TINJAUAN PUSTAKA
Resin komposit mengalami kemajuan yang besar ketika pada tahun 1962
Bowen mengembangkan sejenis bahan resin komposit baru. Penemuan Bowen berupa
bisphenol-A-glycidyl methacrylate (Bis-GMA) yang merupakan suatu resin
dimethacrylate, dan suatu bahan coupling silane organik untuk membentuk ikatan
antara partikel filler dan matriks resin.
Shrinkage polimerisasi resin komposit, yang berkisar 2-3% pada resin
komposit hibrid, microfill, dan nanofill, merupakan sifat kimiawi alami resin
komposit (Ferracane, 1992; Stansbury, 1992). Shrinkage resin komposit
mengakibatkan terbentuknya celah mikro. Celah mikro merupakan celah yang terjadi
antara resin komposit dan dinding kavitas sehingga bakteri, cairan, molekul, atau ion
dapat masuk. Celah mikro dapat mengurangi kerapatan tepi restorasi, timbulnya
hipersensitivitas pada gigi yang direstorasi, perubahan warna pada margin kavitas dan
restorasi, terjadinya karies sekunder, peradangan pulpa, dan kegagalan perawatan
endodontik (Simi dan Suprabha, 2011).
Shrinkage ini menjadi masalah yang cukup besar terutama pada restorasi
Kelas II. Hal ini karena kavitas Kelas II biasanya memiliki kavitas yang dalam
dengan sisa email yang sangat sedikit pada daerah proksimal dan pada restorasi Kelas
II melibatkan margin servikal sehingga perlekatan dentin lebih sulit diperoleh,
disebabkan oleh materi spesifik dentin seperti struktur tubulus dan kelembaban
instrinsik. Pada keadaan ini, perlekatan antara resin komposit dengan dentin pada
daerah servikal kavitas juga kurang memuaskan (Radhika dkk., 2010). Untuk
mengatasi kontraksi kimiawi ini, banyak teknik penempatan komposit telah diajukan,
yang biasanya berupa penempatan resin komposit secara incremental seperti: teknik
dengan menggunakan matriks bening dengan reflective wedge (Lutz dkk., 1986; Lutz
dkk., 1992), penempatan secara horizontal (Lutz dkk., 1991; Tjan dkk., 1992), teknik
oblique (Weaver dkk., 1988; Spreafico dan Gagliani, 2000), atau teknik segmental
yang mencakup penempatan secara bulk dengan increment 3 sampai 3,5 mm (Jackson
dan Morgan, 2000).
Desain kavitas Kelas II konvensional berbentuk box dan bahan restorasi resin
komposit tidak selalu kompatibel sehingga saat ini telah diperkenalkan desain Kelas
II yang telah dimodifikasi untuk restorasi resin komposit sesuai dengan prinsip
minimal intervention. Teknik preparasi kavitas ini mirip dengan teknik preparasi
kavitas Kelas III anterior dan terbatas pada pembuangan jaringan karies, perluasan
yang tepat untuk pemeriksaan, penempatan, dan finishing bahan resin komposit
(Nordbo dkk., 1993).
Gambar 2.1 Struktur kimia resin komposit dimethacrylate matriks resin Bis-GMA (Albers, 2002)
Matriks resin yang sering ditambahkan pada bis-GMA adalah triethylene glycol
dimethacrylate (TEGDMA) (Garcia dkk., 2006; Shawkat, 2009; Hatrick dkk., 2011).
Struktur kimia TEGDMA memiliki sifat mekanis yang lebih rendah daripada bis-
GMA (Gambar 2.2) (Powers dan Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Gambar 2.2 Struktur kimia resin komposit dimethacrylate matriks resin TEGDMA (Albers, 2002)
pelebaran
Gambar 2.3 Struktur kimia resin komposit dimethacrylate matriks resin UDMA (Albers, 2002)
Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009; Garg dan Garg, 2010). Camphorquinone yang
dihubungkan dengan aktivator yaitu tertiary amine seperti
dimethylaminoethylmethacrylate (DMAEMA) (Gambar 2.5) akan menghasilkan
radikal bebas sehingga dapat menginisiasi proses polimerisasi (Powers dan
Sakaguchi, 2006; Shawkat, 2009).
Deaktivasi
Gambar 2.5 Skema peranan CQ dan DMAEMA dalam polimerisasi radikal bebas resin komposit
(Shawkat, 2009)
2011). Selain itu, resin komposit flowable memiliki beberapa kelebihan seperti
kemampuan membasahi permukaan gigi, memastikan penetrasi ke dalam setiap
iregularitas, membentuk lapisan dengan ketebalan minimal, memperbaiki dan
mengeliminasi udara yang masuk, radio-opaqueness, tersedia dalam berbagai warna
dan fleksibilitas tinggi (Garcia dkk., 2006). Resin komposit flowable diindikasikan
untuk restorasi kelas I, II, V, pit dan fissure sealants, bahan reparasi batas tepi
restorasi, dan lebih sering digunakan sebagai liner dibawah resin komposit hibrid dan
packable (Roberson dkk., 2009; Burgess dan Cakir, 2011; Hatrick, 2011). Perbedaan
sifat fisis dan mekanis antara resin komposit packable dan flowable (Tabel 1)
menghasilkan perbedaan kualitas penggunaan bahan restorasi (Powers dan
Sakaguchi, 2006).
Tabel 1. Perbandingan sifat fisis dan mekanis antara resin komposit packable dan resin komposit
flowable (Powers dan Sakaguchi, 2006).
Sifat Resin Komposit Resin Komposit
Packable Flowable
Kekuatan fleksural (MPa) 85-110 70-120
Modulus fleksural (GPa) 9,0-12 2,6-5,6
Kekuatan compressive (MPa) 220-300 210-300
Modulus compressive (GPa) 5,8-9,0 2,6-5,9
Diameter kekuatan tensile (MPa) - 33-48
Shrinkage polimerisasi linear (%) 0,6-0,9 -
Stabilitas warna, percepatan usia- - 15
450 kJ/m2 (∆E)
Gambar 2.6 Reaksi rantai suatu radikal bebas pada tahapan proses polimerisasi (Albers, 2002)
Gambar 2.7 Shrinkage polimerisasi menghasilkan celah di antara bahan restorasi dan permukaan gigi
(Garg dan Garg, 2010)
ZAT PADAT
ZAT PADAT ATAU
ZAT CAIR
ADHESI
INTERFACE
ADHESIF
ZAT PADAT
ZAT PADAT
INTERFACE
SAMBUNGAN
ADHESI
ADHEREND
Gambar 2.8 Definisi terminologi sistem adhesif (Perdigao dan Swift, 2009)
Gambar 2.9 Klasifikasi mekanisme sistem adhesif (Meena dan Jain, 2011)
2. Adhesif Self-Etch
a. Two-step self etch adhesives
Sistem adhesif two-step self-etch mulai diperkenalkan pada akhir tahun 1990
(Deliperi dkk., 2007). Sistem adhesif two-step self-etch merupakan aplikasi
terpisah antara self-etch primer dan resin hidrofobik dan pada umumnya
primer yang sering digunakan adalah mild self-etch primer (Gambar 2.11)
(Meena dan Jain, 2011). Sistem mild self-etch (pH ≤ 2) mampu
menghilangkan sebagian smear layer dan berpenetrasi ke permukaan dentin,
menghasilkan pembentukan resin tag dan lapisan hibrid yang kurang terlihat
jelas dan yang lebih tipis daripada sistem adhesif total-etch (Deliperi dkk.,
2007).
Gambar 2.11 Mekanisme sistem adhesif two-step two-bottle self-etch (Meena dan Jain, 2011)
Gambar 2.12 Mekanisme sistem adhesif all-in one self-etch (Meena dan Jain, 2011)
hidroksiapatit disebut dengan microtags (Bayne dan Thompson, 2009; Perdigao dan
Swift, 2009; Garg dan Garg, 2010).
Gambar 2.13 Pembentukan microtags dan macrotags ketika bahan bonding diaplikasikan ke
permukaan gigi teretsa (Garg dan Garg, 2010)
bonding. Kolagen merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan bonding
terhadap dentin. Dengan mengetsa dentin, smear layer dan mineral hilang dari
struktur dentin sehingga serat-serat kolagen terpapar (Garg dan Garg, 2010). Saat
komponen mineral hidroksiapatit sebagai lapisan terluar dentin dihilangkan, dentin
mengandung sekitar 50% ruangan kosong dan sisanya sekitar 20% air (Powers dan
Sakaguchi, 2006). Air menjaga kolagen tetap berada dalam keadaan lembut sehingga
ruang untuk infiltrasi juga terjaga. Serat-serat kolagen ini akan kolaps apabila kering
dan jika matriks organik mengalami denaturasi. Hal ini akan menghambat resin
mencapai permukaan dentin dan menghambat pembentukan lapisan hibrid (Garg dan
Garg, 2010). Smear layer dapat mengurangi permeabilitas dentin dan sangat
membantu bahan bonding yang bersifat hidrofobik dan menutupi tubulus dentin
(Gambar 2.14) (Albers, 2002).
Selain itu smear layer juga melekat ke permukaan dentin dan mengandung
potongan gigi, saliva, bakteri dan debris pada permukaan lainnya (Gambar 2.15)
(Albers, 2002).
bahan restorasi, yang tidak terdeteksi secara klinis (Kidd, 1976). Secara klinis,
kebocoran mikro dapat mengakibatkan pewarnaan di sekitar tepi restorasi, sensitivitas
pasca-operatif, karies sekunder, kegagalan restorasi, patologi pulpa atau kematian
pulpa, kehilangan sebagian atau keseluruhan restorasi (Eich dan Welch, 1986; Krejci
dan Lutz, 1991). Resin komposit modern mengalami kontraksi volumetrik berkisar
antara 2,6-4,8% (Losche, 1999). Bahkan apabila bahan adhesif dentin modern
menunjukkan kekuatan adhesif terhadap dentin lebih besar daripada 20 MPa
(melebihi stress kontraksi yang dihasilkan stress polimerisasi sebesar 13-17 MPa),
total gaya kontraksi dapat lebih besar daripada kekuatan adhesif sehingga
mengakibatkan terbentuknya kebocoran mikro (Eick dkk., 1997).
Faktor C (C-factor / cavity configuration factor) juga berperan penting dalam
menentukan besarnya shrinkage. Faktor C didefinisikan sebagai rasio antara
permukaan kavitas yang di-bonding dengan yang tidak di-bonding. Meningkatnya
rasio ini juga meningkatkan stress akibat shrinkage polimerisasi (Feilzer dkk., 1987).
Salah satu masalah paling besar pada restorasi resin komposit Kelas II adalah
kebocoran mikro pada tepi gingival dari box proksimal. Hal ini berhubungan dengan
tidak adanya email pada tepi gingival, yang mengakibatkan substrat sementum-dentin
yang kurang stabil untuk proses bonding (Carvalho dkk., 1996). Cagidiaco dkk.
menunjukkan adanya lapisan luar yang terbentuk sebagian oleh sementum yang
berada di bawah cemento-enamel junction yang tidak memungkinkan retensi
mikromekanis oleh bahan adhesif (Cagidiaco dkk., 1995). Selain itu, orientasi tubulus
dentin dapat berpengaruh negatif terhadap kualitas hibridisasi dan memungkinkan
kebocoran pada restorasi resin komposit yang ditempatkan pada box interproksimal
yang dalam (Schupbach dkk., 1990). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa fraktur
mikro email dapat terjadi di sepanjang tepi restorasi segera setelah polimerisasi resin
komposit yang di-bonding pada email yang di-etsa dan mengakibatkan kebocoran
mikro pada daerah tersebut (Han dkk., 1990).
Faktor penyebab lainnya adalah koefisien ekspansi termal (Yazici dkk., 2003).
Koefisien ekspansi termal resin komposit, yaitu 25-60 ppm/°C, beberapa kali lebih
besar daripada koefisien ekspansi termal email (11,4 ppm/°C) dan koefisien ekspansi
termal dentin (8 ppm/°C) (McCabe dan Walls, 1998). Penelitian menunjukkan bahwa
sifat fisik ini juga menyebabkan kebocoran mikro pada restorasi resin komposit
(Feilzer dkk., 1988). Selain itu, pergerakan mikro restorasi sepanjang dinding kavitas
sebagai akibat ketidakcocokan modulus elastisitas antara gigi dan resin komposit
dapat berkontribusi pada kegagalan perlekatan mekanis sehingga menyebabkan
kebocoran mikro (Lundin dan Noren, 1991).
A B
Gambar 2.16 Bentuk oklusal pada preparasi kavitas Kelas II gigi molar mandibula.
A. Desain kavitas untuk restorasi amalgam; B. Desain kavitas untuk
resin komposit (Ben-Amar dkk.,1987)
Gambar 2.18 Pandangan proksimal preparasi Kelas II resin komposit (Ben-Amar dkk.,1987)
Gambar 2.19 Desain kavitas Kelas II resin komposit : a. Perluasan melalui groove oklusal,
b. Slot dengan groove retensi, c. Slot tanpa groove retensi,
d. Slot tanpa membuang email pada daerah proksimal dan tanpa groove retensi (Summitt dkk., 1994)
rata-rata kegagalan restorasi antara desain kavitas pada kelompok 3 dan 4 tidak
bermakna. Kegagalan restorasi pada marginal ridge dalam restorasi Kelas II resin
komposit yang diperluas melalui groove oklusal sampai ke fossa sentral tidak
bermakna lebih besar daripada rata-rata kegagalan yang terjadi pada restorasi bentuk
slot proksimal dengan groove retensi, namun restorasi bentuk slot dengan groove
retensi lebih resisten terhadap terjadinya kegagalan restorasi daripada bentuk slot
proksimal tanpa groove retensi (Summitt dkk., 1994).
Pada kavitas yang diperluas melalui groove oklusal sampai ke fossa sentral,
kegagalan restorasi terjadi berupa fraktur bahan resin komposit pada daerah isthmus,
yang disebabkan aksi pengunyahan dan pengaruh panas yang terutama ditujukan pada
permukaan oklusal restorasi, sehingga pemakaian resin komposit merupakan
kontraindikasi terhadap preparasi rutin pada kavitas yang diperluas melalui groove
oklusal. Dengan kata lain, restorasi Kelas II resin komposit lebih berhasil pada gigi
posterior yang lesi kariesnya terletak pada daerah aproksimal dan tidak meluas
sampai ke groove oklusal. Sedangkan pada restorasi bentuk slot, kegagalan restorasi
terjadi oleh karena terjadi fraktur pada struktur gigi dan displacement dari restorasi
(Summitt dkk., 1994).
Gambar 2.20 Outline form kavitas saucer. Daerah titik menandakan email
yang dipreparasi (Nordbo dkk., 1993)
Setelah preparasi selesai, dilakukan etsa pada permukaan email dan aplikasi
bahan bonding, kemudian ditumpat dengan bahan resin komposit (Gambar 2.21).
Teknik penempatan bahan dilakukan secara incremental dengan ketebalan 1-2 mm
dan setiap increment dipolimerisasi melalui penyinaran (Nordbo dkk., 1993).
Setelah tiga tahun pemeriksaan, 82% restorasi masih mempunyai kondisi yang
baik, dan sisanya 18% mengalami kegagalan oleh karena beberapa hal seperti terjadi
karies rekuren terutama pada tepi gingival bagian proksimal, kerusakan pada
marginal ridge, hilangnya kontak proksimal, dan adaptasi marginal yang tidak baik
(Nordbo dkk., 1993).
Gambar 2.22 Teknik penempatan secara incremental untuk mengisi kavitas saucer (Nordbo dkk.,
1993)
Gambar 2.23 Matrix retainer (a) Ivory No. 8, (b) Ivory No. 1 (c) Tofflemire (Sikri, 2008)
yang akan direstorasi dengan gigi tetangga untuk memisahkan gigi. Akan tetapi,
wedge tidak boleh terlalu tebal ke arah oklusal karena hal ini dapat mempengaruhi
kontur proksimal. Jika wedge tidak cukup tinggi, hanya titik kontak antara wedge dan
matriks yang tercapai. Hal ini dapat menyebabkan kontur yang buruk atau pergeseran
wedge selama kondensasi. Kehilangan titik kontak dapat terjadi jika tinggi
penampang melintang wedge terlalu besar (Sikri, 2008).
Pada restorasi kelas II resin komposit khususnya, kontak terbuka dapat
menyebabkan impaksi makanan pada daerah interproksimal sehingga terjadi
inflamasi dan penyakit periodontal (Padbury dkk., 2003) dan juga karies rekuren
(Ash, 2003). Tercapainya kontak interproksimal yang tepat dan kontur yang cembung
membutuhkan matriks yang dikontur dengan baik, yang distabilisasi dan diadaptasi
pada gingiva dengan wedge yang ditempatkan dengan baik (Varlan dkk., 2008).
Penggunaan sistem matriks sirkumferensial seperti matriks dan retainer logam
Tofflemire yang tidak dikontur dan apabila dikonturpun, hanya distabilisasi pada
gingiva dengan wedge dan tanpa separasi gigi, akan sering menghasilkan kontak
terbuka atau ringan (Wirshing dkk., 2008). Oleh sebab itu, saat ini telah
dikembangkan kombinasi sistem matriks seksional dengan cincin separasi yang dapat
menghasilkan kontak interproksimal yang lebih baik (Loomans dkk., 2006; Saber
dkk., 2010) dan tepi marginal yang lebih kuat (Loomans dkk., 2008). Salah satu
contoh sistem matriks seksional dengan cincin separasi adalah V3 Ring (Triodent).
Sistem matriks ini tersedia dalam 2 ukuran, universal dan narrow (Gambar 2.25)
(Boksman, 2010).
Cincin separasi yang berukuran lebih kecil ini memungkinkan tekanan yang
konstan bahkan apabila ruang embrasur antara kedua gigi lebih sempit seperti apabila
cincin tersebut ditempatkan di antara gigi-gigi premolar. Cincin ini dibuat dari nikel
titanium yang mempunyai memori elastis yang tinggi. Tine plastik berbentuk V
memungkinkan cincin separasi mudah ditempatkan di atas wedge. Lekukan pada
bagian dalam cincin separasi membuat cincin lebih stabil ketika dipegang dengan
forcep. Forcep mempunyai lekukan di bagian dalam untuk memungkinkan re-
tensioning dari cincin separasi. Matrix band tidak hanya didesain dengan kontur
membulat, tetapi juga dengan kontur ridge marginal, yang apabila ditempatkan pada
tinggi interproksimal yang tepat, akan membentuk embrasur oklusal sehingga mudah
di-finishing. Matrix band mempunyai lubang yang memungkinkannya mudah
ditempatkan dengan pin tweezer, dan juga terdapat lubang di bagian lateral untuk
memudahkan pengeluaran matrix band setelah restorasi (Gambar 2.26) (Boksman,
2010).
melengkung, gaya-gaya lain juga timbul dan gaya-gaya yang dihasilkan mungkin
tidak diberikan sepanjang sumbu panjang gigi (Gambar 2.28). Fenomena ini dapat
dipahami dengan mempelajari penyaluran gaya pada bidang miring. Bidang cusp
dianggap sebagai bidang miring (Sikri, 2008).
Gambar 2.28 Reaksi terhadap gaya-gaya oklusal (a) Dasar yang rata
(b) Dasar yang melengkung (Sikri, 2008)
Keseimbangan dapat dipertahankan jika lebih dari satu gaya diberikan pada
gigi atau gaya-gaya disalurkan pada kedua arah. Gambar 2.29 menunjukkan
bagaimana gaya-gaya bekerja pada bidang miring cusp. AB merupakan garis
singgung yang ditarik pada bidang miring atau kontak antara dua cusp. Sudut 'α'
mewakili sudut yang dibuat dengan garis horizontal AC dengan garis singgung AB
pada kontak cusp. M merupakan gaya pengunyahan dan N merupakan gaya yang
disalurkan. M tegak lurus terhadap garis horizontal AC dan N tegak lurus terhadap
bidang miring, yaitu garis singgung AB, dan H merupakan komponen horizontal gaya
yang disalurkan, yang mempertahankan keseimbangan. Seiring dengan menurunnya
sudut 'α', yaitu berkurangnya bidang miring, N dan H menjadi lebih pendek dan
akhirnya bersatu dengan M yaitu sama dengan nol (Sikri, 2008).
Gambar 2.29 Gaya-gaya yang bekerja pada bidang miring cusp (Sikri, 2008)
Efek friksi antara cusp juga memainkan peranan penting. Friksi merupakan
resistensi terhadap gerakan geser sebuah benda terhadap benda lain dan koefisien
friksi merupakan perbandingan gaya friksi terhadap gaya normal (Sikri, 2008).
Sering kali, dua atau lebih permukaan dengan kemiringan tertentu yang
berhadapan satu sama lain pada sebuah gigi berkontak dengan cusp bukal dan lingual
dari gigi yang berlawanan atau berkontak dengan cusp bukal dan lingual dan ridge
marginal. Kondisi ini berperan dalam keseimbangan yang baik dalam oklusi dan
dalam kasus kontak yang tidak normal, dapat menjelaskan terlepasnya restorasi atau
fraktur gigi. Efek yang dihasilkan disebut sebagai wedging effect (Sikri, 2008).
Komponen horizontal gaya normal yang menyebabkan wedging effect ini.
Komponen-komponen horizontal yang dibentuk oleh kemiringan ini sama besar dan
berlawanan dan cenderung mendorong permukaan miring sehingga terpisah. Ketika
beban diaplikasikan pada gigi, tegangan didistribusikan baik sejajar terhadap sumbu
panjang dan tegak lurus terhadap sumbu panjang. Gaya atau beban diaplikasikan pada
daerah yang berbeda pada satu waktu dan distribusi tegangan bergantung pada
berbagai faktor (Sikri, 2008) :
1. Jika penampang melintang daerah tersebut konstan, distribusi tegangan praktis
seragam.
kedalaman dinding gingival (d), maka R dan d akan berada pada arah yang sama,
sehingga momen gaya sama dengan nol. Oleh karena itu, kedalaman dinding gingival
tidak berperan dalam retensi (Gambar 2.30) (Sikri, 2008).
Kekuatan bonding yang kurang baik dan tidak mampu menahan stress shrinkage pada
saat polimerisasi menyebabkan kerusakan tepi.
Kebocoran mikro ?