Anda di halaman 1dari 20

RESUME METODOLOGI PENELITIAN 1

CHAPTER 3
TWO DIMENSIONS : FOUR PARADIGMS

Oleh:
Dian Kristiyani 041724253007
Victor Maria Akbar Soratomo Tukan 041724253011
Aswin Padyanoor 041724253017

DEPARTEMEN AKUNTANSI
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2018
CHAPTER 3

TWO DIMENSIONS : FOUR PARADIGMS

Pada bab ini kita akan mendiskusikan hubungan antara dua dimensi dan untuk

mengembangkan skema yang koheren untuk analisis teori sosial. Kita telah mencatat

bagaimana debat sosiologi sejak tahun 1960-an cenderung mengabaikan perbedaan antara

dua dimensi khususnya ada kecenderungan fokus terhadap isu-isu yang terkait dengan

dimensi subjective-objective dan mengabaikan isu-isu terkait dengan dimensi regulation-

radical change. Cukup menarik bahwa fokus perhatian ini telah membentuk pemikiran

sosiologi terkait dengan regulation dan radical change. Debat subjective-objective telah

dilakukan secara independen.

Dalam sociology of regulation diasumsikan bentuk debat antara interpretive sociology

dan functionalism.Pada risalah pengetahuan sosiologi karya Berger dan Luckmann (1966),

Ethnometodology karya Garfinkel (1967) dan kebangkitan umum minat di phenomology,

status yang dipertanyakan dari asumsi ontological dan epistomological dari functionalis

perspective semakin terbuka. Debat tersebut sering menyebabkan polarisasi antara dua

pemikiran.

Hampir sama, konteks sociology of radical change terdapat pemisahan antara teori-

teori pandangan masyarakat tentang subjective dan objective. Debat tentang banyak hal

dipublikasikan in Perancis pada 1966 dan di Inggris 1969 dengan karya Louis Althusser “For

Marx”. Konteks sosiologi untuk regulation dan radical change pada tahun 1960-an telah

berubah dalam hal fokus perhatian. Debat antara dua pemikiran sosiologi tersebut telah

menghilang dan digantikan dengan dialog tertutup dengan konteks pemikiran yang terpisah

dengan tidak saling berkomunikasi. Terkait menghilangnya debat tersebut kita sebut dengan

2
dimensi subjective-objective, proses rumit dalam pandangan semua hal yang saling terkait,

menyebabkan pengabaian terhadap dimensi regulation-radical change.

Terhadap konsekuensi perkembangan ini, debat terbaru seringkali membingungkan.

Pemikiran sosiologi cenderung dibentuk oleh sectarianism yang dangkal, di mana perspektif

secara keseluruhan dan pemahaman isu dasar telah hilang secara mencolok. Waktu untuk

pertimbangan ke depan yaitu ada dua dimensi kunci dari analisis yang telah diidentifikasi

penetapan parameter kritisnya. Terdapat dua dimensi independen yang menghidupkan

kembali isu-isu sosiologi pada awal 1960-an dan menempatkan isu-isu tersebut pada akhir

1960-an dan awal 1970-an dan didefinisikan sebagai empat paradigma sosiologi yang

berbeda yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis teori-teori sosial secara luas. Hubungan

antara paradigma-paradigma tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Empat paradigma untuk menganalisis teori sosial

THE SOCIOLOGY OF RADICAL CHANGE

Radical humanist Radical structuralist

SUBJECTIVE OBJECTIVE

Interpretive Functionalist

THE SOCIOLOGY OF REGULATION

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tiap paradigma berbagi seperangkat fitur yang umum

secara horizontal dan vertikal dalam hal satu atau dua dimensi tapi dibedakan pada dimensi

yang lain. Untuk alasan ini, paradigma-paradigma tersebut harus dilihat secara

contiguous/berdekatan tapi tetap terpisah. Berdekatan karena berbagi karakteristik, terpisah

karena perbedaan. Empat paradigma tersebut menetapkan empat perspektif dasar yang

3
berbeda untuk menganalisis fenomena sosial melalui pendekatan dari sudut pandang yang

berbeda dan menghasilkan konsep dan alat analisis yang cukup berbeda.

THE NATURE AND USES OF THE FOUR PARADIGMS

Sebelum mendiskusikan masing-masing paradigma, kita perlu memperhatikan tentang

gagasan paradigma yang digunakan. Kita menganggap empat paradigma tersebut

didefinisikan oleh asumsi meta teoritikal yang sangat mendasar yang mendasari kerangka

referensi, model teori dan modus operandi dari ilmuwan yang berada dalam paradigma

tersebut. Semua definisi dari keempat paradigma tersebut tidak mengindikasikan kesamaan

pandangan seutuhnya karena dalam setiap paradigma pasti terdapat ilmuwan yang

mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kesamaan yang bisa ditunjukkan hanya dalam

konteks dasar dan asumsi, inilah yang membedakan antara satu paradigma dengan paradigma

yang lainnya. Empat paradigma tersebut eksklusif satu sama lain, menawarkan pandangan

alternatif terhadap realitas sosial dan untuk memahami keempat paradigma tersebut juga

harus memahami empat pandangan masyarakat yang berbeda.

Sintesis tidak dimungkinkan karena bentuk murni dari keempat paradigma saling

bertolak belakang berdasarkan asumsi meta teoritikal, merupakan alternatif yaitu satu

paradigma dapat dilaksanakan pada paradigma yang berbeda secara berurutan tapi saling

eksklusif dan satu paradigma tidak dapat dilaksanakan lebih dari satu paradigma yang

berbeda pada saat yang sama.

Dengan mengkombinasikan pandangan-pandangan mengenai asumsi sifat dasar ilmu

sosial dan sifat dasar masyarakat, paradigma untuk menganalisis teori sosial bisa dibagi

menjadi empat, yaitu functionalist, interpretive, radical humanist, dan radical structuralist.

4
1) The Functionalist Paradigme
Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut

pandang objektif. Ciri khasnya adalah perhatian yang besar pada penjelasan-penjelasan

mengenai status quo, keteraturan sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas,

pemenuhan kebutuhan dan aktualisasi.


Paradigma functionalis lebih sering melakukan pendekatan yang berorientasi

masalah, lebih memerhatikan bagaimana menyediakan solusi praktis terhadap

permasalahan praktis. Ia mengacu kepada tradisi dari kaum sosial positif. Kaum

fungsionalis cenderung untuk mengasumsikan bahwa dunia sosial merupakan terdiri

dari artefact empiris relatif dan hubungan, yang dapat diidentifikasi, dipelajari dan

diukur, pendekatan ini diturunkan dari pendekatan ilmu alam. Analogi yang paling

favorit adalah analogi-analogi mekanik dan biologi. Pendekatan ini merefleksikan

asumsi-asumsi mengenai alam ilmu sosial, yang berada pada oposisi paham sosiologi

positif.
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang

paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi

sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada pemikiran

kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan sosiologi

kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, ke

setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya,

kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan

nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas

sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan

pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa

langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih

mendasarkan pada “filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi

5
usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara,

mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial.


Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan

pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam

dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa

pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto.

Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur

empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur

dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam.

Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada

dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian,

sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi

pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George

Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan

teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang

lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau

masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses

kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi

kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah

terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara

mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan

keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir

beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.


Paradigma ini dipengaruhi oleh pemikiran dari German idealist dan juga oleh

Marxist terutama dalam hal sociology of radical change. Formasi functionalist paradigm

dapat dipahami pada tabel 3.2

6
Tabel 3.2. Pengaruh intelektual pada functionalist paradigm

THE SOCIOLOGY OF RADICAL CHANGE

Marxist Theory

SUBJECTIVE OBJECTIVE

German Idealism

Sociological
THE SOCIOLOGY OF REGULATION
positivism

2) Interpretive Paradigm
Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang

subjektif. Perhatian utamanya ada pada bagaimana memahami dunia sebagaimana

adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif.

Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan

subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai

pengamat.
Paradigma interpretasi diinformasikan dengan penekanan untuk memahami

dunia apa adanya, untuk memahami dasar alam dunia ilmu sosial pada level

pengalaman subjektif. Ia berusaha mencari penjelasan dunia alam sadar individu dan

subjektivitas, dimana pola acuan peserta beroposisi dengan aksi pengamat. Ia

cenderung menjadi kaum nominalis, anti positif, volunter, dan ideographic.


Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi

keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan

objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi

keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa

adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut

7
pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa

sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.


Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan

sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya,

mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi

manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.

Sungguhpun demikian, anggapan- anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan

pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan,

kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak

menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial

kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat

hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang

penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma interpretif menjelaskan tentang stabilitas perilaku dari pandangan

individu, memahami dunia apa adanya dalam hal proses yang sedang berlangsung.

Paradigma ini menekankan spiritual nature dari dunia dan merupakan produk

langsung dari pemikiran German idealist seperti Kant, sebagai pionir dan Dilthey,

Weber, Husserl serta Schurz sebagai penerus ideologi tersebut. Pada tabel 3.3 dan

tabel 3.4 dapat dilihat cara paradigma telah dieksplor sebagai teori sosial dan studi

organisasi.

Tabel 3.3

THE SOCIOLOGY OF RADICAL CHANGE


SUBJECTIVE Radical humanist Radical structuralist OBJECTIVE
Anarchistic Individualism Russian Social Theory

French Existencialism Contemporary Mediterranian


Marxism

8
Critical Theory Conflict Theory

Interpretive Functionalist

Phenomenology Integrative theory

Hermeneutics Social system theory

Phenomenological sociology Interactionism and social


action theory
Objectivism

THE SOCIOLOGY OF REGULATION

Tabel 3.4

THE SOCIOLOGY OF RADICAL CHANGE


Radical humanist Radical structuralist

Anti Organization Theory Radical Organization Theory

Interpretive Functionalist

SUBJECTIVE Ethnometodology and Pluralism OBJECTIVE


Phenomonological simbolic
interactionism
Action frame of reference

Theories of bureaucratic
dysfunctions
Social System Theory

Objectivism

THE SOCIOLOGY OF REGULATION

3) The Radical Humanist Paradigm


Paradigma ini didefinisikan dengan perhatian utamanya untuk

mengembangkan sociology of radical change dari sudut pandang subjektif. Paradigma

ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang

atau melanggar batas-batas yang ada dalam pengaturan sosial.

9
Paradigma kemanusiaan radikal didefinisikan dengan penekanannya untuk

mengembangkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum subjektif.

Pendekatannya terhadap ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan paradigma

interpretif, dalam hal ini ia memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung

menjadi kaum nominalis, anti-positif, dan ideographic.


Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan

sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran

manusia. Pen dekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu

nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal cenderung

menekankan perlunya menghilang kan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan

sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis

radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di kuasai atau dibelenggu oleh supra

struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan

kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false

consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia

sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam

membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat

perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-

habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin

memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang

mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat

kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan struktural

belum menjadi perhatian mereka. Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai

tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan “konsientisasi”, yang pada

dasarnya membangkit kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan,

dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal.

10
Paradigma ini menjelaskan tentang kesadaran seseorang didominasi oleh

ideologi superstruktur di mana dia berinteraksi dan mendorong a cognitive wedge

antara seseorang tersebut dengan kesadaran yang sebenarnya. Hal ini membatasi

pemenuhan kepuasan seseorang. Ilmuwan dalam paradigma ini adalah Kant dan

Hegel serta Marx muda. Paradigma ini dimulai pada awal 1920-an di Frankfurt

School dan di juga di Perancis. Paradigma ini pada dasarnya anti organization.

4) Radical Structuralist Paradigm


Paradigma ini berangkat dari pandangan Sociology of radical change dari

sudut pandang objektif. Radical structuralist sangat gigih dalam membahas isu-isu

perubahan radikal, emansipasi, dan potensiality, analisis yang menekankan konflik

struktural, dominasi, kontradiksi dan pengambilalihan (deprivation). Kaum teori

berada pada paradigma ini menganjurkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut

pandang kaum objektif.


Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal

memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang

objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan

dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.

Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan

pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis,

positivis, determinis, dan nomotetis.


Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh

mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting

justru hubungan -hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang

nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan

tatanan sosial baru secara me nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal

terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa

11
kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian

mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya

perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh Weber.

Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya

antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri

baru.
Paradigma ini mempercayai bahwa radical change itu dibangun pada struktur

sosial, Masyarakat yang kontemporer ditandai dengan konflik fundamental yang

menghasilkan radical change melalui krisis politik dan ekonomi. Paradigma ini

berdasarkan pemikiran dari Marx dewasa yang diikuti oleh Engles, Lenin dan

Bukharin.

Contoh jurnal :

1) Radical humanist.
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM DIMENSI RADICAL HUMANIST DAN
RADICAL STRUCTURALIST: MENENGOK (PULA) PERAN AKUNTAN(SI)
FORENSIK

By : Achdiar Redy Setiawan

Pendahuluan
Meyakini adagium Lord Acton di atas, kekuasaan (power) yang dimiliki oleh seseorang
ataupun pihak tertentu memang cenderung untuk disalahgunakan. Level, cakupan dan
besaran kekuasaan yang dimiliki membawa kemungkinan derivasi dan ragam
penyalahgunaan. Apalagi jika kekuasaan itu mendapatkan pengawasan dan kontrol yang tidak
memadai, maka lanjut Lord Acton, penyalahgunaan itu pasti terjadi. Penyalahgunaan ini salah
satu bentuk paling mengerikannya adalah “korupsi”. Lebih mengerikan lagi jika tengara
Bung Hatta bahwa “Korupsi di Indonesia sudah pada tahap membudaya”. Adalah benar.
Bahwa perbuatan “korupsi” di Indonesia telah menjadi budaya, sebuah kelaziman peradaban.

12
Bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang memiliki budaya luhur "adiluhung,
berdimensi etis dan berketuhanan, seharusnya tertampar dengan pernyataan founding father
ini. Korupsi adalah perbuatan menyalahi garis kebenaran yang diperintahkan Tuhan serta
melanggar asas umum kemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian, klaim tentang
kepemilikan budaya adiluhung tadi seharusnya gugur, jika korupsi telah membudaya dalam
perikehidupan bangsa Indonesia. Persoalan penyalahgunaan keuangan daerah ini menjadi
semacam rantai setan yang menggejala begitu marak di era reformasi ini. Pihak-pihak
yang memiliki kuasa dan kewenangan terkait keuangan daerah menggunakan berbagai
metode untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Landasaan teori dan Pembahasan


a. Mengenal Korupsi dan Perkembangannya
Terma korupsi yang menjadi focus tulisan ini adalah korupsi yang berada dalam wilayah atau
area sektor public (baca: pemerintahan). Hal ini dikarenakan korupsi di pemerintahan
melibatkan pengelolaan keuangan negara/daerah yang melibatkan seluruh bangsa.
Penerimaan negara/daerah yang diperoleh dari pajak dan retribusi dari warga negara, sesuai
amanat UUD 1945, seharusnya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat. Korupsi adalah pembiasan dan penyalahgunaan wewenang oleh pihakpihak yang
diberi amanah rakyat untuk tujuan bukan kepentingan rakyat.
Dalam sejarah perjalanan negara bangsa bernama Indonesia, Piliang (2003: 7-19), tiba pada
konklusi bahwa bangsa Indonesia telah diperkenalkan dan bersentuhan dengan korupsi sudah
sejak lama, jauh sebelum merdeka. Dalam lintasan sejarah, Piliang (2003:7), mencatat bahwa
sejarah panjang korupsi Indonesia telah berakar dan dimulai pada jaman kerajaan. Raja
adalah penguasa tunggal, bahkan dianggap sebagai titisan Dewa atau Tuhan. Semua yang
dimiliki rakyat, dalam konsepsi kerajaan, juga adalah milik Raja. Ini akan melahirkan apa
yang disebut absolute power yang corrupt absolutely dalam adagium Lord Acton.

b. Strategi Pemberantasan Korupsi (Existing)


Mengingat besarnya ekses yang dihasilkan oleh tindak pidana korupsi, Indonesia sebenarnya
telah berada di jalur yang tepat dalam gerakan melawan korupsi. Korupsi ditempatkan
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang tindakan perlawanannya harus pula
luar biasa. Lahirnya Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah bukti nyata keseriusan itu. Hal ini berangkat dari kesadaran
13
bahwa persoalan korupsi adalah duri yang harus dibabat habis dalam proses pembangunan
nasional. Korupsi menjadikan pembangunan nasional terhambat. Adanya korupsi menjadikan
uang negara yang seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat masuk
ke kantongkantong pribadi dan kelompok penyelenggara negara yang tidak amanah.
Pembentukan KPK berdasar UU No. 30 tahun 2002 hingga awal tahun 2012, telah memasuki
episode kepemimpinan ketiga. Strategi pemberantasan korupsi KPK setiap tahunnya
(sebagaimana dilansir dalam Laporan Tahunan KPK) pada dasarnya telah sangat baik.
Keseluruhan program kerja yang dijalankan mendasarkan diri pada kondisi existing modus
operandi koperasi yang kian variatif.

c. Menggagas (Penajaman) Strategi Pemberantasan Korupsi


Keseluruhan agenda dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah on the right track.
Namun mengingat semakin massifnya pola dan bentuk modus korupsi (terutama menyebar
pula di daerah-daerah), maka berbagai penajaman metode dan strategi pemberantasan tetap
perlu dipikirkan. Apa yang telah berjalan baik perlu terus dilakukan, sedangkan apa yang
masih kurang diperbaiki. Dalam rangka menggagas (penajaman) strategi pemberantasan ini,
dengan meminjam penjelasan tentang paradigma ilmu sosial yang digagas oleh Burrell
Morgan (1979). Burrell dan Morgan (1979: 17), menguraikan adanya dua dimensi asumsi
tentang nature of society untuk mengembangkan ilmu sosial. Dua dimensi itu adalah
Sosiologi Regulasi- Sosiologi Perubahan Radikal serta Subjektif-Objektif. Regulation lebih
menekankan pada kebutuhan keteraturan pada permasalahan manusia, untuk memahami
mengapa masyarakat perlu di-maintain sebagai satu entitas. Radical change focus kepada
eksplanasi perubahan radikal, menunjukkan emansipasi manusia atas struktur yang
mengungkungnya, concern pada penciptaan alternative daripada penerimaan status quo.

Metode Penelitian.
Artikel ini mencoba menggunakan dua paradigma yang berada di dua kuadran yang berada
pada posisi atas dari gambar diatas, yaitu Radical Humanist dan Radical Structuralist.
Keduanya dikategorikan sebagai paradigma kritis. Paradigma kritis, menawarkan pendekatan
yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik.
Paradigma kritis selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan, memakai baik
pendekatan objektif maupun subjektif dalam memandang perubahan sosial. Perubahan social
inilah yang perlu didorong dalam rangka pemberantasan korupsi.

14
Pembahasan

Radical Humanist
Dalam pendekatan radical humanist, korupsi dilawan melalui usaha penyadaran yang
memakan waktu yang relatif panjang. Proses penyadaran adalah pekerjaan berat dan lama.
Jika mengaca pada konsepsi program KPK, ini bergerak pada aspek pencegahan. Banyak
literatur tentang fraud dan korupsi meletakkan pencegahan sebagai tindakan yang paling
utama (lihat misalnya Albrecht 2009, Singleton dan Singleton, 2010). Korupsi adalah
persoalan moral etika. Dewasa ini permasalahan moral menjadi topik bahasan utama hampir
di semua kalangan dan di berbagai forum. Permasalahan ini sesungguhnya muncul karena
adanya kekhawatiran terjadinya demoralisasi bangsa akibat roda globalisasi yang disadari
atau tidak akan menggerus budaya dan jiwa ketimuran khususnya bagi generasi penerus
bangsa. Korupsi diyakini telah mengerosi sendi-sendi kehidupan bangsa.

Radical Structuralist
Pendekatan kedua, radical structuralist, mengubah dan memberantas korupsi melalui
pembangunan sistem. Ini berangkat dari asumsi bahwa semua orang memiliki peluang untuk
melakukan korupsi, atau secara lebih luas, fraud. Sebuah studi tentang karakteristik
pelaku fraud sebagaimana diacu oleh Albrecht (2009), menarik dicermati. Pelaku fraud
ternyata sangat berbeda dengan narapidana yang lain. Biasanya, pelaku fraud adalah ia adalah
memiliki pendidikan yang lebih baik, lebih religius, tidak memiliki catatan kriminal
sebelumnya, tidak minum-minuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang. Ia juga
terlihat memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik, penuh dengan optimisme dan self
esteem, motivasi tinggi, berangkat dari keluarga harmonis. Selain itu, kebanyakan ia juga
memiliki karakter yang baik (kindness), pengendalian diri yang baik, hubungan social yang
hangat dan empatik.

Di mana Peran Akuntan(si) Forensik?


Bidang ilmu akuntansi turut menyumbang dalam gagasan pemberantasan korupsi. Hal ini
tidak terlepas dari dari fakta bahwa fraud dan segala bentuk turunannya (termasuk korupsi)
secara langsung ataupun tidak langsung melibatkan akuntansi. Salah satu bidang keilmuan
akuntansi yang kemudian secara khusus related to fraud or corruption adalah akuntansi
(dan/atau audit) forensik. Akuntansi (dan/atau audit) forensik mencakup serangkaian aktivitas
komprehensif terkait dengan investigasi fraud (Singleton dan Singleton, 2010:12).
15
Penggunaan dan bidang kelimuan akuntansi forensic untuk tujuan investigasi fraud ini erat
kaitannya dengan penggunaan keilmuan dasar akuntansi (pelaporan dan laporan keuangan)
yang kemudian diikuti dengan teknik investigasi lainnya yang lazim digunakan dalam ranah
hukum. Laporan keuangan dapat menjadi dasar atau awalan pengungkapan kasus berbau
fraud.

SIMPULAN
Persoalan korupsi harus diakui masih membelit perjalanan bangsa berpenduduk 230 juta jiwa
ini. Media massa hampir setiap hari rajin mengangkat berita tentang carut marut korupsi di
negeri ini. Sungguh banyak dan luas efek destruktif yang diakibatkan tindakan
penyalahgunaan wewenang penyelenggaran negara. Namun kita harus tetap optimis selama
lilin masih dapat menerangi, kegelapan peradaban ini dapat menemukan titik terangnya.
Gagasan pemberantasan korupsi dalam pemikiran ini berada dalam dua kiblat besar. Pertama,
radical humanist, yaitu menggugah perubahan lewat kesadaran. Strategi ini merupakan upaya
pencegahan. Biasanya jangka waktunya relatif lama (long term). Tujuannya menanamkan
kesadaran bahwa korupsi itu adalah perbuatan jahat, melanggar perintah Tuhan serta
kemanusiaan secara umum. Pada saat kesadaran ini telah menyeruak, diharpkan dapat
mencegah seseorang melakukan tindak korupsi. Usaha kedua, radical structuralist, lebih
mengarah kepada perubahan melalui sistem yang terstruktur. Ini lebih dekat pada aspek
penindakan, penegakan hukum dan aturan terkait korupsi dengan tegas, keras dan tidak
pandang bulu menjadi kata kuncinya. Seluruh masyarakat harus mengawal supremasi hukum
untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Dalam rerangka sistemik ini, peranan
akuntansi forensik juga menempati peranan yang signifikan dalam strategi pemberantasan
korupsi. Implementasi gagasan ini perlu dicamkan bersamasama guna menuju Indonesia
bersih tanpa korupsi.

2. Interpretif Paradigma

MASUKNYA PARADIGMA INTERPRETIF PADA KAJIAN ILMU


AKUNTANSI

By :
Rosalina Yuri Anggraini
Universitas Brawijaya
Rosalina.yuri@gmail.com

PENDAHULUAN

16
Berbicara tentang ilmu pengetahuan tidak akan pernah ada habisnya. Perkembangan demi
perkembangan terus saja terjadi. Dalampemikiran saya, tujuan ilmu pengetahuan terus saja
berkembang adalah untuk mencari kebenaran sesungguhnya dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Dapat kita katakana bahwa ilmu pengetahuan merupakan sosok suatu hal yang
misterius, manusia tidak pernah ada yang tahu apa, kapan, dan dimana ujungnya. Ketika kita
berbicara dalam ranah dunia pendidikan, ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui berbagai macam penelitian dan percobaan dari fakta-fakta yang
ada. Penelitian tersebut dilakukan atas dasar rasa ingin tahu manusia yang sangat besar
bahkan tidak terbendung. Dorongan demi dorongan untuk menguak tabir tentang suatu
pengetahuan tertentu terus saja terjadi, dan untuk mengetahui kebenarannya dilakukan
berbagai uji coba. Dengan demikian, ilmu dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran objektif
yang keberadaanya merupakan hasil pemikiran dan penyelidikan manusia untuk
membuktikan bahwa kebenaran ilmu dan pengetahuan merupakan suatu kebenaran yang
bersifat nisbi, cepat berubah, dan mengalami perkembangan yang pesat. Dalam upaya
pembuktian dan pengeksplorasian ilmu pengetahuan tersebut, terdapat suatu hal yang tak
kalah penting, yaitu cara pandang terhadap masalah yang diangkat dan penyelesaiannya. Cara
pandang terhadap suatu masalah dan penyelesaiannya penting untuk dipahami karena akan
mempengaruhi kesimpulan yang ditarik terhadap jawaban suatu permasalahan. Cara pandang
inilah yang disebut sebagai suatu paradigma. Paradigma merupakan suatu dasar dari
kepercayaan dan keyakinan sebagai penuntun perilaku seseorang baik dalam tindakan
kesehariannya maupun ketika melakukan penelitian ilmiah. Dalam penelitian ilmiah, adanya
paradigma dapat menuntun seseorang untuk menentukan masalah apa yang akan diangkat,
pertanyaan penelitian yang dimunculkan, cara memperoleh informasi, serta arah dalam
menafsirkan informasi yang diperoleh untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Penggunaan
paradigma yang tidak tepat akan mempengaruhi hasil penelitian atau pengujian yang
dilakukan. Masalah tidak menjadi selesai bahkan menjadi semakin kompleks atau masalah
dapat terpecahkan namun tidak terfokus. Oleh karena itu, dalam memecahan suatu
permasalahan terkait ilmu pengetahuan perlu dipilih paradigma yang tepat agar masalah
dapat terselesaikan tepat sasaran. Penyelesaian masalah yang tepat sasaran akan membantu
perkembangan ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran. Terdapat berbagai macam
paradigma, namun terdapat satu paradigma yang pengaplikasiannya cukup menarik dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan. Paradigma tersebut adalah paradigm intepretif.
Paradigma intepretif merupakan suatu paradigma atau cara pandang yang berdekatan dengan
filosofi serta pemikiran sosiologis yang sangat luas sebagai upaya untuk memahami dan
17
menjelaskan berbagai perilaku pada dunia sosial dari sudut pandang pelaku proses sosial itu
sendiri.

PEMBAHASAN

Paradigma Interpretif, Pengembangan Ilmu Pengetahuan, dan Kebenaran Ilmu


Penelitian dan pengujian dilakukan untuk menemukan suatu kebenaran ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan sendiri dapat terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu sosial
berhubungan realitas atau fenomena sosial yang seringkali di hadapi oleh setiap orang. Ilmu
sosial dikonseptualiasikan menjadi empat asumsi oleh Burrell dan Morgan (1979), yaitu
1. Ontology merupakan suatu ilmu filsafat yang membahas terkait fenomena yang
sedang diteliti dan dikaji. Apakah fenomena tersebut benar-benar terjadi atau hanya
berupa ide atau konsep. Dalam ontology terdapat dua kaum filsafat, yaitu
nominalisme dan realisme. Kaum nominalisme memandang bahwa realitas sosial
hanyalah suatu konsep atau ide yang digunakan untuk mempermudah pemahaman dan
pendeskripsian terkait suatu realitas. Sedangkan kaum realisme lebih kepada aliran
filsafat yang meyakini bahwa realitas sosial adalah suatu hal yang benarbenar terjadi
(nyata). Berdasarkan padangan tersebut akan memunculkan cara pandang mekanistik
atau materialistik.
2. Epistemology merupakan suatu ilmu filsafat yang membahas bagaimana suatu realitas
atau fenomena sosial awalnya dipahami hingga menjadikan suatu pengetahuan dan
teori yang dipelajari dan digunaan oleh manusia.
3. Human nature merupakan suatu asumsi ilmu filsafat yang mendalami penyebab
seseorang berperilaku tertentu. Perilaku seseorang dapat disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar atau perilaku tersebut
merupakan kehendak manusia itu sendiri.
4. Methodology merupakan suatu ilmu yang menentukan metode atau pendekatan
apakah yang digunakan peneliti untuk menyelidiki suatu realitas atau fenomena sosial
yang sedang dipelajarinya.

Paradigma Interpertif dan Studi Akuntansi


Ketika paradigma ini belum dipahami secara keseluruhan, akan mengira bahwa paradigma ini
tidak dapat digunakan pada penelitian-penelitian akuntansi. Akuntansi identik dengan suatu
rutinitas yang berdekatan dengan angka dan berbagai hal yang pasti. Mulanya cukup banyak

18
anggapan bahwa penelitian akuntansi hanya cocok dengan paradigma positif. Dapat
dijelaskan dengan suatu kajian ilmiah, dihipotesiskan, kemudian mencari informasi yang
diterjemahkan dalam bentuk angka yang kemudian diolah dan diambil kesimpulan akhir.
Kejenuhan akan proses ini memunculkan suatu aliran multiparadigma. Berdasarkan
pernyataan tersebut, tidak dikagetkan bahwa kejenuhan pemecahan masalah akuntansi
menggunakan paradigm positif memunculkan berbagai paradigma lain yang salah satunya
adalah paradigm intepretif.

Sosiologi Intepretif sebagai Perspektif Pengembangan Akuntansi


Djamhuri (2012) mencoba untuk mejelaskan karakteristik interpretivism yang merupakan
penekanan terhadap suatu upaya pengkonstruksian dan penafsiran suatu tindakan masyarakat
baik dari pengetahuan yang mereka miliki maupun pengalaman yang telah mereka lakukan
dalam suatu tindakan sosial. Dengan demikian, tujuan dari adanya sosiologi interpretif adalah
untuk menemukan suatu makna yang tersembunyi dari berbagai tindakan sosial dari apa yang
dipahami oleh pelaku atau aktor yang berperan melalui suatu upaya pemahaman yang searah
dan baik. Adanya sosiologi intepretif berupaya untuk melakukan konstruksi ulang terhadap
struktur sosial ketika interaksi sosial sedang berlangsung dengan pamahaman keseluruhan
aktor yang terlibat. Suatu perspektif sosiologi dalam paradigma interpretif meyakini bahwa
suatu realitas sosial merupakan suatu kumpulan persepsi yang telah diterima oleh suatu
kelompok masyarakat tertentu dan memberikan makna yang telah disepakati. Beberapa
pendekatan sosiologi yang termasuk dalam paradigma interpretif menurut Djamhuri (2012)
adalah interaksi simbolik, fenomenologi, dramaturgi, etnometodologi, semiotik, dan
hemeneutik.

SIMPULAN
Sebagai suatu kesimpulan dapat dikatakan bahwa,
1. Berbagai filsafat ilmu dalam paradigma interpretif dapat membantu peneliti untuk
melihat lebih dalam realitas sosial yang ada, dengan demikian dapat menetukan
apakah realitas tersebut hanyalah suatu symbol atau ide yang dimunculkan ataukan
benar merupakan kenyataan dari suatu permasalahan. Informasi baru yang diperoleh
dengan paradigma yang berbeda dapat mendekatkan peneliti pada pengembangan
suatu ilmu bahkan semakin mendekati kebenaran suatu ilmu dipelajari.
2. Berbagai perspektif dan pendekatan sosiologi interpretif dalam paradigma interpretif
menjadikan suatu solusi untuk menyelesaikan permasalahan akuntansi yang
19
berhubungan dengan interaksi sosial. Pengkajian permasalahan dapat dilakukan
secara lebih medalam sehingga membuka berbagai informasi yang selama ini tidak
diprediksikan namun pada kenyataannya dapat mempengaruhi perkembangan ilmu
akuntansi

20

Anda mungkin juga menyukai