan diolah menjadi roti
dan keripik kentang. Karena karbohidrat merupakan sumber makanan penting
sehingga jangan mengurangi karbohidrat yang akan di konsumsi. Mengatur
kebiasaan makan anak dengan menghindari makanan yang lengket dan kenyal
seperti snack.

2) Pemeliharaan gigi Mulut tidak bisa dihindarkan dari bakteri, tetapi


mencegah bakteri dengan membersihkan mulut dengan teratur. Ajarkan anak
untuk menyikat gigi > 2 kali sehari. Menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan
gigi tiap 6 bulam sekali.

3) Pemberian flour Membubuhkan flour dalam air minum yang kekurangan


flour untuk mencegah karies gigi. Tambahan tersebut dapat berupa tetes atau
tablet. Obat ini biasanya dikumurkan dalam mulut sekitar 30 detik kemudian
dibuang. Anak rentan terhadap gigi berlubang sehingga pemberian flour secara
topikal termasuk pasta gigi yang mengandung flour sangat bermanfaat.

b. Pencegahan sekunder

1) Penambalan gigi, kerusakan gigi biasanya dihentikan dengan membuang


bagian gigi yang rusak dan diganti dengan tambalan gigi. Jenis bahan tambalan
yang digunakan tergantung dari lokasi dan fungsi gigi. Geraham dengan tugas
mengunyah memerlukan bahan yang lebih kuat dibandingkan gigi depan. Perak
amalgam digunakan pada gigi belakang. Tambalan pada gigi depan dibuat tidak
terlihat, silikat sejenis semen porselen yang mirip dengan email. Resin komposit
adalah bahan yang sering digunakan pada gigi depan dan belakang bila lubangnya
kecil dan merupakan bahan yang warnanya sama dengan warna gigi. Jika saraf
gigi telah rusak dan tidak dapat diperbaiki maka gigi perlu dicabut.

2) Dental sealant, perawatan untuk mencegah gigi berlubang dengan menutupi


permukaan gigi dengan suatu bahan. Dental sealant dilakukan pada permukaan
kunyah gigi premolar dan molar. Gigi dicuci dan dikeringkan kemudian memberi
pelapis pada gigi (Lithin, 2008).

c. Pencegahan tersier

Gigi dengan karies yang sudah dilakukan pencabutan terhadap rehabilitasi


dengan pembuatan gigi palsu.
2.5 Gigi Tiruan Oleh Tukang Gigi

Tukang gigi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 339/MENKES/PER/V/1989 Tentang Pekerjaan Tukang Gigi adalah
mereka yang melakukan pekerjaan dibidang penyembuhan dan pemulihan
kesehatan gigi dan tidak mempunyai pendidikan berdasarkan ilmu pengetahuan
kedokteran gigi dan telah memiliki izin dari menteri kesehatan untuk melakukan
pekerjaannya.
Dalam melakukan pekerjaannya tukang gigi memiki wewenang untuk:
a. membuat gigi tiruan lepasan dari arkilik sebagian atau penuh.
b. membuat gigi tiruan lepasan.
Dalam melaksanakan kegiatannya, tukang gigi dilarang untuk melakukan
kegiatan kegiatan sebagai berikut :
a. melakukan penambalan gigi dengan tambalan apapun.
b. melakukan pembuatan dan pemasangan tiruan cekat mahkota tumpatan
tuang atau sejenisnya.
c. menggunakan obat-obatan yang berhubungan dengan bahan tambalan gigi,
baik sementara maupun tetap.
d. melakukan pencabutan gigi, baik dengan suntikan maupun tanpa suntikan.
e. melakukan tindakan-tindakan secara medis termasuk pemberian obatobatan.
f. mewakili perkerjaannya kepada siapapun.

Pengetahuan pengguna gigi tiruan yang dibuat dokter gigi lebih tinggi
dibanding pengetahuan yang memilih pembuatan gigi tiruan di tukang gigi.
Pengetahuan yang dimiliki oleh pengguna gigi tiruan tersebut berpengaruh
terhadap pengguna gigi tiruan dalam memilih operator.

Tingkat pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan, sehingga


terjadi perubahan perilaku positif. Informasi, seseorang yang mendapatkan
informasi lebih banyak akan menambah pengetahuan yang lebih luas. Pengalaman
adalah sesuatu yang pernah dilakukan seseorang akan menambah pengetahuan
tentang sesuatu yang bersifat informal. Budaya adalah tingkah laku manusia
dalam memenuhi kebutuhan yang meliputi sikap dan kepercayaan. Sosial
ekonomi yakni kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pengguna gigi tiruan yang dibuat di dokter gigi menganggap bahwa biaya
pembuatan gigi tiruan lebih tinggi daripada gigi tiruan yang dibuat oleh tukang
gigi karena biaya yang terjangkau di tukang gigi. Faktor-faktor seperti pekerjaan
dan lingkungan ekonomi seseorang berpengaruh dengan pola konsumsinya, dan
terdapat faktor lain yang berpengaruh dalam pemilihan operator pembuat gigi
tiruan. Notoatmodjo (2012) mengatakan faktor lain tersebut adalah pengetahuan,
keyakinan, tersedianya fasilitas, perilaku petugas kesehatan, dan lain sebagainya,
sedangkan pengguna gigi tiruan yang dibuat di tukang gigi menganggap bahwa
biaya pembuatan gigi tiruan lebih rendah daripada gigi tiruan yang dibuat oleh
dokter gigi karena pada dasarnya biaya relatif lebih murah pada tukang gigi. Itulah
yang menjadikan alasan utama dalam pemanfaatan jasa tukang gigi dibandingkan
dengan pelayanan kesehatan gigi lainnya.
Africa CWJ, Reddy J. The Association between Gender and Tooth Loss in a

Small Rural Population of South Africa[internet]. Available From :

http//www.sciencepublishingroup.com. Accesed January 10 th 2013.

Beal JF. Social Factor and Preventif Dentistry. St. Louis : Mosby 1996.

Handayani HF. Sifat Kariogenik pada Makanan Anak-anak. Jurnal Dentofasial

Kedokteran Gigi; 2003 ; 1 ; 247-9.

Hamrun N. Pebandingan Stats Gizi dan Karies Gigi pada Murid SD Islam Athira

dan SD Bangkala III Makassar. J Dentofasial; 2009 : 8(1) , pp 27-34.

1. Koesoemahardja H. Tumbuh Kembang Dentofasial Manusia. Jakarta :

Penerbit Universitas Trisakti, 2008.

2. Kristin, Kida. Pengaruh kebiasaan merokok Terhadap Kesehatan Gigi dan

Mulut. Jakarta : Penerbit Buku Bina insan, 2007.

3. Achmad H. Trauma Gigi Anterior pada Anak. Makassar : Penerbitan

Bimer, 2009.

4. Narlan S. Dasar - Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran ECG, 1992.

5. Situmorang N. Status dan Prilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut

Sekolah Di 8 Kecamatan Di Kota Medan. Dentika Dental Journal ; 2008 :

13(3) , pp 115-19

6. Astoeti TE, Boesro S. Pengaruh Tingkat Pengetahuan terhadap Kebersihan

Gigi dan Mulut . Dentika Dental Journal ; 2008 : 12(2) , pp 145-147.


Carr AB, McDivney GP, Brown DT. McCracken’s removable partial prosthodontics. 11th

ed. Mosby; 2005. p. 218-22, 369-70.

McMillan, Anne S. Emotional effects of tooth loss. Int J prosthodontics 2004; 17(2) : 172-
6
RF de Souza, de Oliveira Freitas Paranhos H, Lovato da Silva CH, Abu-Naba’a L,
Fedorowicz Z, Gurgan CA Z, CA Gurgan CA. Interventions for cleaning denture in adults.
2009; p. 1-42.
Rathee M, Hooda A, Ghalaut P. Denture hygiene in geriatric persons. The Internet
Journal of Geriatrics and Gerontology 2010; 1(6).

Dapus
Arbree NS. Immediate Denture. In: Zarb GA, Bolender. editors. Prosthodontic Treatment
for Edentulous Patient: Complete Denture and Implant-Supported Prostheses, 12th ed.
Mosby. 2004. p. 123; 125.
Gunadi HA, Margo A, Burhan LK, dkk. Buku ajar ilmu geligi tiruan sebagian lepasan.
Jilid 1. Jakarta: Hipokrates, 1991:267-379.
Haryanto A. G., Buku Ajar Gigi tiruan Sebagian Lepasan Jilid 1. 1991.Jakarta:
Hipokrates.
Hidayati S, Chusnah A, Mu’afiro A, Suwito J. Tingkat keparahan gingivitis pengguna
gigi palsu yang dibuat di tukang gigi pada penduduk RT.5 dan 6 Desa Tambang Ulang
Kabupaten Tanah Laut. Buletin Penelitian RSUD Dr.Soetomo J 2009
Desember;11(4):178
Jubhari EH. Alasan mahasiswa fakultas kedokteran gigi tidak menggunakan gigi tiruan.
Dentofasial J 2008 Okt;7(2):125.
Jubhari EH. Upaya untuk mengurangi preparasi gigi : Fung shell bridge. Dentofasial J
2007 April;6(1):27.
McMillan AS. Emotional effects of tooth loss in community-dwelling elderly people in
Hongkong. [serial online]. 2004 [cited 2013 Mei 29]; Available from:
http://www.researchgate.net/publication/8585278Emotional_effects_of_tooth_loss_in_co
m munitydwelling_elderly_people_in_Hong_Ko ng/file/79e41509c53d66ec6d.pdf
Prajitno HR. 1991. Ilmu Geligi Tiruan Jembatan Pengetahuan Dasar dan Rancangan
Pembuatan. Jakarta: EGC
Sari K. Fenomena dokter gigi jalanan. Cobra & Campus 2013 Februari;6:31.
Soelarko, RM dan Wachijati, H., 1980. Diktat Prostodonsia Gigi Tiruan Sebagian
Lepasan. Fakultas Kedokteran gigi Universitas Padjajaran:Bandung.

Anda mungkin juga menyukai