CHAPTER 3
TWO DIMENSIONS : FOUR PARADIGMS
Oleh:
Dian Kristiyani 041724253007
Victor Maria Akbar Soratomo Tukan 041724253011
Aswin Padyanoor 041724253017
DEPARTEMEN AKUNTANSI
PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
CHAPTER 3
Pada bab ini kita akan mendiskusikan hubungan antara dua dimensi dan untuk
mengembangkan skema yang koheren untuk analisis teori sosial. Kita telah mencatat
bagaimana debat sosiologi sejak tahun 1960-an cenderung mengabaikan perbedaan antara
dua dimensi khususnya ada kecenderungan fokus terhadap isu-isu yang terkait dengan
radical change. Cukup menarik bahwa fokus perhatian ini telah membentuk pemikiran
sosiologi terkait dengan regulation dan radical change. Debat subjective-objective telah
dan functionalism.Pada risalah pengetahuan sosiologi karya Berger dan Luckmann (1966),
status yang dipertanyakan dari asumsi ontological dan epistomological dari functionalis
perspective semakin terbuka. Debat tersebut sering menyebabkan polarisasi antara dua
pemikiran.
Hampir sama, konteks sociology of radical change terdapat pemisahan antara teori-
teori pandangan masyarakat tentang subjective dan objective. Debat tentang banyak hal
dipublikasikan in Perancis pada 1966 dan di Inggris 1969 dengan karya Louis Althusser “For
Marx”. Konteks sosiologi untuk regulation dan radical change pada tahun 1960-an telah
berubah dalam hal fokus perhatian. Debat antara dua pemikiran sosiologi tersebut telah
menghilang dan digantikan dengan dialog tertutup dengan konteks pemikiran yang terpisah
dengan tidak saling berkomunikasi. Terkait menghilangnya debat tersebut kita sebut dengan
2
dimensi subjective-objective, proses rumit dalam pandangan semua hal yang saling terkait,
Pemikiran sosiologi cenderung dibentuk oleh sectarianism yang dangkal, di mana perspektif
secara keseluruhan dan pemahaman isu dasar telah hilang secara mencolok. Waktu untuk
pertimbangan ke depan yaitu ada dua dimensi kunci dari analisis yang telah diidentifikasi
kembali isu-isu sosiologi pada awal 1960-an dan menempatkan isu-isu tersebut pada akhir
1960-an dan awal 1970-an dan didefinisikan sebagai empat paradigma sosiologi yang
berbeda yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis teori-teori sosial secara luas. Hubungan
SUBJECTIVE OBJECTIVE
Interpretive Functionalist
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tiap paradigma berbagi seperangkat fitur yang umum
secara horizontal dan vertikal dalam hal satu atau dua dimensi tapi dibedakan pada dimensi
yang lain. Untuk alasan ini, paradigma-paradigma tersebut harus dilihat secara
karena perbedaan. Empat paradigma tersebut menetapkan empat perspektif dasar yang
3
berbeda untuk menganalisis fenomena sosial melalui pendekatan dari sudut pandang yang
berbeda dan menghasilkan konsep dan alat analisis yang cukup berbeda.
didefinisikan oleh asumsi meta teoritikal yang sangat mendasar yang mendasari kerangka
referensi, model teori dan modus operandi dari ilmuwan yang berada dalam paradigma
tersebut. Semua definisi dari keempat paradigma tersebut tidak mengindikasikan kesamaan
pandangan seutuhnya karena dalam setiap paradigma pasti terdapat ilmuwan yang
mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Kesamaan yang bisa ditunjukkan hanya dalam
konteks dasar dan asumsi, inilah yang membedakan antara satu paradigma dengan paradigma
yang lainnya. Empat paradigma tersebut eksklusif satu sama lain, menawarkan pandangan
alternatif terhadap realitas sosial dan untuk memahami keempat paradigma tersebut juga
Sintesis tidak dimungkinkan karena bentuk murni dari keempat paradigma saling
bertolak belakang berdasarkan asumsi meta teoritikal, merupakan alternatif yaitu satu
paradigma dapat dilaksanakan pada paradigma yang berbeda secara berurutan tapi saling
eksklusif dan satu paradigma tidak dapat dilaksanakan lebih dari satu paradigma yang
sosial dan sifat dasar masyarakat, paradigma untuk menganalisis teori sosial bisa dibagi
menjadi empat, yaitu functionalist, interpretive, radical humanist, dan radical structuralist.
4
1) The Functionalist Paradigme
Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan menggunakan sudut
pandang objektif. Ciri khasnya adalah perhatian yang besar pada penjelasan-penjelasan
permasalahan praktis. Ia mengacu kepada tradisi dari kaum sosial positif. Kaum
dari artefact empiris relatif dan hubungan, yang dapat diidentifikasi, dipelajari dan
diukur, pendekatan ini diturunkan dari pendekatan ilmu alam. Analogi yang paling
asumsi-asumsi mengenai alam ilmu sosial, yang berada pada oposisi paham sosiologi
positif.
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang
paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada tradisi
setiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya,
sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan
pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa
mendasarkan pada “filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi
5
usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara,
pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam
pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto.
Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur
empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali, dikaji, diukur
dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu alam.
Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada
dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian,
sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George
Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan
teoretis dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang
lebih subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau
masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses
kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi
terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara
keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir
Marxist terutama dalam hal sociology of radical change. Formasi functionalist paradigm
6
Tabel 3.2. Pengaruh intelektual pada functionalist paradigm
Marxist Theory
SUBJECTIVE OBJECTIVE
German Idealism
Sociological
THE SOCIOLOGY OF REGULATION
positivism
2) Interpretive Paradigm
Paradigma ini berakar pada sociology of regulation dengan sudut pandang
adanya, memahami tabiat fundamental dari dunia sosial dari pengalaman subjektif.
Paradigma ini berupaya untuk menjelaskan dalam dunia kesadaran seseorang dan
subjektivitas, dalam bingkai rujukan orang yang terlibat langsung, bukan sebagai
pengamat.
Paradigma interpretasi diinformasikan dengan penekanan untuk memahami
dunia apa adanya, untuk memahami dasar alam dunia ilmu sosial pada level
pengalaman subjektif. Ia berusaha mencari penjelasan dunia alam sadar individu dan
keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa
adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
7
pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa
sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya,
manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan,
menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial
kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat
hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni mereka yang
penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma interpretif menjelaskan tentang stabilitas perilaku dari pandangan
individu, memahami dunia apa adanya dalam hal proses yang sedang berlangsung.
Paradigma ini menekankan spiritual nature dari dunia dan merupakan produk
langsung dari pemikiran German idealist seperti Kant, sebagai pionir dan Dilthey,
Weber, Husserl serta Schurz sebagai penerus ideologi tersebut. Pada tabel 3.3 dan
tabel 3.4 dapat dilihat cara paradigma telah dieksplor sebagai teori sosial dan studi
organisasi.
Tabel 3.3
8
Critical Theory Conflict Theory
Interpretive Functionalist
Tabel 3.4
Interpretive Functionalist
Theories of bureaucratic
dysfunctions
Social System Theory
Objectivism
ini berpandangan bahwa dalam sebuah masyarakat adalah penting untuk membuang
9
Paradigma kemanusiaan radikal didefinisikan dengan penekanannya untuk
mengembangkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut pandang kaum subjektif.
interpretif, dalam hal ini ia memandang dunia sosial dari perspektif yang cenderung
sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran
manusia. Pen dekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu
sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis
radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah di kuasai atau dibelenggu oleh supra
struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan
kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false
sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam
habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin
mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk mencapai harkat
belum menjadi perhatian mereka. Paulo Freire misalnya dengan analisisnya mengenai
tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan “konsientisasi”, yang pada
dasarnya membangkit kan kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan,
10
Paradigma ini menjelaskan tentang kesadaran seseorang didominasi oleh
antara seseorang tersebut dengan kesadaran yang sebenarnya. Hal ini membatasi
pemenuhan kepuasan seseorang. Ilmuwan dalam paradigma ini adalah Kant dan
Hegel serta Marx muda. Paradigma ini dimulai pada awal 1920-an di Frankfurt
School dan di juga di Perancis. Paradigma ini pada dasarnya anti organization.
sudut pandang objektif. Radical structuralist sangat gigih dalam membahas isu-isu
berada pada paradigma ini menganjurkan sosiologi dari perubahan radikal dari sudut
dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.
mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting
justru hubungan -hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang
terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada menjelaskan bahwa
11
kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian
mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya
Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya
antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri
baru.
Paradigma ini mempercayai bahwa radical change itu dibangun pada struktur
menghasilkan radical change melalui krisis politik dan ekonomi. Paradigma ini
berdasarkan pemikiran dari Marx dewasa yang diikuti oleh Engles, Lenin dan
Bukharin.
Contoh jurnal :
1) Radical humanist.
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM DIMENSI RADICAL HUMANIST DAN
RADICAL STRUCTURALIST: MENENGOK (PULA) PERAN AKUNTAN(SI)
FORENSIK
Pendahuluan
Meyakini adagium Lord Acton di atas, kekuasaan (power) yang dimiliki oleh seseorang
ataupun pihak tertentu memang cenderung untuk disalahgunakan. Level, cakupan dan
besaran kekuasaan yang dimiliki membawa kemungkinan derivasi dan ragam
penyalahgunaan. Apalagi jika kekuasaan itu mendapatkan pengawasan dan kontrol yang tidak
memadai, maka lanjut Lord Acton, penyalahgunaan itu pasti terjadi. Penyalahgunaan ini salah
satu bentuk paling mengerikannya adalah “korupsi”. Lebih mengerikan lagi jika tengara
Bung Hatta bahwa “Korupsi di Indonesia sudah pada tahap membudaya”. Adalah benar.
Bahwa perbuatan “korupsi” di Indonesia telah menjadi budaya, sebuah kelaziman peradaban.
12
Bangsa Indonesia yang katanya adalah bangsa yang memiliki budaya luhur "adiluhung,
berdimensi etis dan berketuhanan, seharusnya tertampar dengan pernyataan founding father
ini. Korupsi adalah perbuatan menyalahi garis kebenaran yang diperintahkan Tuhan serta
melanggar asas umum kemanusiaan dan keadilan. Dengan demikian, klaim tentang
kepemilikan budaya adiluhung tadi seharusnya gugur, jika korupsi telah membudaya dalam
perikehidupan bangsa Indonesia. Persoalan penyalahgunaan keuangan daerah ini menjadi
semacam rantai setan yang menggejala begitu marak di era reformasi ini. Pihak-pihak
yang memiliki kuasa dan kewenangan terkait keuangan daerah menggunakan berbagai
metode untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Metode Penelitian.
Artikel ini mencoba menggunakan dua paradigma yang berada di dua kuadran yang berada
pada posisi atas dari gambar diatas, yaitu Radical Humanist dan Radical Structuralist.
Keduanya dikategorikan sebagai paradigma kritis. Paradigma kritis, menawarkan pendekatan
yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik.
Paradigma kritis selalu melihat realitas sosial dalam perspektif kesejarahan, memakai baik
pendekatan objektif maupun subjektif dalam memandang perubahan sosial. Perubahan social
inilah yang perlu didorong dalam rangka pemberantasan korupsi.
14
Pembahasan
Radical Humanist
Dalam pendekatan radical humanist, korupsi dilawan melalui usaha penyadaran yang
memakan waktu yang relatif panjang. Proses penyadaran adalah pekerjaan berat dan lama.
Jika mengaca pada konsepsi program KPK, ini bergerak pada aspek pencegahan. Banyak
literatur tentang fraud dan korupsi meletakkan pencegahan sebagai tindakan yang paling
utama (lihat misalnya Albrecht 2009, Singleton dan Singleton, 2010). Korupsi adalah
persoalan moral etika. Dewasa ini permasalahan moral menjadi topik bahasan utama hampir
di semua kalangan dan di berbagai forum. Permasalahan ini sesungguhnya muncul karena
adanya kekhawatiran terjadinya demoralisasi bangsa akibat roda globalisasi yang disadari
atau tidak akan menggerus budaya dan jiwa ketimuran khususnya bagi generasi penerus
bangsa. Korupsi diyakini telah mengerosi sendi-sendi kehidupan bangsa.
Radical Structuralist
Pendekatan kedua, radical structuralist, mengubah dan memberantas korupsi melalui
pembangunan sistem. Ini berangkat dari asumsi bahwa semua orang memiliki peluang untuk
melakukan korupsi, atau secara lebih luas, fraud. Sebuah studi tentang karakteristik
pelaku fraud sebagaimana diacu oleh Albrecht (2009), menarik dicermati. Pelaku fraud
ternyata sangat berbeda dengan narapidana yang lain. Biasanya, pelaku fraud adalah ia adalah
memiliki pendidikan yang lebih baik, lebih religius, tidak memiliki catatan kriminal
sebelumnya, tidak minum-minuman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang. Ia juga
terlihat memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik, penuh dengan optimisme dan self
esteem, motivasi tinggi, berangkat dari keluarga harmonis. Selain itu, kebanyakan ia juga
memiliki karakter yang baik (kindness), pengendalian diri yang baik, hubungan social yang
hangat dan empatik.
SIMPULAN
Persoalan korupsi harus diakui masih membelit perjalanan bangsa berpenduduk 230 juta jiwa
ini. Media massa hampir setiap hari rajin mengangkat berita tentang carut marut korupsi di
negeri ini. Sungguh banyak dan luas efek destruktif yang diakibatkan tindakan
penyalahgunaan wewenang penyelenggaran negara. Namun kita harus tetap optimis selama
lilin masih dapat menerangi, kegelapan peradaban ini dapat menemukan titik terangnya.
Gagasan pemberantasan korupsi dalam pemikiran ini berada dalam dua kiblat besar. Pertama,
radical humanist, yaitu menggugah perubahan lewat kesadaran. Strategi ini merupakan upaya
pencegahan. Biasanya jangka waktunya relatif lama (long term). Tujuannya menanamkan
kesadaran bahwa korupsi itu adalah perbuatan jahat, melanggar perintah Tuhan serta
kemanusiaan secara umum. Pada saat kesadaran ini telah menyeruak, diharpkan dapat
mencegah seseorang melakukan tindak korupsi. Usaha kedua, radical structuralist, lebih
mengarah kepada perubahan melalui sistem yang terstruktur. Ini lebih dekat pada aspek
penindakan, penegakan hukum dan aturan terkait korupsi dengan tegas, keras dan tidak
pandang bulu menjadi kata kuncinya. Seluruh masyarakat harus mengawal supremasi hukum
untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Dalam rerangka sistemik ini, peranan
akuntansi forensik juga menempati peranan yang signifikan dalam strategi pemberantasan
korupsi. Implementasi gagasan ini perlu dicamkan bersamasama guna menuju Indonesia
bersih tanpa korupsi.
2. Interpretif Paradigma
By :
Rosalina Yuri Anggraini
Universitas Brawijaya
Rosalina.yuri@gmail.com
PENDAHULUAN
16
Berbicara tentang ilmu pengetahuan tidak akan pernah ada habisnya. Perkembangan demi
perkembangan terus saja terjadi. Dalampemikiran saya, tujuan ilmu pengetahuan terus saja
berkembang adalah untuk mencari kebenaran sesungguhnya dari ilmu pengetahuan itu
sendiri. Dapat kita katakana bahwa ilmu pengetahuan merupakan sosok suatu hal yang
misterius, manusia tidak pernah ada yang tahu apa, kapan, dan dimana ujungnya. Ketika kita
berbicara dalam ranah dunia pendidikan, ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui berbagai macam penelitian dan percobaan dari fakta-fakta yang
ada. Penelitian tersebut dilakukan atas dasar rasa ingin tahu manusia yang sangat besar
bahkan tidak terbendung. Dorongan demi dorongan untuk menguak tabir tentang suatu
pengetahuan tertentu terus saja terjadi, dan untuk mengetahui kebenarannya dilakukan
berbagai uji coba. Dengan demikian, ilmu dapat dikatakan sebagai suatu kebenaran objektif
yang keberadaanya merupakan hasil pemikiran dan penyelidikan manusia untuk
membuktikan bahwa kebenaran ilmu dan pengetahuan merupakan suatu kebenaran yang
bersifat nisbi, cepat berubah, dan mengalami perkembangan yang pesat. Dalam upaya
pembuktian dan pengeksplorasian ilmu pengetahuan tersebut, terdapat suatu hal yang tak
kalah penting, yaitu cara pandang terhadap masalah yang diangkat dan penyelesaiannya. Cara
pandang terhadap suatu masalah dan penyelesaiannya penting untuk dipahami karena akan
mempengaruhi kesimpulan yang ditarik terhadap jawaban suatu permasalahan. Cara pandang
inilah yang disebut sebagai suatu paradigma. Paradigma merupakan suatu dasar dari
kepercayaan dan keyakinan sebagai penuntun perilaku seseorang baik dalam tindakan
kesehariannya maupun ketika melakukan penelitian ilmiah. Dalam penelitian ilmiah, adanya
paradigma dapat menuntun seseorang untuk menentukan masalah apa yang akan diangkat,
pertanyaan penelitian yang dimunculkan, cara memperoleh informasi, serta arah dalam
menafsirkan informasi yang diperoleh untuk menghasilkan suatu kesimpulan. Penggunaan
paradigma yang tidak tepat akan mempengaruhi hasil penelitian atau pengujian yang
dilakukan. Masalah tidak menjadi selesai bahkan menjadi semakin kompleks atau masalah
dapat terpecahkan namun tidak terfokus. Oleh karena itu, dalam memecahan suatu
permasalahan terkait ilmu pengetahuan perlu dipilih paradigma yang tepat agar masalah
dapat terselesaikan tepat sasaran. Penyelesaian masalah yang tepat sasaran akan membantu
perkembangan ilmu pengetahuan semakin mendekati kebenaran. Terdapat berbagai macam
paradigma, namun terdapat satu paradigma yang pengaplikasiannya cukup menarik dalam
menyelesaikan sebuah permasalahan. Paradigma tersebut adalah paradigm intepretif.
Paradigma intepretif merupakan suatu paradigma atau cara pandang yang berdekatan dengan
filosofi serta pemikiran sosiologis yang sangat luas sebagai upaya untuk memahami dan
17
menjelaskan berbagai perilaku pada dunia sosial dari sudut pandang pelaku proses sosial itu
sendiri.
PEMBAHASAN
18
anggapan bahwa penelitian akuntansi hanya cocok dengan paradigma positif. Dapat
dijelaskan dengan suatu kajian ilmiah, dihipotesiskan, kemudian mencari informasi yang
diterjemahkan dalam bentuk angka yang kemudian diolah dan diambil kesimpulan akhir.
Kejenuhan akan proses ini memunculkan suatu aliran multiparadigma. Berdasarkan
pernyataan tersebut, tidak dikagetkan bahwa kejenuhan pemecahan masalah akuntansi
menggunakan paradigm positif memunculkan berbagai paradigma lain yang salah satunya
adalah paradigm intepretif.
SIMPULAN
Sebagai suatu kesimpulan dapat dikatakan bahwa,
1. Berbagai filsafat ilmu dalam paradigma interpretif dapat membantu peneliti untuk
melihat lebih dalam realitas sosial yang ada, dengan demikian dapat menetukan
apakah realitas tersebut hanyalah suatu symbol atau ide yang dimunculkan ataukan
benar merupakan kenyataan dari suatu permasalahan. Informasi baru yang diperoleh
dengan paradigma yang berbeda dapat mendekatkan peneliti pada pengembangan
suatu ilmu bahkan semakin mendekati kebenaran suatu ilmu dipelajari.
2. Berbagai perspektif dan pendekatan sosiologi interpretif dalam paradigma interpretif
menjadikan suatu solusi untuk menyelesaikan permasalahan akuntansi yang
19
berhubungan dengan interaksi sosial. Pengkajian permasalahan dapat dilakukan
secara lebih medalam sehingga membuka berbagai informasi yang selama ini tidak
diprediksikan namun pada kenyataannya dapat mempengaruhi perkembangan ilmu
akuntansi
20