Anda di halaman 1dari 4

KONDISI BANGSA ARAB PRA ISLAM

13MEI
Kondisi Politik
Secara global-teritorial, Arab merupakan negeri yang terletak di semenanjung Arab yang dikelilingi
tiga lautan, yaitu Laut Merah di Barat, Samudera Hindia di Selatan, dan Teluk Persia di sebelah
Timur. Letak geopolitik ini berdampak signifikan pada kondisi sosial bangsa Arab. Negeri Yaman
misalnya, diperintah oleh bermacam-macam suku dan pemerintahan yang terbesar adalah masa
pemerintahan Tababi’ah dari kabilah Himyar.

Di bagian Timur Jazirah Arab, dari kawasan Hirah hingga Iraq, yang ada hanya daerah-daerah kecil
yang tunduk kepada kekuasaan Persia hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama sekali
tidak berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di bawah kekuasaan raja-raja
Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama dengan bagian Timur, karena di daerah itu juga tidak ada
pemerintahan bangsa Arab yang murni dan merdeka. Semua raja di sini tunduk di bawah kekuasaan
Romawi. Raja-raja Ghasasanah semuanya serupa dengan raja-raja Munadzirah.

Sementara itu, di Tengah Jazirah Arab, di mana terdapat tanah suci Mekkah dan sekitarnya, kaum
Adnaniyyin menjadi penguasa yang independen, tidak dikuasai oleh Romawi, Persia, maupun
Habasyah. Allah telah menjaga kehormatan tanah dan penduduk disana. Bahkan sejak masa
imperialisme Barat yang menjajah dunia Islam, tak ada yang bisa menguasai negeri suci ini karena
Allah telah menjaga kesuciannya.[1]
Kondisi Ekonomi
Perekonomian bangsa Arab secara umum tidak bermakna apa-apa, kecuali negeri-negeri yang ada di
daerah Yaman. Yaman adalah negeri yang subur, khususnya di sekitar bendungan Ma’rib, di mana
pertanian maju secara pesat dan menakjubkan. Di masa itu juga telah berkembang industri, seperti
industri kain katun dan persenjataan berupa pedang, tombak, dan baju besi. Akan tetapi, mereka
tidak bersyukur dan justru berpaling dari ketaatan kepada Allah. Karena kekufuran itu, Allah pun
menghancurkan bendungan Ma’rib itu.

Sementara itu, mayoritas kabilah Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang sedikit
untuk mengembala domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya. Sedangkan kaum Quraisy yang
tinggal di tanah suci mengandalkan perekonomiannya dari berdagang. Pada musim dingin, mereka
berduyun-duyun ke Yaman untuk berdagang. Dan ketika musim panas, mereka memilih Syam
sebagai tujuan perdagangannya. Orang-orang Quraisy ini hidup dalam kemakmuran, berbeda
dengan kabilah-kabilah lainnya yang rata-rata hidup susah dan menderita.[2]
Kondisi Sosial
Fase kehidupan bangsa Arab tanpa bimbingan wahyu Ilahi dan hidayah sangatlah panjang. Oleh
sebab itu, di antara mereka banyak ditemukan tradisi yang sangat buruk. Berikut ini adalah contoh
beberapa tradisi buruk masyarakat Arab Jahiliyah.

1. Perjudian atau maisir. Ini merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di Jazirah Arab,
seperti Mekkah, Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al Jandal.
2. Minum arak (khamr) dan berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di kalangan saudagar,
orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di daerah perkotaan.
3. Nikah Istibdha’, yaitu jika istri telah suci dari haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki dari
kalangan terkemuka, keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk menggaulinya.
4. Mengubur anak perempuan hidup-hidup jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir
adalah perempuan. Karena mereka takut terkena aib karena memiliki anak perempuan.
5. Membunuh anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar
prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami.
6. Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan
kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang
memujinya.
7. Lelaki yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan
seksual secara terselubung.
8. Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan
bahwa wanita itu adalah pelacur.
9. Fanatisme kabilah atau kaum.
10. Berperang dan saling bermusuhan untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum
lainnya. Kabilah yang kuat akan menguasai kabilah yang lemah untuk merampas harta benda
mereka.
11. Orang-orang yang merdeka lebih memilih berdagang, menunggang kuda, berperang, bersyair,
dan saling menyombongkan keturunan dan harta. Sedang budak-budak mereka diperintah untuk
bekerja yang lebih keras dan sulit.
Kondisi Agama
Menurut Thaib Thahir Abdul Mu’in, hakikat ibadah pendudukan Arab Jahiliyah adalah hasil dari salah
satu dua perasaan, yaitu:

1. Perasaan manusia yang merasa bahwa ada kekuatan tersembunyi, yang tidak dapat dikenal dan
diketahui oleh manusia. Kekuatan itu yang menyebabkan bergerak dan berlakunya alam semesta
ini dengan teratur dan harmonis. Perasaan ini tertanam dalam jiwa manusia.
2. Perasaan yang salah terhadap sesuatu, karena hanya berdasarkan kepada pancaindera saja,
seperti perasaan terhadap salah satu kekuatan yang ada di alam ini. Misalnya, perasaan orang
Mesir kuno yang menganggap keistimewaan itu pada sapi, matahari, sungai Nil, dan sebagainya.
Perasaan inilah yang mendorong manusia ke arah kepercayaan yang salah. Tetapi meskipun
salah, perasaan itu sangat membekas di dalam kehidupan masyarakat ketika itu. Bahkan bekas-
bekas itu hingga kini masih terlihat di kalangan umat yang terbelakang.[3]
Bangsa Arab umumnya mempunyai kedua perasaan tersebut. Perasaan yang pertamalah yang
mendorong bangsa Arab mengabdi kepada Allah dan mengakui jualah yang menjadikan langit dan
bumi, memberikan rezeki, dan sebagainya. Sedangkan perasaan kedua yang mendorong mereka
menyembah berhala, karena awalnya mereka mengganggap bahwa berhala adalah alat penghubung
menyembah dan mendekatkan diri kepada Allah. Namun pada akhirnya mereka meyakini bahwa
dalam berhala-berhala itu memiliki kekuatan sendiri.[4]
Kemusyrikan di tengah bangsa Arab musya’ribah, bermula ketika mereka keluar mencari
rezeki.[5] Jika di antara penduduk di sekitar Makkah ada yang hendak bepergian ke daerah lain,
mereka membawa beberapa batu yang ada di dekat Ka’bah, dengan tujuan sebagai kenang-
kenangan bagi tanah airnya dan sebagai pengganti Ka’bah yang tidak dapat dibawa. Semenjak itulah
orang Jahiliyah menghormati dan mengangungkan batu. Keadaan ini berlangsung beberapa abad
lamanya dan turun temurun. Sehingga anak cucunya yang kemudian, tidak mengenal lagi asal
muasal penghormatan dan penyembahan batu-batu itu.
Sebagian bangsa Arab ada yang pindah dari menyembah batu-batu kepada menyembah berhala
atau arca, ada yang tetap menyembah batu, dan ada pula yang tetap berpegang kepada agama Nabi
Ibrahim. Dengan demikian, iman orang Arab Jahiliyah terhadap batu-batu dan berhala itu tidak begitu
kuat. Karena dasar kepercayaannya kurang kuat. Mereka akan membinasakan arca-arca itu, apabila
harapan-harapan mereka tidak terkabul. Dan apabila terkabul, mereka akan membayar dengan
pengorbanan berupa hewan ternak.[6]
Berhala yang dipuja dan disembah oleh bangsa Arab Jahiliyah sangat banyak jumlahnya. Dari sekian
banyak berhala-berhala tersebut, yang terbesar dan termasyhur ada lima berhala, antara lain:

1. Berhala Wad atau Waddan, menjadi sesembahan kabilah Kalb,


2. Berhala Sua’ atau Sua’an, menjadi sesembahan kabilah Huzdail,
3. Berhala Yaghuts, menjadi sesembahan kabilah Bani Khuthaif,
4. Berhala Nasr, menjadi sesembahan kabilah Himyar.
Nama-nama ini dahulu adalah nama orang-orang shaleh dari kaum Nabi Nuh. Setelah orang-orang
shaleh itu meninggal dunia, umatnya mengadakan peringatan-peringatan untuk mereka dengan cara
mendewakannya. Setelah generasi itu mati, mereka menjadi disembah. Selain dari lima berhala
tersebut, ada beberapa berhala pula yang utama, yaitu Latta, Uzza, dan Manat.[7]
Kaum Quraisy dan Arab Jahiliyah di Mekkah, tidaklah menghormati dan membesar-besarkan kelima
berhala di atas. Mereka hanya memuja ketiga berhala itu, sebab itu yang paling utama dan lebih
tinggi derajatnya bagi mereka. Dari ketiga berhala itu, orang Quraisy memilih yang terpenting dan
istimewa, yaitu Uzza. Kabilah Bani Saqif lebih memuliakan dan mengutamakan Latta. Sedangkan
Bani Aus dan Khazraj di Madinah lebih mengutamakan Manat.[8]
Ada pula sebagian bangsa Arab Jahiliyah yang menyembah Ba’l atau Baal. Menurut mereka berhala
Ba’l ini dapat menyebabkan suburnya tanah dan menimbulkan hasil yang banyak. Golongan yang
banyak menyembah Ba’l ini adalah kaum tani. Dan ada pula golongan yang mutlak tidak mengakui
adanya Allah dan Tuhan lainnya. Golongan ini dinamakan Dahrenun (Ateis). Menurut mereka segala
yang ada di alam semesta ini adalah kejadian alam yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada yang
menjadikannya.[9]
Demikian pula peradaban dan kemasyarakatan pada bangsa Arab Jahiliyah tersebut terus-menerus
dalam percekcokan antar kabilah-kabilah. Mereka saling rampas-merampas, selalu melanggar dan
menghianati janji-janji mereka, tidak peduli kepada orang lain maupun sanak saudaranya, gelisah dan
malu apabila memperoleh anak perempuan, membunuh dan mengubur anak-anak perempuan, takut
miskin, dan sebagainya.[10] Dengan kata lain, hukum yang berlaku di bangsa Arab Jaliyah adalah
hukum ‘rimba’, yaitu siapa yang kuat, maka itu yang menang. Dan siapa yang lemah, maka ia akan
tertindas.
Dari beberapa keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa bangsa Arab Jahiliyah, mempunyai
kepercayaan dan Tuhan yang bermacam-macam. Akan tetapi, walaupun tampak banyak ragamnya,
namun pada umumnya orang Arab, khususnya suku Quraisy, tetap memuliakan dan beribadah di
Ka’bah. Mereka menghormati Ka’bah dan menjalankan kegiatan ibadah di tempat itu.

Walaupun masyarakat Arab, khususnya suku Quraisy, memuliakan dan menghormati Ka’bah, tetapi
mereka membuat bid’ah-bid’ah agama yang melampaui batas, antara lain:

1. Mempersembahkan bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham. Bahirah adalah unta betina yang
dibelah telinganya, kemudian dilepaskan, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diambil air
susunya. Sa’ibahadalah unta yang dibiarkan pergi ke mana saja atau diserahkan kepada Tuhan
karena suatu nadzar. Washilah adalah seekor domba betina yang melahirkan sepuluh anak
betina kembar. Domba ini disebut washilah (penyambung), karena ia menyambung kesepuluh
anak-anaknya, dan khusus dimakan oleh lelaki. Sedangkan, ham adalah unta jantan yang tidak
boleh ditunggangi atau dibebani, karena telah membuntingi unta betina sejumlah yang telah
ditentukan.
2. Bid’ah wukuf di Muzdalifah pada saat haji, dan tidak perlu wukuf di Arafah.
3. Bid’ah tidak boleh berthawaf dengan pakaian yang mengandung unsur maksiat kepada Allah,
tidak boleh berthawaf mengenakan pakaian lama. Jika tidak menemukan pakaian khusus untuk
berthawaf, mereka harus berthawaf dengan telanjang, sekalipun wanita.
4. Bid’ah mengundi nasib dengan panah.
5. Bid’ah An Nasi’, yaitu menangguhkan kesucian bulan Muharram ke bulan Shafar, agar mereka
diperolehkan melakukan peperangan pada bulan haram itu.
Setelah mengetahui bagaimana kondisi-kondisi pada zaman jahiliyah tersebut, marilah kita
renungkan. Pada era globalisasi sekarang ini, nilai-nilai dan sistem sekuler dapat masuk dengan
mudah dan menyingkirkan nilai-nilai islami sebagaimana Rasulullah ajarkan. Akibatnya, banyak orang
di sebagian belahan dunia yang pola hidupnya serupa atau telah kembali kepada masa Jahiliyah.
Banyak orang yang cerdas dan jenius dengan ilmu pengetahuannya yang malah menjauh dari
agamanya, membuat bid’ah-bid’ah yang serupa dengan Jahiliyah, menghalalkan hal-hal yang haram
demi keuntungan pribadi, saling bermusuhan dan penindasan terhadap yang lebih lemah, tidak
bersyukur atas nikmat Tuhan, banyak perjudian, mabuk-mabukan, pornografi, memamerkan
kecantikan atau ketampanan, mempermainkan dan meremehkan pernikahan, aborsi, prostitusi, dan
lain sebagainya. Dengan kata lain, era sekarang ini bisa disebut dengan zaman ‘Jahiliyah ke-2’ atau
yang ke sekian.

[1] Abu Bakar Jabir Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 2007. 24-27
[2] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 28-29
[3] M. Thaib Thahir Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 1997. 157
[4] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 178
[5] Al Jazairi. Muhammad, My Beloved Prophet. 38
[6] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 59
[7] Abdul Mu’in. 61
[8] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 63
[9] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 67
[10] Abdul Mu’in. Ilmu Kalam. 70

Anda mungkin juga menyukai