Anda di halaman 1dari 28

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah penyakit berbasis lingkungan tentang penyakit menular melalui udara
yang kami beri judul “Difteri ”.
Adapun makalah penyakit berbasis lingkungan ini telah kami usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan banyak pihak, sehingga dapat
memperlancar proses pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami juga ingin
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah penyakit berbasis lingkungan
ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan. Akhir kata kami
berharap semoga makalah penyakit berbasis lingkungan ini dapat memberikan
manfaat terhadap pembaca.

Surabaya, 12 April 2017


Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................2
1.3 Tujuan........................................................................................................2
1.4 Manfaat......................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
2.1 Definisi Penyakit.......................................................................................3
2.2 Agent.........................................................................................................3
2.3 Gejala Penyakit..........................................................................................5
2.4 Masa Inkubasi............................................................................................7
2.5 Epidemiologi.............................................................................................8
2.6 Cara Penularan.........................................................................................11
2.7 Sumber Penularan....................................................................................11
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran dan Penularan.........................12
2.9 Siklus Hidup Agent.................................................................................14
2.10 Metode Pengendalian..............................................................................14
BAB III..................................................................................................................25
3.1 Kesimpulan..............................................................................................25
3.2 Saran........................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan Difteri dapat melalui kontak
hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier atau penderita
yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah
Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan
dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita Difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus Difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, Difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak muda.
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting,
karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah
satu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di
Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit
menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era
vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan
penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak

1
vaksin Difteri ditemukan dan imunisasi terhadap Difteri digalakkan, jumlah
kasus penyakit dan kematian akibat kuman Difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit Difteri mulai jarang dijumpai.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa itu penyakit Difteri
1.2.2 Apa agent dari penyakit Difteri
1.2.3 Bagaimana gejala dan gambaran klinis penyakit Difteri
1.2.4 Bagaimana masa inkubasi penyakit Difteri
1.2.5 Bagaimana epidemiologi penyebaran penyakit Difteri
1.2.6 Apa sumber penularan penyakit Difteri
1.2.7 Bagaimana cara penularan penyakit Difteri
1.2.8 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran dan
penularan penyakit Difteri
1.2.9 Bagaimana siklus hidup agent penyakit Difteri
1.2.10 Bagaimana metode pengendalian penyakit Difteri

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui penyebab penyakit Difteri
1.3.2 Mengetahui cara penularan penyakit Difteri
1.3.3 Mengetahui gejala dan gambaran klinis penyakit Difteri
1.3.4 Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit Difteri

1.4 Manfaat
1.4.1 Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk menambah ilmu
pengetahuan tentang penyakit Difteri
1.4.2 Makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah ilmu
pengetahuan tentang penyakit Difteri

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Penyakit


Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit
serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas
disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak
sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan
daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada Difteria faucial
atau pada Difteri faring otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang
membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai
dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan pembentukan membran
pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis Difteri.
Bentuk lesi pada Difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan
dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari
impetigo (Kadun, 2006).

2.2 Agent
Klasifikasi Corynebacterium diphtheria
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : C. diphtheria

Penyebab penyakit Difteri adalah Corynebacterium diphtheria


.Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul.

3
Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat
mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin Difteri ini, karena mempunayi
efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari
Corynebacterium diphtheria ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type
gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik
fakultatif dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora,
dan tak bergerak. Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu
gravis, mitis, dan intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran
pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang
normal yang membawa bakteri. Bakteri yang berada dalam tubuh akan
mengeluarkan toksin yang aktivitasnya menimbulkan penyakit Difteri.
Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan, terutama terutama
laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali diderita oleh bayi
dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan pemberian
antitoksin Difteri untuk menetralkan racun Difteri, serta eritromisin atau
penisilin untuk membunuh bakteri Difteri. Sedangkan untuk pencegahan
bisa dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara
bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.
Corynebacterium diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang
tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput
mukosa (Depkes,2007).
Morfologi Corynebacterium diphtheria
o Gram (+) batang, panjang/pendek, besar/kecil, polymorph, tidak
berspora, tidak berkapsul, tidak bergerak, bergranula yang terletak di
salah satu atau kedua ujung badan bacteri.
o Pada pewarnaan menurut Neisser, tubuh bacteri berwarna kuning atau
coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet (meta
chromatis).

4
o Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari
pasien, letanya bakteri seperti huruf – huruf L, V, W, atau tangan
yang jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar /
paralel / palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Corynebacteria berdiameter 0,5-1 μm dan panjangnya beberapa
mikrometer, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan
tidak tahan asam. C. diphtheriae bersifat anaerob fakultatif, namun
pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Pembiakan kuman
dapat dilakukan dengan perbenihan Pai, perbenihan serum Loeffler atau
perbenihan agar darah. Pada perbenihan-perbenihan ini, strain mitis bersifat
hemolitik, sedangkan gravis dan intermedius tidak. Dibanding dengan
kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap
pengaruh cahaya, pengeringan dan pembekuan. Namun, kuman ini mudah
dimatikan oleh desinfektan. Ciri khas bakteri ini adalah pembengkakan
tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti
”gada”. Di dalam batang tersebut (sering di dekat ujung) secara tidak
beraturan tersebar granula-granula yang dapat diwarnai dengan jelas dengan
zat warna anilin (granula metakromatik) yang menyebabkan batang tersebut
berbentuk seperti tasbih. Tiap korinebakteria pada sediaan yang diwarnai
cenderung terletak paralel atau membentuk sudut lancip satu sama lain.
Percabangan jarang ditemukan dalam biakan.

2.3 Gejala Penyakit


Penyakit Difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian
atas. Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan,
yang berupa reaksi radang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah
melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu
terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembran).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarang kuman Difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin
yang memberikan gejala-gejala dan miyocarditis. Penderita yang paling
berat didapatkan pada Difteri fauncial dan faringeal (Depkes,2007).

5
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat
yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung) paralisis
(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Disamping itu, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala
yang dirasakan pasien:
a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek dengan
ingus yang bercampur darah. Prevalesi Difteri ini 2 % dari total kasus
Difteri. Bila tidak diobati akan berlangsung mingguan dan merupakan
sumber utama penularan.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala radang
akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat celsius, nadi
yang cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar
leher. Pada Difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih
keabu abuan kotor didaerah rongga mulut sampai dengan dinding
belakang mulut (faring).
c. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala tidak
bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40
derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan
kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan Difteri paling berat karena
bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan gejala
berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri,
pada Difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.

2.4 Masa Inkubasi


Kuman Difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata

6
atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di
sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan
peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan
bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan
pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi Difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk
tujuan klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan Difteri menjadi
beberapa manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
a. Anterior nasal Difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan
hidung mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin
darah menjadi kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan
sistemik toksin di lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh
antitoksin dan terapi antibiotik.
b. Pharyngeal dan Difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah
infeksi faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit
tenggorokan, anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien
bisa sembuh jika toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi
cepat, pingsan, koma, dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai
10 hari. Pasien dengan penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya
edema pada daerah submandibular dan leher anterior bersama dengan
limfadenopati.
c. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.
Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong.
membran dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan
kematian.
d. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit
dapat terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran

7
yang jelas. Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari
konjungtiva dan daerah vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.

2.5 Epidemiologi
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di
dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus Difteria
pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan
pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan
Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic Difteria masih terjadi dan menjalar
ke negara-negara tetangga.
Sebelum era vaksinasi, Difteria merupakan penyakit yang sering
menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program
imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian
akibat Difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%,
sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki
yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS),
Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata
sebesar 15%.
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang
remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996
terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun
1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus Difteria dengan kematian 1100 kasus
(CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di
Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus
sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.
Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus Difteri dilaporkan CDC Nasional
dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%)
menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di
kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah
seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara
dengan penyakit endemic. Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia
berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa
Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. Dari wabah ini mayoritas kasus telah

8
terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena,
banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak
atau dosis booster toksoid Difteri.
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung,
Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka
yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien Difteria, terdapat
45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4%
usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB Difteria di kota Semarang
pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia
15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Khusus provinsi Sumatera
Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus Difteri cenderung terjadi
penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada
tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan
provinsi terbesar kedua untuk kasus Difteri pada tahun 2008.
Meskipun Difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika
Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling
umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak.
Epidemiologi Distribusi Frekuensi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering
menyerang anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita Difteri
umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Selama permulaan
pertama dari abad ke-20, Difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5
juta kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran
anak akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran
anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1
akan menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah

9
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan
vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit Difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi Difteri diberikan pada anak-anak
untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang
penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin Difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan
ini.
3. Time (Waktu)
Penyakit Difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh
kita tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu
kuman akan berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit
Difteri.
Trias Epidemiologi Difteria
0 Host
Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi
Corynebacterium dhiptheriae. Terjadinya penyakit dan kematian yang
tertinggi ialah pada anak –anak berusia 2 sampai 5 tahun. Pada orang
dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah.
1 Agent
Corynebacterium diphtheria
2 Environment
Penyakit ini dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan diri sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan
buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.

2.6 Cara Penularan


Cara penularan penyakit Difteri melalui cara penularan tidak
langsung, antara lain merupakan salah satu jenis airborne diseaase, bakteri
terpercik terbawa dalam droplet ketika penderita atau karier bersin, batuk
atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa beberapa peralatan,

10
seperti ketika droplet terbawa saluran pemanas atau pendingin ruangan
dalam gedung atau disebarkan melalui kipas angin ke seluruh bangunan atau
kompleks bangunan.

2.7 Sumber Penularan


Secara epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit Difteri atau
disebut juga reservoir adalah manusia (baik penderita maupun karier).
Menurut data di negara endemis Difteri 3%-5% individu sehat mengandung
bakteri Difteri di tenggorokan mereka.

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran dan Penularan


Faktor host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya
adalah umur, jenis kelamin, status imunisasi, status gizi dan staus sosial
ekonomi, juga perilaku.

a. Umur: Umur merupakan faktor host yang terpenting dalam munculnya


penyakit. Hal ini berhubungan dengan kerentanan yang ada pada host
yang dipengaruhi faktor umur. Ada beberapa penyakit yang dominan
menyerang pada kelompok anak-anak umur tertentu atau sebaliknya ada
yang hanya menyerang pada golongan umur lanjut usia. Menurut
sejarah Difteri masih merupakan penyakit utama yang menyerang masa

11
anak-anak, populasi yang dipengaruhi adalah usia dibawah 12 tahun.
Bayi akan mudah terserang penyakit Difteri antara usia 6 – 12 bulan
setelah imunitas bawaan dari ibu melalui transplasenta menurun.
Penyakit Difteri banyak menyerang kelompok umur anak-anak.
Sementara menurut data CDC’s National Notifiable Diseases
Surveillance System, mayoritas kasus Difteri (77%) berusia antara 15
tahun atau lebih tua, 4 dari 5 kematian terjadi pada anak yang tidak
divaksinasi. Namun setelah dilakukannya program imunisasi kasus
Difteri pada anak-anak menurun secara drastis. Bahkan pada saat ini
Difteri telah bergeser pada populasi remaja dan dewasa.
b. Status Imunisasi : Sebagaimana kita mafhum, faktor imunitas sangat
berpengaruh pada timbulnya suatu penyakit, termasuk Difteri. Sistem
imunitas yang terbentuk pada tubuh seseorang ada yang didaptkan
secara alamiah atau buatan. Untuk imunitas alamiah ada yang bersifat
aktif yaitu imunitas yang diperoleh karena tubuh pernah terinfeksi agent
penyakit sehingga tubuh memproduksi antibodi dan bersifat dan
bersifat tahan lama. Imunitas alamiah pasif adalah imunitas yang
dimiliki bayi yang berasal dari ibu yang masuk melalui plasenta,
imunitas seperti ini tidak tahan lama dan biasanya akan menghilang
sebelum 6 bulan. Imunitas dapatan juga ada yang bersifat aktif yaitu
jika host telah mendapat vaksin atau toksoid, sedangkan imunitas
dapatan pasif jika host diberi gamma globulin dan berlangsung hanya 4-
5 minggu.
Vaksin dapat melindungi dari infeksi dan diberikan pada masa bayi.
Pemberian imunisasi pada sebagian besar komunitas akan menurunkan
penularan penyebab penyakit dan mengurangi peluang kelompok rentan
untuk terpajan agen tersebut. Imunisasi selain dapat melindungi
terhadap infeksi akan memperlambat laju akumulasi individu yang
rentan terhadap penyakit tersebut.
Terbentuknya tingkat imunitas di kelompok masyarakat sangat
mempengaruhi timbulnya penyakit di masyarakat, dengan terbentuknya
imunitas kelompok, anak yang belum diimunisasi akan tumbuh menjadi

12
besar atau dewasa tanpa pernah terpajan oleh agen infeksi tersebut.
Akibatnya bisa terjadi pergeseran umur rata-rata kejadian infeksi ke
umur yang lebih tua.
c. Faktor status gizi dan sosial ekonomi : Faktor sosial yang terkait erat
dan berkontribusi besar dalam penyebaran Difteri adalah kemiskinan
yang terkait dengan aspek kepadatan hunian dan rendahnya hygiene
sanitasi kulit. Terdapat hubungan yang saling terkait antara asupan gizi
dan penyakit infeksi. Pasa satu sisi penyakit infeksi menyebabkan
hilangnya nafsu makan, sehingga asupan gizi menjadi berkurang,
sebaliknya tubuh sedang memerlukan masukan yang lebih banyak
sehubungan dengan adanya destruksi jaringan dan suhu yang meninggi,
hingga anak dalam malnutrisi marginal menjadi lebih buruk
keadaannya. Keadaan gizi yang memburuk menurunkan daya tahan
terhadap infeksi sehingga akan lebih cepat menjadi sakit. Sementara
berkurangnya antibodi dan sistem imunitas akan mempermudah tubuh
terserang infeksi seperti; pilek, batuk dan diare.
d. Faktor Perilaku: Kebiasaan yang dilakukan sehari-hari yang dapat
mempengaruhi terjadinya penularan atau penyebaran penyakit Difteri
adalah sebagai berikut : tidak menutup mulut bila batuk atau bersin
sehingga mempermudah penularan penyakit pada orang lain,
membuang ludah/dahak tidak pada tempatnya, tidak membuka jendela,
mencuci alat makan dengan bersih, memakai alat makan

2.9 Siklus Hidup Agent


Center for Disease Control and Prevention (CDC) menggambarkan
difteri sebagai penyakit saluran napas atas yang ditandai dengan sakit
tenggorok, demam tidak terlalu tinggi dan adanya membran pada tonsil,
faring, dan atau hidung. Difteri berkembang secara cepat, akut meliputi
gejala lokal dan sistemik. Lesi lokal di saluran napas atas termasuk luka
nekrosis sel epitel. Sebagai hasil luka adalah terjadinya pendarahan dan
terbentuk benang-benang fibrin yang berhubungan dengan pertumbuhan
Corynebacterium diphtheriae secara cepat. Jaringan membran ini disebut

13
pseudomembran yang menutupi permukaan lesi menyebabkan respiratory
ditress, bahkan kematian.
Di alam, Corynebacterium diphtheriae terdapat dalam saluran
pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang
normal yang membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau
kontak dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput
mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.
Pembentukan toksin ini secara in vitro terutama bergantung pada kadar besi.
Pembentukan toksin optimal pada kadar besi 0,14 μg/ml perbenihan tetapi
benar-benar tertekan pada 0,5 μg/ml. Faktor lain yang mempengaruhi
timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik, kadar asam amino, pH,
dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang cocok.

2.10 Metode Pengendalian


a. Cara Pencegahan
1. Isolasi Penderita
Penderita Difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan
setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak
terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
2. Imunisasi
Imunisasi termasuk pencegahan primer. Pencegahan
dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (Difteria,
pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (Difteria,
tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
Upaya pencegahan Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) yang salah satunya adalah Difteri.
Tujuan Umum dari upaya PD3I Difteri yaitu untuk
menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
penyakit Difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I
Difteri yaitu antara lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan
swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja

14
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan
rantai vaksin dan alat suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS)
untuk menentukan prioritas kegiatan serta tindakan
perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga
profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi
yang lebih efektif berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

3. Pencarian dan kemudian mengobati karier Difteria


Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif
(mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka
harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan
Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila
perlu dilakukan tonsilektomi.
4. Penanganan Pada Penderita
1. Isolasi
Penderita diisolasi sampai masa akut terlampaui dan
biakan usap tenggorok negatif 2 kali berturut-turut
(Soedarmo et al., 2002). Penderita tetap bersifat menular
hingga basil-basil Difteri tidak berhasil dibiakkan dari
tempat infeksi; jika hasil negatif, penderita sudah bisa di
bebaskan dari isolasi (Nelson, 1992).
2. Pengobatan
 Antitoksin
Antitoksin diberikan segera setelah dinyatakan
diagnosis Difteri. Dengan pemberian antitoksin di hari
pertama, angka kematian penderita kurang dari 1%.
Jika penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian
bisa meningkat sampai 30%. Dosis serum anti Difteri
(ADS) ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung dengan berat
badan penderita, berkisar antara 20.000-120.000 KI
(Soedarmo et al., 2002).

15
 Antibiotik :
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti
antitoksin, melainkan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Corynebacterium
diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen in
vitro, termasuk penisilin, eritromicin, klindamisin,
rifampin dan tetrasiklin. Penisilin dan eritromisin
merupakan obat yang dianjurkan; eritromisin sedikit
lebih unggul daripada penisilin untuk pemberantasan
pengidap nasofaring. Terapi yang tepat adalah
eritomisin yang diberikan secara oral atau parental (40-
50 mg/kg/24 jam; maksimum 2 gr/24 jam). Terapi
diberikan selama 14 hari. Beberapa penderita dengan
Difteri kulit diobati selama 7-10 hari. Lenyapnya
organisme harus didokumentasi sekurangkurangnya 2
biakan berturutturut dari hidung dan tenggorok (atau
kulit) yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai
terapi. Pengobatan eritromisin diulangi jika hasil biakan
positif (Nelson, 2000).

b. Penanganan Pada Kontak


Adapun penanganan kontak menurut Nelson (2000) yaitu:
1. Seluruh kontak serumah/kontak erat lainnya dipantau
secara ketat untuk sakitnya selama 7 hari.
2. Usap hidung, tenggorok
3. Profilaksis antimikroba tanpa memandang status imunisasi,
dengan menggunakan eritomisin (40-50 mg/kg/24 jam;
maksimum 2 gr/24 jam) selama 7-10 hari.
4. Vaksinasi toksoid Difteri.

c. Penanganan Pada Carrier


Adapun penanganan carrier yaitu:
0 Profilaksis antimikroba selama 7-10 hari.
1 Vaksinasi Difteri toksoid, diberikan segera jika belum di
booster dalam 1 tahun.

16
2 Isolasi sekurang-kurangnya 2 kali pembiakan berturut-
turut yang diambil berselang 24 jam sesudah penghentian
terapi negatif (Nelson, 2000).

d. Tindakan-Tindakan Epidemiologis
Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap setiap adanya 1
kasus difteri, baik dari rumah sakit , puskesmas maupun masyarakat,
yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis, memastikan terjadi KLB
dan menentukan kasus tambahan serta kelompok rentan.
1. Pelacakan kasus
Pelacakan kasus ke lapangan sangat penting karena
kemungkinan akan didapatkan kasus tambahan. Setiap kasus difteri
dilakukan pelacakan dan dicatat dalam formulir penyelidikan KLB
difteri Pelacakan ke lapangan sebaiknya segera setelah
mendapatkan informasi dari rumah sakit atau sumber lainnya.
2. Identifikasi kontak
Pada Kontak serumah, dilakukan dengan didatangi dengan
menggunakan form pelacakan difteri, seluruh anggota keluarga
diperiksa dan diambil apusan tenggorokan atau apusan hidung.
Bagi yang menunjukkan gejala klinis difteri segera dirujuk ke
rumah sakit. Sedangkan pada Kontak sekolah/ tetangga, dilakukan
dengan mengunjungi teman sekolah dan teman bermain atau
tetangga terdekat indek kasus terutama pada kontak yang
ditemukan tanda-tanda faringitis atau pilek-pilek dengan ingus
kemerahan, maka segera dilakukan pemeriksaan spesimen/swab
tenggorokan. Guru sekolah dapat dimintakan bantuan melaku kan
pengamatan terhadap anak sekolah yang menunjukkan gejala agar
segera melaporkan ke petugas kesehatan.

Bila ditemukan satu kasus difteri dan masih adanya


desa/kelurahan dengan cakaupan imunisasi DPT-3 <90% perlu
diwaspadai terjadi KLB. Kegiatan yang dapat dilakukan dalam
kewaspadaan dini KLB difteri adalah sebagai berikut :
1) Pengumpulan data
 Data kesakitan yang dikumpulkan juga termasuk data kesakitan
hasil kunjungan terhadap kontak penderita.

17
 Data cakupan imunisasi DPT 1-3
 Data status gizi bayi dan balita
2) Pengolahan data
 Sebelum diolah, periksa kebenaran data kasus yang tercatat
berasal dari pelayanan Puskesmas, RS, Pustu, pelayanan
kesehatan swasta agar tidak ada laporan ganda dan kesalahan
pencatatan
 Memisahkan data kasus yang berasal dari luar wilayah desa/
kelurahan, kabupaten/ kota.
 Secara rutin data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel,
grafik, dan peta penyebaran per penyakit.
 Membuat grafik mingguan dan grafik pola maksimal dan
minimal yang mencakup data kasus 5 tahunan
3) Analisis Data
Data yang sudah diolah selanjutnya dilakukan analisis dan
interpretasi dalam kajian epidemiologi oleh tim surveilans
epidemiologi di masing-masing tingkatan. Langkah umum dalam
melakukan analisis data dengan menginterpretasikan grafik, tabel,
peta kasus difteri sesuai dengan informasi yang ingin disampaikan.
Tahap akhir dari analisis adalah merumuskan tindak lanjut
kegiatan yang sudah dilaksanakan dan merancang tindakan korektif
yang direkomendasikan berdasar analisis masalah yang timbul.
Beberapa rekomendasi yang dapat diajukan yaitu :
 Pemberian pengobatan propilaksis pada kontak penderita
dengan antibiotic Erytromicin 1000 mg/hari selama 7 hari
(untuk dewasa)
 Peningkatan gizi bayi dan balita
 Penyuluhan kepada ibu bayi dan balita
 Pencapaian cakupan imunisasi DPT 1-3 yang merata seluruh
desa/ kelurahan
4) Penyebarluasan informasi dan penyusunan rekomendasi
 Memberikan umpan balik pada unit pelapor untuk kelengkapan
data
 Upaya advokasi dan koordinasi kegiatan hasil kajian SKD-
KLB

e. Tindakan-tindakan Jika Terjadi KLB

18
Penanggulangan KLB Difteri ditujukan pada upaya pengobatan
penderita untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus
menghilangkan sumber penularan. Imunisasi diberikan untuk
memberikan perlindungan pada kelompok masyarakat rentan.
Adanya satu kasus Difteri mengharuskan upaya pencarian kasus
lain pada kelompok rentan yang dicurigai, terutama kontak serumah,
tetangga, teman sepermainan, teman sekolah atau tempat bekerja, serta
upaya pencarian sumber penularan awal atau tempat kemungkinan
adanya carrier. Disamping identifikasi kasus baru lainnya, identifikasi
cakupan imunisasi pada bayi dan anak sekolah selama 5-10 tahun
terakhir perlu dilakukan dengan cermat.
Tatalaksana kasus
1. Kasus probable dirujuk ke Rumah Sakit, rawat dalam ruang
terpisah dengan penderita lain. Anti Difteri Serum (ADS) 20.000
Unit intra muskuler diberikan jika membrannya hanya terbatas
pada nasal atau permukaan saja, jika sedang diberikan ADS 60.000
unit, sedangkan jika membrannya sudah meluas diberikan ADS
1000.000 – 120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan tes
sensitivitas.
2. Antibiotik pilihan adalah penicillin 50.000 unit/kg BB/hari,
diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif
adalah erythomicyn 50 mg/kg BB/hari selama 14 hari.

3. Tracheostomi dapat dilakukan dengan indikasi dyspnea, stridor,


epigastric dan suprastenal reaction pada pernafasan.

Tatalaksana kontak
Kontak probable dan konfirmasi mendapat pengobatan
profilaksis dengan erythromycin 50 mg/kg BB selama 7-10 hari.

Kegiatan Imunisasi
Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun-dusun
sekitarnya yang memiliki cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari
80%, dengan ketentuan :

19
1. Anak kurang dari atau sama dengan 3 tahun mendapatkan
imunisasi DPT_HB sebanyak 2 dosis dengan selang waktu 1 bulan
tanpa memandang status imunisasi sebelumnya.
2. Anak usia 3-7 tahun tahun mendapatkan imunisasi DT

3. Anak usia lebih dari 7 tahun mendapatkan imunisasi Td

Sistem Kewaspadaan Dini KLB


Difteri adalah penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi dan potensial menyebabkan KLB. Kasus Difteri yang
dilaporkan akhir-akhir ini cenderung meningkat, oleh sebab itu perlu
dilakukan penguatan pelaksanaan surveilans Difteri yang terintegrasi
dengan surveilans AFP melalui surveilans aktif di rumah sakit sebagai
upaya SKD KLB.

Di Puskesmas :
1. Penemuan kasus : Setiap kasus Difteri yang ditemukan di wilayah
puskesmas, dicatat dalam formulir penyelidikan KLB Difteri dan
dilakukan pencarian kasus tambahan serta identifikasi kontak.
Dalam upaya penemuan / pelacakan kasus baru pada waktu
investigasi KLB dapat dikembangkan pencarian kasus di
masyarakat dengan gejala tonsilitis dan atau faringitis.
2. Pencatatan dan Pelaporan: Petugas surveilans harus memastikan
bahwa setiap kasus Difteri yang ditemukan, baik yang berasal dari
dalam maupun luar wilayah kerja, dicatat dan dilaporkan sebagai
KLB. Kasus tersebut juga dilaporkan pada laporan rutin STP ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Setiap minggu direkap dalam
W2/PWS KLB dan dilaporkan Ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.

3. Semua laporan rutin maupun laporan KLB didokumentasikan

4. Analisa data :

- Setiap akhir bulan dilakukan tabulasi kasus Difteri menurut


bulan, desa, kelompok umur dan status imunisasi

20
- Membuat grafik trend kasus Difteri setiap bulan dan tahunan
- Membuat grafik kasus Difteri berdasarkan status imunisasi dan
golongan umur
- Membuat spot map kasus Difteri berdasarkan desa
- Mengidentifikasi daerah-daerah yang masih perlu mendapat
perhatian ( daerah sulit, konflik dan lain-lain)
- Mapping populasi rentan Difteri selama 5 tahun terakhir
menurut desa.

5. Diseminasi Informasi : Mendiskusikan hasil kajian data tersebut


dengan pimpinan puskesmas dan program terkait pada pertemuan
berkala puskesmas.

Di Rumah Sakit (Surveilans Aktif)


1. Penemuan kasus: Penemuan kasus dapat dilakukan oleh kontak
person rumah sakit atau saat kunjungan aktif oleh petugas
kabupaten.
2. Pencatatan dan Pelaporan: Setiap kasus Difteri dilaporkan dengan
formulir KDRS ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Apabila
ditemukan pada saat petugas kabupaten melakukan surveilans aktif
RS, kasus dicatat dalam formulir FPPD. Data tersebut direkap
dalam formulir STP RS dan dilaporkan setiap bulan ke Dinas
kesehatan Kabupaten/kota

Di Kabupaten :
1. Penemuan kasus: Setiap minggu petugas dinas kesehatan
kabupaten/kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya
untuk mencari dan menemukan secara aktif kasus Difteri
(diintegrasikan Surveilans AFP). Tata cara pelaksanaan surveilans
aktif RS lebih rinci lihat buku pedoman surveilans AFP tahun 2007.
Setiap kasus Difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera
diinformasikan ke puskesmas lokasi kasus untuk pencarian kasus
tambahan dan identifikasi kontak.
2. Pencatatan dan pelaporan: Laporan Integrasi, dengan melakukan
rekapitulasi data Difteri yang bersumber dari laporan KLB ke

21
dalam formulir integrasi. – Kirim laporan integrasi ke provinsi
setiap bulan sebagai lampiran laporan STP.

f. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita Difteria adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah
dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit Difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan
hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada Difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban
udara dengan menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
Difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama,
angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun
dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan
angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,
melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Pengobatan untuk Difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau
Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus Difteria
yang disertai gejala.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.1.1 Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir
atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina.

3.1.2 Penyebab penyakit Difteri adalah Corynebacterium diphtheria

3.1.3 Gejala penyakit difteria :


a. Difteri hidung (nasal diphtheria) bila penderita menderita pilek
dengan ingus yang bercampur darah.
b. Difteri faring (pharingeal diphtheriae)dan tonsil dengan gejala
radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5 derajat
celsius, nadi yang cepat,tampak lemah, nafas berbau, timbul
pembengkakan kelenjar leher.
c. Difteri laring (l a r y n g o t r a c h e a l d i p h t h e r i a e ) dengan gejala
tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi
sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan,
pembengkakan kelenjar leher
d. Difteri kutaneus (Cutaneous diphtheriae) dan vaginal dengan
gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya

3.1.4 Masa inkubasi Difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari)

3.1.5 Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung,


Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki
melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari
473 pasien Difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari
1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun.
Berdasarkan suatu KLB Difteria di kota Semarang pada tahun
2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-
44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun. Khusus provinsi Sumatera

23
Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus Difteri
cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12
kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian
Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus
Difteri pada tahun 2008.

3.1.6 Cara penularan penyakit Difteri melalui cara penularan tidak


langsung, antara lain merupakan salah satu jenis airborne diseaase,
bakteri terpercik terbawa dalam droplet ketika penderita atau karier
bersin, batuk atau berbicara. Sedangkan cara lain dapat terbawa
beberapa peralatan, seperti ketika droplet terbawa saluran pemanas
atau pendingin ruangan dalam gedung atau disebarkan melalui
kipas angin ke seluruh bangunan atau kompleks bangunan.

3.1.7 Secara epidemiologis, diketahui bahwa sumber penyakit Difteri


atau disebut juga reservoir adalah manusia

3.1.8 Faktor host yang mempengaruhi kejadian penyakit pada umumnya


adalah umur, jenis kelamin, status imunisasi, status gizi dan staus
sosial ekonomi, juga perilaku.

3.1.9 Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan individu


yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau
kulit yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin.

3.1.10 Pencegahan penyakit difteria yaitu dengan imunisasi (PD31)

3.2 Saran
3.2.1 Disarankan untuk anak-anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin
DPT yang merupakan wajib pada anak

3.2.2 Orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap


10 tahun sekali, dan harus dilakukan pencarian dan kemudian
mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

24
3.2.3 Selain itu juga kita dapat menyarankan untuk mengurangi minum
es karena minum minuman yang terlalu dingin secara berlebihan
dapat mengiritasi tenggorokan dan menyebabkan tenggorokan tersa
sakit.

3.2.4 Menjaga kebersihan badan, pakaian, dan lingkungan karena difteri


mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah.

3.2.5 Makanan yang dikonsumsi harus bersih yaitu makan makanan 4


sehat 5 sempurna.

3.2.6 Sedangkan untuk perawat, penderita dengan difteri harus diberikan


isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan
langsung menunjukkan tidak terdapat lagi C. diphtheria 2x
berturut-turut. Gunakan prosedur terlindungi infeksi jika
melakukan kontak langsung dengan anak (APD).

25
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen P2PL, Depkes RI, Panduan Praktis Surveilens Epidemiologi Penyakit,


2003, Jakarta,
Ditjen P2PL, Depkes RI, Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas,
2005,Jakarta
Ditjen P2PL, Depkes RI, Revisi Buku Pedoman Penyelidikan
dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman
Epidemiologi Penyakit) ,2007, Jakarta.
Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional Vol.2 No.5 Profil,2004,
Kadun I Nyoman, 2006, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, CV.
Infomedika, Jakarta
Kartono, 2008, Lingkungan Rumah dan Kejadian Difteri di Kabupaten
Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol. 2, No. 5, April 2008.
P. Resty, Clarissa. Corynebacterium diphtheriae.
Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan.2010
Prosedur kerja surveilans faktor risiko penya kit menular dalam intensifikasi
pemberantasan penya kit menular terpadu berbasis wilayah, khusus faktor
risiko lingkungan dan perilaku penyakit ISPA, Malaria, TBC, Campak,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio dan Hepatitis B, Dirjen PPM&PL, Depkes
RI. 2004.
Putranto, Rudi Hendro. 2014. Corynebacterium diphtheriae: Diagnosis
Laboratorium Bakteriologi. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Sari, Siska Damayanti. 2013. Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri Di
Kecamatan Tanjung Bumi Kabupaten Bangkalan Tahun 2013. Dinas
Kesehatan kabupaten bangkalan : Jurnal 2013
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan
Pemberantasannya. Erlanggga: Jakarta

26

Anda mungkin juga menyukai