Anda di halaman 1dari 28

Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

PERGESERAN IDENTITAS MAHASISWA: KORELASI RELIGIUSITAS


DAN PERILAKU MAHASISWA IAIN MATARAM

Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram
Jl. Pendidikan No. 35 Mataram
Email: masnun_tahir@yahoo.com

Abstrak: Identitas akademik, sosial dan intelektual yang melekat pada mahasiswa,
belum sepenuhnya dipahamai secara substansial. Terasa semakin kompleks ketika
dihubungkan dengan identitas religius dan moralitas mereka, yang dihadapkan dengan
kehidupan modern yang serba pragmatis dan rasional. Studi ini – melalui penelitian
lapangan (field research) dengan pendekatan kualitif, diarahkan untuk mengkaji
kecenderungan tersebut. Hasil studi menunjukkan bahwa: pertama, dalam kondisi labil,
kehampaan nilai, kegalauan identitas dan merasa miskin makna hidup yang dialami
mahasiswa, maka agama dapat berfungsi sebagai langit pelindung yang memberikan
keteduhan dan kesejukan. Agama dapat menyatukan elemen-elemen yang tercerai berai
dalam kehidupan mereka. Kedua, identitas mahasiswa yang intelektual dan kritis semakin
luntur karena adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mereka. Ketiga, mahasiswa
saat ini seakan lupa eksistensi dirinya, dan mengalami disorientasi untuk apa mereka
mengenyam pendidikan tinggi. Dalam konteks inilah, adanya reorientasi memiliki
sigfikansi.

Abstract: Academic, social and intellectual identities attached to Students have not been
substantially understood. As such are recognized when such identities are related to
students morality in which their morality are viz a viz to modern life which full of
rationalism and pragmatism. This research is carried out to understand such tendency and
this research is conducted through applying field research with qualitative approach. The
result shows that first, in students labile psyche condition, void of values, unstable identity,
and lack of experiences upon the meaning of life, religion can be functioned as the protector
which gives coolness and quietness in students lives. Second, student identity as an
intellectual critic has been vanished due to their incapability to understand their own
function and role in the society. Third, students in now time forget their own existence and
they have experienced goal disorientation especially to the aim of their university
education. Therefore in this context the significance of students’ identity reorientation is
important.

Kata-kata Kunci: identitas, religiusitas, agen of change, mahasiswa

35
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

PENDAHULUAN
Predikat sebagai agen of change bagi mahasiswa,1 mengandung makna bahwa
mahasiswa adalah sosok warga negara yang memiliki tanggung jawab penuh, dan
karenanya menentukan masa depan bangsa. Analisis dari kebangkitan dan
keterpurukan di masa depan berkaitan erat dengan kondisi mereka sebagai agen of
change saat ini. Pemberian posisi dan espektasi ini mahasiswa dihadapkan dengan
berbagai stereotype negatif, terutama bila dihubungkan dengan malasah moralitas.
Kemerosotan moral banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dan agama
masyarakat. Lingkungan sosial yang buruk adalah bentuk dari kurangnya pranata sosial
dalam mengendalikan perubahan sosial yang negatif. Seperti yang kita ketahui bahwa
sebagian besar mahasiswa adalah anak kost yang tentunya jauh dari pengawasan orang
tua. Mayoritas kost memang memiliki penjaga, atau yang disebut induk semang.
Namun, ada pula yang tidak disertai penjaga. Lingkungan seperti ini menyebabkan
munculnya rasa bebas bertindak dari mahasiswa yang kost tersebut.2 Pada aspek yang
lain, mahasiswa menjadi salah satu cermin sebuah perguruan tinggi, semakin baik citra
mahasiswa secara intelektual maupun kompetensi sosial mereka dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maka institusi perguruan tinggi juga akan mendapatkan
percikan citra baik.
Dalam koridor agama, mahasiwa yang tidak berlatarbelakang pesantren tentu
akan memiliki kecenderungan berbeda dalam memahami agama dengan mahasiswa
yang memiliki latar belakang pesantren. Sejauh pengamatan awal peneliti, mahasiswa
dengan latarbelakang pesantren memiliki kecenderungan memahami agama lebih
inklusif dan menjalani agama secara lebih longgar, namun masih dalam koridor nilai-
nilai syari’at Islam. Sedangkan mahasiswa yang berlatarbelakang non pesantren
memiliki dua model kecenderungan yang berbeda, memahami agama secara ekslusif
dan memahami agama sebagai bagian lain dari nilai-nilai duniawi. Kecenderungan
eksklusif melahirkan aktifis Islam yang tekstualis dan militan, sedangkan
kecenderungan memahami agama sebagai bagian lain banyak menghasilkan pemikiran
mahasiswa yang cenderung mengesampingkan aspek religiusitas dalam setiap aktifitas
akademiknya.

1
Yudi Bantahari, Dilematika Mahasiswa, Prospek Mahasiswa Indonesia, (Jakarta: Self
Publishing Book, 2005), 3
2
Hasil pengamatan penulis di daerah Dasan Agung, Gomong dan Karang Baru, dan penjelasan
beberapa mahasiswa IAIN Mataram.

36
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

Penelitian ini memfokuskan pada permasalahan pergeseran identitas


mahasiswa IAIN Mataram dengan melihat korelasi antara tingkat religiusitas dengan
perubahan perilaku atau sikap mahasiswa. Peneliti mencoba menggambarkan
perubahan tersebut dan beberapa faktor penyebab dan akibatnya, serta mencoba
memberikan rekomentasi strategi serta metode yang dapat digunakan untuk menyikapi
pergeseran identitas tersebut.
Perubahan dan pengembangan tersebut tentu menyangkut berbagai aspek dari
sistem lembaga pendidikan tinggi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif (secara
fisik maupun kultural), terutama perubahan dan pengembangan sikap, nilai, persepsi
dan motivasi tinggi seluruh anggota civitas akademikanya. Pengembangan kualitas
perguruan tinggi tidak semata dilakukan lewat penataan kurikulum dan proses belajar
mengajar, tetapi juga lewat pengembangan program baru seperti di IAIN Mataram.
Meskipun diskusi masalah mahasiswa sudah banyak dilakukan dari berbagai
perspektif kajian keilmuan, antara lain dari perspektif sosiologis, psikologis, dan
pendidikan, namun studi mengenai pergeseran mahaiswa tampak masih minim
dilakukan. Secara umum, tulisan tentang mahasiswa yang dibahas adalah peranan
mahasiswa dalam perspektif gerakan nasional di Indonesia, seperti Mahasiswa
Pemimpin Masa Depan.3 Pada dasarnya buku ini bertujuan untuk membangkitkan
semangat belajar mahasiswa yang kadangkala lupa akan peran dan tugasnya sebagai
mahasiswa. Penulis merasa risau apabila melihat mahasiswa yang menyia-nyiakan
waktu dan kesempatannya untuk belajar di PT.
Buku lain yang juga membahas peranan mahasiswa adalah Dilematika
Mahasiswa (Prospek Mahasiswa Indonesia) karya Yudi Bantahari. Buku ini mengupas
tentang problematika kehidupan mahasiswa saat ini terkait dengan status yang
disandangnya, yaitu sebagai Agent of Change and Social control. Dengan berbagai
sumber dan realita yang mencuat ke permukaan, akhirnya penulis terpanggil untuk
menyusun buku ini untuk dijadikan pembanding dan renungan untuk kita mahasiswa
dan pemuda Indonesia. Harapan penulis dengan diterbitkannya buku ini dapat
menjadikan mahasiswa lebih berpikir rasional untuk mengkritik pemerintah tanpa
harus dengan kekerasan, dan selalu mengemban tugas sebagai agent of change and
social control. 4

3
Diding Nurdin, Mahasiswa Pemimpin Masa Depan Bandung : Penerbit Ilmu Cahaya Hati,
2009.
4
Yudi Bantahari, Dilematika Mahasiswa, Prospek Mahasiswa Indonesia, Self Publishing Book

37
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

Peranan kongkrit gerakan mahasiswa seperti di atas, diulas dalam buku


Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. Karya Bonar
Tigor Naipaspas ini mengungkapkan latar historis munculnya aksi gerakan mahasiswa
yang waktu itu mampu menumbangkan rezim Orde Baru. Buku ini secara bagus dan
panjang lebar memaparkan pemetaan gerakan waktu yang secara massif melibatkan
seluruh elemen mahasiswa, berkolaborasi dengan NGO dan masyarakat.5 Menurut
buku ini titik klimaks dari perjuangan mahasiswa Indonesia adalah pada tahun 1966
dan tahun 1998, dimana dua rezim otoriter pada saat itu berhasil di runtuhkan.
Bagaimana dengan identitas dan realitas mahasiswa?. Wacana tentang
mahasiswa masih terbatas pada aktifitas dan kegiatan normatif IAIN Mataram. Hal
tersebut nampak dalam beberapa penelitian antara lain hasil penelitian Muhammad
Saleh, Pengembangan Instrumen Pembinaan Mahasiswa IAIN Mataran yang mengupas
tentang pengembangan instrumen pembinaan mahasiswa di IAIN Mataram yang
transparan, partisipatif, terencana, dan terukur dalam melakukan kegiatan
kemahasiswaan melalui organisasi kemahasiswaan di internal kampus.6

METODE PENELITIAN
Dilihat dari karakteristik pembahasan dan objek penelitiannya, penelitian ini
dikategorikan penelitian kualitatif yang bersifat penelitian lapangan (field research).
Karena karakter penelitian ini adalah pertama, data penelitian diperoleh secara
langsung; kedua, penggalian data secara alamiah; dan ketiga dialogis atau wawancara.
Sumber data utama dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang dilakukan secara acak,
dan sebagai data pendukung digunakan dokumen tertulis, baik dalam bentuk jurnal
hasil penelitian maupun buku dan regulasi lainnya.
Teknik analisis data dalam penelitian ini meliputi tiga tahapan, yaitu: Pertama,
data reduction (reduksi data). Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. 7 Kedua, data
display (penyajian data). setelah data-data tersebut direduksi, tersusun secara sistematis
dan terkelompokkan berdasarkan pola dan jenisnya, maka selanjutnya data tersebut
disajikan dalam bentuk uraian-uraian. Ketiga, conclution drawing and verification

5
Bonar Tigor Naipaspas ,Mahasiswa Menggugat: Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998.
Karya Pustaka Hidayah, 1999.
6
Muhammad Saleh, Pengembangan Instrumen Pembinaan Mahasiswa IAIN Mataram, Lemlit,
2010.
7
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2011), cet.
13, 247.

38
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

(penarikan kesimpulan dan verifikasi). Setelah data-data tersebut direduksi dan


disajikan, selanjutnya adalah penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pemaknaan Identitas bagi Mahasiswa
Berlainan dengan sikap skeptis terhadap nama atau identitas yang tercermin
dalam sebuah pertanyaan termasyhur “What in a name” dalam salah satu drama klasik
Shakespeare, Hellen Keller seorang cendekiawati penyandang cacat ganda, tunanetra,
tunarungu dan tunawicara, mengalami sendiri betapa pentingnya nama. Dalam
“everything has a name” ia menulis betapa cakrawala pemikirannya menjadi terbuka
luas saat menyadari bahwa segala sesuatu ada namanya atau identitas.8
Identitas Mahasiswa terdiri dari kata “Identitas” yang berarti ciri atau syarat
yang harus dimiliki oleh sesuatu sehingga sesuatu itu dapat dibedakan dengan yang
lain, dan kata “Mahasiswa” yang arti formalnya adalah seseorang yang terdaftar
disuatu Perguruan Tinggi pada semester berjalan dan makna filosofisnya adalah
seorang yang mencari tahu tentang kebenaran dan berusaha mewujudkan kebenaran
tersebut. Jadi, makna Identitas Mahasiswa adalah ciri-ciri atau syarat yang harus
dimiliki oleh seorang mahasiswa. Dengan kejelasan Identitas Mahasiswa ini, sehingga
mahasiswa dapat dibedakan dengan murid SD, pelajar SLTP dan siswa SMU.
Mahasiswa berasal dari kata ‘maha’ yang berarti besar, agung dan ‘siswa’
yang berarti orang yang sedang belajar di institusi, dalam hal ini pendidikan tinggi.
Sifat dan watak yang kritis, ketajaman intelektual, independensi, serta energi yang
besar. Dalam perspektif sosial, posisi mahasiswa menjadi sangat strategis dan dianggap
memiliki peran dalam mewarnai hidup pada level selanjutnya; saat seorang sarjana
memasuki dunia masyarakat sesungguhnya. Bermahasiswa seharusnya merupakan
proses pengembangan diri secara acak (random), yang diprakarsai oleh kemerdekaan
dan kebebasan manusiawi di dalam ruang-ruang interaksinya.
Secara formal, ciri-ciri seorang mahasiswa yaitu memiliki kartu mahasiswa
sebagai simbol dan legitimasinya. Secara filosofis ciri-ciri seorang mahasiswa sebagai
berikut: 1) Rasional 2. Cerdas. 3. Inovatif, 4. Kreatif, 5. Intelek, 6. Radikal, 7. Idealis,

8
Hanna Djamhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997), 3.

39
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

8. Kritis, 9. Revolusioner, dan 10. Militan.9 Dan karena kita berada di Perguruan
Tinggi Islam maka harus melekat pada setiap mahasiswa IAIN adalah agamis.
Ciri-ciri yang disebutkan di atas hanyalah sekelumit dari sekian banyak ciri-
ciri mahasiswa yang menjadikan mahasiswa tidak hanya sebagai kaum intelektual tapi
juga sebagai sosial kontrol dalam suatu komunitas. Sebagai mahasiswa, tidak hanya
harus mengenal identitasnya, tapi juga harus mengetahui tipenya. Pluralitas lingkungan
yang membentuk mahasiswa menjadikan tipe dan karakter mahasiswa berbeda-beda.
Secara umum tipe dan karakter mahasiswa dapat dibagi sebagai berikut :
1) Tipe Akademik : Mahasiswa yang hanya memfokuskan diri pada kegiatan akademik
dan cenderung apatis terhadap kegiatan kemahasiswaan dan kondisi masyarakat.
2) Tipe Organisatoris : Mahasiswa yang memfokuskan diri pada kelembagaan baik
didalam maupun diluar kampus, peka terhadap kondisi sosial dan cenderung tidak
mengkonsentrasikan diri pada kegiatan akademik.
3) Tipe Hedonis : Mahasiswa selalu mengikuti trend dan mode tapi cenderung apatis
terhadap kegiatan akademik dan kemahasiswaan.
4) Tipe Aktivis Mahasiswa : Mahasiswa yang memfokuskan diri pada kegiatan
akademik kemudian berusaha mentrasformasikan “kebenaran ilmiah” yang
didapatkan ke masyarakat melalui lembaga dan sebagainya dan berusaha
memperjuangkannya.
Dunia kemahasiswaan menjadi lebih pas dianalogikan sebagai sebuah
aquarium citra diri, dimana di dalamnya terjadi reaksi-reaksi simbolik – tidak
sesungguhnya real – yang dibangun atas kerangka idealitas dan kemerdekaan,
mengangkat peran-peran sosial secara dominan agar pencitraan menjadi lebih nyata di
masyarakat. Secara tidak langsung, predikat mahasiswa menjadikan seseorang, secara
sosial “terkondisi” menyesuaikan dirinya dengan asumsi-asumsi publik tentang apa dan
bagaimana itu mahasiswa.
Siapa itu mahasiswa yang sebenarnya? Suatu pertanyaan yang akhir-akhir ini
muncul dengan adanya dinamika yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual dan kritis
seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena adanya
kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari koridor.
Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap, gaya hidup,
pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas kehidupan

9
Bahwan, Wawancara, 10 Oktober 2013.

40
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah terhadap perjuangan
mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka
mengenyam pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir
semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat
ini. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa
seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada
mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah
kehidupan selanjutnya. Ketika peneliti bertanya kepada beberapa mahasiswa di
kampus tentang latar belakang studi mereka, alasan kuliah di IAIN, apa beda pelajar
dan mahasiswa secara paradigmatik, apa yang mereka lakukan di kampus dan target
yang dicapai. Jawaban mereka tidak seragam dan sangat bervariasi. 10
Bila kita bertanya kepada mahasiswa yang hanya belajar tanpa terlibat dalam
kegiatan kampus, bagi mereka menjadi mahasiswa adalah belajar, mengerjakan
makalah, ikut seminar di kampus dan mengikuti ujian. Target mereka terorientasikan
memperoleh bea siswa dan merampungkan perkuliahan secara cepat (lebih cepat lebih
baik). Terhadap kegiatan keagamaan atau peningkatan religiositas mereka sangat
aktif.11
Rohanis selaku mahasiswi di IAIN, mengemukakan bahwa yang namanya
mahasiswa yaitu yang kuliah di perguruan tinggi seperti IAIN ini, dengan tugas yang
banyak dan tidak seperti di aliyah yang tiap hari masuk sekolah. Kita bisa masuk atau
tidak terserah pada diri mahasiswa. Ini berbeda dengan ketika di Tsanawiyah atau
Aliyah kita dimarah atau dikeluarkan dari kelas kalau kita sering tidak masuk.12
Secara umum bisa disimpulkan bahwa kebanyakan mahasiswa sekarang tidak
memahami identitas kemahasiswaannya secara substansial. Mereka belum memahami
identitas akademik, sosial dan intelektual yang melekat pada diri mereka.
Seperti kita ketahui bahwa, mahasiswa adalah sosok manusia yang sedang
mengalami masa transisi psikologis, intelektual, dan sosial. Secara psikologis mereka
mengalami perubahan dari ciri kejiwaan remaja yang belum sepenuhnya mandiri
kepada kejiwaan orang dewasa yang mandiri. Secara intelektual mereka berubah dari
model pembelajaran sekolah menengah yang bersifat instruktif yang berpusat pada
guru di sekolah/madrasah atau kyai di pesantren, menjadi model pembelajaran
10
Wawancara secara acak dengan Maad, Ilham, Fahri, dan Henry.
11
Wawancara, Aziz, 10 Oktober 2013.
12
Wawancara, 19 Oktober 2013.

41
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

perguruan tinggi yang merepresentasikan pembelajaran self-directed, yang lebih


bertumpu pada kemampuan diri sendiri untuk mengakses dan mengolah sumber
informasi belajar, mengevaluasinya secara kritis sebelum menyusunnya kembali dan
menjadikannya sebagai panduan dalam kehidupan riil yang luas di masyarakat. Secara
sosial mereka mengalami perubahan dari kehidupan keluarga yang penuh proteksi dan
bimbingan kepada kehidupan sosial yang lebih, bebas, terbuka dan penuh tantangan.13

Hak dan Kewajiban Mahasiswa IAIN Mataram


Peran mahasiswa bagi bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja
dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai berbagai
perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia. Peran tersebut
adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai
kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang
sudah rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu yang
memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada
suatu kaum.14
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa
Indonesia baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar
negeri. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh
mahasiswa Indonesia, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri
seluruh mahasiswa Indonesia.
Dalam kode etik IAIN Mataram dijelaskan, bahwa mahasiswa adalah peserta
didik yang terdaftar sebagai mahasiswa di PTAI (dalam hal ini IAIN Mataram), yang
mempunyai hak dan kewajiban. Hak adalah segala sesuatu yang seharusnya diterima
oleh mahasiswa sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan kewajiban adalah
sesuatu yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.15 Lebih lanjut dijelaskan, setiap mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam
berkewajiban:
(1) Menjunjung tinggi dan mengamalkan ajaran Islam dan akhlak mulia;
(2) Memelihara sarana dan prasarana serta menjaga kebersihan, ketertiban dan
keamanan kampus
(3) Menjaga kewibawaan dan nama baik almamater

13
UIN Yogyakarta, Sukses di Perguruan Tinggi, v.
14
Begitu besar peranan mahasiswa di Indonesia sejak pra-kemerdekaan sampai reformasi, jadi
banyak buku yang mengulas hal tersebut.
15
IAIN Mataram, Kode Etik Mahasiswa IAIN Mataram, 9.

42
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

(4) Menghormati sesama mahasiswa dan bersikap sopan terhadap pimpinan, dosen
dan karyawan
(5) Memelihara hubungan sosial yang baik dalam kehidupan bermasyarakat di
dalam dan di luar kampus
(6) Berpakaian sopan, rapi, bersih dan menutup aurat pada saat kuliah, ujian dan
ketika berurusan dengan dosen, karyawan maupun pimpinan (khusus bagi
mahasiswi wajib berbusana muslimah sesuai dengan syari’at Islam)
Sementara itu kebutuhan mahasiswa sebagaimana hasil wawancara peneliti
terangkum sebagai berikut:
(1) Sukses belajar di Perguruan Tinggi: gaya belajar, membaca efektif, mencatat
efektif, dan menulis efektif
(2) Sukses berpikir di Perguruan Tinggi: memuat materi-materi yang terkait dengan
problem solving, pengambilan keputusan (decision making), dan giving feed-back.
(3) Sukses hidup di Perguruan Tinggi: memuat kecerdasan multiple intelgensi:
intrapersonal dan interpersonal

Sikap dan Perilaku Mahasiswa


Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda yang juga merupakan warga
negara hendaknya memberikan rasa percaya pada masyarakat, bahwa merekalah yang
menggantikan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini di kemudian hari. Peran
mahasiswa sebagai agent of changes tidak diragukan lagi, sebab di negara mana pun di
dunia ini, mahasiswa tampil sebagai pionir pembaharuan dalam suatu negara, termasuk
Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku yang positif.
Mahasiswa harus memiliki sikap dan perilaku kreatif, kritis, kooperatif, dan etis. Sikap
dan perilaku ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat
di era global.
1. Sikap dan Perilaku Kreatif dan Kritis
Kreativitas merupakan kemampuan unik seseorang (termasuk mahasiswa)
hingga mau dan mampu menciptakan (to creat) sesuatu yang baru atau mengadakan
sesuatu secara baru, paling tidak untuk dirinya sendiri.16 Sikap dan perilaku kreatif dan
kritis dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu: proses, pribadi, lingkungan, dan produk.
Dilihat dari proses, mahasiswa diharapkan mampu melaksanakan tugas-tugas yang
sifatnya divergen, yang ditandai dengan adanya ketertarikan untuk berdiskusi, mampu
menyelesaikan masalah, mampu menyelesaikan tugas, mampu bekerjasama dan mampu

16
HM Taufik, Kreativitas+Akhlak Mulia= Dinamo Bagi Pendidikan Islam, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Jiwa Agama, IAIN Mataram, 23 Mei 2012, 5.

43
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

menyelesaikan persoalan yang bersifat menantang. Selain itu, mahasiswa juga mampu
mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta ada kebaruan dalam solusi yang
ditawarkan. Dilihat dari sudut pribadi, mahasiswa diharapkan memiliki komitmen yang
tinggi terhadap tugas yang menjadi tanggung jawabnya yang ditandai dengan disiplin
dan daya juang yang tinggi. Dilihat dari aspek produk, mahasiswa diharapkan dapat
menghasilkan karya/produk (baik konsep maupun benda) yang inovatif dan ditandai
kebaruan (novelty), kemenarikan, dan kemanfaatan.
2. Kooperatif
Sikap kooperatif terkait dengan kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan kelompok yang ditandai dengan keinginan untuk berkontribusi
dalam kelompok, tidak mendominasi kelompok, dan memberi kesempatan orang lain
untuk berpartisipasi. Sikap kooperatif juga terkait dengan kemampuan berkomunikasi
yang ditandai sikap asertif (mampu menyampaikan pikiran, perasaan, dan keinginan
tanpa merugikan pihak lain); mampu berkomunikasi secara lisan, tertulis, verbal,
nonverbal secara jelas, sistematis tidak ambigu; menjadi pendengar yang baik;
merespon dengan tepat (sesuai dengan substansi dan caranya); dan dapat
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Selain itu, sikap
kooperatif juga terkait dengan kemampuan membangun sikap saling percaya (trust).
Sikap ini ditandai dengan adanya komitmen dan disiplin yang bersifat terbuka dalam
menerima pendapat orang lain (openness), berbagi informasi (sharing), memberi
dukungan (support) dengan cara elegant dan gentle, menerima orang lain (acceptance)
dengan tulus, terampil mengelola konflik, mampu mengubah situasi konflik menjadi
situasi problem solving,serta jeli dalam mengkritisi ide/gagasan dan bukan orangnya
(personal).
3. Etis
Sikap etis dalam etika pergaulan baik akademik maupun dalam kehidupan
sehari-hari ditandai dengan sikap jujur, berpikir positif, bertatakrama, dan taat hukum.
Sikap jujur ditandai dengan tidak melakukan plagiat, berani mengakui kesalahan dan
menerima diri apa adanya, tidak ragu-ragu mengapresiasi orang lain, tidak melakukan
pemalsuan (termasuk tanda tangan presensi kuliah, pembimbingan, dan urusan
administrasi lainnya), membangun dan mengembangkan sikap saling percaya di antara
sivitas akademika, serta mampu menyampaikan pendapat sesuai fakta (data). Berpikir
positif ditandai dengan adanya sikap adil dan objektif (tidak apriori terhadap orang
atau kelompok lain), toleransi/apresiasi (menerima dan menghargai keragaman atau

44
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

perbedaan, termasuk perbedaan pendapat), dan dapat bekerjasama dengan semua orang
(tanpa melihat perbedaan latar belakang suku, agama, ras, atau golongan).
Tatakrama (etiket) ditandai dengan bertutur kata santun walau tetap berpikir
kritis (santun dalam berargumen, misalnya ditunjukkan dengan penggunaan istilah,
salam, maaf, permisi, terimakasih), berpenampilan dan berperilaku sopan baik dalam
tingkah laku, tatacara berpakaian (bersih, rapi, menutup aurat bagi yang merasa perlu),
dan menghormati tradisi serta norma masyarakat lokal.Taat hukum ditandai dengan
sikap dan perilaku taat peraturan walaupun secara fisik tidak ada yang mengawasi
(tidak mengkonsumsi minuman keras, narkoba, tidak memiliki barang illegal, tidak
melakukan perusakan lingkungan hidup (bioetik), menolak budaya instan (jalan pintas)
yang mendorong pelanggaran akademik (menyontek, menjiplak tugas/karya tulis,
melakukan perjokian, dan suap-menyuap), serta tidak melakukan perbuatan yang
merugikan negara, lembaga, atau orang lain.

Faktor Pergeseran Identitas Mahasiswa


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia: identitas berarti ciri-ciri atau keadaan
khusus seseorang atau suatu benda; bisa dibilang jatidiri. Dalam pemahaman psikologi
konsep identitas adalah suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi,
pada keyakinan yang pada dasarnya tetap tinggal sama selama seluruh jalan
perkembangan hidup kendatipun terjadi segala macam perubahan. Menambahkan
bahwa pembentukan identitas adalah suatu proses yang terjadi dalam inti dari pribadi,
dan juga di tengah-tengah masyarakat (Erikson). Sedangkan krisis identitas berarti
keadaan terjadinya kemerosotan, ketidakstabilan identitas pada diri manusianya.
Kesatuan dan kesinambungan hidup di sini mengganggap bahwa seseorang
yang mempunyai pendirian teguh akan suatu hal yang dianggap benar, terus-menerus
dipertahankan dalam hidup meskipun faktor luar dan dalam mengikis akan identitas
seseorang tersebut. Bisa dibilang hampir sama dengan idealisme namun ada
perbedaaan di dalamnya.
Krisis identitas sangat berbahaya bagi manusia khususnya mahasiswa,
dikarenakan masa-masa seperti ini rentang sekali perubahan terjadi padanya. Bahaya
krisis identitas meliputi; identitas yang negatif, kekacauaun perspektif waktu,
pelumpuhan kerja atau gangguan kesanggupan berprestasi, kebingungan identitas dan
kekacauan peran. Dalam dataran nama saja, banyak mahasiswa IAIN yang mengganti
nama mereka dengan nama-nama yang mereka anggap beken dan kren. Seperti nama-

45
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

nama Islam, diganti dengan panggilan barat. Muhammad Akbar Jadid diganti dengan
viken, Kusumawardana diganti dengan dodek. Atau nama mereka ditambah dengan
tokoh-tokoh idola mereka. Hal ini tergantung pada organisasi ekstra yang mereka
ikuti.17
Kita sebagai mahasiswa melihat bahaya krisis identitas harus benar-benar
ditanggapi secara serius, karena bisa berdampak ke depannya. Contoh, identitas
seseorang sebagai mahasiswa (di sini identitas mahasiswa berperan sebagai akademisi
yang mempunyai daya intelektual tinggi), ketika bahaya krisis melanda mereka
tentunya daya intelektualnya akan terganggu, banyak mahasiswa yang kuliah hanya
sebatas pemenuhan kewajiban, bukan membangun karakter (caracter buliding), dan
pengubahan pola pikir.
Penyebab terjadinya krisis identitas di lingkungan mahasiswa, juga karena
pilihan awalnya untuk kuliah bukan di IAIN tetapi kampus lain. Perasaan tidak tenang
sering menyelimuti mereka. Biasanya, mereka yang masuk ke IAIN adalah yang tidak
lulus masuk UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri umum). Karena itu jika
bukan “keranjang sampah”, IAIN adalah tempat mahasiswa yang bingung dengan masa
depannya. Terkadang mereka ekspresikan diri mereka secara berlebihan agar diakui
sebagai mahasiswa berbobot. Atau, keberadaan mereka di IAIN sebagai suatu “takdir
akademis” yang tidak bisa dihindari sehingga tidak perlu pula untuk disesali.
Mahasiswa sepatutnyalah mempunyai pola pikir yang berbeda dengan yang
lainnya, hal itu harus benar-benar ditegakkan untuk mempunyai daya intelektual yang
luas, karena mahasiswa merupakan generasi yang segar, militan, berpikir bebas sebagai
generasi penerus bangsa ini. Banyak hal yang harus dilakukkan agar daya intelektual
itu muncul, tidak sekedar belajar di dalam kelas, ranah yang lainpun perlu dijamah.
Diskusi perihal ilmu contohnya, pengembangan minat dan bakat serta berbagai macam
penelitian dan kreatifitas.
Bahaya-bahaya yang dihadapai mahasiswa sekarang ialah sifat hedonis dan
dihedoniskan dari berbagai unsur yang sifatnya vertikal dan horizontal. Horizontal
dipengaruhi oleh diri sendiri dan teman sejawatnya, yang pada mulanya mengenali
secara sengaja atau coba-coba hal-hal yang jauh dari sisi keintelektualitasan.18

17
Kadang kita sulit mengetahui nama asli seorang mahasiswa kalau bertemu di jalan, karena
mereka rata-rata mengganti nama mereka dengan nama lain. Mereka merasa tidak percaya diri dengan
nama awal mereka.
18
Peristiwa ini kita istilahkan dengan moral-panics, yaitu mahasiswa kehilangan identitas dan
integritasnya.

46
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

Dari segi kemunduran keilmuan diantaranya hanya melaksanakan tugas


rutinitas perkuliahan bukan proses penggalian potensi diri, kurangnya mahasiswa yang
belajar diskusi, padahal kalau kita melihat sejarah kebelakang diskusi merupakan tolak
punggung mahasiswa dalam berpikir yang bebas dan out of the books, kritis dan logis.
Kampus menjadi hidup dan dinamis kalau diskusi menjadi tradisi akademik di kampus.
Salah seorang dosen di lingkungan kampus IAIN Mataram merefleksikan realitas
mahasiswa sekarang:
Dulu ketika kita jadi mahasiswa di Jawa, tiap hari kita mencari jadwal diskusi
di kampus maupun di luar kampus dan kadang harus bayar. Malam hari habis
magrib kadang kita mengikuti pengajian baca kitab di masjid kampus. Malam
jumat kita mengikuti yasinan dan tahlilan atas undangan masyarakat. Lha
mahasiswa sekarang malah manjanya minta ampun, jarang ada yang mau
diskusi padahal semua serba gratis (apalagi disuruh bayar) dan pembicaranya
hebat-hebat. 19

Aspek vertikal adanya pengekangan dari pihak kampus yang membuat daya
pikat kreatifitas mahasiswa terkungkung, seperti jam malam, pembelajaran akademis
yang tidak mendukung kegiatan di luar perkuliahan, kurang aktifnya perguruan tinggi
melibatkan mahasiswa dalam suatu penelitian, pengembangan minat dan bakat yang
tidak didukung aspek fasilitas, waktu dan tempat. Hal-hal seperti itulah yang membuat
mahasiswa sebagai agen penurut bukan agen pendobrak.
Semua hal di atas bisa diatasi dengan sempurna jika idealisme yang tertanam
dalam diri mahasiswa secara penuh tak terkontaminasi yang bisa mengikis idealisme
tersebut, pembangunan pada diri sendiri tentang hakekatnya sebagai manusia untuk
menelurkan cita-cita Tri Dharma, pola pikir yang luas bukan jumud, penelahaan yang
lebih mendalam perihal penilaian ilmu yang diterima, ilmu yang diperoleh bukan
diterima begitu saja tapi telaah kritis dan logis harus benar-benar digunakan agar
mahasiswa tidak berpikir rigid dan terpaku pada teks, disamping memahaminya secara
komprehensif.
Agar tak terkikis habis oleh bahaya krisis identitas pada diri kita, selayaknya
mahasiswa yang belum begitu memahami mengenai hal ini sepatutnyalah bertanya,
berdiskusi kepada orang yang dianggap pas mengenai itu, agar tidak tersesat

19
Wawancara, Musawwar, 20 Nopember 2013 di Mataram.

47
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

dipersimpangan jalan seperti pendoktrinan-pendoktrinan yang bersifat cuci otak (brain


wash) yang negatif.20
Ketahuilah bahwa ketika menjadi mahasiswa anda sudah mempunyai
tanggungan sosial atas gelar yang anda miliki, gelar dibelakang nama anda harus bisa
dipertanggungjawabkan, bukan semata pemanis nama tapi ada sebongkah keahlian
yang diraih. Oleh karena itu untuk mencapainya perubahan mindset dalam berkuliah
bukan sebagai tuntutan kewajiban semata yang hanya menargetkan Indeks Prestasi
Kumulatif (IPK) tinggi tanpa sisi intelektual atas pemahaman yang diraihnya.

Mengembalikan Identitas Kemahasiswaan


Pentingnya Keseimbangan Religiusitas dan Intelektualitas dalam Kehidupan
Mahasiswa
Telah diketahui bahwa zaman atau era seperti saat ini merupakan sebuah era
yang digambarkan sebagai era yang sempurna. Hal ini karena pada zaman sekarang
umat manusia dapat melakukan hal apa saja yang diinginkannya. Di era seperti saat ini
kebutuhan manusia dalam segala aspek semakin tidak terkendali, sementara alat
pemuas kebutuhan semakin lama semakin menipis karena manusia terus
mengeksploitasi alat pemuas kebutuhan tersebut. Akan tetapi, manusia tak puas
dengan hanya mengeksploitasi, namun mereka menciptakan sebuah penemuan yang
bermanfaat untuk memudahkan kehidupan mereka. Namun, penemuan-penemuan baru
itu tidak hanya berdampak positif, melainkan akan berdampak negatif pula apabila
manusia yang memanfaatkan penemuan tersebut tidak arif dan bijak. Dalam hal ini,
dibutuhkan keseimbangan antara intelektualitas dengan religiusitas.
Intelektualitas merupakan sebuah pemahaman tentang ilmu dan pengetahuan
yang jika dimiliki oleh seseorang maka orang tersebut akan membawa dirinya ke arah
yang lebih maju, dan karenanya disebut "orang intelek". Sedangkan religiusitas sendiri
berasal dari kata religi yang dalam bahasa Indonesia berarti agama. Sedangkan
religiusitas merupakan sebuah pemahaman tentang keagamaan yang didalamnya
terdapat ajaran mengenai hubungan manusia dengan tuhannya serta hubungan manusia
dengan sesama manusia. Intelektualitas tidak dapat dipisahkan dengan religiusitas,
begitu pula sebaliknya.

20
Walaupun ada penyambutan mahasiswa baru dengan istilah Ospek, Opak, Mapaba, dan lain-
lain, namun beberapa mahasiswa berharap ada semacam orientasi dan sosialisasi pembelajaran secara
serius, bukan semata-mata bersifat seremonial. Hal ini mereka anggap penting sebagai sarana awal
mengetahui dinamika dunia kampus dan persiapan menghadapi perkuliahan.

48
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

Mahasiswa merupakan salah satu contoh kaum intelek yang dimiliki oleh
bangsa ini. Tidak diragukan lagi kepintaran mahasiswa dalam menanggapi persoalan
yang akan dihadapi kedepannya saat mereka akan terjun ke masyarakat. Mahasiswa
dianggap sebagai kaum yang nantinya akan menjadi orang "besar" oleh sebagian
masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa mahasiswa mengetahui dan mengerti
tentang pelik masalah yang terjadi di dalam masyarakat itu sendiri. Dan ternyata
memang demikian.
Banyak mahasiswa yang telah menguasai ilmu pengetahuan dalam bidangnya,
misal mahasiswa jurusan manajemen, mereka sangat paham betul tentang bagaimana
cara mengatur perusahaan yang baik dan benar. Lalu mereka juga paham betul tentang
bagaimana penyusunan anggaran yang tepat agar perusahaan yang mereka pimpin
dapat memperoleh keuntungan yang maksimal. Akan tetapi, pada era seperti saat ini
intelektualitas yang ditunjukkan mahasiswa tidak diimbangi dengan religiusitas. Para
mahasiswa hanya memikirkan ilmu, ilmu dan ilmu. Mereka tak pernah memikirkan
bagaimana caranya agar ilmu yang mereka dapatkan bisa bermanfaat bagi orang lain
dan bisa diridhai oleh tuhannya. Mereka hanya bisa menuntut ilmu akan tetapi tidak
bisa atau tidak mengerti bagaimana cara menyalurkan ilmu mereka pada orang lain.
Dalam konteks inilah dibutuhkan sikap religius seorang mahasiswa. Mereka tidak
hanya menuntut ilmu setinggi mungkin melainkan juga ingat pada yang menciptakan
mereka, yaitu Tuhan. Untuk dapat memanfaatkan ilmunya dengan baik, seorang
mahasiswa wajib beribadah menurut keyakinannya masing-masing. Dengan ibadah,
mahasiswa dapat mengerti dan memahami serta bisa melaksanakan apa yang harus ia
lakukan dan apa yang tidak semestinya dia lakukan.
Apabila seorang mahasiswa yang intelek tidak mementingkan urusan
religinya, maka sudah dapat dipastikan mereka hanya akan merusak moral bangsa ini.
Contohnya, seorang mahasiswa ekonomi yang nantinya akan menjadi seorang ekonom
handal, apabila tidak mempunyai religiusitas yang tinggi bisa saja ia menyalahgunakan
kedudukannya dengan cara korupsi. Hal ini karena ia tidak memiliki religiusitas yang
tinggi sehingga tidak dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk.
Keseimbangan antara religiusitas dan intelektualitas di kalangan mahasiswa sangat
diharapkan oleh bangsa ini. Mahasiswa yang nantinya akan terjun langsung ke
masyarakat diharapkan memiliki moral dan attitude yang baik agar bangsa ini terus
maju kedepannya. Lebih-lebih sebagai mahasiswa IAIN, ketika melakukan KKP/PKL,
mereka tidak sekedar menjalankan program akademik, tetapi lebih dari itu mereka

49
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

dituntut untuk mengajarkan dimensi kerohanian, akhlak, dan nilai-nilai keagamaan.


Pengalaman peneliti mengunjungi mahasiswa KKP, dalam program mereka, rata-rata
tuntutan masyarakat adalah mahasiswa IAIN harus mampu menjadi imam atau guru
ngaji di masjid atau madrasah. Dan lebih dari itu dia harus mampu, menjadi teladan
(uswatun hasanah) di tengah masyarakat. Pesan ini mengisyaratkan pentingnya
pendidikan terpaduan antara dimensi sains (intelektualitas) dan spiritualitas
mahasiswa.21
Mahasiswa merupakan asset bangsa ini. Dengan kreatifitas serta inovasinya,
mahasiswa dapat berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat. Namun akan lebih
baik lagi jika kreatifitas dan inovasi itu diimbangi dengan sifat religius sehingga
tercipta hubungan yang baik antara manusia satu dengan manusia yang lain. Hal
demikian sangat dibutuhkan dalam kehidupan mahasiswa.
Menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru itu dihadapi dengan
menggunakan paradigma lama maka segala usaha yang dijalankan akan menemui
kegagalan. Begitu juga halnya dengan pendidikan Islam apabila ingin mendapatkan
keberhasilan otomatis harus didesain ulang supaya dapat menjawab perubahan serta
tantangan saat ini. Perubahan yang sedang terjadi saat ini adalah perubahan orientasi
manusia modern dari yang berorientasi materia kepada spiritual. Maksudnya, manusia
modern saat ini sudah jenuh dengan kehiduapnnya yang serba ada dalam bidang
material akan tetapi merasa kosong atau hampa di bidang spiritual.22
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, di mana manusia modern (termasuk
mahasiswa) telah mencapai puncak “orgasme” di berbagai aspek kehidupan khususnya
dan di bidang pemenuhan kebutuhan secara biologis-material, sementara ketentraman
dan kedamaian batiniah belum tercukupi, maka sudah saatnya pendidikan Islam
mampu menawarkan solusi alternatif. Ini dilakukan dengan cara mengawinkan antara
pendidikan Islam dengan spiritualitas.

Menjadi Mahasiswa yang Memiliki Kualitas Akademik yang Baik dan Integritas Moral
yang Tinggi
Mahasiswa, selama ini dianggap sebagai kelas khusus dalam masyarakat.
Selain karena jumlahnya yang sangat sedikit (tidak sampai 5 persen dari total

21
Mukodi, Pendidikan Islam Terpadu, Reformulasi Pendidikan di Era Global (Yogyakarta,
Magnum
22
Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan (Yogyakarta: SIPRES,
1996), 34.

50
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

penduduk Indonesia), jenjang pendidikan mahasiswa juga lebih tinggi dari kelompok
masyarakat lain. Mahasiswa dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih.
Karena itu, berbagai harapan ditumpukan masyarakat kepada mahasiswa.
Mahasiswa diharapkan menjadi agent of change, pemicu perubahan. Dengan
pengetahuan dan kemampuannya, mereka diharapkan oleh masyarakat untuk menjadi
pendobrak kejumudan, membongkar pola pikir anti-kemajuan, serta menawarkan
pemikiran baru dan segar untuk memajukan masyarakat. Mereka diharapkan menjadi
pelopor perubahan masyarakat. Mahasiswa, dengan idealisme yang dimiliki, juga
diharapkan menjadi kontrol pemerintah terhadap berbagai kebijakan tidak pro-rakyat.
Berbicara tentang mahasiswa ideal, tentunya tidak terlepas dari sosok atau
profil dan kriteria. Sosok mahasiswa ideal, adalah mereka yang mampu
mengintegrasikan pendidikan yang dipelajari dengan realitas masyarakat dimana
mereka dibesarkan. Dalam artian, mereka mampu memahami kegelisahan masyarakat
dan dengan kemampuan yang dimiliki, bisa melakukan perubahan, berjuang bersama
masyarakat. Dalam setiap gerak langkahnya, mereka senantiasa mendasarkan
perjuangan pada keyakinan agama yang dimiliki, sehingga segala sesuatu yang
dilakukan memiliki dasar atau landasan, baik secara keagamaan, secara intelektual, dan
ditujukan untuk kemanusiaan.
Mahasiwa yang memiliki Tipe Ideal of University Students adalah mahasiswa
yang bisa menggabungkan sisi akademik, sisi organisatoris dan worker menjadi satu.
Jadi di sisi akademik tetap terjaga, di sisi organisasi selalu ambil bagian, dan di sisi
workernya masih tetap jalan tanpa halangan yang berarti. Menurut pengamatan penulis
dan pengalaman menjadi mahasiswa, kita akan menemukan beberapa mahasiswa:
a. Sisi Akademik, adalah mahasiswa yang lebih mengutamakan kehidupan kuliah .
Namun sayangnya di sisi non Akademik misalnya, hubungan interaksi dengan dunia
luar biasanya kurang baik .
b. Sisi Organisatoris, adalah mahasiswa yang lebih menomorsatukan organisasi
dibandingkan kepentingan kuliah .
Mereka jarang sekali mengikuti kegiatan perkuliahan, ini disebabkan karena mereka
disibukkan dengan amanah dan tanggungjawab yang ada di organisasi. Mahasiswa
yang aktif dalam organisasi memiliki tingkat inteligensi yang rendah di sisi
Akademik .
c. Worker, adalah mahasiswa yang lebih mengutamakan pekerjaan / usahanya
dibandingkan masalah kampus ( kuliah dan organisasi ) .

51
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

Kehidupan perekonomian yang semakin sulit, berdampak pada cara berfikir


mahasiswa, untuk itu mereka mencari pekerjaan atau bahkan membuat usaha
sambilan. mahasiswa yang memiliki tipe worker biasanya mengalami kesulitan
dalam menaikkan motivasi diri agar aktif dan bersemangat kuliah .
Menurut beberapa mantan aktifis mahasiswa tahun 1980-an dan 1990-an,
diantara kriteria mahasiswa yang memiliki kualitas akademik yang baik dan integritas
moral yang tinggi yaitu:23
a. Dalam sisi perkuliahan dia adalah orang yang smart, rajin dan selalu aktif
kuliah .
b. Memiliki daya / kekuatan berdiskusi yang baik, tidak hanya menjadi pendengar
setia .
c. Memiliki daya intelegensi yang tinggi, berwawasan luas, dan bila ditanya
tentang bentuk –bentuk permasalahan yang ada di sekitarnya dia “ nyambung ”
d. Aktif dalam kegiatan organisasi .
a. Meskipun sibuk di kampus, tetapi dia masih sempat juga mencari nafkah .

Lebih lanjut Muhasim, mantan aktifis 1990-an mengungkapkan:

Proses belajar diantara sekat ruang kuliah saja dirasa tidak cukup mampu
untuk menggali besarnya potensi mahasiswa. Perlu pengembangan potensi diri
diluar ranah akademis yang disebut dengan soft skill. Keberadaan organisasi
kampus menjadi penting untuk menunjang pengembangan kemampuan non-
akademis mahasiswa. Berorganisasi dapat disama-artikan dengan belajar
mengasah kemampuan kepekaan terhadap sekitar dan meningkatkan
kepedulian dengan sesama sebagai bagian dari masyarakat yang terintegritas.
Banyak hal yang didapat dari organisasi. Melalui keikutsertaan dalam
organisasi, mahasiswa (secara bersama-sama) melakukan eksplorasi potensi
baik dalam hal kepemimpinan, publick speaking, kerja sama, dan banyak hal
positif lain yang membantu mahasiswa untuk lebih siap terjun dalam
masyarakat. Kelak, mahasiswa benar-benar mampu menjadi senyatanya agen
perubahan sosial yang aktif dan kontributif baik dalam tindakan maupun
pemikiran.24

Di sisi lain, terdapat beberapa kriteria mahasiswa yang memiliki kualitas


akademik yang baik dan integritas moral yang tinggi . diantaranya ialah :
a. Kriteria pertama disebut religiusitas. Mahasiswa ideal memiliki pemahaman
keagamaan yang kuat, sehingga nilai agama (baca: Tauhid) melandasi setiap
geraknya. Karena itu, tidak ada aktivitas tanpa niat beribadah kepada Allah.

23
Wawancara, H. Badrun, Salman dan Muhasim di Kampus IAIN Mataram, 21 Nopember
2013.
24
Wawancara, Muhasim, di Karang Baru, 23 Nopember 2013.

52
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

Kepasrahan total hanyalah kepada Allah, bukan kepada yang lain. Ini biasanya
mahasiswa yang terlibat dalam aktifis Lembaga Dakwah Kampus, KAMMI
b. Kriteria kedua adalah intelektualitas. Artinya segala tindakan dilaksanakan dengan
pengetahuan dan pemahaman atas tindakan tersebut. Basis intelektual ini penting
sehingga mahasiswa tidak terjebak pada pragmatisme gerakan. Intelektualitas tidak
saja sebatas apa yang dipelajari di kampus sesuai bidang studi masing-masing
mahasiswa. Tetapi mempelajari dan memahami ilmu dalam spektrum yang lebih
luas dan integral. Sehingga mahasiswa memiliki basis pemikiran yang kuat dan
mengakar dalam setiap tindakannya.
c. Kriteria ketiga adalah humanitas. Setiap aktivitas diarahkan demi kepentingan
kemanusiaan dan menjadi rahmat bagi semesta. Seorang intelektual, dengan segala
ilmu dan kelebihan yang dimiliki, tidak lantas duduk di belakang meja, menghitung
dan menganalisa berbagai rumus rumit di menara gading, tapi berjarak dari
masyarakat dan tidak mengerti realitas. Kelompok seperti ini disebut intelektual
tradisional. Kebalikannya adalah intelektual organik, yakni mereka yang terlibat
dalam proses-proses kebijakan publik atau isu yang berkembang dalam masyarakat.
Menurut kalangan ini, seorang intelektual harus memihak dan terlibat dengan
perjuangan rakyat.
Selanjutnya untuk mengembalikan keseimbangan intelektualitas mahasiswa
dengan spiritualitas, harus ada penekanan orientasi pendidikan berkarakter. Program
pembinaan karakter diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki ciri sikap
mental sebagai berikut:
(1) Menjunjung tinggi nilai agama, moral dan etika.
(2) memiliki rasa bangga dan cinta terhadap bangsa dan negara.
(3) menghayati nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan dan mengaplikasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
(4) Memiliki rasa ingin tahu (lively curiosity) yang rasional, kritis, dan independen
dalam memecahkan masalah-masalah masyarakat, bangsa dan negara.
(5) Memiliki sikap mental yang bangga kepada profesi dan ilmu masing-masing untuk
berperan sebagai agen perubah (agent of change) bagi kemajuan umat manusia.
(6) Menjadi pribadi yang memiliki kebiasaan yang sehat (healthy habits), terhindar dari
pengaruh radikalisme, eksklusifisme, obat terlarang, minuman keras, dan
pergaulan bebas.

53
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

(7) Mampu dan terampil untuk dapat berpikir, bertindak, dan menyampaikan gagasan
(be able to think for and express themselves) secara lisan maupun tulisan.
(8) Memperlihatkan sikap toleran dan hormat kepada dosen, tenaga administrasi, dan
civitas akademika lain, serta memiliki kemauan untuk berbagi dan membantu
orang lain.

Menimbang Religiositas Mahasiswa


Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk lebih dari 200juta jiwa.
Dengan banyaknya penduduk ini, Indonesia kaya akan berbagai suku, agama dan
budaya. Tentunya keanekaragaman ini merupakan aset bangsa yang harus dijaga
keutuhannya oleh seluruh rakyat Indonesia. Untuk itulah Indonesia memiliki suatu
dasar negara yaitu Pancasila untuk mengatur, melindungi dan mengayomi hak-hak dan
kewajiban atas keanekaragaman yang dimiliki bangsa ini. Berdasarkan dasar negara
yaitu Pancasila, negara Indonesia merupakan negara yang semua penduduknya wajib
dan bebas menganut suatu kepercayaan(agama). Bagi bangsa Indonesia religiuitas
merupakan hal yang sangat penting untuk membentuk karakakter bangsa, menjaga
batas-batas hukum/norma serta memberi harapan kepada Indonesia. Hal ini juga dapat
kita buktikan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa Indonesia mengakui atas berkat
rahmat Tuhan YME bangsa ini dapat merdeka.
Tidak kalah penting, untuk bersaing dalam era global ini bangsa Indonesia
memerlukan intelektualitas demi memajukan bangsa. Banyak sekali usaha yang telah
dibuat negara untuk mengembangkan intelektualitas rakyat, antara lain : pendidikan
wajib 9 tahun, progam bidik, pergantian kurikulum, dan sebagainya. Atas
berkembangnya intelektualitas ini, rakyat bangsa Indonesia telah banyak menciptakan
berbagai karya dan kreasi.25 Sebagai contoh bangsa Indonesia telah menciptakan
pesawat, mobil, sepeda dan lain-lain dengan usaha sendiri.
Namun tidak dapat dipungkiri selain hal-hal positif hasil intelektualitas juga
ada hal negatif. Dapat kita lihat sekarang banyak kasus korupsi, kebobrokan moral
pemuda, dan terorisme melanda bangsa Indonesia. Berbagai kerugian telah diterima
bangsa dan rakyat Indonesia karenanya. Jika hal ini berkelanjutan, lambat laun bangsa
ini akan hancur dan kembali menjadi tanah terjajah. Pastinya hal-hal negatif ini

25
Sebenarnya tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk bermalas-malasan dan tidak serius
dalam perkuliahannya, karena banyak sekali fasilitas yang sudah disediakan oleh internal kampus
maupun pemerintah dan masyarakat.

54
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

dipengaruhi oleh kelalaian manusia dan tidak seimbangnya antara Intelektualitas dan
religiuitas.
Intelektualitas dan religiuitas keduanya harus bekerja bersinergi (seimbang).
Beberapa contoh di atas, sudah kita ketahui bagaimana dampak apabila keduanya tidak
diseimbangkan maka bisa berakibat fatal. Religiuitas bagi seseorang sendiri bukanlah
untuk menjadi ahli pertapa, duduk termenung dan diam menikmati indahnya
spiritualitas. Sedangkan intelektualitas bagi seseorang sendiri bukanlah sebagai untuk
menjadi ilmuwan atau politikus yang senantiasa mengejar harta dan dunia. Untuk
menyeimbangkan Intelektualitas dan religiuitas seseorang harus berpikiran mengejar
harta atau dunia seakan-akan kita hidup untuk selamanya dan menyempurnakan
ibadahnya seakan-akan dia mati besok. Dengan cara ini, maka sudah dipastikan akan
terbentuk suatu keseimbangan yang melahirkan pribadi bertanggung jawab, jujur dan
bijaksana. Hal tersebut tentunya juga tidak bisa dilakukan secara spontanitas atau
dengan merubah aturan perundangan-undangan sesuai kelompok agama tertentu.
Karena nanti nya hanya akan menambah masalah dalam negara itu sendiri. Untuk
itulah perlu di tanamkan sedini mungkin dan akhirnya nanti pribadi seseorang sudah
terbiasa melakukan keseimbangan antara intelektualitas dan religiuitas.
Keseimbangan ini harus dimiliki oleh semua pemuda khususnya para
mahasiswa sebagai kalangan elit yang mempunyai derajat pendidikan lebih tinggi
dibanding pemuda lainnya. Mahasiswa tidak boleh hanya mengejar ilmu semata untuk
mencapai cita-citanya. Mereka juga harus menyeimbangkan dengan mengingat Tuhan
agar tidak melenceng ke arah yang menuju lembah kejahatan. Mahasiswa yang tidak
dapat menyeimbangkan intelektualitas dan religiuitas hanya akan menjadi penyakit
bagi bangsa ini. Sebagai contoh mahasiswa yang hanya mementingkan religiuitas, pada
masa ini banyak sekali info di berbagai media sosial bahwa mahasiswa yang terjerumus
kedalam dunia teroris. Mereka rela mengorbankan nyawa, menyampingkan belajar,
meninggalkan teman maupun keluarga, dsb. hanya demi embel-embel akan masuk
surga setelah mereka mati. Padahal itu semua adalah perbuatan yang ababil dan tidak
berperikemanusiaan. Mahasiswa seperti ini telah melupakan untuk apa sebenarnya
peran mereka menjadi seorang golongan terpelajar dan tujuan mereka untuk meraih
cita-cita. Sedangkan mahasiswa yang hanya mementingkan intelektualitas akan lebih
merugikan banyak rakyat Indonesia. Akibat dari mementingkan belajar dan belajar
mereka melupakan apa tujuan mereka diciptakan oleh Tuhan YME. Mahasiswa seperti

55
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

ini lambat laun akan menjadi bibit-bibit penjahat yang menghianati bangsa dan
negaranya demi harta dan tahta.
Dalam praktek kehidupan sehari-hari seorang mahasiswa harus melakukan
kesadaran diri dengan mengindahkan nilai-nilai religiuitas untuk selalu digunakan
sebagai basis pertimbangan moral dalam melakukan suatu tindakan dan intelektualitas
untuk mendapat kalkulasi analitis dalam mempertimbangkan akibat-akibat positif
negatif tindakan mereka. Jika hal ini terpenuhi niscaya kehidupan bangsa dan negara
Indonesia akan disegani oleh bangsa lain dalam persaingan di era global. Dan yang
terpenting perdamaian antar dunia pun akan terwujud bila semua mahasiswa mampu
menerapkan keseimbangan ini. Sebagai aset bangsa yang paling berharga mahasiswa
merupakan generasi penerus yang dipundaknya membawa masa depan kehidupan
bangsa dan negara. Hancur dan berjayanya negara ini bergantung pada para pemuda
khususnya mahasiswa sebagai golongan elit terpelajar. Untuk itulah keseimbangan
antara intelektualitas dan religiuitas sangat diperlukan dalam kehidupan mahasiswa
supaya nantinya mereka mampu membedakan apa yang baik dan buruk agar mereka
bisa menyumbangkan hasil terbaik kepada agama, bangsa serta negaranya.

Mengembalikan Idealisme dan Identitas Mahasiswa


Relatif berbeda dengan masa lalu, saat dimana kampus selalu menjadi satu
suara untuk rakyat, baik itu birokrat, dosen maupun mahasiswanya. Pergeseran tradisi
pembelajaran secara signifikan kini telah berhasil menutup ruang-ruang kreatifitas
mahasiswa dalam membangun pergerakan akibat sempitnya kesempatan aktualisasi.
Birokrat kampus malah menjadi musuh bersama karena menjadi kaki tangan tirani. Tak
jarang juga terjadi, sebagian dosen, bahkan akhirnya menjadi rival bagi mahasiswa,
khususnya dalam proses yang menunjukkan keberpihakannya terhadap pembelaan
mahasiswa atas realitas sosial yang terjadi, saat diperhadapkan dengan kepentingan
akademik yang diasuhnya. Kondisi ini semakin diperparah oleh menjangkitnya ideologi
kapitalisme dalam benak sebagian besar masyarakat kita. Budaya instan menjadi warna
harian yang selalu kita saksikan, menyerang siapa saja, tak terkecuali mahasiswa.
Hampir seluruh sendi-sendi masyarakat digerogoti virus yang bernama materialisme,
termasuk dunia mahasiswa.
Realitas yang ada mengkondisikan terjadinya dialektika. Dalam posisinya
kini, mahasiswa diperhadapkan pada pilihan-pilihan yang secara meyakinkan – apapun
pilihannya – akan banyak menentukan warna hidupnya ke depan. Berada pada

56
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

persimpangan, saat mana beragam kebutuhan individual dan desakan lingkungan


menari-nari di depan mata. Mulai dari desakan orang tua sebagai penyandang dana
terbesar hingga tuntutan peraturan akademik yang membatasi lama masa kuliah. Juga
tak luput, tekanan psikologis yang terbangun akibat desakan sosial yang sangat
“mendewakan” mahasiswa serta kebutuhan individual akan kontekstualisasi idealisme
yang dipahami. Kemampuan berdialektika mahasiswalah yang akan banyak
mempengaruhi apa dan sejauh mana pilihan yang diambilnya.
Untuk melakukan perbaikan, tentu menjadi sesuatu yang mendasar untuk
memulainya dari mahasiswa itu sendiri. Pasti tidak semua mahasiswa memiliki
karakter yang suka tawuran atau meminta “jatah”. Masih ada mahasiswa yang tetap
berupaya untuk menjaga idealisme kemahasiswaannya, mereka inilah yang selayaknya
bangkit dan bergerak untuk membersihkan mahasiswa dari anasir-anasir negatif.
Seharusnya, mahasiswa harus punya peran sebagai intelektual yang akan
melakukan perbaikan akan realitas negatif yang diderita masyarakatnya, maka mereka
seharusnya memperbaiki realitas negatif dalam dirinya terlebih dahulu. Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya secara bershaf seakan-
akan mereka bagai bangunan yang kokoh (Q.S Ash Shaf: 4)”
Seperti seruan Edward W. Said kepada kaum intelektual dalam bukunya The
Treason of The Intellectuals bahwa mereka “harus selalu memulai perlawanan di
rumahnya sendiri, melawan kekuasaan yang dapat dipengaruhinya sebagai warga
negara. Ini berarti bahwa seorang intelektual harus menjadi orang-orang yang berdiri,
berpihak dan berjuang di jalan kebenaran, membela kepentingan orang banyak dan
untuk menegakkan kebenaran. Edward W. Said. Dalam bukunya The Public Role of
Writers and Intellectuals, Said mengatakan bahwa intelektual bertugas untuk
mempersoalkan kebenaran, menjadi saksi penganiayaan dan penderitaan, dan
menyampaikan suara penolakan (dissenting voice) dalam konflik-konflik dengan yang
berkuasa.
Intelektual bertugas untuk menyingkap selubung gelap kebenaran dan
bukannya terlibat untuk turut makin mengaburkan makna kebenaran dari batin rakyat.
Mengungkap kebenaran, sebagaimana kata Martin Heidegger adalah “pengungkapan
dari sesuatu yang menjelaskan, memastikan, dan menguatkan rakyat dalam tindak dan
pengetahuannya”.

57
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

Membangun Harapan, Mendefenisi-aktualkan Identitas


Sebagai insan akademik, kita masih meyakini bahwa perubahan merupakan
keniscayaan untuk lebih baik meskipun tidak selamanya akrab berakhir menjadi “baik”
– seperti yang diharapkan. Ketidakmampuan menentukan pilihan dan memikul
konsekuensi atasnya, membuat mahasiswa saat ini terjebak dalam keterpurukan, larut
dalam euphoria dan nostalgia historis akan kebesaran nama. Sebuah fenomena
psikologis yang dikenal sebagai syndrome megalomania. Padahal, dalam teori
perubahan apa pun, selalu dikatakan bahwa perubahan sosial akan selalu diiringi
dengan respon-respon sosial yang banyak berakhir pada perubahan paradigmatik.
Kultur sosial menjadi sasaran yang paling empuk dari sebuah proses transformasi.
Yang terjadi saat ini dalam dunia kemahasiswaan adalah perubahan paradigma tentang
seperti apa sesungguhnya yang “ideal” tentang mahasiswa dan bagaimana meraihnya.
Tak ayal, benturan-benturan kultural menjadi sangat memungkinkan terjadi yang – jika
mahasiswa tidak siap menghadapinya – akan berpengaruh signifikan dalam
menghegemoni proses transformasi idealitasnya.
Sebenarnya ini telah dan tengah berlangsung dalam dinamika kemahasiswaan
sekarang. Pergeseran “identitas” akhirnya menempatkan mahasiswa dalam posisi
“perbatasan”, sehingga cenderung menampakkan dirinya sebagai entitas tanpa
identitas yang jelas. Tarik-menarik terjadi, mengisi ruang-ruang ekspresi yang miskin
makna, bahkan cenderung menjadi sulit dibedakan : antara idealisme dan pragmatisme.
Padahal, justru dengan identitaslah, mahasiswa menjadi jelas arah dan orientasi
eksistensialnya. Istilah “identitas yang abu-abu” yang menjadi label mahasiswa saat
ini, menjadi gamang dimengerti. Bahkan seakan tak berlebih menyebutnya sebagai
generasi “tanpa identitas” atau ber-”identitas tiruan”.
Menjadi perlu melakukan re-identitasi, khususnya saat mahasiswa berada pada
titik persimpangan yang sarat pilihan. Lebih realistis dalam membangun pahaman,
mungkin akan banyak mendukung untuk menemukan proporsionalitas gerakan.
Menghindari keterjebakan pada kultur baru menuntut komitmen tinggi dari kalangan
mahasiswa untuk mulai mengatakan: Kami adalah Kritikus Kehidupan!”.
Konsekuensinya, dalam keterbatasan ruang ekspresi, kreativitas menjadi niscaya
dihadirkan sebagai alat agar dapat bertahan eksis. Saya kira, memberi waktu sejenak
bagi jiwa-dalam diri mahasiswa-untuk memanggil suara hati yang fitrah,26 dapat

26
Konsep fitri/fitroh inilah yang (dalam pembahasan selanjutnya) akan membedakan beberapa
pandangan tentang manusia dalam kajian psikologi dan ilmu lainnya, struktur Fitroh merupakan struktur

58
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

dilakukan untuk menyegarkan kembali “ingatan-ingatan” primordial tentang seperti


apa hidup dan bagaimana menjalaninya sebagai khalifah. Dan bukankah Allah
menjadikan kita (termasuk mahasiswa) untuk menjadi khalifah. Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya kau hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi”. 27
Menyadari secara kontekstual tanggung jawab setiap manusia, bisa merunut
tradisi ideal yang menjadi identitas mahasiswa yang sebenarnya. Syaratnya,
memerdekakan diri berikut pemikiran mahasiswa dari jebakan penjajahan ideologis,
harus diikhtiarkan sedini mungkin. Dialektika menuntut adanya kesediaan dialogis
yang terbangun dari pribadi-pribadi sadar.

Bagaimana dengan Nilai Keagamaan Mahasiswa?


Salah seorang dosen IAIN Mataram, M. Zaidi Abdad dalam berbagai
kesempatan diskusi dengan peneliti mengungkapkan:“Saat ini, perlu menjadi perhatian
bagi kita semua, terutama kalangan mahasiswa bahwa telah terjadi pergeseran nilai
keagamaan di tengah-tengah kita,” ujarnya. Dia berpesan, mahasiswa harus terus
meningkatkan pemahaman keagamaan melalui kegiatan keagamaan di kampus.
Kehidupan kampus yang berbasiskan keislaman ini hendaknya diwarnai dengan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang dapat membawa manfaat dalam peningkatan
pemahaman agama di kalangan mahasiswa.28
Lebih lanjut dosen senior Fakultas Dakwah IAIN Mataram mengemukakan:
Berbagai program harus dicanangkan dalam mendukung upaya peningkatan
keimanan mahasiswa (i) IAIN Mataram, antara lain Program Kampus Islami
yakni seluruh aktifitasnya didasarkan pada nilai-nilai iman, ibadah, ilmu,
keterampilan dan moral, sehingga semua aspek kehidupan yang ditampilkan
civitas akademika IAIN Mataram diorientasikan untuk meningkatkan kualitas
ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT. Mahasiswa IAIN Mataram harus
memadukan dimensi fikir, zikir dan amal shalih secara integratif. Itulah identitas
sebagai mahasiswa IAIN Mataram. Sekarang ini kita lihat mahasiswa, sebagian
besar kelihatan jauh dari nilai-nilai identitas keagamaan mereka. Walaupun ada
mata kuliah akhlak, namun semua program tersebut, tampaknya masih dalam
bentuk pencerdasan akal dan belum maksimal membentuk mahasiswa (i)
berkarakter dan berakhlakul karimah. Dengan begitu, mahasiswa (i) masih

yang mencakup keseluruhan komponen manusia yang dapat berbentuk psikis atau juga bisa berbentuk
komponen psikofisik dan memiliki natur multi dimensi dan multi potensi. Lihat Abdul Mujib, Fitrah dan
Kepribadian Islam: Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta: Darul Falah, Cet. I, 2000), 5.
27
Al-Baqarah: 30.
28
Diskusi dengan M. Zaidi Abdad dalam berbagai kesempatan

59
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

membutuhkan pembinaan keimanan dan pengembangan karakter untuk


memahami ajaran agama Islam dengan baik.29

Nilai-nilai kebenaran ilmiah yang didapatkan mahasiswa dibangku kuliah


kemudian melandasi cara berpikir dan bertindak mahasiswa termasuk dalam menyikapi
kondisi sosial masyarakat. Nilai-nilai kebenaran ilmiah ini kemudian melahirkan suatu
“Idealisme Mahasiswa”. Konsekuensi logis dari idealisme mahasiswa ialah
tanggungjawab sebagai seorang yang menuntut ilmu harus mengamalkan ilmunya dan
itulah yang melandasi pola relasinya di kampus dengan civitas akademika yang ada.
Pentingnya menuntut ilmu bagi manusia adalah agar mereka mengetahui tentang
sesuatu yang belum mereka ketahui sebelumnya. Akan tampak berbeda, seseorang
yang benar-benar berilmu dengan seseorang yang tidak berilmu. Allah SWT sendiri
telah memberikan sugesti tentang perbedaan sosok orang yang berilmu dengan orang
yang tidak berilmu: “apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang
yag tidak mengetahui?” (Qs. Az-Zumar 39: 9). Perbedaan itu sangat jelas, baik dalam
ucapan maupun sikap yang mewarnai pribadi seseorang. Seseorang yang berilmu akan
menggunakan akal untuk berfikir, dan itu tidak akan dilakukan oleh orang yang tidak
mengerti akan ilmu.
Bagi sebagian mahasiswa, ilmu yang mereka peroleh itu menjadi payung
mereka untuk berperilaku. Misalnya, Awaludin seorang mahasiswa di UKM
memberikan contoh bagaimana menyadarkan teman-temannya tentang perlunya
kegiatan keagamaan bagi mahasiswa. pertama Kegiatan spiritual seperti tahlilan,
istighosahan, hiziban dan dibaa’an menjadi budaya yang tetap dijunjung
tinggikeberadaannya. Kedua, perilaku keagamaan yang tetap dijalankan tidak sebatas
kegiatan spiritual saja tetapi juga lebih pada penanaman moral yang baik dengan
budaya saling mengingatkan satu sama lain ketika terjadi perilaku yang kurang sopan
seperti berkata kotor, bermain gitar dan bernyanyi dengan keras saat adzan
berkumandang, dan sebagainya.

SIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan: pertama, dalam
kehidupan modern yang serba pragmatis dan rasional, manusia termasuk mahasiswa
menjadi lebih gampang kehilangan keseimbangan, mudah kalap, dan brutal serta
terjangkiti berbagai penyakit kejiwaan. Akhirnya manusia hidup dalam kehampaan

29
Wawancara, L. Sohimun Faisal, di Kampus IAIN Mataram, 25 September 2013.

60
Pergeseran Identitas (Sri Banun Muslim, Nashuddin, Masnun Tahir)

nilai, kegalauan identitas dan merasa miskin makna hidup. Ketika itu agama dan
semangat religiositas hadir untuk memberikan makna. Ibarat orang tengah kepanasan
dan kehausan di tengah padang sahara, agama dapat berfungsi sebagai langit pelindung
yang memberikan keteduhan dan kesejukan. Agama dapat menyatukan elemen-elemen
yang tercerai berai dalam kehidupan manusia. Agama dapat memberikan suasana
penuh arti dan suci dalam kehidupan yang serba profan.
Kedua, mahasiswa yang digambarkan sebagai sosok yang muda, berintelektual
dan kritis seakan semakin luntur dari waktu ke waktu. Hal seperti ini terjadi karena
adanya kegagalan pemahaman peran dan fungsi mahasiswa yang telah keluar dari
koridor. Kegagalan pemahaman tersebut terlihat dari adanya penyimpangan sikap,
gaya hidup, pencapaian cita-cita yang tinggi tanpa didasari usaha nyata dan integritas
kehidupan mahasiswa yang tidak lagi mencerminkan dan tidak terarah terhadap
perjuangan mahasiswa itu sendiri.
Ketiga, Mahasiswa saat ini seakan lupa siapa dirinya dan untuk apa mereka
mengenyam pendidikan sampai level paling tinggi di dunia pendidikan. Pola pikir
semacam ini wajar adanya karena memang perubahan zaman yang luar biasa pada saat
ini. Paham-paham seperti ini semakin tumbuh berkembang dalam diri mahasiswa
seiring dengan pencarian jati dirinya. Bahkan sampai dengan saat ini masih ada
mahasiswa yang bingung tentang jati dirinya dan kebingungan dalam menentukan arah
kehidupan selanjutnya.

Daftar Pustaka
Ali, Muhamad. 2003. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan
Menjalin Kebersamaan. Jakarta. Penerbit Buku Kompas.
Haedar Nasir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
IAIN Mataram , Pedoman Umum, Mataram, 2007.
-------------. Kode Etik Mahasiswa IAIN Mataram, Mataram, 2011.
Irawan, Prasetyo; Suciati; IGK Wardani. 1996. Teori Belajar, Motivasi dan
Keterampilan Mengajar.Jakarta. PAU-UT.
Hanna Djamhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997.

61
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 10, No. 2, Juli 2014

Joni, Raka, T. 1980. Strategi Belajar-Mengajar Suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta.


P3G.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultural. Yogyakarta. LKiS.
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LkiS, 2008.
Mukodi, Pendidikan Islam Terpadu, Reformulasi Pendidikan di Era Global
Yogyakarta, Magnum, 1990.
-------------. Pendidikan Islam Terpadu; Reformulasi Pendidikan Islam di Era
Global,Yogyakarta: Magnum, 2010.
Sainun dan Ahmad Sulhan (ed), Antologi Hasil Penelitian Pengembangan
Kelembagaan dan Sosial Keagamaan, Lemlit IAIN Mataram, 2011.
Syamsul Arifin, Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan, Yogyakarta: SIPRES,
1996.
TGH. M. Shaleh Hambali Bengkel, Ta’limush Shibyan Bighayatil Bayan: Pengantar
Studi Islam, terj. Adi Fadli: IAIQH Press, 2012.
UIN Sunan Kalijaga, Sukses di Perguruan Tinggi, Yogyakarta: 2012.
Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1998.

62

Anda mungkin juga menyukai