Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,
laring, hidung, ada kalanyamenyerang selaput lendir atau kulit sertakadang-kadang konjunngtiva
atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas
oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang
dikelilingi dengan daerah inflamasi.Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang
membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan
pembengkakan dan edema dileher dengan pembentukan membran pada trachea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas. Difteri hidung biasanya
ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi
(ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus terbanyak. Toksin
dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk
lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi
penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.

B. Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae berbentuk


batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis,
typeintermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat
dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.
Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk
tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang
tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.

C. Gejala Klinis

Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :

1. Panas lebih dari 38oC

2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil

3. Sakit waktu menelan

4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan


kelenjar leher.

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada
psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen)
berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali
dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti
demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah
bening di leher sering terjadi.

D. Masa inkubasi

Masa inkubasi antara 2-5 hari. Masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penulran carier bisa sampai 6 bulan.

E. Patofisiologi

1) Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel
di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa
genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila
bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.

Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.

Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari.


Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara
dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu
sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan
penyakit sampai 6 bulan.

2) Tahap Penyakit Dini

Toksinbiasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di


tenggorokan.Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama
kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi
peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada
lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggupertama sampai minggu keenam, bersifat ringan,
tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat,
bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung
dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada
penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang
kulit.
3) Tahap Penyakit lanju

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan


selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya,
di dekatamandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
danberwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan
lendir dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan
saluran udaraatau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara,
sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.

E. Epidemiologi

1) Person (Orang)

Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia
di bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri
merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.

Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak
mendapatkan imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan
meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita
penyakit polio.

2) Place (Tempat)

Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan
sumber dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria,
Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi
difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh
agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan
vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.

3) Time (Waktu)

Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa
mengenal waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita
tidak mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan
berkembang biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.

F. Penanganan

1. Pencegahan

a) Isolasi Penderita

Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah


pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagi
Corynebacterium diphtheriae.

b) Imunisasi

Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria,


pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada
anak-anak usia sekolah dasar.

c) Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria

Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium
diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.

2. Pengobatan

Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang


belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.

a) Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.

b) Pengobatan Khusus

a. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)

Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis


difteria. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka
kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan
lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat
sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau
uji mata terlebih dahulu.

b. Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin,


melainkan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin,
kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.

c. Kortikosteroid

Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang


disertai gejala.

c) Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel.
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

d) Pengobatan Kontak

Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai


tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta
gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan
serologi dan observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar
diberikan booster toksoid difteria.

e) Pengobatan Karier

Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai


uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu.
Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

G. Sumber penularan

Sumber penulran adalah manusia baik sebagai penderita maupun carier.


Seseorang dapat menyebarkan bakteri melalui pernapasan droplet infection atau
melalui muntahan, pada difteri kulit bisa melalui luka di tangan.

1. Kontak kasus : adalah orang serumah,tetangga, teman bermain, teman sekolah,


termasuk guru, teman kerja.

2. Carier : adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil
pemeriksaan lab positif C. Dhipthriae.

H. KLB dan Penanggulangannya


Penanggulangan KLB difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita
untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber
penularan.

I. Penyelidikan epidemiologi KLB

Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap adanya 1 kasus difteri,


baik dari rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat, yang bertujuan untuk
menegakkan diagnosis, memastikan terjadi KLB dan menentukan kasus tambahan
serta kelompok rentan.

a. Pelacakan kasus : pelacakan kasus ke lapangan sangat penting karena


kemungkinan akan didapatkan kasus tambahan. Setiap kasus difteri dilakukan
pelacakan dan di catat dalam formulir penyelidikan KLB difteri pelacakan
kelapangan se baiknya segera setelah mendapatkan informasi dari rumah sakit
ataupun sumber lainnya.

b. Identifikasi pokok : pokok kontak serumah, dilakukan dengan ditangani


dengan menggunakan form pelacakan difteri, seluruh anggota keluarga
diperiksa dan diambil apusan tenggorokan atau apusan hidung. Bagi yang
menunjukkan gejala klinis difteri segera dirujuk ke rumah sakit. Sedangkan
pada Kontak sekolah/ tetangga, dilakukan dengan mengunjungi teman sekolah
dan teman bermain atau tetangga terdekat indek kasus terutama pada kontak
yang ditemukan tanda-tanda faringitis atau pilek-pilek dengan ingus
kemerahan, maka segera dilakukan pemeriksaan spesimen/swab tenggorokan.
Guru sekolah dapat dimintakan bantuan melaku kan pengamatan terhadap
anak sekolah yang menunjukkan gejala agar segera melaporkan ke petugas
kesehatan.

J. Penanggulangan KLB

Penanggulangan KLB Difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita


untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan sumber
penularan. Imunisasi diberikan untuk memberikan perlindungan pada kelompok
masyarakat rentan.

Adanya satu kasus Difteri mengharuskan upaya pencarian kasus lain pada
kelompok rentan yang dicurigai, terutama kontak serumah, tetangga, teman
sepermainan, teman sekolah atau tempat bekerja, serta upaya pencarian sumber
penularan awal atau tempat kemungkinan adanya carrier. Disamping identifikasi
kasus baru lainnya, identifikasi cakupan imunisasi pada bayi dan anak sekolah
selama 5-10 tahun terakhir perlu dilakukan dengan cermat.

K. Tatalaksana kasus

a) Kasus probable dirujuk ke Rumah Sakit, rawat dalam ruang terpisah dengan
penderita lain. Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 Unit intra muskuler diberikan
jika membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja, jika sedang
diberikan ADS 60.000 unit, sedangkan jika membrannya sudah meluas
diberikan ADS 1000.000 – 120.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan
tes sensitivitas.
b) Antibiotik pilihan adalah penicillin 50.000 unit/kg BB/hari, diberikan sampai 3
hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif adalah erythomicyn 50 mg/kg
BB/hari selama 14 hari.
c) Tracheostomi dapat dilakukan dengan indikasi dyspnea, stridor, epigastric dan
suprastenal reaction pada pernafasan.
L. Tatalaksana kontak

Kontak probable dan konfirmasi mendapat pengobatan pengobatan profilaksis


dengan erythromycin 50 mg/kg selama 7-10 hari.

M. Kegiatan imunisasi

Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun sekitarnya yang memiliki
cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari 80% dengan ketentuan :

Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun-dusun sekitarnya yang


memiliki cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari 80%, dengan ketentuan :
1. Anak kurang dari atau sama dengan 3 tahun mendapatkan imunisasi
DPT_HB sebanyak 2 dosis dengan selang waktu 1 bulan tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya.
2. Anak usia 3-7 tahun tahun mendapatkan imunisasi DT
3. Anak usia lebih dari 7 tahun mendapatkan imunisasi Td

N. Surveilans

Menurut WHO Surveilans merupakan proses pengumpulan, pengelolaan,


analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus menerus serta penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil
tindakan.berdasarkan definisi dia atas dapat diketahui bahwa surveilans adalah
suatu kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan
sistematis terhadap kehjadian dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan
untuk dpat mengambil tindakan efektif.

Menurut TIMMRECK (2005), surveilans kesehatan masyarakat merupakan


proses pengumpulan data kesehatan yang mencakup tidak saja pengumpulan
informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan analisis, interpretasi,
penyebaran, dan pengguaan informasi kesehatan. Hasil surveilans serta
pengumpulan analisis data digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang status kesehatan populasi guna merencanakan, menerapkan,
mendeskripsikan, dan mengevaluasi program kesehatan masyarakat untuk
mengendalikan dan mencegah kejadian yang merugikan kesehatan. Dengan
demikian agar data dapat berguna, data harus akurat, tepat waktu, dan tersedia
dalam bentuk yang dpat digunakan.

Menurut Depkes (2004) adalah untuk pencegahan dan pengendalian penyakit


dalam masyarakat, sebagai upaya deteksi dini terhadap kemungkinan terkjadinya
kejadian luar biasa (KLB), memperoleh informasi yang diperlukan bagi perencaaan
dalam hal pencegahan, penanggulangan maupun pemberantasannya pada berbagai
tingkat.
O. Sistem Kewaspadaan Dini KLB

Difteri adalah penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dan
potensial menyebabkan KLB. Kasus Difteri yang dilaporkan akhir-akhir ini
cenderung meningkat, oleh sebab itu perlu dilakukan penguatan pelaksanaan
surveilans Difteri yang terintegrasi dengan surveilans AFP melalui surveilans aktif
di rumah sakit sebagai upaya SKD KLB.

Di Puskesmas :
1) Penemuan kasus : Setiap kasus Difteri yang ditemukan di wilayah puskesmas,
dicatat dalam formulir penyelidikan KLB Difteri dan dilakukan pencarian
kasus tambahan serta identifikasi kontak. Dalam upaya penemuan / pelacakan
kasus baru pada waktu investigasi KLB dapat dikembangkan pencarian kasus
di masyarakat dengan gejala tonsilitis dan atau faringitis.
2) Pencatatan dan Pelaporan: Petugas surveilans harus memastikan bahwa setiap
kasus Difteri yang ditemukan, baik yang berasal dari dalam maupun luar
wilayah kerja, dicatat dan dilaporkan sebagai KLB. Kasus tersebut juga
dilaporkan pada laporan rutin STP ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Setiap
minggu direkap dalam W2/PWS KLB dan dilaporkan Ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.

3) Semua laporan rutin maupun laporan KLB didokumentasikan

4) Analisa data :

 Setiap akhir bulan dilakukan tabulasi kasus Difteri menurut bulan, desa,
kelompok umur dan status imunisasi

 Membuat grafik trend kasus Difteri setiap bulan dan tahunan

 Membuat grafik kasus Difteri berdasarkan status imunisasi dan golongan


umur

 Membuat spot map kasus Difteri berdasarkan desa


 Mengidentifikasi daerah-daerah yang masih perlu mendapat perhatian
( daerah sulit, konflik dan lain-lain)

 Mapping populasi rentan Difteri selama 5 tahun terakhir menurut desa.

5) Diseminasi Informasi : Mendiskusikan hasil kajian data tersebut dengan


pimpinan puskesmas dan program terkait pada pertemuan berkala puskesmas.

Di Rumah Sakit (Surveilans Aktif)

a) Penemuan kasus: Penemuan kasus dapat dilakukan oleh kontak person rumah
sakit atau saat kunjungan aktif oleh petugas kabupaten.
b) Pencatatan dan Pelaporan: Setiap kasus Difteri dilaporkan dengan formulir
KDRS ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota. Apabila ditemukan pada saat
petugas kabupaten melakukan surveilans aktif RS, kasus dicatat dalam
formulir FPPD. Data tersebut direkap dalam formulir STP RS dan dilaporkan
setiap bulan ke Dinas kesehatan Kabupaten/kota
Di Kabupaten :
a) Penemuan kasus: Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota
mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan
secara aktif kasus Difteri (diintegrasikan Surveilans AFP). Tata cara
pelaksanaan surveilans aktif RS lebih rinci lihat buku pedoman surveilans AFP
tahun 2007. Setiap kasus Difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera
diinformasikan ke puskesmas lokasi kasus untuk pencarian kasus tambahan
dan identifikasi kontak.
b) Pencatatan dan pelaporan: Laporan Integrasi, dengan melakukan rekapitulasi
data Difteri yang bersumber dari laporan KLB ke dalam formulir integrasi. –
Kirim laporan integrasi ke provinsi setiap bulan sebagai lampiran laporan STP.
www.indonesian-publichealth.com/penyelidikan-epidemiologi-klb-difteri/

Anda mungkin juga menyukai