Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sumber nutrisi terbaik bagi bayi baru lahir adalah air susu ibu (ASI). Setelah
melalui masa pemberian ASI secara ekslusif yang umumnya berlangsung 3-6 bulan,
bayi mulai diberikan susu formula sebagai pengganti air susu ibu (PASI). PASI
lazimnya dibuat dari susu sapi, karena susunan nutriennya dianggap memadai dan
harganya terjangkau. Susu sapi dianggap sebagai penyebab alergi makanan pada
anak-anak yang paling sering dan paling awal dijumpai dalam kehidupan. Alergi
susu sapi merupakan suatu penyakit berdasarkan reaksi imunologis yang timbul
sebagai akibat dari susu sapi atau makanan yang mengandung susu sapi.1
Alergi terhadap protein susu sapi: Cow’s milk protein allergy (CMPA)
terjadi pada 2-6% dari anak-anak, dengan prevalensi tertinggi pada usia tahun
pertama. Sekitar 50% anak telah ditunjukkan sembuh dari CMPA pada usia tahun
pertama, atau 80-90% dalam tahun kelimanya. Alergi pada susu sapi 85% akan
menghilang atau menjadi toleran sebelum usia 3 tahun. Penanganan alergi terhadap
susu sapi adalah menghindari susu sapi dan makanan yang mengandung susu sapi,
dengan memberikan susu kedelai sampai terjadi toleransi terhadap susu sapi.
Perbedaan kontras antara penyakit alergi terhadap susu sapi dan makanan lain pada
bayi adalah bahwa dapat terjadi toleransi secara spontan pada anak usia dini.2,3
Alergi protein susu sapi dapat berkembang pada anak-anak yang diberi ASI
atau pada anak-anak yang diberi susu formula. Namun, anak-anak yang diberi ASI
biasanya memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk menjadi alergi terhadap
makanan lainnya. Biasanya, anak yang diberi ASI dapat mengalami alergi terhadap
susu sapi jika bayi tersebut bereaksi terhadap kadar protein susu sapi yang sedikit
yang didapat dari diet ibu saat menyusui. Pada kasus lainnya, bayi-bayi tertentu
dapat tersensitisasi terhadap protein susu sapi pada ASI ibunya.4
Mengingat semakin banyaknya kejadian CMPA maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui penentuan nutrisi dan menilai manifestasi klinis anak
dengan kecurigaan alergi susu sapi di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah:
Untuk mengetahui mengetahui penentuan nutrisi dan menilai manifestasi klinis
anak dengan kecurigaan alergi susu sapi di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo.

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Untuk mengetahui mengetahui penentuan nutrisi dan menilai manifestasi
klinis anak dengan kecurigaan alergi susu sapi di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


a. Mengetahui penentuan nutrisi pada pasien anak dengan kecurigaan alergi
susu sapi di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo.
b. Mampu menilai manifestasi klinis pada pasien anak dengan kecurigaan
alergi susu sapi di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Alergi susu sapi adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ
dan sistem tubuh yang disebabkan oleh alergi terhadap susu sapi dengan
keterlibatan mekanisme sistem imun.2
Reaksi alergi yang terjadi ini diprovokasi oleh protein yang ada dalam susu
sapi. Susu merupakan protein yang spesifik untuk tiap spesiesnya, karenanya
protein dalam susu sapi memang sesuai untuk usus sapi, tetapi belum tentu sesuai
dengan usus manusia. Bagi kebanyakan bayi, protein susu sapi merupakan protein
asing yang pertama kali dikenalnya saat mendapat susu formula.1
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen
protein yang dapat merangsang produksi antibodi manusia. Protein susu sapi terdiri
2 fraksi yaitu casein dan whey. Fraksi casein yang membuat susu berbentuk kental
(milky) dan merupakan 76-86% dari protein susu sapi.1

2.2 Prevalensi dan Insidensi


Dalam survei nasional ahli alergi anak, tingkat prevalensi alergi susu sapi
dilaporkan 3,4% di Amerika Serikat. Sedangkan di Denmark, pada studi kohort dari
1.749 bayi baru lahir dari pusat Kota Odense yang dimonitor secara prospektif
untuk pengembangan intoleransi terhadap protein susu sapi selama tahun pertama
kehidupan, dilaporkan besarnya insidensi dalam 1 tahun adalah 2.2%.5,6
Sebuah penelitian prospektif menunjukkan bahwa 32% bayi yang
mengalami gejala akibat intoleransi protein susu sapi terjadi dalam waktu 7 hari
(70% dalam 4 minggu) setelah pemberian susu sapi. Intoleransi protein susu sapi
telah didiagnosis pada 1.9-2.8% dari populasi umum bayi berumur 2 tahun atau
lebih muda di berbagai negara di Eropa bagian utara, namun kejadianturun menjadi
sekitar 0.3% pada anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun.6
2.3 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Protein susu sapi adalah salah satu dari alergen utama yang terlibat dalam
kedua jenis alergi, dan diagnosis yang tepat sangat penting untuk manajemen yang
tepat. Susu sapi mengandung lebih dari 20 fraksi protein. Dalam dadih, dapat di
identifikasi 4 kasein yang jumlahnya sekitar 80% dari protein susu dan 20% protein
sisanya, pada dasarnya adalah protein glubular misalnya (lakto albumin, lakto
globulin, bovine serum albumin) yang terkandung dalam air dadih. Kasein sering
dianggap kurang imunogenik karena strukturnya yang fleksibel, tidak padat. Secara
historis, lacto globulin merupakan alergen utama dalam intoleransi protein susu
sapi. Namun, polisensitisasi beberapa protein terjadi pada sekitar 75% dari pasien
dengan alergi terhadap protein susu sapi.
Anak-anak adalah kelompok usia yang paling sering terkena penyakit ini
dan harus diikuti dengan hati-hati karena adanya komplikasi yang parah dari
pembatasan diet seperti keterlambatan pertumbuhan berat badan, kwashiorkor,
hipokalsemia dan rakitis. Istilah "intoleransi protein sapi" sering digunakan dalam
kasus-kasus gejala non spesifik yang dikaitkan dengan susu, apakah termasuk jenis
reaksi imun mediasi IgE atau non-IgE, mekanisme patologi ini disebabkan oleh
reaksi imun terhadap protein susu.
2.3.1 Alergi Susu Mediasi IgE
A. Patofisiologi
Alergi susu mediasi IgE terjadi ketika organisme gagal untuk mendapatkan
daya tahan (toleransi) terhadap alergen makanan. Alergen makanan utama pada
anak-anak adalah panas, asam, dan protease yang stabil, glikoprotein yang water
soluble dengan ukuran 10-70 kd. Contohnya yaitu protein dalam susu (kasein),
kacang (vicilin), dan telur (ovumucoid) dan protein transfer lemak yang tidak
spesifik yang ditemukan pada buah apel.7
Ketika antigen makanan dicerna, makanan diproses dalam usus dimana
terdapat banyak mekanisme fisik yang kompleks (lendir, asam, sel epitel dan asam)
dan proteksi imunologis. Hilangnya pelindung seperti keadaan netralisasi pH
lambung dapat membuat alergi. Serupa seperti pada bayi dimana pelindung-
pelindung usus (aktivitas enzim dan produksi IgA) masih belum matang sehingga
meningkatkan prevalensi alergi makanan pada masa bayi.7
Antigen presenting cells (APC), khususnya sel epitel usus dan sel dendritik,
dan sel T memiliki peran utama pada daya tahan oral melalui ekspresi IL-10 dan
IL-4. Bakteri komensal usus juga mempengaruhi respon imun mukosa. Daya tahan
dibentuk dalam 24 jam pertama setelah lahir dan memproduksi molekul
imunomudulator yang memiliki efek bermanfaat dalam pembentukan imun respon.
Studi saat ini telah menunjukan bahwa ketidakseimbangan komposisi dari bakteri
mikrobiota menjadi faktor utama terjadinya alergi, asma atau inflammatory bowel
disease.7
Alergi yang dimediasi IgE dimulai dari sensitisasi. Alergen dicerna,
diinternalisasi dan diekspresikan pada permukaan APC. APC berinteraksi dengan
limfosit T dan menghasilkan transformasi dari limfosit B menjadi sel sekretori
antibodi. Setelah dibentuk dan dilepaskan ke sirkulasi, IgE mengikat, melalui
bagian Fc, ke reseptor sel mast yang memiliki afinitas yang tinggi, meninggalkan
reseptor spesifik alergen mereka yang ada untuk berinteraksi dengan alergen
dimasa depan suatu saat nanti.7
Proses alergi yang dibentuk tanpa dimediasi oleh IgE kurang begitu
dimengerti namun fase pengenalan antigen awal kemungkinan adalah sama, dan
merangsang reaksi inflamasi utama melalui mediasi sel T dan eosinofil, meliputi
aktivasi sitokin-sitokin yang berbeda seperti IL-5.7
Hubungan yang terbentuk dari sejumlah sel mast/antibodi IgE yang
berikatan dengan basophil yang cukup oleh alergen merangsang proses intra-
seluler, hal ini menyebabkan degranulasi sel, dengan pelepasan histamin dan
mediator peradangan lainnya.7
B. Manifestasi Klinis
Alergi susu sapi ditandai oleh berbagai variasi manifestasi klinis yang
terjadi setelah meminum susu. Manifestasi paling berbahaya dari reaksi mediasi
IgE akibat alergi susu adalah anafilaksis. Setelah degranulasi sel mast, pelepasan
mediator inflamasi mempengaruhi berbagai sistem organ. Gejala yang dapat timbul
adalah pruritus, urtikaria, angio-edema, muntah, diare, nyeri perut, sulit bernapas,
sesak, hipotensi, pingsan, dan syok. Gejala pada kulit merupakan gejala paling
sering, meskipun, sampai 20% reaksi anafilaksis dapat muncul tanpa adanya
manifestasi pada kulit khususnya pada anak-anak. Onset munculnya gejala dari
reaksi anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi namun mayoritas reaksi
muncul dalam hitungan detik sampai 1 jam pertama setelah terpapar.7
Diantara gejala-gejala akibat alergi makanan, seringkali terdapat dermatitis
atopi. Memang, telah diketahui bahwa 30% anak-anak yang menderita dermatitis
atopi yang sedang sampai berat memiliki hubungan dengan alergi makanan yang
memperparah eksema. Makanan yang berpengaruh adalah susu sapi, dengan
ditemukannya IgE spesifik pada kebanyakan pasien.7
2.3.2 Alergi Susu Sapi Gastrointestinal
A. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang mengarah pada alergi belum diketahui dengan baik.
Berbagai faktor, yag berhubungan dengan pasien (faktor genetik, flora usus) dan
yang tidak berhubungan (seperti waktu, dosis, frekuensi eksposure alergen) yang
saling berinteraksi dengan patogenesis penyakit. Alergi gastrointestinal,
kebanyakan pasien mengalami reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan respon yang
abnormal dari limfosit TH2. Produk ini meningkatkan jumlah mediator inflamasi,
seperti IL-4 dan IL-5, seperti kemokin, yang menyebabkan aktivasi eosinofil. Pada
beberapa pasien, alergi campuran dari mediasi IgE dan non IgE dapat terjadi dan
tes diagnostik harus dilakukan untuk kedua jenis alergi tersebut.7
B. Manifestasi Klinis
Gastroenteropathies Eosinofilik
Gastroenteropathies eosinofilik didefinisikan infiltrasi eosinofil pada
dinding usus. Terdapat 3 (tiga) bentuk keadaan klinis yang dijelaskan: kolitis yang
diinduksi susu, oesophagitis eosinofilik dan enterocolitis yang diinduksi
proteinmakanan. Prevalensi kelainan-kelainan tersebut semakin meningkat.
Diagnosis banding dari eosinofilia usus sangat luas dan meliputi inflamatory bowel
disease, infeksi parasit, sindrom hipereosinofilia dan hipersensitivitas obat. Tidak
ada tesdiagnostik yang patognomonis dan diagnosis alergi eosinofilia
gastroenterologiharus berdasarkan keadaan klinis, tes kulit, biopsi dan/atau
oral food challenges.7

Colitis Akibat Makanan dan Susu Sapi (Food and cow’s milk colitis)
Alergi susu sapi merupakan salah satu penyebab yang umum dari terjadinya
kehilangan darah kronis dan anemia pada masa neonatal, dengan darah samar atau
perdarahan rectum pada feses dan diare, meskipun begitu diare berdarah yang masif
jarang terjadi. Pendarahan rektal merupakan gejala yang mengkhawatirkan tetapi
pada umumnya jinak dan self-limiting tetapi dapat dikaitkan dengan alergi susu
pada sekitar 20% kasus. Bayi yang terkena dapat timbul dengan pendarahan anus
yang terisolasi dengan mengeluarkan lendir pada jam pertama kehidupan, dapat
melalui dalam rahim, atau sebelum 3 sampai 6 bulan pertama kehidupan tetapi
biasanya tetap dalam kondisi umum yang sangat baik. Biopsi rektal menunjukkan
peradangan eosinofilik yang khas dengan erosiepitel, microabscess atau fibrosis.
Gejala diakibatkan oleh protein susu sapi yangterkandung dalam susu formula atau
ASI, dan setengah dari pasien ini didiagnosisketika menggunakan ASI eksklusif.7
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga
dapat bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan
klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima hari
setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu mengalami kegagalan, diet
bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya sembuh dalam beberapa bulan,
sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukanantara 6 dan 12 bulan.7

Oesofagitis Eosinofilik (Eosinophilic oesophagitis)


Penyakit ini baru diidentifikasi dalam 15 tahun terakhir dan studi
menunjukkan prevalensi yang semakin meningkat. Penyakit ini terutama
mempengaruhi orang-orang berusia dekade kedua atau ketiga, tetapi semakin
banyak pula dilaporkan dalam literatur-literatur pediatrik. Penyakit inididefinisikan
dengan terjadinya suatu infiltrasi eosinofil pada esofagus, dan terkait dengan gejala
refluks yang resisten terhadap terapi proton pump inhibitor (PPI).7
Pasien biasanya mengeluhkan gejala sakit seperti ketidak nyamanan,
disfagia dan cenderung untuk menghindari makan makanan berserat atau kering.
Gejala pada anak-anak biasanya tidak khas, seperti sakit perut, muntah atau
regurgitasi dan anoreksia, atau kegagalan pertumbuhan. Endoskopi dapat
menampilkan berbagai gambaran dari area normal sampai putih atau merah merata
dengan beberapa striktur esofagus, dengan aspek tracheiformis yang khas. Biopsi
menunjukkan infiltrasi padat dari dinding oleh eosinofil (> 15-20/Lapang
pandang).7
Esofagitis ini dapat sipersulit oleh adanya stenosis esofagus dan impaksi
makanan. Eosinofilik esofagitis biasanya disebabkan oleh alergi makanan dengan
campuran mediasi IgE dan non IgE, khususnya pada anak-anak dan remaja.7
Identifikasi alergen harus dikoordinasikan dengan spesialis karena dapat
melibatkan berbagai antigen. Diet bebas unsur asam amino atau formula semi-
unsurnya dapat menyebabkan perbaikan gejala sebanyak 30-70% pada pasien ini.
Namun demikian, penggunaan steroid topikal atau sistemik sering dibutuhkan,
terutama jika makanan penyebab tidak dapat diidentifikasi secara jelas atau jika
peradangan sudah berlangsung lama.7

Enterokolitis yang diinduksi protein makanan (Food protein-induced enterocolitis)


Alergi ini dapat muncul dengan gejala yang luar biasa seperti muntah terus
menerus dan/atau diare lendir berdarah yang dapat membuat lemas dan syok
hipovolemik. Gejala dapat muncul seringkali 2 (dua) jam setelah makan atau
minum. Anak-anak dengan gejala-gejala ini seringkali menjadi suspek terjadinya
sepsis. Jumlah hitung darah selama fase akut adalah leukositosis yang dipenuhi oleh
sel-sel muda (neutrofil non segmen). Mekanismenya belum jelas namun diketahui
dipengaruhi oleh reaksi mediasi IgE dan non IgE. Biopsi kolon memperlihatkan
abses kripta dengan infiltrasi inflamasi yang difus. Alergi ini dapat juga disebabkan
oleh protein pada makanan daripada susu, seperti halnya reaksi terhadap kedelai,
ikan, nasi, kentang dan ayam.7
Riwayat dari eneterocolitis yang diinduksi susu biasanya membaik setelah
usia 2-3 tahun, namun perubahan penyakitnya dapat lebih panjang pada pasien
dengan enterokolitis yang diinduksi protein padat. Pasien dengan manifestasi klinis
yang tidak jelas harus dilakukan tes diagnostik menggunakan endoskopi dan biopsi
yang bertujuan untuk menghilangkan diagnosis penyakit eosinofilik.7

2.4 Diagnosis
Proses diagnosis alergi susu sapi pada dasarnya adalah sama dengan proses
diagnosa alergi makanan. Seperti penyakit pada umumnya, proses diagnosa dimulai
dari penelusuran dan evaluasi riwayat penyakit, dilanjutkan dengan pemeriksaan
klinis secara seksama. Hal yang khusus dilakukan dalam investigasi alergi makanan
adalah pembuatan catatan harian diet, uji eliminasi dan provokasi, uji kulit, dan
pemeriksaan kadar IgE. Dalam anamnesis, perhatian difokuskan pada reaksi alergi
yang terjadi, dan kaitannya dengan makanan yang dimakannya. Setelah berbagai
bahan makanan yang dicurigai menjadi penyebab alergi diperoleh, diagnosa
dikonfirmasi dengan pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji provokasi.8
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi
tersangka, dalam hal ini adalah protein susu sapi, selama 2 minggu. Dalam kurun
waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak. Bila
gejala berkurang, dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya lagi,
yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat reaksi yang
terjadi. Jika makanan tersangka memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi.8
Di samping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai
juga adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi
dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada pasien, dan
memang kadar IgE ini seringkali didapatkan meninggi pada penderita alergi susu
sapi. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh Hidvegi dkk, diduga kadar total
IgE serum dan IgG anti-α-casein memiliki nilai prognostik; yaitu bila didapatkan
peningkatan pada awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebih
lambat atau bahkan dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap.8
Uji kulit yang dilakukan, disebut skin prick tests. Namun demikian perlu
diketahui bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena
tingginya hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan, sebab bila
tatalaksana dilakukan berdasarkan hasil positif ini, maka dapat saja terjadi
penghindaran makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Di sisi lain, tes
ini juga memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi, dengan demikian bila
didapatkan hasil yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya.8
Walau demikian dalam praktek klinisnya sehari-hari, diagnosa lebih sering
ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi.
Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap. Sedangkan penggunaan
uji kulit pada anak, selain karena masalah akurasinya yang kurang, perlu juga
dipertimbangkan faktor ketidak nyamanan yang akan timbul, mengingat penderita
umumnya berusia di bawah 2-3 tahun.8
Walaupun tampaknya mudah, pada beberapa keadaan diagnosis dapat
menjadi sulit dan membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya
reaktivasi dari makanan lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu
sapi dapat menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam
bentuk lain seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai
bahan dasarnya.8

2.5 Pemeriksaan Penunjang


2.5.1 Skin Prick Tes
Selain dari manifestasi klinis yang ada, untuk mendiagnosis adanya alergi
susu sapi pada anak dapat dilakukan beberapa tes penunjang atau tes diagnostik.
Berikut ini adalah tes untuk menilai alergi terhadap susu sapi, yaitu Skin Prick Tes
(SPT) merupakan tes yang c epat dan tidak mahal untuk mendeteksi sensitisasi
mediasi kelainan IgE dan dapat dikerjakan pada bayi dengan baik. Nilai prediksi
negatif adalah baik (95%) dan dipastikan dengan tidak adanya reaksimediasi IgE.
Meskipun, hasil respon yang positif tidak pasti menunjukan bahwa makanan
merupakan penyebabnya (kurang spesifik), dan hanya menunjukan sensitivitas
terhadap makanan (atopi, pada keadaan tidak adanya gejala alergi).8
SPT kurang begitu berguna pada kelainan alergi usus yang sensitif terhadap
makanan dari pada alergi yang dimediasi oleh IgE. Pada alergi dimediasi oleh IgE,
seperti food protein induced eneterocolitis atau colitis akibat susu menghasilkan
hasil tes yang negatif. Meskipun begitu, SPT bergunan dalam mengeluarkan
diagnosis banding alergi mediasi IgE atau dalam keadaan patologi yang disebabkan
mekanisme kombinasi, khususnya esofagitis eosinofilik dimana SPT dapat
membantu mengetahui penyebab dari alergennya.8
Kebanyakan dari bayi hanya alergi terhadap susu tapi sekitar 20% juga
dapat bereaksi terhadap telur, dan protein makanan lain walaupun jarang. Kemajuan
klinis biasanya sangat baik seiring dengan perbaikan gejala dalam waktu lima hari
setelah diet bebas susu sapi bagi ibu. Bila diet pada ibu mengalami kegagalan, diet
bebas telur juga dapat dilakukan. Alergi ini biasanya sembuh dalam beberapa bulan,
sehingga pemberian susu kembali dapat dilakukanantara 6 dan 12 bulan.8

2.5.2 Diet Eliminasi dan Tes Tantangan Pemberian Makanan (Oral Food
Challenge)
Bila diagnosis masih belum jelas, oral food challengemerupakan standar
emas. Sebuah protokol diterbitkan oleh Bock SA pada tahun 1988 dan protokol
standar telah diusulkan oleh European Academy of Allergy and Clinical
Immunology pada tahun 2004. Pasien mencerna, lebih dari 2 jam, secara progresif
meningkatkan jumlah dari makanan yang diduga membuat alergi. Prosedur
dihentikan ketika muncul gejala klinis (tes positif) atau setelah jumlah makanan
yang dimakan sudah mencapai batasnya dan reaksi alergi tidak muncul. Karena
terdapat reaksi anafilaksis, tes ini harus dipimpin secara ketat, oleh tenaga medis
yang terlatih, dan kesiapan peralatan resusitasi. Protokol ini lama, mahal, dandapat
menyebabkan kecemasan atau ketidaknyamanan reaksi klinis, namun pemeriksaan
ini merupakan indikasi pasti pada pasien dengan diagnosis yangtidak jelas.8
Dasar dari diagnosis food-induced gastrointestinal allergy adalah respon
terhadap diet eliminasi, dengan timbulnya gejala yang berulang ketika diberikan
makanan atau susu. Disebabkan reaksi alergi biasanya tertunda, diet eliminasi harus
dilakukan untuk setidak-tidaknya 1 (satu) bulan sebelum diberikan tantangan
makanan (food challenge). Namun, identifikasi penyebab makanan seringkali berat
dan dokter kadang-kadang harus meresepkan diet ketat yang"oligo-antigen".
Pada beberapa sindrom alergi seperti food protein-induced enterocolitis,
tantangan pemberian makanan dapat menyebabkan reaksi klinis berbahaya yang
mengarah kepada syok hipovolemik. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk
memasang jalur intravena dan memiliki supervisi medis dengan fasilitas
resusitasidan penatalaksanaan segera.8

2.5.3 Uji In Vitro


Dalam uji in vitro seperti ECP (Eosinophilic Cationic Protein), tes aktivasi
basophil atau tes proliferasi limfosit tidak menunjukkan sensitivitas atauspesifisitas
dalam mendiagnosis alergi makanan.
Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Edit Hidvégi dan rekan-
rekan (2001) yang menyimpulkan bahwa normalisasi kadar serum ECP dapat
menjadi indikasi berhentinya alergi susu sapi. Oleh karena itu, pengukuran serum
ECP mungkin dapat membantu dalam menentukan waktu yang optimal untuk
mengulang uji pemberian tantangan makanan, sehingga hasilnya akan
cenderunglebih negatif. Penurunan kadar yang signifikan dari serum ECP 2 jam
setelah uji awal pemberian tantangan makanan dapat dijelaskan oleh fakta bahwa
protein inidikeluarkan ke dalam lumen usus.

2.5.4 Dosis Antibodi Serum IgE


Pemeriksaan kuantitif dari antibodi IgE spesifik terhadap makanan sering
menjadi langkah yang berikutnya. Alergen yang diduga diikat ke matriks padat dan
dipaparkan ke serum pasien. Antibodi IgE spesifik untuk alergen mengikat
kematriks protein dan dideteksi menggunakan antibodi spesifik sekunder pada
bagian Fc dari IgE manusia. Hampir sama dengan skin test, sensitisasi dapat muncul
tanpa reaksi klinis, dan tes tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis alergi
makanan tanpa adanya riwayat klinis alergi makanan. Meskipun begitu,
meningkatnya konsentrasi dari spesifik IgE akibat makanan berhubungan dengan
meningkatnya kemungkinan reaksi klinis.

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Diet Eliminasi
Penatalaksanaan utama alergi makanan (dalam hal ini susu sapi) adalah diet
eliminasi. Pasien dan keluarganya harus diajarkan untuk selalu membaca label
makanan yang mengandung susu atau produknya (mentega, kasein, lactalbumin,
lactoglobulin atau laktosa). Pada anak kecil, diet eliminasi harus dipertimbangkan
dengan hati-hati dan memerlukan tindak lanjut medis yang terus-menerus, karena
diet eliminasi secara serius dapat mengganggu kualitas hidup dan membuat efek
samping yang parah. Ketika alergi susu sapi didiagnosis pada bayi, dokter harus
merekomendasikan kepada orangtua penggunaan makanan pengganti susu
berdasarkan extensively hydrolysed susu sapi dan harus mengobservasi pasien
untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk diberikan kembali susu sapi
tersebut.
Extensively hydrolysed formulas merupakan disusun oleh campuran peptida
dan asam amino yang diproduksi dari kasein susu sapi atau air dadih dan dapat
ditoleransi pada 95% anak yang alergi terhadap susu. Jika gejalanya tetap persisten,
maka dapat digunakan formula asam amino, khususnya pada anak dengan alergi
beberapa makanan dan gangguan pertumbuhan.8
BAB III
KERANGKA KONSEP

Kondisi umum pasien

Mendapat susu Sapi

Riwayat alergi dalam


keluarga

Muntah dan Kolik Konstipasi BAB Batuk Wheezing Dermatitis Urtikaria


regurgitation berdarah kronik atopi

Alergi Susu Sapi

Penentuan Nutrisi
BAB 4

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian


Penelitian menggunakan desain Deskriptif statistik

3.2 Tempat dan Waktu penelitian


Penelitian dilakukan di bangsal anak RS DR Soetomo, Surabaya.

3.3 Waktu penelitian


Pengumpulan data primer penelitian dilakukan mulai Januari-Juni
2018. Jadwal penelitian selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:
Bulan/kegiatan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
2018 2018 2018 2018 2018 2018 2018
Persiapan:

penyusunan
proposal

pengurusan surat
etik
Pengambilan
sampel
Pengolahan data
Penyusunan
laporan

3.4 Populasi dan sampel


3.4.1 Populasi
Semua pasien di bangsal anak RS.Dr. Sutomo Surabaya
yang mempunyai manifestasi klinis alergi susu sapi (Cow’s
milk protein allergy)
3.4.2 Sampel
Semua pasien di bangsal anak RS.Dr. Sutomo Surabaya
yang mempunyai manifestasi klinis alergi susu sapi (Cow’s
milk protein allerg) periode 1 Januari 2018 sampai 31 Juni
2018. Metode pengambilan sampel adalah total sampling.

3.4.2.1 Kriteria Inklusi


1. Anak dengan manifestasi klinis CMPA
2. Anak dengan riwayat keluarga alergi
3. Pasien Rawat inap di bangsal anak
3.4.2.2 Kriteria Ekslusi
1. Anak tidak memiliki riwayat alergi
2. Manifestasi klinis CMPA yang tidak rawat inap
3.5 Definisi Operasional
3.5.1 CMPA
3.5.2 Manisetasi klini
3.5.3 Penentuan nutrisi

3.6 Desain Penelitian dan Prosedur


3.6.1 Alur Penelitian

Data rekam medis pasien di bangsal anak RS.Dr. Sutomo


Surabaya yang mempunyai manifestasi klinis alergi susu
sapi (Cow’s milk protein allergy) periode 1 Januari 2018
sampai 31 Juni 2018

Inklusi Ekslusi

Sampel penelitian

Penentuan nutrisi
3.7 Pengumpulan, Pengolahan dan Penyajian Data
3.7.1 Pengumpulan Data
3.7.2 Pengolahan Data
3.7.3 Penyajian Data

3.8 Variabel dan definisi operasional


3.8.1 Karakteristik demografi
Meliputi usia, status gizi, riwayat alergi pada pasien yang dirawat
di bangsal anak RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.

3.8.2 Karakteristik klinis


a. Status gizi
b. Riwayat alergi
c. Pertumbuhan
d. Perkembangan
e. Manifestasi klinis

3.9 Metode pengumpulan data


Data dikumpulkan dari rekam medis pasien anak yang rawat inap di
RSUD Dr.Sutomo Surabaya selama periode 1 Juni 2017 sampai 31 Juni
2018.

3.10 Analisis data


Deskriptif dalam tabel dan frekwensi.

3.11 Anggaran Penelitian

Pembuatan proposal Rp 200.000,00


Pengambilan sampel Rp 3.000.000,00

Pembuatan laporan hasil penelitian Rp 400.000,00

Presentasi hasil penelitian Rp 500.000,00


Lain-lain Rp 300.000,00

Total biaya Rp.4.400.000,00


DAFTAR PUSTAKA

1. Sampson HA. Food allergy. Part I: Immunopathogenesis and clinicaldisorders.


J. Allergy Clin Immunol 1999;103:717-28
2. Sampson HA. Food allergy. Part II: Diagnosis and management. J. Allergy Clin
Immunol 1999;103:981-9
3. Kruger Carsten, Malleyeck Iscaak. Diagnosing posible infantile cow's milk
protein allergy in rural africa, when history and physical examination are the
only tools: a case report. Cases journal. 2009;2:6287
4. Burks AW, James JM, Hiegel A, Wilson G, et al. Atopic dermatitis and food
hypersensitivity reactions. J Pediatr 1998;132:132-6
5. Viera MC, Morais MB. A survey on clinical presentation and nutritional status
of infants with suspected cow's milk alergy. BMJ Pediatrics. 2010;10:25
6. William LW, Bock SL. Skin testing and food challenges for evaluation of food
allergy. Immun and allergy clinics of North Amer 1999;19:479-93
7. Siregar S.P, Zakiudin M. Pentingnya pencegahan dini dan tatalaksana alergo
susu sapi. Sari pediatri. 2006: 237 - 243
8. Sumadiono, Hegar Badriul, Sjarif D.R. Diagnosis dan tata laksana alergi
susu sapi. Rekomendasi ikatan dokter anak indonesia. 2014; 3-17

Anda mungkin juga menyukai