Abstrak: Identitas akademik, sosial dan intelektual yang melekat pada mahasiswa,
belum sepenuhnya dipahamai secara substansial. Terasa semakin kompleks ketika
dihubungkan dengan identitas religius dan moralitas mereka, yang dihadapkan dengan
kehidupan modern yang serba pragmatis dan rasional. Studi ini – melalui penelitian
lapangan (field research) dengan pendekatan kualitif, diarahkan untuk mengkaji
kecenderungan tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa: pertama, dalam kondisi labil,
kehampaan nilai, kegalauan identitas dan merasa miskin makna hidup yang dialami
mahasiswa, maka agama dapat berfungsi sebagai langit pelindung yang memberikan
keteduhan dan kesejukan. Agama dapat menyatukan elemen-elemen yang tercerai berai
dalam kehidupan mereka. Kedua, identitas mahasiswa yang intelektual dan kritis semakin
luntur karena adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mereka. Ketiga, mahasiswa
saat ini seakan lupa eksistensi dirinya, dan mengalami disorientasi untuk apa mereka
mengenyam pendidikan tinggi. Dalam konteks inilah, adanya reorientasi memiliki
sigfikansi.
Abstract: Academic, social and intellectual identities attached to Students have not been
substantially understood. As such are recognized when such identities are related to
students morality in which their morality are viz a viz to modern life which full of
rationalism and pragmatism. This research is carried out to understand such tendency and
this research is conducted through applying field research with qualitative approach. The
result shows that first, in students labile psyche condition, void of values, unstable identity,
and lack of experiences upon the meaning of life, religion can be functioned as the protector
which gives coolness and quietness in students lives. Second, student identity as an
intellectual critic has been vanished due to their incapability to understand their own
function and role in the society. Third, students in now time forget their own existence and
they have experienced goal disorientation especially to the aim of their university
education. Therefore in this context the significance of students’ identity reorientation is
important.
35
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
PENDAHULUAN
Predikat sebagai agen of change bagi mahasiswa,1 mengandung makna bahwa
mahasiswa adalah sosok warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh, dan
karenanya menentukan masa depan bangsa. Analisis dari kebangkitan dan
keterpurukan di masa depan berkaitan erat dengan kondisi mereka sebagai agen of
change saat ini. Pemberian posisi dan espektasi ini mahasiswa dihadapkan dengan
berbagai stereotype negatif, terutama bila dihubungkan dengan malasah moralitas.
Kemerosotan moral banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dan agama
masyarakat. Lingkungan sosial yang buruk adalah bentuk dari kurangnya pranata sosial
dalam mengendalikan perubahan sosial yang negatif. Seperti yang kita ketahui bahwa
sebagian besar mahasiswa adalah anak kost yang tentunya jauh dari pengawasan orang
tua. Mayoritas kost memang memiliki penjaga, atau yang disebut induk semang.
Namun, ada pula yang tidak disertai penjaga. Lingkungan seperti ini menyebabkan
munculnya rasa bebas bertindak dari mahasiswa yang kost tersebut.2 Pada aspek yang
lain, mahasiswa menjadi salah satu cermin sebuah perguruan tinggi, semakin baik citra
mahasiswa secara intelektual maupun kompetensi sosial mereka dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maka institusi perguruan tinggi juga akan mendapatkan
percikan citra baik.
Dalam koridor agama, mahasiwa yang tidak berlatarbelakang pesantren tentu
akan memiliki kecenderungan berbeda dalam memahami agama dengan mahasiswa
yang memiliki latar belakang pesantren. Sejauh pengamatan awal peneliti, mahasiswa
dengan latarbelakang pesantren memiliki kecenderungan memahami agama lebih
inklusif dan menjalani agama secara lebih longgar, namun masih dalam koridor nilai-
nilai syari’at Islam. Sedangkan mahasiswa yang berlatarbelakang non pesantren
memiliki dua model kecenderungan yang berbeda, memahami agama secara ekslusif
dan memahami agama sebagai bagian lain dari nilai-nilai duniawi. Kecenderungan
eksklusif melahirkan aktifis Islam yang tekstualis dan militan, sedangkan
kecenderungan memahami agama sebagai bagian lain banyak menghasilkan pemikiran
mahasiswa yang cenderung mengesampingkan aspek religiusitas dalam setiap aktifitas
akademiknya.
1
Yudi Bantahari, Dilematika Mahasiswa, Prospek Mahasiswa Indonesia, (Jakarta: Self
Publishing Book, 2005), 3
2
Hasil pengamatan penulis di daerah Dasan Agung, Gomong dan Karang Baru, dan penjelasan
beberapa mahasiswa IAIN Mataram.
36
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
3
Diding Nurdin, Mahasiswa Pemimpin Masa Depan Bandung : Penerbit Ilmu Cahaya Hati,
2009.
4
Yudi Bantahari, Dilematika Mahasiswa, Prospek Mahasiswa Indonesia, Self Publishing Book
37
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
METODE PENELITIAN
Dilihat dari karakteristik pembahasan dan objek penelitiannya, penelitian ini
dikategorikan penelitian kualitatif yang bersifat penelitian lapangan (field research).
Karena karakter penelitian ini adalah pertama, data penelitian diperoleh secara
langsung; kedua, penggalian data secara alamiah; dan ketiga dialogis atau wawancara.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang dilakukan secara acak,
dan sebagai data pendukung digunakan dokumen tertulis, baik dalam bentuk jurnal
hasil penelitian maupun buku dan regulasi lainnya.
Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu: Pertama,
data reduction (reduksi data). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. 7 Kedua, data
display (penyajian data). setelah data-data tersebut direduksi, tersusun secara sistematis
dan terkelompokkan berdasarkan pola dan jenisnya, maka selanjutnya data tersebut
disajikan dalam bentuk uraian-uraian. Ketiga, conclution drawing and verification
5
Bonar Tigor Naipaspas ,Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998.
Karya Pustaka Hidayah, 1999.
6
Muhammad Saleh, Pengembangan Instrumen Pembinaan Mahasiswa IAIN Mataram, Lemlit,
2010.
7
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2011), cet.
13, 247.
38
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
8
Hanna Djamhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997), 3.
39
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
8. Kritis, 9. Revolusioner, dan 10. Militan.9 Dan karena kita berada di Perguruan
Tinggi Islam maka harus melekat pada setiap mahasiswa IAIN adalah agamis.
Ciri-ciri yang disebutkan di atas hanyalah sekelumit dari sekian banyak ciri-
ciri mahasiswa yang menjadikan mahasiswa tidak hanya sebagai kaum intelektual tapi
juga sebagai sosial kontrol dalam suatu komunitas. Sebagai mahasiswa, tidak hanya
harus mengenal identitasnya, tapi juga harus mengetahui tipenya. Pluralitas lingkungan
yang membentuk mahasiswa menjadikan tipe dan karakter mahasiswa berbeda-beda.
Secara umum tipe dan karakter mahasiswa dapat dibagi sebagai berikut :
1) Tipe Akademik : Mahasiswa yang hanya memfokuskan diri pada kegiatan akademik
dan cenderung apatis terhadap kegiatan kemahasiswaan dan kondisi masyarakat.
2) Tipe Organisatoris : Mahasiswa yang memfokuskan diri pada kelembagaan baik
didalam maupun diluar kampus, peka terhadap kondisi sosial dan cenderung tidak
mengkonsentrasikan diri pada kegiatan akademik.
3) Tipe Hedonis : Mahasiswa selalu mengikuti trend dan mode tapi cenderung apatis
terhadap kegiatan akademik dan kemahasiswaan.
4) Tipe Aktivis Mahasiswa : Mahasiswa yang memfokuskan diri pada kegiatan
akademik kemudian berusaha mentrasformasikan “kebenaran ilmiah” yang
didapatkan ke masyarakat melalui lembaga dan sebagainya dan berusaha
memperjuangkannya.
Dunia kemahasiswaan menjadi lebih pas dianalogikan sebagai sebuah
aquarium citra diri, dimana di dalamnya terjadi reaksi-reaksi simbolik – tidak
sesungguhnya real – yang dibangun atas kerangka idealitas dan kemerdekaan,
mengangkat peran-peran sosial secara dominan agar pencitraan menjadi lebih nyata di
masyarakat. Secara tidak langsung, predikat mahasiswa menjadikan seseorang, secara
sosial “terkondisi” menyesuaikan dirinya dengan asumsi-asumsi publik tentang apa dan
bagaimana itu mahasiswa.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini
muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis
seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya
kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor.
Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap, gaya hidup,
pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas kehidupan
9
Bahwan, Wawancara, 10 Oktober 2013.
40
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah terhadap perjuangan
mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka
mengenyam pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir
semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat
ini. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa
seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada
mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah
kehidupan selanjutnya. Ketika peneliti bertanya kepada beberapa mahasiswa di
kampus tentang latar belakang studi mereka, alasan kuliah di IAIN, apa beda pelajar
dan mahasiswa secara paradigmatik, apa yang mereka lakukan di kampus dan target
yang dicapai. Jawaban mereka tidak seragam dan sangat bervariasi. 10
Bila kita bertanya kepada mahasiswa yang hanya belajar tanpa terlibat dalam
kegiatan kampus, bagi mereka menjadi mahasiswa adalah belajar, mengerjakan
makalah, ikut seminar di kampus dan mengikuti ujian. Target mereka terorientasikan
memperoleh bea siswa dan merampungkan perkuliahan secara cepat (lebih cepat lebih
baik). Terhadap kegiatan keagamaan atau peningkatan religiositas mereka sangat
aktif.11
Rohanis selaku mahasiswi di IAIN, mengemukakan bahwa yang namanya
mahasiswa yaitu yang kuliah di perguruan tinggi seperti IAIN ini, dengan tugas yang
banyak dan tidak seperti di aliyah yang tiap hari masuk sekolah. Kita bisa masuk atau
tidak terserah pada diri mahasiswa. Ini berbeda dengan ketika di Tsanawiyah atau
Aliyah kita dimarah atau dikeluarkan dari kelas kalau kita sering tidak masuk.12
Secara umum bisa disimpulkan bahwa kebanyakan mahasiswa sekarang tidak
memahami identitas kemahasiswaannya secara substansial. Mereka belum memahami
identitas akademik, sosial dan intelektual yang melekat pada diri mereka.
Seperti kita ketahui bahwa, mahasiswa adalah sosok manusia yang sedang
mengalami masa transisi psikologis, intelektual, dan sosial. Secara psikologis mereka
mengalami perubahan dari ciri kejiwaan remaja yang belum sepenuhnya mandiri
kepada kejiwaan orang dewasa yang mandiri. Secara intelektual mereka berubah dari
model pembelajaran sekolah menengah yang bersifat instruktif yang berpusat pada
guru di sekolah/madrasah atau kyai di pesantren, menjadi model pembelajaran
10
Wawancara secara acak dengan Maad, Ilham, Fahri, dan Henry.
11
Wawancara, Aziz, 10 Oktober 2013.
12
Wawancara, 19 Oktober 2013.
41
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
13
UIN Yogyakarta, Sukses di Perguruan Tinggi, v.
14
Begitu besar peranan mahasiswa di Indonesia sejak pra-kemerdekaan sampai reformasi, jadi
banyak buku yang mengulas hal tersebut.
15
IAIN Mataram, Kode Etik Mahasiswa IAIN Mataram, 9.
42
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
(4) Menghormati sesama mahasiswa dan bersikap sopan terhadap pimpinan, dosen
dan karyawan
(5) Memelihara hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat di
dalam dan di luar kampus
(6) Berpakaian sopan, rapi, bersih dan menutup aurat pada saat kuliah, ujian dan
ketika berurusan dengan dosen, karyawan maupun pimpinan (khusus bagi
mahasiswi wajib berbusana muslimah sesuai dengan syari’at Islam)
Sementara itu kebutuhan mahasiswa sebagaimana hasil wawancara peneliti
terangkum sebagai berikut:
(1) Sukses belajar di Perguruan Tinggi: gaya belajar, membaca efektif, mencatat
efektif, dan menulis efektif
(2) Sukses berpikir di Perguruan Tinggi: memuat materi-materi yang terkait dengan
problem solving, pengambilan keputusan (decision making), dan giving feed-back.
(3) Sukses hidup di Perguruan Tinggi: memuat kecerdasan multiple intelgensi:
intrapersonal dan interpersonal
16
HM Taufik, Kreativitas+Akhlak Mulia= Dinamo Bagi Pendidikan Islam, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Jiwa Agama, IAIN Mataram, 23 Mei 2012, 5.
43
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
menyelesaikan persoalan yang bersifat menantang. Selain itu, mahasiswa juga mampu
mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta ada kebaruan dalam solusi yang
ditawarkan. Dilihat dari sudut pribadi, mahasiswa diharapkan memiliki komitmen yang
tinggi terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya yang ditandai dengan disiplin
dan daya juang yang tinggi. Dilihat dari aspek produk, mahasiswa diharapkan dapat
menghasilkan karya/produk (baik konsep maupun benda) yang inovatif dan ditandai
kebaruan (novelty), kemenarikan, dan kemanfaatan.
2. Kooperatif
Sikap kooperatif terkait dengan kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan kelompok yang ditandai dengan keinginan untuk berkontribusi
dalam kelompok, tidak mendominasi kelompok, dan memberi kesempatan orang lain
untuk berpartisipasi. Sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan berkomunikasi
yang ditandai sikap asertif (mampu menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginan
tanpa merugikan pihak lain); mampu berkomunikasi secara lisan, tertulis, verbal,
nonverbal secara jelas, sistematis tidak ambigu; menjadi pendengar yang baik;
merespon dengan tepat (sesuai dengan substansi dan caranya); dan dapat
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Selain itu, sikap
kooperatif juga terkait dengan kemampuan membangun sikap saling percaya (trust).
Sikap ini ditandai dengan adanya komitmen dan disiplin yang bersifat terbuka dalam
menerima pendapat orang lain (openness), berbagi informasi (sharing), memberi
dukungan (support) dengan cara elegant dan gentle, menerima orang lain (acceptance)
dengan tulus, terampil mengelola konflik, mampu mengubah situasi konflik menjadi
situasi problem solving,serta jeli dalam mengkritisi ide/gagasan dan bukan orangnya
(personal).
3. Etis
Sikap etis dalam etika pergaulan baik akademik maupun dalam kehidupan
sehari-hari ditandai dengan sikap jujur, berpikir positif, bertatakrama, dan taat hukum.
Sikap jujur ditandai dengan tidak melakukan plagiat, berani mengakui kesalahan dan
menerima diri apa adanya, tidak ragu-ragu mengapresiasi orang lain, tidak melakukan
pemalsuan (termasuk tanda tangan presensi kuliah, pembimbingan, dan urusan
administrasi lainnya), membangun dan mengembangkan sikap saling percaya di antara
sivitas akademika, serta mampu menyampaikan pendapat sesuai fakta (data). Berpikir
positif ditandai dengan adanya sikap adil dan objektif (tidak apriori terhadap orang
atau kelompok lain), toleransi/apresiasi (menerima dan menghargai keragaman atau
44
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
perbedaan, termasuk perbedaan pendapat), dan dapat bekerjasama dengan semua orang
(tanpa melihat perbedaan latar belakang suku, agama, ras, atau golongan).
Tatakrama (etiket) ditandai dengan bertutur kata santun walau tetap berpikir
kritis (santun dalam berargumen, misalnya ditunjukkan dengan penggunaan istilah,
salam, maaf, permisi, terimakasih), berpenampilan dan berperilaku sopan baik dalam
tingkah laku, tatacara berpakaian (bersih, rapi, menutup aurat bagi yang merasa perlu),
dan menghormati tradisi serta norma masyarakat lokal.Taat hukum ditandai dengan
sikap dan perilaku taat peraturan walaupun secara fisik tidak ada yang mengawasi
(tidak mengkonsumsi minuman keras, narkoba, tidak memiliki barang illegal, tidak
melakukan perusakan lingkungan hidup (bioetik), menolak budaya instan (jalan pintas)
yang mendorong pelanggaran akademik (menyontek, menjiplak tugas/karya tulis,
melakukan perjokian, dan suap-menyuap), serta tidak melakukan perbuatan yang
merugikan negara, lembaga, atau orang lain.
45
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
nama Islam, diganti dengan panggilan barat. Muhammad Akbar Jadid diganti dengan
viken, Kusumawardana diganti dengan dodek. Atau nama mereka ditambah dengan
tokoh-tokoh idola mereka. Hal ini tergantung pada organisasi ekstra yang mereka
ikuti.17
Kita sebagai mahasiswa melihat bahaya krisis identitas harus benar-benar
ditanggapi secara serius, karena bisa berdampak ke depannya. Contoh, identitas
seseorang sebagai mahasiswa (di sini identitas mahasiswa berperan sebagai akademisi
yang mempunyai daya intelektual tinggi), ketika bahaya krisis melanda mereka
tentunya daya intelektualnya akan terganggu, banyak mahasiswa yang kuliah hanya
sebatas pemenuhan kewajiban, bukan membangun karakter (caracter buliding), dan
pengubahan pola pikir.
Penyebab terjadinya krisis identitas di lingkungan mahasiswa, juga karena
pilihan awalnya untuk kuliah bukan di IAIN tetapi kampus lain. Perasaan tidak tenang
sering menyelimuti mereka. Biasanya, mereka yang masuk ke IAIN adalah yang tidak
lulus masuk UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri umum). Karena itu jika
bukan “keranjang sampah”, IAIN adalah tempat mahasiswa yang bingung dengan masa
depannya. Terkadang mereka ekspresikan diri mereka secara berlebihan agar diakui
sebagai mahasiswa berbobot. Atau, keberadaan mereka di IAIN sebagai suatu “takdir
akademis” yang tidak bisa dihindari sehingga tidak perlu pula untuk disesali.
Mahasiswa sepatutnyalah mempunyai pola pikir yang berbeda dengan yang
lainnya, hal itu harus benar-benar ditegakkan untuk mempunyai daya intelektual yang
luas, karena mahasiswa merupakan generasi yang segar, militan, berpikir bebas sebagai
generasi penerus bangsa ini. Banyak hal yang harus dilakukkan agar daya intelektual
itu muncul, tidak sekedar belajar di dalam kelas, ranah yang lainpun perlu dijamah.
Diskusi perihal ilmu contohnya, pengembangan minat dan bakat serta berbagai macam
penelitian dan kreatifitas.
Bahaya-bahaya yang dihadapai mahasiswa sekarang ialah sifat hedonis dan
dihedoniskan dari berbagai unsur yang sifatnya vertikal dan horizontal. Horizontal
dipengaruhi oleh diri sendiri dan teman sejawatnya, yang pada mulanya mengenali
secara sengaja atau coba-coba hal-hal yang jauh dari sisi keintelektualitasan.18
17
Kadang kita sulit mengetahui nama asli seorang mahasiswa kalau bertemu di jalan, karena
mereka rata-rata mengganti nama mereka dengan nama lain. Mereka merasa tidak percaya diri dengan
nama awal mereka.
18
Peristiwa ini kita istilahkan dengan moral-panics, yaitu mahasiswa kehilangan identitas dan
integritasnya.
46
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
Aspek vertikal adanya pengekangan dari pihak kampus yang membuat daya
pikat kreatifitas mahasiswa terkungkung, seperti jam malam, pembelajaran akademis
yang tidak mendukung kegiatan di luar perkuliahan, kurang aktifnya perguruan tinggi
melibatkan mahasiswa dalam suatu penelitian, pengembangan minat dan bakat yang
tidak didukung aspek fasilitas, waktu dan tempat. Hal-hal seperti itulah yang membuat
mahasiswa sebagai agen penurut bukan agen pendobrak.
Semua hal di atas bisa diatasi dengan sempurna jika idealisme yang tertanam
dalam diri mahasiswa secara penuh tak terkontaminasi yang bisa mengikis idealisme
tersebut, pembangunan pada diri sendiri tentang hakekatnya sebagai manusia untuk
menelurkan cita-cita Tri Dharma, pola pikir yang luas bukan jumud, penelahaan yang
lebih mendalam perihal penilaian ilmu yang diterima, ilmu yang diperoleh bukan
diterima begitu saja tapi telaah kritis dan logis harus benar-benar digunakan agar
mahasiswa tidak berpikir rigid dan terpaku pada teks, disamping memahaminya secara
komprehensif.
Agar tak terkikis habis oleh bahaya krisis identitas pada diri kita, selayaknya
mahasiswa yang belum begitu memahami mengenai hal ini sepatutnyalah bertanya,
berdiskusi kepada orang yang dianggap pas mengenai itu, agar tidak tersesat
19
Wawancara, Musawwar, 20 Nopember 2013 di Mataram.
47
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
20
Walaupun ada penyambutan mahasiswa baru dengan istilah Ospek, Opak, Mapaba, dan lain-
lain, namun beberapa mahasiswa berharap ada semacam orientasi dan sosialisasi pembelajaran secara
serius, bukan semata-mata bersifat seremonial. Hal ini mereka anggap penting sebagai sarana awal
mengetahui dinamika dunia kampus dan persiapan menghadapi perkuliahan.
48
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
Mahasiswa merupakan salah satu contoh kaum intelek yang dimiliki oleh
bangsa ini. Tidak diragukan lagi kepintaran mahasiswa dalam menanggapi persoalan
yang akan dihadapi kedepannya saat mereka akan terjun ke masyarakat. Mahasiswa
dianggap sebagai kaum yang nantinya akan menjadi orang "besar" oleh sebagian
masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa mahasiswa mengetahui dan mengerti
tentang pelik masalah yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dan ternyata
memang demikian.
Banyak mahasiswa yang telah menguasai ilmu pengetahuan dalam bidangnya,
misal mahasiswa jurusan manajemen, mereka sangat paham betul tentang bagaimana
cara mengatur perusahaan yang baik dan benar. Lalu mereka juga paham betul tentang
bagaimana penyusunan anggaran yang tepat agar perusahaan yang mereka pimpin
dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Akan tetapi, pada era seperti saat ini
intelektualitas yang ditunjukkan mahasiswa tidak diimbangi dengan religiusitas. Para
mahasiswa hanya memikirkan ilmu, ilmu dan ilmu. Mereka tak pernah memikirkan
bagaimana caranya agar ilmu yang mereka dapatkan bisa bermanfaat bagi orang lain
dan bisa diridhai oleh tuhannya. Mereka hanya bisa menuntut ilmu akan tetapi tidak
bisa atau tidak mengerti bagaimana cara menyalurkan ilmu mereka pada orang lain.
Dalam konteks inilah dibutuhkan sikap religius seorang mahasiswa. Mereka tidak
hanya menuntut ilmu setinggi mungkin melainkan juga ingat pada yang menciptakan
mereka, yaitu Tuhan. Untuk dapat memanfaatkan ilmunya dengan baik, seorang
mahasiswa wajib beribadah menurut keyakinannya masing-masing. Dengan ibadah,
mahasiswa dapat mengerti dan memahami serta bisa melaksanakan apa yang harus ia
lakukan dan apa yang tidak semestinya dia lakukan.
Apabila seorang mahasiswa yang intelek tidak mementingkan urusan
religinya, maka sudah dapat dipastikan mereka hanya akan merusak moral bangsa ini.
Contohnya, seorang mahasiswa ekonomi yang nantinya akan menjadi seorang ekonom
handal, apabila tidak mempunyai religiusitas yang tinggi bisa saja ia menyalahgunakan
kedudukannya dengan cara korupsi. Hal ini karena ia tidak memiliki religiusitas yang
tinggi sehingga tidak dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk.
Keseimbangan antara religiusitas dan intelektualitas di kalangan mahasiswa sangat
diharapkan oleh bangsa ini. Mahasiswa yang nantinya akan terjun langsung ke
masyarakat diharapkan memiliki moral dan attitude yang baik agar bangsa ini terus
maju kedepannya. Lebih-lebih sebagai mahasiswa IAIN, ketika melakukan KKP/PKL,
mereka tidak sekedar menjalankan program akademik, tetapi lebih dari itu mereka
49
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
Menjadi Mahasiswa yang Memiliki Kualitas Akademik yang Baik dan Integritas Moral
yang Tinggi
Mahasiswa, selama ini dianggap sebagai kelas khusus dalam masyarakat.
Selain karena jumlahnya yang sangat sedikit (tidak sampai 5 persen dari total
21
Mukodi, Pendidikan Islam Terpadu, Reformulasi Pendidikan di Era Global (Yogyakarta,
Magnum
22
Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRES,
1996), 34.
50
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
penduduk Indonesia), jenjang pendidikan mahasiswa juga lebih tinggi dari kelompok
masyarakat lain. Mahasiswa dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih.
Karena itu, berbagai harapan ditumpukan masyarakat kepada mahasiswa.
Mahasiswa diharapkan menjadi agent of change, pemicu perubahan. Dengan
pengetahuan dan kemampuannya, mereka diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi
pendobrak kejumudan, membongkar pola pikir anti-kemajuan, serta menawarkan
pemikiran baru dan segar untuk memajukan masyarakat. Mereka diharapkan menjadi
pelopor perubahan masyarakat. Mahasiswa, dengan idealisme yang dimiliki, juga
diharapkan menjadi kontrol pemerintah terhadap berbagai kebijakan tidak pro-rakyat.
Berbicara tentang mahasiswa ideal, tentunya tidak terlepas dari sosok atau
profil dan kriteria. Sosok mahasiswa ideal, adalah mereka yang mampu
mengintegrasikan pendidikan yang dipelajari dengan realitas masyarakat dimana
mereka dibesarkan. Dalam artian, mereka mampu memahami kegelisahan masyarakat
dan dengan kemampuan yang dimiliki, bisa melakukan perubahan, berjuang bersama
masyarakat. Dalam setiap gerak langkahnya, mereka senantiasa mendasarkan
perjuangan pada keyakinan agama yang dimiliki, sehingga segala sesuatu yang
dilakukan memiliki dasar atau landasan, baik secara keagamaan, secara intelektual, dan
ditujukan untuk kemanusiaan.
Mahasiwa yang memiliki Tipe Ideal of University Students adalah mahasiswa
yang bisa menggabungkan sisi akademik, sisi organisatoris dan worker menjadi satu.
Jadi di sisi akademik tetap terjaga, di sisi organisasi selalu ambil bagian, dan di sisi
workernya masih tetap jalan tanpa halangan yang berarti. Menurut pengamatan penulis
dan pengalaman menjadi mahasiswa, kita akan menemukan beberapa mahasiswa:
a. Sisi Akademik, adalah mahasiswa yang lebih mengutamakan kehidupan kuliah .
Namun sayangnya di sisi non Akademik misalnya, hubungan interaksi dengan dunia
luar biasanya kurang baik .
b. Sisi Organisatoris, adalah mahasiswa yang lebih menomorsatukan organisasi
dibandingkan kepentingan kuliah .
Mereka jarang sekali mengikuti kegiatan perkuliahan, ini disebabkan karena mereka
disibukkan dengan amanah dan tanggungjawab yang ada di organisasi. Mahasiswa
yang aktif dalam organisasi memiliki tingkat inteligensi yang rendah di sisi
Akademik .
c. Worker, adalah mahasiswa yang lebih mengutamakan pekerjaan / usahanya
dibandingkan masalah kampus ( kuliah dan organisasi ) .
51
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
Proses belajar diantara sekat ruang kuliah saja dirasa tidak cukup mampu
untuk menggali besarnya potensi mahasiswa. Perlu pengembangan potensi diri
diluar ranah akademis yang disebut dengan soft skill. Keberadaan organisasi
kampus menjadi penting untuk menunjang pengembangan kemampuan non-
akademis mahasiswa. Berorganisasi dapat disama-artikan dengan belajar
mengasah kemampuan kepekaan terhadap sekitar dan meningkatkan
kepedulian dengan sesama sebagai bagian dari masyarakat yang terintegritas.
Banyak hal yang didapat dari organisasi. Melalui keikutsertaan dalam
organisasi, mahasiswa (secara bersama-sama) melakukan eksplorasi potensi
baik dalam hal kepemimpinan, publick speaking, kerja sama, dan banyak hal
positif lain yang membantu mahasiswa untuk lebih siap terjun dalam
masyarakat. Kelak, mahasiswa benar-benar mampu menjadi senyatanya agen
perubahan sosial yang aktif dan kontributif baik dalam tindakan maupun
pemikiran.24
23
Wawancara, H. Badrun, Salman dan Muhasim di Kampus IAIN Mataram, 21 Nopember
2013.
24
Wawancara, Muhasim, di Karang Baru, 23 Nopember 2013.
52
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
Kepasrahan total hanyalah kepada Allah, bukan kepada yang lain. Ini biasanya
mahasiswa yang terlibat dalam aktifis Lembaga Dakwah Kampus, KAMMI
b. Kriteria kedua adalah intelektualitas. Artinya segala tindakan dilaksanakan dengan
pengetahuan dan pemahaman atas tindakan tersebut. Basis intelektual ini penting
sehingga mahasiswa tidak terjebak pada pragmatisme gerakan. Intelektualitas tidak
saja sebatas apa yang dipelajari di kampus sesuai bidang studi masing-masing
mahasiswa. Tetapi mempelajari dan memahami ilmu dalam spektrum yang lebih
luas dan integral. Sehingga mahasiswa memiliki basis pemikiran yang kuat dan
mengakar dalam setiap tindakannya.
c. Kriteria ketiga adalah humanitas. Setiap aktivitas diarahkan demi kepentingan
kemanusiaan dan menjadi rahmat bagi semesta. Seorang intelektual, dengan segala
ilmu dan kelebihan yang dimiliki, tidak lantas duduk di belakang meja, menghitung
dan menganalisa berbagai rumus rumit di menara gading, tapi berjarak dari
masyarakat dan tidak mengerti realitas. Kelompok seperti ini disebut intelektual
tradisional. Kebalikannya adalah intelektual organik, yakni mereka yang terlibat
dalam proses-proses kebijakan publik atau isu yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut kalangan ini, seorang intelektual harus memihak dan terlibat dengan
perjuangan rakyat.
Selanjutnya untuk mengembalikan keseimbangan intelektualitas mahasiswa
dengan spiritualitas, harus ada penekanan orientasi pendidikan berkarakter. Program
pembinaan karakter diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki ciri sikap
mental sebagai berikut:
(1) Menjunjung tinggi nilai agama, moral dan etika.
(2) memiliki rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan negara.
(3) menghayati nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan dan mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
(4) Memiliki rasa ingin tahu (lively curiosity) yang rasional, kritis, dan independen
dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat, bangsa dan negara.
(5) Memiliki sikap mental yang bangga kepada profesi dan ilmu masing-masing untuk
berperan sebagai agen perubah (agent of change) bagi kemajuan umat manusia.
(6) Menjadi pribadi yang memiliki kebiasaan yang sehat (healthy habits), terhindar dari
pengaruh radikalisme, eksklusifisme, obat terlarang, minuman keras, dan
pergaulan bebas.
53
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
(7) Mampu dan terampil untuk dapat berpikir, bertindak, dan menyampaikan gagasan
(be able to think for and express themselves) secara lisan maupun tulisan.
(8) Memperlihatkan sikap toleran dan hormat kepada dosen, tenaga administrasi, dan
civitas akademika lain, serta memiliki kemauan untuk berbagi dan membantu
orang lain.
25
Sebenarnya tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk bermalas-malasan dan tidak serius
dalam perkuliahannya, karena banyak sekali fasilitas yang sudah disediakan oleh internal kampus
maupun pemerintah dan masyarakat.
54
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
dipengaruhi oleh kelalaian manusia dan tidak seimbangnya antara Intelektualitas dan
religiuitas.
Intelektualitas dan religiuitas keduanya harus bekerja bersinergi (seimbang).
Beberapa contoh di atas, sudah kita ketahui bagaimana dampak apabila keduanya tidak
diseimbangkan maka bisa berakibat fatal. Religiuitas bagi seseorang sendiri bukanlah
untuk menjadi ahli pertapa, duduk termenung dan diam menikmati indahnya
spiritualitas. Sedangkan intelektualitas bagi seseorang sendiri bukanlah sebagai untuk
menjadi ilmuwan atau politikus yang senantiasa mengejar harta dan dunia. Untuk
menyeimbangkan Intelektualitas dan religiuitas seseorang harus berpikiran mengejar
harta atau dunia seakan-akan kita hidup untuk selamanya dan menyempurnakan
ibadahnya seakan-akan dia mati besok. Dengan cara ini, maka sudah dipastikan akan
terbentuk suatu keseimbangan yang melahirkan pribadi bertanggung jawab, jujur dan
bijaksana. Hal tersebut tentunya juga tidak bisa dilakukan secara spontanitas atau
dengan merubah aturan perundangan-undangan sesuai kelompok agama tertentu.
Karena nanti nya hanya akan menambah masalah dalam negara itu sendiri. Untuk
itulah perlu di tanamkan sedini mungkin dan akhirnya nanti pribadi seseorang sudah
terbiasa melakukan keseimbangan antara intelektualitas dan religiuitas.
Keseimbangan ini harus dimiliki oleh semua pemuda khususnya para
mahasiswa sebagai kalangan elit yang mempunyai derajat pendidikan lebih tinggi
dibanding pemuda lainnya. Mahasiswa tidak boleh hanya mengejar ilmu semata untuk
mencapai cita-citanya. Mereka juga harus menyeimbangkan dengan mengingat Tuhan
agar tidak melenceng ke arah yang menuju lembah kejahatan. Mahasiswa yang tidak
dapat menyeimbangkan intelektualitas dan religiuitas hanya akan menjadi penyakit
bagi bangsa ini. Sebagai contoh mahasiswa yang hanya mementingkan religiuitas, pada
masa ini banyak sekali info di berbagai media sosial bahwa mahasiswa yang terjerumus
kedalam dunia teroris. Mereka rela mengorbankan nyawa, menyampingkan belajar,
meninggalkan teman maupun keluarga, dsb. hanya demi embel-embel akan masuk
surga setelah mereka mati. Padahal itu semua adalah perbuatan yang ababil dan tidak
berperikemanusiaan. Mahasiswa seperti ini telah melupakan untuk apa sebenarnya
peran mereka menjadi seorang golongan terpelajar dan tujuan mereka untuk meraih
cita-cita. Sedangkan mahasiswa yang hanya mementingkan intelektualitas akan lebih
merugikan banyak rakyat Indonesia. Akibat dari mementingkan belajar dan belajar
mereka melupakan apa tujuan mereka diciptakan oleh Tuhan YME. Mahasiswa seperti
55
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
ini lambat laun akan menjadi bibit-bibit penjahat yang menghianati bangsa dan
negaranya demi harta dan tahta.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari seorang mahasiswa harus melakukan
kesadaran diri dengan mengindahkan nilai-nilai religiuitas untuk selalu digunakan
sebagai basis pertimbangan moral dalam melakukan suatu tindakan dan intelektualitas
untuk mendapat kalkulasi analitis dalam mempertimbangkan akibat-akibat positif
negatif tindakan mereka. Jika hal ini terpenuhi niscaya kehidupan bangsa dan negara
Indonesia akan disegani oleh bangsa lain dalam persaingan di era global. Dan yang
terpenting perdamaian antar dunia pun akan terwujud bila semua mahasiswa mampu
menerapkan keseimbangan ini. Sebagai aset bangsa yang paling berharga mahasiswa
merupakan generasi penerus yang dipundaknya membawa masa depan kehidupan
bangsa dan negara. Hancur dan berjayanya negara ini bergantung pada para pemuda
khususnya mahasiswa sebagai golongan elit terpelajar. Untuk itulah keseimbangan
antara intelektualitas dan religiuitas sangat diperlukan dalam kehidupan mahasiswa
supaya nantinya mereka mampu membedakan apa yang baik dan buruk agar mereka
bisa menyumbangkan hasil terbaik kepada agama, bangsa serta negaranya.
56
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
57
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
26
Konsep fitri/fitroh inilah yang (dalam pembahasan selanjutnya) akan membedakan beberapa
pandangan tentang manusia dalam kajian psikologi dan ilmu lainnya, struktur Fitroh merupakan struktur
58
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
yang mencakup keseluruhan komponen manusia yang dapat berbentuk psikis atau juga bisa berbentuk
komponen psikofisik dan memiliki natur multi dimensi dan multi potensi. Lihat Abdul Mujib, Fitrah dan
Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta: Darul Falah, Cet. I, 2000), 5.
27
Al-Baqarah: 30.
28
Diskusi dengan M. Zaidi Abdad dalam berbagai kesempatan
59
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
SIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan: pertama, dalam
kehidupan modern yang serba pragmatis dan rasional, manusia termasuk mahasiswa
menjadi lebih gampang kehilangan keseimbangan, mudah kalap, dan brutal serta
terjangkiti berbagai penyakit kejiwaan. Akhirnya manusia hidup dalam kehampaan
29
Wawancara, L. Sohimun Faisal, di Kampus IAIN Mataram, 25 September 2013.
60
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)
nilai, kegalauan identitas dan merasa miskin makna hidup. Ketika itu agama dan
semangat religiositas hadir untuk memberikan makna. Ibarat orang tengah kepanasan
dan kehausan di tengah padang sahara, agama dapat berfungsi sebagai langit pelindung
yang memberikan keteduhan dan kesejukan. Agama dapat menyatukan elemen-elemen
yang tercerai berai dalam kehidupan manusia. Agama dapat memberikan suasana
penuh arti dan suci dalam kehidupan yang serba profan.
Kedua, mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual
dan kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena
adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari
koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap,
gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas
kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah terhadap
perjuangan mahasiswa itu sendiri.
Ketiga, Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka
mengenyam pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir
semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat
ini. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa
seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada
mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah
kehidupan selanjutnya.
Daftar Pustaka
Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Haedar Nasir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
IAIN Mataram , Pedoman Umum, Mataram, 2007.
-------------. Kode Etik Mahasiswa IAIN Mataram, Mataram, 2011.
Irawan, Prasetyo; Suciati; IGK Wardani. 1996. Teori Belajar, Motivasi dan
Keterampilan Mengajar.Jakarta. PAU-UT.
Hanna Djamhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.
61
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014
62