Difteri Mifta
Difteri Mifta
PEMBAHASAN
A. Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, ada kalanyamenyerang selaput lendir atau kulit sertakadang-kadang konjunngtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas
oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang
dikelilingi dengan daerah inflamasi.Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang
membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan edema dileher dengan pembentukan membran pada trachea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung biasanya
ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi
(ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk
lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi
penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.
B. Etiologi
C. Gejala Klinis
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada
psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen)
berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali
dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti
demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah
bening di leher sering terjadi.
D. Masa inkubasi
Masa inkubasi antara 2-5 hari. Masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penulran carier bisa sampai 6 bulan.
E. Patofisiologi
1) Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel
di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa
genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila
bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
E. Epidemiologi
1) Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia
di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita
penyakit polio.
2) Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria,
Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi
difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh
agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
3) Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita
tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan
berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
F. Penanganan
1. Pencegahan
a) Isolasi Penderita
b) Imunisasi
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
2. Pengobatan
a) Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
b) Pengobatan Khusus
b. Antibiotik
c. Kortikosteroid
c) Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d) Pengobatan Kontak
e) Pengobatan Karier
G. Sumber penularan
2. Carier : adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil
pemeriksaan lab positif C. Dhipthriae.
J. Penanggulangan KLB
Adanya satu kasus Difteri mengharuskan upaya pencarian kasus lain pada
kelompok rentan yang dicurigai, terutama kontak serumah, tetangga, teman
sepermainan, teman sekolah atau tempat bekerja, serta upaya pencarian sumber
penularan awal atau tempat kemungkinan adanya carrier. Disamping identifikasi
kasus baru lainnya, identifikasi cakupan imunisasi pada bayi dan anak sekolah
selama 5-10 tahun terakhir perlu dilakukan dengan cermat.
K. Tatalaksana kasus
a) Kasus probable dirujuk ke Rumah Sakit, rawat dalam ruang terpisah dengan
penderita lain. Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 Unit intra muskuler diberikan
jika membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja, jika sedang
diberikan ADS 60.000 unit, sedangkan jika membrannya sudah meluas
diberikan ADS 1000.000 – 120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan
tes sensitivitas.
b) Antibiotik pilihan adalah penicillin 50.000 unit/kg BB/hari, diberikan sampai 3
hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif adalah erythomicyn 50 mg/kg
BB/hari selama 14 hari.
c) Tracheostomi dapat dilakukan dengan indikasi dyspnea, stridor, epigastric dan
suprastenal reaction pada pernafasan.
L. Tatalaksana kontak
M. Kegiatan imunisasi
Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun sekitarnya yang memiliki
cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari 80% dengan ketentuan :
N. Surveilans
Difteri adalah penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dan
potensial menyebabkan KLB. Kasus Difteri yang dilaporkan akhir-akhir ini
cenderung meningkat, oleh sebab itu perlu dilakukan penguatan pelaksanaan
surveilans Difteri yang terintegrasi dengan surveilans AFP melalui surveilans aktif
di rumah sakit sebagai upaya SKD KLB.
Di Puskesmas :
1) Penemuan kasus : Setiap kasus Difteri yang ditemukan di wilayah puskesmas,
dicatat dalam formulir penyelidikan KLB Difteri dan dilakukan pencarian
kasus tambahan serta identifikasi kontak. Dalam upaya penemuan / pelacakan
kasus baru pada waktu investigasi KLB dapat dikembangkan pencarian kasus
di masyarakat dengan gejala tonsilitis dan atau faringitis.
2) Pencatatan dan Pelaporan: Petugas surveilans harus memastikan bahwa setiap
kasus Difteri yang ditemukan, baik yang berasal dari dalam maupun luar
wilayah kerja, dicatat dan dilaporkan sebagai KLB. Kasus tersebut juga
dilaporkan pada laporan rutin STP ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Setiap
minggu direkap dalam W2/PWS KLB dan dilaporkan Ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.
4) Analisa data :
Setiap akhir bulan dilakukan tabulasi kasus Difteri menurut bulan, desa,
kelompok umur dan status imunisasi
a) Penemuan kasus: Penemuan kasus dapat dilakukan oleh kontak person rumah
sakit atau saat kunjungan aktif oleh petugas kabupaten.
b) Pencatatan dan Pelaporan: Setiap kasus Difteri dilaporkan dengan formulir
KDRS ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Apabila ditemukan pada saat
petugas kabupaten melakukan surveilans aktif RS, kasus dicatat dalam
formulir FPPD. Data tersebut direkap dalam formulir STP RS dan dilaporkan
setiap bulan ke Dinas kesehatan Kabupaten/kota
Di Kabupaten :
a) Penemuan kasus: Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota
mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan
secara aktif kasus Difteri (diintegrasikan Surveilans AFP). Tata cara
pelaksanaan surveilans aktif RS lebih rinci lihat buku pedoman surveilans AFP
tahun 2007. Setiap kasus Difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera
diinformasikan ke puskesmas lokasi kasus untuk pencarian kasus tambahan
dan identifikasi kontak.
b) Pencatatan dan pelaporan: Laporan Integrasi, dengan melakukan rekapitulasi
data Difteri yang bersumber dari laporan KLB ke dalam formulir integrasi. –
Kirim laporan integrasi ke provinsi setiap bulan sebagai lampiran laporan STP.
www.indonesian-publichealth.com/penyelidikan-epidemiologi-klb-difteri/